Você está na página 1de 12

Trauma Muka

Trauma muka dapat disebabkan oleh banyak faktor dan dapat menimbulkan
kelainan, berupa sumbatan jalan napas, syok karena perdarahan, gangguan pada
vertebraservikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf otak. Penanganan khusus
pada trauma muka, harus dilakukan segera (immediate) atau pada waktu berikutnya
(delayed). Penanggualan ini tergantung jaringan yang terkena trauma.
Pada periode akut (immediate) setelah terjadi kecelakaan tidak ada tindakan
khusus untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi
perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisi dan
fiksasi definitif bukan merupakan tindakan life-saving.
Lamanya terjadi trauma serta timbulnya kelainan karena trauma muka perlu
diperhatikan. Penderita dengan trauma yang mengakibatkan kerusakan jangan lunak
pada muka, harus dibersihkan dari kotoran atau benda asing yang menempel pada
kulit. Laserasi atau luka sayat pada muka yang mungkin terdapat harus dijahit
secepatnya bila memungkinkan dalam waktu 6-8jam dan diusahakan kurang dari 24
jam. Setelah itu tindakan selanjutnya dilakukan di kamar operasi.
Luka terbuka pada muka disertai fraktur pada wajah harus segera didiagnosis
agar dapat dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi.
Benda asing yang terdapat pada muka seperti pecahan batu, pecahan gelas,
robekan kain atau luka lainnya harus dibersihkan terlebih dahulu. Seandainya timbul
kerusakaan pada jaringan lunak, dilakukan segera tindakan debridement dan
penutupan luka pada kulit untuk mencegah timbulnya cacat atau parut pada wajah.
Fraktur muka yang dilakukan perbaikan berupa reduksi atau fiksasi, sebaiknya
dikerjakan pada waktu tidah lebih dari 2 minggu sesudah trauma. Pada penderita ini
juga diberikan vaksin anti tetanus (ATS) atau toxoid tetanus untuk mecegah timbulnya
penyakit tetanus, juga diperlukan pemberian antibiotika untuk mencegah timbulnya
infeksi.
Bila terjadi sumbatan jalan napas, harus dilakukan tindakan trakeostomi
secepatnya. Penderita harus dikonsulkan ke Bagian Gigi Mulut, Bagian Mata, atau
Bagian Bedah Saraf bila terdapat induksi.
Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti:
kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi); emfisema

subkutis, rasa nyeri, terdapat

deormitas muka yang dapat dilihat atau diperiksa

dengan cara perabaan, epistaksis (anterior dan posterior), obstruksi hidung akibat
hematom pada septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum; gangguan pada
mata, misal gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dan bola mata, abrasi
kornea, epifora, ekimosis paa konjungtiva, periorbita; gangguan saraf sensoris berupa
anastesia atau hiestesia dari ketiga cabang saraf otak kelima, gangguan saraf motorik,
terdapatnya paresis atau paralisis dari satu atau semua cabang saraf otak ke tujuh;
terdapat krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula, trismus, maloklusi, terdapat
fraktur gigi atau terlepasnya gigi tersebut, kebocoran cairan otak, terdapat tanda
infeksi jaringan lunak pada daerah hematoma..
Gejala-gejala seperti diatas, mengharuskan kita untuk melakukan pemeriksaan
yang lebih lengkap, konsultasi ke bagian lain yang terkait, penanggulan jalan napas
secepatnya serta mengatasi syok. Pemeriksaan fisik secara sistematis akan membantu
menegakkan diagnosis yang tepat.
Fraktur muka dibagi atas fraktur pada organ yang terjadi yaitu:
1. Fraktur tulang hidung
2. fraktur tulang zigoma atau arcus zigoma
3. fraktur tulang maksila (mid facial)
4. fraktur tulang orbita
5. fraktur tulang mandibula
I.

Fraktur Tulang Hidung


Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur
hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian
dalam dengan rinoskopi anterior, untuk melihat adanya pembengkakan mukosa
hidung, bekua darah dan kemungkianan ada robekan pada mukosa septum,
hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasar posisi
water dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk melihat
fraktur hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lainnya.
Fraktur Hidung Sederana
Jika hanya fraktur tulang hidung saja, dapat dilakuka reposis fraktur
tersebut dalam analgesia lokal. Akan teteapi pada anak-anak atau orang dewasa

yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan anastesi umum.


Analgia lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidocain 1-2% yang
dicampur dengan epinefrin 1 : 1000%\
Tampon kapas yang berisi analgesia lokal ini dapat dipasang masingmasing 3 buah pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakkan pada
meatus superior tepat dibawah tulang hidung, tampon kedua diletakkan antara
konka media dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat
foramen sfenopalatina, tampon ketiga ditempatkan diantara konka inferior dan
septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10 menit. Kadangkadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray beberapa
kali, melalui rinoskopi anterior untuk mempeoleh efek anastesi dan efek
vasokonstriksi yang baik.
Teknik reduksi tertutup pada fraktur tulang hidung
Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat memberikan hasil yang
sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika reduksi tidak
sempurna, fraktur tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal.
Tindakan reduksi ini dilakukan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu
tersebut edema yang terjadi mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakana
reduksi secara lokal masih dapat dilaukan sampai 14 hari sesudah trauma.
Sesudah waktu tersebut, tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah
terjadi kalsifikasi sehingga harus dilakukan tindakan rinoplasti osteotomi.
Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi adalah:
1. elevator tumpul yang lurus ( Boies Nasal Frakture Elevator)
2. Cunam Asch
3. Cunam Walsham
4. Spekulum hidung pendek dan panjang (Killian)
5. Pinset bayonet
Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur, dapat direposisi dengan tindakan
yang sederhana. Reposisi dilakukan dengan bantuan Cunam Walsham. Pada
penggunaan Cunam Walsham ini satu sisinya dimasukan dalam kavum nasi, sedang
sisis lainnya diluar hidung diatas kulit yang dlindungi dengan karet. Tindakan
manipulasi dilakukan dengan kontrol palpasi jari.

Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang hidung, cunam
Asch digunakan dengan cara memasukkan masing-masing bilah (blade) kedalam
kedua rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah
fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan tampon
didalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambahkan dengan
antibiotika.
Perdarahan yang timbul selama perdarahan akan berhenti, sesudah
pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan dengan
menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti huruf T dan dipertahankan
hingga 10-14 hari.
Fraktur tulang hidung terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perunbahan tempat dari tulang
hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga
hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari rongga hidung diusahakan untuk
diperbaiki atau dikonstruksi pada saat tindakan.
Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks
Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan
menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan frontal.
Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila dan prosesus
nasalis os frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua bola mata akan
terdorong kebelakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan fraktur
nasoorbita. Fraktur ini dapat menimbulkan komplikasi atau sekuele dikemudian hari.
Komplikasi yang terjadi tersebut adalah:
a. Komplikasi neurologik
1. robeknya duramater
2. keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbunya meningitis
3. pneumoensefal
4. laserasi otak
5. avulsi dan nervus olfaktorius
6. hematoma epidural atau subdural
7. kontusio otak dan nekrosis jaringan otak

b. Komplikasi pada mata


1. telekantus traumatika
2. hamatoma pada mata
3. kerusakan nervus optikus yang mungkin menyebabkan kebutaan
4. epifora
5. ptosis
6. kerusakan bola mata
7. dan lain-lain
c. Kmplikasi pada hidung
1. perubahan bentuk hidung
2. obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur, dislokasi atau
hematoma pada septum
3. Gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia)
4. epistaksis posterior yang hebat yang disebabkan karena robeknya arteri
etmoidalis
5. kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontal atau
mukokel
Pada keadaan terjadinya trauma hidung seperti tersebut diatas, jika terdapat
kehilangan kesadaran mungkin terjadi kerusakan pada susunan saraf otak
sehingga memerlukan bantuan dari seorang ahli bedah saraf otak. Konsultasi
kepada seorang ahli mata diperlukan untuk mengevaluasi kemungkinan
terdapatnya kelainan pada mata. Pemeriksaan radiologok berupa CT Scan (axial
dan koronal) diperlukan pada kasus ini.
Kavum nasi dan lasernasi harus dibersihkan dan diperiksa kemungkinan
terjadinya fistula cairan serebro spinal. Intergritas tendon kantus media harus
dievaluasi, untuk ini diperlukan konsultasi dengan ahli mata. Klasifikasi
nasoorbitoetmoid kompleks tipe I mengenai satu sisi noncomminuted fragmen
sentral tanpa robeknya tendo kantus media. Tipe II, mengenai fragmen sentral
tanpa robeknya tendo kantus media. Tipe III mengenai kerusakan fragmen sentral
berat dengan robeknya tendo kantus media.
Seorang ahli bedah maksilofasial harus mengenal organ yang rusak pada
daerah tersebut untuk melakukan tindakan rekonstruksi dengancara menyambung
tulang yang patah sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan. Fraktur

nasoorbitoetmoid kompleks ini sering kali tidak dapat diperbaiki dengan cara
sederhana menggunakan tampon hidung atau fiksasi dari luar. Apabila terjadi
kerusukaan duktus nasolakrimalis akan menyebabkan air mata selalu keluar.
Tindakan ini memerlukan tindakan yang lebih hati-hati dan teliti. Rekonstruksi
dilakukan dengan menggunakan kawat (stainles steel) atau plate & screw. Pada
fraktur tersebut diatas, dilakukan tindakan rekonstruksi kantus media seperti yang
sudah disampaikan oleh Concers Smith tahun 1966.
II.

Fraktur Tulang Zigoma dan Arcus Zigoma

Fraktur zigoma
Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang
temporal, tlang frontal, tulnag sfenoid dan tulang maksila. Bagian-bagian dari tulang
yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolan pada pipi dibawah mata
sedikit kearah lateral. Fraktur zigoma inoi agak berbeda dengan fraktur tripod atau
trimalar.
Gejala fraktur zigoma antara lan adalah:
1. pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kolateral atau sebelum
trauma)
2. diplopia atau terbatasnya gerakan bola mata
3. edema periorbita dan ekimosis
4. perdarahan subkonjungtiva
5. enoftalmos (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
6. ptosis
7. terdapatnya hipestesia atau anastesia karena kerusakan saraf infra-orbitalis
8. terbatasnya gerakan mandibula
9. emfisema subkutis
10. epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum
Penanggulangan fraktur tulang zigoma
Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukkan kelainan. Trauma dari
depan yang langsung merusak pipi (tulang zigoma) menyebabkan perubahan tempat
dari tulang zigoma tersebut kearah posterior, kearah medial atau kearah lateral.
Fraktur ini tidak mengubah posisi dari rima orbita inferior kearah atas atau kearah

bawah. Perubahan posisi dari orbita tersebut menyebaban gangguan pada bola mata.
Reduksi dari fraktur zigoma ini difiksai dengan kawat baja atau mini plate.
Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite)
Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis.
Dilakukan sayatan kecil pada mukosa bukal dibelakang tuberositas maksila. Elevator
melengkung dimasukkan dibelakang tuberositas tersebut dan sedikit tekanan tulang
zigoma yang fraktur dikembalikan kepada tempatnya. Cara reduksi ini mudah
dikerjan dan memberikan hasil yang baik.
Reduksi terbuka dari tulang zigoma
Tulang zigoma yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari Kirschner
harus ditanggulangi dengan cara reduksi terbuka dengan menggunakan kawat atau
mini plate. Laserasi yang timbul diatas zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk
melakukan insisi permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima
orbita inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di bawah
palbebra inferior untuk mencapai fraktur disekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini
harus dikerjakan hati-hati karena dapat merusak bola mata.
Fraktur arcus zigoma
Fraktur arcus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa
nyeri pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini
timbul karena terdapat perubahan letak arcus zigoma terhadap prosesus koronoid atau
otot temporal. Fraktur arcus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan
mudah dikelnal dengan palpasi.
Reduksi fraktur arcus zigoma
Terdapatnya fraktur zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat dari arcus
dapat ditanggulangi dengan elevasi arcus zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini
kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya dipasang kawat baja atau mini
plate pada arcus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan
diatas arcus zigoma, diteruskan kebawah sampai kebagian zigoma di preaurikuler.
Tindakan reduksi didaerah ini dapat merusak cabang frontal dari nervus fasialis,
sehingga harus dilakukan tindakan proteksi.

III. Fraktur Tulang Maksila


Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek komestik yang baik. Tujuan ptindakan
penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup
mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan
juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi.
Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga mungkin
dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris
interna atau arteri etmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur maksila dan harus
segera diatasi. Jika tidak berhasil, dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau
arteri karotis eksterna atau arteri etmoidalis anterior.
Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila
biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat hebat atau
terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan jika pasien datang
terlambat atau kerusakan hebat yang disertai fraktur servikal atau terdapatnya
kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa
dan dilakukan fiksasi.
Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa:
1. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi
2. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan
pemasangan kawat baja atau mini plate
3. fiksasi dengan pin
Klasifikasi Fraktur Maksila
Mathog menggunakan pembagian klasifikasi fraktur maksila Le Fort dala 3
katagori yaitu fraktur Le Fort I, II, III dan masih dipakai sampai sekarang. Klasifikasi
ini dimodifikasi dengan tambahan pembagian fraktur palatal split dan maksila media.

Fraktur maksila Le Fort I


Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah
antara maksila dan palatum/arkus alveolar kompleks. Garis fraktur berjalan
kebelakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral.
Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah yang
dapat mengenai
1. nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal buttress
2. bagian bawah lamina pterigoid
3. anterolateral maksila
4. palatum durum
5. dasar hidung
6. septum
7. apertura piriformis
Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan
dengan jari pada saat palpasi. Garis fraktur yang mengarah vertikal, yang biasanya
terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian.
Fraktur maksila Le Fort II
Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui lubang hidung dan
diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infra orbita dan menyebrang
kebagian atas dari sinus maksila juga kearah lamina pterigoid sampai kefosa
pterigopalatina.. Fraktur pada lamina kribiformis dan atap sel etmoid dapat merusak
sistem lakrimalis.
Fraktur maksila Le Fort III
Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang
memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang cranial. Garis fraktur bejalan
melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid (ethmoid junction)
melalui fisura orbitalis superior melintang kearah dinding lateral ke orbita, sutura
zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya
bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini
sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan
otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribiformis.

Sistem klasifikasi yang baru menggunakan sistem penyangga tulang muka


vertikal dan horizontal yang pada kepustakaan disebut vertical buttresses dan
horizontal beams. Penyangga vertikal muka terdiri dari zigomatiko-maksila (lateral),
nasomaksila (medial) dan pterigomaksila (posterior). Horizontal beams adalah
aleolus, dasar orbita dan rim orbita dan supraorbita.

Penanggualngan
Penanggulangan fraktur maksila (mid facial fracture) sangat ditekankan agar
rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter-maksilar
sehingga oklusi gigi menjadi sempurna. Pada tindakan ini banyak digunakan kawat
baja atau mini plate sesuai garis fraktur.
IV. Fraktur Tulang Orbita
Fraktur maskila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita
terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Akhir-akhir ini fraktur
tulang orbita dan fraktur maksila sangat sering terjadi akibat ketidak hati-hatian di
dalam mengendarai kendaraan. Penggunaan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan
yang sesuai, tidak minum alkohol atau obat yang mengganggu kesadaran sangat
penting untuk dihindarkan.
Fraktur orbita ini memberikan gejala-gejala:
1. enoftalmos
2. exoftalmos
3. diplopia
Ketiga kelainan bentuk mata tersebut harus diperiksa dengan teliti dan
dilakukan rekonstruksi dari tulang yang fraktur. Hal ini biasanya dilakukan
oleh dokter spesialis mata.
4. asimetri pada muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan blowout fracture dari
dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi
pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.
5. gangguan saraf sensoris

hipestesia dan anastesi dari saraf sensoris nervus infra orbitalis berhubungan
erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul
klainan ini, sangat mungkin telah mengenai kanalis infra orbitalis. Selanjutnya
gangguan fungsi nervus orbita sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya
kerusakan pada rimaorbita. Bila timbul anastesia untuk waktu yang lama harus
dilakukan eksplorasi dan dekompresi nevus infra orbitalis.
V.

Fraktur Tulang Mandibula

Você também pode gostar