Você está na página 1de 37

Bangkitkan Kehebatanmu

Oleh Mohammad Fauzil Adhim


Penulis buku-buku best seller,
antara lain Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Kado Pernikahan
untuk
Istriku, Indahnya Pernikahan Dini dan Agar Cinta Bersemi Indah
Banyak penulis berbakat, tetapi tidak mampu membuat tulisan yang
hebat. Mereka pernah menjadi juara di berbagai sayembara
mengarang; mereka memperoleh penghargaan di berbagai
perlombaan; mereka menumpuk piala-piala di ruang tamunya, tetapi
tak satu pun karya berharga yang mampu mereka tulis. Selebihnya,
piala-piala itu hanya menjadi kisah membanggakan untuk penghias
cerita saat datang kenalan.
Apa yang menyebabkan mereka gagal menjadi penulis handal? Mental.
Karena tidak memiliki mental pemenang, mereka gagal menjadi
penulis
cemerlang. Apa saja yang perlu kita miliki agar dapat melahirkan
tulisan yang selalu dicari-cari? Inilah beberapa hal yang perlu kita
perhatikan untuk melejitkan kehebatan kita sebagai penulis:
Jadi yang Terbaik, Bukan yang Lebih Baik
Ada dua penyakit yang sering membuat kita tak pernah melejit, yakni
banyak mengeluh atau sebaliknya terlalu cepat merasa puas. Banyak
mengeluh membuat kita tidak pernah puas, dan akhirnya menjadikan
kita tak pernah memiliki rasa percaya diri bahwa tulisan kita cukup
berharga. Kita selalu merasa lebih jelek, sehingga tidak pernah berani
mempublikasikan. Sebaliknya, terlalu cepat merasa puas membuat
kita tidak berkembang. Kita merasa cukup sebelum melakukannya
secara optimal. Kita merasa qana'ah, padahal sebenarnya merupakan
sikap seenaknya.
Penyakit terakhir ini sering saya temui pada banyak penulis. Mereka
lebih hebat dari saya, tetapi mereka tidak mampu melahirkan karya
dahsyat. Sebabnya sederhana, mereka menganggap tulisannya lebih
baik dari orang lain. "Ah, saya kira sudah cukup. Banyak yang lebih
sederhana dari ini, juga bisa terbit." Alhasil, karya mereka pun hanya
menjadi karya "yang sedang-sedang saja", meskipun awalnya memang
lebih baik dari orang lain.
Nah, jika kita ingin melahirkan karya yang memikat, ada satu sikap

mental yang perlu kita miliki. Saya sering menggambarkannya dalam


ungkapan if the best is excellent, good is not enough. Sederhananya,
jika mampu melakukan yang terbaik, tidak layak melakukan yang
sekedar baik. Meskipun "yang sekedar baik" itu sudah jauh lebih baik
daripada seluruh tulisan yang ada, tak layak kita menuliskannya jika
kita
memang mampu melahirkan tulisan yang lebih baik lagi.
Alhasil, camkanlah untuk selalu menulis dengan sebaik-baiknya. Ini
tidak berarti kita berhenti menulis bila kita sedang sakit karena
khawatir tulisan kita tak sebaik kemarin. Tetapi, kita harus menulis
dengan sebaik-baiknya sesuai keadaan kita saat itu. Kita melakukan
yang terbaik jika kita meraih nilai tujuh karena memang kemampuan
maksimal saat ini adalah tujuh, meskipun kemarin kita mampu meraih
nilai sembilan. Sebaliknya, nilai delapan saat ini bisa merupakan
prestasi yang menyedihkan kalau sebenarnya kita mampu meraih nilai
sepuluh.
Termasuk mental untuk menjadi yang terbaik adalah berusaha
melahirkan tulisan terbaik untuk media yang terbaik pula. Kalau
kemudian kita menulis di media yang tingkat persaingannya rendah,
jangan pernah karena alasan mudah menembusnya. Alasan semacam
ini selain membuat kita tidak puas, juga membuat kita semakin tidak
percaya diri. Lama-lama kita malah mengalami ketakutan untuk
memasuki persaingan yang kita. Pada akhirnya kita benar-benar tidak
mampu menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan perlu. Inilah
fenomena ketidakberdayaan karena kita merasa tidak berdaya.
Selligman menyebutnya sebagai learned hopelessness
(ketidakberdayaan yang dipelajari).
Ketika pertama kali mau menulis buku untuk diterbitkan, tahukah
apakah yang saya lakukan? Saya cari informasi penerbit terbaik dan
paling sulit ditembus. Waktu itu, jawabannya adalah Penerbit Mizan.
Maka saya pun memancangkan tekad, saya akan menulis buku yang
layak untuk Penerbit Mizan. Alhamdulillah, naskah saya diterima,
cukup
meledak di pasaran, dan cetakan kedua dibeli seluruhnya oleh proyek
pusat perbukuan pemerintah.
Belajar Dari Kesalahan Sendiri
Orang-orang yang memiliki mental pemenang selalu berusaha untuk
lebih daripada sebelumnya. Artinya, kita berusaha lebih baik bukan
dibanding orang lain, tetapi dibanding diri sendiri. Jika merasa lebih
baik daripada orang lain akan segera mengubur kehebatan kita ke

jurang yang paling dalam, berusaha untuk selalu lebih baik daripada
sebelumnya akan membuat kita menjadi a few good ones (sekelompok
kecil penulis-penulis terbaik).
Salah satu cara untuk selalu lebih baik daripada sebelumnya adalah
dengan belajar dari kesalahan diri sendiri. Dulu, ketika awal-awal
menulis di media massa, saya selalu menyimpan tulisan asli. Bila
dimuat, masalah pertama yang saya perhatikan adalah, adakah
perbedaan antara tulisan asli dengan tulisan yang sudah dimuat. Jika
ada perbedaan, perhatikanlah dengan seksama apakah perbedaan itu
karena kelalaian editor ataukah karena tulisan kita memang perlu
disempurnakan. Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa menalar sendiri,
tetapi bisa juga menemui editornya. Melalui cara ini, insya-Allah
kualitas tulisan kita akan bisa meningkat dengan cepat.
Cara lain adalah mencari naskah yang terbuang. Di awal karier saya
menulis, saya merasa senang bila menemukan tulisan yang dibuang di
tempat sampah editor. Dibanding membaca karya-karya yang sudah
terbit, tulisan yang terbuang di tempat sampah seringkali memberi
pelajaran yang lebih banyak (soalnya, kadang tulisan kita dimuat kan
karena kasihan. He he he.).
Apalagi yang perlu kita perhatikan untuk membangkitkan kehebatan
kita
sebagai penulis? Ada empat hal. Tetapi karena terbatasnya halaman,
insya-Allah kita akan berjumpa di An-Nida' edisi depan. So, don't miss
it! OK?
Sebelum berpisah, jangan lupa: Be the best, but not the better.
Jadilah yang terbaik, tapi bukan yang lebih baik.
Daaaagh...[]

Tak Pernah Berhenti Belajar


Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Menulis bukanlah bermain kata-kata. Susunan kalimat yang indah bisa
sangat membosankan kalau tidak memiliki makna yang kuat.
Kebosanan juga bisa muncul karena sebuah karya tidak menawarkan
kebaruan, greget dan gagasan yang lebih segar daripada karya-karya
sebelumnya. Seorang penulis yang sebelumnya melahirkan karya bestseller, bisa ditinggalkan begitu saja tanpa dikenang karena ia
tenggelam dengan ide yang itu-itu saja. Salah satu sebab timbulnya

kebekuan dan kejumudan adalah berhentinya proses pembelajaran


pada seorang penulis.
Masalah terakhir ini sering saya jumpai pada banyak penulis kita.
Mereka memiliki bakat yang luar biasa, tetapi semangat belajarnya
amat mengenaskan. Mereka memiliki imajinasi yang dahsyat, tetapi
tidak diiringi dengan kemampuan menuangkan gagasan yang semakin
baik, tidak juga disertai pengetahuan yang matang mengenai apa yang
ia tulis. Sebagai akibat, kadang saya temukan seorang Cerpenis
menggarap cerita dengan latar belakang Ambon, tetapi yang terasa
adalah suasana Jawa. Atau ada yang mengambil setting luar negeri,
tetapi tanpa pengetahuan tentang wilayah tersebut berikut suasana
antropologis dan sosiologisnya. Sekali lagi, kerapkali ini semua terjadi
karena
penulisnya
tidak
belajar.
Ia
hanya
mengandalkan
pengetahuannya yang sangat sedikit dan cukup puas dengan itu.
Saya teringat dengan Jack Trout, seorang pakar pemasaran. Ia pernah
menulis buku yang sangat berpengaruh, Differentiate or Die. Berbeda
atau Mati. Pemasar akan segera ditinggal pelanggan apabila ia tidak
mampu melakukan pembedaan, sehingga ia berbeda dari yang lain.
Tetapi hanya sekedar berbeda semata-mata karena ingin berbeda,
akan tidak ada artinya. Kalaupun sempat menjadi perbincangan,
sesaat akan segera redup kembali. Ini berarti bahwa berbeda bukan
semata karena ingin berbeda. Kita melahirkan tulisan dengan gaya
yang sangat khas dan pilihan kata yang sangat berbeda dengan
umumnya penulis bukan semata-mata karena ingin berbeda,
melainkan hasil dari proses belajar terus-menerus. Kesediaan belajar
tanpa henti akan melahirkan kemampuan inovasi. Kesediaan untuk
belajar terus-menerus juga mendorong kita mampu menuangkan ide
secara lebih cerdas, memikat dan mengalir. Kekayaan cara
pengungkapan ide atau gagasan muncul karena kepekaan dan
kecerdasan kita terus-menerus terasah melalui pembelajaran yang kita
lakukan secara sengaja. Jika belajar tanpa henti merupakan kunci
untuk
melahirkan
karya-karya
yang senantiasa
segar dan
mengesankan, maka pujian berlebih merupakan pembunuh kreativitas
yang paling sadis. Seorang penulis yang tiba-tiba melejit,
kecemerlangannya dapat hilang secara pasti karena ia tenggelam
dalam pujian. Setiap kali mau menulis, ia selalu terperangkap dalam
pujian yang telah diterimanya secara bertubi-tubi. Ia ingin melahirkan
tulisan yang serupa, sehingga ia justru kehilangan nalar inovatifnya.
Padahal kalau ia tidak tenggelam dalam pujian, ia akan mampu
mencapai kemampuan inovasi yang memukau.
Lalu, apa yang saja harus dipelajari oleh seorang penulis? Sekurangkurangnya tiga hal. Pertamailmu-ilmu yang dapat menguatkan jiwa,
menajamkan hati, mengasah kepekaan dan membimbing ruhani. Ini

yang harus selalu ada sebab semuanya bermula dari jiwa. Kalau kita
ingin melakukan perubahan, dari jiwalah kita memulai. Allah Ta'ala
berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa-apa yang
ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa-apa yang ada
pada jiwa mereka." Pada ayat ini Allah menunjuk pada jiwa sebagai
kekuatan perubahan. Khusus berkenaan dengan kekuatan jiwa dan
spiritualitas kita saat menulis, silakan simak kembali Spiritual Writing
(baca Annida No. 3/XII)
Kedua, ilmu-ilmu yang berkait erat dengan apa yang akan kita tulis.
Jika yang pertama lebih banyak berkait dengan kebangkitan motivasi,
komitmen dan missi yang menggerakkan kita untuk menulis, maka
yang kedua ini berkait langsung dengan apa yang kita tulis. Meskipun
kita memiliki kekuatan jiwa yang besar dalam menulis, tetapi tanpa
pengetahuan yang memadai terhadap apa yang akan ditulis, maka kita
hanya akan mampu melahirkan tulisan yang dangkal, kaku dan
membosankan. Saya teringat dengan seorang teman. Dia kuliah di
jurusan Geologi Fakultas Teknik UGM. Sama-sama jalan ke tempattempat yang berbatu, akan lain cerita yang saya bawa dengan cerita
yang bisa diungkapkan oleh teman saya. Ia akan mampu
mengungkapkan sangat banyak hal hanya dari sebongkah batu.
Kenapa? Karena ia belajar sangat banyak tentang bebatuan. Ia tak
pernah berhenti belajar. Adapun saya, nyaris tak ada yang saya
ketahui tentang batu -meskipun saya merasa tahu--sehingga sulit bagi
saya untuk bercerita banyak secara padat dan mengalir. Sebagaimana
kesulitan saya bercerita tentang batu, kamu juga akan mengalami hal
yang sama jika tidak memiliki cukup banyak pengetahuan. Bisa saja
kamu bercerita tentang Swedia, atau menggunakan setting negara
Swedia, tetapi tanpa pengetahuan yang memadai tulisanmu akan
dangkal dan kering. Dari sebagian cerita yang pernah saya baca,
terasa betul betapa penulisnya kurang melakukan studi yang
mendalam. Hal serupa terjadi ketika seorang penulis mencoba
mencoba mengangkat tema-tema futuristik, memasuki zaman digital
(digitalized age), tampak sekali bagaimana penulis kurang memiliki
pengetahuan tentang piranti-piranti teknologi yang diceritakan.
Meskipun memang benar- benar khayal, tetapi cerita sebenarnya tetap
berpijak pada teknologi yang sudah berkembang sekarang.
Ketiga, banyaklah belajar ilmu menulis, termasuk psikologi
komunikasi. Al-Qur'an memberi pelajaran kepada kita bagaimana
seharusnya berkomunikasi sesuai dengan orang yang kita hadapi.
Gunakanlah qaulan kariman saat berbicara dengan orangtua, qaulan
maysuran saat berkomunikasi dengan orang awam dan masyarakat
luas, qaulan ma'rufan saat berbicara tentang masalah-masalah rumahtangga, serta masih banyak lagi bentuk qaulan lainnya. Semua itu kita
perlukan agar kita dapat menyampaikan secara efektif, gamblang

(balaghul mubin), hidup, menyentuh dan menggerakkan jiwa. Kita juga


diseru agar berbicara sesuai dengan bahasa kaum kita, yakni sesuai
dengan audiens saat berbicara dan sasaran pembaca saat menulis.
Nah, bagaimana kita bisa menggunakan pendekatan komunikasi yang
tepat kalau kita sendiri tidak bagaimana melakukannya? Sayangnya,
penulis- penulis kita banyak yang masih bangga menjadi pemalas.
Mereka merasa hebat kalau hanya mengandalkan kemampuan yang
"sudah ada pada dirinya". Mereka lupa bahwa apa yang dianggap
"sudah ada pada dirinya" sesungguhnya juga merupakan hasil
pembelajaran yang diserapnya dari rumah dan sekolah, termasuk playgroup dan TK.
Saya teringat dengan Albert Camus. Soal produktivitas menulis buku,
boleh jadi ia kalah dengan kita. Tetapi karyanya selalu menjadi
perbincangan. Salah satu kunci keberhasilan Camus adalah, ia selalu
merevisi berulang-ulang setiap kali menulis. Ia terus belajar. Bila dari
hasil belajarnya menemukan ada yang kurang kuat atau kurang hidup
dari tulisannya, ia akan menyisihkan waktu, khusus untuk memperbaiki
tulisannya. Inilah yang menyebabkan tulisannya banyak diburu orang.
Saya sendiri bukan tipe penulis seperti Albert Camus. Biasanya saya
menulis sekali jadi. Saya menulis dan tidak perbaiki lagi. Kalau kurang
bagus, saya lebih suka menyimpannya. Suatu saat ia bisa muncul lagi
dalam bentuk ide yang lebih segar dan matang. Akan tetapi dari Albert
Camus ada pelajaran yang bisa kita ambil: tak ada kata berhenti untuk
belajar. Ya, jangan pernah berhenti belajar. Kata Rasulullah Saw.,
"Tuntutlah ilmu semenjak dalam buaian sampai ke liang lahat." Nah,
sudah siap belajar?[]

Mulailah Sekarang Juga


Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Cara paling cerdas untuk memulai karier sebagai penulis adalah
dengan MENULIS! Tidak ada rumus yang lebih ajaib daripada itu.
Menulislahsekarang juga, sebisa kita. Lupakan sejenak mimpi-mimpi
tentang menulis kreatif yang diajarkan di bangku kuliah. Kesampingkan
dulu prosedur baku menulis yang diajarkan pada mata kuliah Teknik
Penulisan Skripsi dan Karya Ilmiah. Sekarang yang paling penting
adalah menulis! Tulislah apa saja yang ingin engkau tulis! Tak soal
tulisan itu runtut atau tidak, enak dibaca atau tidak. Tak soal. Yang

penting: mulailah menulis sekarang juga! Nanti kalau sudah selesai,


kita bisa memperbaiki tulisan kita sampai benar-benar sempurna.
Tapi apa yang harus saya tulis? Bagaimana cara membuka tulisan,
sedangkan yang menari-nari di otak adalah puncak paling
mendebarkan dari cerita yang hendak saya tulis?
Inilah penyakit yang paling sering dialami oleh penulis pemula. Dia
merasa puncak ceritanya terlalu hebat sehingga tidak mau menuliskan
di awal cerita. Ia habiskan energi yang sangat besar hanya untuk
menunggu momentum yang tepat buat mengungkapkan puncak
cerita.
Akibatnya, bagian awal cerita yang ia tulis justru menjadi sangat
lamban dan membosankan. Tidak memancing minat untuk
melanjutkan membaca. Akibat berikutnya mudah ditebak, editor
menolak dengan telak.
Jadi jangan melemahkan diri sendiri dengan terlalu banyak berpikir
bagaimana mengawali tulisan, kecuali jika sudah memiliki jam terbang
menulis yang sangat tinggi. Jika yang sedang memenuhi pikiran adalah
bagian yang paling seru, biarkanlah ia menjadi awalan yang
mengejutkan. Ini justru bisa menjadi daya tarik yang unik, seperti
ketika WS. Rendra menulis puisi "Khotbah". Ia awali dengan ungkapan
mengejutkan: "Fantastis". Sesudah itu, baru ia bertutur tentang
seorang paderi muda yang berkhotbah di sebuah gereja, di suatu
Minggusiang yang panas.
Dalam Al-Qur'an, banyak surat yang diawali dengan kata-kata
mengejutkan. Ia begitu menghentak, sehingga perhatian kita segera
terserap ke dalamnya. Terkadang ia bertanya dengan tiba-tiba,
mencengangkan dan terduga. Lebih jauh insya-Allah kita akan
berbincang secara leluasa pada tulisan-tulisan berikutnya di rubrik ini.
Sekarang, saya hanya ingin memantapkan tekadmu: mulailah menulis
sekarang juga. Seribu kiat dan berpuluh-puluh rumus menulis yang
bagus tidak akan memberi manfaat apa-apa kalau kita tidak pernah
memulai untuk menggerakkan pena. Hanya dengan cara inilah, kita
dapat menulis dengan baik. Selebihnya, kerja keras dan tetap
memelihara semangat untuk menyelesaikan tulisan sampai benarbenar rampung.
Artinya
Tetaplah menulis meski berkali-kali gagal menyelesaikan satu cerita
yang utuh dan layak dibaca. Seperti kata Seichiro Honda, keberhasilan
itu sembilan puluh delapan persen ditentukan oleh kegagalan,

sementara bakat hanya memberi sumbangan dua persen. Senada


dengan itu, Marion Zimmer Bradley seorang penulis buku yang sukses
menunjukkan bahwa keberhasilan menjadi penulis hebat sembilan
puluh persen ditentukan oleh kerja keras, sedangkan bakat atau
inspirasi memberi andil cuma sepuluh persen. Kerja-keras seorang
penulis berarti, tetaplah menulis sampai benar-benar bisa
menghasilkan tulisan meski harus menghadapi kebosanan, kelelahan
dan kehilangan gairah. Tetaplah menulis dan lakukan sekarang juga
meskipun orang lain dan bahkan diri kita sendiriberkomentar,
"Tulisan apa sih ini? Tulisan kok kayak gini?"
Di awal karier saya menulis, kebosanan sering saya rasakan saat
memulai tulisan atau saat buku hampir selesai. Terkadang tulisan yang
saya hasilkan benar-benar tidak menarik dan kaku. Tetapi tulisan itu
tetap harus saya kerjakan, sebab kalau menuruti hilangnya mood, kita
tidak lagi berkuasa atas diri kita. Kalau kemudian tulisan itu memang
sangat
membosankan,
saya
memilih
menulis
ulang
atau
menyimpannya untuk suatu saat saya buka-buka kembali.
Alhasil, ada dua kunci penting; menulislah sekarang juga dan tetaplah
menulis meskipun sangat membosankan, melelahkan dan tulisan yang
kita hasilkan benar-benar tidak menarik.
Di luar itu, ada beberapa hal yang acapkali membuat kita kehilangan
energi untuk menulis. Pertama, penulis pemula lebih-lebih penulis
Cerpensering dihantui oleh keinginan menghasilkan tulisan menarik
yang sangat unik, lain daripada yang lain. Kecenderungan ini berakibat
pada dua hal. Di satu sisi cerita yang kita tulis terlalu ganjil dan
terkesan sangat mengada-ada, sehingga tidak layak baca. Di sisi lain,
kita membutuhkan energi yang ekstra besar untuk menyelesaikan satu
Cerpen yang paling sederhana sekalipun. Kitamengeluarkan energi
ekstra karena perhatian kita terserap untuk menulis dan sekaligus
sibuk memikirkan apakah tulisan kita menarik atau tidak. Ini membuat
kita sulit menulis. Kalau kita mampu menyelesaikan, tulisan itu
acapkali sangat kaku.
Kedua, berpikir tentang panjangnya tulisan yang harus diselesaikan.
Menulis Cerpen atau buku sebenarnya tidak sulit kalau kita tidak sibuk
membayangkan panjangnya tulisan yang harus diselesaikan.
Penulis Cerpen pemula juga penulis artikelsering kehabisan energi
karena banyak melakukan jeda hanya untuk melihat sudah seberapa
panjang tulisan yang sudah kita bikin.
Jika kamu sering menghadapi masalah ini, ada beberapa hal yang bisa
kita lakukan. Pertama-tama, biarkanlah tulisan itu mengalir begitu saja,

terserah berapa halaman jadinya. Jika kamu hendak menulis buku,


jangan tetapkan target terlalu tinggi. Yang penting, menulislah setiap
hari secara rutin. Dua halaman setiap hari lama-lama juga bisa
mencapai dua ratus halaman. Tetapi sepuluh halaman hari ini, dan
esok hari tak menulis lagi, ide-ide yang bagus di kepala kita hanya
menjadi cerita kosong yang tidak pernah terbit sebagai buku.
Cara lain untuk membangkitkan semangat menulis adalah dengan
melakukan auto-sugesti. Gunakanlah kertas A-4, bukan folio. Ketik dua
spasi dengan font ukuran 12. Pada halaman pertama, beri jarak yang
cukup lebar antara judul dengan awal tulisan sehingga kita lebih
mudah menyelesaikan satu halaman. Semakin mudah kita menambah
halaman, akan membuat kita lebih bersemangat menulis. Sebaliknya,
kalau satu halaman saja tidak kunjung selesai, keinginan untuk
menulis novel bisa runtuh di saat kita baru mulai menulis. Oleh sebab
itu, penulis pemula sebaiknya jangan menggunakan format satu spasi
atau memilih font yang type-facenya sangat rapat. Garamond,
misalnya.
Ini berbeda dengan penulis senior.
Nah, kepada para penulis muda yang penuh potensi, mulailah menulis
sekarang juga![]

Biarkan Inspirasi yang Mengejar Kita


Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Aneh tapi nyata, banyak penulis yang sempat-sempatnya
mengasingkan diri hanya untuk mendapat inspirasi. Begitu inspirasi
didapat, mereka akan segera mengurung diri rapat-rapat. Meskipun
dengan cara ini banyak yang bisa menjadi penulis, tetapi untuk benarbenar produktif dan mampu menghadirkan ide-ide segar, kita perlu
belajar mengelola diri agar senantiasa kaya inspirasi. Biarlah inspirasi
yang mengejar kita, bukan kita yang sibuk mencari- cari inspirasi.
Pertanyaannya, mungkinkah itu terjadi? Kekuatan Itu Bernama
Komitmen Apabila hatimu dipenuhi oleh kepedihan, keinginan yang
kuat untuk menunjukkan orang lain kepada jalan yang kamu yakini
kebaikannya, maka pikiranmu akan hidup. Gagasan-gagasan
bermunculan dan inisiatif akan saling bersusulan. Apapun yang kamu
lihat, akan selalu mengalirkan inspirasi ke dalam jiwamu sesuai dengan
apa yang menjadi kegelisahanmu. Komitmen yang kuat akan
menjadikan diri kita selalu inspiratif. Komitmen mempengaruhi emosi,
pikiran dan konasi kita. Semua itu merangsang munculnya inspirasiinspirasi yang segar, inovasi yang cerdas dan kekuatan tulisan yang
dahsyat. Kegelisahan yang muncul karena dorongan keinginan untuk

menunjukkan apa yang baik, dapat menarik kita untuk benar-benar


terserap pada apa yang sedang kita kerjakan. Dan inilah flow. Secara
sederhana, Daniel Goleman mengemukakan dalam Emotional
Intelligence, "Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya
terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya
hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan
tindakan." Dalam buku Working with Emotional Intelligence, Goleman
menunjukkan bahwa kita dapat mencapai kondisi flow apabila ada
keterlibatan psikologis yang sangat kuat (psychological presence).
Keadaan ini membuat otak kita lebih tajam, pikiran kita lebih mudah
mengalir dan jiwa kita lebih inspiratif. Menulis terasa lebih menggugah
dan membangkitkan semangat apabila kita merasakan benar mengapa
kita perlu menulis. Itu sebabnya mengapa saya lebih tertarik
menemukan alasan untuk menulis, daripada memikirkan bagaimana
membuat tulisan yang menarik. Jadi, jika kamu sekarang bingung
harus menulis apa, beralihlah sejenak. Pikirkanlah mengapa kamu
harus menulis? Jika kamu menemukan alasan yang kuat, pertarungan
batin seorang akhwat yang baru mulai berjilbab pun bisa engkau
tuangkan menjadi novel panjang yang mengesankan. Kamu juga bisa
mengangkat tema-tema yang sangat sederhana menjadi satu novel
yang mempesona. Cinta Itu Menggerakkan Jiwa Pernah mendengar
nama Sha'aban Yahya? Ia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis
Yogya. Karena alasan budaya, ia harus memendam kecewa karena
keinginannya untuk menikah tidak dapat terlaksana. Kepedihan yang
ia rasakan, gejolak jiwa yang bergemuruh karena cinta yang tak
sampai, menggerakkan ia menggubah aransemen musik yang
menyentuh. Alunan musiknya ini kemudian dikemas dalam album
bertajuk Return to Yogya. Saya hanya ingin menunjukkan satu hal:
cinta yang kuat dapat menggerakkan jiwa untuk penuh semangat,
yakin, optimis dan penuh harapan. Salah satu penyebab orang-orang
Yahudi yang dididik di kibbutzim (semacam pesantren untuk orang
Yahudi) memiliki ketajaman otak yang dahsyat, adalah kecintaan dan
militansi mereka yang sangat kuat untuk mengabdikan apa yang
mereka miliki kepada perjuangan zionisme. Nah, agar tulisanmu
senantiasa penuh kekuatan dan dirimu senantiasa penuh dengan
inspirasi, kamu perlu belajar mencintai apa yang kamu tulis. Pada saat
yang sama, kamu harus ingat bahwa itu semua hanya menjadi penting
ketika di dalamnya terkandung keutamaan. Gampangnya begini,
meskipun saya sehari-hari menulis tema pernikahan, tetapi saya tidak
boleh menganggap inilah brand (merek) saya. Menulis hanyalah alat
untuk mendatangkan kemanfaatan, kebaikan dan kemaslahatan.
Melalui jalan ini, justru hati kita menjadi ringan. Kita tidak sibuk
dengan atribut-atribut kepenulisan yang mengungkung, sehingga kita
justru menjadi kreatif dan inovatif. Ketika kita lebih banyak merisaukan
masalah yang sungguh-sungguh ada di hadapan kita, baik kita alami

sendiri maupun dialami orang lain, kita justru sangat kaya. Wallahu
A'lam bishawab.[]

Agar Ide Deras Mengalir


Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Pernah lihat ibu-ibu marah besar? Menakjubkan. Ketika orang sedang
marah besar, saat ada tekanan emosi yang sangat kuat, kata-kata
mengucur deras dari mulut mereka. Mereka selalu kreatif menciptakan
kalimat-kalimat yang tajam, seakan-akan di benak mereka sudah
tersedia stok ucapan yang melimpah. Mereka dengan sangat mudah
mempertautkan satu ide dengan ide lainnya. Otak mereka
menghubungkan semua pengalaman secara sempurna dalam waktu
yang amat cepat.
Seperti orang yang sedang marah besar, kita dapat menulis dengan
kecepatan tinggi bila perasaan kita sejalan dengan pikiran. Semakin
kuat perasaan kita saat menulis, semakin lancar kalimat mengalir.
Berbagai ide yang berkelebat dalam pikiran akan dengan mudah kita
rangkai dalam satu tulisan yang menarik, mengalir dan enak dibaca.
Keterlibatan perasaan yang kuat Goleman menyebutnya dengan
psychological presence (kehadiran psikologis)akan meningkatkan
konsentrasi kita sampai ke tingkat yang sangat tinggi. Inilah yang
mengantarkan kita pada kondisi flow (mengalir). Secara sederhana,
flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam
apa yang sedang dikerjakan. Perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan
itu, kesadaran menyatu dengan tindakan. Daniel Goleman menulis,
flow ditandai dengan adanya perasaan bahagia yang spontan dan
bahkan keterpesonaan. Bekerja dalam keadaan flow terasa begitu
menyenangkan, secara intrinsik bermanfaat. Inilah yang meningkatkan
kinerja otak kita sehingga sangat efisien dan peka.
Barangkali atas sebab ini, sebagian penulis sangat tergantung pada
mood. Mereka akan menulis bila sudah benar-benar mood. Begitu ada
mood yang kuat, mereka akan mencari tempat yang tenang dan relatif
tidak terganggu. Persoalannya, haruskah kita tergantung mood untuk
bisa mencapai kondisi flow? Tentu saja tidak. Dan kita harus
memancangkan tekad kuat-kuat pada diri kita. Selebihnya ada

beberapa hal yang dapat kita perhatikan agar kita dapat mengalirkan
ide dengan deras saat menulis.

Bangkitkan Perasaanmu
Ada beberapa cara yang biasa saya lakukan untuk membangkitkan
perasaan saat menulis. Pertama, menemukan alasan mengapa ide itu
harus saya tulis. Ketika saya mampu merasakan beratnya
permasalahan yang sedang saya tulis, kalimat-kalimat akan meluncur
dengan cepat. Selain itu, setiap kalimat yang tersusun memiliki
muatan emosi (emotional tone) yang kuat. Ini akan sangat membantu
pembaca untuk dapat memiliki keterlibatan perasaan saat mencerna
isi buku. Pengalaman saya, cara ini yang terbaik. Ia tidak saja
membangkitkan perasaan, tapi sekaligus meluruskan niat dan
menguatkan komitmen. Sebuah kegiatan akan terasa lebih bermakna
apabila ada komitmen dan missi yang mengiringinya. Disebabkan oleh
komitmen yang kuat, menulis terasa lebih bertenaga. Tidak
melelahkan, tidak pula membosankan.
Kedua, menghadirkan nasyid, murattal dan alunan suara lain yang
membangkitkan kekuatan jiwa. Melalui fasilitas mp3 maupun tape
recorder, saya biasa mengiringi kegiatan menulis dengan alunan
nasyid. Di antara nasyid yang saya sukai adalah Berkorban Apa Saja
dan Sunnah Berjuang dari Nada Murni. Belakangan saya suka memutar
nasyid Demi Masa dari Raihan karena syairnya yang menyentuh dan
penuh peringatan. Di saat saya merasa kelelahan dan hampir
kehilangan semangat, syair-syair nasyid yang semacam itu
membangkitkan kekuatan untuk kembali bersemangat.
Ketiga, menghadirkan suasana emosi melalui aroma. Ini termasuk
jarang saya lakukan, tetapi terkadang saya beli wewangian untuk
membangkitkan suasana yang sesuai dengan buku yang sedang saya
tulis. Selain memutar nasyid dan murattal, ketika menulis buku Agar
Cinta Bersemi Indah saya juga menghadirkan pengharum ruangan
yang terkesan romantis. Saya juga membeli parfum yang saya
semprotkan ketika mulai menulis. Tajamkan Keterampilanmu "Langkahlangkah yang terlatih membutuhkan usaha otak yang lebih ringan
daripada langkah-langkah yang baru saja dipelajari, atau langkahlangkah yang masih terlampau sulit," begitu Daniel Goleman menulis
dalam Emotional Intelligence. Penguasaan keahlian kita akan lebih
tinggi apabila kita berusaha untuk selalu lebih baik daripada
sebelumnya, dengan belajar dari kesalahan yang kita lakukan sendiri.
Lebih lanjut tentang masalah ini, bisa kamu buka kembali tulisan
berjudul Bangkitkan Kehebatanmu (Annida No. 1 dan 2). Alhasil, ide
akan lebih deras mengalir kalau kita terlatih. Bukan semata-mata jam

terbang. Meskipun jam terbang yang tinggi memudahkan kita dalam


menuangkan gagasan, tetapi tanpa secara sadar berusaha menulis
yang lebih baik, tingginya jam terbang hanya memberi kita fluency
(kelancaran). Kita dapat menulis dengan cepat dan lancar, hanya saja
tanpa greget dan harmoni.
Jadi, beda derasnya ide mengalir karena tajamnya keterampilan
menulis dengan sekedar bisa karena biasa. Kuatkan Pengetahuanmu
Berdasarkan studi selama 18 tahun terhadap 200 seniman, Mihaly
Csikzentmihalyi, pakar psikologi dari University of Chicago
menyimpulkan, "Prestasi kreatif bergantung pada totalitas hati dan
pikiran." Berbekal kepekaan dan kuatnya perasaan, orang tidak biasa
menulis pun dapat melahirkan karya yang menggugah perasaan.
Mereka dapat menuangkan kata-kata indah. Tetapi keindahan semata
tanpa totalitas pikiran yang kuat, akan cepat hilang pesonanya.
Sebentar menakjubkan, sesaat berikutnya terasa tak bermakna. Ia
hanya menarik pertama kali dibaca. Sesudahnya tak ada lagi yang
dapat diambil oleh pembaca, sehingga hilang tak dicari, ada tak
dipungut.
Saya jadi teringat nasehat Mas Wijayanto seorang ustadz di
Yogyakarta. Katanya, "Tulisan yang baik bukanlah seperti kacang
goreng. Sebelum dimakan sangat menarik, sesudah ditelan tak lagi
memikat. Apalagi setelah dikeluarkan, tak ada lagi yang dapat
dimanfaatkan. Cuma kotoran yang menjijikkan." Tulisan yang baik, kata
Mas Wijayanto, adalah tulisan yang setelah dibaca, masih membuat
kita ingin membacanya sekali lagi dan sekali lagi. Setiap kali
membaca, kita memperoleh manfaat yang semakin baik. Kalau kita
mengeluarkannya lagi sebagai pelajaran, orang masih berduyun-duyun
untuk memungutnya karena tetap penuh daya tarik dan menyimpan
hikmah yang baik. Nah, tulisan yang semacam ini tidak akan lahir
kalau kita hanya membangkitkan perasaan. Kita juga perlu
menguatinya dengan pengetahuan yang matang, pikiran yang total,
dan nalar yang jernih. Kita menggabungkan tafakkur dan tadzakkur. Ini
berarti penulis dituntut untuk tidak pernah berhenti belajar.[]

Spiritual Writing
Jalan Lain Membangkitkan Kehebatan
~Mohammad Fauzil Adhim

Berapa lama waktu yang kita perlukan untuk menyelesaikan satu


buku?
Agar Cinta Bersemi Indah saya selesaikan dalam waktu satu bulan.
Buku
lainnya ada yang rampung dalam waktu 2 minggu, 12 hari, 6 hari dan
ada juga yang selesai dalam waktu tiga hari. Umumnya saya menulis
buku sambil tetap melakukan berbagai aktivitas. Bahkan kadang saya
menulis di tengah aktivitas yang sangat padat. Ketika menulis buku
Agar Cinta Bersemi Indah, saya harus tetap memenuhi berbagai
undangan, mendengar orang-orang yang datang ke rumah untuk
curhat.
Buku lainnya ada yang saya tulis di sela-sela kesibukan KKN. Jangan
bayangkan tempat KKN saya mudah dicapai kendaraan. Sekedar
gambaran,
untuk mencapai lokasi KKN dari tempat saya mencuci pakaian butuh
waktu 2,5 jam jalan kaki.
Lalu, apakah yang mempengaruhi cepat lambatnya merampungkan
buku?
Selain soal tebal tidaknya buku dan padat longgarnya kegiatan,
kecepatan menulis buku juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan jiwa.
Jika kamu mampu mencapai kekuatan tekad yang kokoh, kejelasan visi
dan kemantapan niat, buku setebal 200-an halaman bisa selesai dalam
waktu kurang dari dua minggu. Buku tercepat yang saya susun,
Memasuki
Pernikahan Agung, saya tulis dalam waktu kurang dari tiga hari. Waktu
itu saya sedang di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika menghadiri
pesta perkawinan, saya lihat ada kebiasaan yang sangat merisaukan,
dan saya ingin sekali menyampaikan kepada masyarakat bagaimana
seharusnya. Dorongan itu demikian kuat dan Allah mencurahkan
anugerah
dengan ide yang tak berhenti mengalir, kalimat yang meluncur dengan
cepat, dan jari-jemari yang menari dengan lincah di atas tuts mesin
ketik.
Di luar kecerdasan otak, sikap mental yang baik dan kekuatan
motivasi, faktor yang sangat berperan dalam membangkitkan
kehebatanmu
adalah kejernihan spiritual. Bila sedang shalat, `Ali bin Abi Thalib
tak lagi merasakan beratnya segala kesusahan dunia. Ketika menantu
Nabi Saw. ini terkena anak panah, ia mendirikan shalat dan minta agar
anak panah itu dicabut pada saat ia sedang khusyuk dalam shalatnya.
Benarlah. Anak panah itu dicabut dan `Ali bin Abi Thalib seperti
tidak merasakan sakit sama sekali.

Apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Kondisi ruhani kita
berpengaruh sangat besar terhadap ketajaman otak kita, kekuatan fisik
kita dan kecemerlangan pikiran kita. Menulis fiksi hanya dengan
mengandalkan kekuatan imajinasi, akan menyerap energi yang lebih
besar, butuh ketenangan untuk menuangkannya, dan meminta daya
tahan
yang cukup tinggi. Penulis dengan tipe seperti ini, jangan coba-coba
ganggu meski hanya sehari, sebab ketenangan dan kesinambungan
berkait
erat dengan kemampuan mempertahankan, mengembangkan dan
menuangkan
imajinasi. Bila penulisnya kurang mampu mempertahankan, maka
karyanya
akan kering. Ada cerita, tapi tanpa ada kekuatan jiwa. Ada suspend,
tapi tanpa kedalaman. Ada alur cerita yang lancar, tetapi dangkal dan
tidak mengalir.
Ketajaman spiritual (ruhiyah) kita berpengaruh terhadap kuat tidaknya
pancaran tulisan kita. Sebuah tulisan yang dituangkan dengan hati,
akan meresap masuk ke hati. Bila kita menuangkan dengan hati yang
jernih, maka yang terlahir adalah tulisan yang menyentuh dan bahkan
menggetarkan jiwa. Kekuatan tulisan kamu akan semakin dahsyat
apabila
orang yang membaca juga sedang jernih hatinya dan lurus niatnya.
Bertemunya ruh penulis dan pembaca dapat menggerakkan jiwa untuk
melangkah, sebab ruh itu seperti pasukan berbaris. Bila bertemu
dengan yang sejenis, akan mudah menyatu. Sementara bila bertemu
dengan yang bertentangan, akan berselisih. Kita membaca tulisan
yang
tampaknya baik, tapi hati kita risau.
Kembali ke soal kekuatan ruhiyah dalam menulis. Saya teringat dengan
Imam Bukhari. Setelah melakukan penelitian secara seksama,
mendalam
dan ekstra teliti, Imam Bukhari mengharuskan dirinya melakukan
shalat
istikharah setiap kali akan menuliskan satu hadis. Bila Allah memberi
petunjuk bahwa hadis itu sebaiknya ditulis, barulah Imam Bukhari
menuangkannya dalam tulisan. Begitulah, setiap hendak menuliskan
satu
hadis, ia selalu melakukan shalat istikharah. Hasilnya, Shahih
Bukhari menjadi kitab yang insya-Allah paling barakah dan sampai hari
ini menjadi rujukan yang paling dipercaya.

Imam Malik yang terkenal dengan kitab Muwaththa'nya, memiliki kisah


yang lain. Bila orang datang hendak meminta fatwa, Imam Malik bisa
segera keluar untuk menemui. Tetapi bila ada yang datang hendak
belajar hadis, Imam Malik memerlukan diri untuk mandi terlebih dulu.
Hadis merupakan perkataan yang sangat agung, sehingga Imam Malik
memerlukan diri untuk mensucikan jiwa sebelum menyampaikan.
Kisah Imam Malik maupun Imam Bukhari merupakan contoh spiritual
writing (menulis spiritual). Mereka menulis dengan terlebih dulu
mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), sehingga Allah menjadikan setiap
tetes tintanya penuh barakah. Mereka membersihkan hati,
memantapkan
niat dan menjernihkan pikiran sehingga bisa tawajjuh (menghadapkan
diri) untuk menulis apa yang sungguh-sungguh penting. Hasilnya,
adalah kecemerlangan dan kemampuan menulis yang dahsyat.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menulis spiritual? Tidak ada ritualritual khusus. Prinsipnya adalah apa pun saja yang membuat kita lebih
suci secara ruhiyah. Kita justru perlu berhati-hati agar tidak
terjebak pada praktek-praktek ritual yang tidak dituntunkan agama.
Jika kita merasa dengan mandi hati kita bisa lebih bersih, kita dapat
menerapkannya sebagaimana Imam Malik melakukan. Jika dengan
mendawamkan wudhu sebelum menulis membuat hati kita lebih
khusyuk,
maka yang demikian dapat kita lakukan. Tetapi berwudhu atau mandi
bukanlah merupakan kiat menjadi penulis hebat.
Saya perlu menjelaskan masalah ini agar tidak terjadi
kesalahpahaman.
Jangan sampai kita terjatuh pada bid'ah di saat ingin mensucikan
jiwa. Jika saat menulis trilogi Kupinang Engkau dengan Hamdalah saya
berusaha agar selalu dalam keadaan suci, itu bukan berarti cara
menulis yang cemerlang adalah dengan berwudhu terlebih dulu.
Begitu
pun jika sekali waktu saya melakukan shalat sebelum menulis dan
kemudian buku-buku itu menjadi best-seller, bukan berarti cara
menulis buku best-seller adalah dengan shalat atau bahkan puasa.
Tetapi yang perlu kita garis-bawahi adalah usaha untuk membersihkan
hati dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga niat kita dalam
menulis lebih mulia.
Alhasil, jika kamu bertanya kepada saya do'a apa yang bisa diamalkan
untuk menjadi penulis best-seller, jawabnya adalah, "Tak ada.
Rasulullah Saw. tidak menuntunkan do'a menjadi penulis yang hebat."
Tetapi jika kamu bertanya apakah saya biasa berdo'a saat menulis,

tanpa ragu saya jawab, "Ya. Sebab do'a adalah otaknya ibadah.
Dengan
berdo'a, saya berharap tulisan saya bernilai ibadah. Dan inilah inti
dari spiritual-writing."
Nah, bagaimana? Siapkan penamu, bangkitkan jiwamu dan getarkan
jiwa
dengan spiritual writing.[]

MEMUNGUT PERISTIWA, MERANGKAI MUTIARA


Joni Ariadinata
~Cerpenis, Ketua Redaksi Jurnal Cerpen Indonesia
"Seorang pencuri tertangkap masuk di pekarangan. Di samping
tubuhnya
masih tegeletak sepasang sandalmerek homyped, sama sekali tidak
baru. Ia telah mati tadi pagi.
Pembantu rumah tangga yang datang pagi itu, memergokinya sertamerta,
dan meneriakkannya lantang; "Maling!" para warga yang beringas,
berbondong menyeretnya, lalu membakar lelaki itu hiduphidup.."Anggaplah kutipan di atas adalah sebuah fakta.
Sebuah peristiwa yang sangat unik, mengejutkan, dan sekaligus
mendebarkan. Bagi pembaca biasa, yang membaca peristiwa itu
disebuah
koran pagidi sela-sela sarapan dengan secangkir kopi dan sepotong
rotidrama upaya pembakaran "pencuri sandal" Yang mendebarkan itu
sudahlah tentu akan menjadi salah satu dari sekian PR (baca: berita
ramai) paling menarik. Ia akan membawa berita itu ke kantor, ke
kampus, atau ke mana pun ia pergi.Barangkali dengan semangat
berapiapi, disertai dercak dan gelengan kepala berkali-kali, ia akan
mendiskusikannya dengan penuh perjuangan; dibarengi perangkat
berbagai dugaan teori. Barangkali juga di antara mereka yang diajak
bicara akan ada yang menghardiknya, menyebut lelaki pencuri itu
dengan ucapan: "Dia memang pantas dibakar! Seluruh pencuri di
dunia
ini harus belajar pada pengalaman ini."
Dan di sudut lain, tak kalah sengitnya pihak pembela lelaki itu
dengan ucapan: "Setimpalkah harga sebuah nyawa ditukar dengan

sepasang sandal usang? Kekejian masyarakat semacam ini harus


segera
dihentikan!"Kemudian, seperti biasa dalam kejadian sehari, emosi
perjuangan itu akan reda seiring sore tiba. Ketika ia kembali ke
rumah, ketika ia tidur dengan rutinitas lelah, dan ia akan bangun
keesokan harinya dengan wajah cerah.
Seperti biasa pula, di sela sarapan pagi dengan secangkir kopi dan
sepotong roti, ia akan mencari-cari pada halaman koran pagi
berikutnya: siapa tahu akan ada lagi berita mengejutkan, yang bisa ia
bawa ke kantor, ke kampus, atau ke mana pun ia pergi dan
menemukan
komunitasnya.
Tapi siapakah sesungguhnya lelaki pencuri yang kemarin pagi mati
dengan mengenaskan itu? Betulkah ia memang seorang pencuri
kebanyakan, seorang bandit yang jahat, ataukah dia mencuri hanya
lantaran terpaksa? Apakah lelaki pencuri itu memiliki istri dan anakanak yang lahir dari rahim istrinya? Lalu bagaimanakah nasib anakanak serta istri, ketika mengetahui suaminya dibakar dengan keji? Dan
kenapa pula warga yang memergokinya tak memberi kesempatan
sedikit
pun untuk sekedar bertanya, apalagi memberi kesempatan untuk
menjalani hukum sehingga, siapa tahu pintu taubat dibukakan
untuknya.
Apakah mungkn para warga yang beringas dan membakarnya hiduphidup
itu adalah orang-orang suci yang memang pantas mengadili seadiladilnya sehingga berhak menentukan bahwa hukuman paling adil
adalah
matiSatu hal dari kelemahan peristiwa yang terbaca dalam berita,
atau pun lewat kejadian sehari-hari; adalah keterbatasan ruang dalam
memberi makna. Kejadian demi kejadian berlesatan setiap hari,
sergapan informasi berturutan mengepung seluruh sudut tempat kita
menghirup udara. Ada puluhan fakta, ada ratusan peristiwa. Peristiwa
berkesan hari ini, akan segera ditindih peristiwa mengejutkan pagi
berikutnya.
Hari ini kita ingat, besok kita lupa. Ingat, kemudian lupa.Karya
sastra, dari sudut pandang ini, telah terbukti mampu memberi tekanan
terhadap makna yang memungkinkan kesan terhadap nilai peristiwa
terbenam panjang dalam ingatan. Bahkan lebih jauh memberi
kesadaran,
memberi kesimpulan, memberi ruang-ruang jawaban untuk dialog
secara

individu terhadap persoalan-persoalan yang tengah terjadi di


lingkungan kita.
***
Kali ini, Annida memilih cerita pendek utama yang merespon kejadian
penting dalam masyarakat, sebuah persoalan yang sungguh-sungguh
berbahaya, akan tetapi selalu kita menganggapnya sepele. Tema
pemurtadan, dengan gerakkan yang khas di negeri ini, sepanjang
pengetahuan saya belum banyak digarap para penulis kita. Lewat
tangan
Chairil Gibran Ramadhan (CGR), tema ini meluncur dengan sangat
memikat, penuh ketegangan, dan berakhir dengan renungan panjang.
CGR dengan piawai menghidupkan tokoh lembut bernama Pak Uban
(yang
sekaligus menjadi judul cerita pendek ini); dengan pelukisan karakter
fisik yang sangat meyakinkan: dengan muka yang senantiasa
bercahaya,
bertutur selalu ramah, dan selalu siap membantu kapan saja setiap
orang membutuhkan. Pak Uban pulalah yang menjadi hero dengan
bantuannya membangun empat sumur mesin yang menjadi kebutuhan
vital
penduduk desa, menjadi pahlawan dan tumpuan orangorang desa jika
keluarga mereka sakit (ia juga dikenal sebagai manteri kesehatan,
yang selalu bersedia merawat orang sakit dengan biaya perawatan
gratis ditambah obat-obatan yang diberikan secara cuma-cuma).
Dengan penggarapan alur maju yang rapat, sepanjang cerita berjalan
pembaca selalu disuguhi pertanyaan-pertanyaan misterius seputar:
siapakah sesungguhnya Pak Uban? Ada ketidaksabaran pembaca untuk
segera sampai pada akhir cerita satu ciri karakter bangunan cerpen
yang berhasil. Barulah, pada klimaks yang diledakkan CGR dengan
simbol-simbol: sebuah bangunan, sebuah menara, sebuah lonceng,
sebuah dan kita menarik nafas dengan dada yang sakit.
Kekuatan CGR adalah pada kekuatannya bertutur. Model yang
diterapkan,
mengingatkan saya pada sebuah bangunan cerita detektif yang
memang
membutuhkan keterampilan untuk mengemas misteri, mengulur
ketegangan
dengan rapi, dan meledakkannya tatkala pembaca sudah merasa
gerah
dengan ketidaksabaran. Umberto Eco, seorang novelis aliran semiotik
yang melahirkan karya cemerlang berjudul The Name of the Rose,

menyebut jenis cerita ini dengan istilah "penciptaan kosmologis";


dimana sebagai sebuah dunia ciptaan yang mandiri, ia harus memiliki
logika real empiris yang ketat.
CGR menyuguhkan sebuah logika pedesaan, dengan seperangkat
dialog
yang kadangkala harus dibuat dangkal sesuai dengan kapasitas tokoh,
akan tetapi kuat secara emosi. Tak ada radikalisme karena yang
diciptakan adalah dunia kelembutan, tak ada pengkhotbahan karena
memang ia menciptakan kelemahan bahkan nyaris kedunguan, dari
sekian tokoh-tokohnya. Akan tetapi, pesan dari darinya cukup kencang
terasa: hati-hati dengan penggerusan iman lewat kelembutan.
Barangkali, satu-satunya kelemahan dari CGR adalah keringnya
eksplorasi bahasa dalam melukiskan suasana (latar) dan psikologi
tokoh lewat pemaparan pengarang. Tapi itu pun, seiring dengan
berjalannya waktu, saya percaya kelemahan itu akan segera tertutupi.
[]
KISAH PENJAGA TOKO YANG BERKELILING DUNIA
Joni Ariadinata
Setiap menjelang libur sekolah, Ibu Guru Bahasa yang jelita itu
selalu berpesan: "Kalian akan menikmati hari libur yang panjang.
Pergunakanlah kesempatan itu untuk menulis karangan, yang
sekaligus
menjadi PR bagi kalian. Tiga tema yang ibu pilihkan: (1) Berlibur di
Desa, (2) Berkunjung ke Rumah Nenek, dan (3) Berdarmawisata".
Tema biasa, yang sepertinya sudah menjadi ketetapan turun-temurun.
Tapi tahukah Ibu Guru Yang Jelita, bahwa ketiga tema sederhana yang
ibu pilihkan itu, seluruhnya rumit semata?
"Aku lahir di Bandung. Masa kecilku kuhabiskan di Bandung. Dewasa
juga di Bandung. Bagaimana mungkin menulis karangan tentang
liburan
di desa, sedangkan aku tidak memiliki desa?
Tema kedua, Berkunjung ke Rumah Nenek, adalah juga sama lucunya
dengan peristiwa paling lucu di dunia. Sebab yang namanya `rumah
nenek', adalah persis sepuluh langkah dari kamarku, terhalang bufet.
Di sanalah pintu rumah nenek, alias kamar nenek karena kami
memang
hidup serumah.
Lalu bagaimana dengan nasib tema ketiga, yakni Berdarmawisata?

Siang hari itu, ketika aku pulang sekolah, ayahku sudah menunggu di
pintu toko (yang adalah juga pintu rumahku). Dengan kumisnya yang
tebal, dan senyumnya yang lebar, ia berteriak lantang: "Bagus! Jadi
kau sudah libur, Buyung? Kalau begitu, mulai besok, kaulah yang jaga,
toko!"
Nasib.
***
Nasib semacam itulah yang kemudian mengantarkan Agus R. Sarjono
(seperti pengakuannya di atas), menjadi salah seorang penulis
terkemuka di Indonesia. Kejenuhan seorang penjaga toko,
memperkenalkannya pada keisengan membaca buku. Maka kelak,
tatkala
Agus mengakhiri liburannya dan mulai memasuki sekolah, dengan
jumawa
ia bertanya kepada teman-teman sekelasnya:
"Kamu berlibur ke mana? Bali? Hem. Kamu?"
"Yogya."
"Hem. Kamu?tak ada yang istimewa. Tak ada yang hebat.'
Maka berceriteralah Agus di depan kelas: "Hari pertama liburan, aku
berkunjung ke Afrika; menelusuri belantara dan hidup di desa-desa
pedalaman Afrika; aku memiliki banyak rumah, menjadi tuan tanah,
memiliki seribu kejahatan dan kelicikan; akan tetapi sekaligus juga
menjadi pejuang keras hak perempuan lewat tokoh Nyonya Mudenda
yang
diciptakan Himunyanga-Phiri dalam novelnya Warisan. Dari Afrika, aku
terbang menuju Jepang. Bersama Yatsunari Kawabata, dalam novelnya
Daerah Salju, aku diajak menikmati keindahan lembah, gunung, laut,
dan seluruh tradisi Jepang; --kami sama-sama membuntuti, dan jatuh
cinta pada seorang gadis yang pandai memainkan koto. Tahukah
engkau,
bahwa ternyata Jepang itu tak kalah indahnya dengan negeri kita?
Mereka juga memiliki pulau-pulau. Dan aku jadi paham kenapa Jepang,
dengan seluruh tradisinya, menjadi bangsa yang besar.
Begitulah, di hari ketiga, aku mengelilingi Mesir; singgah bertahuntahun di lorong-lorong kota lama Kairo bersama Naguib Mahfouz,
menikmati karakter orang-orang Mesir, serta turut merasakan
bagaimana
peradaban modern di negara itu telah menggelincirkan orang-orang
pada
nafsu kebendaan yang menjungkalkan manusia ke arah jurang
malapetaka.

Berkat jasa Naguib Mahfouz, lewat novelnya Lorong Midaq itulah, aku
bisa berkenalan secara dekat dengan Hamidah, Nyonya Hasniya, Zaita,
Tuan Ridwan Husaini, Dokter Busyi, Abbas Hilu, dan sederet
tokoh "dunia lain" yang begitu memikat.
Kemudian bagaimana dengan Balkan, Yunani, dan Cina? Di tiga negara
itu, aku sempat singgah sebentar, yakni pada hari ke tujuh
pengembaraanku, lewat cerpen-cerpen yang ditulis oleh Maguerite
Yourcenar. Setelah itu, aku terpukau berhari-hari di Rusia bersama
Leo Tolstoy, lewat novelnya Perang dan Damai,--sebuah novel yang
menjadi bacaan wajib bagi seluruh anak bangsa Rusia hingga
sekarang;
karena lewat novel itulah mereka bisa bercermin dari seluruh
kegagalan, keagungan, keburukan, kemuliaan, kekejaman, dan
keangkuhan
bangsa Rusia. Dari novel itu pun aku ikut belajar arti nasionalisme
sebuah bangsa.
Dari Rusia aku terbang ke Amerika, Inggris, Australia; kemudian
berakhir di pedalaman Kalimantan, menjeritkan kekejaman manusia
lewat
perburuan harimau yang menegangkan bersama Mohtar Lubis dalam
novel
Harimau! Harimau!
***
Dalam rentang usia yang sangat terbatas, manusia tidak mungkin
merangkum dan memahami secara empirik seluruh pengalaman dan
pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Padahal, pengetahuan dan
pengalaman empirik (merasakan, melihat, mencatat, mendengar, dan
menghayati) begitu penting untuk menentukan kualitas sebuah tulisan.
Begitu penting untuk menentukan "cara pandang" yang menjadi modal
dasar dalam menulis. Dan kekayaan pemahaman empirik semacam
itu, bisa
dipintas lewat luasnya bacaan sastra, baik novel, cerpen, maupun
puisi. Maka adalah suatu kewajaran, bahwa menulis mau tidak mau
harus
berdampingan dengan membaca.
Seorang penulis yang memiliki cara pandang yang kaya terhadap nasib
seorang buruh misalnya, (memiliki sedikit pengetahuan sosial, budaya,
ekonomi, psikologi, hingga hak-hak hukum yang melingkupi kehidupan
buruh); tentu akan berbeda hasil penulisannya dengan penulis-penulis
yang hanya mengetahui sebatas tokoh buruh "imajiner" yang
diimajinasikannya semata. Sebab hasil sebuah tulisan, baik itu cerita

pendek, novel, maupun puisi, akan bisa mencerminkan seluruh


kekayaan
tentang "apa yang engkau ketahui".
Annida, lewat kisah-kisah cerpennya, telah menentukan cara pandang
yang baru dalam khazanah kesusastraan di negeri ini. Sebagaimana
tugas seorang khalifah dan sekaligus hamba di muka Allah; fungsi
sebuah tulisan harus menjadi selaras dengan tanggungjawab yang
dipikul oleh setiap penulisnya. Ia menjadi media untuk saling
mengingatkan, membangun kesempurnaan, merapatkan jama'ah
(dalam
konteks kehidupan yang lebih luas), dan memberi manfaat bagi
semesta;-memberi manfaat bagi sesama. Maka marilah kita bertanggungjawab
untuk itu, dengan senantiasa meningkatkan bobot tulisan kita lewat
membaca, membaca, membaca. Menulis, menulis, menulis.[]

BENANG-BENANG CERITA
Joni Ariadinata
Sebuah jendela: dataran lengang dan horison
Maut sandar di kusen jendela
seraya ngulur tangan mencabut rokokku.
"Kau mengundangku malam ini. Ada apa?"
"Tak ada apa-apa, hanya iseng disekap sunyi"
Maut lantas duduk di tepi meja. Menatapku.
"Kapan giliranku?"
"Kau percaya pada Tuhan?"
"Iya"
"Tutup mulutmu, jangan tanya macam itu!
"Dosaku banyak. Aku takut neraka."
"Takut adalah jalan lempang ke sorga."
"Kamu ganteng, aku kira kayak raksasa."
Maut ketawa terkekeh dan batuk-batuk oleh asap rokok
kemudian melihat arloji dan menoleh ke luar jendela:

"Sayang aku tak dapat lama-lama. Ada tugas lagi"


Maut merentang tangan
melambai sambil melompati jendela
Suatu dataran sepi
rel kereta api, bunyi lokomotif:
sejak purba manusia berangkat ke jurusan yang sama
sebuah gua kelam di pintunya tubuh mesti kita letakkan
kemudian perjalanan terus, terus, terus
sonder reportase,
(dari puisi "Omong-Omong Imajiner", karya Putu Arya Tirthawirya)
Puisi di atas, sengaja saya pilih untuk menunjukkan betapa rawan
sesungguhnya posisi "benang cerita" (narasi) di dalam karya fiksi.
Ada tiga bagian penting yang merupakan benang cerita dalam puisi di
atas pertama, adalah jahitan awal yang berisi deskripsi tentang latar
dan kehadiran tokoh yakni Maut dan Aku, serta alasan tersirat kenapa
kedua tokoh itu ada. Kemudian jahitan tengah, yakni dialog-dialog
yang menjelaskan posisi Maut dan Aku, beserta keteganganketegangan
konflik tentang konsep surga, Tuhan, dan keimanan. Dan terakhir
adalah jahitan akhir yang berisi penyelesaian dengan kesimpulan
tentang keberadaan manusia beserta tujuan manusia satu-satunya,
yakni: mati.
Sebagai sebuah bangunan fiksi puisi tersebut telah memiliki pondasi
yang sangat kuat dan sempurna. Perhatikan, bagaimana pilihan latar
(sebuah jendela: dataran lengang dan horison) amat sangat tepat
dihadirkan dengan kehadiran tokoh Maut, dan Aku. Dengan pilihan
latar
sebuah dataran sunyi, kemudian kehadiran tokoh Maut, sebuah
jendela,
dan Aku: jahitan awal dalam puisi tersebut mengantarkan pembaca
pada
sebuah suasana yang aneh, mencekam, menyedot, dan melahirkan
ketegangan serupa pertanyaan: setelah ini lalu apa? Kemudian
bagaimana:
Jahitan tengah dipilih dengan adegan-adegan dialog yang amat kuat
mendukung latar beserta karakter tokoh: membuat setiap kalimat
dalam
dialog tersebut, tidak ditemukan kata-kata yang mubadzir. Kemudian,
jahitan akhir di mana pengarang mencoba membuat jarak dengan para
tokohnya, dan menyampaikan "amanat" atau kesimpulan dari kisah
sesungguhnya: membuat puisi ini tuntas dengan tarikan nafas yang

lega. Tak ada ganjalan, ibarat sebuah jalan yang lempang, dan
pembaca
sampai pada kesimpulan yang tuntas.
***
Untuk mengulas sebuah cerpen karya Mairi Nandarson (MN) dari
Padang.
Hukum untuk menjahit "benang cerita" dengan pembagian pola awal,
tengah, akhir (pertama kali diperkenalkan Aristoteles pada abad IV
sebelum Masehi); pada perkembangan berikutnya memang telah
mengalami
pergeseran dan penyempurnaan terus-menerus. Sebuah cerita, bisa
jadi
diawali oleh pola akhir, kemudian tengah, dan terakhir pola awal;
atau diawali oleh tengah, kemudian awal, baru terakhir bola akhir.
Seluruh komposisi yang pada dasarnya semua mengacu pada tujuan
akhir
yang sama: kesempurnaan.
MN memberi judul cerpennya dengan kalimat yang sangat sugestif:
Aku
Ingin di Kampung Saja. Sugestif, terutama jika dikaitkan dengan
konteks sosial Minang, yang dengan tegas mengatakan bahwa
"merantau"
lebih terhormat daripada "tinggal di kampung". Dengan pilihan judul
seperti ini, pembaca langsung dihadapkan pada sebuah perkiraan
konflik yang besar tentang kebudayaan. Sebab siapapun yang pernah
menginjak bumi Minang) dari Padang hingga Bukit Tinggi); akan
disergap oleh sebuah kesunyian desa-desa, di mana banyak rumahrumah
yang berlomba dibangun dengan megah akan tetapi dibiarkan kosong
lantaran pemiliknya nun jauh tinggal di "rantau" sana. Mereka
membangun kemegahan untuk memamerkan kesuksesannya di
rantau. Lantas,
siapakah yang sesungguhnya bertanggungjawab membangun Minang?
Jahitan benang awal cerpen ini, dimulai oleh plash back dari dua
orang tokoh, yakni Aku dan Sardibagaimana keakraban mereka sejak
kecil, dan pertengkaran-pertengkaran yang membuat kenangan manis
tak
terlupakan. Hingga kemudian keduanya berpisah; Aku merantau di
kota
provinsi menjadi wartawan, dan Sardi merantau ke Jakarta dan meraih
sukses besar secara materi.
Konflik, sebagai jahitan benang tengah diciptakan oleh perbandingan

masyarakat terhadap dua tokoh ini.


Telah merentangkan satu jurang pemisah. Sehingga, ketika dalam
proses
kebetulan mereka berdua pulang kampung, dan mereka bertemu; yang
terjadi adalah MN membuat satu kejutan. Tokoh Sardi memilih tinggal
di Kampung. Dan pada penutup cerita dikisahkan, Sardi membuat
sebuah
pengakuan bahwa di Jakarta ia menjadi penjahat.
Apa yang menarik dari cerpen MN? Secara struktur bangunan cerita, ia
telah lengkap; dan pembaca dengan jelas disodorkan pada satu nilai
pemahaman; bahwa kesuksesan materi, tidak selalu identik dengan
kebaikan. MN membangunnya lewat pendeskripsian soal pemunculan
konflik, dan penyelesaian akhir cerita dengan sempurna. Hanya saja
pertanyaannya, kenapa cerpen yang secara struktur telah lengkap ini,
masih terasa mengganjal dan aneh? Ada jalan yang tidak lempang,
yang
membuat pembaca tidak bisa menarik nafas dengan plong. Marilah
kita
bahas ganjalan itu.
Pertama, pada jahitan awal saling berkelit, dengan bahasa "orang
dewesa". Hal semacam itu, terjadi pada dialog-dialog selanjutnya di
bagian tengah: dimana MN sepertinya lupa, bahwa ia menciptakan
tokoh
seorang wartawan. Sebuah profesi yang setiap hari dilatih untuk
berbicara, bertanya, dan melakukan investigasi, padahal dialog dalam
cerita, diperlukan pengarang untuk menguatkan tema dan karakter,
menciptakan ketegangan, dan turut merumuskan kesimpulan.
Terakhir, pada jahitan benang akhir, adalah sebuah pertanyaan besar
yang luput dari cerita ini: bisakah seseorang tanpa sebab, tanpa ba
bi bu tiba-tiba membuat sebuah pengakuan secara drastis? Dalam
cerpen
ini, tokoh Sardi melakukan sebuah lompatan ajaib dan aneh: tiba-tiba
ia mengaku penjahat. Tiba-tiba, dari seratus prosen penjahat, menjadi
seratus prosen bertobat;--tanpa memerlukan sebab apa pun yang
melatarbelakanginya.
Mungkin, hal ini bisa saja terjadi. Akan tetapi alangkah lemahnya
logika cerita MN, dalam hal ini, terkesan terlalu terburu-buru ingin
merampungkan persoalan. Padahal, penambahan sedikit saja sebab
yang
tragis dari tokoh Sardi (misalnya, ia luput dari penembakan, atau

seluruh hartanya terbakar); akan lebih memperkuat kesan yang


sampai.
Jika itu dilakukan, maka sebagai bangunan cerita pendek yang utuh, ia
akan menjadi tak terbantahkan.[]

Prosa Bebas Mutlak


oleh : Joni Ariadinata
"Tidakkah engkau lihat bagaimana gunung-gunung ditancapkan?" Itu
adalah petikkan satu ayat Qur'an surat Al-Ghasyiyah yang mengharubiru. Kata "ditancapkan" dalam ayat tersebut, secara revolusioner
telah merubah struktur kalimat menjadi bermakna sugestif,
menggetarkan, dan tentu: sangat imajinatif. Kenapa tidak
menggunakan kata "dijadikan" atau "diciptakan" misalnya; kenapa
harus "ditancapkan"? Di dalam tebaran ayat-ayat Al-Qur'an, terlalu
banyak contoh-contoh bagaimana kata-kata terpilih dan tersusun
dengan sangat sempurna; menggempur keluasan imajinasi sehingga
kata-kata, kalimat-kalimat, melesap ke dalam ruang-ruang kedalaman
yang tak terhingga. Personifikasi, perumpamaan, simbol-simbol,
repetisi, hingga pilihan diksi berdasarkan irama; seluruhnya
dipertaruhkan dengan kecermatan yang luar biasa. Tak ada diksi yang
mubazir, karena setiap penambahan atau pengurangan sedikit saja,
akan menghasilkan efek yang buruk bahkan secara ekstrim akan
merusak alur dan makna dari ayat yang dibangun. Maka, tak akan ada
satu kata pun yang berlebih; senantiasa ringkas, padat, dan kaya akan
makna.
Di dalam bukunya yang sangat terkenal, Cultural Atlas of Islam, Ismail
Raji Al-Faruqi, seorang penulis kelahiran Palestina yang mendirikan
Islamic Society of North America dan pendiri Universitas Islam di
Chicago; memberikan karakteristik bahasa Al-Qur'an sebagai al natsar
al muthilaq atau "prosa bebas mutlak". Penafsiran Ismail tersebut
berdasarkan karakteristik bahasa Al-Qur'an yang menggabungkan
unsur syi'ir (puisi) dan saj' (prosa bersanjak) dengan sangat bagus dan
fasih, dalam cara yang "tidak mungkin ditiru sama sekali". Disamping
kesempurnaan bunyi, kepadatan makna, kekuatan imaji yang
menimbulkan efek "keterpakuan, daya kejut, dan kekaguman"; frasefrase di dalam Al-Qur'an antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau
bagian dari satu ayat, senantiasa berkesesuaian atau berkontras
sangat indahnya dengan kata-kata dan frase dari ayat sebelum dan

sesudahnya, baik dalam susunan maupun maknanya. Sehingga


dalam bahasa Ismail Raji Al-Faruqiia menyebutkan: "Al-Qur'an
memiliki gaya yang kuat, empatik dan tegas, serta halus dan peka.
Pembacanya bisa merasakan seakan-akan tertimpa batu besar atau
terguyur air segar. Inilah yang disebut husn al iqa (nikmat terbukanya
kesadaran). Berbisik bagaikan riak mata air, menggebu bagaikan
banjir, atau melompat dan menerjang bagaikan kuda liar, iqa'nya
selalu terasa dengan sempurna.
*** Ribuan karya sastra telah ditulis orang di seluruh dunia; baik dalam
bentuk novel, puisi, maupun cerita pendek. Jika kita cermati, dari
seluruh sejarah penulisan karya sastra: nyaris tak ada satupun
penggarapan yang baru dari segi tema. Kemanusiaan, cinta, keadilan,
kebenaran,--dan seribu satu macam kisah anak manusia yang
berhubungan dengan itu; adalah inti tema yang selalu digarap ulang
oleh setiap pengarang di seluruh dunia. Tak pernah jenuh dan bosan.
Dalam arti kata, secara tematik, materi karya sastra pada dasarnya
telah habis. Lantas pertanyaannya, dimanakah letaknya kreatifitas?
Bukankah kreatifitas selalu mempersyaratkan pencarian? Dan
pencarian, tentu saja meletakkan padang-padang perburuan pada
sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah digarap, atau
diketemukan orang. Salah satu jawaban paling menarik tentang
kenapa para penulis selalu tertantang untuk menulis hal serupa pada
setiap kurun waktu: adalah bahasa. Hukum-hukum penulisan prosa
(alur, latar, penokohan, ketegangan) sejungkir-balik apapun ia telah
memiliki ketetapan teori yang baku; begitupun hal yang menyangkut
teknik bercerita. Akan tetapi, lewat bahasa, setiap karya yang baik
akan selalu menemukan kreatifitasnya. Lewat bahasa ia menemukan
muara
pencerahan;--sebuah
sosok
misterius
yang
selalu
menggetarkan dan menggemparkan emosi pembacanya. Carmina vel
coelo possunt deducere lunam (pun sajak- sajak (bahasa) dapat
membuat bulan turun dari langit), begitulah adagium dari sejarah
filsafat tentang bahasa mengatakan.
Adalah dangkal menyamakan (baca: menandingi) karya-karya sastra
yang lahir kemudian dengan keindahan Al-Quran yang merupakan
mukjizat yang tak tertandingi (i' jaz al-Qur'an). Akan tetapi, pelajaran
terpenting yang bisa kita petik adalah bagaimana setiap penulis selalu
sadar akan pilihan setiap kata frase, dan rangkaian kalimat serta
ungkapan- ungkapan yang dipergunakan. Kecermatan dalam memilih
kata, frase, dan kalimat baik di dalam prosa maupun puisi, akan sangat
menentukan keberhasilan karya yang dibangun. Sebuah contoh
sederhana misalnya, bagaimana bisa kita dibandingkan ungkapan
kasar "kita pasti mati" dengan keindahan ungkapan "maut menabung
kita detik demi detik"; meski pada dasarnya secara semantik
maknanya sama? Atau "matahari terbit sangat cerah" dengan

"matahari terbit seperti ketika pertama kali diciptakan". Pilihan atas


judul, percakapan kalimat dalam dialog, juga ungkapan pemaparan,
merupakan ladang menggetarkan setiap pengarang meskipun tema
(sebagai bahan material) yang digarap selalu yang itu-itu juga.
Gagasan-gagasan besar yang diekspresikan dengan tepat dalam
bentuk indah akan menjadi kekuatan-kekuatan besar.
Islam memiliki sejarah panjang kesusastraan yang dimiliki, dan
diwariskan dari generasi- kegenerasi. Pada periode Nabi dan Khalifa
Rasyidin (1-100 H/622-720 M) tercatat dua penyair yakni Labid dan
Umayyah ibn Abu Salt yang sangat dipuji Nabi karena syair-syair
mereka menunjukkan kesalehan dan moralitas, meskipun keduanya
tidak beragama Islam. Bahkan, Nabi menyeru Hasan ibn Tsabit, Ka'b
ibn Malik, dan Abdullah ibn Rawahah ketiganya penyair Muslim
untuk membela Islam dalam karya-karya mereka, yang kemudian
menimbulkan kecemasan kepada musuh-musuh Islam di Mekah. Pada
beberapa kesempatan, Nabi mencela syair yang menyesatkan. Akan
tetapi terhadap syair-syair yang menambah kebijaksanaan dan
kebajikan. Nabi memujinya. Tidak hanya puisi, sejarah Islam pun
memiliki kecemerlangan prosa yang sama panjangnya.
Tercatat tokoh-tokoh penulis prosa seperti Abdul Hamid al Katib (130
H/749 M), Abu Amr Usman al Jahiz (253 H/868 M), dan Abu Hayyan alTahwidi (375 H/987 M). Bahkan, pada zaman kegemilangna prosa,
lahirnya kitab-kitab seperti Risalat al Ghufran, Al Risalah al Ighridiyah,
yang ditulis oleh Abu al' Ala' Ma'arri ( 449 H/1059 M) telah menembus
sedemikian kuat dan mempengaruhi gaya penulisan pengarangpengarang Eropa pada masa itu. Tidak hanya dalam bentuk suratmenyurat, pidato-pidato indah, esai-esai sastrawi, akan tetapi juga
dalam bentuk Maqamat, yakni kisah-kisah pendek yang kemudian
menjadi genre tersendiri dalam khazanah kesusastraan dunia. Prosa,
puisi, bagi kita adalah sarana. Dan kita (baca: Islam) memiliki pondasi
yang kokoh dan kesejahteraan yang tak terbantahkan dalam
ketinggian nilai-nilai kesusastraan. Dari setiap periode, kita selalu
menolak hembusan para pemikir kontemporer yang melandaskan teori
hedonisme estetis dengan jargon "seni untuk hiburan" atau "seni untuk
seni" (I'art pour I'art). Bagi kita, sastra adalah komunikasi. Dan
komunikasipemahaman, memperoleh penilaian, dan menggerakan
tindakan adalah tujuan akhir seni sastra.***[]

Surga Yang Dibayar Dengan Mahal


Oleh : Joni Ariadinata

Pertama kali saya dipaksa menginap di kamar hotel, adalah pada bulan
Juni 1994. Saya mendapat penghargaan dari sebuah harian terkemuka
di negeri ini, dan menurut mereka: saya wajib mendapat kemewahan
"tidur" sebagai orang terhormat. Sungguh, demikianlah seumur hidup
baru ketika itu saya melihat sebuah ruang tidur yang begitu bersih,
mewah, harum, dan dingin. O-la-la. Bertahun-tahun saya tinggal di
rumah kumuh, biasa tidur di lantai kasar dan keras, dengan sehelai
tikar tanpa kasur. Dan tiba-tiba, pada malam itu Saya gelisah. Tak
sanggup tidur dengan nyenyak. Betapa tidak: kabar dari pelayan hotel
bahwa tarif pelayanan saya semalam seharga 370 .000 rupiah,
membuat saya merasa menjadi orang yang paling dzalim sedunia.
Saya memang tidak memiliki kewajiban untuk membayar sendiri. Akan
tetapi, pada tahun 1994, harga sewa kamar saya yang kumuh di
Yogyakarta adalah 80.000 rupiah per tahun. Artinya, uang 370.000
rupiah adalah sama dengan harga sewa saya tidur dan tinggal selama
empat setengah tahun! Minta ampun. *** Tahun 2002. Jikalau anda
adalah seorang pelancong, dan anda ingin mencoba jadi orang
terhormat; cobalah pergi ke Borobudur. Singgahlah di sebuah tempat
yang memang dirancang untuk menjadi surga bagi para pelancong,
yakni sebuah hotel berinisial AJ. Para calon penghuni surga
dipersilahkan memilih antara tarif terendah Rp5.000.000 ataukah tarif
tertinggi Rp9.000.000 semalam. Itu belum seberapa. Kawan saya di
Bali membisikkan sebuah kabar mencengangkan tentang bagaimana
orang-orang memburu kebahagiaan: "Mereka adalah para pejabat,
politikus, pengusaha, para pelancong, atau hanya sekedar anak-anak
dan istri-istri yang kebetulan lahir dari keluarga kaya raya Begitulah,
hotel Fourseason di Jimbaran tak pernah sepi meskipun mematok tarif
antara 10 hingga 50 juta semalam. Sedangkan hotel Bagawan Giri di
Ubud, yang berdiri pada sebuah kawasan teramat luas di mana kamarkamar dirancang begitu sempurna "menyerupai surga";-- dengan
pelayanan paling hati-hatidibuat sedemikian rupa sehingga orangorang sudah tidak lagi perlu merasa berdosa, apalagi merasa paling
dzalim sedunia ketika ia harus membayar tarif "tidur" antara 60 hingga
120 juta semalam. Apa yang bisa kita petik dari pelajaran di atas? Hal
yang paling nyata, adalah kesia-siaan manusia dalam mengejar
bayang-bayang semu yang bernama kenikmatan, kehormatan sesaat,
keagungan palsu; lewat rekaan dunia palsu yang diciptakan untuk
menghamburkan kemubadziran. Allah memberi palajaran yang terang
lewat contoh kontradiksi ini; bahwa, betapa sesungguhnya nilai surga
itu teramat mahal kalau harus dinominalkan dengan materi. Adalah
wajar jika imbalan surga di akhirat bagi orang-orang beriman,--surga
yang benar-benar abadi dengan kenikmatan dan kebahagiaan berjuta
kali lipat `surga palsu" bikinan manusiaharus ditebus dengan
keletihan, kesabaran, kegigihan dalam berjuang menegakkan iman,
seumur hidup. *** Cerpen Maya Lestari (ML) dari Padang Panjang
mencoba mengisahkan kontradiksi yang juga mirip semacam kasus di

atas. Ia menciptakan tokoh Raul, seorang wartawan yang sangat gigih,


yang nyaris seluruh waktunya ia curahkan untuk pekerjaan. Hampir tak
ada waktu luang bagi Raul (waktu melesat sedemikian cepat); pagisiang-sore-malam ia selalu diburu dan memburu. Begitulah, tokoh Raul
secara langsung mengingatkan kita pada jenis-jenis para pekerja di
kota-kota besar yang senantiasa mengharuskan berangkat pagi dan
pulang pada malam hari. Kita coba baca kutipan ML berikut ini: "Aku
akan melakukan segala cara untuk mencapai jenjang karir yang lebih
tinggi. Aku mencintai peningkatan hidup. Aku suka kemapanan,
begitulah seharusnya manusia. Kemapanan berarti kemakmuran,
kemakmuran berarti kemajuan. Dan aku mencintainya. Mencintai
semangatku untuk itu." Bagi Raul, kebahagiaan adalah kedudukan
dan gaji yang tinggi. Hanya dengan cara itulah hidup menjadi
bermakna, berharga, dan bermartabat. Tapi apa yang kemudian ia
dapatkan? Kehampaan. Tokoh Raul mengalami kekosongan dan
kesepian yang luar biasa. Jika demikian halnya, lantas apakah
sesungguhnya kebahagiaan itu? Untuk menunjukkan kontradiksi ini, ML
dengan cerdik menghadirkan tokoh antagonis seorang penyapu
jalanan; dengan ketenangannya, ketentraman, dan kebersahajaannya.
Tokoh penyapu jalan secara telak menggugurkan argumentasi yang
kokoh dibangun berdasarkan basis materialisme yang dianut jutaan
orang di seluruh dunia. "Bismillah tawakkaltu alallah, La haula wala
Quwata ila billah" begitu katanya, mengutip sebuah doa indah yang
teramat diyakini kebenarannya. Adalah seorang penyapu jalanan yang
sepanjang hidup selalu bercahaya, dengan rizki dari Allah yang
"hanya" 200 ribu rupiah (seharga tagihan telepon tokoh Raul dalam
sebulan). Adalah seorang penyapu jalanan, yang senantiasa
tersenyum, membesarkan tujuh anak, dengan seorang istri; yang
setiap bulan masih sempat menabung, meskipun gaji "hanya" sebesar
tagihan telpon. Dan ia berkata; "Begitulah keadilan Allah. Ia
memberikan otak yang cerdas pada anak-anak saya, sehingga seluruh
anak-anak saya mendapat beasiswa" "yang tertuadi Dumai.
Caltek baru saja menamatkan pendidikannya di Amerika, atas biaya
perusahaan." Tema yang digarap ML adalah sebuah tema besar.
Sungguh, sebuah karya sastra menjadi bermakna, kalau dalam
kandungannya
mengabarkan
sebuah
pencerahan.
Sebuah
kebermanfaatan. ML menggarap cerpen ini dengan irama yang amat
cepat. Secara teknis, ia berhasil menguasai bahasa menjadi pengantar
makna sekaligus kendaraan emosi di luar makna. Perhatikan
bagaimana ML mengatur pergerakan antara pemaparan dengan
kecepatan dialog; kalimat-kalimat berlesatan dengan kecepatan tinggi.
Seperti halnya puisi, dalam cerpen ini ML hendak membuktikan bahwa
irama juga begitu penting di dalam prosa. Satu kelemahan yang
barangkali masih cukup terasa, adalah pemaksaan pada tokoh ibu
yang menjadi ending cerita. Fokus yang sejak awal dibina untuk
membidik kontradiksi antara Sang Penyapu Jalan dengan tokoh

Protagonis Raul, menjadi hambar manakala sang tokoh lebih


memberatkan pada suasana Psikologis kehilangan ibu. Bercabangnya
kesimpulan tema pada akhir cerita, membuat cerpen ini seakan-akan
kehilangan arah. Akan tetapi, di luar dari penilaian itu, secara umum
cerpen ini cukup berhasil sebagai karya yang baik. Setiap pengarang,
memang selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam menutup
cerita. Hanya kecermatanlah yang akan mengantarkan sebuah cerita,
menjadi karya yang benar-benar utuh.[]

Langkah-langkah Penulisan Cerpen


oleh : Nurul F Huda
Kebanyakan orang mengatakan menulis itu sulit. Tapi menulis seperti
orang belajar bahasa. Ini cuma masalah kebiasaan. Semakin sering
menulis semakin terasahlah kemampuannya. Pun sebaliknya. Tentang
menulis cerpen. Buat saya sendiri menulis cerpen lebih mudah
daripada menulis artikel, tapi ada teman saya yang sangat sulit
menulis fiksi karena lebih piawai menulis non fiksi. Begitulah. Lagi-lagi
faktor kebiasaan. Ehm... saya cerita yang biasa saya lakukan tiapkali
menulis cerpen. So, ini riil dari pengalaman pribadi.
1. IDE. Tentu harus ada ide dulu. Ide ini biasa disebut tema
nantinya. Apa sih yang mau kita sampaikan ke pembaca? Begitu
kira-kira definisinya.
2. ALUR dan SETTING. Kalau sudah ketemu idenya, tentu kita
harus punya bayangan alur ceritanya seperti apa. Bagaimana
cerita itu dimulai, kapan konflik muncul, seperti apa ketegangan
konflik itu dan bagaimana mengakhirinya. Setting kadang perlu
diperhatikan secara khusus, kadang tidak. Tergantung idenya.
Yang jelas kalau kita menyebutkan setting secara jelas, tentu
harus ada penguatan ciri-cirinya. Dialek, adat, dll.
3. TOKOH dan KARAKTER. Nah, alur tersebut tentu harus ada
yang memerankan. Begitu juga ide harus ada yang
membawakan. Inilah guna tokoh berikut karakter yag akan
menguatkan ide dan alurnya. Tokoh yang menyuarakan ide
disebut tokoh utama, bisa antagonis bisa protagonis. Tokoh yang
menguatkan atau menentang, itulah tokoh bawahan/pembantu.
Khusus untuk cerpen, jangan terlalu banyak tokoh.
4. GAYA BAHASA. Gaya bahasa cerpen sebenarnya sangat
tergantung pada pengarang (atau media publikasinya). Tetapi
dialog yang hidup adalah kekuatan yang bagus. Dialog biasa
membawa pembaca lebih mudah memasuki unsur-unsur cerita.

Dialog juga tidak terlalu memanjakan pembaca dengan


"pendiktean" pengarang. Saya sendiri tidak terlalu suka cerpen
yang deskriptif, karena gaya bahasa ini lebih pas untuk artikel.
Nah, kalau menurut media publikasinya, maka yang harus
diperhatikan adalah siapa pembaca media itu. Remaja? Ibu-ibu?
Umum? De el el.
4 poin di atas sudah lebih dari cukup untuk memulai membuat cerpen.
Intinya menulis... menulis... dan menulis. OK? (Medio Juli, 2000, NURUL
F. HUDA*)

Menjaring Ide

(Sebuah Tulisan Berbagi Pengalaman)


oleh Nurul F Huda
Ide dalam sebuah tulisan adalah titik awal yang akan dilalui. Ide-lah
yang pada akhirnya menjadi sentral cerita, sering kemudian disebut
tema. Mungkinkah sebuah tulisan, tidak harus cerita, dibuat tanpa ada
ide? Hem... it's almost impossible. Saya hanya akan menuliskan sedikit
pengalaman sehingga diskusi ini akan lebih terpancing. Sungguh,
setiap penulis mempunyai caranya sendiri untuk mendapatkan ide,
lebih-lebih mengembangkannya dalam bentuk tulisan. Toh menurut
saya inti dari ide adalah kehidupan itu sendiri (coba anda cari teori
Mimesis-nya M.H Abrams dalam sastra). Jadi saya sedikit banyak
sepakat dengan itu. Kepekaan terhadap kehidupan akan menjadi
tabungan yang tidak ada habisnya. Baiklah. Berikut beberapa sumber
ide saya:
1. Mengamati apa pun yang terjadi di sekitar kita. Kapan pun
saya mempunyai waktu untuk keluar rumah, itulah saat saya
mencari ide. Boleh jadi seorang penjual koran sekedar penjual
koran bagi orang lain. Tapi tidak bagi penulis. Sekian pertanyaan
akan muncul dan kemudian berkembang. Begitu juga ketika
terjadi satu peristiwa (bacalah buku Muhammad Diponegoro).
2. Menjadi pendengar yang baik. Saya senang sekali
mendengar orang ngobrol atau terlibat obrolan itu sendiri. Bisa
jadi tema obrolan itu menjadi ide, boleh jadi juga hanya
beberapa kata sudah membuat otak saya bergerak. Biasanya
begitu ada key words yang sudah masuk, saya memilih diam,
memikirkan jalan cerita dan... jadilah.

3. Membandingkan. Membaca adalah jalan yang paling baik,


menurut saya, karena imajinasi kita bisa bermain dengan bebas.
Tapi menonton film, melihat pertunjukan drama dan sejenisnya,
bahkan mendengarkan lirik bisa menjadi sumber ide yang
cemerlang. Tergantung bagaimana kita bisa menemukan sesuatu
yang fresh di sana untuk diolah. Tidak usah takut dituduh
mencuri ide. Tidak ada ide yang benar-benar asli.
4. Kontemplasi. Sebenarnya seluruh ide tetap melalui proses
perenungan. Tapi yang ingin saya katakan di sini adalah
merenungi diri kita sendiri, pengalaman bathin, pemaknaan dan
sejenis itu. Begitu banyak dinamika fisik dan psikis yang kita
alami setiap hari. Itu lagi-lagi sumber ide. Cerita yang lahir dari
proses kontemplasi dengan pemaknaan yang kuat biasanya
berpengaruh kuat juga kepada pembacanya (bandingkan saat
membaca Trilogi-nya Ahmad Tohari dengan novel picisan
semacam Fredy S). Bukan saja bobot ceritanya berbeda, namun
itulah pemaknaan.
4 poin di atas boleh jadi masih terlalu dangkal dan bodoh. Saya akan
lebih senang bila kita bisa berbagi di sini. NURUL F. HUDA

Menulis Fiksi : Khayalan Yang Nyata


oleh Nurul F Huda
A.A Navis: "...sumber penggalian untuk cerita yang saya tulis adalah
lingkungan hidup saya... yakni tentang orang-orang biasa pula,
tentang pikirannya, tentang tingkah lakunya. Bahan-bahan itu saya
renungkan... bila sudah dapat polanya saya menulis." Putu Wijaya: "...
cerita-cerita itu merupakan pengembangan peristiwa-peristiwa yang
ada waktu itu..." Arswendo Atmowiloto: "Begitulah proses terjadinya
cerpen saya. Dari pengalaman langsung, atau mendengar, lantas
disambung atau diaduk-aduk.
" Fiksi adalah cerita rekaan yang memang terlahir dari proses
imajinatif. Tetapi memisahkan fiksi dari kehidupan adalah sesuatu yang
nyaris mustahil. Abrams mengatakan bahwa cerita adalah cermin
kehidupan. Karena itu lahir teori Mimetik dan sekarang ini Sosiologi
serta Antropologi Sastra. Tapi tulisan ini bukan ingin membahas hal
tersebut. Terlalu kecil ruangnya dan juga terlalu memusingkan. Jadi
seperti biasa saya akan "ngecap" tentang apa yang saya pahami

tentang cerita. Cerita bukan lahir tiba-tiba. Hampir semua penulis


orang yang hobby membaca, mengamati peristiwa (entah langsung
atau via film), ngobrol, dan... berpetualang. Satu hal yang kadang saya
iri karena saya perempuan (masih alone lagi), saya tidak bisa
seenaknya "keluyuran". Padahal kehidupan adalah sumber inspirasi
yang tiada habisnya. Terlebih bila kehidupan itu "tidak biasa".
Saya iri dengan Putu yang enak saja bergabung dengan sirkus keliling
di Jepang. Atau Arswendo yang bisa seenaknya "menaruh badan". Tapi
toh masih banyak, banyak sekali malah, sisi kehidupan yang bisa
diangkat oleh saya (seharusnya). Ahmad Tohari yang "hanya" tinggal di
desa kecil di Purwokerto masih bisa menulis dengan bagus dan fokus.
Jadi... saya harus membuka mata lebih lebar dan merenung lebih
banyak. BUMBATA. So... mulailah dengan itu. Apabila cerita kita begitu
dekat untuk dirasakan Insyaallah pesan akan lebih mudah dipahami
pembaca. Yah, kecuali kita ingin cerita kita hanya menjadi konsumsi
"elite" sastrawan... itu lain soal. Dosen saya mengatakan, membaca
cerita bukan hanya menghibur tapi juga mencari solusi hidup.
Bayangkan!
Muhammad Diponegoro menekankan pentingnya real dalam cerita.
Tidak lain supaya cerita (yang diharapkan membawa pencerahan)
tidak berjarak dengan pembacanya. Mengangkat tema keseharian,
tokoh-tokoh yang hadir seakan memang wakil tokoh kehidupan,
bahkan setting yang juga nyata. Kenapa? Agar pembaca bisa
merasakan, yah itu juga saya. Begitu. Dia merasa menjadi bagian
cerita. Dia tidak merasa bahwa itu sekedar "dongeng" negeri antah
berantah.
Redaksi Annida mengatakan cerpen-cerpen saya "menubuh". Dekat
dengan pengalaman yang mereka alami. Bukan cerita yang
mengawang. Ada yang mengatakan bertema berat tapi berbahasa
ringan. BAHASANNYA BERAT BAHASANYA RINGAN. Ada yang
mengatakan funky, pop bahkan mungkin... picisan. Yah, whatever lah.
Saya hanya mencoba mengeluarkan apa yang saya tangkap dengan
indra saya dan saya olah dalam pikiran serta rasakan dalam perasaan.
Masalah di kehidupan ini terlalu banyak, terlalu kompleks. Rasanya
sayang membiarkannya menjadi pikiran beberapa orang hanya karena
bahasa yang mengawang.
Tapi saya tidak akan pernah menyalahkan kalau ada orang yang
merasa lebih nyaman dengan kiasan, simbol, dan sejenisnya. Semiotis.
Itu pilihan. Bagaimana agar cerita bisa "menubuh"?. Saya memulainya
dengan sesuatu yang menyentuh, yang saya terkesan. Terus saya
renungkan. Saya buat pola cerita. Saya cari tokoh-tokoh yang dekat
dengan saya. Kalau perlu setting yang jelas, saya cari datanya. Barulah
saya bisa bercerita dengan mood dan keterlibatan emosi. Soalnya

beberapa cerpen saya buat tanpa emosi. Dan saya harus merasa
berjarak dengan cerita itu. Sungguh tidak mengenakkan. Karena cerita
"menubuh" inilah maka biasanya yang menjadi "korban" adalah orangorang yang cukup dekat dengan saya. Cerpen FUNKY, SIBUKER adalah
yang begitu dekat. PASIR PASIR KALIADEM termasuk yang agak jauh.
Yang lain? Yah, relatif. Tapi saya mencoba sebisa mungkin untuk selalu
dekat dengan cerita saya. Sungguh.
Sekarang ini saya sedang menulis novel. Seluruhnya saya rencanakan
12 episode. Nyatanya saya harus mulai lagi bersatu dengan novel saya
karena sempat tertunda (mencari data) selama hampir setahun. Dan
itu tidak gampang. Lebih-lebih novel itu saya rasakan agak jauh
dengan realita yang saya temui (tentang detektif remaja). Lalu saya
membuat serial (tentang lima cowok pengelola kafe). Selesai hanya
dalam beberapa minggu, padahal jumlahnya sama. Ternyata karena
yang saya angkat adalah realita keseharian. Terlebih lima tokoh itu,
beberapa, saya ambil dari tokoh nyata. So... dekat sekali dengan saya.
Dari situ saya bisa katakan novel detektif saya kurang menubuh
(setidaknya dengan saya) sedangkan yang satunya nyaris menjadi
bagian dari hidup saya. Tapi saya harus berusaha masuk secara penuh
pada semuanya. Untuk apa? Agar pembaca saya pun bisa merasakan
proses penyatuan itu juga. Agar maknanya tertangkap sehingga pesan
atau hikmahnya bisa terambil. Saya percaya kalau si pengarang sendiri
tidak bisa menyatu dengan ceritanya, apalah lagi pembaca? Begitulah.
Wallahu a'lambisshawab Yogyakarta, 23 Februari 2001 NURUL F. HUDA

=====
Ikut nimbrung nih :) Mungkin saya bisa sedikit bantu Nida.
Boleh khan Nid? Tapi maaf kalo nggak berkenan ya jangan
dimasukin ke hati. Cukup lewat di pikir saja.
Kenapa naskah kita ditolak? Kemungkinan besar memang dia tak
layak muat dalam hal 'mutu'. Mutu yang dimaksud dalam naskah
kita (cerpen) adalah mutu pada kriteria penilain dari sebuah
cerpen. Karena dari kriteria itulah naskah kita dinilai.
Coba kita longok kekurangan naskah kita:
1. Barangkali temanya kurang menarik.
2. Cara bertutur dalam cerpen, alur, diksi, mungkin belum
'memadai'.
3. Konflik yang kita suguhkan mungkin kurang 'greget'
sehingga cerpennya jadi hambar.
4. Mungkin kita sendiri yang ada rasa mulai 'menyerah' :P
sehingga kita sebal, kesal ketika naskah kita ditolak mulu
hehehe...

Saya rasa, kita semua percaya/yakin Nida akan menghargai


karya-karya kita kok asalkan memang cukup baik. Kalo naskah
kita masih ditolak terus, ya memang barangkali naskah
saudara-saudara kita sesama penulis lebih baik dari kita.
Jangan sampai kita merasa BETE. Kita juga harus menghargai
usaha keras saudara-saudari ktia sesama penulis. Bisa jadi
usaha kerasnya dan kesabarannya lebih baik dari kita sampai
karyanya dimuat. Kita harus segera menyadari kekurangan
kita.
Saran saya, untuk mengetahui apa yang kurang pada naskah
kita, coba longok deh kolom pembahasan cerpen oleh Mas Joni
Ariadinata. Wah, saya senang lho. Makasih Mas Joni, makasih
Nida. Dari situ banyak dibahas kekurangan-kekurangan dari
cepen yang dimuat, diulas sisi lebih dan kurangnya. Dari
situ saya banyak tahu di mana kekurangan naskah saya. Jadi,
kalo mau buat cerpen lagi saya jadi lebih tahu, o... kaya'
gini itu kurang bagus, o... kalo penokohannya dibuat kaya'
gitu bakalan nggak greget, o... dll.:) Trus buat nambahin
'semangat', baca juga kolom M. Fauzil Adhim, bagus juga lho.
Buat temen-temen, terus berkaya ya! Bersabar pun juga! Tetep
semangat. Jangan menyerah meski masih 'dicuekin' ama Nida.
Teror saja Nida dengan karya kita terus-menerus. Insya Allah
semakin banyak kita ngirim dan belajar berbenah diri, maka
tulisan kita akan makin bagus. Kalo udah gitu Nida pasti
tahu apa yang harus dilakukan :)
Sekian dan mohon maaf atas segala khilaf.
Wassalamu 'alaikum wr. wb.
Nur Mawaddah
(Gatot Wahyudi)

Você também pode gostar