Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ANESTESIA AMBULATORI
PENDAHULUAN
Penyebabnya antara lain adalah banyak perusahaan asuransi kesehatan yang tidak
mengganti beaya kesehatan bagi pasien ambulatori. Sebetulnya prosedur ambulatori ini
memberikan keuntungan bagi pasien, penyedia perawatan-kesehatan, pembayar pihak
ketiga dan bahkan rumah sakit sekalipun. Pasien diuntungkan karena mengurangi
pemisahan dari lingkungan rumah dan keluarga mereka, mengurangi kemungkinan
infeksi yang didapat di rumah sakit dan mengurangi penyulit pascabedah. Dibandingkan
dengan cara tradisional masuk ke rumah sakit, terdapat pengurangan jumlah pemeriksaan
laboratorium dan penurunan kebutuhan pengobatan pascabedah.
Pembedahan ambulatori tidak bergantung pada ketersediaan fasilitas tidur di rumah sakit dan
malahan akan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pasien untuk memilih waktu
operasi. Kamar operasi dan ruang pulih dapat digunakan secara lebih efisien, dan hal ini dapat
mengurangi beaya yang harus dikeluarkan oleh pasien dibandingkan dengan beaya rawat inap
rumah sakit. Sebagai akibatnya, hospitalizasi banyak prosedur sekarang sudah dianggap tidak
tepat lagi, dan sangatlah sulit untuk meyakinkan pihak asuransi dan lembaga kesehatan bahwa
ada beberapa pasien mendapat keuntungan jika masuk rumah sakit malam sebelum operasi.
PENGERTIAN
Anestesi pada pasien ambulatory adalah anestesi yang dilakukan pada pasien yang
berobat jalan ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan pengobatan, tetapi tidak memerlukan
rawat inap (boleh pulang).
o Secara medis pasien yang dioperasi, setelah pasca bedah tidak memerlukan rawat
inap.
o Operasi yang akan dikerjakan tidak memerlukan sarana dan pra sarana sarana
yang komplek seperti pada rumah sakit, dapat hanya berupa kamar praktik dokter
bedah.
Pemilihan pasien
o Keputusan untuk menentukan apakah pasien layak untuk menjalani bedah rawat
jalan harus berdasarkan penilaian individual masing-masing pasien, yang
ditentukan oleh kombinasi dari beberapa faktor termasuk patient consideration,
prosedur pembedahan, teknik anestesi, dan tingkat kemampuan dan kenyamanan
ahli anestesi.
o Lamanya operasi bukan suatu kriteria untuk bedah rawat jalan, sebab hanya ada
sedikit hubungan antara lamanya anestesi dengan cepatnya pemulihan.
Penyelesaiannya adalah operasi yang lama harus diacarakan untuk operasi yang
paling pagi.
Kriteria pasien ambulatory yang akan dilakukan pembedahan dan anestesi adalah sebagai berikut
:
Pada awal diperkenalkannya bedah rawat jalan hanya pasien dengan status ASA I dan
ASA II yang dipilih untuk prosedur bedah rawat jalan. Saat ini, pasien yang digolongkan
pada status ASA III dan ASA IV juga merupakan calon operasi bedah rawat jalan asalkan
penyakit sistemiknya dalam keadaan stabil.
Pada kasus dimana terdapat gangguan jantung bedah rawat jalan dapat dilakukan pada
pasien dengan angina pectoris class II, CHF class I dan infark miokard yang lebih dari 6
bulan, dengan catatan dalam keadaan gejala ringan atau terkontrol. Begitu juga dengan
kelainan katup yang asimtomatis, dapat dilakukan bedah rawat jalan. IDDM dan
Morbidly Obesity (MO) tanpa penyakit sistemik bukan kontraindikasi untuk bedah rawat
jalan.
Sleep apneu dengan anestesi regional serta sleep apneu dengan anestesi umum tanpa
pemberian narkotik pascabedah dapat diterima sebagai calon bedah rawat jalan, kecuali
sleep apneu dengan anestesi regional dan anestesi umum yang disertai dengan pemberian
narkotik pascabedah.
Pembedahan superficial, bukan tindakan bedah di dalam kranium, toraks atau abdomen
(kecuali laparoscopy).
University of Chicago Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok pasien yang tidak dapat
dijadikan calon untuk bedah rawat jalan:
Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable. Pasien dengan kondisi ini
diskrining pada saat evaluasi prabedah oleh ahli anestesi, kemudian dirujuk kepada
konsultan medis terkait dan bersama dengan penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu
baru direncanakan untuk operasi setelah kondisinya stabil.
" Terapi Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO). Karena instabilitas hemodinamik yang
berhubungan dengan tatalaksana anestesi pada pasien yang sedang dalam terapi MAO,
obat tersebut dihentikan minimal 2 minggu sebelum operasi.
" Obesitas Morbid kompleks / Sleep Apneu kompleks. Walaupun pasien dengan riwayat
sleep apneu atau dengan morbidly obese tanpa penyakit sistemik merupakan calon bedah
rawat jalan, rawat inap dan observasi pascabedah dilakukan pada pasien morbidly obese
dengan disertai gangguan jantung, paru-paru, hepar, atau ginjal serta pasien dengan
riwayat sleep apneu kompleks.
" Ketagihan obat-obatan akut. Karena peningkatan respon kardiovaskular ketika agen
anestetik diberikan pada seseorang yang ketergantungan obat-obatan.
" Kesulitan psikososial. Pasien yang menolak untuk dilakukan operasi dengan teknik
bedah rawat jalan tidak dapat dipaksa. Pasien yang telah menjalani pembedahan rawat
jalan harus dalam pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab terhadapnya.
o 6. Seorang pasien mati otak yang menyatakan organ sedang dikeluarkan untuk
tujuan donor.
PERSIAPAN PASIEN
Pasien harus diperiksa ulang oleh ahli anestesi karena bisa terjadi perubahan-perubahan
yang mendadak misalnya infeksi saluran napas bagian atas atau apakah pasien
melaksanakan semua instruksi untuk puasa, adanya teman yang mengantar dan
menerangkan prosedur anestesi serta penandatanganan surat izin operasi. Kanula
intravena dipasang untuk pemberian obat anestesi nantinya serta pemberian cairan bila
diperlukan.
Berbagai cairan jernih dengan aman dapat diminum sampai dua jam sebelum operasi
tanpa meningkatkan volume sisa lambung. Cairan yang diminum dapat mengencerkan
sekresi lambung dan mempercepat pengosongan lambung itu sendiri, dan mengurangi
volume sisa lambung. Restriksi cairan sebelum operasi merupakan hal yang tidak
menyenangkan bagi pasien, dan pemberian cairan peroral dapat mengurangi kecemasan,
rasa haus dan lapar.
Pasien yang akan menjalani prosedur ambulatori pada siang hari diperbolehkan minum
kopi, teh atau jus pada pagi hari; ini dapat menghindarkan pasien dari rasa cemas dan
tidak nyaman yang berhubungan dengan penghentian kafein dan hipoglikemia akibat
puasa. Hidrasi prabedah yang agresif mengurangi rasa kantuk, pusing dan rasa haus serta
kelelahan dan rasa mual pascabedah ambulatori.
Pasien rawat jalan hendaknya diperintahkan untuk minum semua obat regular mereka
dengan sedikit air sampai satu jam sebelum prosedur. Bagi pasien dengan risiko aspirasi
paru (misal karena tingkat kegemukan yang tidak wajar, diabetik) penggunaan antagonisH2 dan metoklopramid prabedah dapat mengurangi keasaman dan jumlah cairan
lambung. Kebanyakan pasien yang akan menjalani operasi elektif akan merasa cemas. Di
samping itu, kesadaran yang timbul pada saat operasi, selama anestesia adalah hal yang
sering dicemaskan oleh para pasien yang akan menjalani operasi elektif. Meskipun
banyak digunakan premedikasi bagi pasien rawat inap , pasien rawat jalan secara
tradisional menolak, karena salah persepsi bahwa obat premedikasi sedatif akan
memperlambat pemulangan pasien.
Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada pasien umur lebih dari 40 tahun atau bila ada
indikasi. Bila pada pemeriksaan ditemukan masalah medis, sebaiknya operasi
ditangguhkan dan pasien dievaluasi kembali.
Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien, prosedur
pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien, bila memungkinkan.
Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih:
o 1 Anestesi umum
o 2 Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi
o 3 Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan sedasi,
ahli anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien
o 4 Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim pembedahan
Ahli anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing teknik dengan
pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi pada waktu skrining
dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik akan didiskusikan dengan pasien.
Teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan harus memenuhi kriteria:
o 1. Menciptakan kondisi pembedahan yang prima
o 2. Pemulihan yang cepat (rapid recovery)
o 3. Tidak ada efek samping pascabedah
o 4. Kepuasan pasien
Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam peningkatan
kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi penggunaan kamar operasi, serta
pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek samping.
Belakangan, penggunaan Monitored Anesthesia Care (MAC) lebih dipilih oleh banyak
ahli anestesi sebagai alternatif dari anestesi umum dan anestesi regional pada bedah rawat
jalan. Dikenalkannya obat-obat anestesi yang lebih rapid dan shorter-acting seperti
volatile anestesi (desfluran dan sevofluran), analgetik opioid (remifentanil) dan pelemas
otot (rapacuronium) memberi peluang bagi ahli anestesi untuk lebih konsisten mencapai
kondisi pemulihan yang lebih ideal setelah tindakan anestesi umum.
Kita bisa menggunakan berbagai teknik anestesia umum, regional atau lokal. Pilihan ini
bergantung pada faktor bedah dan pasien. Sedasi intravena menjadi semakin penting
untuk membantu teknik anestesia lokal, yang merupakan bagian teknik layanan
anesthesia bermonitor (monitored anesthesia care, MAC).
Dalam banyak kasus anestesia umum tetap menjadi teknik yang paling disukai, baik bagi
pasien sendiri maupun bagi staf rumah sakit. Meskipun blokade neuroaksis sentral (misal
analgesia spinal dan epidural) dapat menunda pemulangan disebabkan adanya sisa
blokade simpatik, prosedur blok saraf periferal dapat memudahkan pemulihan. Oleh
karena itu, lebih banyak kasus yang dikerjakan dengan gabungan blokade saraf periferal
dan sedasi iv.
Pemberian obat-obat sedatif, anestetik, analgetik dan pelumpuh otot dengan mula kerja
singkat, lama kerja pendek dan prediktabel tanpa akumulasi dan efek samping minimal
telah menjadikan prosedur pembedahan yang singkat menjadi lebih aman dan
menyenangkan bagi pasien rawat jalan, dan hal ini akan memungkinkan operasi yang
lebih lama dan lebih rumit dilaksanakan dengan anesthesia umum secara ambulatori di
masa yang akan datang. Obat-obat anestetik yang lebih baru (seperti desfluran,
remifentanil, rapakuronium) dan peralatan baru (seperti monitor EEGBIS) dapat juga
memberi kemudahan bagi jalur cepat (fast-tracking), yaitu melewati post anesthesia care
unit (PACU) setelah dilakukan prosedur ambulatori.
Zat-zat IV digunakan untuk induksi anestesia bagi orang dewasa dan anak-anak yang
lebih tua. Propofol sekarang merupakan zat induksi anestesia pilihan untuk pasien rawat
jalan. Zat ini menghasilkan pengakhiran anestesia yang cepat karena redistribusinya yang
cepat dan masa paruh eliminasi yang singkat dan kekerapan efek samping pascabedah
yang sangat rendah.
Propofol sering memberikan euforia pada masa pengakhiran anesthesia dan jarang
menimbulkan rasa mual dan muntah pasca bedah (post operative nausea and vomiting,
PONV), khususnya apabila digabungkan dengan remifentanil, analgetik opioid dengan
lama kerja sangat singkat. Penggabungan propofol dengan ketamin dosis rendah
merupakan teknik yang semakin disukai untuk pembedahan plastik ambulatori.
Meskipun terdapat minat yang lebih besar dalam penggunaan teknik anestesia iv, zat
inhalasi tetap menjadi pilihan yang paling disukai untuk pemeliharaan anestesia umum.
Senyawa eter berhalogen yang lebih baru (seperti sevofluran, desfluran) memiliki
kelarutan gas-darah yang sangat rendah, memberikan mula kerja dan penghentian efekefek klinis yang cepat. Lagi pula, zat ini dapat dititrasikan dengan lebih baik sehingga
menghasilkan kestabilan dinamis yang lebih baik pula.
Desfluran banyak digunakan untuk pemeliharaan anestesia karena memiliki kelarutan gas
darah paling rendah, di antara semua zat anestetik uap dan kesadaran paling cepat pulih.
Sevofluran berkaitan dengan masa pulih sadar yang lebih singkat dan lebih sedikit efek
samping pascabedah dibandingkan dengan halotan dan isofluran. Karena tidak
menimbulkan iritasi saluran nafas, sevofluran dapat juga digunakan untuk induksi
anestesia, sebagai alternatif dari propofol, baik pada pasien rawat jalan orang dewasa
maupun anak-anak.
Pelumpuh otot adalah bagian penting teknik anestesia imbang dan dapat memudahkan
operasi laparoskopi. Pelumpuh otot nondepolarisasi kerja singkat, mivakurium dan
rapakuronium mengurangi kebutuhan akan zat penawar, bahkan setelah prosedur
ambulatori singkat. Dengan tidak memberikan neostigmin-glikopirolat akan berkurang
efek samping pascabedah yang tidak nyaman. Pelumpuh otot nondepolarisasi yang
bekerja cepat memudahkan intubasi trakeal dan memungkinkan pemulihan spontan yang
lebih prediktabel seraya menghindari mialgia akibat suksinilkolin. Meskipun sering
digunakan sungkup muka dan alat jalan nafas oral untuk prosedur ambulatori singkat
superfisial, intubasi trakeal tetap disukai dalam pelaksanaan operasi ambulatori karena
mengurangi risiko komplikasi jalan nafas.
Jalan nafas sungkup laringeal (laryngeal mask airway, LMA) dan jalan nafas orofaringeal
dengan kaf (cuffed oropharyngeal airway, COPA) digunakan lebih banyak pada situasi di
mana sungkup muka atau pipa trakeal digunakan di masa lalu. Alat ini menjadikan jalan
nafas lebih bebas dan tanpa dipegang dibandingkan dengan penggunaan sungkup muka
dan jalan nafas oral. Dibandingkan dengan pipa trakeal dengan LMA dibutuhkan zat
anestetik yang lebih sedikit, rasa nyeri tenggorok pascabedah yang lebih ringan,
kurangnya perubahan dinamis selama induksi dan pengakhiran anestesia dan dihindari
penggunaan pelumpuh otot dan penawarnya. Oleh karena itu, alat jalan nafas invasif
yang minimal akan memudahkan jalur cepat.
Infiltrasi anestetik lokal dan blok saraf periferal sebagai tambahan pada anestesia umum
atau digabung dengan sedasi analgesia IV sebagai bagian teknik MAC dapat
meningkatkan keluwesan pembedahan ambulatori. Penggunaan MAC mencegah efek
samping anestesia umum yang biasa terjadi, perawatan pascaanestesia berkurang, dan
analgesia residual masih dihasilkan pada awal periode pascabedah.
Untuk prosedur ekstremitas atas dan bawah maupun prosedur lokal (superfisial), teknik
blok saraf periferal sangatlah berguna. Kondisi intraoperatif sama dengan anestesia
umum dengan blokade neuroaksis sentral; namun teknik blok saraf periferal dengan
sedasi iv dapat memperbaiki kualitas pemulihan.
Pada umumnya, blokade subarakhnoid lebih disukai daripada analgesia epidural karena
lebih mudah dilaksanakan, mengurangi beaya kamar operasi dan kebutuhan akan obatobat tambahan. Meskipun risiko nyeri kepala pasca penusukan dura (post dural puncture
headache, PDPH) telah membatasi kepopuleran teknik ini pada pasien yang lebih muda,
jarum ujung pensil halus telah mengurangi kekerapan PDPH. Faktor yang menghambat
pemakaian luas blok neuroaksis sentral adalah efek sekunder seperti ambulasi yang
terlambat, hipotensi postural dan ketidak mampuan untuk buang air kecil. Kombinasi
opioid anestetik lokal dosis rendah (seperti lidokain 25 mg dan fentanil 25 g atau
sufentanil 5 g) untuk blokade subarakhnoid akan memudahkan pemulihan.
Banyak pasien rawat jalan menganggap teknik anestesia lokal sebagai alternatif yang
sangat akseptabel terhadap anestesia umum maupun regional jika ditambahkan obatobat
untuk sedasi yang adekuat, amnesia dan ansiolisis. Obat-obat IV kerja cepat dan singkat
untuk sedasi, ansiolisis dan analgesia dapat meningkatkan kenyamanan pasien.
Opioid analgetik remifentanil kerja cepat dan singkat yang dihancurkan oleh esterase
(0,25 g/kg dan/atau 0,05-0,1 g/kg/mnt) merupakan tambahan berguna pada midazolam
dan propofol selama MAC. Pasien yang memerlukan dosis tinggi midazolam (6-12 mg)
atau pasien yang sensitif terhadap depresi SSP oleh benzodiazepin dapat diberi
flumazenil 0,25- 1,0 mg IV untuk penawar sedasi dan amnesia yang masih tersisa dan
agar terjadi percepatan pemulihan.
JALUR CEPAT
Jika penggunaan obat-obat kerja singkat yang diberikan secara hati-hati memungkinkan
pasien untuk langsung pindah dari kamar operasi ke ruang pulih fase II (level yang lebih
bawah) dengan perawatan yang kurang intensif, maka secara potensial penghematan
beaya terhadap institusi dapat dicapai. Melewati pemulihan fase I (yaitu PACU) disebut
sebagai jalur cepat setelah menjalani pembedahan ambulatori.
Dengan pemulihan yang lebih cepat, lebih sedikit pasien berada dalam keadaan sedasi
dalam pada periode pascabedah dini dan periode saat mereka berisiko jalan nafas
tersumbat dan hemodinamik tidak stabil menjadi lebih singkat, dan berkurang pula
perlunya perawatan yang intensif. Kriteria jalur cepat memungkinkan institusi untuk
menggunakan tenaga perawat yang lebih sedikit dalam ruang pulih. Sementara obat-obat
anestetik kerja lebih cepat dan lebih singkat telah memudahkan proses pemulihan dini,
penggunaan profilaksis analgetik nonopioid [seperti anestetik lokal, nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID), asetaminofen] dan antiemetik (seperti droperidol,
metoklopramid, antagonis 5-HT3, deksametason) mengurangi efek samping pascabedah
dan mempercepat pemulihan segera dan pemulihan lambat sesudah pembedahan
ambulatori. Penggunaan obat-obatan yang lebih mahal ini hanya dapat dibenarkan secara
ekonomis jika dapat dibuktikan bahwa obat-obatan tersebut memang dapat memperbaiki
kualitas pemulihan dan pola kerja.
Penghematan beaya dari variasi penggunaan obat hanya akan terlihat jika perbaikan
sistem secara menyeluruh berakibat pada penggunaan sumber daya (termasuk tenaga
orang, ruang, waktu, investasi dalam bentuk barang terpakai dan modal).
Pada pasien-pasien rawat jalan yang menjalani ligasi tuba laparoskopik dengan desfluran
atau sevofluran, skor Aldrete 10 dihasilkan lebih cepat daripada dengan propofol. Dengan
desfluran, 90% pasien memenuhi syarat jalur cepat sesampainya di PACU.
Apfelbaum dkk menilai jalur cepat pada lima tempat/lokasi pembedahan. Spesialis
anestesiologi menilai pemulihan pasien-pasien sewaktu masih di kamar operasi,
menggunakan kriteria standard pemulangan yang tipis yang digunakan pada akhir rawat
di PACU. Kekerapan memintasi PACU setelah anestesia umum bervariasi dari 13,9%
sampai 42,1%. Personalia merupakan pos pengeluaran uang utama bagi PACU.
Nyeri pascabedah merupakan salah satu peristiwa tak diinginkan yang paling sering
terjadi. Faktor bedah, seperti tipe dan keinvasifannya, mempengaruhi insidens nyeri berat
pascabedah. Pasien-pasien yang menjalani prosedur bedah ortopedik, urologis dan plastic
tertentu dapat mengalami insidens nyeri hebat setinggi 40-70%. Prosedur yang lebih lama
berkaitan dengan insidens nyeri yang lebih tinggi.
Tatalaksana nyeri yang tepat adalah vital dalam perawatan bedah ambulatori. Nyeri
menurunkan level fungsional pascabedah pasien cukup besar. Nyeri hebat menjadikan
panjang lama perawatan dan dapat menyebabkan pasien harus menjalani rawat inap dan
masuk kembali ke rumah sakit setelah dipulangkan. Nyeri dapat menimbulkan PONV,
yang juga dapat memperpanjang lama perawatan dan pasien harus menjalani rawat inap.
Pengendalian efektif atas nyeri dan muntah pascabedah dapat membuat perbedaan antara
pasien rawat inap atau pasien ambulatori. PONV adalah komplikasi penting yang sering
terjadi dan masih merupakan salah satu prediktor terkuat lama perawatan pascabedah
yang memanjang dan rawat inap yang tidak diantisipasikan. PONV menyebabkan pasien
sangat distres, mempengaruhi fungsi pascabedah dan mengurangi kepuasan dengan
pembedahan dan anestesia ambulatori. PONV sangat bervariasi dalam kaitan dengan
usia, anestetika yang dipakai, tipe pembedahan dan karakteristik pasien. Dari faktorfaktor ini, tipe anestesia agaknya mempunyai pengaruh paling bermakna pada insidens
PONV.
Anestesia umum berkaitan dengan insidens tertinggi, khususnya pasien yang mendapat
anestetika inhalasi. Propofol berkaitan dengan insidens PONV yang lebih rendah.
Prosedur yang lebih nyeri, seperti beberapa prosedur THT, urologi, ortopedi dan plastic
(misal pembesaran payudara) memberikan risiko yang lebih tinggi.
Jenis kelamin wanita, usia lebih muda, obesitas, riwayat mabuk perjalanan dan riwayat
PONV sebelumnya, merupakan faktor-faktor risiko. Merokok rupanya menurunkan
insidens PONV. PONV sangat berkaitan dengan nyeri dan tatalaksananya. Antiemetik
profilaksis tidak digunakan secara rutin di kebanyakan senter, namun dianjurkan pada
pasien dengan risiko tinggi.
Untuk pencegahan rutin, gabungan yang paling efektif dan hemat beaya adalah
droperidol dosis rendah (0,625 mg) dan deksametason (4 mg). Pasien yang berisiko lebih
tinggi ada baiknya diberi tambahan antagonis 5-HT. Suatu pendekatan multi-modal (atau
seimbang) untuk menghasilkan analgesia adalah cara yang paling baik digunakan pada
pembedahan ambulatori.
Rasa nyeri hendaknya terkendali dengan analgetik oral (seperti ibuprofen, asetaminofen
dengan kodein) sebelum pasien dipulangkan. Meskipun analgetik opioid poten kerja
cepat banyak digunakan untuk mengatasi rasa nyeri sedang sampai kuat selama periode
pemulihan dini, senyawa-senyawa ini meningkatkan kekerapan PONV dan
mengakibatkan lambatnya pemulangan.
Teknik anestetik lokal untuk analgesia intraoperatif atau sebagai tambahan terhadap
anestesia umum dapat menghasilkan analgesia tambahan selama periode pascabedah dini.
Infiltrasi luka operasi atau instilasi menambah analgesia setelah prosedur abdominal
bawah, ekstremitas dan bahkan laparoskopi. Setelah prosedur laparoskopi, rasa nyeri
pada abdomen dapat dikurangi dengan anestesia lokal di daerah operasi dan diberikan
topical pada luka operasi. Rasa nyeri bahu sering terjadi setelah operasi laparoskopi dan
dapat diatasi secara efektif dengan instilasi subdiafragmatik larutan anestetik lokal.
Setelah operasi lutut artroskopik, pemberian 30 ml bupivakain 0,5% pada ruang sendi
mengurangi penggunaan opioid pascabedah dan memungkinkan ambulasi serta
pemulangan lebih dini. Penambahn morfin (1-2 mg), ketorolak (15-30 mg) atau bahkan
klonidin (0,1-0,2 mg) pada larutan intraartikular dapat mengurangi rasa nyeri lebih lanjut
setelah operasi artroskopik.
Untuk meningkatkan jumlah prosedur operasi yang dapat dilakukan secara ambulatori,
kita perlu menyiapkan penghilang rasa nyeri pascabedah yang efektif setelah pemulangan
seperti PCA (patient controlled analgesia) subkutaneous, iontoforesis transkutaneous.
DEFINISI PEMULIHAN
Pemulihan secara tradisional dibagi atas 3 bagian yang saling tumpang tindih yaitu early
recovery, intermediate recovery, dan late recovery. Early recovery dimulai dari
dihentikannya obat anestesi supaya pasien bangun, kembalinya refleks proteksi jalan
napas, dan dimulainya aktifitas motorik. Intermediate recovery bila sudah mencapai
kriteria untuk dapat dipulangkan ke rumah. Late recovery mulai dari dipulangkan sampai
pulihnya fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum pembedahan.
Ini mungkin membutuhkan beberapa hari namun dapat dibagi ke dalam tiga fase (tabel
1).
Skor ini Pertama kali digambarkan pada tahun 1970, namun ini tidak ditujukan untuk
pasien ambulatori. Skor ini digunakan secara luas di banyak unit dalam format asli. Skor
0, 1 atau 2 menunjukkan aktivitas, pernafasan, sirkulasi, kesadaran dan warnanya, dengan
angka maksimum 10 dan 9 mengindikasikan pemulihan yang cukup untuk memindahkan
pasien. Oksimeter pulsa merupakan indikator oksigenasi lebih baik daripada warna,
sehingga skor Aldrete diubah dan mensyaratkan saturasi pada udara lebih dari 92% .
KRITERIA PEMULANGAN
Dokter harus memutuskan jika pasien sudah cukup pulih untuk meninggalkan ASU,
untuk selanjutnya dirawat oleh famili atau perawatan lainnya. Tuntutan hukum dapat
terjadi jika pasien menderita kerugian akibat kerusakan/gangguan fungsi. Akan tetapi,
kebijaksanaan tertulis yang menetapkan kriteria pemulangan spesifik merupakan dasar
yang kuat untuk secara sah memutuskan pemulangan. Oleh karena itu, staf perawatan
ASU dapat memulangkan pasien yang sudah memenuhi kriteria tertulis spesifik.
Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar
dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas motorik, respirasi,
sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse
oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu
modifikasi skoring aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO2
pada modifikasi sistem skoring Aldrete.
o 0 ekstremitias 0
Respirasi
o Mampu nafas dalam dan batuk ; 2
o Dispneu atau nafas terbats : 1
o Apneu : 0
Sirkulasi
o BP 6 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi; 2
o BP 6 20-50 mmHg dari nilai sebelum anestesi ; 1
o BP 6 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi ; 0
Kesadaran
o Sadar penuh : 2
o Respon bila dipanggil : 1
o Tidak ada respon : 0
Saturasi oksigen
o Saturasi oksigen lebih dari 92% dengan udara bebas 2
o Saturasi oksigen lebih dari 90% dengan bantuan oksigen tambahan 1
o Saturasi oksigen kurang dari 90% walaupun dengan oksigen tambahan 0
TES PSIKOMOTOR
Sudah banyak upaya dilakukan untuk menemukan tes sederhana yang dapat
direproduksikan untuk menilai pemulihan dari anestesia. Banyak tes sudah digunakan di
bidang lain, dan disesuaikan untuk periode pascaanestesia. Pada tahun1969, modifikasi
tes Gestalt--tes Trieger dot-- diusulkan untuk menilai pemulihan.
Tes-tes lain yang telah digunakan mencakup the Maddox wing (alat untuk tes
keseimbangan otot ekstraokular), driving simulators, reaction time tests, dan peg board
tests, flicker fusion threshold, perceptual speed tests dan the digit symbol substitution
test. Baru-baru ini, diusulkan tes kompleks menilai keseimbangan pasien yang ditegakkan
dengan dual forceplate. Tidak satupun yang secara spesifik berlaku setelah dilakukan
studi yang memberikan kriteria adekuat untuk memberi petunjuk pemulangan dalam
program ambulatori. Banyak yang rumit dan menghabiskan waktu, serta membutuhkan
peralatan khusus. Banyak juga hanya menilai pemulihan fungsi satu bagian otak,
bukannya pemulihan sempurna pasien dan tes-tesnya tidak dapat diterapkan dalam
praktek klinis rutin. Kebanyakan senter menggunakan kriteria klinis.
Tes-tes psikomotor yang lebih rumit merupakan sarana riset yang berguna, karena dapat
mengukur gangguan fungsi psikomotor.
Spesialis anestesiologi yang berpengalaman, pada anestesia pasien rawat jalan dapat
menggunakan pengetahuan dan pengalamannya untuk memutuskan kapan pasien cukup
pulih untuk dipulangkan. Untuk memungkinkan pendelegasian tugas ini, sistem skor
klinis yang dirancang dengan baik akan memberikan petunjuk yang handal.
PADS merupakan suatu sistem skoring yang secara objektif menilai kondisi pasien untuk
dipulangkan. Modifikasi PADSS dibuat karena dalam kriteria PADSS terdapat ketentuan
mampu minum pascabedah, dimana ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan
kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu.
Adalah tidak tepat memulangkan pasien yang masih muntah dengan aktif, tetapi perlukah
untuk mendesak pasien-pasien yang merasa tidak mampu menoleransikan cairan per oral
agar minum sebelum dipulangkan? Anak-anak yang diharuskan minum sebelum pulang
mengalami insidens mual di ASU lebih tinggi dan waktu tinggal di ASU lebih panjang.
Bagi pasien-pasien dewasa, di antara pasien yang minum dan yang tidak, tidak ada
perbedaan insidens mual dan muntah pascabedah. Lama tinggal di ASU dapat sedikit
diperpendek tanpa efek-efek buruk jika minum tidak diwajibkan. Jadi staf medis dan
perawat hendaknya memodifikasikan kriteria pemulangan.
Tabel Modified PADSS. Perhatikan jumlah skor yang ada. Total nilai 10. Bila nilai lehih dari 9
atau sama dengan 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan
1. Tanda vital
2. Pergerakan
1 = dengan bantuan
3. Mual/muntah
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
4. Nyeri
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
5. Perdarahan
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
Faktor-faktor risiko untuk retensi urin mencakup riwayat retensi urin sesudah operasi,
retensi urin sebelumnya, anestesia spinal/epidural, bedah pelvis atau urologis, dan
kateterisasi perioperatif.
Studi kecil ini membutuhkan dukungan lebih lanjut, dan studi pada anak-anak sebelum
kita dapat memutuskan bahwa pasien-pasien yang mendapat opioid intratekal dapat
dipulangkan sebelum buang air kecil.
Meniadakan kewajiban untuk minum dan buang air kecil, dan memisahkan skor nyeri
dan mual/muntah memberikan versi terbaru PADS. Pemulangan lambat berhubungan
dengan gejala-gejala menetap antara lain nyeri, mual/muntah, hipotensi, pusing, gaya
berjalan yang tidak stabil, pingsan dan asma. Kelambatan dapat juga disebabkan ketika
pengantar tidak segera ada.64 Meskipun 50.000 pasien telah dipulangkan dengan aman
dari Toronto Hospital menggunakan PADS, hal ini perlu divalidasikan oleh penelitipeneliti lainnya.
Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab
membawanya pulang dan menjaganya dirumah karena akan mengurangi kejadian adanya
efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus
diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktifitas, dan nomor telepon bila
ada kejadian emergensi. Pasien secara rutin diminta untuk tidak minum alkohol,
menyetir, membuat keputusan penting dalam 24 jam.
Untuk hasil maksimal dalam penanganan mual dan muntah setelah pemulangan pasien,
pencegahan mual muntah dengan obat antiemetik profilaksis sebelumnya harus efektif
untuk mencegah kejadian PONV termasuk penerapan multimodal antiemetik khususnya
pada pasien yang mempunyai resiko cukup tinggi terjadinya PONV. Faktor kenyamanan
pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan.
Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah,
diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan,
pengelolaan PONV dan nyeri pascabedah, pemasangan jalur vena yang adekuat, dan
menghindari keterlambatan.
Daftar Pustaka
3. Friedman Z, Chung F, Wong DT. Ambulatory surgery adult patient selection criteria-a survey of canadian
anesthesiologists. Can J Anesth 2004; 51(5): 437-43.
4. White PF. Update on ambulatory anesthesia. Can J Anesth 2005; 52(6): 1-10.
5. White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millenium. Anesth Analg 2000; 90: 1234-35.
7. Gupta A, Stierer T, Zuckerman R, Sakima N, Parker SD, Fleisher LA. Comparison of recovery profile
after ambulatory anesthesia with propofol, isoflurane, sevoflurane and desflurane:a systematic review.
Anesth Analg 2004; 98: 632-41.
8. Wennervirta J, Ranta SO, Hynynen M. Awareness and recall in outpatient anesthesia. Anesth Analg 2002;
95: 72-77.
9. White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F, et al. The role of the anesthesiologist in
fast-track surgery: from multimodal analgesia to perioperative medical care. Anesth Analg 2007; 104:
1380-96.
10. White PF, Song D. New criteria for fast-tracking after outpatient anesthesia: A comparison with the
modified aldretes scoring system. Anesth Analg 1999; 88: 1069-72.