Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
OLEH :
YULIANA BAYU PRASETYONINGSIH
NIM 30120113008K
BAB I
PENDAHULUAN
dengan
pengobatan atau kuratif dengan cara mengangkat atau membuang salah satu
organ seperti amputasi dan apendektomi, restorative untuk meningkatkan
kemampuan klien,perbaikan organ yang mengalami kerusakan , paliatif untuk
meringankan gejala penyakit ,dan juga untuk alasan kosmetik untuk
meningkatkan ataupun merubah penampilan seseorang (Lewis, 2011).
Pembedahan baik yang dilakukan secara darurat ataupun yang
direncanakan dirasakan oleh tiap individu sebagai peristiwa yang kompleks
yang dirasa menegangkan. Pasien praoperatif seringkali mengalami
ketakutan. Takut terhadap nyeri atau kematian, takut karena ketidaktahuannya
apa yang akan terjadi (Smeltzer, 2010). Pasien yang akan menjalani operasi,
beresiko tinggi untuk mengalami kurang pengetahuan, salah satunya
pengetahuan yang berhubungan dengan mobilitas fisik pasien . Selain itu,
pembedahan akan menimbulkan perlukaan sebagai tindakan medis yang
invasif
untuk
mendiagnosa
ataupun
mengobati
penyakit
ataupun
pasien takut atau sulit untuk mobilisasi, yang berakibat terjadinya komplikasi,
maka akan menambah waktu pasien untuk dirawat di rumah sakit yang akan
berdampak pada biaya perawatan rawat inap yang diperlukan klien. Kondisi
ini akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi pasien maupun
keluarga.
Mobilisasi dini pada pasien paska operasi harus sesegera mungkin
dilakukan agar fungsi fisiologis pasien dapat segera kembali normal,seperti
keadaan pra bedah. Penelitian mengenai perilaku mobilisasi pada pasien
paska bedah sebelumnya pernah dilakukan, Marlitasari pada tahun 2010,
pada penelitian yang berjudul Gambaran Penatalaksanaan Mobilisasi Dini
oleh Perawat Pada Pasien Post Apendektomi di RS Muhammadiyah
Gombong
Mobilisasi dini yang dilakukan oleh pasien paska bedah sangat besar
manfaatnya, salah satunya yaitu meningkatnya perfusi ke jaringan sehingga
terjadi peningkatan sirkulasi darah, yang berdampak pada meningkatnya
metabolisme baik karbohidrat, protein maupun lemak sehingga energi ATP
yang dihasilkan akan meningkat pula (Potter, 2010). Bila ATP yang
dihasilkan meningkat, energi pun akan meningkat sehingga pasien dapat
melakukan akivitas mandirinya, dengan demikian tingkat ketergantungan
pasien akan semakin menurun. Mobilisasi dini juga berpengaruh pada
penyembuhan luka operasi. Pada penelitian yang dilakukan Nainggolan pada
tahun 2013 dengan judul Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Lamanya
Penyembuhan Luka Paska Operasi Apendektomi menyatakan bahwa terdapat
hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan luka yang dibuktikan dengan
adanya proses penyembuhan luka pada pasien paska bedah apendektomi.
Rumah Sakit Santo Borromeus memiliki format Standar Operasional
Prosedur ( SOP ) untuk pasien paska operasi secara umum. SOP ini untuk
melatih pasien melakukan latihan aktif atau mobilisasi dini untuk operasi,
yaitu tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien paska operasi yang
sudah diperbolehkan mobilisasi duduk atau berjalan dengan cara bertahap.
Perawat memiliki tanggungjawab yang besar dalam memberikan
pengetahuan yang diperlukan bagi pasien, karena salah satu peran perawat
adalah sebagai seorang edukator. Melalui peran ini diharapkan perawat dapat
membantu pasien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan,
sehingga terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan
paska
bedah,
masih
masuk
dalam
perawatan
maksimal
(Smeltzer,2010)
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai : Pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap
tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo
Borromeus Bandung.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang diangkat oleh peneliti adalah : Apakah ada pengaruh latihan
aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi di
Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung .
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini meliputi tujuan umum dan khusus. Tujuan ini
dibedakan menjadi dua diantaranya :
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pemberian latihan aktivitas fisik dengan tingkat
mobilisasi pasien paska bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo
Borromeus Bandung.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
a. Mengidentifikasi tingkat mobilisasi pada pasien paska bedah
apendektomi sebelum diberikan latihan aktivitas fisik di RS Santo
Borromeus
b. Mengidentifikasi tingkat mobilisasi pada pasien paska bedah
apendektomi setelah diberikan latihan aktivitas fisik di RS Santo
Borromeus
c. Menganalisa pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap tingkat
mobilisasi paska bedah apendektomi di RS Santo Borromeus.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat secara teoritis dan
praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Teoritis
Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkuat teori-teori keperawatan
medikal bedah khususnya mengenai pengaruh latihan aktivitas fisik
terhadap tingkat mobilisasi pasien operasi apendektomi.
2. Praktis
a. Bagi Manajemen Rumah Sakit Santo Borromeus
Sebagai bahan informasi mengenai pengaruh pemberian latihan
aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien paska bedah
apendektomi. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan dasar dalam
10
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
mempertahankan
ataupun
meningkatkan
kekuatan
otot,
12
13
a. Sistem Kardiovaskuler
1) Meningkatkan curah jantung
2) Memperbaiki kontraksi miokardial, kemudian menguatkan otot
jantung
3) Menurunkan tekanan darah istirahat
4) Memperbaiki aliran balik vena
b. Sistem Respiratori
1) Meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernafasan diikuti oleh
laju istirahat-kembali lebih cepat
2) Meningkatkan ventilasi alveolar
3) Menurunkan kerja pernafasan
4) Meningkatkan pengembangan diafragma
c. Sistem Metabolik
1) Meningkatkan laju metabolisme basal
Peningkatan metabolisme basal akan menghasilkan energi dan
ATP terutama dengan latihan aktivitas fisik. Sirkulasi darah pada
seluruh tubuh akan lebih baik bila dilakukan mobilisasi dini
terutama bagi sirkulasi abdomen serta motilitas usus.
2) Meningkatkan penggunaan glukosa dan asam lemak
3) Meningkatkan pemecahan trigliserida
4) Meningkatkan motilitas lambung
5) Meningkatkan produksi panas tubuh
14
d. Sistem Muskuloskeletal
1) Memperbaiki tonus otot
2) Meningkatkan mobilisasi sendi
3) Memperbaiki toleransi otot untuk latihan
4) Mungkin meningkatkan massa otot
5) Mengurangi kehilangan tulang
e. Toleransi Aktivitas
1) Meningkatkan toleransi
2) Mengurangi kelemahan
f. Faktor Psikososial
1) Meningkatkan toleransi terhadap stress
2) Melaporkan perasaan lebih baik
3) Melaporkan pengurangan penyakit (contoh : pilek dan influenza
virus)
3. Mekanisme Umum Kontraksi Otot Pada Latihan Aktivitas
Guyton (2012) menjelaskan timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi
dalam urutan tahap-tahap berikut :
a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik
sampai ke ujungnya pada serabut otot
b. Di setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmiter yaitu
asetilkolin, dalam jumlah sedikit
15
lagi;
pengeluaran
ion
kalsium
dari
miofibril
akan
16
17
b.
c.
18
19
4) Gambaran diri
7. Tipe Latihan Aktivitas
Craven (2008) menyebutkan beberapa tipe latihan aktivitas, yaitu :
a. Aerobic exercise
Memerlukan oksigen untuk digunakan dalam produksi energi oleh
aktivitas metabolik oleh otot rangka. Kekuatan, gerakan otot yang
terus menerus ( seperti berjalan, lari, bersepeda, ski melintasi kota,
tarian aerobic, dan bermain tenis ) merupakan latihan aerobic untuk
meningkatkan denyut jantung seseorang agar kondisi kardiovaskular
meningkat.
b. Anaerobic exercise
Latihan ini digunakan ketika otot tidak mendapatkan oksigen yang
cukup dari darah dan latihan ini dapat menghasilkan energi tambahan
untuk waktu yang singkat. Tipe latihan aktivitas ini berguna saat
latihan ketahanan. Semua latihan ketahanan dapat menjadi anaerobic
ketika sumber oksigen berkurang.
c. Isotonic exercise
Latihan ini berbentuk latihan yang dinamis dengan tegangan yang
konstant pada otot, kontraksi otot, dan gerakan aktif. Kebanyakan otot
( seperti berjalan, lari, melakukan ADL ) adalah isotonik.
d. Isometric exercise
Latihan ini merupakan latihan yang statis dimana otot mengalami
tegangan dan kontraksi tetapi tidak ada perubahan panjang atau
20
untuk
meningkatkan
kekuatan
otot
kuadriseps,
21
22
23
h. Pinggul
1) Fleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan ke atas
2) Ekstensi : menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain
3) Hiperekstensi : menggerakkan tungkai ke belakang tubuh
4) Abduksi : menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh
5) Adduksi : menggerakkan tungkai kembali ke posisi medial dan
melebihi jika mungkin
6) Rotasi dalam : memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain
7) Rotasi luar : memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain
8) Sirkumduksi : mengerakkan tungkai melingkar
i. Lutut
1) Fleksi : menggerakkan tumit ke arah belakang paha
2) Ekstensi : mengembalikan tungkai ke lantai
j. Mata Kaki
1) Dorsifleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk
ke atas
2) Plantarfleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk
ke bawah
k. Kaki
1) Inversi : memutar telapak kaki ke samping dalam ( medial )
2) Eversi : memutar telapak kaki ke samping luar ( lateral )
l. Jari-jari Kaki
1) Fleksi : melengkungkan jari-jari kaki ke bawah
24
25
b. Latihan kaki
1) Minta klien berada pada posisi terlentang di tempat tidur.
Demonstrasikan latihan kaki dengan melakukan latihan rentang
pergerakan sendi pasif dan dilanjutkan dengan penjelasan tentang
latihan tersebut
Rasional : memberi posisi anatomi normal pada ekstremitas bawah
26
meregangkan
dan
mengontraksikan
otot-otot
gastroknemius
4) Minta klien melanjutkan latihan kaki dengan melakukan fleksi dan
ekstensi lutut secara bergantian. Ulangi sebanyak 5 kali
Rasional
mengontraksikan
otot
kaki
bagian
atas
dan
terjaga.
Instruksikan
klien
untuk
menggabungkan
27
mendokumentasikan
penyuluhan
untuk
dan
28
29
(Sumber : http://www.apendic.com)
30
atau
penyempitan
pembuluh
karena
fibrosis
karena
peradangan sebelumnya
e. Keganasan kanker (karsinoma, karsinoid )
4. Manifestasi klinis
Menurut Smeltzer, 2010, manifestasi klinis yang muncul pada klien
apendiksitis adalah :
a. Mual dan muntah dengan anoreksia akibat nyeri visceral
b. Obstipasi karena klien takut mengedan, klien apendiksitis akut juga
mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa klien
mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks
pelvikal yang merangsang daerah rectum.
31
(Sumber: http://www.vetmed.com)
32
area penekanan
(Sumber: http:// www.easynotcards.com)
f. Pada pemeriksaan fisik lainnya dapat ditemukan adanya:
1) Psoas sign positif, pada apendiks letak retrocaekal. Psoas sign
terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan
yang terjadi pada apendiks.
33
(Sumber : http://www.arp.org)
2) Obturator sign positif. Posisi klien terlentang, kemudian lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara
pasif maka dikatakan positif bila terdapat nyeri.
34
i. Rectal toucher atau colok dubur. Nyeri tekan pada arah jarum jam 912.
5. Patofisiologi
Patogenesis umumnya diduga karena adanya obstruksi lumen, yang
biasanya disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan
oleh kurang serat). Kondisi obstruksi akan menyebabkan peningkatan
tekanan intra luminal yang dapat menyebabkan terjadinya oklusi arteria
terminalis
apendikularis
dan
peningkatan
perkembangan
bakteri.
35
36
37
38
39
nyeri
yang
masuk
melewati
saraf
perifer
(Guyton,2012).
2) Haus
Haus hampir selalu ada, biasanya karena penurunan cairan
praoperasi, kehilangan cairan selama pembedahan dan kekeringan
yang disebabkan oleh obat yang diberikan.
3) Distensi abdomen
Penghentian peristaltis usus secara sementara memungkinkan gas
terakumulasi di dalam usus klien sehingga menyebabkan distensi
abdomen.
4) Mual
Jika klien mengeluhkan mual, berikan obat antiemesis.
5) Retensi Urine
6) Konstipasi
Gangguan diet normal dan jadwal eliminasi, obat nyeri,
inaktivitas dan kelambatan peristaltik karena efek anestesi.
7) Gelisah dan Sulit Tidur
40
8) Imobilisasi
Imobilisasi pada pasien paska bedah dapat terjadi pada
pembedahan. Tetapi pasien diharuskan untuk mobilisasi dini
setelah pasien sadar, terutama pada hari pertama pembedahan
sesuai dengan kondisi pasien.
d. Penatalaksanaan Paska Bedah
Pasien yang dipasang catheter sebelum operasi harus dilepas
sebelum mereka meninggalkan ruang operasi. Pasien kemudian dapat
memperoleh diet yang sesuai, dan melakukan ambulasi dini.
Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak pasien sadar penuh,
setidaknya 12-18 jam setelah pembedahan ( pada hari yang sama
dengan operasi atau selambat-lambatnya hari pertama post operasi,
pasien harus mobilisasi turun dari tempat tidur ). Bila hal tersebut
dapat dilakukan pasien dapat dipersiapkan pulang dalam waktu 24- 32
jam. Bila apendiksitis yang terjadi sudah dalam tahap perforasi atau
ganggren, akan diberikan oral antibiotik untuk beberapa hari. Pada
apendiksitis yang simple, tidak diperlukan antibiotik setelah dilakukan
operasi (Bland, Kirby, 2009)
Setelah pasien bangun dari pengaruh anesthesi, tempatkan pasien
pada posisi Fowler untuk menurunkan resiko kontaminasi cairan
peritoneal yang terinfeksi ke abdomen bagian atas (McCann, 2006).
41
9. Anestesi (Pembiusan)
Anestesi menurut Rosdahl, 2015, adalah kehilangan sensasi secara
komplet atau sebagian. Anestesi bedah didefinisikan sebagai derajat
anestesi yang memungkinkan operasi dilakukan dengan aman dan
ditoleransi oleh klien, menghilangkan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Anestesi atau pembiusan pembedahan menurut Potter, 2010, terdiri
dari 4 macam, yaitu anestesi umum, anestesi regional, anestesi lokal dan
sedasi sadar. Anestesi umum menghasilkan imobilisasi, klien yang tenang
dan tidak bergerak dan tidak ingat prosedur bedah. Amnesia klien
bertindak sebagai alat pelindung dari peristiwa yang tidak menyenangkan
terhadap prosedur. Penyedia anestesi memberikan anestesi umum dengan
rute IV dan inhalasi melalui tiga fase anestesi, yaitu : induksi,
pemeliharaan, dan munculnya. Pembedahan yang membutuhkan anestesi
umum melibatkan prosedur mayor dengan manipulasi jaringan yang luas.
Durasi anestesi bergantung pada lamanya operasi.
C. MOBILISASI
1. Pengertian
Mobilisasi merupakan kebutuhan seseorang untuk melakukan aktivitas
yang dilakukan secara bebas dari satu tempat ke tempat yang lain
(Suratun, 2008). Mobilisasi merupakan kemampuan seorang individu
untuk bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai tujuan memenuhi
42
43
c. Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan
aktivitas misalnya; pasien setelah operasi dilarang bergerak karena
kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi.
d. Tingkat energi
Seseorang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau
tenaga. Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya
dibandingkan dengan orang dalam keadaan sehat. Menurut Guyton,
2012, kebutuhan oksigen harus terpenuhi, bila tidak terpenuhi maka
metabolisme yang terjadi pada tubuh menjadi metabolisme anaerob.
Metabolisme anaerob ini akan menghasilkan asam laktat dan 2 ATP,
yang akan menyebabkan tingkat mobilisasi lebih tergantung.
e. Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya
dibandingkan dengan seorang remaja.Hal ini sesuai dengan usia dan
juga status perkembangan dari setiap individu.
3. Tingkat mobilisasi
Kemampuan mobilitas atau tingkat mobilitas dikaji dengan tujuan untuk
menilai kemampuan klien untuk dapat bergerak baik ke posisi miring,
duduk, berdiri, bangun ataupun berpindah tanpa bantuan. Tingkat
mobilitas menurut Kneale (2011) adalah sebagai berikut :
44
Tabel 2.1 tabel tingkat mobilitas skala ILOA (Iowa Level of Assistance)
Skor
0
Tingkat Mobilitas
Independen
mandiri
(Mampu
melakukan
Sedang
hanya
di
kursi,
bila
mobilisasi
45
4. Gangguan Mobilisasi
Potter (2010) menyebutkan gangguan-gangguan mobilisasi, yaitu :
a. Tirah baring
Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien dibatasi untuk
tetap berada di tempat tidur untuk tujuan terapeutik. Lamanya tirah
baring tergantung penyakit atau cedera dan status kesehatan klien
sebelumnya. Pengaruh penurunan kondisi otot dikaitkan dengan
penurunan aktivitas fisik akan terlihat jelas dalam beberapa hari. Pada
individu normal dengan kondisi tirah baring akan mengalami
kurangnya kekuatan otot dari tingkat dasarnya pada rata-rata 3 %
sehari. Tirah baring juga dikaitkan dengan perubahan pada
kardiovaskuler, skelet, dan organ lainnya. Istilah atrofi disuse
digunakan untuk menggambarkan pengurangan ukuran normal serat
otot secara patologis setelah inaktivitas yang lama akibat tirah baring,
trauma, pemakaian gips atau kerusakan saraf lokal.
b. Imobilisasi
Gangguan mobilisasi fisik ( imobilisasi ) didefinisikan oleh North
American Nursing Diagnosis Association ( NANDA ) sebagai suatu
keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami
keterbatasan gerak fisik. Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik
dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah
baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu
46
47
48
49
untuk berani turun dari tempat tidur segera mungkin. Mobilisasi sudah
dapat dilakukan sejak pasien sadar penuh, setidaknya 12-18 jam setelah
pembedahan ( pada hari yang sama dengan operasi) dan bila hal ini dapat
dilakukan, pasien dapat dipersiapkan pulang dalam waktu 24- 32 jam.
Pelaksanaan mobilisasi dini terutama untuk mencegah komplikasi paruparu pada pasien lanjut usia.
D.
KERANGKA KONSEP
Skema 2.1 Kerangka konsep
Variabel independent
Variabel dependent
Kemampuan untuk
melakukan mobilisasi /
tingkat mobilisasi pasien
paska bedah apendektomi
BAB III
METODE PENELITIAN
50
51
Kelompok studi
(pre test)
Kelompok studi
(post test)
Kelompok studi
Perlakuan
Efek
Skema 3.1 Penelitian Pre eksperimental one group pre test-post test design
Penelitian ini meneliti pengaruh pemberian latihan aktivitas fisik terhadap
tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi.
52
B. Variabel Penelitian
Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota
suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain.
Variabel dapat juga diartikan sebagai konsep, ciri, sifat, atau ukuran yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep
pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2014).
variabel, yaitu :
1.
2.
53
2012). Di Rumah Sakit Santo Borromeus dari bulan Juli hingga Desember
2014 rata-rata pasien yang dilakukan operasi apendektomi adalah 26
orang. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang dilakukan operasi
apendektomi hari pertama di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Pada penelitian ini peneliti menggunakan sampel
karena keterbatasan waktu yang tersedia (Sugiyono, 2012). Dalam
penelitian keperawatan ini, kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi, dimana kriteria tersebut menentukan dapat dan tidaknya
sampel tersebut digunakan (Hidayat, 2007). Sampel yang diambil pada
penelitian ini yaitu 15 pasien paska bedah apendektomi hari pertama di
Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.
3. Tehnik Sampling
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Penelitian ini
mengambil teknik sampling Nonprobability sampling dimana teknik
pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama
bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel
(Sugiyono, 2012). Teknik sampel penelitian ini adalah sampling
purposive dimana menentukan pengambilan sampel dengan pertimbangan
tertentu. Pada penelitian ini pengambilan sampel secara purposive
dilakukan pada akhir bulan Juni Juli tahun 2015.
54
55
Kriteria Inklusi :
Kriteria Eksklusi :
Kelompok intervensi
Latihan aktivitas fisik selama 20
menit dengan didampingi, yaitu
latihan mengganti posisi,latihan
kaki,duduk, berdiri dan jalan
Pengolahan data
Analisa data
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
56
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian adalah suatu pernyataan yang masih lemah dan
membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat
diterima atau harus ditolak, berdasarkan fakta atau data empiris yang telah
dikumpulkan dalam penelitian. Hipotesis juga merupakan sebuah pernyataan
tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat
diuji secara empiris (Hidayat, 2007).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ha diterima yang berarti ada
pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien paska
bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.
F. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti
untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu
objek atau fenomena (Hidayat, 2007). Definisi operasional pada penelitian ini
dapat dilihat pada tabel 3.1
57
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Operasional
Variabel
independen :
latihan
aktivitas fisik
Variabel
dependen :
tingkat
mobilisasi
paska operasi
apendektomi
Kegiatan
penyuluhan
dengan
menjelaskan,
mendemontrasikan dan
mendampingi
pasien mengenai
pentingnya dan
gerakan latihan
aktivitas fisik
mobilisasi dini
kepada pasien
yang telah
menjalani operasi
apendektomi hari
1 di RS Santo
Borromeus
Bandung
Upaya pasien
dalam melakukan
mobilisasi dini:
gerakan kaki,
duduk,berdiri dan
jalan setelah
operasi
apendektomi di
Rumah Sakit
Santo Borromeus
Skala
Ukur
Memberikan
check list
pada lembar
observasi
Lembar
observasi
(check list)
Melakukan
observasi
dengan
memberikan
tanda check
list pada
kolom yang
telah
disediakan
Lembar
observasi
dengan
menggunakan skala
ILOA
Tingkat
mobilisasi :
0 : Mampu
melakukan
mobilisasi
secara mandiri
1 : diawasi,
menggunakan alat bantu
2 : mobilisasi
dibantu
minimal,
memerlukan
bantuan
sebagian
3 : mobilisasi
sedang, di
kursi
4 : mobilisasi
dibantu
maksimal
5 :tidak
berdaya
6 :tidak dapat
dinilai
(sumber :
Kneale, 2011)
ordinal
58
b.
59
d.
e.
f.
60
2)
61
3)
62
5)
Latihan duduk
6)
Latihan berdiri
7)
8)
g.
H. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data
oleh peneliti. Alat pengumpul data ini tergantung pada macam dan tujuan
penelitian serta data yang akan diambil atau dikumpulkan (Notoatmodjo,
2010 ).
63
Tingkat Mobilitas
Mobilisasi
diawasi
(diawasi
secara
dekat,
Mobilisasi
dibantu
maksimal
(membutuhkan
64
Instrumen pada penelitian ini merupakan instrumen yang sudah baku dan
telah teruji validitas dan reliabilitasnya dan sudah digunakan sebagai standar
pengukuran secara internasional untuk mengukur kemampuan melakukan
ambulasi atau tingkat bantuan yang diperlukan pasien, yaitu Iowa Level Of
Assistance Scale (ILOA Scale) dengan power penelitian 87% dan kesalahan tipe I
0.05. Instrumen dini juga telah dipergunakan pada penelitian yang dilakukan oleh
Eldawati yang berjudul Pengaruh Latihan Kekuatan Otot Pre Operasi Terhadap
Kemampuan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah
pada tahun 2011.
I.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan suatu langkah yang harus ditempuh oleh
peneliti dalam melakukan penelitian guna mencari informasi dari jawaban
atas permasalahan yang sedang terjadi. Prosedur penelitian ini terbagi 3 yaitu:
1. Tahap Persiapan
a.
b.
65
c.
d.
Penyusunan proposal
Peneliti telah membuat proposal yang dibuat sesuai dengan
permasalahan yang ada dengan melihat referensi dan jurnal
penelitian.
e.
f.
g.
h.
2. Tahap Pelaksanaan
a.
b.
c.
66
d.
e.
f.
g.
3. Tahap Penyelesaian
a.
J.
b.
c.
d.
67
1. Tahap Editing
Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan lembar hasil observasi
terhadap responden. Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengecekan
lembar observasi sebelum dan sesudah diberikan latihan aktivitas fisik
sudah terisi dengan lengkap dan jelas.
2. Tahap Coding
Pengkodean atau coding merupakan kegiatan mengubah data berbentuk
huruf menjadi data berbentuk angka/bilangan. Dalam penelitian ini
peneliti memberikan kode yaitu 0 untuk
68
4. Tahap Cleaning
Kemudian peneliti melakukan cleaning. Jika data sudah selesai
dimasukkan, data dicek kembali untuk melihat adanya kemungkinan
terjadi kesalahan dalam pengkodean dan ketidaklengkapan, kemudian
dilakukan koreksi.
K. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah menginterpretasi data dengan maksud memperoleh
makna atau arti dari hasil penelitian tersebut. Analisa data memiliki tujuan
untuk memperoleh gambaran dari hasil penelitian yang telah dirumuskan
dalam tujuan penelitian, memberikan
univariat
bertujuan
untuk
menjelaskan/mendeskripsikan
69
100 %
Keterangan :
P = jumlah persentase yang dicari
f = jumlah frekuensi untuk setiap kategori
n = jumlah responden/ populasi
Hasil perhitungan
: seluruhnya
90 99%
: hampir seluruhnya
75 89%
: sebagian besar
51 74%
50%
: setengahnya
25 49%
6-24%
: sebagian kecil
1-5%
0%
: tidak ada.
70
2. Analisa Bivariat
Analisa data bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkorelasi untuk mengetahui hubungan
antar variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisa bivariat digunakan untuk
melihat pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien
paska bedah apendektomi hari pertama. Peneliti melakukan perlakuan
berupa latihan aktivitas satu kali dan diperkirakan sudah mempunyai
pengaruh, kemudian hasilnya ditarik kesimpulan. Hipotesis penelitian ini
diuji mengunakan uji non parametrik Wilcoxon Signed Rank Test
dikarenakan data berdistribusi tidak normal dan jenis data kategorik
dengan kategorik.
71
72
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti menguraikan dan menganalisa data yang diperoleh
dari hasil penelitian dengan menentukan frekuensi dan presentasi kemudian
dianalisa untuk melihat adanya pengaruh antara dua variabel yaitu variabel
independen : latihan aktivitas fisik dan variabel dependen : tingkat mobilisasi
pasien paska operasi apendektomi. Selanjutnya akan diuraikan hasil penelitian
melalui analisa univariat dan bivariat.
73
74
inap dewasa. Rata-rata jumlah pasien paska bedah apendektomi dari bulan
Juli hingga Desember 2014 di Rumah Sakit Santo Borromeus adalah 26
pasien per bulannya.
Rumah Sakit Santo Borromeus memiliki SOP mengenai mobilisasi dini
atau latihan aktif paska bedah secara umum yang diterapkan para perawat
yang menggunakan metode keperawatan MPKP untuk melakukan asuhan
keperawatan bagi pasien. Latihan aktif ini merupakan tindakan keperawatan
yang diberikan kepada pasien yang sudah diperbolehkan mobilisasi duduk
atau berjalan dengan cara bertahap. Bila diperlukan dapat dibantu dengan
alat, sehingga pasien mampu melakukan aktivitas kembali.
SOP latihan aktif ini bertujuan untuk memperlancar peredaran darah
dan sebagai proses rehabilitasi pasien. Pada SOP latihan aktif ini perawat
akan membantu pasien untuk berbaring setengah duduk, duduk di tempat
tidur, berdiri, sampai dengan membantu pasien berjalan secara perlahan-lahan
sesuai dengan kemampuan pasien. Pelaksanaan SOP latihan aktif ini pada
praktek nya yang ditemukan peneliti, bahwa dari 5 pasien paska bedah
apendektomi hanya 2 yang melakukan mobilisasi dini. Dari 5 pasien tersebut,
mengatakan pelaksanaannya tanpa ada demontrasi latihan aktivitas fisik dari
perawat, akibatnya pasien menanyakan mobilisasi yang harus dilakukan
paska operasi diantaranya paska bedah apendektomi.
75
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (n=15)
Jenis kelamin
Jumlah
Persentase (%)
Laki-laki
10
66,7
Perempuan
33,3
Total
15
100,0
Berdasarkan tabel 4.1, didapatkan data bahwa lebih dari setengah responden
memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 10 orang ( 66,7 % )
76
Tabel 4.2
Distribusi Responden Berdasarkan Usia (n=15)
Usia
Jumlah
Persentase (%)
11-20 tahun
6,7
20-40 tahun
10
66,7
40-65 tahun
26,6
Total
15
100,0
Sumber : Rosdahl,2015
Berdasarkan tabel 4.2, didapatkan data bahwa lebih dari setengah responden
memiliki usia 20-40 tahun sebanyak 10 orang ( 66,7 % )
77
C. Analisa Univariat
Distribusi frekuensi tingkat mobilisasi responden sebelum diberikan latihan
aktivitas fisik dapat dilihat pada tabel 4.3
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Tingkat Mobilisasi Responden
Sebelum Latihan Aktivitas Fisik Pada Pasien Paska Apendektomi
di RS Santo Borromeus (n=15)
Tingkat Mobilisasi
Jumlah
Persentase (% )
Dibantu minimal
6,7
Sedang
13,3
Dibantu maksimal
12
80
Total
15
100
Berdasarkan tabel 4.3, dapat dijelaskan bahwa tingkat mobilisasi pada pasien
paska bedah apendektomi sebelum diberikannya latihan aktivitas fisik yaitu
sebagian besar tingkat mobilisasi dibantu maksimal yaitu 12 orang ( 80% ).
78
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Tingkat Mobilisasi Responden
Setelah Latihan Aktivitas Fisik Pada Pasien Paska Apendektomi
di RS Santo Borromeus (n=15 )
Tingkat Mobilisasi
Jumlah
Persentase (%)
Mandiri
33,3
Diawasi
40
Dibantu minimal
20
Sedang
6,7
Total
15
100
Berdasarkan tabel 4.4, dapat dijelaskan bahwa tingkat mobilisasi pada pasien
paska bedah apendektomi setelah diberikan latihan aktivitas fisik yaitu
kurang dari setengahnya tingkat mobilisasi diawasi yaitu 6 orang (40%).
79
D. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat gambaran pengaruh terhadap tingkat
mobilisasi sebelum dan setelah diberikan latihan aktivitas fisik. Analisa
pengaruh terhadap tingkat mobilisasi sebelum dan setelah dilakukan latihan
aktivitas fisik, dapat dilihat pada tabel 4.5
Tabel 4.5
Analisa Pengaruh Terhadap Tingkat Mobilisasi Sebelum dan
Setelah Pemberian Latihan Aktivitas Fisik
Pada Pasien Paska Bedah Apendektomi di RS Santo Borromeus
Pretest
Post test
Median
(minimum-maksimum)
4,00 ( 2 4 )
1,00 ( 0 3 )
Reratas.b
P Value
(n)
3,730,594
0,001
15
1,000,926
15
80
E. Pembahasan
Dalam pembahasan ini, peneliti menjabarkan tentang hasil penelitian secara
univariat dan bivariat mengenai pengaruh terhadap tingkat mobilisasi
sebelum dan setelah pemberian latihan aktivitas fisik pada pasien paska bedah
apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.
1. Analisa Univariat
a. Tingkat Mobilisasi Sebelum Pemberian Latihan Aktivitas
Apendektomi merupakan pembedahan yang dilakukan untuk
membuang
apendiks. Dalam
pembedahan
apendiksitis,
dapat
mempunyai
81
82
adalah
latihan
yang
dilakukan
untuk
meningkatkan
83
peningkatan
kebutuhan
atau
perfusi
oksigen,
dan
84
ambulasi
dini.
Latihan
ambulasi
dini
hari
pertama
85
86
perifer mengatur hubungan antara semua jaringan-jaringan dan organorgan lain dengan sistem saraf pusat ( Brunner, 2010).
Guyton, 2011, menyatakan salah satu efek dari latihan fisik adalah
perangsangan kuat sistem saraf simpatis di seluruh tubuh dengan akibat
efek perangsangan pada seluruh sirkulasi. Pada permulaan latihan fisik,
sinyal tidak hanya dijalarkan dari otak menuju otot untuk menimbulkan
kontraksi otot tetapi juga ke pusat vasomotor untuk memulai
perangsangan simpatis yang kuat ke seluruh tubuh, secara bersamaan,
sinyal parasimpatis ke jantung menjadi sangat lemah (Potter, 2010).
Terdapat tiga efek sirkulasi utama pada latihan fisik yaitu
peningkatan pompa jantung, peningkatan kontraksi arteriol di sirkulasi
perifer dan peningkatan kontraksi dinding otot vena yang akan sangat
meningkatkan tekanan pengisian sistemik rata-rata. Hal ini merupakan
salah satu faktor yang paling penting dalam meningkatkan aliran balik
darah vena ke jantung dan, karena itu, meningkatkan curah jantung
(Guyton, 2011).
Peningkatan curah jantung akan meningkatkan perfusi oksigen ke
jaringan. Metabolisme yang terjadi bila oksigen yang tersedia mencukupi
adalah metabolisme aerob. Metabolisme aerob dalam tubuh akan bekerja
baik yang dapat menghasilkan energi atau ATP untuk beraktivitas. Bila
energi maupun ATP memadai tingkat mobilisasi seseorang akan lebih
mandiri (Morrison, 2005).
87
sehingga
tingkat
mobilisasi
menjadi
lebih
mandiri
(Guyton,2012)
Sewaktu terjadinya latihan aktivitas atau pergerakan otot, otot-otot
tersebut menekan pembuluh darah di seluruh tubuh. Akibatnya adalah,
terjadi pemindahan darah dari pembuluh perifer ke jantung dan paru, dan
dengan demikian, akan meningkatkan curah jantung. Keadaan ini
88
89
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari akhir bulan
Juni sampai dengan Juli 2015 terhadap 15 orang pasien paska bedah
apendektomi, didapatkan hasil simpulan sebagai berikut :
1. Tingkat mobilisasi yang dapat dilakukan oleh pasien paska bedah
apendektomi hari pertama sebelum pemberian latihan aktivitas
didapatkan sebagian besar yaitu 12 orang (80%) memiliki mobilisasi
dengan bantuan maksimal.
2. Tingkat mobilisasi pada pasien paska bedah apendektomi hari pertama
setelah diberikan latihan aktivitas fisik didapatkan kurang dari
setengahnya yaitu 6 orang (40%) tingkat mobilisasi diawasi.
3. Ada pengaruh terhadap tingkat mobilisasi yang bermakna antara
sebelum dan sesudah pemberian latihan aktivitas fisik pada pasien paska
bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung dengan
P value yaitu 0,001 < = 0,05.
90
91
B.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan peneliti yaitu :
1.
b.
c.
d.
untuk
pengingat
bagi
perawat
untuk
dapat
melaksanakannya.
e.
92
2.
nyeri
pada
pasien
paska
bedah
apendektomi.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. ( 2006 ). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Bastable, Susan B.( 2012). Perawat Sebagai Pendidik : Prinsip-Prinsip
Pengajaran Dan Pembelajaran. Jakarta : EGC
Bland, Kirby.(2009). General Surgery : Principles and International Practice.
London : W.B. Saunders
Budiman. ( 2011). Penelitian Kesehatan. Bandung : PT Refika Aditama.
Burden, Nancy (2010). Ambulatory Surgical Nursing. Philadelphia : W.B.
Saunders Company
Celik.(2015). Constipation Risk in Patients Undergoing Abdominal Surgery.
Diperoleh 23 Juli 2015 dari http://reseachgate.net
Craven, Ruth. ( 2008 ). Fundamental of Nursing. Philadelphia : Lippincot
Williams & Wilkins.
Dharma, Kelana K. ( 2011 ). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta : CV
Trans Info Media.
Eldawati.(2011). Pengaruh Latihan Kekuatan Otot Pre Operasi Terhadap
Kemampuan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas
Bawah Di RSUP Fatmawati Jakarta. Diperoleh tanggal 10 Januari 2015 dari
http://lib.ui.ac.id
Etik
Ignatavicius, D., & Workman, M. L. (2010). Medical Surgical Nursing PatientCentered Collaborative Care. Missouri : Elsevier.
Kalisch, Outcomes of Inpatient Mobilization : a literature review. Diperoleh
tanggal 28 Juli 2015 dari http://ncbi.nlm.nih.gov
Kneale D, Julia. (2011). Keperawatan Ortopedik dan Trauma. Jakarta : EGC
Lemone, P., & Karen, B. (2010). Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in
Client Care. New Jersey : Pearson Education Prerice Hall.
Lewis, Sharon.L. (2011). Medical Surgical Nursing : Assessment and
Management of Clinical. Missouri : Elsevier
Machfoedz, Ircham. ( 2005 ). Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Fitramaya
Mackay.(2005). Randomised Clinical Trial of Physiotherapy After Open
Abdominal Surgery in High Risk Patients. Diperoleh tanggal 4 Agustus 2015
dari http://ncbi.nlm.nih.gov
Marlitasari.(2010). Gambaran Penatalaksanaan Mobilisasi Dini oleh Perawat
Pada Pasien Post Apendektomi di RS Muhammadiyah Gombong. Diperoleh
tanggal 15 Februari 2015 dari http://stikesmuhgombong.ac.id
McCann, Judith A. Schiling.(2006). Handbook of Medical Surgical Nursing.
Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.
Mendes(2013). Early Mobilization Influence to Peristaltics Recovery Time
Intestine On Pascas Patient Hads Out Abdomen. Diperoleh tanggal 27 Juli
2015 dari http://jurnal.untan.ac.id
Morison, Moya J. (2005). Manajemen Luka. Jakarta : EGC
Nainggolan.(2013).Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Lamanya Penyembuhan
Luka Paska Operasi Apendektomi. Diperoleh tanggal 10 Juni 2015 dari
http://akperhkbp.ac.id
Notoadmodjo, Soekidjo. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
________________ .(2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :
PT Rineka Cipta
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.