Você está na página 1de 41

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM PENGUJIAN MATERIAL


METALOGRAFI DAN HST

DISUSUN
KELOMPOK 23 :
FADLI AKBAR S,
HARIS SETIAWAN, 1306401656
INTAN PERMATA SARI,
RADI PODA SITUMORANG,

LABORATORIUM METALOGRAFI & HST


DEPARTEMEN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
2014

DAFTAR ISI
BAB I Preparasi Sampel
i.
Persiapan Sampel Metalografi
ii.
Mounting
iii.
Grinding
iv.
Polishing
v.
Etsa

4
5
7
8

10
-

BAB II Pembuatan Foto dan Analisis Struktur Mikro

15

BAB III Pengujian Jominy

18

BAB IV Pembahasan
i. Analisis Preparasi Sampel
ii. Pengamatan Mikrostruktur
iii. Analisis Percobaan Jominy
iv. Grafik dan Hasil Perhitungan

22
25
33
34

BAB V Kesimpulan

44

BAB I
PREPARASI/PERSIAPAN SAMPEL (MOUNTING, AMPLAS,
POLES, DAN ETSA)

I.1. PERSIAPAN SAMPEL METALOGRAFI


Prosedur dasar persiapan sampel metalografi:
1. Menentuan ukuran sampel; tergantung pada sifat material dan informasi
yang akan didapat. Umumnya bervariasi antara 5-30 mm, dan ketebalan
lebih kecil dari dimensi panjang dan lebarnya.
2. Mounting sampel; umumnya dilakukan jika sampel berukuran terlalu
kecil.
3. Amplas kasar; umumnya untuk menghaluskan permukaan yang tergores
cukup dalam pada proses pemotongan.
4. Amplas halus; dilakukan dengan amplas, dengan partikel SiC. Terdapat
berbagai ukuran kertas amplas halus, yaitu antara 400-1000 mesh. Setiap
berganti ukuran amplas, sampel diputar 90 0, untuk menghilangkan
goresan pada tahap sebelumnya.
5. Poles kasar; dilakukan dengan partikel alumina atau intan, dengan besar
partikel sekitar 5 m, untuk menghilangkan goresan yang masih tersisa
dari proses amplas.
6. Poles halus; untuk menghilangkan goresan yang amat halus, dengan
menggunakan partikel poles alumina atau intan kurang dari 1 m
(biasanya 0,5 m). Hasil poles ini menunjukan permukaan yang bebas
goresan dan siap untuk dietsa.
7. Etsa; dilakukan pasa sampel yang telah dikeringkan setelah poles halus
dengan menggunakan zat kimia bersifat asam atau basa. Zat etsa akan
menyerang berbagai daerah permukaan. Karena adanya afinitas kimia
yang berbeda antara detail satu dan lainnya, serangan zat kimia akan
menyebabkan pantulan sinar yang berbeda ke lensa objektif antara detail
satu dan detail lainnya, yang menyebabkan dapat membedakan antara
fasa satu dan lainnya. Setelah proses etsa, sampel siap diamati dengan
mikroskop optik.

I.2. MOUNTING
I.2.1 Tujuan Percobaan
Percobaan bertujuan untuk menempatkan sampel pada suatu media,
untuk memudahkan penanganan sampel yang berukuran kecil dan tidak beraturan
tanpa merusak sampel.

I.2.2 Dasar Teori

Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak


beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan
pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang
berupa kawat, spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis, dll.
Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut
harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum
syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :

Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)


Sifat eksotermis rendah
Viskositas rendah
Penyusutan linier rendah
Sifat adhesi baik
Memiliki kekerasa yang sama dengan sampel
Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah, dan bentuk

ketidakteraturan yang terdapat pada sampel


Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting
harus kondukstif

Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan


jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting
menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin
( castable resin) yang dicampur dengan hardener, atau bakelit.
Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih
sederhana dibandingkan bakelit krena tidak diperlukan aplikasi panas
dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat
mekanis yang baik (lunak), sehingga kurang cocok untuk materialmaterial keras. Tenik mounting yang paling baik adalah menggunakan
thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini
berupa

bubuk

Thermosetting

yang

tersedia

mounting

dengan

membutuhkan

warna
alat

yang
khusus,

beragam.
karena

membutuhkan aplikasi tekanan ( 4200 lb/in2) dan panas ( 1490C)


pada mold saat mounting.
I.2.3 Prosedur Percobaan
I.2.3.1 Castable Mounting

1. Siapkan cetakan, dengan menutup salah satu bagian ujung dari silinder
dengan isolasi

2. Letakkan sampel pada dasar cetakan

3. Siapkan resin sebanyak 1/3 bagian cetakan


4. Campur resin dengan 15 tetes hardener
5. Tuangkan resin yang telah dicampur dengan hardener ke dalam cetekan

6. Biarkan selama 25-30 menit hingga resin mengeras


7. Keluarkan mounting dari cetakan

I.2.3.2 Compression Mounting


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Persiapkan permukaan sampel


Letakkan piston hingga naik ke bagian atas silinder
Letakkan permukaan sampel hingga menempel pada permukaan piston
Kurangi tekanan sahingga piston turun
Tuangkan bubuk bakelit ke dalam silinder secukupnya
Tutup bagian atas silinder dengan dies penutup
Pasang pemanas pada tempatnya
Tambahkan tekanan berdasarkan standar
Aktifkan pemanas
Pertahankan tekanan sesuai standar
Setelah tekanan stabil, tunggu 5 menit, kemudian lepaskan pemanas,
setelah itu pasang blok pendingin

12. Setelah dingin, turunkan tekanan hingga 1 atm, kemudian buka dies
penutup sehingga sampel bisa dikeluarkan

I.3 PENGAMPLASAN/GRINDING
I.3.1 Tujuan Percobaan

Meratakan

dan

menghaluskan

permukaan

sampel

dengan

cara

menggosokkan sampel pada kain abrasif/amplas

I.3.2 Dasar Teori


Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang terkorosi
memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan
agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan
dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir
abrasifnya dinyatakan dalam mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan
dari nomor mesh yang rendah (hingga 150 mesh) ke nomor mesh yang
tinggi (180-600 mesh). Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada
kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh
pemotongan.
Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah
pemberian air. Air berfungsi sebagai pemindah geram, memperkecil
kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat mengubah struktur mikro
sampel, dan memperpanjang usia amplas. Hal lain yang harus diperhatikan
adalah ketka melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang
baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.
I.3.3 Prosedur Percobaan
1. Potong kertas amplas (120#) membentuk lingakaran
2. Pasang kertas amplas pada mesinnya
3. Nyalakan mesin pada kecepatan rendah, kemudian tuangkan air pada
permukaan kertas amplas secara kontinyu
4. Pegang erat sampel, kemudian letakkan sampel pada permukaam kertas
amplas
5. Tambah kecepatan putaran sesuai kebutuhan
6. Ubah arah pengamplasan 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya
7. Ganti kertas amplas dengan grit yang lebih tinggi, hingga diperoleh
permukaan yang halus dan rata.

I.4 PEMOLESAN/POLISHING

I.4.1 Tujuan Percobaan

Mendapatkan permukaan sampel yang halus dan mengkilat


seperti kaca tanpa gores

I.4.2 Dasar Teori


Permukaan sampel yang akan diamati dibawah mikroskop harus
benar-benar rata. Bila permukaan sampel tidak rata, maka pengamatan
struktur mikro harus akan sulit dilakukan karena cahaya yang datang dari
mikroskop akan dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel.
Tahap pemolesan dimulai dengan dengan pemolesan pemolesan
kasar, selanjutnya dengan pemolesan halus. Ada tiga metode pemolesan,
antara lain:
1. Pemolesan Elektrolitik Kimia

Hubungan antara rapat arus dan tegangan bervariasi untuk larutan


elektrolit dan material yang berbeda dimana untuk tegangan yang
rendah, terbentuk lapisan tipis pada permukaan dan hampir tidak
ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan untuk
tegangan tinggi, terjadi proses pemolesan.
2. Pemolesan Kimia Mekanis

Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis


yang dilakukan serentak diatas piringan halus. Partikael pemoles
abrasi dicampur dengan larutan pengetsa yang umum digunakan.
3. Pemolesan Elektro Mekanis

Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis


pada piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia,
tembaga, kuningan, dan perunggu.
I.4.3 Prosedur Percobaan
1.
2.
3.
4.
5.

Pasang kain poles pada mesin poles (umumya digunakan bahan beludru)
Tuangkan sedikit alumina pada permukaan kain poles
Nyalakan mesin poles pada kecepatan rendah
Letakkan sampel pada permukaan kain poles
Lakukan pemolesan dengan memutar sampel pada porosnya secara

kontinyu dan perlahan


6. Tambahkan lagi alumina jika perlu

7. Lakukan pemolesan hingga diperoleh permukaan yang mengkilat

I.5 ETSA
I.5.1 Tujuan Percobaan

Mengamati dan mengidentifikasi detil struktur logam dengan


bantuan mikroskop optik setelah terlebih dahulu dilakukan proses
etsa pada sampel

Mengetahui perbedaan antara etsa kimia dengan elektro etsa serta


aplikasinya

Dapat melakukan preparasi sampel metalografi secara baik dan


benar

I.5.2 Dasar teori


Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir
secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan
pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan
sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan
jelas dan tajam. Untuk beberapa material, mikrostruktur baru muncul
jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk
memilih zat etsa yang tepat. Ada dua jenis etsa, yaitu etsa kimia dan
etsa elekrolitik:
1. Etsa kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia
dimana zat etsa yang digunakan memiliki karakteristik tersendiri
sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan
diamati. Contohnya yaitu sebagai berikut:
Nitrid acid/ nital : asam nitrit + alkohol 95 % (khusus untuk
baja

karbon) yang bertujuan untuk mendapatkan fasa perlit,

ferit dan ferit dari martensit.

Picral : asam picric + alcohol (khusus untuk baja) yang


bertujuan untuk mendapatkan perlit, ferit dan ferit dari
martensit.

Ferric chloride : Ferric chloride + HCl + air untuk melihat


struktur SS, austenitic nikel dan paduan tembaga.
Hydrofluoric acid : HF + air untuk mengamati struktur pada
aluminium dan paduannya.
Dalam melakukan etsa kimia ada beberapa hal yang harus
diperhatikan :
waktu etsa jangan terlalu lama (umumnya sekitar 4 30 detik),
setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan
alkohol kemudian dikeringkan dengan alat pengering.
2. Elektro etsa
Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektro etsa.
Cara ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus
listrik serta waktu pengetsaan.
Prinsip dasar etsa elektrolitik :

Prinsip reaksi reduksi dan oksidasi. Reduksi pada ktoda


dan oksidasi pada anoda. Diberikan tegangan dari luar,
cuplikan sebagai anoda dan katoda dari logam lain yang
lebih inert, misal platina atau logam lain yang lebih
elektronegatif dibanding cuplikan.

Diperlukan potensial kimia yang lebih rendah daripada


poles elektrolitik

Kecenderungan tergantung afinitas deret volta, dengan


hydrogen volta dianggap nol.

Prinsip adalah korosi dengan masing-masing elemen


struktur mikro mempunyai laju korosi yang berbeda.

Etsa jenis ini biasanya untuk stainless steel karena dengan etsa
kimia susah untuk mendapatkan detail strukturnya.
Hubungan kuat arus dan tegangan dalam etsa dapat dijelaskan pada
gambar dibawah ini, dimana kurva tersebut terbagi menjadi
beberapa daerah karakteristik.

Daerah A B : daerah proses etsa, dimana ion logam sebagai anoda larut
dalam larutan elektrolit.
Daerah B C : daerah tidak stabil,

karena permukaan

logam

merupakan gabungan dari daerah pasif dan aktif yang


disebabkan oleh perbedaan energi bebas antara butir dan
batas butir.
Daerah C D : daerah poles, terjadi kestabilan arus, meskipun
tegangan ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh stabilnya
lerutan. Meskipun pada daerah ini logam berubah menjadi
logam oksida, tetapi oleh larutan elktrolit logam itu
dilarutkan kembali.
Daerah D E : terjadi evolusi oksigen

pada anoda,

dimana

gelembung gas melekat dan menetap pada permukaan


anoda untuk waktu yang lama, sehingga menyebabkan
pitting. Dengan penambhan tegangan, rapat arus melonjak
tinggi tak terkendali
I.5.3 Metodologi Penelitian

I.3.1 Alat dan Bahan


Alat :

blower/ dryer

Cawan gelas

Pipet

Alat elektro-etsa (rectifier, amperemeter, penjepit sampel


konduktif)

Bahan :

Zat etsa : FeCl3, nital 2%, HF 0.5% dan asam oksalat


(H2C2O4) 15 g/100 ml air)

Air, alkohol, tissue.

I.3.2 Flowchart Proses


Etsa Kimia

Membersihkan sampel
+ zat etsa

Pengetsaan

+ alkohol

Pembersihan sampel

Pengeringan (dengan
blower)

Mengelap dengan tissue

Etsa Elektrolitik

Penyusunan alat dan bahan

Penentuan daerah etsa

Pengaturan besarnya arus

Bilas dengan air dan HNO3

Keringkan dengan hair dryer

BAB II
PEMBUATAN FOTO DAN ANALISA STRUKTUR MIKRO
1. Tujuan Percobaan

Mempelajari dan mengidentifikasi struktur mikro logam

dengan bantuan mikroskop optik.


Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur.

2 Dasar Teori
Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelaj karakteristik
mikrostruktur suatu logam, paduan logam, dan material lainnya serta
hubungannya dengan sifat-sifat material tersebut dengan bantuan alat seperti,
mikroskop optik, mikroskop elektron, dan difraksi sinar X. Pengamatan
metalografi dengan mikroskop umumnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Metalografi Makro, yaitu pengamatan struktur dengan pembesaran 10100 kali.


Metalografi Mikro, yaitu pengamatan struktur dengan pembesaran diatas
100 kali.

3. Metodologi Percobaan
3.1 Alat dan Bahan

Sampel percobaan
Mikroskop optik dan mikroskop elektron
Kamera Olympus BHM 12 yang dilengkapi alat foto
otomatis.

3.2 Prosedur Indentifikasi dan Foto Mikrostruktur

Letakan Sampel pada preparat

Berikan lilin pada


bagian bawah sampel

Ratakan letak sampel


dengan alat penekan
sampel
Letakan sampel di atas meja
mikroskop optik
Nyalakan lampu mikroskop tapi
jangan terlalu tinggi
Tentukan pembesaran dengan pembesaran kecil terlebih dahulu

Tentukan pembesaran yang diinginkan


dengan mengatur lensa objektif

Atur fokus dengan menaik-turunkan


Amati mikrostruktur yang ada dan gambar
pada lembar data

Setelah selesai ambil kembali sampel dari


meja objektif dan matikan lampu mikroskop

3.3. Pengambilan Foto Mikro

Pengambilan foto dilakukan dengan melakukan sampel di


bawah lensa objektif mikroskop kamera
Tentukan fokusnya

Tentukan diagfragma dan pencahayaan

Setelah selesai, pengambilan foto dapat dilakukan

3.4. Penghitungan Besar Butir

Tentukan metode yang dipilih


Gunakan foto dengan pembesaran 100x
Siapkan Tabel yang dibutuhkan
Hitung besar butir sesuai rumus

Isi lembar data

BAB III
PENGUJIAN JOMINY
3.1 Tujuan Percobaan
Percobaan Jominy untuk mengetahui :
Mendapatkan hubungan antara jarak permukaan dengan pendinginan
langsung dengan kekerasan bahan.
Mendapatkan hubungan antara kecepatan pendinginan dengan fasa
yang terbantuk serta mendapatkan sifat kekerasan dari fasa tersebut.
3.2 Dasar Teori
Dalam aplikasi teknik, dapat dijumpai logam mengalami panas yang
tinggi lalu dibiarkan mendingin. Kejadian ini secara metalurgi dapat
mengubah struktur mikro logam dan demikian sifat-sifat mekanisnya pun
berubah. Proses kombinasi pemanasan dan pendinginan yang bertujuan

mengubah struktur mikro dan sifat mekanis logam di sebut perlakuan panas
(heat treatment). Logam yang didinginkan dengan kecepatan berbeda-beda
misalnya dngan media celup air, udara atau minyakakan mengalami
perubahan struktur mikro yang berbeda-beda. Setiap struktur mikro seperti
martensit, bainit, ferrit, dan pearlit merupakan hasil tranformasi fasa dari fasa
austenit. Masing- masing fasa tersebut terjadi dengan kondisi pendinginan
yang berbeda-beda dimana hal ini untuk baja dapat dilihat dari diagram
continuos cooling transformation ( CCT ) dan time temperature
transformation ( TTT ) diagram. Masing-masing fasa diatas mempunyai nilai
kekerasan yang berbeda-beda.dengan pengujian jominy maka dapat diketahui
laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan distribusi kekerasan.

Distribusi kekerasan yang disebabkan perlakuan panas. Kekerasan suatu


logam tergantung pada susunan kimia dan perlakuan panas yang diberikan kepada
logam tersebut. Proses perlakuan panas yang disebut pencelupan (quenching )
memegang peranan penting dalam proses pengerasan logam. Logam yang
didinginkan dengan cepat menghasilkan struktur yang berbeda dengan logam
yang didinginkan secara lambat, pendinginann yang cepat akan menghasilkan
struktur martensit yang keras, sedangkan pendinginan yang lambat akan
menghasilkan struktur-struktur :
1. Bainit bawah
Struktur seperti jarum mirip martensit
2. Bainit atas
Struktur seperti perlit dengan sifat lapisan yang tidak jelas.
3. Perlit halus
Struktur perlit halus dengsn lapisan ferrit dan cementit

4. Perlit kasar
Kekerasan dari martensit sampai perlit makin menurun.
Makin lama laju pendinginan logam tersebut, makin banyak maktriks pearlit
yang ditampilkan dan makin menurun kekerasan logam atau baja tersebut. Ada
dua faktor yang dapat mengubah posisi grafik, yaitu komposis kimia dan ukuran
butir austenit yang dicapai. Dengan beberapa pengecualian, penambahan kadar
karbon pada paduan material ataupun penambahan ukuran butir autenit, akan
menyebabkan grafik bergeser kekanan sehingga memidahkan pembentukkan
struktur martensit. Pergeseran grafik kekenan juga menggambarkan sifat
kemampu-kerasan logam.
3.3 Metodologi Penelitian
1. Alat dan Bahan
a. Batang baja
b. Oven muffle
c. Kran air
d. Amplas
e. Alat penguji kekerasan brinell
f. Mikroskop pengukur jejak
III.3.2 Flowchart Proses Percobaan
Siapkan batang jominy, amplas salah satu sisi batang untuk
penjejakan

Panaskan batang jominy pada 350oC selama 15 menit dan


temperatur autenisasi 900oC selama 30 menit

Kemudian keluarkan dengan cepat. Letakkan pada alat jominy,


dimana ujung bawah logam disemprotkan air sampai dingin

Bersihkan bagian untuk penjejakan dengan amplas

Lakukan penjejakan brinnel pada 15 titik yang berjarak sama

Ukur besar diameter jejak yang didapat

BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Preparasi Sampel
IV.1. 1 Hasil Mounting
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, proses mounting bertujuan agar
benda yang akan diamati berukuran terlalu kecil dan tak beraturan sehingga
dengan mudah diamati. Sebelum dimounting material dpotong dahulu,
pemotongan dilakukan dengan low-speed diamond saw, setelah dipotong material
diletakkan di bagian bawah cetakan dan dilapisi lakban lalu ditambah resin yang
telah dicampur hardeness kira-kira 15 tetes lalu diamkan hingga mongering, yang
penting dari proses mounting ini adalah pemasangan isolasi dan peletakan cetakan
mounting pada permukaan yang datar agar permukaan bawah mounting yang rata.
Ketika proses mounting dilakukan, sering terjadi kecacatan, yakni sebagai
berikut.
1. Discoloration

Discoloration adalah cacat dimana hasil mounting tidak menampakkan warna yang
seharusnya dimana warna hasil mounting seharusnya berwarna bening tetapi pada cacat
ini hasil mounting berwarna kekuning-kuningan, hal ini terjadi karena resin yang
digunakan telah terlalu lama dan teroksidasi,.
2. Bubbles
Bubbles adalah gas-gas yang terperangkap didalam hasil cetakan mounting,
bubbles bias diakibatkan akibat terlalu cepatnya pengadukan sehingga udara jadi
terperangkap di dalam resin. Dengan melakukan pengadukan secara perlahan saat
percampuran antara hardener dan resin, cacat ini bisa dihindari.

c. Tacky tops
Cacat jenis ini terjadi saat tidak ratanya permukaan hasil mounting karena
tidak seimbangnya campuran antara resin dan hardener, serta tidak sempurnanya
pencampuran antara kedua bahan tersebut,. Tacky tops dapat dihindari dengan
menyeimbangkan campuran antara resin dan hardener, dan melakukan
pencamuran antara resin dan hardener dengan sempuna. Adapun parameter dalam
proses mounting adalah hardener, ketebalan resin, dan waktu pengeringan.
IV.1.2 Hasil Grinding/Pengamplasan

Foto material sebelum diamplas FeC, AlSi, dan CuSn


Pada proses ini bertujuan untuk menghaluskan permukaan material yang
akan diuji. Grinding/pengamplasan dimulai dengan mengamplas material dengan
menggunakan amplas yang kasar, yaitu pada grit 400 yang dilanjutkan dengan
amplas yang sudah agak halus, yaitu pada grit 600, 800 dan kemudian dengan
amplas yang halus, yaitu pada grit 1200.
Pada proses pengamplasan diawali dengan menggunting kertas amplas
membentuk lingkaran. Setelah kertas amplas di pasang pada mesin pengamplas,
kemudian sampel diletakkan bersentuhan langsung pada kertas amplas. Sampel

ditekan dengan gerakan searah. Hal yang perlu diperhatikan dari proses
pengamplasan ini adalah penggunaan air guna mendinginkan sampel dan
mengalirkan geram logam yang terkikis, karena pada prosesnya sampel menjadi
panas akibat gesekan dengan kertas amplas dan mengeluarkan geram yang dapat
merusak struktur mikro.
Selain itu, perubahan arah pengamplasan setelah pergantian amplas ke
amplas yang lebih halus sehingga arah amplasan mengikis arah amplasan pada
mesh sebelumnya. Cacat yang terjadi pada pengamplasan adalah tidak ratanya
permukaan sampel, bisa dikarenakan karena tidak ratanya penekanan sampel pada
kertas ampas.
Selama pengamplasan antara permukaan sampel dan kertas amplas terjadi
gesekan yang memungkinkan terjadinya kenaikan suhu yang dapat mempengaruhi
mikrostruktur sampel sehingga diperlukan pendinginan dengan cara mengaliri air.

Air berfungsi agar sisa-sisa amplas berada pada tepi kertas amplas sehingga
memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur
mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Apabila ingin
mengganti arah pengamplasan, sampel diusahakan berada pada kedudukan tegak
lurus terhadap arah mula-mula. Pengamplasan selesai apabila tidak teramati lagi
adanya goresan-goresan pada perm ukaan sampel.

Gambar Material Setelah Diamplas dan Proses Pengamplasan

Jika sudah terlihat garis-garis satu arah, maka amplas diganti dengan amplas
yang agak halus, dengan mengganti sudut pengamplasan sebesar 90 atau 45. Jika
sudah terlihat garis satu arah yang berbeda dengan yang pertama, kemudian
menggunakan amplas halus, dengan perubahan sudut amplas sebesar 90 atau 45.
Setelah selesai maka material akan terlihat halus.
IV.1.3 Hasil Pemolesan
Proses pemolesan dilakukan setelah proses pengamplasan. Pemolesan
dilakukan untuk lebih menghaluskan permukaan dari material tersebut. Alat
pemoles ferrous dan non ferrous harus dibedakan karena sifat dan kekerasannya
berbeda. Pemolesan dilakukan dengan menggunakan autosol serta dengan cairan
alumina.
Pemolesan dimulai dengan menyalakan mesin poles pada kecepatan sedang.
Bagian permukaan sampel yang akan diuji ditekan ke mesin poles sambil dialiri
air. Sampel digerakkan secara radial dengan bagian permukaan sampel yang telah
dipoles harus dilihat secara berkala. Berikutnya dilakukan pemolesan halus
dengan cara yang sama seperti di atas tetapi dengan mengganti air dengan autosol.
Dalam melakukan pemolesan bahan yang akan dipoles dipegang dengan
kuat agar tidak terjadi cacat. Oleh karena itu, melakukan proses ini harus dengan
hati-hati. Karena jika kurang kuat dalam memegang bahan yang akan dipoles akan
lepas dari genggaman tangan dan dapat membentur mesin pemoles sehingga akan
terjadi goresan bahkan jika sampel yang sudah dimounting terlempar keluar mesin
pemoles maka akan mudah pecah.
Oleh karena itu, pada proses pemolesan dengan menggesekkan seluruh
permukaan bahan yang berlawanan arah secara radial selain bertujuan untuk
menghaluskan permukaan, tetapi juga untuk mengkilatkan material tersebut. Jika
sampel sudah terlihat rata, mengkilap serta sudah tidak ada goresan maka sampel
siap untuk dietsa.
IV.1.3 Hasil Etsa
Proses terakhir adalah pengetsaan. Pada proses ini material/logam yang diuji
dimasukkan ke dalam alkohol untuk dinetralkan agar tidak terjadi hangus. Setelah

itu, logam tersebut dimasukkan ke dalam cairan tertentu sesuai dengan sifat
logamnya. Dalam proses ini harus berhati-hati. Jika gagal dalam melakukan
proses etsa maka logam yang akan diamati tidak terlihat dengan jelas.
Sebelum melakukan proses etsa, bahan yang akan dietsa dibersihkan dengan
mengikis daerah yang akan dietsa. Dengan membersihkan daerah yang akan dietsa
sehingga dapat diamati dengan jelas pada mikroskop optik. Sampel yang akan
dietsa haruslah bersih dan kering. Selama proses etsa, permukaan sampel
diusahakan harus selalu terendam dalam etsa. Waktu etsa harus diperkirakan
sedemikian sehingga permukaan sampel yang dietsa tidak menjadi gosong karena
pengikisan yang terlalu lama. Oleh karena itu, sebelum dietsa sampel sebaiknya
diolesi alkohol untuk memperlambat reaksi.
Pada pengetsaan masing-masing zat etsa yang digunakan memiliki
karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang
akan diamati. Zat etsa yang umum digunakan untuk baja ialah nital dan picral.
Setelah reaksi etsa selesai, zat etsa dihilangkan dengan cara mencelupkan sampel
ke dalam aliran air panas. Seandainya tidak memungkinkan dapat digunakan air
bersuhu ruang dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan alat pengering.
Permukaan sampel yang telah dietsa tidak boleh disentuh untuk mencegah
permukaan menjadi kusam. Setelah dietsa, sampel siap untuk diperiksa di bawah
mikroskop. Berikut tabel proses etsa akan dijelaskan sebagai berikut.
Reagen Etsa
Nitrid Acid ( Nital)
Picric Acid (Picral)
Ferric Chloride
Hydrochloric Acid
Ammonium Hydroxide
Hydrogen Peroxide
Hydrofluoric Acid

Material
Baja karbon
1.Semua Jenis Baja Karbon:
2.Low alloy steel
1. Stainless Steel
2. Austenitic Nickel

Waktu etsa
5-10 detik
Beberapa detik
hingga 1 menit
10-15 detik

3. Paduan Tembaga
Tembaga dan paduannya
Aluminium dan paduannya

IV.2 Pengamatan Mikrostruktur


IV.2.1. Hasil Foto Sampel
Hasil Pengamatan Mikrostruktur

Kurang lebih
1menit
< 5 detik

Sampel 1

PEMBAHASAN :

Keterangan

: Medium Carbon Steel

Perbesaran

: 500x

Etsa

: Nital 2%

Keterangan

: Medium Carbon Steel

Perbesaran

: 500x

Etsa

: Nital 2%

Medium carbon steel mengandung kadar C sebanyak 0,25 wt% - 0,6 wt%.
Paduan ini dapat dipanaskan pada temperatur austenisasi, di-quenching, dan
ditemper untuk meningkatkan sifat mekaniknya. Medium carbon steel biasanya
digunakan setelah dilakukannya proses temper, dan mempunyai struktur tempered
martensite. Karena plain medium-carbon steel memiliki hardenability yang rendah
dan dapat ditingkatkan dengan proses perlakuan panas pada bagian kecil dan tipis
dan dengan laju pendinginan yang sangat cepat.
Karena baja merupakan hiypoeutektoid, maka jika dipanaskan hingga
temperatur austenisasi lalu dilakukan slow cooling, maka fasa akhir yang
terbentuk adalah ferrite + perlite. Dari literature yang telah disebutkan diatas,
kejadian yang sama juga terjadi pada sample medium carbon steel praktikan yang
diamati dibawah mikroskop, pada foto sample terlihat butir-butir ferrite yang
besar-besar dengan perbesaran 500x dan terdapat juga butir fasa lain yaitu perlit.
Baja tuang kelabu merupakan baja karbon yang mempunyai kandungan karbon 2
sampai 4 % karbon. I sampai 3 % silikon dan sedikit mangan.
Komposisi utamanya selain Fe adalah karbon dan silikon. Banyaknya karon
yang dikandung besi tuang kelabu akan meningkatkan Fe3C,
Secara umum properties dari besi tuang kelabu adalah

Biaya produksinya lebih murah dari iron yang lain

Mudah di casting

Mempunyai temperature melting yang paling rendah dari ferrous yang lain

Excellent Bearing Properties


Grafit seakan akan bertindak sebagai lubrication. Dan banyak digunakan

untuk hydraulic piston

Excellent Machinability

Tahan terhadap aus

Excellent dumping properties

Sifat Mekanis Paduan Besi Tuang Kelabu

Kekuatan Tarik

: 35 kgf/mm2

Elongation (%)

: 0,3 1,2

Kekerasannya(BHN)

: 130-270 BHN

Kekuatan tekan

: 3-5 x kekuatan tarikny

Berat Jenis

: 7,1-7,3

Wear Resistance

: Good

Diagram Fasa

Foto yang kami ambil dari sample medium carbon ini, masih terlihat garisgaris gerusan amplas yang tidak hilang. Walaupun sample telah dipoles dengan
alumina. Hal ini karena goresan amplas sangatlah dalam, ini terjadi karena saat
praktikum, proses grinding yang kami lakukan dengan menggunakan kertas
amplas SiC dengan grit 400, 600, 1200, 1500. oleh sebab itu goresan hasil amplas
grit 600 tidak hilang karena kami melewatkan pengamplasan grit 800. dan goresan
ini tidak hilang dengan pengamplasan pada grit 1200.
Hasil pengambilan foto sample terlihat bahwa foto agak gelap, hal ini
dimungkinkan karena pencahayaan yang kurang, ataupun karena diafragma dari
kamera kurang terbuka sehingga menghambat masuknya sinar datang. Atau
gelapnya hasil foto disebabkan oleh kondisi sample yang over etsa.
Aplikasi dari medium carbon steel adalah untuk roda dan rel kereta api,
gears, crankshaft dan bagian mesin lainnya dan struktur yang membutuhkan

kekuatan tinggi, ketangguhan yang baik, dan ketahanan terhadap keausan yang
baik
Sampel 2

Keterangan
Perbesaran
Etsa

: BTK
: 500x
: Nital 2%

Foto literatur
Keterangan : BTK
Perbesaran : 500 X
Etsa
: Nital

Pembahasan :
Diagram fasa untuk BTK adalah diagram fasa Fe3C . Berdasarkan diagram
fasa, dapat diketahui batas kadar C antara baja dengan besi tuang adalah 2 % wt.
Kadar C > 2 % termasuk dalam besi tuang, dan batas maksimum kadar C adalah

4,3 % karena pada batas ini fasa ledeburite mulai dominan terbentuk, sedangkan
dalam BTK tidak ada fasa ledeburite.
Grey Cast iron mempunyai graphite dalam bentuk flakes grafit berwarna
hitam dengan orientasi sembarang. Keseluruhan ciri tersebut menunjukkan
keadaan hipereutektik. Fasa-fasa yang terbentuk adalah pearlit dan cementit
(dan/atau ferit) dengan flake-flake grafit. Hal itu

yang bisa menyebabkan

discontinuities pada matrix structure, hal ini mengakibatkan

relatively low

strength dan very little ductility.


Fasa fasa dari besi tuang kelabu:

The required graphite shape and distribution

The carbide-free (chill-free) structure

The required matrix

Hal hal yang mempengaruhi bagus tidaknya hasil foto:

Proses pengamplasan. Kalau pengamplasan tidak meninggalkan goresan dan


tidak membentuk bidang maka akan lebih mudah diamati. Sampel diatas
tidak terlihat adanya goresan

Pengetsaan, lamanya pencelupan juga mempengaruhi permukaan yang akan


diamat, ada kemungkinan hangus kalau pencelupan terlalu lama. Pengetsaan
bertujuan agar mudah melihat struktur mikro. Gambar diatas struktur
mikronya sudah lumayan jelas.

Pencayahaan yang digunakan secara vertical, sehingga dapat benar benar


melihat permukaan sampel jelas.

Focus juga sangat mempengaruhi baik buruknya hasul foto. Jadi focus harus
benar benar didapatkan.

Pemilihan tempat yang optimum untuk difoto khusus untuk sampel yang
berbidang.

Aplikasi
Oleh karena kemampuannya yang baik dalam meredam getaran, maka
aplikasi BTK adalah sebagai bahan alat-alat yang memerlukan kemampuan

meredam getaran, misalnya komponen-komponen kendaraan bermotor; blok


silinder, tutup silinder, rumah engkol, tromol rem, dan lain-lain. Mesin perkakas
seperti bed, meja, pegangan, mesin cetak. Mayoritas dipakai di industri untuk
produk-produk cor. dll
Sampel 3

II.

4. PERCOBAAN JOMINY

Percobaan jominy bertujuan untuk mengukur hardenability logam melalui


perlakuan panas sehingga didapat informasi mengenai distribusi kekerasan.
Hardenability adalah ukuran kualitas dari suatu material untuk dapat dikeraskan,
dalam hal ini adalah kemampuannya untuk dapat membentuk fasa martensit
minimal 50 % atau kekerasannya minimal 55 HRC dari material tersebut.
Dalam pengujian Jominy akan didapatkan hubungan kekerasan suatu bahan
dengan jarak dari permukaan pendinginan dan dengan kecepatan pendinginannya,
dalam hal ini dianggap kecepatan pendinginan air adalah tak terhingga. Metode
perlakuan panas yang dilakukan dalam praktikum ini adalah end quench. End
Quenching adalah metode di mana bagian bawah dari sampel langsung
bersentuhan dengan media pendingin. Pada praktikum ini media pendingin yang
digunakan adalah air. Air disemprotkan pada bagian bawah sampel sehingga
sampel yang mengalami pendinginan paling cepat adalah bagian yang paling
dekat dengan media pendingin / bersentuhan langsung, yaitu bagian bawah
sampel. Bagian sampel yang mengalami pendinginan paling lambat adalah bagian
yang paling jauh dari media pendingin, yaitu bagian atas sampel.
Pada percobaan kali ini, yaitu percobaan Jominy, kita akan mendapatkan
nilai kekerasan (BHN) dari suatu material yaitu Baja. Prinsip kerja dari percobaan
jominy adalah dengan memanaskan baja yang berbentuk lonjong pada
temperature yang tinggi dan dipanaskan selama kurang lebih 30 menit. Setelah
dipanaskan, kemudian beja tersebut didinginkan dengan suatu cara, yaitu dengan
menyemburkan air langsung dari bawah batang baja lonjong tersebut selama
kurang lebih 30 menit juga. Lalu kemudian batang tersebut diamplas agar batang
baja tersebut bersih dari kotoran-kotoran baja.
Setelah baja selesai didinginkan, dan diamplas, kemudian baja dilakukan
percobaan seperti pada prinsip kerja percobaan kekerasan brinell, yaitu dengan
cara memberikan beban pada baja dengan menggunakan bola baja yang
berindentasi 3.15mm. dan pengindentasian baja tersebut dilakukan dengan jarak
yang konstan sampai 15 kali.

Kemudian setelah baja di indentasi, baja tersebut kemudian di lihat pada


mikroskop, untuk melihat besarnya diameter yang diberikan pada baja tersebut.
Dari grafik yang didapat, maka bias dilihat bahwa semakin dekat jarak
dengan ujung yang diquenching maka, kekerasan logam tersebut akan semakin
keras.

IV.4.1. Grafik dan Hasil Perhitungan


a. Grafik
Grafik berikut ini ialah grafik yang didapat dari hasil pengujian kekerasan
terhadap batang Jominy yang telah diaustenisasi (T = 9100 C) kemudian di
dinginkan secara cepat (quenching) seperti yang terlihat pada gambar sebelumnya

Ket.

Sb x : jarak
Sb y : nilai BHN

b. Hasil Perhitungan
b.1. Tabel Perhitungan
Kemudian berikut ini ialah tabel data kekerasan Brinell tiap titik indentasi, mulai
dari titik terdekat dengan end quench hingga yang terjauh (yang diukur
menggunakan mikroskop ukur).

IV.

Hasil dan Pembahasan


S(mm)
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75

Dx(mm)
0,485
0,545
0,498
0,516
0,591
0,572
0,435
0,571
0,584
0,553
0,654
0,758
0,639
0,688
0,682

Dy(mm)
0,805
0,925
0,961
0,987
1,004
1,028
1,060
1,125
1,111
1,065
1,016
1,040
1,070
1,089
1,131

Davg(mm)
0,645
0,735
0,7295
0,7515
0,7975
0,800
0,7475
0,848
0,847
0,809
0,835
0,899
0,8545
0,8885
0,9065

BHN
567,762
435,814
442,504
416,618
369,247
366,904
421,155
325,858
326,642
358,648
336,278
289,245
320,815
296,271
284,375

Foto mikrosturktur percobaan Jominy :

Jominy A. Foto sampel jominy bagian


atas yang tidak terkena semburan air.
Ini ada pada fasa pearlite dan ferlite.

Jominy B. Foto sampel jominy bagian


bawah yang terkena semburan air. Ini
ada pada fasa martensite.

Pada tabel tersebut terlihat, secara umum, bahwa diameter indentasi pada
sumbu absis, tidak sama dengan diameter indentasi pada sumbu ordinat. Dan
secara lebih spesifik lagi, terlihat bahwa diameter pada sumbu absis lebih besar
dibanding sumbu ordinat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena pada
pembentukan batang uji yang terbuat dari rod, baja tersebut telah mengalami
proses forming berupa drawing. Akibatnya maka butir pada baja tersebut akan
cenderung memanjang searah sumbu absis, sehingga akibatnya panjang daerah
untuk pergerakan dislokasi (ingat indentasi termasuk deformasi plastis yang
dicirikan oleh adanya pegerakan dislokasi) pun berbeda antara sumbu absis akan
lebih besar dibanding pergerakan pada sumbu ordinat (ingat pergerakan dislokasi
dibatasi oleh batas butir). Akibatnya, karena pergerakan dislokasi akan lebih
mudah pada sumbu absis, maka seolah-olah sumbu absis terlihat lebih lunak
dibanding sumbu ordinat.
Dalam ilmu metalurgi fisik, hal ini disebut mekanisme penguatan strain
hardening (penguatan akibat perngerjaan dingin drawing/forming) dan grain
boundary strengthening (penguatan akibat adanya batas butir). Sehingga
deformasi plastis pada sumbu absis akan lebih besar dibanding sumbu ordinat atau
dengan kata lain diameter indentasi yang terjadi pada sumbu absis akan lebih
besar dibanding sumbu ordinat.
Selisih diameter tidak selalu sama karena mengingat pada batang uji ini
kekerasan tiap titiknya berbeda (akibat mekanisme pengerasan quenching),
karenanya perbedaan diameter tersebut tidak dapat dibandingkan satu dengan
yang lainnya. Namun untuk meyakinkan semua asumsi ini perlu adanya suatu
penelaaahan lebih lanjut dengan metode pengujian lainnya (contohnya pengujian
tarik terhadap kedua sumbu berbeda atau pengamatan butir/struktur mikro dari
batang uji atau bahkan pengukuran diameter indentor), sebab mungkin juga
perbedaan ini semua disebabkan oleh karena indentor yang memang tidak
berbentuk bulat sempurna (sesuai indentor standar Brinell).

Kemudian jika memang indentor ini tidak bulat sempurna, apakah ini berarti
bahwa alat uji Brinell yang digunakan tidak lagi sesuai standar dan tidak lagi
dapat digunakan? Secara teoritis, sebenarnya bisa saja. Sebab yang digunakan
dalam dasar perhitungan kekerasan oleh standar Brinell bukanlah bentuk bola
indentor, melainkan permukaan dan tembereng indentasi yang terbentuk.
Maksudnya selama bentuk tembereng indentasi yang terbentuk masih bulat dan
memiliki diameter d, indentasi tersebut masih dapat digunakan dan
disubstitusikan kedalam rumus perhitungan BHN. Sehingga sebaliknya, jika
indentasi yang terbentuk tidak lagi bulat, maka indentor tidak dapat digunakan
lagi atau perlu diganti.
IV.4.2. Contoh Perhitungan

Beban P = 187.5 kg;

Waktu t = 15 detik (minimal)

Diameter indentor, D = 3.15 mm.

Perhitungan nilai kekerasan Brinell

Rumus umum:

Salah satu contoh perhitungan untuk No. 2, diameter indentasi, d = 1.6 mm

IV.4.3. Pembahasan Grafik


Prinsip pengujian Jominy ialah pengukuran kekerasan pada berbagai titik
pada batang uji jominy untuk mengetahui kemampukerasan (kemampuan

membentuk fasa keras martensit) suatu material. Mempersiapkan batang uji yang
berbentuk silider dengan kepala sebagai penahannya dengan ukuran tinggi silinder
4 in, diameter batng 1 in (bahan kuliah HST). Batang dipanaskan /preheating
selama 15 menit pada temperatur 3500 C, tujuan dari preheating ini adalah untuk
homogenisasi temperatur pada batang uji dan mempermudah kenaikan suhu
hingga temperatur austenisasi. Setelah itu dilakukan pemanasan hingga temperatur
ausenisasi 9100 C selama 30 menit. Lakukan pendinginan pada batang uji dengan
menyemprot batang dari bawah permukaan batang dengan air, jarak antara selang
penyemprot dengan permukaan bawah batang adalah 0,5 in. Ukur kekerasan
batang pada jarak-jarak tertentu dari permukaan. Untuk mengukur kekerasan dari
batang uji terlebih dahulu bersihkan batang uji yang akan diukur kekerasannya
dengan cara mengamplas.
Pengamplasan ini berfungsi untuk mengikis permukaan batang dari lapisan
kerak yang terbentuk pada batang. Lakukan penjejakkan pada batang, lalu ukur
diameter penjejakan dibawah measuring microscope. Pengukuran kekerasan
dilakukan dengan metode brinnel.
Hal ini dapat didasarkan pada diagram CCT yang menunjukan bahwa laju
pendinginan yang berbeda akan menghasilkan kekerasan bahan yang berbeda.
Temperatur austenisasi dimaksudkan untuk mengubah fasa yang dimiliki sampel
menjadi fasa austenit agar dapat ditransformasi, yang menjadi dasar daripada
proses quenching.Sebelum dikeluarkan sampel tetap didiamkan didalam dapur
untuk beberapa menit untuk lebih memastikan temperatur austenisasi tercapai.
Kemudian sampel dikeluarkan dari dapur dan dibawa ke alat bangku jominy
dengan penjepit yang kemudian sampel dimasukan kedalam lubang alat bangku
jominy dan segera dialiri/disemprotkan air sebagai media pendingin dari bagian
bawah sampel sehingga terjadi pendinginan secara bertahap yang dimulai dari
bagian bawah sampel kebagian atas sampel.
Pendinginan yang bertahap ini dimaksudkan untuk mendapatkan fasa
daripada sampel yang berbeda-beda, yang ditujukan untuk mendapatkan
kekerasan yang berbeda-beda daripada bagian sampel yang disebabkan struktur
yang berbeda. Setelah sampel dingin, kemudian dilanjutkan dengan pembersihan
sampel daripada scale yang melekat, dipermukaan sampel dan dilanjutkan dengan

pengamplasan pada salah satu bagian sampel untuk meratakan permukaan yang
nantinya akan digunakan sebagai daerah penjejakan. Setelah itu, sampel kemudian
diukur dengan alat penjejak yang memiliki diameter penjejak 3 mm. Penjejakan
dilakukan 15 kali dengan jarak antar penjejakan 1 cm. Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan kekerasan yang bervariasi pada sampel.
Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa kekerasan semakin menurun dengan
semakin jauhnya jarak dari ujung yang di Quench. Dalam hal ini kekerasan dapat
dilihat dari nilai BHN yang semakin kecil. Hal ini dikarenakan semakin jauh jarak
nya maka kecepatan penurunan temperatur semakin lambat sehingga struktur
martensite yang terbentuk semakin sedikit sehingga kekerasannya menurun.
Untuk mendapatkan kekerasan yang maksimum maka martensite yang terbentuk
harus 100% semakin jauh dari ujung yang di quench martensite yang terbentuk
semakin sedikit (<100%) dan terbentuk fasa fasa lainseperti bainite atau pearlite
yang tidak sekeras martensite.
Dari grafik diatas dapat dilihat secara umum bahwa seiring dengan
bertambahnya jarak dari end quench (awal pendinginan cepat oleh air), maka
kekerasan dari batang jominy akan menurun. Atau dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa semakin lambat proses pendinginan material, maka tingkat
kekerasan material tersebut akan menurun. Hal ini berkaitan dengan kecepatan
pembentukan struktur keras martensit yang dalam skala atomik digambarkan
sebagai kecepatan difusi atom karbon dalam baja. Seperti yang kita ketahui secara
umum, semakin cepat waktu pendinginan, maka kesempatan atom karbon untuk
berdifusi akan semakin kecil, akibatnya atom karbon tersebut akan terperangkap
dalam kisi BCT martensit dan membuat strutur yang keras. Dan sebaliknya
semakin lambat pendinginan, maka atom karbon semakin mudah berdifusi,
sehingga yang terbentuk bukan lagi BCT melainkan BCC pealit. Melalui grafik
jominy test dapat diketahui kemamoukerasan suatu material baja. Apabila
perbedaan kekerasan antara ujung yang di quench dan titik paling jauh sedikit
maka kemempukerasan (hardenability) baja tersebut baik.

Less Martensite

Gambar literatur pengujian Jominy


Jika dibandingkan dengan grafik distribusi kekerasan batang Jominy yang
terdapat di literatur, terlihat bahwa grafik hasil percobaan cukup sesuai dengan
grafik yang terdapat di literatur. Sebab pada prinsipnya, kedua grafik tersebut
menggambarkan profil kekerasan yang semakin menurun seiring dengan
bertambahnya jarak dari titik end quench. Namun pada grafik hasil percobaan
tersebut terdapat beberapa titik yang menunjukan penyimpangan yang cukup jauh
dari profil penurunan kekerasan tersebut. Praktikan menyadari bahwa hal ini
disebabkan oleh kecerobohan praktikan dalam melakukan pengujian ini. Beberapa
kemungkinan yang dapat menyebabkan penyimpangan- penyimpangan ini, antara
lain:
1. Proses pendinginan yang kurang berjalan dengan baik sehingga proses
pembentukan fasa-fasa yang seharusnya tidak dapat terjadi sehingga nilai
kekerasan yang didapatkan tidak representatif.
2. Selain itu juga mungkin hal ini disebabkan oleh karena tekanan air yang
digunakan kurang besar dan tidak sesuai standar, sehingga mungkin saja
air yang sebelumnya telah bersentuhan dengan batang uji, kembali ikut

terdorong mengenai batang uji, oleh karena tekanan yang kurang kuat.
Akibatnya, temperatur air yang digunakan untuk pendinginan cepat tidak
lagi cukup dingin untuk mendorong terjadinya proses quenching untuk
pembentukan martensit;
3. Kesalahan praktikan dalam pengamatan, seperti kekurangan akuratan saat
penghitungan diameter jejak dibawah measuring mikroskop. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kesalahan paralaks yang terjadi akibat
kecerobohan praktikan dalam menentukan posisi garis ukur atau mungkin
juga karena terjadi pergantian pengukur indentasi (sebab praktikan
bergantian mengukur dengan rekan-rekan agar semua memperoleh
kesempatan yang sama untuk dapat mengoperasikan mikroskop ukur),
sehingga standar peletakan posisi garis ukur pun tentu berbeda seiring
pergantian pengukur.
Walaupun secara umum pola perubahan kekerasan batang jominy ini sudah
sesuai dengan yang tercantum pada literatur (perhatikan grafik pengurangan
jumlah martensit dibawah ini), tetapi sayangnya pada percobaan yang telah
dilakukan, praktikan tidak mendapatkan struktur martensit seperti yang
diharapkan. Hal ini dapat disimpulkan oleh praktikan, meninjau dari nilai
kekerasan hasil indentasi pada batang jominy tersebut. Sebagai contohnya pada
titik indentasi 1 (jarak 3.317 mm), praktikan hanya mendapatkan struktur pearlit
(kekerasan 147 BHN). Padahal menurut literatur, seharusnya pada titik didekat
end quench seperti ini, struktur yang didapat ialah martensit (kekerasan 500
BHN).
Kegagalan pembentukan martensit ini kemungkinan disebabkan oleh
berbagai kecerobohan praktikan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sehingga martensit pun gagal untuk terbentuk. Akibatnya pada pengujian ini,
yang terjadi ialah struktur pearlit atau bainit dan bukan struktur martensit, seperti
yang diharapkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram CCT di bawah
ini.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
V.1.1 Preparasi Sampel
1. Mounting
Pada prinsipnya mounting ialah proses untuk menempatkan sample pada
suatu media agar memudahkan penanganan sample yang berukuran kecil dan/atau
memiliki bentuk yang tidak beraturan.
2. Grinding
Grinding atau pengamplasan ialah suatu kegiatan meratakan dan
menghaluskan permukaan sample dengan cara menngosokan sample pada kain
abrasif atau kertas amplas. Proses pengamplasan yang dilakukan praktikan,
diawali dengan memotong kertas amplas menjadi bentuk lingkaran sesuai dengan
bentuk mesin amplas.
3. Poles
Pemolesan bertujuan untuk menghilangkan bekas goresan pengamplasan
yaitu sisa-sisa arah amplasan. Proses poles merupakan salah satu bagian preparasi
sampel untuk pengamatan struktur mikro sama dengan gerinda/amplas hanya
butiran abrasifnya lebih kecil. Pada bagian pemolesan yang harus diperhatikan
adalah penggunaan alumina dan air. Pemberian almunia bertujuan untuk mengikis
sampel agar halus pada bagian partikel-partikel kecilnya. Pada mekanismenya
pemberian air mempunyai tujuan yang sama seperti dengan pemberian air saat
pengamplasan.
4. Pengetsaan
Proses etsa merupakan suatu kegiatan korosi yang terkontrol untuk
memperlihatkan detail struktur mikro dari suatu logam agar tampak lebih jelas
jika diamati dengan mikroskop optik sehingga lebih mudah untuk diamati. Tidak
semua jenis logam menggunakan zat etsa yang sama karena penggunaan zat etsa
yang tidak sesuai mungkin dapat menimbulkan cacat. Hal ini karena komposisi
yang ada pada zat etsa hanya akan bereaksi dengan komposisi material tertentu.

Akibatnya jika komposisi tersebut kurang tepat, maka hasil yang didapat pun
kurang maksimal.
V.1.2 Foto Makro Dan Mikro Struktur
Dalam praktikum foto struktur material, praktikan melakukan dua
pengamatan, yakni pengamatan struktur makro dan mikro. Pengamatan struktur
makro dengan tmemberikan informasi tentang penampakan retakan atau
mempelajari fraktologi suatu material sedangkan pengamatan struktur mikro
memberikan informasi tentang komposisi fasa dan butir pada material sehingga
dapat diketahui karakteristik dari suatu material. Seperti pada fasa-fasa yang
terdapat dalam besi atau baja adalah ferit, perlit, martensit,bainit dan austenit.
Sedangkan fasa untuk logam bukan besi adalah alfa dan beta. Pengaturan
intensitas pencahayaan dan diafragma, serta exposure time penting untuk
menghasilkan foto yang baik.
V.1.3. Percobaan Jominy
Pada pengujian kekerasan suatu logam dapat dilakukan juga dengan
menggunakan uji jominy. Pembentukan martensit terbanyak pada bagian ujung
yang mengalami quenching terlebih dahulu lalu pada bagian ujung lainnya tak
terdapat martensit. Semakin lambat laju pendinginan pada benda uji maka
kandungan mertensitnya semakin kecil.
V.2. Saran
1. Praktikan diharapkan diajari cara-cara cutting dan cara memakai alatnya.
2. Praktikan diharapkan juga diajari cara-cara cutting dan cara memakaialatnya.
3. Disediakan stopwatch untuk pengukuran waktu.
4. Mesin-mesin agar lebih dioptimalkan lagi penggunaannya, contohnya mesin
amplas dan keran airnya dan mesin yang rusak agar segera diperbaiki.
5. Kalau bisa, praktikan diikutsertakan saat proses pemotongan sampel, sehingga
walaupun tidak harus memotong secara langsung sendiri, setidaknya dengan
mengamati proses pemotongan, pengetahuan praktikan tentang preparasi
metalografi menjadi lebih luas.

REFERENSI

Modul

Praktikum

Metalografi.

2014.

Depok

Laboratorium

Metalografi dan Perlakuan Permukaan & Panas Departemen Metalurgi dan


Material FTUI

Diktat kuliah Heat and Surface Treatment

Krauss, George. 1990. Steels : Heat Treatment and Processing


Principles. New York : ASM international.

Você também pode gostar