Você está na página 1de 13

Analisis Protein dalam Penentuan Kadar dan Struktur

Nadira Putri Pinasthika

1306370814

Teknologi Bioproses

ABSTRAK
Perkembangan zaman membuat manusia harus berpikir teliti dan spesifik dalam menghadapi
masalah. Salah satunya dalam menghadapi kasus kriminal, dimana mulai tahun 90-an teknologi
sidik jari pun mulai diperkenalkan. Sidik jari yang ditinggalkan mengandung residu-residu kulit yang
mengandung protein. Oleh karena itu lah, analisis protein penting untuk dipelajari.
Analisis protein terbagi menjadi dua jenis yaitu kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan
untuk mengetahui struktur protein, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui
kadar protein dalam suatu sampel. Analisis protein secara kualitatif terdiri atas reaksi Xantoprotein,
reaksi Hopkins-Cole, reaksi Millon, reaksi ninhidrin, dan reaksi Sakaguchi. Sedangkan analisis
protein secara kuantitatif terdiri dari metode Kjeldahl, metode titrasi formol, metode Lowry, metode
spektrofotometri visible (Biuret), metode Bradford, dan metode spektrofotometri UV (Poedjiadi,
2007).

PEMBAHASAN
Protein adalah salah satu bio-makromolekul yang pentingperananya dalam makhluk hidup. Fungsi
dari protein itu sendiri secaragaris besar dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu sebagai
bahan struktural dan sebagai mesin yang bekerja pada tingkat molekular. Beberapa protein
makanan merupakan enzim yang mampi meningkatkan laju reaksi biokimia tertentu, baik yang
menguntungkan maupun yang merugikan merusak. Di dalam analisis makanan, mengetahui kadar
total, jenis, struktur molekul dan sifat fungsional dari protein sangat penting.
1. Analisis Kualitatif
a. Reaksi Xantoprotein
Uji Xantoproteat merupakan uji untuk menunjukan adanya inti benzene(cincin fenil)
pada suatu sampel protein. Dalam uji Xantoproteat, inti benzeneakan ternitrasi oleh asam
nitrat pekat membentuk turunan nitrobenzene berwarnakuning tua. Pada suasana basa
(ditambahkan larutan basa), Uji Xantoproteat akan mengubah kompleks warna kuning tua
pada sampel menjadi warna orange. Dalam percobaan, semua sampel menghasilkan uji
yang positif terhadap reagenxantropoteat yang ditandai dengan terbentuknya kompleks
berwarna kuningtua/kuning muda ketika berada dalam suasana asam (ditambahkan HNO 3)
danterbentuk kompleks berwarna jingga/kuning ketika berada dalam suasana
basa(ditambahkan NaOH) (Poedjiadi 2007). Fungsi penambahan HNO3 adalah sebagai
penyebab terjadinya reaksi nitrasi karena inti benzena dari asam amino akan bereaksi
dengan HNO3 dan menghasilkan campuran berwarna kuning (Girindra 1986).

Prosedur dan observasi:

Ke dalam 2 ml larutan sampel pada tabung reaksi, tambahkan 2 tetes asam nitrat
pekat
Endapan putih akan terbentuk selagi dipanaskan di dalam air yang sedang
dididihkan, larutan akan berubah menjadi kuning jika positif terdapat tirosin dan
jingga jika positif terdapat triptopan.

b. Reaksi Hopkins-Cole
Uji Hopkins-Cole digunakan untuk menunjukan inti indol asam aminotriptofan yang
ditandai
dengan
terbentuknya
cincin
berwarna
ungu
pada
sampel percobaan. Pereaksi Hopkins-Cole mengandung asam glioksilat. Pereaksi
ini
dibuat dari asam oksalat dengan serbuk magnesium dalam air. Prinsip uji Hopkins-Cole
adalah kondensasi inti indol dengan aldehid jika terdapat asam kuatyang menyebabkan
terbentuknya cincin ungu pada bidang batas. Reaksi tersebuthanya akan berhasil jika ada
oksidator kuat, seperti senyawa H2SO4 yangdigunakan pada percobaan ini. Fungsi
penambahan asam sulfat ini adalah sebagaioksidator agar terbentuk cincin ungu pada
larutan sampel (Poedjiadi 2007).

Prosedur dan observasi:


Tambahkan 1 ml reagen Hopkins-Cole ke dalam 1 ml larutan sampel pada tabung
reaksi, kemudian aduk hingga rata.
Miringkan tabung reaksi dan tambahkan 1 ml H2SO4 pekat melewati dinding dalam
tabung secara perlahan hingga membentuk 2 lapisan
Letakkan tabung reaksi ke dalam air yang sedang dididihkan selama 2 menit.
Cincin ungu kemerahan akan muncul pada perbatasan antara 2 lapisan dengan
albumin dan kasein. Jika terbentuk gelatin maka hasilnya negatif.

c. Reaksi Millon
Uji Millon digunakan untuk mengidentifikasi protein yang mengandung tirosin dalam
suatu sampel yang ditandai dengan terbentuknya kompleks berwarnamerah pada sampel
protein. Tirosin merupakan asam amino yang mengandunggugus fenol pada rantai
samping-nya (gugus R-nya). Gugus fenol pada tirosin ini akan ternitrasi membentuk garam
merkuri dengan pereaksi millon yangakan membentuk kompleks berwarna merah
(Poedjiadi 2007).

Pereaksi Millon adalah senyawa merkuro dan merkuri nitrat dalam larutan asam nitrat.
Apabila pereaksi ini ditambahkan pada larutan protein, akan menghasilkan endapan putih
yang dapat berubah menjadi merah oleh pemanasan. Pada dasarnya reaksi ini positif
untuk fenol-fenol, karena terbentuknya senyawa merkuri dengan gugus hidroksifenil yang
berwarna. Tetapi khusus untuk proteoso dan pepton secara langsung akan menghasilkan
larutan yangberwarna merah. Endapan yang terbentuk berupa garam kompleks dari tirosin
yang ternitrasi.Jika larutan protein yang akan dianalisis ada dalam suasana basa, maka
terlebih dahulu harusdinetralisasi dengan asam (bukan HCl). Jika tidak, ion merkuri dari
pereaksi akan mengendap sebagai Hg(OH)2. Ion Cl- dapat bereaksi dengan asam nitrat
menghasilkan radikal klor yang dapat merusak kompleks berwarna.

Prosedur dan observasi:


Ke dalam 2 ml larutan sampel pada tabung reaksi, tambahkan 3 tetes reagen Millon
Aduk merata dan panaskan langsung di atas api kecil
Jika sampel positif, maka akan terbentuk endapan putih dengan albumin dan
kasein, dan lambat laun akan berubah warna menjadi merah bata.

d. Reaksi Ninhidrin
Uji Ninhidrin digunakan untuk identifikasi asam amino bebas yang terdapat dalam
sampel. Asam amino bebas adalah asam amino yang gugusaminonya tidak terikat
(Robinson 1995). Ninhidrin adalah reagen yang bergunauntuk mendeteksi asam amino dan
menetapkan konsentrasinya dalam larutan.Senyawa ini merupakan hidrat dari triketon siklik
dan bila bereaksi dengan asamamino akan menghasilkan zat warna ungu. Hanya atom
nitrogen dari zat warnaungu yang berasal dari asam amino, selebihnya terkonversi menjadi
aldehid dankarbondioksida. Jadi, zat warna ungu yang sama dihasilkan dari semua asam
amino dengan gugus amino primer dan intensitas warnanya berbanding lurus dengan
konsentrasi asam amino yang ada (Hart 2003).

Prosedur dan observasi:

Ke dalam 1 ml larutan sampel pada tabung reaksi, tambahkan 1 tetes ninhidrin


Letakkan tabung reaksi ke dalam air yang sedang dididihkan dan amati, jika sampel
positif, maka akan terdapat perubahan warna menjadi ungu

e. Reaksi Sakaguchi
Uji Sakaguchi adalah uji kimia yang digunakan untuk mendeteksi asam amino arginin.
Arginin memiliki kelompok-R-propil (3 metil) dengan gugus guanidin di ujungnya. Gugus
guanidin merupakan atom C yang mengikat N2 dengan ikatan tunggal dan mengikat N
dengan ikatan ganda. Gugus guanidin akan bereaksi dalam uji sakaguchi. Dalam kondisi
basa, alpha naphtol akan bereaksi dengan gugus guanidin dalam arginin yang telah
teroksidasi sodium hipoklorit, menghasilkan senyawa berwarna merah. Apabila protein
yang diuji dengan tes sakaguchi menunjukkan perubahan warna merah berarti dalam
protein tersebut terdapat arginin.

Bahan dan pereaksi:

NaOH 10%
Sodium hipoklorit (NaClO)
Alpha naphtol (1% dalam alkohol)
Larutan sampel
Langkah kerja:

Masukkan 2 ml bahan yang akan diuji ke dalam tabung reaksi.


Tambahkan beberapa tetes NaOH.
Tambahkan dua tetes alpha naphtol.
Tambahkan 5 tetes sodium hipoclorit.
Amati perubahan warna yang terjadi.
Catatan:
Sodium hipoklorit dapat diganti dengan agen pengoksidasi lain seperti larutan bromin
(beberapa tetes bromin dalam 100 ml air).
f.

Western Blotting
Western Blot (WB) merupakan suatu teknik untuk menandai suatu protein pada
membran nitroselulosa, nilon, atau membran transfer lain setelah protein tersebut
terpisahkan melalui elektroforesis. Protein tersebut kemudian dapat dideteksi melalui
metode autoradiografi, pelabelan dengan senyawa-senyawa fluoresen, pelabelan
dengan 125I, pelabelan dengan antibodi terikat protein, lektin atau gen pengikat spesifik
lainnya (Attwood et al., 2006).

Berdasarkan pengertian tersebut, WB dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap


pertama, elektroforesis. Tahap kedua, elektrotransfer. Tahap ketiga, deteksi (Gambar 1)
(Kindt et al., 2007).

Pada tahap pertama, protein yang diinginkan dipisahkan dari sampel secara
elektroforesis. Elektroforesis merupakan pemisahan protein berdasarkan ukuran molekul
dalam suatu tegangan listrik tertentu. Dalam elektroforesis, biasanya sampel yang
mengandung protein biasanya dicampur dengan SDS. SDS merupakan suatu detergen
yang memiliki muatan negatif. Muatan negatif SDS tersebut mengganggu kestabilan
protein, sehingga protein mengalami denaturasi. Interaksi ionik, jembatan disulfida, ikatan
hidrogen yang menyebabkan suatu protein mengalami folding untuk menjaga
kestabilannya menjadi terganggu akibat adanya SDS. Suatu protein multimer juga akan
terurai menjadi monomer penyusunnya. Akibatnya, protein-protein yang ada dalam sampel
membentuk suatu rantai polipeptida lurus. Semakin besar berat molekul suatu protein,
maka rantai polipeptida tersebut semakin panjang. Sampel dengan protein rantai
polipeptida lurus tersebut dimasukkan dalam suatu membran poliakrilamid yang dialiri arus
listrik. Protein yang telah bermuatan negatif akan bergerak dari kutub negatif menuju kutub
positif. Laju pergerakan protein dalam membran poliakrilamid tersebut berbeda-beda
tergantung pada daya hambat antara protein dan membran. Protein yang berukuran lebih
besar akan memiliki daya hambat lebih besar sehingga pergerakannya menjadi lebih
lambat dibandingkan dengan pergerakan protein yang berukuran lebih kecil. Setelah dialiri
arus listrik selama beberapa waktu, masing-masing protein akan terpisah berdasarkan
ukuran molekulnya. Protein yang lebih kecil atau memiliki berat molekul rendah akan
bergerak lebih jauh dibanding protein yang lebih besar. Dalam gel poliakrilamid tersebut
akan terbentuk pita-pita yang merupakan protein-protein yang telah terpisah berdasarkan
berat molekul (Gambar 2) (Koolman dan Roehm, 2005).

Tahap kedua dalam WB yaitu pemindahan protein dari gel poliakrilamid menuju gel
transfer. Tahap pemindahan tersebut menggunakan arus listrik sebagai faktor pendorong
transfer protein. Oleh karena itu, proses pemindahan tersebut disebut juga elektrotransfer.
Elektrotransfer dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu (Bollag et al., 1996):
1. Blotting semikering
Blotting semikering menggunakan kertas saring yang telah dibasahi dengan buffer
transfer. Kertas saring tersebut diletakkan di antara gel poliakrilamid dan gel transfer.
Transfer seperti ini dapat dilakukan selama 10-30 menit dengan arus lstrik tertentu.
2. Blotting basah
Blotting basah tidak menggunakan kertas saring diantara gel poliakrilamid dan gel
transfer, tetapi kedua gel tersebut diimpitkan dan direndam dalam buffer transfer. Susunan
lapisan-lapisan pada blotting basah diperlihatkan pada Gambar 3 (Wenk dan Fernandis,
2007). Transfer dengan blotting basah dapat dilakukan 45 menit hingga 1 malam. Metode
blotting basah lebih umum digunakan karena fleksibilitas metode tersebut yang lebih baik.
Tahap ketiga merupakan deteksi protein yang telah dipindahkan ke membran transfer.
Deteksi protein tersebut memanfaatkan interaksi antara antigen dan antibodi yang bersifat
spesifik. Variasi metode-metode tersebut terutama terletak pada penggunaan antibodi
primer dan sekunder, serta penggunaan molekul penanda. Berdasarkan penggunaan
antibodi primer dan antibodi sekunder, ada dua metode deteksi, yaitu: metode langsung
dan metode tidak langsung. Metode langsung menggunakan antibodi primer yang telah
terkonjugasi dengan molekul marker. Metode tidak langsung menggunakan antibodi primer
dan antibodi sekunder. Antibodi primer berfunsi mengikat protein target, sedangkan
antibodi sekunder berfungsi mengikat antibodi primer dan terkonjugasi dengan molekul
penanda. Molekul penanda yang digunakan juga bervariasi. Molekul penanda yang umum
digunakan diantaranya adalah enzim alkalin fosfatase (AP), enzim horsedish peroksidase
(HRP), immunogold, dan 125I. Masing-masing molekul penanda tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan. Molekul penanda immunogold memiliki sensitifitas paling tinggi, yaitu
immunogold (1-25 pg). HRP, AP dan 125I memiliki sensitivitas relatif rendah yaitu 10-20 pg,
10-50 pg, dan 50-100 pg (Bollag et al., 1996).
2. Analisis Kuantitatif
a. Metode Kjeldahl
Metode ini merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total pada
asam amino, protein, dan senyawa yang mengandung nitrogen. Prinsip metode Kjeldahl
adalah mula mula bahan didekstruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis
selenium oksiklorida atau butiran Zn. Ammonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan
bantuan indikator. Metode Kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu

cara makro dan semimikro. Cara makro Kjeldahl digunakan untuk sampel yang sukar
dihomogenisasi dan besarnya 1 3 gram, sedangkan semimikro Kjeldahl dirancang untuk
sampel yang berukuran kecil, yaitu kurang dari 300 mg dari bahan yang homogen (Maria
Bintang, 2010).
1. Tahap Destruksi
Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi
destruksi menjadi unsur unsurnya.Elemen karbon, hydrogen teroksidai menjadi CO,
CO2 dan H2O. Sedangkan nitrogennya ( N ) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Untuk
mempercepat proses dekstruksi sering ditambahkan katalisator selenium. Dengan
penambahan bahan katlisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga
destruksi berjalan lebih cepat. Suhu destruksi berkisar antara 370 4100 C. Proses
destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna lagi.

2. Tahap Destilasi
Pada tahap destilasi ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan
penambahan NaOH sampai
alkalis
dan
dipanaskan.
Ammonia yang dibebaskan
selanjutnya
ditangkap
oleh
larutan asam standar. Asam
standar yang dipakai adalah
asam borat 3 % dalam jumlah
yang
berlebihan.
Untuk
mengetahui
asam
dalam
keadaan berlebihan maka diberi
indikator misalnya BCG + MR
dan atau PP. Destilasi diakhiri
bila sudah semua ammonia
terdestilasi dengan ditandai
destilat tidak bereaksi basis.
3. Tahap Titrasi
Banyaknya asam borat yang
bereaksi
dengan
ammonia
dapat diketahui dengan titrasi
menggunakan asam klorida 0,1 N % N = ( ) ()
1000 x N HCl x 14,008 x 100 % Setelah diperoleh % N selanjutnya dihitung kadar
proteinnya dengan mengalikan suatu faktor : % P = % N x faktor konversi ( Slamet
Sudarmadji, 1989 ).
b. Metode Titrasi Formol
Titrasi formol asam amino pada dasarnya merupakan suatu titrasi sama basa, dimana
penambahan formaldehid pada asam amino dimaksudkan agar pH buffer gugus amino
lebihrendah dari pH asalnya, sehingga gugus amino dapat dititrasi secara kuantitatif
dengan titik akhir titrasi ditunjukkan munculnya perubahan warna dari indikator.

Prinsip dasar dari sistem titrasi formol yang digunakan adalah terjadinya suatu
kesetimbangan antara asam dan basa. Sistem titrasi ini melibatkan reaksi formaldehid
dengan gugus amino (-NH2) melalui pembentukan senyawa monometilol dan dimetilol.
Formaldehid tidak akan bereaksi dengan gugus amino yang bermuatan (-NH3 + ) sehingga
pengaruh penambahannya akan tampak pada pergeseran pH gugus amino yang menjadi
lebih rendah. Oleh sebab itu jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan peningkatan
keasaman ini akan berbanding lurus dengan jumlah terukur gugus amino bebas yang
terbentuk. Walaupun demikian tiap molekul peptida maupun asam amino memiliki daya
reaksi baik dengan asam maupun basa yang bervariasi tergantung pada letak dan jumlah
gugus amino serta karboksilnya (Winarno 1980).
c. Metode Lowry
Metode Lowry mengkombinasikan pereaksi biuret dengan pereaksi lain (FolinCiocalteau phenol) yang bereaksi dengan residu tyrosine dan tryptophan dalam protein. Re
aksi inimenghasilkan warna kebiruan yang bisa dibaca di antara 500 - 750 nm,
tergantungsensitivitas yang dibutuhkan. Akan muncul puncak kecil di sekitar 500 nm yang
dapatdigunakan untuk menentukan protein dengan konsentrasi tinggi dan sebuah puncak
besar disekitar 750 nm yang dapat digunakan untuk menentukan kadar protein dengan
konsentrasirendah. Metode ini lebih sensitif untuk protein dengan konsentrasi rendah
dibanding metode biuret.
Prosedur :
Pembuatan reagen Lowry A : Merupakan larutan asam fosfotungstat-asam fosfomolibdat
dengan perbandingan (1 : 1)
Pembuatan reagen Lowry B :
Campurkan 2% natrium karbonat dalam 100 ml natrium hidroksida 0,1N.
Tambahkan ke dalam larutan tersebut 1 ml tembaga (II) sulfat 1% dan 1 ml kalium
natrium tartrat 2%.
Penetapan Kadar
a. Pembuatan kurva baku
Siapkan larutan bovin serum albumin dengan konsentrasi 300 g/ml (Li). Buat seri
konsentrasi dalam tabung reaksi, misal dengan komposisi berikut :

No Tabung
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Li (L)
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900

Aquades
1000
900
800
700
600
500
400
300
200
100

Tambahkan ke dalam masing-masing tabung 8 ml reagen Lowry B dan biarkan


selama 10 menit, kemudian tambahkan 1 ml reagen Lowry A. Kocok dan biarkan
selama 20 menit. Baca absorbansinya pada panjang gelombang 600 nm tehadap
blanko. (Sebagai blanko adalah tabung reaksi no.1 pada tabel di atas)
b. Penyiapan Sampel
Ambil sejumlah tertentu sampel protein yang terlarut misal albumin, endapkan
dahulu dengan penambahan amonium sulfat kristal (jumlahnya tergantung dari jenis
proteinnya, kalau perlu sampai mendekati kejenuhan amonium sulfat dalam larutan).
Pisahkan protein yang mengendap dengan sentrifus 11.000 rpm selama 10 menit,
pisahkan supernatannya. Presipitat yang merupakan proteinnya kemudian dilarutkan
kembali dengan dapar asam asetat pH 5 misal sampai 10,0 ml. Ambil volume tertentu
dan lakukan penetapan selanjutnya seperti pada kurva baku mulai dari penambahan 8
ml reagen Lowry A sampai seterusnya.
d. Metode Biuret (Spektrofotometri Visible)
Reaksi biuret terdiri dari campuran protein dengan sodium hidroksida (berupa larutan)
dan tembaga sulfat. Warna violet akan terbentuk bila ion cupri (Cu 2+) berinteraksi dengan
ikatan peptida dalamsuasana basa. Reagen biuret, yang mengandung semua bahan kimia
yang diperlukan untukanalisis sudah tersedia di pasaran. Reagen ini dicampurkan dengan
larutan protein, didiamkan 15-30 menit, kemudian diukur serapannya pada 540
nm.Keuntungan utama dari teknik ini adalah tidak adanya gangguan dari senyawa
yangmenyerap pada panjang gelombang yang lebih rendah. Teknik ini kurang sensitif
terhadap jenis protein karena absorpsi yang terjadi melibatkan ikatan peptida yang ada di s
emua protein, bukan pada gugus samping spesifik.
Prosedur :
Pembuatan reagen Biuret : Larutkan 150 mg tembaga (II) sulfat (CuSO4. 5H2O) dan
kalium natrium tartrat (KNaC4H4O6. 4H2O) dalam 50 ml aquades dalam labu takar 100 ml.
Kemudian tambahkan 30 ml natrium hidroksida 10% sambil dikocok-kocok, selanjutnya
tambahkan aquades sampai garis tanda.
Pembuatan larutan induk bovin serum albumin (BSA): Ditimbang 500 mg bovin serum
albumin dilarutkan dalam aquades sampai 10,0 ml sehingga kadar larutan induk 5,0% (Li).
Penetapan kadar (Metode Biuret) :
a. Pembuatan kurva baku : Dalam kuvet dimasukkan larutan induk, reagen Biuret dan
aquades misal dengan komposisi sebagai berikut:

Setelah tepat 10 menit serapan dibaca pada 550 nm terhadap blanko yang terdiri dari
800 L reagen Biuret dan 200 L aquades.
b. Persiapan sampel : Ambil sejumlah tertentu sampel protein yang terlarut misal albumin,
endapkan dahulu dengan penambahan amonium sulfat kristal (jumlahnya tergantung
dari jenis proteinnya, kalau perlu sampai mendekati kejenuhan amonium sulfat dalam
larutan). Pisahkan protein yang mengendap dengan sentrifus 11.000 rpm selama 10
menit, pisahkan supernatannya. Presipitat yang merupakan proteinnya kemudian
dilarutkan kembali dengan dapar asam asetat pH 5 misal sampai 10,0 ml. Ambil
sejumlah L larutan tersebut secara kuantitatif kemudian tambahkan reagen Biuret dan
jika perlu tambah dengan dapar asetat pH 5 untuk pengukuran kuantitatif. Setelah 10
menit dari penambahan reagen Biuret, baca absorbansinya pada panjang gelombang
550 nm terhadap blanko yang berisi reagen Biuret dan dapar asetat pH 5. Perhatikan
adanya faktor pengenceran dan absorban sampel sedapat mungkin harus masuk
dalam kisaran absorban kurva baku.

e. Metode Spektrofotometri UV
Asam amino penyusun protein diantaranya adalah triptofan, tirosin dan fenilalanin yang
mempunyai gugus aromatik. Triptofan mempunyai absorbsi maksimum pada 280 nm,
sedang untuk tirosin mempunyai absorbsi maksimum pada 278 nm. Fenilalanin menyerap
sinar kurang kuat dan pada panjang gelombang lebih pendek. Absorpsi sinar pada 280 nm
dapat digunakan untuk estimasi konsentrasi protein dalam larutan. Supaya hasilnya lebih
teliti perlu dikoreksi kemungkinan adanya asam nukleat dengan pengukuran absorpsi pada
260 nm. Pengukuran pada 260 nm untuk melihat kemungkinan kontaminasi oleh asam
nukleat. Rasio absorpsi 280/260 menentukan faktor koreksi yang ada dalam suatu tabel.
Kadar protein mg/ml = A280 x faktor koreksi x pengenceran

f.

Metode Bradford

Salah satu prosedur analisa kandungan protein dalam larutan adalah


menggunakan metode Bradford yang pertama kali dideskripsikan oleh Bradford (Bradford

et al., 1976). Metode ini lebih simple, lebih cepat dan lebih sensitif dibanding metode Lowry,
selain itu Bradford juga lebih tahan terhadap interferensi senyawaan nonprotein.
Metode Bradford didasarkan pada pengikatan zat warna Coomassie Blue G-250 ke
protein, dimana zat warna ini memiliki empat formasi ion berbeda dengan nilai pKa 1.15,
1.82 dan 12.4. Bentuk kationik zat warna ini berwarna merah dan hijau dengan panjang
gelombang serapan (absorbansi) maksimum pada 470 dan 650 nm. Sedangkan bentuk
anioniknya berwarna biru dengan absorbansi maksimum 590 nm. Pengukuran proteinnya
sendiri dilakukan dengan menentukan jumlah zat warna dalam bentuk anionik (biru), dan
biasanya hal ini dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan pada 595 nm.
Zat warna Coomassie Blue G-250 bereaksi cepat dengan residu arginil dan lysil dari
protein, sehingga hal ini menyebabkan adanya variasi hasil pengukuran untuk jenis protein
yang berbeda-beda. Protein dengan residu arginil dan lysil yang lebih banyak tentu akan
menghasilkan warna biru yang lebih intens dibanding protein yang residu arginil dan
lysilnya lebih sedikit meskipun jumlah proteinnya sama. Namun secara umum metode
Bradford masih merupakan metode yang paling sesuai dan paling umum digunakan.
Ada dua jenis assay protein dengan metode Bradford, yaitu Standard Assay cocok
untuk pengukuran kadar protein antara 10 sampai 100 g dan Microassay yang dapat
mendeteksi antara 1 sampai 10 g protein. Konsekuensinya microassay lebih rentan
terhadap interferensi senyawaan nonprotein.
Material yang digunakan:
Pereaksi (Reagent)
Pereaksi yang digunakan dibuat dengan melarutkan 100 mg Coomassie Blue G-250
dalam 50 ml ethanol 95%. Larutan ini kemudian dicampurkan dengan 100 ml asam fosfat
85% dan diencerkan sampai volume 1 L dengan aquadest. Pereaksi ini harus difilter
dengan kertas saring Whatman no. 1 dan disimpan dalam botol amber (gelap) di suhu
ruang. Pereaksi ini stabil hingga beberapa minggu, namun jika terbentuk endapan ketika
penyimpanan, maka harus difilter lagi saat hendak digunakan.
Standar Protein
Bovine -globulin dengan konsentrasi 1 mg/ml (atau 100 g/ml untuk microassay)
digunakan sebagai larutan stok (disimpan beku pada suhu -20oC). Konsentrasi protein
larutan standard harus diukur sebelum digunakan dengan mengukur absorbansinya pada
280 nm. Absorbansi larutan Bovine -globulin 1mg/ml pada cuvet 1 cm adalah 1.35. Jika
yang digunakan adalah Bovine Serum Albumin (BSA) atau Ovalbumin, maka
absorbansinya masing-masing adalah 0.66 dan 0.75.
Standard Assay

Pipet 100 l sample yang mengandung kira-kira 10 100 g protein. Jika perkiraan
konsentrasi proteinnya tidak diketahui, maka bisa dibuat beberapa seri pengenceran (1,
1:10, 1:100, 1:1000, dst). Siapkan secara duplo.
Untuk kurva kalibrasi, buatlah seri larutan standard 100, 200, 400, 600, 800 dan 1000
g/ml. Lalu pipet masing-masing 100 l ke dalam tabung. Siapkan blanko dengan
aquadest 100 l.
Tambahkan 5 ml pereaksi Bradford ke dalam masing-masing tabung sample dan
standard, campur dengan membolak-balik tabung atau divortex secara perlahan.
Hindari terbentuknya busa karena akan mengurangi reproducibility-nya. Inkubasi
selama 2 sampai 60 menit.
Ukur absorbansi sample dan standard pada panjang gelombang 595 nm.

Catatan:

Standard 100 g akan memberikan absorbansi sekitar 0.4.


Kurva standard-nya tidak linear, dan presisi absorbansinya bervariasi bergantung pada
lamanya inkubasi. Jadi kurva kalibrasi harus dibuat untuk setiap assay.

Microassay

Pipet 100 l sample yang mengandung kira-kira 1 10 g protein ke dalam tabung


Eppendorf 1.5 ml. Jika perkiraan konsentrasi proteinnya tidak diketahui, maka bisa
dibuat beberapa seri pengenceran (1, 1:10, 1:100, 1:1000, dst). Siapkan secara duplo.
Untuk kurva kalibrasi, buatlah seri larutan standard 10, 20, 40, 60, 80 dan 100 g/ml.
Lalu pipet masing-masing 100 l ke dalam tabung. Siapkan blanko dengan aquadest
100 l.
Tambahkan 1 ml pereaksi Bradford ke dalam masing-masing tabung, campur dengan
membolak-balik tabung atau divortex secara perlahan. Hindari terbentuknya busa
karena akan mengurangi reproducibility-nya. Inkubasi selama 2 sampai 60 menit.
Ukur absorbansi sample dan standard pada panjang gelombang 595 nm. Nilai
absorbansi untuk sampel yang mengandung 10 g -globulin adalah 0.45.

REFERENSI
Achmad,
Nurdin.
2011.
Reaksi
Analisa
Protein.
Surabaya
(online)
http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-Indonesia/ReaksiAnalisaProte_NurdinAchmad_57.pdf
(diakses pada 15 Maret 2015)
Anonim. 2011. Uji Asam Amino. (online) https://www.scribd.com/doc/91726062/Lap-Millon-DanHopkins-Cole (diakses pada 15 Maret 2015)
Anonim.
Sumatera
Utara:
Universitas
Sumatera
Utara
(online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/38246/Chapter%20II.pdf?sequence=4
(diakses pada 15 Maret 2015)
Apriani, Lisa. 2008. Seleksi Bakteri Depok (online) http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124100BIO.004-08-Seleksi%20bakteri-Literatur.pdf (diakses pada 15 Maret 2015)

Attwood, T.K., P.N. Campbell, J.H. Parish, A.D. Smith, J.L. Stirling dan F. Vella (Ed). 2006. Oxford
Dictionary of Biochemistry and Molecular Biology, Revised Edition. Oxford University Press.
Bollag, D.M., M.D. Rozycki, S.J. Edelstein. 1996. Protein Method. Wiley-Liss, Inc
Kindt, T.J., R.A.Goldsby, B.A. Osborne, J. Kuby. 2007. Kuby Immunology. New York: W.H.
Freeman,
Koolman, J. dan K. Roehm. 2005. Color Atlas of Biochemistry, Second edition, revised and
enlarged. Thieme.
Nurarfa, Whyranti. 2013. PROTEIN (Uji Millon, Uji Hopkins-Cole, Uji Ninhdrin,Uji Belerang, Uji
Xantoproteat, Uji Biuret ). Bogor (online) http://www.academia.edu/6162151/uji_protein_i
(diakses pada 15 Maret 2015)
Rustam, Yepy Hardi. 2011. Analisa Protein dengan Metode Bradford. (online)
http://sciencebiotech.net/analisa-protein-dengan-metode-bradford/ (diakses pada 15 Maret
2015)
Wenk, M.R. dan A.Z. Fernandi. 2007. Manuals in Biomedical Research : A Manual For
Biochemistry Protocols. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
Zahro, Nurus. 2013. Analisa Mutu Pangan dan Hasil Pertanian. Jember

Você também pode gostar