Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Tinjauan Pustaka
BRONKOPNEUMONIA
1. Pendahuluan
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete, 2013) :
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3. Bronkopneumonia
Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang
terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering
menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anak-anak
dan balita hampir di seluruh dunia.Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari
2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian
anak (Depkes, 2010).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.Kebanyakan kasus pneumonia
disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan.Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai
keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang
biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.
2. Definisi
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus
atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) (Bennete,
2013).Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al.,
2011)
3. Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Pada
tahun 2006 daerah yang paling tinggi insidennya adalah provinsi Bangaka Belitung, NTB,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Maluku. Pada tahun 2007 provinsi
dengan insiden pneumonia tinggi semakin berkurang dan sebagian provinsinya berubah yaitu
Kalimantan Selatan, NTB, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara, pada tahun 2008 provinsi
dengan insiden pneumonia tinggi hanya tiga provinsi yaitu Jawa Barat, NTB dan Gorontalo
(Depkes, 2010)
4. Etologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (IDAI, 2012) :
1. Faktor Infeksi
a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b. Pada bayi :
1) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
3) Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,Mycobacterium tuberculosa,
Bordetella pertusis.
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d. Pada anak besar dewasa muda :
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
a. Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon
seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli
petroleum.Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,pemberian
makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan
pada anak yang sedang menangis.Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak
contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia.Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti
AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit ini.
5. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan
bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi
yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
2.
3.
4.
5.
a. Pneumonia lobaris
b. Pneumonia interstitialis
c. Bronkopneumonia
Berdasarkan asal infeksi
a. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a. Pneumonia bakteri
b. Pneumonia virus
c. Pneumonia mikoplasma
d. Pneumonia jamur
Berdasarkan karakteristik penyakit
a. Pneumonia tipikal
b. Pneumonia atipikal
Berdasarkan lama penyakit
a. Pneumonia akut
b. Pneumonia persisten
6. Patogenesis
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.Paruparu dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan
faktor imun lokal dan sistemik.Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks
batuk dan mukosilier aparatus.Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan
imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi
organisme bertambah.Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau
aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen.Virus dapat
meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun.Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru
yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial.Pneumonia bakteri dimulai dengan
terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar,
penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi
merah.Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan
vital.Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya
pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan
terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi
progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu).Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi
terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi
dan dan dikeluarkan melalui batuk.Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura,
supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.Resolusi dari reaksi pleura dapat
berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi.Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi.Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin.Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi,
lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.
7. Manifestasi Klinik
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas
bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40 0C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan
cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif(Bennete, 2013).
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung
tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo
osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung
dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan
bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru.Bayangan
bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.Hitung leukosit
dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.Infeksi virus leukosit normal atau
meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit
meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia
dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.Isolasi mikroorganisme
dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete,
2013).
9. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al., 2011):
1.
2.
3.
4.
5.
Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
Panas badan
Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan
10.Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga
thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan
hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari
penyebaran infeksi hematologi (IDAI, 2011).
11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2
macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al., 2011)
1. Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2pada analisis
gas darah 60 torr.
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam
pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau
penderita kelainan jantung
c.
Wheezing Atopi
EPIDEMIOLOGI
Wheezing pada anak merupakan permasalahan kesehatan yang sering dihadapi oleh
dokter keluarga. Diperkirakan sekitar 25 sampai 30 persen bayi pernah mengalami minimal satu
kali episode wheezing. Dengan perjalan usia hingga 3 tahun, episode wheezing dapat kembali
berulang pada 40 persen anak. Dan pada hampir separuh anak hingga usia 6 tahun pernah
mengalaminya. Penyebab tersering dari wheezing pada anak yaitu astma, alergi, infeksi, refluks
gastroesophageal, dan obstruktif sleep apnea. Penyebab yang jarang seperti kelainan kongenital,
aspirasi benda asing, dan cystic fibrosis (Weiss, 2008).
Data yang lengkap mengenai riwayat pasien akan membantu dalam penegakan diagnose.
Data tersebut meliputi rwayat keluarga, onset munculnya wheezing, gambaran dari wheezing,
keterkaitan dengan musin, onset yang tiba-tiba, keterkaitan dengan makan, batuk, penyakit
saluran napas, serta perubahan posisi. Selain itu juga diperlukan pemeriksaan fisik dan uji
diagnostic sebagai alat penegakan diagnose. Contohnya, pada anak dengan wheezing yang
berulang atau hanya dengan satu episode wheezing yang tidak memberikan respon terhadap
bronkodilator memelukan pemeriksaan roentgen thorax (Weiss, 2008).
ETIOLOGI
Wheezing terjadi selama fase ekspirasi yang mengalami perpanjangan yang diakibatkan
dari penyempitan dari saluran napas. Anak-anak akan lebih rentan mengalami wheezing
dibandingkan dewasa dikarenakan perbedaan anatomis. Pada bayi dan anak usia muda, ukuran
bronkus lebih kecil, sehingga menyebabkan resistensi jalan napas yang lebih tinggi. Dan pada
akhirnya, dengan adanya tambahan penyakit pada saluran napas akan memberikan efek lebih
besar terhadap resistensi saluran pernapasan. Bayi juga memiliki sifat elastisitas jaringan /
kemampuan recoil yang lebih rendah dibandingkan dewasa. Sehingga akan lebih mudah terjadi
onstruksi dan atelectasis. Tulang kosta, trakea, dan bronkus pada bayi dan anak usia muda lebih
compliant, posisi diafragma juga lebih horizontal. Semua faktor tersebut meningkatkan risiko
wheezing dan distress pernapasan pada bayi dan anak usia muda (Weiss, 2008).
KLASIFIKASI
Transient wheezingmerupakan wheezingyang sudah muncul sejak satu tahun pertama
kehidupan. Umumnya wheezingini tidak berhubungan dengan riwayat astma dalam anggota
keluarga ataupun riwayat alergi. Faktor primer yang mempengaruhi munculnya gambaran
wheezingini adalah menurunnya fungsi paru pada bayi dan akan menetap hingga umur 16
tahun. Faktor risiko lainnya mencakup prematuritas, jenis kelamin laki-laki, paparan dengan
saudara atau anak lain ditempat penitipan anak, riwayat ibu yang merokok selama kehamilan,
dan paparan terhadap asap rokok setelah lahir. Transient wheezingini akan membaik dengan
sendirinya pada usia 3 tahun(Philip, 2008; Weiss, 2008; IDAI, 2010).
Pada wheezingnon atopi atau yang sering disebut viral wheezing, serangan muncul
diakibatkan oleh infeksi virus yang berulang. Fungsi paru pada pasien dengan wheezingtipe ini
umumnya normal namun akan terjadi obstruksi saluran pernapasan seknder akibat infeksi dari
virus. Penyebab utamanya masih belum diketahui. Namun terdapat beberapa faktor seperti
respon imun spesifik dan terganggunya fungsi saluran napas yang terlihat secara
histologis(Philip, 2008; Weiss, 2008; IDAI, 2010).
Wheezing atipikal
GERD
Kelainan kongenital
wheeze
Wheezing atopi
Cystic fibrosis
Kelainan jantung
Aspirasi benda asing
Tuberculosis
Tabel Klasifikasi Wheezing(Anemmie, 2006)
MEKANISME
Wheezingadalah suara bernada tinggi, menyerupai siulan yang terjadi ketika saluran
pernapasan yang lebih kecil menyempit akibat terjadinya bronkospasme, edema mukosa,
produksi mucus dalam jumlah berlebih, atau akibat dari inhalasi benda asing. Suara ini
terdengar paling sering pada fase ekspirasi sebagai akibat dari adanya obstruksi.
Wheezingpolifonik terjadi akibat terjadinya sumbatan luas pada saluran napas sehingga
menimbulkan suara dengan nada beragam dengan level obstruksi yang berbeda seperti pada
astma. Sedangkan Wheezingmonofonik merupaka suara dengan nada tunggal akibat obstruksi
pada saluran napas atas selama ekpirasi, seperti pada kasus trakeomalasia distal atau
bronkomalasia. Apabila obstruksi terjadi pada saluran napas ekstratorakal selama inspirasi,
maka suara yang ditimbulkan adalah stridor (Yehia, 2011).
DIAGNOSA BANDING
Wheezing adalah suara pernapasan frekuensi tinggi nyaring yang terdengar di akhir
ekspirasi.
Hal
ini
disebabkan
penyempitan
saluran
respiratorik
distal.
Untuk
mendengarkan wheezing, bahkan pada kasus ringan, letakkan telinga di dekat mulut anak dan
dengarkan
suara
napas
sewaktu
anak
tenang,
atau
menggunakan
stetoskop
untuk
dengan wheezing. Diagnosis pneumonia harus selalu dipertimbangkan terutama pada umur dua
tahun pertama (WHO,2013).
Berikut ini daftar diagnose banding pada pasien dengan wheezing.
PENYEBAB WHEEZING PADA ANAK DAN BAYI
Tersering
Alergi
Astma
Refluks Gastroesophageal
Infeksi :
1.
2.
3.
4.
Bronkiolitis
Bronchitis
Pneumonia
Infeksi saluran napas atas
Riwayat Keluarga
Apabila dari anamnesa didapatkan riwayat keluarga yang baru terkena infeksi saluran
pernapasan maka dapat dicurigai hal tersebut sebagai penyebab dari wheezing pada anak.
Misalnya pertussis, tuberculosis, infeksi virus pada saluran pernapasan. Sedangkan bila dari
anamnesa didapatkan adanya riwayat keluarga dengan penyakit astma, alergi, eksema maka
kecurigaan kearah astma maupun wheezing atopi semakin kuat (Weiss, 2008).
Onset wheezing
Onset wheezing menentukan apakah hal tersebut disebabkan oleh kelainan kongenital
atau nonkongenital. Pada bayi, wheezing lebih sering disebabkan oleh kelainan kongenital
dibandingkan pada anak yang lebih besar (Weiss, 2008).
GambaranWheezing
Gambaran dari wheezing sendiri juga dapat mengarahkan kita ke penyebabnya. Episode
wheezing yang bersifat musiman atau yang berkaitan dengan paparan terhadap lingkungan
mungkin disebabkan oleh astma ataupun atopi. Wheezing yang bersifat persisten sejak lahir lebih
mungkin disebabkan oleh kelainan kongenital. Anak dengan gangguan saluran napas menetap
sejak lahir perlu dievaluasi lebih lanjut mengenai kemungkinan cystic fibrosis, dysplasia
bronkopulmonal, laringomalasia, maupun primary ciliary dyskinesia(Weiss, 2008).
Seasonal
Beberapa kasus wheezing bersifat seasonal. Infeksi saluran napas atas dan bawah juga
dapat menyebabkan wheezing. Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan menyebab
wheezing tersering pada anak usia muda. Di Amerika, infeksi RSV banyak terjadi pada bulan
November sampai Mei, dengan puncak pada bulan Januari dan Februari. RSV merupakan
penyebab bronkiolotis tersering pada anak, mencakup 80 persen kasus terjadi pada anak kurang
dari satu tahun. Virus lain yang dapat menyebabkan wheezing seperti Metapneumovirus,
menyerang bayi pad abulan Desember hingga April. Wheezing yang disebabkan oleh croup
sering terjadi pada musim gugur dan musim dingin. Sedangkan wheezing yang berkaitan dengan
allergen dari lingkungan sekitar lebih sering terjadi pada musim semi dan gugur; allergen dalam
rumah seperti tungau dan binatang peliharan akan menyebabkan wheezing berulang dengan
intensitas yang sama sepanjang tahun. Wheezing yang disebabkan astma juga dapat dipicu oleh
perubaha iklim (Weiss, 2008).
Wheezing Setelah Pemberian Makan
Wheezing dapat disebabkan oleh refluks gastroesophageal. Meskipun hingga saat ini
maih banyak perbedaan pendapat. Sebuah penelitian pada pasien GERD yang diberikan obat
golongan inhibitor pompa proton tidak mengurangi gejala dari asma (Weiss, 2008).
Onset Mendadak
Aspirasi benda asing dapat terjadi setiap saat. Namun hal ini paling sering terjadi pada
usia 8 bulan hingga 4 tahun. Obstruksi saluran napas atas akan menyebabkan batuk, tersedak,dan
bahkan wheezing. Benda asing yang masuk didalam laringotrakeal umumnya akan ditemukan
dalam 24 jam pada 90 persen anak, dan terdiagnosa segera dalam 1 minggu pertama. Anak
dengan gejala berulang atau tidak ada perbaikan kemungkinan telah terjadi pneumonia akibat
infeksi sekunder pada atelectasis obstruktif (Weiss, 2008).
Batuk
Munculnya keluhan batuk setelah makan mungkin berkaitan dengan GERD. Batuk kering
yang tidak produktif dan memburuk pada malam hari mungkin berhubungan dengan GERD,
alergi, atau astma. Obstruktif sleep apnea mungkin ditandai dengan anak yang terbatuk atau
wheezing lalu terbangun pada malam hari serta sering dijumpai snoring. Sleep apnea pada bayi
sering dikaitkan dengan anomaly kranifasial, dan pada anak yang lebih besar bisanya
berhubungan dengan hipertrofi adenotonsilar (Weiss, 2008).
Perubahan Posisi
Kelainan kongenital seperti trakeomalasia dan anomaly pembuluh darah besar sering
menyebabkan wheezing yang berkaitan dengan perubahan posisi pada bayi (Weiss, 2008).
pemberian
Kemungkinan
Diagnosa
makan,
GERD
Trakeomalasi
Pneumonia
Asma
Kelainan jantung
Cystic fibrosis
Bronkiolitis,
alergi
Epiglotitis
croup,
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang dilakukan menbyesuaikan dari usia dan etiologi yang dicurigai.
Pemasangan alat pengukur saturasi oksigen sangatlah berguna pada bayi dan anak usia muda.
Apabila terdapat kecurigaan mengenai infeksi bakteri atau virus, maka dapat dilakukan swab,
kultur sputum dan darah, uji tuberculosis. Uji chloride dapat digunakan untuk mendiagnosis
cystic fibrosis. Untuk menyingkirkan kemungkinan GERD dapat dilakukan pemeriksaan pH,
barium enema, atau endoskopi. Uji allergen dapat dilakukan pada anak dengan usia lebih dari 2
tahun (Weiss, 2008).
Pemeriksaan foto roentgen thorak diindikasikan untuk anak dengan wheezing yang tidak
berespon terhadap bronkodilator atau wheezing yang sifatnya berulang. Foto polos dapat
mengidentifikasi kelainan kongenital, kelainan parenkim, jenis benda asing yang radioopaq, dan
kelainan jantung. Apabila hasil dari pemeriksaan foto thorak normal, namun pasien tetap
mengalami wheezing, maka disarankan untuk dilakukakn pemeriksaan bronkoskopi (Weiss,
2008).
Diagnosa
Cara
Terapi
Diagnosa
Benda Asing
Pemeriksaan
Fisik
Bronkoskopi
Bedah
Foto Thorax
Obstruksi
-Tumor
Foto Thorax
-Pembesaran KGB
Pemeriksaan
Fisik
-Displasia Bronkopulmoner
CT Scan,
Biopsi
Terapi sesuai
penyebab
Terapi sesuai
penyebab
Terapi sesuai
penyebab
Herediter
Laringotrakeobronkomalasia
Laringoskop,
fluoroskopi
-Cystic Fibrosis
Pemeriksaan
Fisik, analisa
Sweat
eleckrolit
GERD
pH,
Endoskopi
Trakeostomi
Terapi
inhalasi,
fisioterapi
Medikasi
2.
3.
Pemeriksaan
1.
2.
ekspirasi memanjang
3.
4.
hiperinflasi dada
5.
Salbutamol nebulisasi
Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara minimal 6-10 L/ menit. Alat yang
direkomendasikan adalah jet-nebulizer (kompresor udara) atau silinder oksigen. Dosis
salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi; bisa diberikan setiap 4 jam, kemudian
dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik. Bila diperlukan, yaitu pada
kasus yang berat, bisa diberikan setiap jam untuk waktu singkat.
2.
3.
Jika kedua cara tidak tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin) secara subkutan
Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin
(adrenalin) subkutan dosis 0.01 ml/kg dalam larutan 1:1 000 (dosis maksimum: 0.3 ml),
menggunakan semprit 1 ml. Jika tidak ada perbaikan setelah 20 menit, ulangi dosis dua
kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat
dan diberikan steroid dan aminofilin.
Lihat respons setelah 20 menit. Tanda adanya perbaikan:
1.
2.
minum karena distres pernapasan, tarikan dinding dada bagian bawah sangat dalam) atau
bernapas cepat, harus dirawat di rumah sakit.
BAB 2
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Identitas pasien :
Ruang perawatan
: Melati
Nama
: An. ND
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 1 tahun 17 hari
Alamat
: Muara Rawa
Anak ke
: 2 (1 Saudara tiri)
MRS
: 27 Maret 2015
Nama Ayah
: Tn.H
Umur
: 34 tahun
Alamat
: Muara Rawa
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan Terakhir
: SD
Ayah perkawinan ke
:2
Nama Ibu
: Ny.N
Umur
: 27 tahun
Alamat
: Muara Rawa
Pekerjaan
: IRT
Pendidikan Terakhir
: Swasta
Ibu perkawinan ke
:2
Keluhan Utama
Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Orang tua pasien mengatakan keluhan ini dialami sejak 1 hari SMRS dan dirasakan
semakin memberat. Keluhan ini membuat bibir pasien sempat pucat. 3 minggu sebelum keluhan
ini muncul pasien mengeluhkan batuk tapi tidak berdahak, bisa sampai muntah jika batuk, dan
ada pilek. BAB cair tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memang sering batuk dan pilek
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak tahu dan menyangkal jika ada keluhan serupa.
Bapak pasien merokok 1 bungkus per hari dan bersin-bersin jika terkena debu.
Dirumah pasien memelihara kucing.
Riwayat Kehamilan
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di
Penyakit kehamilan
: vitamin
Riwayat Kelahiran :
Lahir di
: rumah
di tolong oleh
: bidan
: 9 bulan
Jenis partus
: spontan
Pemeliharaan postnatal
Periksa di
: posyandu
Keluarga berencana
: tidak
Memakai sistem
:-
: 3500 gr
: 49 cm
Tersenyum
: 3 bulan
Miring
: 4 bulan
Tengkurap
: 6 bulan
Duduk
: 7 bulan
Merangkak
: 7 bulan
Gigi keluar
: 8 bulan
Berdiri
: 9 bulan
Berjalan
: 1 tahun
: 6 bulan
Masuk TK
:-
Masuk SD
:-
ASI
: 0 bulan
Dihentikan
:-
Alasan
:-
Susu sapi/buatan
:-
Buah
:-
Bubur susu
: 10 bulan
Tim saring
:-
Makanan padat dan lauknya serta buah : 7 bulan, bubur nasi sampai sekarang.
Riwayat Imunisasi :
Imunisasi
II
III
IV
BCG
////////
///////
///////
Polio
Campak
/////////
////////
///////
DPT
///////
Hepatitis B
///////
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal : 30 Maret 2015
Antropometri
Berat badan
: 10 kg
Panjang Badan
: 75 cm
Tanda Vital
Nadi
Frekuensi napas
:35 x/menit
Suhu aksiler
:36,6C
Keadaan Umum
Kesan sakit
: Sakit ringan
Kesadaran
: compos mentis
Status Gizi
: gizi baik
Rumus Behrman
BB ideal
Status gizi
(12+9):2= 10,5 kg
10/10,5 x 100%= 95,24% (gizi baik)
Kepala
Rambut
: hitam
Mata : cowong (-), edema pre orbita (-/-), anemis (-), ikterik (-), pupil 3 mm / 3 mm,
Reflek cahaya +/+, napas cuping hidung (-)
Hidung
Telinga
Mulut
pembesaran kelenjar
: (-)
kaku kuduk
: (-)
Leher
Kulit
Turgor kulit baik
Dada
Inspeksi
Palpasi
: gerak simetris
Perkusi
: sonor
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: cembung
Palpasi
Perkusi
: redup
Auskultasi
Ekstremitas
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 27 Maret 2015
Hasil
Nilai Normal
Darah lengkap
Leukosit
27.900
4000-10.000
Hemoglobin
10,2
11-16
Hematokrit
31,1
37-54
Trombosit
428.000
150.000-450.000
GDS
88
50-150
Na
135
135-155
4,1
3,6-5,5
Ch
105
95-108
Diagnosis Kerja
Terapi
: Bronkopneumonia
:
IGD
Prognosis
Lembar Follow-Up
: Dubia
IVFD RL 14 tpm
Ampicilin inj 2 x 250 mg
Gentamicin inj 1 x 50 mg
Tanggal
27/03/15
Perjalanan Penyakit
S: sesak (+) batuk berdahak (+)
Pengobatan
Infuse D5 NS 1000 cc/24
BB: 10 kg
jam
Inj. Cefotaxim 2x350 mg
Paracetamol 3x1 cth
Salbutamol 1 mg
Ambroxol 2 mg
CTM 1 mg
Efedrin 5 mg nebulizer
(-)
28/03/15
BB: 10 kg
Terapi lanjut
Paracetamol syr 3x1 cth jika
demam
BB: 10 kg
Terapi lanjut
BB: 10 kg
Terapi lanjut
BB: 10 kg
Terapi lanjut
- Nebulizer 3x/hari
ventolin
amp+Nacl 0.9% 2 cc
RR 35 kali/menit, T: 36,50C,
anemis (-/-), ikt (-/-), rh (+/-),
01/04/15
BB: 10 kg
Terapi lanjut
Aff O2
BB: 10 kg
Terapi lanjut
Aff infuse
Cefixim 2x25 mg
Nebulizer 4x/hari
ventolin + 2 ml Nacl 0.9%
BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An.ND usia 1 tahun 17 hari.
Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah bronkopneumonia. Diruangan diagnosis
ditambah karena ada dugaan wheezing atopi, menjadi Bronkhopneumonia + wheezing atopi.
Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.
TEORI
KASUS
ANAMNESIS
Wheezing atopi
Sesak napas
Napas mengi
Batuk
Pilek
Gejala muncul dipicu:
Aktivitas
Emosi
Debu
Bulu binatang
Perubahan suhu lingkungan/cuaca
Aerosol/aroma yang tajam
Asap rokok
Asap perapian
Infeksi saluran pernapasan
Makanan
Faktor risiko: riwayat keluarga, tingkat
sosial ekonomi rendah, etnis, daerah
perkotaan, letak geografi tempat tinggal,
memelihara anjing atau kucing dalam
rumah, terpapar asap rokok
Bronkopneumonia
Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39400C dan mungkin disertai kejang karena
demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya
tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan
mendapat batuk setelah beberapa hari, di
mana pada awalnya berupa batuk kering
Napas mengi
Batuk
satu
kucingnya.
kelambu
dengan
ekor
PEMERIKSAAN FISIK
Wheezing atopi
o Kesadaran normal atau menurun
o Takipneu atau bradipneu (pada kasus
yang mengancam nyawa)
o Takikardi atau bradikardia (pada kasus
yang mengancam nyawa)
o Penggunaan otot-otot bantu napas
o Retraksi dinding dada
o Wheezing
kan
Bronkhopneumonia :
disertai
pernafasan
cuping
mulut.
Batuk tidak dijumpai pada awal penyakit,
anak akan batuk setelah beberapa hari,
pada awalnya kering kemudian berubah
menjadi produktif
Pada inspeksi terlihat
retraksi
otot
laboratorium:
disebabkan
oleh
kelainan
asing.
o Apabila
terdapat
kecurigaan
infeksi
DIAGNOSIS
Wheezing Atopi
Umur kurang dari 2 tahun, apabila lebih dari
bermain-main
dengan
ekor
kucingnya.
(sebelum
tahun)
dan
late
onset(sesudah 3 tahun)
Penegakan
diagnosis
menggunakan
infiltrate
tahun.
pericardial kanan.
Bronkopneumonia:
Leukositosis
dan
perseubungan
di
daerah
dan
40.000/mm3
bakteri
neutrofil
15.000yang
predominan)
PENATALAKSANAAN
Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.
Salbutamol nebulisasi
Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan
aliran udara minimal 6-10 L/ menit. Alat
yang
direkomendasikan
adalah jet-
berbagai
volume
menempel
Jika spacertidak
3.
suntikan
epinefrin
(adrenalin)
secara
subkutan
Jika
kedua
cara
untuk
pemberian
0.3
ml),
menggunakan
bronkodilator.
Dosis
yang
antikolinergik
belum
dapat
perbaikan,
namun
masih
Asidosis
diatasi
dengan
pemberian
bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun
panas sebaiknya tidak diberikan pada 72
jam pertama karena akan mengaburkan
interpretasi reaksi antibiotik awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada
penderita dengan suhu tinggi, takikardi,
atau penderita kelainan jantung
c.
Pemberian
mikroorganisme
antibiotika
berdasarkan
penyebab
dan
wilayah
dengan
angka
resistensi
DAFTAR PUSTAKA
Annemie, B., Peter, M. (2006). Astma Therapy for Children Under 5 Years of Age. Medscape.
Dari http://www.medscape.com/viewarticle/520040.
Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822overview.
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace
S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T.
2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children
Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious
Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7):
617-630
Eric,
S.
C.,
et
al.
(2014)
Pediatric
Reactive
Airway
Disease.
Medscape.
Dari
http://emedicine.medscape.com/article/800119-overview.
Erwin, W. G. (2009). Pediatric Asthma. ATS Journal, 6, 278-282.
Ikatan Dokter Anak Indoneisa. 2012. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta
Laurie, B. (2009). Diagnosis of Wheezing in Infants and Children Reviewed. Medscape Medical
News. Dari http://www.medscape.org/viewarticle/573491
National Asthma Council Australia. (2012). Astma & Wheezing in The First Years of Life.
Philip, P. (2008). Wheeze in Infants and Young Children. NZFP, 35(4), 264-269.
Siregar, S. P. (2000). Faktor Atopi dan Asma Bronkial pada Anak. Sari Pediatri, 2(1), 23-28.
Weiss, L. N. (2008). The Diagnosis of Wheezing in Children. American Family Physician, 77(8),
1109-1114.
WHO. 2008. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta. Depkes RI..