Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
jurang yang paling dalam, berusaha untuk selalu lebih baik daripada
sebelumnya akan membuat kita menjadi a few good ones (sekelompok
kecil penulis-penulis terbaik).
Salah satu cara untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya adalah
dengan belajar dari kesalahan diri sendiri. Dulu, ketika awal-awal
menulis di media massa, saya selalu menyimpan tulisan asli. Bila
dimuat, masalah pertama yang saya perhatikan adalah, adakah
perbedaan antara tulisan asli dengan tulisan yang sudah dimuat. Jika
ada perbedaan, perhatikanlah dengan seksama apakah perbedaan itu
karena kelalaian editor ataukah karena tulisan kita memang perlu
disempurnakan. Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa menalar sendiri,
tetapi bisa juga menemui editornya. Melalui cara ini, insya-Allah
kualitas tulisan kita akan bisa meningkat dengan cepat.
Cara lain adalah mencari naskah yang terbuang. Di awal karier saya
menulis, saya merasa senang bila menemukan tulisan yang dibuang di
tempat sampah editor. Dibanding membaca karya-karya yang sudah
terbit, tulisan yang terbuang di tempat sampah seringkali memberi
pelajaran yang lebih banyak (soalnya, kadang tulisan kita dimuat kan
karena kasihan. He he he.).
Apalagi yang perlu kita perhatikan untuk membangkitkan kehebatan
kita
sebagai penulis? Ada empat hal. Tetapi karena terbatasnya halaman,
insya-Allah kita akan berjumpa di An-Nida' edisi depan. So, don't miss
it! OK?
Sebelum berpisah, jangan lupa: Be the best, but not the better.
Jadilah yang terbaik, tapi bukan yang lebih baik.
Daaaagh...[]
yang harus selalu ada sebab semuanya bermula dari jiwa. Kalau kita
ingin melakukan perubahan, dari jiwalah kita memulai. Allah Ta'ala
berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa-apa yang
ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa-apa yang ada
pada jiwa mereka." Pada ayat ini Allah menunjuk pada jiwa sebagai
kekuatan perubahan. Khusus berkenaan dengan kekuatan jiwa dan
spiritualitas kita saat menulis, silakan simak kembali Spiritual Writing
(baca Annida No. 3/XII)
Kedua, ilmu-ilmu yang berkait erat dengan apa yang akan kita tulis.
Jika yang pertama lebih banyak berkait dengan kebangkitan motivasi,
komitmen dan missi yang menggerakkan kita untuk menulis, maka
yang kedua ini berkait langsung dengan apa yang kita tulis. Meskipun
kita memiliki kekuatan jiwa yang besar dalam menulis, tetapi tanpa
pengetahuan yang memadai terhadap apa yang akan ditulis, maka kita
hanya akan mampu melahirkan tulisan yang dangkal, kaku dan
membosankan. Saya teringat dengan seorang teman. Dia kuliah di
jurusan Geologi Fakultas Teknik UGM. Sama-sama jalan ke tempattempat yang berbatu, akan lain cerita yang saya bawa dengan cerita
yang bisa diungkapkan oleh teman saya. Ia akan mampu
mengungkapkan sangat banyak hal hanya dari sebongkah batu.
Kenapa? Karena ia belajar sangat banyak tentang bebatuan. Ia tak
pernah berhenti belajar. Adapun saya, nyaris tak ada yang saya
ketahui tentang batu -meskipun saya merasa tahu--sehingga sulit bagi
saya untuk bercerita banyak secara padat dan mengalir. Sebagaimana
kesulitan saya bercerita tentang batu, kamu juga akan mengalami hal
yang sama jika tidak memiliki cukup banyak pengetahuan. Bisa saja
kamu bercerita tentang Swedia, atau menggunakan setting negara
Swedia, tetapi tanpa pengetahuan yang memadai tulisanmu akan
dangkal dan kering. Dari sebagian cerita yang pernah saya baca,
terasa betul betapa penulisnya kurang melakukan studi yang
mendalam. Hal serupa terjadi ketika seorang penulis mencoba
mencoba mengangkat tema-tema futuristik, memasuki zaman digital
(digitalized age), tampak sekali bagaimana penulis kurang memiliki
pengetahuan tentang piranti-piranti teknologi yang diceritakan.
Meskipun memang benar- benar khayal, tetapi cerita sebenarnya tetap
berpijak pada teknologi yang sudah berkembang sekarang.
Ketiga, banyaklah belajar ilmu menulis, termasuk psikologi
komunikasi. Al-Qur'an memberi pelajaran kepada kita bagaimana
seharusnya berkomunikasi sesuai dengan orang yang kita hadapi.
Gunakanlah qaulan kariman saat berbicara dengan orangtua, qaulan
maysuran saat berkomunikasi dengan orang awam dan masyarakat
luas, qaulan ma'rufan saat berbicara tentang masalah-masalah rumahtangga, serta masih banyak lagi bentuk qaulan lainnya. Semua itu kita
perlukan agar kita dapat menyampaikan secara efektif, gamblang
sendiri maupun dialami orang lain, kita justru sangat kaya. Wallahu
A'lam bishawab.[]
beberapa hal yang dapat kita perhatikan agar kita dapat mengalirkan
ide dengan deras saat menulis.
Bangkitkan Perasaanmu
Ada beberapa cara yang biasa saya lakukan untuk membangkitkan
perasaan saat menulis. Pertama, menemukan alasan mengapa ide itu
harus saya tulis. Ketika saya mampu merasakan beratnya
permasalahan yang sedang saya tulis, kalimat-kalimat akan meluncur
dengan cepat. Selain itu, setiap kalimat yang tersusun memiliki
muatan emosi (emotional tone) yang kuat. Ini akan sangat membantu
pembaca untuk dapat memiliki keterlibatan perasaan saat mencerna
isi buku. Pengalaman saya, cara ini yang terbaik. Ia tidak saja
membangkitkan perasaan, tapi sekaligus meluruskan niat dan
menguatkan komitmen. Sebuah kegiatan akan terasa lebih bermakna
apabila ada komitmen dan missi yang mengiringinya. Disebabkan oleh
komitmen yang kuat, menulis terasa lebih bertenaga. Tidak
melelahkan, tidak pula membosankan.
Kedua, menghadirkan nasyid, murattal dan alunan suara lain yang
membangkitkan kekuatan jiwa. Melalui fasilitas mp3 maupun tape
recorder, saya biasa mengiringi kegiatan menulis dengan alunan
nasyid. Di antara nasyid yang saya sukai adalah Berkorban Apa Saja
dan Sunnah Berjuang dari Nada Murni. Belakangan saya suka memutar
nasyid Demi Masa dari Raihan karena syairnya yang menyentuh dan
penuh peringatan. Di saat saya merasa kelelahan dan hampir
kehilangan semangat, syair-syair nasyid yang semacam itu
membangkitkan kekuatan untuk kembali bersemangat.
Ketiga, menghadirkan suasana emosi melalui aroma. Ini termasuk
jarang saya lakukan, tetapi terkadang saya beli wewangian untuk
membangkitkan suasana yang sesuai dengan buku yang sedang saya
tulis. Selain memutar nasyid dan murattal, ketika menulis buku Agar
Cinta Bersemi Indah saya juga menghadirkan pengharum ruangan
yang terkesan romantis. Saya juga membeli parfum yang saya
semprotkan ketika mulai menulis. Tajamkan Keterampilanmu "Langkahlangkah yang terlatih membutuhkan usaha otak yang lebih ringan
daripada langkah-langkah yang baru saja dipelajari, atau langkahlangkah yang masih terlampau sulit," begitu Daniel Goleman menulis
dalam Emotional Intelligence. Penguasaan keahlian kita akan lebih
tinggi apabila kita berusaha untuk selalu lebih baik daripada
sebelumnya, dengan belajar dari kesalahan yang kita lakukan sendiri.
Lebih lanjut tentang masalah ini, bisa kamu buka kembali tulisan
berjudul Bangkitkan Kehebatanmu (Annida No. 1 dan 2). Alhasil, ide
akan lebih deras mengalir kalau kita terlatih. Bukan semata-mata jam
Spiritual Writing
Jalan Lain Membangkitkan Kehebatan
~Mohammad Fauzil Adhim
Apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Kondisi ruhani kita
berpengaruh sangat besar terhadap ketajaman otak kita, kekuatan fisik
kita dan kecemerlangan pikiran kita. Menulis fiksi hanya dengan
mengandalkan kekuatan imajinasi, akan menyerap energi yang lebih
besar, butuh ketenangan untuk menuangkannya, dan meminta daya
tahan
yang cukup tinggi. Penulis dengan tipe seperti ini, jangan coba-coba
ganggu meski hanya sehari, sebab ketenangan dan kesinambungan
berkait
erat dengan kemampuan mempertahankan, mengembangkan dan
menuangkan
imajinasi. Bila penulisnya kurang mampu mempertahankan, maka
karyanya
akan kering. Ada cerita, tapi tanpa ada kekuatan jiwa. Ada suspend,
tapi tanpa kedalaman. Ada alur cerita yang lancar, tetapi dangkal dan
tidak mengalir.
Ketajaman spiritual (ruhiyah) kita berpengaruh terhadap kuat tidaknya
pancaran tulisan kita. Sebuah tulisan yang dituangkan dengan hati,
akan meresap masuk ke hati. Bila kita menuangkan dengan hati yang
jernih, maka yang terlahir adalah tulisan yang menyentuh dan bahkan
menggetarkan jiwa. Kekuatan tulisan kamu akan semakin dahsyat
apabila
orang yang membaca juga sedang jernih hatinya dan lurus niatnya.
Bertemunya ruh penulis dan pembaca dapat menggerakkan jiwa untuk
melangkah, sebab ruh itu seperti pasukan berbaris. Bila bertemu
dengan yang sejenis, akan mudah menyatu. Sementara bila bertemu
dengan yang bertentangan, akan berselisih. Kita membaca tulisan
yang
tampaknya baik, tapi hati kita risau.
Kembali ke soal kekuatan ruhiyah dalam menulis. Saya teringat dengan
Imam Bukhari. Setelah melakukan penelitian secara seksama,
mendalam
dan ekstra teliti, Imam Bukhari mengharuskan dirinya melakukan
shalat
istikharah setiap kali akan menuliskan satu hadis. Bila Allah memberi
petunjuk bahwa hadis itu sebaiknya ditulis, barulah Imam Bukhari
menuangkannya dalam tulisan. Begitulah, setiap hendak menuliskan
satu
hadis, ia selalu melakukan shalat istikharah. Hasilnya, Shahih
Bukhari menjadi kitab yang insya-Allah paling barakah dan sampai hari
ini menjadi rujukan yang paling dipercaya.
tanpa ragu saya jawab, "Ya. Sebab do'a adalah otaknya ibadah.
Dengan
berdo'a, saya berharap tulisan saya bernilai ibadah. Dan inilah inti
dari spiritual-writing."
Nah, bagaimana? Siapkan penamu, bangkitkan jiwamu dan getarkan
jiwa
dengan spiritual writing.[]
Siang hari itu, ketika aku pulang sekolah, ayahku sudah menunggu di
pintu toko (yang adalah juga pintu rumahku). Dengan kumisnya yang
tebal, dan senyumnya yang lebar, ia berteriak lantang: "Bagus! Jadi
kau sudah libur, Buyung? Kalau begitu, mulai besok, kaulah yang jaga,
toko!"
Nasib.
***
Nasib semacam itulah yang kemudian mengantarkan Agus R. Sarjono
(seperti pengakuannya di atas), menjadi salah seorang penulis
terkemuka di Indonesia. Kejenuhan seorang penjaga toko,
memperkenalkannya pada keisengan membaca buku. Maka kelak,
tatkala
Agus mengakhiri liburannya dan mulai memasuki sekolah, dengan
jumawa
ia bertanya kepada teman-teman sekelasnya:
"Kamu berlibur ke mana? Bali? Hem. Kamu?"
"Yogya."
"Hem. Kamu?tak ada yang istimewa. Tak ada yang hebat.'
Maka berceriteralah Agus di depan kelas: "Hari pertama liburan, aku
berkunjung ke Afrika; menelusuri belantara dan hidup di desa-desa
pedalaman Afrika; aku memiliki banyak rumah, menjadi tuan tanah,
memiliki seribu kejahatan dan kelicikan; akan tetapi sekaligus juga
menjadi pejuang keras hak perempuan lewat tokoh Nyonya Mudenda
yang
diciptakan Himunyanga-Phiri dalam novelnya Warisan. Dari Afrika, aku
terbang menuju Jepang. Bersama Yatsunari Kawabata, dalam novelnya
Daerah Salju, aku diajak menikmati keindahan lembah, gunung, laut,
dan seluruh tradisi Jepang; --kami sama-sama membuntuti, dan jatuh
cinta pada seorang gadis yang pandai memainkan koto. Tahukah
engkau,
bahwa ternyata Jepang itu tak kalah indahnya dengan negeri kita?
Mereka juga memiliki pulau-pulau. Dan aku jadi paham kenapa Jepang,
dengan seluruh tradisinya, menjadi bangsa yang besar.
Begitulah, di hari ketiga, aku mengelilingi Mesir; singgah bertahuntahun di lorong-lorong kota lama Kairo bersama Naguib Mahfouz,
menikmati karakter orang-orang Mesir, serta turut merasakan
bagaimana
peradaban modern di negara itu telah menggelincirkan orang-orang
pada
nafsu kebendaan yang menjungkalkan manusia ke arah jurang
malapetaka.
Berkat jasa Naguib Mahfouz, lewat novelnya Lorong Midaq itulah, aku
bisa berkenalan secara dekat dengan Hamidah, Nyonya Hasniya, Zaita,
Tuan Ridwan Husaini, Dokter Busyi, Abbas Hilu, dan sederet
tokoh "dunia lain" yang begitu memikat.
Kemudian bagaimana dengan Balkan, Yunani, dan Cina? Di tiga negara
itu, aku sempat singgah sebentar, yakni pada hari ke tujuh
pengembaraanku, lewat cerpen-cerpen yang ditulis oleh Maguerite
Yourcenar. Setelah itu, aku terpukau berhari-hari di Rusia bersama
Leo Tolstoy, lewat novelnya Perang dan Damai,--sebuah novel yang
menjadi bacaan wajib bagi seluruh anak bangsa Rusia hingga
sekarang;
karena lewat novel itulah mereka bisa bercermin dari seluruh
kegagalan, keagungan, keburukan, kemuliaan, kekejaman, dan
keangkuhan
bangsa Rusia. Dari novel itu pun aku ikut belajar arti nasionalisme
sebuah bangsa.
Dari Rusia aku terbang ke Amerika, Inggris, Australia; kemudian
berakhir di pedalaman Kalimantan, menjeritkan kekejaman manusia
lewat
perburuan harimau yang menegangkan bersama Mohtar Lubis dalam
novel
Harimau! Harimau!
***
Dalam rentang usia yang sangat terbatas, manusia tidak mungkin
merangkum dan memahami secara empirik seluruh pengalaman dan
pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Padahal, pengetahuan dan
pengalaman empirik (merasakan, melihat, mencatat, mendengar, dan
menghayati) begitu penting untuk menentukan kualitas sebuah tulisan.
Begitu penting untuk menentukan "cara pandang" yang menjadi modal
dasar dalam menulis. Dan kekayaan pemahaman empirik semacam
itu, bisa
dipintas lewat luasnya bacaan sastra, baik novel, cerpen, maupun
puisi. Maka adalah suatu kewajaran, bahwa menulis mau tidak mau
harus
berdampingan dengan membaca.
Seorang penulis yang memiliki cara pandang yang kaya terhadap nasib
seorang buruh misalnya, (memiliki sedikit pengetahuan sosial, budaya,
ekonomi, psikologi, hingga hak-hak hukum yang melingkupi kehidupan
buruh); tentu akan berbeda hasil penulisannya dengan penulis-penulis
yang hanya mengetahui sebatas tokoh buruh "imajiner" yang
diimajinasikannya semata. Sebab hasil sebuah tulisan, baik itu cerita
BENANG-BENANG CERITA
Joni Ariadinata
Sebuah jendela: dataran lengang dan horison
Maut sandar di kusen jendela
seraya ngulur tangan mencabut rokokku.
"Kau mengundangku malam ini. Ada apa?"
"Tak ada apa-apa, hanya iseng disekap sunyi"
Maut lantas duduk di tepi meja. Menatapku.
"Kapan giliranku?"
"Kau percaya pada Tuhan?"
"Iya"
"Tutup mulutmu, jangan tanya macam itu!
"Dosaku banyak. Aku takut neraka."
"Takut adalah jalan lempang ke sorga."
"Kamu ganteng, aku kira kayak raksasa."
Maut ketawa terkekeh dan batuk-batuk oleh asap rokok
kemudian melihat arloji dan menoleh ke luar jendela:
lega. Tak ada ganjalan, ibarat sebuah jalan yang lempang, dan
pembaca
sampai pada kesimpulan yang tuntas.
***
Untuk mengulas sebuah cerpen karya Mairi Nandarson (MN) dari
Padang.
Hukum untuk menjahit "benang cerita" dengan pembagian pola awal,
tengah, akhir (pertama kali diperkenalkan Aristoteles pada abad IV
sebelum Masehi); pada perkembangan berikutnya memang telah
mengalami
pergeseran dan penyempurnaan terus-menerus. Sebuah cerita, bisa
jadi
diawali oleh pola akhir, kemudian tengah, dan terakhir pola awal;
atau diawali oleh tengah, kemudian awal, baru terakhir bola akhir.
Seluruh komposisi yang pada dasarnya semua mengacu pada tujuan
akhir
yang sama: kesempurnaan.
MN memberi judul cerpennya dengan kalimat yang sangat sugestif:
Aku
Ingin di Kampung Saja. Sugestif, terutama jika dikaitkan dengan
konteks sosial Minang, yang dengan tegas mengatakan bahwa
"merantau"
lebih terhormat daripada "tinggal di kampung". Dengan pilihan judul
seperti ini, pembaca langsung dihadapkan pada sebuah perkiraan
konflik yang besar tentang kebudayaan. Sebab siapapun yang pernah
menginjak bumi Minang) dari Padang hingga Bukit Tinggi); akan
disergap oleh sebuah kesunyian desa-desa, di mana banyak rumahrumah
yang berlomba dibangun dengan megah akan tetapi dibiarkan kosong
lantaran pemiliknya nun jauh tinggal di "rantau" sana. Mereka
membangun kemegahan untuk memamerkan kesuksesannya di
rantau. Lantas,
siapakah yang sesungguhnya bertanggungjawab membangun Minang?
Jahitan benang awal cerpen ini, dimulai oleh plash back dari dua
orang tokoh, yakni Aku dan Sardibagaimana keakraban mereka sejak
kecil, dan pertengkaran-pertengkaran yang membuat kenangan manis
tak
terlupakan. Hingga kemudian keduanya berpisah; Aku merantau di
kota
provinsi menjadi wartawan, dan Sardi merantau ke Jakarta dan meraih
sukses besar secara materi.
Konflik, sebagai jahitan benang tengah diciptakan oleh perbandingan
Pertama kali saya dipaksa menginap di kamar hotel, adalah pada bulan
Juni 1994. Saya mendapat penghargaan dari sebuah harian terkemuka
di negeri ini, dan menurut mereka: saya wajib mendapat kemewahan
"tidur" sebagai orang terhormat. Sungguh, demikianlah seumur hidup
baru ketika itu saya melihat sebuah ruang tidur yang begitu bersih,
mewah, harum, dan dingin. O-la-la. Bertahun-tahun saya tinggal di
rumah kumuh, biasa tidur di lantai kasar dan keras, dengan sehelai
tikar tanpa kasur. Dan tiba-tiba, pada malam itu Saya gelisah. Tak
sanggup tidur dengan nyenyak. Betapa tidak: kabar dari pelayan hotel
bahwa tarif pelayanan saya semalam seharga 370 .000 rupiah,
membuat saya merasa menjadi orang yang paling dzalim sedunia.
Saya memang tidak memiliki kewajiban untuk membayar sendiri. Akan
tetapi, pada tahun 1994, harga sewa kamar saya yang kumuh di
Yogyakarta adalah 80.000 rupiah per tahun. Artinya, uang 370.000
rupiah adalah sama dengan harga sewa saya tidur dan tinggal selama
empat setengah tahun! Minta ampun. *** Tahun 2002. Jikalau anda
adalah seorang pelancong, dan anda ingin mencoba jadi orang
terhormat; cobalah pergi ke Borobudur. Singgahlah di sebuah tempat
yang memang dirancang untuk menjadi surga bagi para pelancong,
yakni sebuah hotel berinisial AJ. Para calon penghuni surga
dipersilahkan memilih antara tarif terendah Rp5.000.000 ataukah tarif
tertinggi Rp9.000.000 semalam. Itu belum seberapa. Kawan saya di
Bali membisikkan sebuah kabar mencengangkan tentang bagaimana
orang-orang memburu kebahagiaan: "Mereka adalah para pejabat,
politikus, pengusaha, para pelancong, atau hanya sekedar anak-anak
dan istri-istri yang kebetulan lahir dari keluarga kaya raya Begitulah,
hotel Fourseason di Jimbaran tak pernah sepi meskipun mematok tarif
antara 10 hingga 50 juta semalam. Sedangkan hotel Bagawan Giri di
Ubud, yang berdiri pada sebuah kawasan teramat luas di mana kamarkamar dirancang begitu sempurna "menyerupai surga";-- dengan
pelayanan paling hati-hatidibuat sedemikian rupa sehingga orangorang sudah tidak lagi perlu merasa berdosa, apalagi merasa paling
dzalim sedunia ketika ia harus membayar tarif "tidur" antara 60 hingga
120 juta semalam. Apa yang bisa kita petik dari pelajaran di atas? Hal
yang paling nyata, adalah kesia-siaan manusia dalam mengejar
bayang-bayang semu yang bernama kenikmatan, kehormatan sesaat,
keagungan palsu; lewat rekaan dunia palsu yang diciptakan untuk
menghamburkan kemubadziran. Allah memberi palajaran yang terang
lewat contoh kontradiksi ini; bahwa, betapa sesungguhnya nilai surga
itu teramat mahal kalau harus dinominalkan dengan materi. Adalah
wajar jika imbalan surga di akhirat bagi orang-orang beriman,--surga
yang benar-benar abadi dengan kenikmatan dan kebahagiaan berjuta
kali lipat `surga palsu" bikinan manusiaharus ditebus dengan
keletihan, kesabaran, kegigihan dalam berjuang menegakkan iman,
seumur hidup. *** Cerpen Maya Lestari (ML) dari Padang Panjang
mencoba mengisahkan kontradiksi yang juga mirip semacam kasus di
Menjaring Ide
beberapa cerpen saya buat tanpa emosi. Dan saya harus merasa
berjarak dengan cerita itu. Sungguh tidak mengenakkan. Karena cerita
"menubuh" inilah maka biasanya yang menjadi "korban" adalah orangorang yang cukup dekat dengan saya. Cerpen FUNKY, SIBUKER adalah
yang begitu dekat. PASIR PASIR KALIADEM termasuk yang agak jauh.
Yang lain? Yah, relatif. Tapi saya mencoba sebisa mungkin untuk selalu
dekat dengan cerita saya. Sungguh.
Sekarang ini saya sedang menulis novel. Seluruhnya saya rencanakan
12 episode. Nyatanya saya harus mulai lagi bersatu dengan novel saya
karena sempat tertunda (mencari data) selama hampir setahun. Dan
itu tidak gampang. Lebih-lebih novel itu saya rasakan agak jauh
dengan realita yang saya temui (tentang detektif remaja). Lalu saya
membuat serial (tentang lima cowok pengelola kafe). Selesai hanya
dalam beberapa minggu, padahal jumlahnya sama. Ternyata karena
yang saya angkat adalah realita keseharian. Terlebih lima tokoh itu,
beberapa, saya ambil dari tokoh nyata. So... dekat sekali dengan saya.
Dari situ saya bisa katakan novel detektif saya kurang menubuh
(setidaknya dengan saya) sedangkan yang satunya nyaris menjadi
bagian dari hidup saya. Tapi saya harus berusaha masuk secara penuh
pada semuanya. Untuk apa? Agar pembaca saya pun bisa merasakan
proses penyatuan itu juga. Agar maknanya tertangkap sehingga pesan
atau hikmahnya bisa terambil. Saya percaya kalau si pengarang sendiri
tidak bisa menyatu dengan ceritanya, apalah lagi pembaca? Begitulah.
Wallahu a'lambisshawab Yogyakarta, 23 Februari 2001 NURUL F. HUDA
=====
Ikut nimbrung nih :) Mungkin saya bisa sedikit bantu Nida.
Boleh khan Nid? Tapi maaf kalo nggak berkenan ya jangan
dimasukin ke hati. Cukup lewat di pikir saja.
Kenapa naskah kita ditolak? Kemungkinan besar memang dia tak
layak muat dalam hal 'mutu'. Mutu yang dimaksud dalam naskah
kita (cerpen) adalah mutu pada kriteria penilain dari sebuah
cerpen. Karena dari kriteria itulah naskah kita dinilai.
Coba kita longok kekurangan naskah kita:
1. Barangkali temanya kurang menarik.
2. Cara bertutur dalam cerpen, alur, diksi, mungkin belum
'memadai'.
3. Konflik yang kita suguhkan mungkin kurang 'greget'
sehingga cerpennya jadi hambar.
4. Mungkin kita sendiri yang ada rasa mulai 'menyerah' :P
sehingga kita sebal, kesal ketika naskah kita ditolak mulu
hehehe...