Você está na página 1de 9

TINJAUAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH

TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF, PERSPEKTIF


REGULASI

BAB I

A.

Pendahuluan
Secara kodrati, menyusui merupakan salah satu bagian dalam siklus hidup bagi
perempuan. Di bidang kesehatan, pada tahapan di siklus tersebut (across the life cycle)
dikenal adanya pendekatan continuum of care dalam upaya meningkatkan akses dan
kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak yang dimulai sejak masa pra hamil, kehamilan,
persalinan dan nifas, bayi, balita, hingga remaja[1]. Menyusui juga berkenaan dengan fungsi
atau tugas-tugas reproduksi, di samping hamil, melahirkan, dan mengasuh anak[2].
Dalam perkembangannya, pandangan terhadap nilai dan gerakan menyusui dengan
ASI oleh ibu bagi bayinya mengalami pasang surut[3]. Sebagai agama dakwah[4], Islam telah
mengajarkan lamanya waktu bagi ibu atau orang lain menyusui bayi, yakni selama dua tahun
penuh[5] atau masa penyapihan bayi dalam umur dua tahun[6], dan juga mengisyaratkan
masa mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan[7].
Praktek pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor
sosial budaya, pengetahuan akan pentingnya ASI, dukungan jajaran kesehatan, instansi terkait
dan keluarga, ASI-nya tidak keluar, alasan kesehatan, karena waktunya tersita untuk
bekerja[8] serta pemakaian susu formula[9].
Tidak ada perdebatan teoritis konsepsional di kalangan akademis atau para ahli
tentang manfaat ASI[10]. Manfaat ASI tidak diragukan sehingga pada kondisi normal,
menyusui adalah yang terbaik bagi bayi. Beberapa perdebatan terkait ASI, diantaranya adalah
tentang pendirian Bank ASI[11], pendonor dan penerima ASI dengan agama yang berbeda,
pembayaran bagi yang menyusukan[12].
Menyusui dan ASI Eksklusif merupakan persoalan mendasar dan bernilai sangat
startegis sehingga perlu diatur sampai dengan tingkat Peraturan Pemerintah (PP)
[13]. Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang ASI sampai menjadi
Peraturan Pemerintah tentang Pemberian ASI Eksklusif setidaknya dibutuhkan waktu paling
tidak sekitar lima tahun untuk menggolkan regulasi tersebut[14].
PP Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif telah diundangkan
sekaligus mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2012. PP ini terdiri dari 10 bab, 43 pasal
dengan total 55 ayat, dan mengatur 7 hal pokok, yaitu 1) tanggung jawab pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; 2) Air Susu Ibu; 3)
penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya; 4) tempat kerja dan tempat sarana umum;
5) dukungan masyarakat; 6) pendanaan; dan 7) pembinaan dan pengawasan[15].
Dengan berbagai perdebatan dan kontekstual di atas, tulisan ini akan menggali tentang
PP nomor 33 tahun 2012 dalam perspektif regulasi terutama keterkaitannya dengan aspekaspek dakwah. Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana tinjauan tentang PP nomor
33 tahun 2012, perspektif regulasi? Adapun pertanyaan khususnya, yaitu: 1) Bagaimana
kontrol dan pendelegasian pemerintah atau sebagai regulator kepada pihak independen dalam
PP nomor 33 tahun 2012?, 2) Bagaimana regulasi secara internal (self-regulation) dan

kerangka kerja hukum umum dalam PP nomor 33 tahun 2012?, 3) Bagaimana regulasi
dengan mekanisme kekuatan pasar dan tekanan audiens (masyarakat umum) dalam PP
nomor 33 tahun 2012?
Pengkajian PP nomor 33 tahun 2012 memiliki saling keterkaitan diantara aspek-aspek
dalam dakwah, komunikasi, media dan regulasi. Oleh karena begitu luas makna dan ruang
lingkup masing-masing keilmuan dan aktivitas mengenai dakwah, komunikasi, media dan
regulasi, maka penulisan ini dibatasi dengan perspektif regulasi dari Branston dan Stafford
(2003: 478-480) sebaagai acuan utama.
Berdasarkan pertanyaan di atas, dirumuskan hipotesis penelitian, yaitu regulasi
pemerintah tentang ASI eksklusif memiliki kekuatan besar untuk meningkatkan ibu-ibu
menyusui untuk memberikan ASI eksklusif. Peran pemerintah sebagai regulator, selfregulation sebagai user dan kerangka kerja hukum umum dapat menghadapi kekuatan
regulasi mekanisme pasar dan tekanan masyarakat umum, meningkatkan ibu-ibu menyusui
melakukan inisiasi menyusui dini, memberikan ASI eksklusif dan memberikan ASI sampai
bayi berumur 2 tahun. Sebaliknya, pengaruh gencarnya promosi susu formula melalui media
massa dan melalui institusi pelayanan kesehatan ataupun tenaga kesehatan tidak menghambat
pemberian ASI eksklusif.
B.

Analisis
PP nomor 33 tahun 2012 merupakan produk hukum dengan kekuatan hukum yang
jelas, tegas dan tertulis. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa pada saat PP ini mulai
berlaku, pengurus tempat kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan PP ini paling lama 1 (satu) tahun. PP nomor 33 tahun 2012
genap berlaku 1 tahun pada tanggal 1 Maret 2013. Dalam PP tersebut terdapat toleransi
waktu. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam agama yang tidak ingin memberatkan. Kekuatan
besar juga terdapat pada amanat PP sesuai dengan perintah dalam Al-Quran (Q.S. [2]: 233),
(Q.S. Lukman [31]: 14), (Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15). Meskipun tidak secara eksplisit
disebutkan tentang ASI eksklusif dalam Al-Quran, namun perintah kepada ibu untuk
menyusukan bayinya sampai 2 tahun untuk menyempurnakan susuannya merupakan landasan
moril, kekuatan spiritual dan nyata untuk dapat meningkatkan peran dakwah dalam Islam
dalam membantu peningkatan pemberian ASI eksklusif.
Kekuatan regulasi PP 39 tahun 2012, selain dilihat berdasarkan dukungan peraturan
perundangan dalam bentuk PP, amanat UU, perintah agama, peran dari Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan
Kementerian Tanaga Kerja dan Transmigrasi juga beberapa subsantasi membutuhkan para
ahli agama, khususnya ahli fiqih dalam pembahasan pada bagian ketiga mengenai Pendonor
ASI. Substansi dakwah di sini adalah segala aspek yang berfungsi dalam kegiatan tersebut,
meliputi: 1) isi atau pesan-pesan yang disampaikan; 2) metode penyampaian; 3) narasumber
atau dai yang berperan; dan 4) media yang digunakan.
Pada pasal 6 disebutkan, setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif
kepada bayi yang dilahirkan. Dalam pasal 9 dinyatakan tenaga kesehatan dan penyelenggara
fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru

lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Ketentuan lain yang mendukung
kekuatan dalam PP adalah adanya saknsi administratif (teguran lisan, teguran tertulis,
pencabutan izin) untuk tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk
penggunaan susu formula juga ada pelarangan untuk memberikan kepada bayi serta
pembatasan penggunaan dan promosi susu formula.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan pada Pasal 7 Ayat (1) disebutkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundangundangan, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan
Presiden; serta Peraturan Daerah. PP merupakan peraturan perundang-undangan di bawah
UU. PP adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk
menjalankan UU sebagaimana mestinya. Keberadaan Pemerintah hanya untuk menjalankan
UU. PP berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia.
Program ASI di tempat kerja sangat penting dan memiliki nilai strategis mengingat
jumlah pekerja perempuan di Indonesia cukup besar, mencapai39.946.327 atau 38% dari total
jumlah pekerja. Keberhasilan program ASI di tempat kerja akan sangat berdampak pada
keberhasilan program ASI secara nasional. Untuk menggalakkan program ASI di tempat
kerja, beberapa lembaga dan sarana prasarana penunjang, seperti klinik laktasi, pojok laktasi,
Hotline ASI, Sentra Laktasi Indonesia (SELASI), Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI),
konselor menyusui (breastfeeding counselor) dan konsultan laktasi.Dalam upaya mendukung
kebijakan program ASI eksklusif saat ini mulai banyak organisasi di masyarakat sebagai
bentuk kepedulian dalam mendukung terwujudnya ibu menyusui secara eksklusif.
ASI eksklusif adalah pemberian hanya Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir
sampai berumur enam bulan, tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu,
air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu,
biskuit, bubur nasi dan tim. Meskipun dalam Islam tidak secara tegas menjelaskan tentang
ASI eksklusif, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasari oleh bukti ilmiah
tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan dan perkembangannya[1].
Setidaknya dalam Al-Quran, terdapat 3 ayat menyebutkan lamanya waktu menyusui atau
menyapih bayi[2].
WHO/UNICEF dalam Global Strategy for Infant and Young Child
Feeding merekomendasikan empat hal penting dalam pemberian makanan bayi dan anak,
yaitu 1) Memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir; 2)
Memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi
berusia 6 bulan; 3) Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6
bulan sampai 24 bulan, dan 4) Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau
lebih[3]. Dengan demikian, rekomendasi WHO/UNICEF ini sejalan dengan apa yang telah
diperintahkan dalam Al-Quran.
Walaupun sudah banyak diketahui mengenai manfaat memberikan ASI, adanya
perintah agama dan rekomendasi WHO/UNICEF serta dukungan berbagai regulasi terkait,
tetapi tingkat kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI kepada bayinya masih
rendah. Pemberian ASI secara eksklusifrelatif memprihatinkan. Pemberian ASI dan makanan

tambahan yang salahberakibat pada tingginya jumlah balita penderita kurang gizi dan gizi
buruk. Sekitar 6,7 juta balita atau 27,3% dari seluruh balita di Indonesia menderita kurang
gizi dan sebanyak 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Pemberian ASI eksklusif oleh
ibu untuk bayinya pada dasarnya merupakan suatu hak bagi bayi[4].
Dalam Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian ASI
Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja, pada Bab III mengenai Tugas dan Tanggung Jawab
disebutkan bahwa Menteri Kesehatan salah satunya bertugas dan bertanggung jawab
menyediakan, menyebarluaskan bahan-bahan komunikasi, informasi dan edukasi tentang
peningkatan pemberian ASI. Aspek komunikasi secara eksplisit disebutkan dalam tugas dan
tanggung jawab tersebut. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 Tahun 2012
tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada pasal 11 dinyatakan bahwa pemberian ASI
eksklusif oleh pendonor ASI karena ibu kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif bagi
bayinya, maka diperlukan persyaratan diantaranya identitas, agama, dan alamat pendonor ASI
diketahui dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penerima ASI, serta ketentuan bahwa
pemberian ASI oleh pendonor ASI wajib dilaksanakan berdasarkan norma agama dan
mempertimbangkan aspek sosial budaya, mutu, dan keamanan ASI. Tugas dan tanggung
jawab untuk menyediakan, menyebarluaskan bahan-bahan komunikasi, informasi dan edukasi
tentang peningkatan pemberian ASI serta sosialisasi regulasi/kebijakan/peraturan
mengharuskan adanya keterlibatan, faktor pendukung, dan peran penting berupa media[5].
Pada kedua regulasi tersebut terlihat adanya peran aspek komunikasi, media dan
agama. ASI eksklusif merupakan sesuatu yang universal dan dapat dikaji dalam berbagai
sudut pandang bidang keilmuan, seperti kesehatan, agama dan kebijakan. Praktek menyusui
atau pemberian ASI merupakan bentuk perilaku kesehatan masyarakat. Perilaku dalam
Islam biasa disebut sebagai akhlak[6] yang mencakup akhlak baik (terpuji) dan akhlak buruk
(tercela).
Adanya kekuatan regulasi dalam PP nomor 33 tahun 2012 sejalan dengan berbagai
definisi diantaranya menurut Branston dan Stafford, Kalesaran, Isang Gonarsyah, dan Stigler.
Pada intinya regulasi ditujukan untuk melindungi kepentingan dan memberikan manfaat
bersama-sama yang lebih luas.
Pemberian ASI eksklusif tidak hanya menjadi isu nasional, tetapi merupakan
komitmen global. Berdasarkan identifikasi terhadap peraturan perundangan yang ada terkait
ASI eksklusif, terlihat adanya kontrol pemerintah untuk mendukung ASI eksklusif. Selain
dalam bentuk peraturan perundangan, juga terdapat kebijakan dan program berbagai
peraturan perundangan bagai kebijakan dan peraturan perundangan Pemberian ASI,
khususnya di kementerian terkait, yaitu Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Berbagai bentuk intervensi kontrol pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan
berupa Undang-undang yang mendukung pemberian ASI adalah khususnya UU No. 49 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
merupakan landasan hukum bagi lahirnya Peraturan Pemerintah No. 33/2012 tentang

Pemberian ASI Eksklusif dan perlu dikaji kesesuaiannya. Lahirnya PP tersebut dalam
prosesnya mengalami kendala dan hambatan khususnya dari dunia usaha/industri sehingga
dimungkinkan dalam implementasinya juga terdapat permasalahan[7].
Dalam PP ini juga terdapat substansi yang memerlukan kajian dan tindak lanjut,
diantaranya adalah evaluasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di
tempat kerja, penelitian dan pengembangan program ASI Eksklusif yang mendukung
perumusan kebijakan kabupaten/kota, pertimbangan norma agama, aspek sosial budaya,
mutu, dan keamanan ASI terkait pemberian ASI Eksklusif dari pendonor ASI; tata cara
pengenaan sanksi administrasi bagi tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, tata
cara penggunaan susu formula bayi dan produk bayi lainnya, dan tata cara penyediaan
fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah ASI. Selain itu, implementasi kebijakan harus
dilihat sinergisitasnya dan tidak berbenturan dengan kebijakan atau peraturan lainnya di
tingkat perusahaan. Misalnya adalah ketentuan tentang jam kerja.
Aspek kontrol dan pengendalian pemberian ASI Eksklusif tampak juga pada aktivitas
yang secara langsung disebut, diantaranya adalah pengaturan pemberian ASI, advokasi dan
sosialisasi, pembinaan, pengawasan, evaluasi, kerjasama, akses terhadap informasi dan
edukasi, kerja sama, dan ketentuan tentang sanksi, dukungan masyarakat, ketentan pendanaan
dan pembiaan dan penawasa, peran SDM di bidang kesehatan, peran dan dukungan keluarga
dan masyarakat, pengawasan terhadap produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau
produk bayi lainnya. Kontrol dan pengendalian merupakan bentuk sikap tanggung jawab.
Dalam PP 39 terdapat pembagian tanggungjawab kepada pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam program pemberian ASI Eksklusif
(pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 PP nomor 33 tahun 2012). Adanya sanksi-sanksi juga
merupakan bentuk upaya untuk mengontrol dan mengendalikan atau membatasi meluasnya
susu formula.
Kontrol dan pengendalian merupakan aspek dalam dakwah Islam. Agama Islam
sangat menghendaki adanya kontrol dan pengendalian diri. Kontrol dan pengendalian diri
terhadap keinginan-keinginan duniawi yang berlebihan, pengendalian terhadap berbagai
hawa nafsu yang menyesatkan sehingga memberikan keselamatan, kebahagiaan dan
kedamaian dalam hidup.
Regulasi diri dalam program ASI Eksklusif diharapkan para pihak terkait dapat
mendorong sepenuhnya untuk keberhasilan program ASI Eksklusif. Dalam PP nomor 33
tahun 2012 regulasi diri secara internal dapat ditujukan kepada berbagai sasaran, seperti ibuibu yang diharuskan menyusui bayinya, tenaga kesehatan untuk konsisten mendukung
keberhasilan
program
ASI
Eksklusif. Regulasi menunjukkan
adanya
upaya
untuk mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan.
Regulasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya pembatasan hukum diumumkan
oleh otoritas pemerintah, regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti melalui asosiasi
perdagangan[8]. Regulasi diri jelas merupakan salah satu perwujudan dari nilai atau pesan
dalam dakwah.
Dalam kaitannya dengan progarm ASI Ekslusif dapat diartikan sebagai pengendalian
olah kelompoknya. Pada indsutri media, jenis regulasi diri misalnya adalah adanya kode etik

dari para jurnalis itu sendiri secara independen atau oleh asosiasi industri media, dewan pers,
organisasi wartawan, organisasi media dan lain sebagainya. Pada program ASI eksklusif,
regulasi diri misalnya adanya organisasi Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). AIMI
yang bergerak dalam sosialisasi, advokasi, konseling, pelatihan, pendampingandalam hal ASI
eksklusif. AIMI memiliki lalam web, jejaring sosial twitter, facebook. Selain itu, juga dapat
dilakukan oleh komunitas para pekerjaa
Aspek mekanisme pasar dan tuntutan
masyarakat, deregulasi, dan liberalisasi. Mekanisme
pasar dan kebebasan tuntutan masyarakat dalam
kaitannya dengan program ASI Eksklusif adalah
menyangkut pemberian susu formula bagi bayi di atas 6
bulan. Melalui mekanisme pasar diharapkan terjadinya
keseimbangan, persaingan bebas dan adanya keadilan.
Prinsip keadilan merupakan bagian dalam ajaran Islam.
Dalam PP 39 nomor 33 tahun 2012 isi materi yang dapat diidentifaksi berdasarkan
klasifikasi jenis media berdasarkan kekuatan pada mekanisme pasar, yaitu produk susu
formula. Gencarnya promosi susu formula di banyak media, khususnya media elektronik
televisi menjadi penyebab rendahnya cakupan angka pemberian susu formula. Oleh karena
itu, mekanisme pasar tentang susu formula perlu diperbanyak lagi aturan-aturan pengetatan,
termasuk perlunya tuntutan masyarakat melalui pemahaman dan peningkatan kesadaran arti
pentingnya pemberian ASI eksklusif melaui sosialisasi secara lebih luas ke seluruh lapisan
masyarakat.
Islam merupakan agama persamaan dan keadilan. Allah SWT bersifat adil dan cinta
keadilan dan mengasihi orang yang bersifat adil. Banyak ayat al-Quran yang menyeru kepada
keadilan dan mencegah daripada bersifat zalim[9]. Allah SWT berfirman: Wahai orangorang yang beriman, hendaklah kamu semua menjadi orang-orang yang menegakkan
keadilan kerana Allah, lagi menerangkan kebenaran, dan janganlah sekali-kali kebencian
kamu terhadap sesuatu kaum itu mendorong kamu kepada tidak melakukan keadilan.
Hendaklah kamu berlaku adil (kepada sesiapa jua) kerana sifat adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat mengetahui dengan
mendalam akan apa yang kamu lakukan (Q.S. Al-Maaidah [5]: 8)
Dalam sejarah perkembangannya perdebatan regulasi media telah menyentuh
berbagai aspek kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan,
agama dan pertahanan keamanan. Begitu penting dan strategisnya peran media sehingga
diperlukan kontrol terhadap media melalui regulasi apapun bentuk dan siapapun yang
melakukannya. Dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan masyarakat
terkadang membutuhkan juga suatu kebijakan deregulasi. Pada titik keseimbangan tertentu
regulasi terhadap media diharapkan akan dapat lebih melindungi masyarakat umum,
institusi/industri media publik dan komersial, keluarga dan individu atau dengan kata lain
membawa kemaslahatan bagi umat secara keseluruhan.
Pembahasan tentang ASI sangat penting mengingat manfaat dan pengaruh yang begitu
besar terhadap banyak aspek kehidupan. Tinjauan terhadap pemberian ASI secara eksklusif

dalam perspektif regulasi menurut klasifikasi oleh Branston dan Stafford akan
memperlihatkan sejauhmana kekuatan dan eksistensi regulasi baik secara filosofis, historis
(konstruksi dan rekonstruksi), politis, maupun empiris. Regulasi pada dasarnya bersifat
dinamis yang dalam perjalanannya memerlukan revisi dan penyempurnaan, bahkan
deregulasi mengikuti dinamika dalam masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Efektivitas pada akhirnya menjadi dasar untuk menilai seberapa lama suatu
regulasi ideal untuk dipertahankan. Dalam konteks PP nomor 33 tahun 2012 tentang
Pemberian ASI Eksklusif jelas terlihat sebagai bentuk aplikasi tentang regulasi sebagaimana
yang ditulis oleh Branston dan Stafford dan berdasarkan berbagai definsi tentang regulasi.
8]: 7, 12; Q.S An Nahl [16]: 66, Q.S. Al Mukminuun [23]: 21, dan Q.S. Muhammad [47]: 15,
disebutkan tentang sepersusuan/menyusui/susu dalam konteks lain.
[3]Kemneg Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan
Pemberian ASI, (Jakarta, 2008), 14.
[4]Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes, Bahan Sosialisasi Percontohan ASI
Eksklusif di Tempat Kerja Dukungan Dana Tugas Pembantuan 2012 , Surabaya, 29 31
Maret 2012. Berdasarkan data tahun 2007, secara nasional rata-rata balita
disusui adalah selama 16,5 bulan. Menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni
sebesar 16,9 bulan. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa persentase bayi yang menyusui
eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi dini menyusui kurang dari satu jam
setelah bayi lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur 56,2% dan terendah di
Maluku 13,0%. Sebagian besar proses mulai menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1-6 jam
setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui dilakukan setelah 48
jam. Persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi
dini menyusui kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa
Tenggara Timur 56,2% dan terendah di Maluku 13,0%. Sebagian besar proses mulai
menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1-6 jam setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1%
proses mulai disusui dilakukan setelah 48 jam. Baca juga Balitbang Kemenkes, Riset
Kesehatan Dasar 2010, (Jakarta, 2010) , 4.
[5]Media di sini, sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai alat
(sarana) komunikasi, seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk. Istilah
umum yang sering digunakan dengan kata media, diantaranya media cetak, media elektronik,
media film, media massa, media pendidikan, dan media periklanan.
[6]Secara bahasa (lughatan), akhlaq merupakan bentuk jamak dari Al khuluq, yang
berarti ad din (agama), tabiat, perangai, kelakuan, tingkah laku, matuah, adat kebiasaan,
dan sebagai agama itu sendiri. Menurut Ibnul Arabi Al Khuluq artinya muruah (kepribadian).
Menurut istilah, akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam diri yang dapat mengeluarkan
sesuatu perbuatan dengan senang dan mudah tanpa pemikiran, penelitian dan paksaan. AlGhazali menyatakan akhlak ialah suatu keadaan yang tertanam di dalam jiwa yang
menampilkan perbuatan-perbuatan dengan senang tanpa memerlukan pemikiran dan
penelitian. Apabila perbuatan yang muncul itu baik dan terpuji menurut syara dan akal, maka
perbuatan itu disebut akhlak yang mulia. Sebaliknya jika muncul perbuatan yang buruk,
dinamakansebagai akhlak
yang
buruk. Baca
Farid
Numan,
Akhlak, http://kipsi.wordpress.com/2009. Menurut Farid Numan, pembicaraan tentang
akhlak bermuara pada kondisi jiwa manusia yang ditampakkan oleh perbuatan mereka, yang
didasarkan oleh pemahaman agama, Al Quran, dan ketaqwaan

[7]Peraturan Pemerintah No. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif sudah mulai
pembahasannya sejak November 2006 (saat itu bernama RPP Pemasaran Susu Formula) dan
baru bulan Maret 2012 disahkan.
[8]http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2094305-pengertian-regulasi/ (diak
ses: 3/1/2013)
[9]http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?
y=2012&dt=0209&pub=Utusan_Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_03.htm (diakses:
3/1/2013)

Você também pode gostar