Você está na página 1de 18

APA YANG BARU PADA ANESTESIA AMBULATORI?

ANESTESIA AMBULATORI
PENDAHULUAN

Penyebabnya antara lain adalah banyak perusahaan asuransi kesehatan yang tidak
mengganti beaya kesehatan bagi pasien ambulatori. Sebetulnya prosedur ambulatori ini
memberikan keuntungan bagi pasien, penyedia perawatan-kesehatan, pembayar pihak
ketiga dan bahkan rumah sakit sekalipun. Pasien diuntungkan karena mengurangi
pemisahan dari lingkungan rumah dan keluarga mereka, mengurangi kemungkinan
infeksi yang didapat di rumah sakit dan mengurangi penyulit pascabedah. Dibandingkan
dengan cara tradisional masuk ke rumah sakit, terdapat pengurangan jumlah pemeriksaan
laboratorium dan penurunan kebutuhan pengobatan pascabedah.

Pembedahan ambulatori tidak bergantung pada ketersediaan fasilitas tidur di rumah sakit dan
malahan akan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pasien untuk memilih waktu
operasi. Kamar operasi dan ruang pulih dapat digunakan secara lebih efisien, dan hal ini dapat
mengurangi beaya yang harus dikeluarkan oleh pasien dibandingkan dengan beaya rawat inap
rumah sakit. Sebagai akibatnya, hospitalizasi banyak prosedur sekarang sudah dianggap tidak
tepat lagi, dan sangatlah sulit untuk meyakinkan pihak asuransi dan lembaga kesehatan bahwa
ada beberapa pasien mendapat keuntungan jika masuk rumah sakit malam sebelum operasi.
PENGERTIAN

Anestesi pada pasien ambulatory adalah anestesi yang dilakukan pada pasien yang
berobat jalan ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan pengobatan, tetapi tidak memerlukan
rawat inap (boleh pulang).
o Secara medis pasien yang dioperasi, setelah pasca bedah tidak memerlukan rawat
inap.
o Operasi yang akan dikerjakan tidak memerlukan sarana dan pra sarana sarana
yang komplek seperti pada rumah sakit, dapat hanya berupa kamar praktik dokter
bedah.

Kriteria Pasien dan Jenis Operasi

Pemilihan pasien
o Keputusan untuk menentukan apakah pasien layak untuk menjalani bedah rawat
jalan harus berdasarkan penilaian individual masing-masing pasien, yang
ditentukan oleh kombinasi dari beberapa faktor termasuk patient consideration,
prosedur pembedahan, teknik anestesi, dan tingkat kemampuan dan kenyamanan
ahli anestesi.
o Lamanya operasi bukan suatu kriteria untuk bedah rawat jalan, sebab hanya ada
sedikit hubungan antara lamanya anestesi dengan cepatnya pemulihan.
Penyelesaiannya adalah operasi yang lama harus diacarakan untuk operasi yang
paling pagi.

Kriteria pasien ambulatory yang akan dilakukan pembedahan dan anestesi adalah sebagai berikut
:

Pada awal diperkenalkannya bedah rawat jalan hanya pasien dengan status ASA I dan
ASA II yang dipilih untuk prosedur bedah rawat jalan. Saat ini, pasien yang digolongkan
pada status ASA III dan ASA IV juga merupakan calon operasi bedah rawat jalan asalkan
penyakit sistemiknya dalam keadaan stabil.

Pada kasus dimana terdapat gangguan jantung bedah rawat jalan dapat dilakukan pada
pasien dengan angina pectoris class II, CHF class I dan infark miokard yang lebih dari 6
bulan, dengan catatan dalam keadaan gejala ringan atau terkontrol. Begitu juga dengan
kelainan katup yang asimtomatis, dapat dilakukan bedah rawat jalan. IDDM dan
Morbidly Obesity (MO) tanpa penyakit sistemik bukan kontraindikasi untuk bedah rawat
jalan.

Sleep apneu dengan anestesi regional serta sleep apneu dengan anestesi umum tanpa
pemberian narkotik pascabedah dapat diterima sebagai calon bedah rawat jalan, kecuali
sleep apneu dengan anestesi regional dan anestesi umum yang disertai dengan pemberian
narkotik pascabedah.

Pembedahan superficial, bukan tindakan bedah di dalam kranium, toraks atau abdomen
(kecuali laparoscopy).

Lama pembedahan tidak melebihi 60 menit.

Pendarahan dan perubahan fisik yang terjadi minimal.

University of Chicago Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok pasien yang tidak dapat
dijadikan calon untuk bedah rawat jalan:

Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable. Pasien dengan kondisi ini
diskrining pada saat evaluasi prabedah oleh ahli anestesi, kemudian dirujuk kepada
konsultan medis terkait dan bersama dengan penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu
baru direncanakan untuk operasi setelah kondisinya stabil.

" Malignant Hyperpyrexia. Termasuk pasien dengan riwayat malignant hyperpyrexia


ataupun suspek malignant hyperpyrexia. Tetapi sebagian rumah sakit tetap melakukan
bedah rawat jalan pada kondisi ini.

" Terapi Monoamine Oxidase Inhibitors (MAO). Karena instabilitas hemodinamik yang
berhubungan dengan tatalaksana anestesi pada pasien yang sedang dalam terapi MAO,
obat tersebut dihentikan minimal 2 minggu sebelum operasi.

" Obesitas Morbid kompleks / Sleep Apneu kompleks. Walaupun pasien dengan riwayat
sleep apneu atau dengan morbidly obese tanpa penyakit sistemik merupakan calon bedah
rawat jalan, rawat inap dan observasi pascabedah dilakukan pada pasien morbidly obese
dengan disertai gangguan jantung, paru-paru, hepar, atau ginjal serta pasien dengan
riwayat sleep apneu kompleks.

" Ketagihan obat-obatan akut. Karena peningkatan respon kardiovaskular ketika agen
anestetik diberikan pada seseorang yang ketergantungan obat-obatan.

" Kesulitan psikososial. Pasien yang menolak untuk dilakukan operasi dengan teknik
bedah rawat jalan tidak dapat dipaksa. Pasien yang telah menjalani pembedahan rawat
jalan harus dalam pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab terhadapnya.

Apa itu status ASA??

Status ASA (American Society of Anesthesiologists) sebelum operasi adalah sistem


klasifikasi fisik sistem untuk menilai kesehatan pasien sebelum operasi.

American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status lima


kategori fisik; sebuah kategori keenam kemudian ditambahkan. Ini adalah:
o 1. Seorang pasien yang normal dan sehat.
o 2. Seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan.
o 3. Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat.
o 4. Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang merupakan ancaman bagi
kehidupan.
o 5. Seorang pasien yang hampir mati tidak diharapkan untuk bertahan hidup tanpa
operasi.

o 6. Seorang pasien mati otak yang menyatakan organ sedang dikeluarkan untuk
tujuan donor.
PERSIAPAN PASIEN

Pasien harus diperiksa ulang oleh ahli anestesi karena bisa terjadi perubahan-perubahan
yang mendadak misalnya infeksi saluran napas bagian atas atau apakah pasien
melaksanakan semua instruksi untuk puasa, adanya teman yang mengantar dan
menerangkan prosedur anestesi serta penandatanganan surat izin operasi. Kanula
intravena dipasang untuk pemberian obat anestesi nantinya serta pemberian cairan bila
diperlukan.

Berbagai cairan jernih dengan aman dapat diminum sampai dua jam sebelum operasi
tanpa meningkatkan volume sisa lambung. Cairan yang diminum dapat mengencerkan
sekresi lambung dan mempercepat pengosongan lambung itu sendiri, dan mengurangi
volume sisa lambung. Restriksi cairan sebelum operasi merupakan hal yang tidak
menyenangkan bagi pasien, dan pemberian cairan peroral dapat mengurangi kecemasan,
rasa haus dan lapar.

Pasien yang akan menjalani prosedur ambulatori pada siang hari diperbolehkan minum
kopi, teh atau jus pada pagi hari; ini dapat menghindarkan pasien dari rasa cemas dan
tidak nyaman yang berhubungan dengan penghentian kafein dan hipoglikemia akibat
puasa. Hidrasi prabedah yang agresif mengurangi rasa kantuk, pusing dan rasa haus serta
kelelahan dan rasa mual pascabedah ambulatori.

Pasien rawat jalan hendaknya diperintahkan untuk minum semua obat regular mereka
dengan sedikit air sampai satu jam sebelum prosedur. Bagi pasien dengan risiko aspirasi
paru (misal karena tingkat kegemukan yang tidak wajar, diabetik) penggunaan antagonisH2 dan metoklopramid prabedah dapat mengurangi keasaman dan jumlah cairan
lambung. Kebanyakan pasien yang akan menjalani operasi elektif akan merasa cemas. Di
samping itu, kesadaran yang timbul pada saat operasi, selama anestesia adalah hal yang
sering dicemaskan oleh para pasien yang akan menjalani operasi elektif. Meskipun
banyak digunakan premedikasi bagi pasien rawat inap , pasien rawat jalan secara
tradisional menolak, karena salah persepsi bahwa obat premedikasi sedatif akan
memperlambat pemulangan pasien.

Dengan menggunakan obat benzodiazepin kerja singkat dan simpatolitik (seperti


penghambat , agonis 2) dapat dihasilkan sedasi, amnesia dan ansiolosis prabedah yang
handal tanpa peningkatan waktu pulih yang bermakna secara klinis, bahkan setelah
prosedur ambulatori yang singkat. Kenyataannya, midazolam 1-3 mg iv (atau diazepam
2,5-7,5 mg iv) dapat memperbaiki hasil akhir setelah prosedur ambulatory minor.

Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada pasien umur lebih dari 40 tahun atau bila ada
indikasi. Bila pada pemeriksaan ditemukan masalah medis, sebaiknya operasi
ditangguhkan dan pasien dievaluasi kembali.

PEMILIHAN TEKNIK ANASTESI

Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien, prosedur
pembedahan serta keinginan dan permintaan pasien, bila memungkinkan.

Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang dapat dipilih:
o 1 Anestesi umum
o 2 Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi
o 3 Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan sedasi,
ahli anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien
o 4 Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim pembedahan

Ahli anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing teknik dengan
pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi pada waktu skrining
dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik akan didiskusikan dengan pasien.

Teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan harus memenuhi kriteria:
o 1. Menciptakan kondisi pembedahan yang prima
o 2. Pemulihan yang cepat (rapid recovery)
o 3. Tidak ada efek samping pascabedah
o 4. Kepuasan pasien

Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam peningkatan
kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi penggunaan kamar operasi, serta
pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek samping.

Belakangan, penggunaan Monitored Anesthesia Care (MAC) lebih dipilih oleh banyak
ahli anestesi sebagai alternatif dari anestesi umum dan anestesi regional pada bedah rawat
jalan. Dikenalkannya obat-obat anestesi yang lebih rapid dan shorter-acting seperti
volatile anestesi (desfluran dan sevofluran), analgetik opioid (remifentanil) dan pelemas
otot (rapacuronium) memberi peluang bagi ahli anestesi untuk lebih konsisten mencapai
kondisi pemulihan yang lebih ideal setelah tindakan anestesi umum.

PENGGUNAAN TEKNIK ANESTESIA LOKAL, REGIONAL DAN UMUM

Kita bisa menggunakan berbagai teknik anestesia umum, regional atau lokal. Pilihan ini
bergantung pada faktor bedah dan pasien. Sedasi intravena menjadi semakin penting
untuk membantu teknik anestesia lokal, yang merupakan bagian teknik layanan
anesthesia bermonitor (monitored anesthesia care, MAC).

Dalam banyak kasus anestesia umum tetap menjadi teknik yang paling disukai, baik bagi
pasien sendiri maupun bagi staf rumah sakit. Meskipun blokade neuroaksis sentral (misal
analgesia spinal dan epidural) dapat menunda pemulangan disebabkan adanya sisa
blokade simpatik, prosedur blok saraf periferal dapat memudahkan pemulihan. Oleh
karena itu, lebih banyak kasus yang dikerjakan dengan gabungan blokade saraf periferal
dan sedasi iv.

Pemberian obat-obat sedatif, anestetik, analgetik dan pelumpuh otot dengan mula kerja
singkat, lama kerja pendek dan prediktabel tanpa akumulasi dan efek samping minimal
telah menjadikan prosedur pembedahan yang singkat menjadi lebih aman dan
menyenangkan bagi pasien rawat jalan, dan hal ini akan memungkinkan operasi yang
lebih lama dan lebih rumit dilaksanakan dengan anesthesia umum secara ambulatori di
masa yang akan datang. Obat-obat anestetik yang lebih baru (seperti desfluran,
remifentanil, rapakuronium) dan peralatan baru (seperti monitor EEGBIS) dapat juga
memberi kemudahan bagi jalur cepat (fast-tracking), yaitu melewati post anesthesia care
unit (PACU) setelah dilakukan prosedur ambulatori.

Zat-zat IV digunakan untuk induksi anestesia bagi orang dewasa dan anak-anak yang
lebih tua. Propofol sekarang merupakan zat induksi anestesia pilihan untuk pasien rawat
jalan. Zat ini menghasilkan pengakhiran anestesia yang cepat karena redistribusinya yang
cepat dan masa paruh eliminasi yang singkat dan kekerapan efek samping pascabedah
yang sangat rendah.

Propofol sering memberikan euforia pada masa pengakhiran anesthesia dan jarang
menimbulkan rasa mual dan muntah pasca bedah (post operative nausea and vomiting,
PONV), khususnya apabila digabungkan dengan remifentanil, analgetik opioid dengan
lama kerja sangat singkat. Penggabungan propofol dengan ketamin dosis rendah
merupakan teknik yang semakin disukai untuk pembedahan plastik ambulatori.

Meskipun terdapat minat yang lebih besar dalam penggunaan teknik anestesia iv, zat
inhalasi tetap menjadi pilihan yang paling disukai untuk pemeliharaan anestesia umum.
Senyawa eter berhalogen yang lebih baru (seperti sevofluran, desfluran) memiliki
kelarutan gas-darah yang sangat rendah, memberikan mula kerja dan penghentian efekefek klinis yang cepat. Lagi pula, zat ini dapat dititrasikan dengan lebih baik sehingga
menghasilkan kestabilan dinamis yang lebih baik pula.

Desfluran banyak digunakan untuk pemeliharaan anestesia karena memiliki kelarutan gas
darah paling rendah, di antara semua zat anestetik uap dan kesadaran paling cepat pulih.
Sevofluran berkaitan dengan masa pulih sadar yang lebih singkat dan lebih sedikit efek
samping pascabedah dibandingkan dengan halotan dan isofluran. Karena tidak

menimbulkan iritasi saluran nafas, sevofluran dapat juga digunakan untuk induksi
anestesia, sebagai alternatif dari propofol, baik pada pasien rawat jalan orang dewasa
maupun anak-anak.

Kendatipun digunakan infus propofol untuk pemeliharaan anestesia guna memperbaiki


kualitas pemulihan dari anestesia umum (seperti mengurangi PONV), namun propofol
belum terbukti memberikan pemulihan yang lebih cepat atau pemulangan dari rumah
sakit yang lebih dini dibandingkan dengan penggunaan sevofluran atau desfluran. Jika
anestesia uap yang lebih baru tersebut digabungkan dengan infuse remifentanil dosis
rendah 0,04-0,08 g/kg/mnt, pengembalian kesadaran dari pembiusan sangatlah cepat
sehingga memudahkan untuk melakukan jalur cepat. Dari obat analgetik opioid yang
tersedia obat-obat yang lebih poten dan lebih baru, cepat dan singkat kerjanya
memberikan keuntungan dalam anestesia ambulatori.

Pelumpuh otot adalah bagian penting teknik anestesia imbang dan dapat memudahkan
operasi laparoskopi. Pelumpuh otot nondepolarisasi kerja singkat, mivakurium dan
rapakuronium mengurangi kebutuhan akan zat penawar, bahkan setelah prosedur
ambulatori singkat. Dengan tidak memberikan neostigmin-glikopirolat akan berkurang
efek samping pascabedah yang tidak nyaman. Pelumpuh otot nondepolarisasi yang
bekerja cepat memudahkan intubasi trakeal dan memungkinkan pemulihan spontan yang
lebih prediktabel seraya menghindari mialgia akibat suksinilkolin. Meskipun sering
digunakan sungkup muka dan alat jalan nafas oral untuk prosedur ambulatori singkat
superfisial, intubasi trakeal tetap disukai dalam pelaksanaan operasi ambulatori karena
mengurangi risiko komplikasi jalan nafas.

Jalan nafas sungkup laringeal (laryngeal mask airway, LMA) dan jalan nafas orofaringeal
dengan kaf (cuffed oropharyngeal airway, COPA) digunakan lebih banyak pada situasi di
mana sungkup muka atau pipa trakeal digunakan di masa lalu. Alat ini menjadikan jalan
nafas lebih bebas dan tanpa dipegang dibandingkan dengan penggunaan sungkup muka
dan jalan nafas oral. Dibandingkan dengan pipa trakeal dengan LMA dibutuhkan zat
anestetik yang lebih sedikit, rasa nyeri tenggorok pascabedah yang lebih ringan,
kurangnya perubahan dinamis selama induksi dan pengakhiran anestesia dan dihindari
penggunaan pelumpuh otot dan penawarnya. Oleh karena itu, alat jalan nafas invasif
yang minimal akan memudahkan jalur cepat.

Infiltrasi anestetik lokal dan blok saraf periferal sebagai tambahan pada anestesia umum
atau digabung dengan sedasi analgesia IV sebagai bagian teknik MAC dapat
meningkatkan keluwesan pembedahan ambulatori. Penggunaan MAC mencegah efek
samping anestesia umum yang biasa terjadi, perawatan pascaanestesia berkurang, dan
analgesia residual masih dihasilkan pada awal periode pascabedah.

Untuk prosedur ekstremitas atas dan bawah maupun prosedur lokal (superfisial), teknik
blok saraf periferal sangatlah berguna. Kondisi intraoperatif sama dengan anestesia
umum dengan blokade neuroaksis sentral; namun teknik blok saraf periferal dengan
sedasi iv dapat memperbaiki kualitas pemulihan.

Pada umumnya, blokade subarakhnoid lebih disukai daripada analgesia epidural karena
lebih mudah dilaksanakan, mengurangi beaya kamar operasi dan kebutuhan akan obatobat tambahan. Meskipun risiko nyeri kepala pasca penusukan dura (post dural puncture
headache, PDPH) telah membatasi kepopuleran teknik ini pada pasien yang lebih muda,
jarum ujung pensil halus telah mengurangi kekerapan PDPH. Faktor yang menghambat
pemakaian luas blok neuroaksis sentral adalah efek sekunder seperti ambulasi yang
terlambat, hipotensi postural dan ketidak mampuan untuk buang air kecil. Kombinasi
opioid anestetik lokal dosis rendah (seperti lidokain 25 mg dan fentanil 25 g atau
sufentanil 5 g) untuk blokade subarakhnoid akan memudahkan pemulihan.

Banyak pasien rawat jalan menganggap teknik anestesia lokal sebagai alternatif yang
sangat akseptabel terhadap anestesia umum maupun regional jika ditambahkan obatobat
untuk sedasi yang adekuat, amnesia dan ansiolisis. Obat-obat IV kerja cepat dan singkat
untuk sedasi, ansiolisis dan analgesia dapat meningkatkan kenyamanan pasien.

Midazolam 2 mg IV, dikombinasikan dengan propofol 2575 g/kg/mnt meningkatkan


sedasi, amnesia dan ansiolisis selama dilakukannya prosedur dengan anestesia lokal tanpa
melambatkan pemulihan.15 Pemberian infus propofol dengan dosis rendah dapat
disesuaikan dengan cepat dan menghasilkan sedasi yang memuaskan, pemulihan yang
cepat dan pasien bisa dipulangkan lebih dini baik bagi orang dewasa maupun anak-anak.

Opioid analgetik remifentanil kerja cepat dan singkat yang dihancurkan oleh esterase
(0,25 g/kg dan/atau 0,05-0,1 g/kg/mnt) merupakan tambahan berguna pada midazolam
dan propofol selama MAC. Pasien yang memerlukan dosis tinggi midazolam (6-12 mg)
atau pasien yang sensitif terhadap depresi SSP oleh benzodiazepin dapat diberi
flumazenil 0,25- 1,0 mg IV untuk penawar sedasi dan amnesia yang masih tersisa dan
agar terjadi percepatan pemulihan.

JALUR CEPAT

Anestesia ambulatori hendaknya menghasilkan kondisi yang memuaskan yang berjalan


dengan cepat dan aman, dan menjamin pemulihan yang cepat dan prediktabel dengan
efek samping minimal.

Jika penggunaan obat-obat kerja singkat yang diberikan secara hati-hati memungkinkan
pasien untuk langsung pindah dari kamar operasi ke ruang pulih fase II (level yang lebih
bawah) dengan perawatan yang kurang intensif, maka secara potensial penghematan
beaya terhadap institusi dapat dicapai. Melewati pemulihan fase I (yaitu PACU) disebut
sebagai jalur cepat setelah menjalani pembedahan ambulatori.

Dengan pemulihan yang lebih cepat, lebih sedikit pasien berada dalam keadaan sedasi
dalam pada periode pascabedah dini dan periode saat mereka berisiko jalan nafas
tersumbat dan hemodinamik tidak stabil menjadi lebih singkat, dan berkurang pula
perlunya perawatan yang intensif. Kriteria jalur cepat memungkinkan institusi untuk

menggunakan tenaga perawat yang lebih sedikit dalam ruang pulih. Sementara obat-obat
anestetik kerja lebih cepat dan lebih singkat telah memudahkan proses pemulihan dini,
penggunaan profilaksis analgetik nonopioid [seperti anestetik lokal, nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID), asetaminofen] dan antiemetik (seperti droperidol,
metoklopramid, antagonis 5-HT3, deksametason) mengurangi efek samping pascabedah
dan mempercepat pemulihan segera dan pemulihan lambat sesudah pembedahan
ambulatori. Penggunaan obat-obatan yang lebih mahal ini hanya dapat dibenarkan secara
ekonomis jika dapat dibuktikan bahwa obat-obatan tersebut memang dapat memperbaiki
kualitas pemulihan dan pola kerja.

Penghematan beaya dari variasi penggunaan obat hanya akan terlihat jika perbaikan
sistem secara menyeluruh berakibat pada penggunaan sumber daya (termasuk tenaga
orang, ruang, waktu, investasi dalam bentuk barang terpakai dan modal).

Zat-zat anestetik dan teknik-teknik baru memungkinkan pulihnya kesadaran menjadi


lebih cepat, sehingga pemulihan dini dapat terjadi di kamar operasi. Pasien menujuunit
bedah ambulatori (ambulatory surgical unit, ASU), tanpa melewati PACU.

Pada pasien-pasien rawat jalan yang menjalani ligasi tuba laparoskopik dengan desfluran
atau sevofluran, skor Aldrete 10 dihasilkan lebih cepat daripada dengan propofol. Dengan
desfluran, 90% pasien memenuhi syarat jalur cepat sesampainya di PACU.

Apfelbaum dkk menilai jalur cepat pada lima tempat/lokasi pembedahan. Spesialis
anestesiologi menilai pemulihan pasien-pasien sewaktu masih di kamar operasi,
menggunakan kriteria standard pemulangan yang tipis yang digunakan pada akhir rawat
di PACU. Kekerapan memintasi PACU setelah anestesia umum bervariasi dari 13,9%
sampai 42,1%. Personalia merupakan pos pengeluaran uang utama bagi PACU.

Skoring membantu dalam pengambilan keputusan jalur cepat.Karena jalur cepat


mengurangi aktivitas PACU, pengurangan staf dapat menghemat beaya. Lebih banyak
penelitian dibutuhkan sebelum konsep jalur cepat diimplementasikan dengan aman dan
efisien.

Sesudah pasien-pasien dipindahkan dari kamar operasi ke ASU, mereka hendaknya


berada di sana sampai pemulihan intermediet komplit (misal mampu berkoordinasi,
ambulasi dan dinilai siap pulang). Untuk menjadikan ASU efektif dan efisien, penting
bahwa pasien tidak ditahan secara tidak perlu setelah terjadi pemulihan intermediet
komplit. Akan tetapi, pemulangan prematur tidak saja dapat menyebabkan kemungkinan
pasien menderita komplikasi, tetapi juga dapat masuk kembali ke rumah sakit dan
kecemasan tuntutan mediko legal. Meskipun pasien sudah dipulangkan dari rumah sakit,
mereka tidak dapat dianggap pulih sempurna sampai mereka kembali ke keadaan
fisiologis dan fungsional prabedah.

TATALAKSANA NYERI DAN MUNTAH PASCABEDAH

Nyeri pascabedah merupakan salah satu peristiwa tak diinginkan yang paling sering
terjadi. Faktor bedah, seperti tipe dan keinvasifannya, mempengaruhi insidens nyeri berat
pascabedah. Pasien-pasien yang menjalani prosedur bedah ortopedik, urologis dan plastic
tertentu dapat mengalami insidens nyeri hebat setinggi 40-70%. Prosedur yang lebih lama
berkaitan dengan insidens nyeri yang lebih tinggi.

Tatalaksana nyeri yang tepat adalah vital dalam perawatan bedah ambulatori. Nyeri
menurunkan level fungsional pascabedah pasien cukup besar. Nyeri hebat menjadikan
panjang lama perawatan dan dapat menyebabkan pasien harus menjalani rawat inap dan
masuk kembali ke rumah sakit setelah dipulangkan. Nyeri dapat menimbulkan PONV,
yang juga dapat memperpanjang lama perawatan dan pasien harus menjalani rawat inap.

Pengendalian efektif atas nyeri dan muntah pascabedah dapat membuat perbedaan antara
pasien rawat inap atau pasien ambulatori. PONV adalah komplikasi penting yang sering
terjadi dan masih merupakan salah satu prediktor terkuat lama perawatan pascabedah
yang memanjang dan rawat inap yang tidak diantisipasikan. PONV menyebabkan pasien
sangat distres, mempengaruhi fungsi pascabedah dan mengurangi kepuasan dengan
pembedahan dan anestesia ambulatori. PONV sangat bervariasi dalam kaitan dengan
usia, anestetika yang dipakai, tipe pembedahan dan karakteristik pasien. Dari faktorfaktor ini, tipe anestesia agaknya mempunyai pengaruh paling bermakna pada insidens
PONV.

Anestesia umum berkaitan dengan insidens tertinggi, khususnya pasien yang mendapat
anestetika inhalasi. Propofol berkaitan dengan insidens PONV yang lebih rendah.
Prosedur yang lebih nyeri, seperti beberapa prosedur THT, urologi, ortopedi dan plastic
(misal pembesaran payudara) memberikan risiko yang lebih tinggi.

Jenis kelamin wanita, usia lebih muda, obesitas, riwayat mabuk perjalanan dan riwayat
PONV sebelumnya, merupakan faktor-faktor risiko. Merokok rupanya menurunkan
insidens PONV. PONV sangat berkaitan dengan nyeri dan tatalaksananya. Antiemetik
profilaksis tidak digunakan secara rutin di kebanyakan senter, namun dianjurkan pada
pasien dengan risiko tinggi.

Untuk pencegahan rutin, gabungan yang paling efektif dan hemat beaya adalah
droperidol dosis rendah (0,625 mg) dan deksametason (4 mg). Pasien yang berisiko lebih
tinggi ada baiknya diberi tambahan antagonis 5-HT. Suatu pendekatan multi-modal (atau
seimbang) untuk menghasilkan analgesia adalah cara yang paling baik digunakan pada
pembedahan ambulatori.

Rasa nyeri hendaknya terkendali dengan analgetik oral (seperti ibuprofen, asetaminofen
dengan kodein) sebelum pasien dipulangkan. Meskipun analgetik opioid poten kerja
cepat banyak digunakan untuk mengatasi rasa nyeri sedang sampai kuat selama periode
pemulihan dini, senyawa-senyawa ini meningkatkan kekerapan PONV dan
mengakibatkan lambatnya pemulangan.

NSAID poten (seperti diklofenak, ketorolak) dapat mengurangi penggunaan analgetik


opioid setelah pembedahan ambulatori dan memungkinkan pemulangan lebih dini. Obat
analgetik nonsteroid oral yang lebih murah (seperti ibuprofen, naproksen) sebanding
dengan ketorolak. Antagonis Cox-2 yang baru (seperti parekoksib) dapat bermanfaat
apabila dikuatirkan terjadi perdarahan pascabedah (seperti tonsilektomi, operasi plastik).
Namun, asetaminofen merupakan alternatif efektif yang lebih hemat beaya jika diberikan
secara tepat dosis (40-60 mg/kg).

Teknik anestetik lokal untuk analgesia intraoperatif atau sebagai tambahan terhadap
anestesia umum dapat menghasilkan analgesia tambahan selama periode pascabedah dini.

Infiltrasi luka operasi atau instilasi menambah analgesia setelah prosedur abdominal
bawah, ekstremitas dan bahkan laparoskopi. Setelah prosedur laparoskopi, rasa nyeri
pada abdomen dapat dikurangi dengan anestesia lokal di daerah operasi dan diberikan
topical pada luka operasi. Rasa nyeri bahu sering terjadi setelah operasi laparoskopi dan
dapat diatasi secara efektif dengan instilasi subdiafragmatik larutan anestetik lokal.
Setelah operasi lutut artroskopik, pemberian 30 ml bupivakain 0,5% pada ruang sendi
mengurangi penggunaan opioid pascabedah dan memungkinkan ambulasi serta
pemulangan lebih dini. Penambahn morfin (1-2 mg), ketorolak (15-30 mg) atau bahkan
klonidin (0,1-0,2 mg) pada larutan intraartikular dapat mengurangi rasa nyeri lebih lanjut
setelah operasi artroskopik.

Untuk meningkatkan jumlah prosedur operasi yang dapat dilakukan secara ambulatori,
kita perlu menyiapkan penghilang rasa nyeri pascabedah yang efektif setelah pemulangan
seperti PCA (patient controlled analgesia) subkutaneous, iontoforesis transkutaneous.

DEFINISI PEMULIHAN

Pemulihan adalah suatu proses yang berkesinambungan, tahap awalnya bertumpang


tindih dengan akhir perawatan intraoperatif. Pasien pulih dengan sempurna ketika mereka
kembali seperti keadaan fisiologis prabedah.

Pemulihan secara tradisional dibagi atas 3 bagian yang saling tumpang tindih yaitu early
recovery, intermediate recovery, dan late recovery. Early recovery dimulai dari
dihentikannya obat anestesi supaya pasien bangun, kembalinya refleks proteksi jalan
napas, dan dimulainya aktifitas motorik. Intermediate recovery bila sudah mencapai
kriteria untuk dapat dipulangkan ke rumah. Late recovery mulai dari dipulangkan sampai
pulihnya fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum pembedahan.

Ini mungkin membutuhkan beberapa hari namun dapat dibagi ke dalam tiga fase (tabel
1).

Tabel 1. Tahap-tahap pemulihan


Tahap pemulihan Batasan klinis

Pemulihan dini. Mulai sadar dan pemulihan refleks-refleks vital.


Pemulihan intermediet. Pemulihan klinis segera.
Kesiapan pulang.
Pemulihan lambat. Pemulihan sempurna.
Pemulihan psikologis.

Pemulihan dini (fase I) berlangsung dari penghentian anestesia sampai reflex-refleks


protektif dan fungsi motorik telah pulih. Pemantauan ketat diperlukan selama tahap ini,
normalnya di ruang PACU dengan staf perawatan yang terlatih. Untuk memutuskan
kapan pasien cukup pulih, sehingga aman untuk dipindahkan ke ASU, atau pemulihan
fase II, dapat digunakan skor Aldrete.

Skor ini Pertama kali digambarkan pada tahun 1970, namun ini tidak ditujukan untuk
pasien ambulatori. Skor ini digunakan secara luas di banyak unit dalam format asli. Skor
0, 1 atau 2 menunjukkan aktivitas, pernafasan, sirkulasi, kesadaran dan warnanya, dengan
angka maksimum 10 dan 9 mengindikasikan pemulihan yang cukup untuk memindahkan
pasien. Oksimeter pulsa merupakan indikator oksigenasi lebih baik daripada warna,
sehingga skor Aldrete diubah dan mensyaratkan saturasi pada udara lebih dari 92% .

KRITERIA PEMULANGAN

Dokter harus memutuskan jika pasien sudah cukup pulih untuk meninggalkan ASU,
untuk selanjutnya dirawat oleh famili atau perawatan lainnya. Tuntutan hukum dapat
terjadi jika pasien menderita kerugian akibat kerusakan/gangguan fungsi. Akan tetapi,
kebijaksanaan tertulis yang menetapkan kriteria pemulangan spesifik merupakan dasar
yang kuat untuk secara sah memutuskan pemulangan. Oleh karena itu, staf perawatan
ASU dapat memulangkan pasien yang sudah memenuhi kriteria tertulis spesifik.

Apa kriteria yang sebaiknya kita gunakan?

Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien fit untuk keluar
dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas motorik, respirasi,
sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse
oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu
modifikasi skoring aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO2
pada modifikasi sistem skoring Aldrete.

Table 2. Modified Aldrete Scoring System

Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas


o 4 ekstremitas 2
o 2 ekstremitias 1

o 0 ekstremitias 0

Respirasi
o Mampu nafas dalam dan batuk ; 2
o Dispneu atau nafas terbats : 1
o Apneu : 0

Sirkulasi
o BP 6 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi; 2
o BP 6 20-50 mmHg dari nilai sebelum anestesi ; 1
o BP 6 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi ; 0

Kesadaran
o Sadar penuh : 2
o Respon bila dipanggil : 1
o Tidak ada respon : 0

Saturasi oksigen
o Saturasi oksigen lebih dari 92% dengan udara bebas 2
o Saturasi oksigen lebih dari 90% dengan bantuan oksigen tambahan 1
o Saturasi oksigen kurang dari 90% walaupun dengan oksigen tambahan 0

TES PSIKOMOTOR

Sudah banyak upaya dilakukan untuk menemukan tes sederhana yang dapat
direproduksikan untuk menilai pemulihan dari anestesia. Banyak tes sudah digunakan di
bidang lain, dan disesuaikan untuk periode pascaanestesia. Pada tahun1969, modifikasi
tes Gestalt--tes Trieger dot-- diusulkan untuk menilai pemulihan.

Tes-tes lain yang telah digunakan mencakup the Maddox wing (alat untuk tes
keseimbangan otot ekstraokular), driving simulators, reaction time tests, dan peg board
tests, flicker fusion threshold, perceptual speed tests dan the digit symbol substitution

test. Baru-baru ini, diusulkan tes kompleks menilai keseimbangan pasien yang ditegakkan
dengan dual forceplate. Tidak satupun yang secara spesifik berlaku setelah dilakukan
studi yang memberikan kriteria adekuat untuk memberi petunjuk pemulangan dalam
program ambulatori. Banyak yang rumit dan menghabiskan waktu, serta membutuhkan
peralatan khusus. Banyak juga hanya menilai pemulihan fungsi satu bagian otak,
bukannya pemulihan sempurna pasien dan tes-tesnya tidak dapat diterapkan dalam
praktek klinis rutin. Kebanyakan senter menggunakan kriteria klinis.

Tes-tes psikomotor yang lebih rumit merupakan sarana riset yang berguna, karena dapat
mengukur gangguan fungsi psikomotor.

Petunjuk untuk pemulangan yang aman sesudah pembedahan ambulatori.


o (1) Tanda-tanda vital harus sudah stabil minimal 1 jam.
o (2) Pasien harus: tahu orang, tempat dan waktu dapat memasukkan cairan per oral
dapat buang air kecil dapat berpakaian dapat berjalan tanpa bantuan
o (3) Pasien harus tidak mengalami: lebih dari mual dan muntah minimal nyeri yang
sangat perdarahan
o (4) Pasien harus dipulangkan baik oleh dokter yang membedah, maupun yang
memberi anestesia. Instruksi tertulis untuk periode pascabedah di rumah,
termasuk tempat dan orang yang dapat dihubungi harus ada.
o (5) Pasien harus ditemani seorang dewasa yang bertanggung jawab yang
mengantarnya pulang dan tinggal bersamanya di rumah.

SISTEM SKOR KLINIS

Spesialis anestesiologi yang berpengalaman, pada anestesia pasien rawat jalan dapat
menggunakan pengetahuan dan pengalamannya untuk memutuskan kapan pasien cukup
pulih untuk dipulangkan. Untuk memungkinkan pendelegasian tugas ini, sistem skor
klinis yang dirancang dengan baik akan memberikan petunjuk yang handal.

Dengan PADS (postanesthesia discharge scoring system) kebanyakan pasien dapat


dipulangkan tidak lebih dari 2 jam pascabedah.

PADS merupakan suatu sistem skoring yang secara objektif menilai kondisi pasien untuk
dipulangkan. Modifikasi PADSS dibuat karena dalam kriteria PADSS terdapat ketentuan
mampu minum pascabedah, dimana ketentuan minum pascabedah tidak lagi dimasukkan
kedalam protokol kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu.

Modifikasi PADSS berdasarkan 5 kriteria, yaitu:

o 1. Tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, temperature)


o 2. Ambulasi
o 3. Mual/muntah
o 4. Nyeri
o 5. Perdarahan akibat pembedahan
PERLUKAH KEMAMPUAN TOLERANSI CAIRAN PER ORAL?

Adalah tidak tepat memulangkan pasien yang masih muntah dengan aktif, tetapi perlukah
untuk mendesak pasien-pasien yang merasa tidak mampu menoleransikan cairan per oral
agar minum sebelum dipulangkan? Anak-anak yang diharuskan minum sebelum pulang
mengalami insidens mual di ASU lebih tinggi dan waktu tinggal di ASU lebih panjang.

The Childrens Hospital of Philadelphia memulangkan lebih dari 6000 pasien


pembedahan ambulatori tanpa mewajibkan mereka minum sebelumnya: tiga anak perlu
rawat inap karena muntah, dan hanya satu yang dirawat kembali masuk rumah sakit
karena muntah dan dehidrasi yang membandel.

Bagi pasien-pasien dewasa, di antara pasien yang minum dan yang tidak, tidak ada
perbedaan insidens mual dan muntah pascabedah. Lama tinggal di ASU dapat sedikit
diperpendek tanpa efek-efek buruk jika minum tidak diwajibkan. Jadi staf medis dan
perawat hendaknya memodifikasikan kriteria pemulangan.

Tabel Modified PADSS. Perhatikan jumlah skor yang ada. Total nilai 10. Bila nilai lehih dari 9
atau sama dengan 9 pasien dinyatakan bisa dipulangkan
1. Tanda vital

2 = sekitar 20% dari nilai prabedah

1 = 20 - 40% dari nilai prabedah

0 = 40% dari nilai prabedah

2. Pergerakan

2 = mampu berdiri/tidak ada pusing

1 = dengan bantuan

0 = tidak ada pergerakan/pusing

3. Mual/muntah

2 = minimal

1 = sedang

0 = berat

4. Nyeri

2 = minimal

1 = sedang

0 = berat

5. Perdarahan

2 = minimal

1 = sedang

0 = berat

PERLUKAH BUANG AIR KECIL SEBELUM PEMULANGAN?

Memaksa pasien mengeluarkan urin bisa menyebabkan lambatnya pemulangan. Pasien


rawat jalan tanpa risiko tinggi retensi urin dapat dipulangkan dengan aman sebelum
mereka buang air kecil, tanpa problema retensi urin di rumah.

Faktor-faktor risiko untuk retensi urin mencakup riwayat retensi urin sesudah operasi,
retensi urin sebelumnya, anestesia spinal/epidural, bedah pelvis atau urologis, dan
kateterisasi perioperatif.

Satu studi melakukan observasi 1.719 pasien ambulatori berurutan, 30 di antaranya


diidentifikasikan siap untuk pulang, tidak dapat buang air kecil, dan termasuk grup
berisiko tinggi retensi urin. Sesudah pemulangan hanya 3 yang perlu kateterisasi di
rumah, dan semuanya setelah menjalani prosedur rektal atau inguinal dengan spinal
anestesia spinal. Ini menunjukkan meskipun pasien-pasien dengan risiko tinggi retensi
urin dapat dipulangkan sebelum mereka dapat buang air kecil, asal ditindak lanjuti secara
tepat, kalau perlu kateterisasi oleh perawat di rumah. Beaya menyediakan perawat di
rumah dapat menjadi lebih besar daripada beberapa penghematan dari pemulangan dini

pasien-pasien ini. Pemberian 10 g fentanil pada 5 mg bupivakain intratekal untuk


artroskopi lutut ambulatori tidak mempengaruhi waktu urinasi atau waktu pemulangan.

Studi kecil ini membutuhkan dukungan lebih lanjut, dan studi pada anak-anak sebelum
kita dapat memutuskan bahwa pasien-pasien yang mendapat opioid intratekal dapat
dipulangkan sebelum buang air kecil.

Meniadakan kewajiban untuk minum dan buang air kecil, dan memisahkan skor nyeri
dan mual/muntah memberikan versi terbaru PADS. Pemulangan lambat berhubungan
dengan gejala-gejala menetap antara lain nyeri, mual/muntah, hipotensi, pusing, gaya
berjalan yang tidak stabil, pingsan dan asma. Kelambatan dapat juga disebabkan ketika
pengantar tidak segera ada.64 Meskipun 50.000 pasien telah dipulangkan dengan aman
dari Toronto Hospital menggunakan PADS, hal ini perlu divalidasikan oleh penelitipeneliti lainnya.

PENATALAKSANAAN SETELAH PASIEN PULANG DARI RUMAH SAKIT

Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab
membawanya pulang dan menjaganya dirumah karena akan mengurangi kejadian adanya
efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus
diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat, aktifitas, dan nomor telepon bila
ada kejadian emergensi. Pasien secara rutin diminta untuk tidak minum alkohol,
menyetir, membuat keputusan penting dalam 24 jam.

Komplikasi pascabedah harus sudah tertangani sebelum pasien dipulangkan. Pengelolaan


nyeri harus optimal dan analgetik peroral idealnya mampu memberikan analgesi yang
adekuat setelah pasien dipulangkan. Strategi multimodal dalam pengelolaan nyeri
memberikan hasil yang efektif dalam meningkatkan outcome pasien. Mual dan muntah
setelah pasien dipulangkan dapat dicegah dengan pemberian ondansetron ODT.

Untuk hasil maksimal dalam penanganan mual dan muntah setelah pemulangan pasien,
pencegahan mual muntah dengan obat antiemetik profilaksis sebelumnya harus efektif
untuk mencegah kejadian PONV termasuk penerapan multimodal antiemetik khususnya
pada pasien yang mempunyai resiko cukup tinggi terjadinya PONV. Faktor kenyamanan
pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan.

Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah,
diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan,
pengelolaan PONV dan nyeri pascabedah, pemasangan jalur vena yang adekuat, dan
menghindari keterlambatan.

Daftar Pustaka

1. Apfelbaum JL. Current controversies in adult outpatient anesthesia. ASA, 2005.

2. Bisri T. Seri Buku Literasi Anestesiologi: Ambulatory anesthesia. 2007.

3. Friedman Z, Chung F, Wong DT. Ambulatory surgery adult patient selection criteria-a survey of canadian
anesthesiologists. Can J Anesth 2004; 51(5): 437-43.

4. White PF. Update on ambulatory anesthesia. Can J Anesth 2005; 52(6): 1-10.

5. White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millenium. Anesth Analg 2000; 90: 1234-35.

6. McCarthy DE. Outpatient anesthesia. Jax-Medicine Journal 1998.

7. Gupta A, Stierer T, Zuckerman R, Sakima N, Parker SD, Fleisher LA. Comparison of recovery profile
after ambulatory anesthesia with propofol, isoflurane, sevoflurane and desflurane:a systematic review.
Anesth Analg 2004; 98: 632-41.

8. Wennervirta J, Ranta SO, Hynynen M. Awareness and recall in outpatient anesthesia. Anesth Analg 2002;
95: 72-77.

9. White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F, et al. The role of the anesthesiologist in
fast-track surgery: from multimodal analgesia to perioperative medical care. Anesth Analg 2007; 104:
1380-96.

10. White PF, Song D. New criteria for fast-tracking after outpatient anesthesia: A comparison with the
modified aldretes scoring system. Anesth Analg 1999; 88: 1069-72.

Você também pode gostar