Você está na página 1de 32

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)

DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
BRONKOPNEUMONIA
ICD-10 : J18.O
1. Pengertian
(Definisi)
2. Etiologi

Peradangan / inflamasi yang mengenai parenkim paru.


Kuman penyebab pneumonia anak berdasarkan umur:
Umur
Lahir- 3minggu
3 minggu 3 bulan

4 bulan- 4 tahun

Lebih dari 5 tahun

Kuman penyebab
Group B Streptococcus
Kuman gram negatif (misalnya E.Coli)
Virus (RSV, parainfluenza virus, influenza A dan B,
adenovirus)
Chlamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
Streptococcus pneumoniae, virus, haemophilus
influenzae, Group A streptococcus ( Streptococcus
pyogenes), Streptococcus aureus, Mycoplasma
pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae,
Streptococcus pneumoniae

3. Patogenesis

Mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran


respiratori edema konsolidasi (serbukan sel PMN, fibrin,
eritrosit,cairan edema) deposit fibrin semakin bertambah proses
fagositosis jumlah makrofag meningkat degenerasi sel fibrin
menipis kuman & debris menghilang

4. Anamnesis

Demam tinggi, batuk, sesak napas, biru disekitar mulut, mengigil (pada anak),
kejang (pada bayi) dan nyeri dada.
Demam tinggi
Dispnoe yang ditandai dengan pernapasan cepat (takipneu, pernapasan cuping
hidung, retraksi dan sianosis)
Suara napas vesikuler meningkat sampai bronchial
Bising tambahan ronkhi basah halus nyaring.
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisis
3. Pemeriksaan penunjang (darah perifer lengkap, CRP, foto toraks AP/ Lateral
Kanan,analisa gas darah, mikrobiologis)

5. Pemeriksaan1.
Fisik
2.
3.
4.
6. Kriteria
Diagnosis

7. Diagnosis
8. Diagnosis
Banding

Bronkopneumonia (J18.O)
1.Bronkiolitis
2.Bronkitis akut
3.Payah jantung
4.Sepsis
143

9. Pemeriksaan
Penunjang

Pemeriksaan darah perifer lengkap, CRP, Analisa gas darah, foto toraks AP/
Lateral Kanan, mikrobiologi dari sputum dan swab nasopharyngeal, spesimen
dari bronchoalveolar lavage, aspirasi jaringan paru.

10. Terapi

Penatalaksanaan bronkopneumonia:
1. Pemberian oksigen dimonitoring dengan pulse oxymetri
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup, sesuai dengan berat badan,
peningkatan suhu dan status hidrasi
3. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui
selang nasogastrik,urogastrik maupun per oral
4. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
5. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi
6. Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan
penyebab. Evaluasi pengobatan setiap 48-72 jam,bila tidak ada perbaikan
klinis dilakukan penggantian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh.
7. Lama pemberian antibiotik tergantung kemajuan klinis penderita, foto thorax
dan jenis kuman penyebab. Sebagian besar membutuhkan waktu 10-14 hari,
kecuali untuk kuman staphyococcus dapat diberikan 6 minggu.
8. Keadaan imunokomproised (gizi buruk, penyakit jantng bawaan, gangguan
neuromuskular, keganansan, pengobatan steroid jangka panjang, fibrosis
kistik, infeksi HIV), antibiotik harus segera diberikan. Dapat dipertimbangkan
pemberian: kotrimosazol pada pneumocystic carinii, antiviral
(acyclovir,gansiclovir) pada pneumonia karena CMV, antijamur (amphoterisin
b, ketokonazol, fluconazol) pada pneumonia karena jamur dan imunoglobulin
9. Atasi penyakit penyerta lainnya
Petunjuk pemberian antibiotika empiris:
1. Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia baruyang datang ke IRD
atau rawat jalan yang belum pernah mendapatkan perawatan di RS
lainnya:
a. Pneumonia ringan yang bisa rawat jalan:
- Amoksisilin 50-80 mg/kg/hari per oral dibagi dalam 3 dosis, atau
- Amoksisilin+asam klavulanat 50 mg/kgbb peroral dibagi dalam 3
dosis
b. Pneumonia yang memerlukan rawat:
- Ampicilin 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis atau
- Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
c. Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai penyakit penyerta
yang menular tanpa disertai sepsis (ISK, gastroenteritis, morbili)
- Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
d. Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai sepsis
- Ampicilin sulbactam 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
2. Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang dirujuk dari RS lain
adalah:
a. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain kurang dari 72 jam
- Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
b. Pernah mendapatkan perawatan RS lain lebih dari 72 jam
- Cefotaxim 200 mg/kgbb/hari intravenadibagi dalam 3 dosis
- Ceftriaxon 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 2 dosis, atau
sesuai dengan kultur dahak/darah yang ada, atau pertimbangan lain
3. Pilihan antibiotika untuk penderita penumonia dengan penyakit penyerta yang
tidak menular (non-infectious) seperti kelainan jantung bawaan sianotik atau
144

11. Edukasi

12. Prognosis

non sianotik, kelainan hematologi, kelainan kongenital, dansebagainya, sesuai


dengan poin1.
4. Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang diduga disebabkan oleh
infeksi kuman atipik (pneumonia atipik) dapat diberikan salah satu antibiotik
di bawah ini:
- Spiramisin 50 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis (10-14 hari)
- Eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 3-4 dosis (10-14 hari)
- Azitromisin 10 mg/kgbbsekali sehari (5 hari)
- Klaritromisin 15 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis (7-10 hari)
1. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
2. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
3. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
4. Menjelaskan prognosis dan komplikasi penyakit
5. Menjelaskan perlunya pemberian imunisasi, ASI yang adekuat serta asupan
gizi yang cukup.
6. Menjauhkan anak dari polusi udara dan asap rokok
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
I / II

13. Tingkat
evidens
14. Tingkat
A
Rekomendasi
15. Penelaah
Subdivisi Respirologi Departemen IKA RSMH Palembang
Kritis
16. Indikator
1. Perbaikan klinis, laboratorium dan rontgen thorax
Medis
1. Mengurangi dan mencegah komplikasi
17. Target

18. Kepustakaan 1. Said M. Pneumonia. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2008; h.350-365.
2. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
3. Alberta Medical Association. Guideline for the Diagnosis and Management of
Community Acquired Pneumonia. Pediatrics; 2001.
4. Supriyatno B, dkk. Pneumonia. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.351-354.
5. Crowe JE. Viral pneumonia. Dalam: Kendigs Disorders Of The Respiratory
Tract In Children. 7th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h.433440.
6. Stein RT, Marostica PJC. Community-acquired-bacterial Pneumonia. Dalam:
Kendigs Disorders Of The Respiratory Tract In Children. 7th Edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h.441-452.
7. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and Empyema.
Dalam: Pediatric Respiratory Medicine. 2nd Edition. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2008; h.501-553
8. Carter Edward R, Marshall G Susan. Sistem Respiratori dalam Nelson Ilmu
Kesehatan Anakedisi ke-6.Singapore: Saunders Elsevier;2011;h.527-34
9. Iskandar D, dkk. Pneumonia. Dalam Modul pembelajaran Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga universty Press; 2014; h.287-93
145

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

dr. Hj. Rismarini, SpA( K)


NIP 19580126 198503 2006

Palembang, April 2015


Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP1951 0518 1979 031003

146

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
BRONKIOLITIS AKUT
ICD-10 : J21.9
1. Pengertian
(Definisi)
2. Etiologi
3. Patogenesis

4. Anamnesis
5. Pemeriksaan
Fisik

Penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus


RSV, Adenovirus, virus Influenza, Parainfluenza, Rhinovirus, dan Mikoplasma
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon inflamasi
akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mucus,
timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, diikuti infiltrasi limfosit
peribronkial dan edema submukosa
Umur kurang dari 2 tahun, pilek ringan, batuk, dan demam. Batuk disertai
sesak napas, wheezing
Demam subfebris, sesak napas dengan tanda-tanda obstruksi saluran napas, sesak
napas, ekspirasi memanjang dan mungkin terdengar wheezing ekspirasi

6. Kriteria
Diagnosis

Anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang (foto thorax)

7. Diagnosis

Bronkiolitis (J21.9)

8. Diagnosis
Banding

1.Bronkopneumonia
2.bronkitis akut

9. Pemeriksaan
Penunjang

Pemeriksaan darah rutin, foto toraks, kultur virus, ELISA, PCR

10. Terapi

Antibiotika non alergik sebagai profilaksis


1. Pada saat sesak napas dapat diberikan klorampenikol IV dan dilanjutkan
dengan pemberian peroral bila sesak berkurang
2. Bila dapat diberikan peroral langsung diberikan eritromisin 30-50 mg/kgbb
/hari dalam 2-3 dosis
Suportif :

11. Edukasi

1. Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi edema saluran pernapasan.


Kortikosteroid 15-20 mg/kgbb/hari atau deksametason 0,5 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 3 dosis selama 2-3 hari.
2. Cairan dan elektrolit dengan dextrose 5% dan NaCI disesuaikan dengan
kebutuhan berdasarkan umur dan berat badan.
3. Oksigen dengan kelembaban yang cukup
1. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
2. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
3. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
4. Menjelaskan prognosis dan komplikasi penyakit
5. Menjelaskan perlunya pemberian imunisasi, ASI yang adekuat serta asupan
147

12. Prognosis

gizi yang cukup.


6. Menjauhkan anak dari polusi udara dan asap rokok
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
I / II

13. Tingkat
evidens
14. Tingkat
A
Rekomendasi
15. Penelaah
Subdivisi Respirologi Departemen IKA RSMH Palembang
Kritis
16. Indikator
Perbaikan klinis
Medis
Mengurangi dan mencegah komplikasi
17. Target
18. Kepustakaan 1. Magdalena SZ. Bronkiolitis . Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar respirologi
anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.2008. hal 333-49
2. Clinical practice guideline. American academy of pediatrics 2006
3. Marjanais S. Pneumonia . Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku ajar Respirologi
anak
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

dr. Hj. Rismarini, SpA( K)


NIP 19580126 198503 2006

Palembang, April 2015


Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP1951 0518 1979 031003

148

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
TUBERKULOSIS
ICD-10 : A16.4
1. Pengertian (Definisi)
Penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis sistemik sehingga dapat mengenai
hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi
infeksi primer
2. Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis
3. Patogenesis
Inhalasi basil TB alveolus fagositosis oleh makrofag basil TB berkembang biak
destruksi makrofag pembentukan tuberkel perkijuan pecah lesi sekunder
parukaisifikasi kompleks ghon
(terdapat didalam alur patogenesis tuberkulosis *)
4. Anamnesis
1. Demam lama > 2 minggu
2. Disertai keringat malam
3. Batuk lama > 3 minggu
4. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas
5. Nafsu makan tidak ada, lesu, diare
6. Riwayat kontak TB
5.
1.
2.
3.
4.

Pemeriksaan Fisik
Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia
Suhu subfebris, badan kurus atau berat badan menurun.
Dapat ditemukan pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple
Gejala spesifik sesuai organ yang terkena.

6. Kriteria Diagnosis
Diagnosis paling tepat dengan ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dapri penderita
misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dan lain-lain.
Diperlukan kombinasi antara gambaran klinis dan pemeriksaan yang relevan untuk menegakkan
tuberkulosis.
1. Diagnosis dapat ditegakkan bila didapatkan 2 tanda bintang (*).
Pada institusi dengan fasilitas lengkap, diagnosis harus ditelusuri lebih lanjut.
a. Kontak erat dengan penderita TBC terbuka
b. Sering demam + berkeringat malam hari + anoreksia dan gangguan gizi selama 3 bulan
terakhir dan BB turun dengan cepat
c. Reaksi cepat imunisasi BCG ( > 3-7 hari (+) >5 mm)
d. Tes mantoux (indurasi > 10 15 mm)
e. Skrofuloderma
f. Konjungtivitis pliktenularis
g. Spondilitis/ koksitis
h. Pembesaran kelenjar limfe regional terutama leher
i. Iritabel
149

2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

j. Adanya cairan dalam rongga pleura atau perikardium


k. Diare persisten > 14 hari tidak sembuh sendiri dengan terapi konvensional
l. Laboratorium rutin/ konvensional LED
Foto toraks :
Pembesaran kelenjar limfe (kompleks primer)
Gambaran seperti pneumonia
Milier
Air trapping hiperinflasi
Atelektasis
Efusi pleura serosa
Kavitas
Honeycombs bronkiektasis
Tuberkuloma
Kalsifikasi, fibrosis

Diagnosis TB anak berdasarkan sistem skoring:


Parameter
0
Kontak TB
Tidak
jelas

1
-

Uji
Negatif
tuberkulin
(Mantou
Berat
Badan/
Keadaan
Demam
yang tidak
diketahui
Batuk kronik
Pembesaran
kelenjar limfe
kolli, aksila,
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
Foto toraks
Normal/
kelainan
tidak jelas

BB/TB<90%
atau
BB/U<80%
2 minggu

2
3
Skor
Laporan keluarga, BTA (+)
BTA (-) / BTA
tidak jelas/ tidak
Positif (10
mm atau 5
mm pada
Klinis gizi buruk
atau BB/TB<70%
atau BB/U<60%
-

3 minggu
1 cm, lebih
dari 1
KGB, tidak nyeri
Ada
pembengkakan

Gambaran
sugestif
(mendukung)

Skor Total

Gambar alur diagnosis dan tatalaksana TB anak

150

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)


Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif
dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut.
Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis
lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat
didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan
selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi
OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai
telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas
(uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan
sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat
skor 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang
dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran KGB
multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling
melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
151

Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).


4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan
gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya
infeksi TB.
3. Diagnosis
Tuberkulosis
4. Diagnosis Banding
Pneumonia
Keganasan
5. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji tuberkulin (mantoux)
2. Foto toraks AP/ Lateral Kanan
3. Mikrobiologi: Sputum BTA secara langsung atau bilasan lambung, induksi sputum selama 3 hari
berturut-turut dan menemukan kuman M.Tb
4. Serologis
5. Patologi Anatomi
6. Skoring TB
6. Terapi
Prinsip pengobatan TB anak:

OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal
3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari.
Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain- lain dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
152

(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis
maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 24 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang
sama. Tujuan pemberiansteroidiniuntukmengurangiprosesinflamasidanmencegah
terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT

Obat antiberkulosis:

Isoniazid (H)

10 (7-15)

Dosis
maksimal
(mg/hari)
300

Rifampisin (R)

15 (10-20)

600

Pirazinamid (Z)

35 (30-40)

Etambutol (E)

20 (1525)

Streptomisin (S)

15 40

1000

Nama Obat

Dosis harian
(mg/kgBB/ hari)

Efek samping
Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Gangguan gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia, peningkatan
enzim hati, cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Toksisitas hepar, artralgia, gangguan
gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Ototoksik, nefrotoksik

Panduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai tabel berikut:
Fase
Fase
Jenis
Prednison
Lama
intensif lanjuta
TB Ringan
2HRZ
4HR
6 bulan
Efusi pleura TB
2 mgg dosis penuhkemudian tappering
TB BTA positif
2HRZE 4HR
TB paru
2HRZ+E 7-10HR 4 mgg dosis penuh9-12
dengan tandaatau S
kemudian tappering
bulan
tanda
off
TB milier
TB + destroyed
153

Meningitis TB
Peritonitis TB
Perikarditis TB
Skeletal TB

10HR

4 mgg dosis penuhkemudian tappering


2 mgg dosis penuhkemudian tappering
2 mgg dosis penuhkemudian tappering
-

12 bulan

Pemberian OAT dapat dengan Fixed Drug Combination (FDC) Anak (1 tablet FDC anak fase
intensif mengandung: R/H/Z 75/50/150 mg, sedangkan 1 tablet FDC anak fase lanjutan
mengandung: R/H 75/50 mg)
Cara Pemberian:
Fase Lanjutan
Dosis sekali
minum/hari selama 4
bulan
59
1 tablet
1 tablet
10 14
2 tablet
2 tablet
15 19
3 tablet
3 tablet
20 32
4 tablet
4 tablet
Bila BB 33 kg menggunakan dosis FDC dewasa
Berat
Badan
(kg)

Fase Intensif
Dosis sekali minum/hari
selama 2 bulan

Perhatian :
1.
Perhatikan terhadap perbaikan gizi
2.
Diberikan prednison untuk anak umur > 3 bulan dengan TBC milier atau TBC serosa selama
1-2 bulan kemudian tapering off
Monitoring :
1.
Teratur selama 2 bulan, klinis kurang maju lanjutkan maintenance, evaluasi.
2.
Tidak teratur:

Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan DAN
menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
3.
Initial 2 bulan teratur klinis baik, kemudian drop out lanjutkan maintenance dan
evaluasi
Profilaksis terutama balita
1. Kontak (+) dengan penderita TBC terbuka, lain-lain (-) Isoniazid 5-10 mg/kgbb, evaluasi
selama 6 bulan
2. Mantoux (+), kontak (-), lain-lain (-) isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 6 bulan
3. Pernah menderita TBC aktif sembuh
1.
Menderita infeksi berat (morbili, pertusis) isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 4 bulan
2.
Mendapat imunosupresif > 7 hari isoniazid 5-10 mg/kgbb sampai pengobatan selesai
154

3.

Imunisasi penyakit asal virus: isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 1 bulan

Hasil pengobatan
Sembuh

Definisi
Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan dan telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
bakteriologis hasilnya negatif pada AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya

Pengobatan Lengkap

Pasien TB anak yang telah menyelesaikan


pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil
pemeriksaan bakteriologis ulang pada AP dan pada
satu pemeriksaan sebelumnya.

Gagal

Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan bakteriologis


positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan. Selain itu juga pasien yang diketahui
menjadi pasien TB MDR selama pengobatan, baik
dengan hasil BTA positif atau negatif.

7. Edukasi
1. Definisi
dan
etiologi:
memahami
penyebab
dan gejala
yang
timbul.
2. Prognosis:
memahami
faktorfaktor yang

Meninggal

Pasien TB anak yang meninggal dalam masa


pengobatan karena sebab apapun.
Putus berobat
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut- turut
(loss to follow up)
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Tidak ada hasil
Pasien TB yang hasil akhir pengobatan tidak
evaluasi
diketahui. Termasuk dalam kriteria ini adalah pasien
pindah (transfer out) ke fasyankes lain
mempengaruhi prognosis
3. Pemantauan gejala: mengetahui mengapa dan kapan harus ke dokter/rumah sakit
4. Terapi farmakologi: memahami indikasi, dosis, dan efek obat
5. Hindari kontak dengan penderita TB
6. Imunisasi BCG
8. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad
9. Tingkat evidens
I / II
10. Tingkat Rekomendasi
A
11. Penelaah Kritis
Subdivisi Respirologi Departemen IKA RSMH Palembang
12. Indikator medis
Hasil pengobatan TB anak:
13. Target
1. Perbaikan klinis (batuk menghilang, klinis membaik, anak menjadi lebih aktif, berat badan
meningkat, foto toraks membaik dan penurunan LED)
2. Pengobatan tuntas dan penderita tidak putus berobat
155

3. Mencegah dan mengatasi komplikasi


14. Kepustakaan
1. UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Tata Laksana Tuberkulosis Anak. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008.
2. Kartasasmita CB, dkk. Tuberkulosis. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2008; h.162-267.
3. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
4. Supriyatno B, dkk. Tuberkulosis. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.359-366.
5. Committee On Infectious Disease. Screening for Tuberkulosis in Infant and Children. Pediatrics;
1999; 93:131-4.
6. Mandalakas AM, Starke JR. Tuberculosis and nontuberculous mycobacterial disease. Dalam:
Kendigs Disorders of the Respiratory Tract in Children. 7th Edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2006; h.507-529.
7. Shingadia D, Burgner D. Mycobacterial Infections. Dalam: Pediatric Respiratory Medicine. 2nd
Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008; h.597-614.
8. Rapid Advice: Treatment of Tuberculosis in Children. WHO; 2010.
9. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.Petunjuk Teknis Manajemen TB anak. 2013.
Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, April 2015


Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Rismarini, SpA( K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. KH.Yangtjik, SpA(K)


NIP1951 0518 1979 031003

156

Alur patogenesis tuberkulosis

Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic
spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian
hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis
regional (3).

157

3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.


4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen)
atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB
tipe dewasa (adult type TB)

Algoritma Tatalaksana Tuberkulosis Anak


PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
ASMA BRONKIAL
ICD-10 : J45.9
1. Pengertian
(Definisi)

Wheezing dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut: timbul


secara episodik da/atau kronis, cenderung pada malam hari atau dini hari
(nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas
fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, serta adanya riwaayat asma atau atopik lain pada pasien
atau keluarganya sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

2. Etiologi

Belum diketahui. Faktor pencetus adalah allergen, infeksi (saluran


nafas atas), iritan, cuaca, kegiatan jasmani, refluks gastroesofagus,
dan psikis
Alergen merangsang sel plasma menghasilkan IgE menempel
pada reseptor dinding sel mast. Bila alergen serupa masuk allergen
tersebut akan menempel pada sel mast tersensitisasi degranulasi
sel mast mengeluarkan mediator; histamine, leukotrien, faktor
pengaktivasi platelet, bradikinin. Mediator ini meningkatkan
permeabilitas kapiler edema, peningkatan produksi mucus,
kontraksi otot polos.
1. Batuk kronik berulang atau dan wheezing bersifat berulang
2. Sering pada malam hari, musiman
3. Sesak napas yang paroksimal dengan atau tidak ada faktor pencetus
4. Ada atau tidak ada gejala atopi dalam keluarga
Pemeriksaan fisik tergantung dari derajat penyakit maupun derajat
serangan asma dan dapat dilihat pada tabel 1 dan 2

3. Patofisologi

4. Anamnesis

5. Pemeriksaan
Fisik

158

6. Kriteria
Diagnosis

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisis
3. Pemeriksaan penunjang (tes fungsi paru, hiperreaktivitas saluran
napas, petanda inflamasi saluran napas non invasif, status alergi)
Tabel 1. Pembagian derajat Asma:
Parameter klinis,
kebutuhan obat
dan faal paru
Frekuensi
serangan
Lama serangan

Asma episodik
jarang
(asma
ringan)
<1x/bulan

Asma episodik
sering
(asma
sedang)
>1x/bulan

Asma persisten
(Asma berat)

<1minggu

Intensitas
serangan
Diantara
serangan
Tidur
dan
aktivitas
Pemeriksaan
fisis
diluar
serangan
Obat pengendali
(antiinflamasi)
Faal paru di luar
serangan
Faal paru pada
saat
ada
gejala/serangan

Biasanya ringan

1 minggu,
tidak ada remisi
Biasanya
sedang
Sering
ada
gejala
Sering
terganggu
Mungkin
terganggu

Hampir
sepanjang tahun
Biasanya berat

Perlu,
nonsteroid
PEF/FEV1 6080%
Variabilitas>
30%

Perlu, steroid

Tanpa gejala
Tidak terganggu
Normal
Tidak perlu
PEF/FEV 1>80%
Variabilitas
>15%

Sering

Gejala siang dan


malam
Sangat
terganggu
Tidak
pernah
normal

PEF/FEV1 <60%
Variabilitas 2030%
variabilitas>50%

Tabel 2. Penilaian derajat serangan asma:


Parameter
klinis, fungsi
paru,
laboratorium
Aktifitas

Ringan

Sedang

Berat

Berjalan
Bayi:
menangis
keras

Istirahat
Bayi: berhenti
makan

Bicara

Kalimat

Posisi

Bisa
berbaring

Berbicara
Bayi : tangis
pendek
dan
lemah,
kesulitan
makan
Penggal
kalimat
Lebih
suka
duduk

Kesadaran

Mungkin
teragitasi
Tidak ada
Sedang,
sering
hanyapada
ahir ekspirasi

Biasanya
teragitasi
Tidak ada
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi dan
inspirasi

Sesak napas
Otot
bantu
napas

Minimal
Biasanya
tidak

Sedang
Biasanya ya

Duduk
bertopang
lengan
Biasanya
teragitasi
Ada
Sangat
nyaring,
terdengar
tanpa
stetoskop
berat
Ya

Retraksi

Dangkal,
rertraksi
interkostal

Sedang,
ditambah
retraksi

Dalam,
ditambah
napas cuping

Sianosis
Mengi

Ancaman
henti napas

Kata-kata

Kebingungan
Sulit/tidak
terdengar

Geakan
paradoktorak
o-abdominal
Dangkal/
hilang

159

Laju napas
Laju nadi
Pulsus
Paradoksus

Meningkat
normal
Tidak ada
<10 mmHg

suprasternal
Meningkat
Takikardia
Ada
10-20
mmHg

PEFR
FEV1

(%
dengan
nilai dugaan/

%
terbaik)

>60%

40-60%

<40%

80%
>95 %
Normal
(biasanya
tidak
perlu
diperiksa)
<45 mmHg

60-80%
91-95%
>60 mmHg

<60%
90%
<45 mmHg

<45 mmHg

>45 mmHg

atau

prabronkodilat
or
-pasca
bronkodialator
SaO2 %
PaO2

PaCO2

hidung
Meningkat
Takikardia
Ada
>20
mmHg

Menurun
Bradikardia
Tidak
ada,
tanda
kelelahan otot
napas

nilai

Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:


Usia
Laju napas normal
<2 bln
<60/menit
2-12 bulan
<50/menit
1-5 tahun
<40/menit
6-8 tahun
<30/menit
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak:
Usia
Laju nadi normal
2-12 bulan
<160/menit
1-2 tahun
<120/menit
3-8 tahun
<110/menit
7. Diagnosis
8. Diagnosis
Banding

9. Pemeriksaan
Penunjang

10. Terapi

Asma Bronkial
a. GER
b. Rinosinobronkitis
c. Obtructive sleep apnea syndrome
d. Fibrosis kistik
e. Primary cilliary dyskinesis, benda asing
f. Vocal ford dysfunction
1. Pemeriksaan fungsi paru (spirometri atau peak flow meter)
2. Pemeriksaan IgE dan eosinofil total
3. Ro Thorax
4. Ro Sinus paranasal (pada anak >5tahun dengan asma persisten atau
sulit diatasi)
5. Uji tuberkulin
1. Mencari dan menghindari faktor pencetus, untuk itu diperlukan
kerjasama dengan orang tua penderita.
2. Mencegah serangan asma dengan pemberian obat untuk
mempertahankan sel-sel mediator tidak pecah.
3. Medikamentosa
a. Reliver (pereda) 2 agonis short acting,antikolinergik,
teofilin short acting, aminofilin dan adrenalin
160

b. Controller ( pengendali) 2 agonis long acting, steroid

inhalasi/oral. Antileukotrien, teofilin sustained release,


dan sodium kromoglikat.
Tatalaksana asma dibagi 2 kelompok besar, yaitu pada saat serangan
(asma akut) dan diluar serangan asma (asma kronis).
Serangan Asma Ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik
(complete response), berarti derajat serangannya ringan.
Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan,
pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat -agonis (hirupan
atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam.
Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan
steroid oral jangka pendek (3-5 hari). (Evidence D)
Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam
waktu 24-48 jam untuk evaluasi ulang tata laksana.
Jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat
tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik
rawat jalan. Namun, jika setelah observasi 2 jam gejala timbul
kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma sedang.
Serangan Asma Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya
menunjukkan respon
parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya
sedang. Untuk itu, derajat serangan harus dinilai ulang sesuai
pedoman.
Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu
diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari (RRS). Pada
serangan asma sedang, diberikan kortikosteroid sistemik (oral)
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari.
(Evidence A)
Walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat,
pasien yang akan diobservasi di RRS langsung dipasang jalur
parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD).
Serangan Asma Berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak
menunjukkan respon (poor response), yaitu gejala dan tanda
serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), pasien harus
dirawat di ruang rawat inap.
Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi.
(Evidence B)
Kemudian dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks.
Bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas,
pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada pasien
dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus
langsung dibuat untuk mendeteksi komplikasi pneumotoraks
dan/atau pneumomediastinum.
161

Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dengan pemberian cairan


intravena dan koreksi terhadap asidosis.
Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. (Evidence A)
Dosis steroid intravena 0,5-1 mg/kg BB/hari.
Nebulisasi -agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap
1-2 jam; jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan
klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
(Evidence B)
Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai
berikut:
Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan
aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan
dalam dekstrosa 5% atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan
dalam 20-30 menit.
Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4
jam), dosis yang diberikan adalah setengah dosis inisial.
Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan
sebesar 10-20 mcg/ml;
Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam. (Evidence D)
Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam,
sampai dengan 24 jam.
Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan
dengan dibekali obat
-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 2448 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke
klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk evaluasi ulang tata laksana.
Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah
diberi oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg).
Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik.

Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi


Cairan, obat, waktu
Nebulisasi jet

Garam faali (NaCl 0,9%)


Agonis/antikolinergik/steroid
Waktu

5 ml
Lihat tabel 2
10-15 menit

Nebulisasi
ultrasonik

10 ml
3-5 menit

Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis

Nama generik
Golongan -agonis
Fenoterol
Salbutamol

Sediaan

Dosis Nebulisasi

Solution 0,1%
Nebule 2,5 mg

5-10 tetes
1 nebule
mg/kg)
1 respule

Terbutalin
Respule 2,5 mg
Golongan antikolinergik
Ipratropium bromide
Solution 0,025%
6 tahun: 4-10 tetes
Golongan steroid

(0,1-0,15

> 6 tahun : 8-20 tetes

162

Budesonide
Fluticasone

Respule
Nebule

Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma:


Steroid oral:

Nama generik
Prednison
Prednisolon
Triamnisolon

Sediaan
4 mg
5 mg
4 mg

Dosis
1-2 mg/kgbb/hari tiap 6 jam
1-2 mg/kgbb/hari tiap 6 jam
1-2 mg/kgbb/hari tiap 6 jam

Steroid injeksi:

Nama generik
Methylprednisolon
suksinat
Hidrokortison
suksinat
Deksametason

Sediaan
Vial 125 mg
Vial 500 mg
Vial 100 mg

Jalur
Iv/im

Ampul 5 mg

Iv/im

Betametason

Ampul 4 mg

Iv/im

Iv/im

Dosis
1-2 mg/kgbb/hari tiap 6
jam
4 mg/kgbb/6 jam
0,5-1
mg/kgbb-bolus,
dilanjutkan1 mg/kgbb/hari
diberikan tiap 6-8 jam
0,05-1 mg/kgBB tiap 6 jam

Obat-obat asma jangka panjang:


Fungsi
Nama generik Nama
Sediaan
dagang
obat
Golongan beta agonis (kerja pendek)
pereda
Terbutalin
Bricasma
Sirup,
tablet,
(reliever)
turbuhaler
Nairet
Salbutamol

Obat
pengendali
(controller)

Forasma
Ventolin

Sirup,
tablet,
ampul
Sirup, tablet
Sirup, tblet, MDI

Orsiprenalin
Alupent
Sirup, tablet, MDI
Heksoprenolin
Tablet
Fenoterol
Berotec
MDI
Golongan xantin
Teofilin
Sirup, tablet
Golongan antiinflamasi nonsteroid
Kromoglikat
MDI
Nedokromil
Golongan antiinflamasi steroid
Budesonid
Pulmicort
Inflamide
Flutikason
Flixotide

MDI

Keterangan
0,050,1
mg/kgbb/kal
i

0,05-01
mg/kgbb/kal
i

Tidak
tersedia lagi
Tidak
tersedia lagi

MDI, Turbuhaller
MDI

Tidak
tersedia lagi

Beklometason Becotide
MDI
Beta agonis kerja panjang
Prokaterol
Sirup, tablet, MDI
Bambuterol
Bambec
Tablet
Salmetrol
Serevent
MDI
Klenbuterol
Spiropent
Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat/lepas terendali

163

Terbutalin
Salbutamol
Volmax
Teofilin
Golongan antileukotrien
Zafirlukas
Accolate
Montelukas
Budesonide+F Symbicort
armoterol
Seretide
+ Futikason

Kapsul
Tablet
Tablet salut
Tablet

-ada
Belum ada

MDI

Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur:


Umur (tahun)
Alat inhalasi
<2 tahun
Nebuliser
2-4
Nebuliser
Alat hirupan
5-8
Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (spinhaler,diskhaler,
turbuhaler)
>8 tahun
Nebuliser
MDI
Alat hirupan bubuk
Autohaler

Rotahaler,

11. Edukasi

1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.


2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Menjelaskan perlunya menjaga personal higiene, terutama
kebersihan gigi dan mulut untuk mencegah terjadinya infective
endocarditis.
4. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
5. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis.

12. Prognosis

Ad vitam
Ad sanationam
Ad fungsionam

4. Tingkat evidens

I / II
A

5. Tingkat
Rekomendasi
6. Penelaah Kritis
7. Indikator Medis
8. Target

9. Kepustakaan

: dubia ad
: dubia ad
: dubia ad

Subdivisi Respirologi Departemen IKA RSMH Palembang


1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya,jarang absen
disekolah
2. Uji fungsi paru senormal mungkin
3. Gejala seminimal mungkin
4. Kebutuhan obat miimal
UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2004.
2. Kartasasmita CB dkk. Asma Bronkial. Dalam: Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008;
h.71-161.
3. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program
1.

164

Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.


Supriyatno B, dkk. Asma Bronkial. Dalam: Standar Pelayanan
Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2004; h.335-347.
5. Global initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. National Institute Health.
6. Asher MI, Grant C. Asthma. Dalam: Kendigs Disorders of The
Respiratory Tract in Children. 7thEd. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2006; h 762-860.
7. Pitrez PMC, Stein RT, Martinez FD. Asthma. Dalam: Pediatric
respiratory medicine. 2nd Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier;
2008; h.779-844.
4.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. KH. Yangtjik, SpA(K)


NIP 19631128 198911 2 001

Alur diagosis asma anak:

165

Alur tata laksana jangka panjang asma anak:

166

Patofisiologi Asma

167

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
EMPYEMA
ICD-10 : J86.9
1. Pengertian
(Definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis

Akumulasi pus dalam rongga pleura

1. Demam,
2. Batuk non produktif
3. Sesak napas
1. Bagian paru yang terkena akan tertinggal waktu bernapas,
2. Perkusi redup,
3. Suara napas melemah atau menghilang
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik.
3. Pemeriksaan penunjang
168

5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi

9. Edukasi

10. Prognosis

4. Foto toraks adanya perselubungan homogen, sela iga melebar, sinus


freniko kostalis menghilang dan pungsi pleura terdapat cairan pus
Empiema
1. Pemeriksaan radiologis (foto toraks, USG, CT Scan)
2. Pemeriksaan cairan pleura
3. Uji tuberkulin
Prinsipnya adalah mengeluarkan pus sebanyak-banyaknya dengan pemasangan
WSD atau multipuncture.
Antibiotika diberikan sesuai dengan hasil kultur, sementara menunggu hasil
kultur dapat diberikan :
1. Ampicillin 200 mg/kgbb/hari
2. Cloxacillin 100-200 mg/kgBB/hari
3. Gentamisin 3-5 mg/kgbb/hari
Bila dicurigai dan terbukti ada infeksi spesifik, maka pengobatan perlu ditambah
dengan pengobatan spesifik
1. Definisi dan etiologi: menjelaskan penyebab dan gejala yang timbul.
2. Pemantauan gejala: menjelaskan kapan harus ke dokter/rumah sakit.
3. Terapi farmakologi: menjelaskan indikasi, dosis, dan efek obat
4. Prognosis: menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
Tergantung ukuran, lokasi, dan ada tidaknya hipertensi pulmonal;
Ad vitam
: dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad

11. Tingkat
I / II
evidens
12. Tingkat
A
Rekomendasi
13. Penelaah
Kritis
14. Indikator
Medis

Divisi Respirologi Departemen IKA RSMH Palembang


1.

15. Target

1. Mencegah/mengatasi komplikasi

16. Kepustakaan

1. Naning R, Setyati A. Empiema. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi


ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.550-57.
2. Le Mense GP, Strange C, Sahn NA. Empyema Thoracis: Therapeutic
Management and Outcome. Chest; 1995; 109:18-24

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. KH. Yangtjik, SpA(K)


NIP 19631128 198911 2 001
169

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
PNEUMOTHORAX
ICD-10 : J93.9
1. Pengertian
(Definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan
Fisik

Keadaan dimana terdapatnya akumulasi udara ekstrapulmoner dalam rongga


pleura, antara pleura viseral dan parietal, yang dapat menyebabkan timbulnya
kolaps paru
Rasa nyeri tiba-tiba pada sisi toraks yang terkena, yang disusul dengan sesak
napas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Takipnu
Dispnu
Takikardi dan sianosis.
Suara napas berkurang
Perkusi hiperresonan pada daerah yang terkena
Emfisema subkutan.
Tampak hemitoraks yang membesar, pergerakan kurang, sela iga melebar.
Palpasi: stemfremitus melemah.
170

4. Kriteria
Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi

9. Perkusi: hipersonor/timpani.
10. Auskultasi: vesikuler melemah sampai hilang
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan fisik.
3. Foto thorak.
Pneumothorax
1. EKG
2. Foto thorak
3. Ekokardiografi
Tergantung pada: jenis pneumotoraks, pertama kali/residif, besarnya kolaps,
dan ada komplikasi atau tidak. Semua penderita harus dirawat karena setiap
saat dapat timbul komplikasi.
Pneumotoraks tertutup
1. Jika paru yang kolaps < 20% dan tanpa komplikasi, sebaiknya konservatif
dan observasi dengan ketat. Umumnya resorbsi udara dan paru-paru akan
mengembang kembali setiap hari 1,25% dari total volume hemitoraks.
Sedatif dapat diberikan untuk menenangkan penderita, kodein untuk
mencegah batuk, serta oksigen.
2. Jika paru yang kolaps >20%, ada komplikasi, diperlukan pemasangan
WSD
Pneumotoraks terbuka
Diusahakan menutup lobangnya dan pemasangan WSD untuk mengusahakan
supaya paru-paru jangan kolaps dan diadakan penghisapan terus menerus.
Pneumotoraks ventil
Dilakukan kontra ventil, baik berupa tusukan jarum maupun WSD.
Aspirasi/WSD dapat dilakukan diruang interkosta 2/3 pada linea
midklavikularis. Bila gelembung-gelembung udara tidak ada lagi dari WSD ,
maka 12-18 jam kemudian dilakukan foto toraks untuk melihat pengembangan
paru.
Bila lambat sebaiknya dilakukan pengisapan terus menerus. Jika 5-6 hari
masih keluar udara (berarti fistula masih terbuka) harus dilakukan torakotomi
untuk menutup fistulanya. Beberapa usaha untuk mempercepat pengembangan
paru dapat dilakukan apa bila fistulanya telah tertutup, usaha-usaha tersebut
dapat meliputi:
1. Mobilisasi penderita secepat mungkin dengan cara berjalan-jalan dengan
menjinjing botol WSD.
2. Meniup balon-balon karet dalam usaha mengembangkan paru seoptimal
mungkin.
171

3. Latihan pernapasan oleh fisioterapis


4. Memakai pompa pengisap terus menerus dengan tekanan negatif rendah
yaitu antara 10-25 cmH2O.
9. Edukasi
10. Prognosis

11. Tingkat
evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah
Kritis
14. Indikator
Medis
15. Target
16. Kepustakaan

Tergantung ukuran defek;


Ad vitam
: dubia ad
Ad sanationam : dubia ad
Ad fungsionam : dubia ad
I / II
A
Subdivisi Respirologi Departemen IKA RSMH Palembang.

1. Said M, Kaswandani N, Wulandari DS. Pneumotoraks. Dalam: Buku Ajar


Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.578582.
2. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
3. Winnie GB. Pneumothorax. Dalam: Nelson textbook of pediatric. 18th
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007; h.1835-1837.

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Respirologi Anak

dr. Hj. Rismarini, SpA(K)


NIP 19580126 198503 2006

dr. KH. Yangtjik, SpA(K)


NIP 19631128 198911 2 001

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
PERTUSIS
ICD-10 : A37.9
1. Pengertian (Definisi)
Penyakit saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella pertusis
2. Anamnesis
1.
2.
3.
4.
5.

Batuk, terutama malam hari


Pilek
Serak
Anoreksia
Demam ringan
172

Usia

< 1bln

1-5
bulan

Pilihan terapi
Alternatif pilihan terapi
utama
Azitromisin
Eritromisin
Claritromisin
10mg/kgbb/hari
Tidak
disenangi Tidak dianjurkan.
selama 5 hari
karena
berkaitan
dengan HPS pada
infant.
40-50 mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis selama
14 hari
10 mg/kgBB/hari 40-50 mg/kgBB/hari 15
mg/kgBB
selama 5 hari
dibagi 4 dosis selama sehari dibagi 2
14 hari
dosis selama 7
hari

TMP-SMZ
Kontraindikasi pada
bayi usia < 2bulan
(resiko kernikterus)

Kontraindikasi pada
bayi < 2 bulan. Pada
bayi 2bulan. TMP 8
mg/kgbb/hari . SMZ
40
mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis selama
14 hari
TMP 8 mg/kgbb/hari .
SMZ 40 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis selama
14 hari

3. Pemeriksaan Fisik
1. Batuk-batuk panjang
2. Tidak
ada
inspirasi
diantaranya dan di akhiri
dengan
Whoop
saat
inspirasi.

3. Kriteria Diagnosis
Stadium pertusis dibagi
menjadi:
Bayi > 10 mg/kgBB/hari 40-50 mg/kgBB/hari 15 mg/kgBB/hari
Stadium kataral
6 bulan pada hari pertama (max 2g/hari) dibagi 4 (max
1g/hari)
ditandai dengan
gejala
dan
kemudian
dosis selama 14 hari
dibagi 2 dosis
klinis
yang
tidak
spesifik
anak
5 mg/kgBB/hari
selama 7 hari
yaitu : mata merah,
(max
500mg)
pada hari 2-5
peningkatan seksresi nasal
dan demam ringan. Dapat berlangsung selama 1-2 minggu. Gejala dapat mirip dengan common
cold
Stadium paroksismal :
berlangsung selama 2-4 minggu. Stadium ini terjadi setelah 7-14 hari infeksi, batuk terjadi
paroksismal saat ekspirasi sehingga anak-anak yang lebih kecil tidak sempat bernapas dan menjadi
sesak. Karakteristik batuk tersebut diperlukan untuk membebaskan sumbatan yang terjadi akibat
jaringan nekrotik epitel bronchial dan mucus yang kental. Tekanan inhalasi pada glottis yang
mengalami penyempitan setelah terjadinya batuk paroksismal menghasilkan bunyi karakteristik
whoop. Muntah paska batuk sering kali terjadi. Bayi dan anak sering tampak distress dan
menjadi biru serta muntah.
Stadium konvalesen
ditandai dengan perbaikan klinis secara bertahap dalam 1-2 minggu, batuk menjadi lebih ringan ,
batuk paroksismal dan bunyi whoop mulai menghilang secara perlahan.
4. Diagnosis
Pertusis
5. Diagnosis Banding
1. Trankeobronkitis
2. Bronkiolitis
6. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin: leukositosis dengan limfositosis absolut
2. Kultur sputum
3. Swab tenggorokan
7. Terapi

173

*trimethoprim sulfamethokxazole (TMP-SMZ) dapat digunakan sebagai alternatif pada pasien yang berusia
2 bulan yang alergi terhadap golongan makrolida,yang tidak toleran terhadap makrolida, atau anak yang
terinfeksi dengan strain Bordatella pertusis yang resisten-makrolida meskipun sangat jarang.

8. Edukasi
1. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
2. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
3. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
4. Menjelaskan prognosis penyakit
5. Menjelaskan perlunya pemberian vaksinasi pertusis
9. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
10. Tingkat evidens
I / II
11. Tingkat Rekomendasi
A
12. Penelaah Kritis
Subdivisi Respirologi Departemen IKA RSMH Palembang
13. Indikator Medis
Perbaikan klinis
14. Target
1 Mengatasi
15. Kepustakaan
Wood N, Mc Intyre P. Pertussis: Review of Epidemiology, Diagnosis, Management, and Prevention.
Paediatric Respiratory Review 2008; 9: 201212
Mardjanis S.,dkk. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. penyunting. Buku ajar respirologi anak.
Edisi ke-1. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2008.

Kristin M, et al. Infant Pertusis : Who was the sources. Pediatrics Infectious Disease Journal
Volume 23, Number 11 Nov 2004

Mengetahui/Menyetujui
Ketua Departemen Kesehatan Anak
dr. Hj. Rismarini, SpA(K)
NIP 19580126 198503 2006

Palembang, Juli 2014


Ketua Divisi Respirologi Anak
dr. KH. Yangtjik, SpA(K)
NIP 19631128 198911 2 001

174

Você também pode gostar