Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
M. HASINUDDIN
Program Studi Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudia Husada
Madura
PENDAHULUAN
Kecerdasan anak selama ini identik dengan menanamkan pendidikan formal yang
dianggap terbaik untuk mereka. Orang tua berlomba-lomba menyekolahkan
anaknya di sekolah papan atas lengkap dengan segala fasilitasnya. Benarkah
demikian? Sebagian besar orang tua menyadari bahwa intelligence quotient (IQ)
dan emotional quotient (EQ) harus dimiliki anak secara seimbang. Selain
kecerdasan otak, kecerdasan emosi juga harus diupayakan.
Tentu dengan cara yang berbeda. Walaupun telah menyadari perlunya dua hal
tersebut, orang tua tetap saja terkesan lebih memperhatikan persoalan IQ anak,
dengan cara menyekolahkan anak di tempat terbaik dan memberikan sejumlah les
tambahan. Sebaliknya, perhatian terhadap EQ sangat kurang. Padahal, kecerdasan
emosional sangat berperan pada pembawaan anak yang kemudian berdampak
pada pergaulannya dengan lingkungan sosial.
Anak-anak yang memiliki EQ yang tinggi biasanya terlihat lebih menonjol dari
anak lainnya. Mereka lebih baik dalam mengendalikan dorongan hati,
komunikatif, tepat dalam membuat keputusan yang bijaksana, mampu
memecahkan masalah, dan tahu bagaimana bekerja sama dengan orang lain.Halhal ini akan membuatnya mendapat kebahagiaan dan kesuksesan dalam
kehidupannya kelak. Setiap orang di dunia memiliki kepribadian, karakter, dan
emosi yang berbeda. Begitu pula pada anak-anak, terutama balita (anak-anak di
bawah usia lima tahun).
Karakter anak pada usia ini sangat ditentukan oleh apa yang mereka lihat dan
mereka dengar. Semakin banyak yang mereka dengar dan lihat dalam bentuk
negatif, perkembangan emosi mereka akan semakin tidak menentu.
Ketidaksanggupan anak membedakan emosi, biasanya ditandai dengan tabiat suka
marah yang sulit dikendalikan. Banyak orang tua yang mengabaikan emosi pada
anak, baik berupa rasa sedih, marah, dan bahagia.
Bila hal ini sering dilakukan, anak akan terbiasa dengan perasaan-perasaan itu dan
akibatnya tidak mampu mengelolanya dengan baik. Ini kemudian berdampak pada
pembentukan mental dan emosionalnya. Ketidakmampuan mengelola emosi
membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Menurut psikolog anak
Seto Mulyadi, pendidikan EQ pada anak bisa dilakukan orang tua mulai usia nol
hingga sebelum lima tahun. Menurutnya, masa itu merupakan periode emas
pembentukan otak dan kepribadian anak. Pada masa itu sangat penting bagi
orang tua untuk memberikan pendidikan bagi pembentukan sel otak dan
emosional pada anak dengan tujuan membentuk kepribadiannya. Ada orang tua
yang tidak menyadari anaknya marah atau sedih dan cenderung tidak peduli,
padahal ketika itu anak sedang membutuhkan perhatian, katanya. Mengenalkan
Emosi Anak-anak dikaruniai kecerdasan yang luar biasa dan daya ingat yang tidak
terbatas. Di sinilah peran orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan
kecerdasan mereka, baik secara akademis maupun emosional.
Pada usia emas, yaitu mulai 0-4 tahun, 50 persen potensi kecerdasan anak telah
berkembang, sedangkan pada usia 4-8 tahun potensi tersebut meningkat menjadi
80-90 persen, dan puncaknya terjadi pada usia 18 tahun. Masa-masa tersebut tidak
akan terulang kembali. Oleh karena itu, proses bimbingan atau pengarahan
terhadap mereka perlu diberikan sedini mungkin.
Tidak sedikit anak yang tiba-tiba merasa senang berlebihan atau tiba-tiba berdiam
diri tanpa tahu alasan dan penyebabnya. Tingkah laku tersebut biasanya berawal
dari keinginannya untuk meniru apa yang mereka lihat, misalnya meniru
kemarahan tokoh di film kartun ataupun dalam sinetron yang kebanyakan bukan
diperuntukkan bagi mereka. Penafsiran tersebut mereka ungkapkan dalam tingkah
sehari-hari mereka. Secara garis besar, ada dua hal utama dalam kecerdasan emosi
anak, yaitu mengenali dan mengelola emosi. Langkah pertama mengajarkan
kecerdasan emosi adalah mengenalkan berbagai jenis emosi kepada anak dengan
menyebutkan jenis-jenis emosi.
Cara sederhana dalam mengajarkan kecerdasan emosi adalah dengan menanyakan
perasaannya pada saat itu. Bertanya sederhana saja, seperti Adik kenapa
cemberut aja, apa sedang kesal? Karena Ibu melarang nonton televisi, ya?
Dengan demikian, anak dipandu untuk terbiasa mengenali kondisi emosi dirinya
dan penyebab munculnya emosi itu.
Cara lain mengenalkan kecerdasan emosi kepada buah hati adalah dengan
menunjukkan berbagai gambar atau mengomentari situasi yang dapat dilakukan
dengan membacakan dongeng. Orang tua perlu berkali-kali menyebutkan situasi
emosi para tokoh dalam cerita. Selain memperkenalkan berbagai jenis emosi, pada
saat yang sama, anak juga belajar hal-hal yang menyebabkan munculnya emosi.
Pengaruh pola asuh orang tua memunyai dampak besar pada kehidupan anak di
kemudian hari.
Semua orang tua tentu memunyai tujuan yang sangat baik untuk anak-anak
mereka. Namun kebanyakan tidak memahami dampak jangka panjang akibat dari
pola asuh yang tidak tepat. Perlu juga dipahami dengan baik bahwa anak memiliki
keinginan yang sama seperti orang dewasa pada umumnya. Salah satunya adalah
keinginan untuk ditanya apa yang sebenarnya yang diinginkannya, keinginan
untuk dipahami, keinginan untuk dihargai, dan keinginan untuk dilindungi
sehingga dia merasa nyaman. Semua hal inilah yang akan membuat mereka
mampu untuk menggapai segala potensi yang ada pada dirinya, karena ketika
anak-anak merasa nyaman, prestasi pun akan semakin gemilang.
Dalam keadaan nyaman dan aman itulah, maka kedua otak kiri dan otak kanan
akan mampu bekerja sama dengan baik. Anak akan dapat memahami dengan
mudah, dapat belajar dengan mudah, dan mampu bekerja sama dengan
sesamanya. Kecerdasan intelektual tanpa diimbangi emosional sangat
mempengaruhi potensi dan masa depan anak-anak di kemudian hari
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik anak usia prasekolah yang
dilakukan di wilayah Kabupaten Bangkalan tahun 2010, didapatkan hasil : 1)
Sebanyak 23% anak usia pra sekolah masih termasuk kategori anak yang penakut;
2) Masih ada sebanyak 13% anak usia prasekolah yang cenderung pendiam; 3)
Sebanyak 23% anak usia prasekolah yang kurang inisiatif; 4) Masih ada 7%
responden yang suka melanggar norma; 5) Sebanyak 17% anak usia pra sekolah
gemar menentang; dan 6) Sebanyak 30% anak manja/kurang mandiri.
KESIMPULAN
Kecerdasan emosi sudah dilatih atau dikembangkan sejak usia dini, sesuai dengan
perkembangan jiwa anak. Karena kecerdasan emosional merupakan proses
pembelajaran yang berlangsung seumur hidup, maka kecerdaasn emosi anak dapat
dikembangkan melalui kehidupan sehari-hari.
Peran orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosi anak sangat besar.
Perkembangan emosi pada usia prasekolah didasari oleh kualitas hubungan anak
dengan keluarga. Pola asuh yang berbeda pada setiap orang tua akan
mempengaruhi kepribadian anak kelak. Serta dapat mempengaruhi kecerdasan
emosi anak.
Lingkungan juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan kecerdasan emosi anak. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa
pengaruh lingkungan dalam arti melalui interaksi anak dengan lingkungan akan
banyak membentuk kepribadian anak.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Efendi, 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung : Alfabeta
Bambang Sujiono dan Yuliani Sujiono, Menceritakan Perilaku Anak Usia Dini.
Kelompok Studi Psikolinguistik, Sastra Indonesia UNNES dan Kelompok Studi
Kesejahteraan Ibu Anak. LAB. PLS. UNNES, Pengembangan potensi Anak Usia
Dini.
Lawrence E. Shapiro, 1997. Mengajarkan Emosional Intelligence Pada Anak.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Pam Galbraith dan Rachel C. Hoyer, 2005. 7 Kecerdasan Emosional Yang
Dibutuhkan oleh Anak Anda. Batam : Gospel Press