Você está na página 1de 15

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

.1 Definisi
Pneumoni merupakan infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang mengenai parenkim paru
(Alveolus dan jaringan interstial). Pada anak penyakit pneumoni di bedakan menjadi 3 :
1) Pneumoni lobaris
2) Pneumoni interstial (bonkitis)
3) Pneumoni lobularis (bronkopneumoni)
Penyakit-penyakit ini salah satu penyakit yang bisa menyebabkan kematian utama pada balita
dan diperkiran pneumoni sendiri banyak terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan.
Bronkopneumoni atau pneumoni lobaris adalah peradangan pada parenkim paru yang
terlokalisir biasaya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya berupa
distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) seperti terlihat pada gambar, yang
sering menimpa anak-anak dan balita disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing. Beberapa factor yang dapat meningkatkan resio untuk
terjadinya dan beraatnya pneumonia antara lain adalah defek anatomi bawaan, deficit
imunologi, polusi, aspirasi, GER, dll.

.2 Klasifikasi

.3 Etiologi
Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri mampu
menyebabkan sepsis. Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah kepada terjadinya sepsis. Pola kuman penyebab
sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di
negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri gram negatif
rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum. Penyebab paling sering dari sepsis
ialah Escherichia coli dan SGB (dengan angka morbiditas sekitar 50 70 %). Diikuti dengan
malaria, sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen
1

lainnya gonokokus, Candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan organisme listeria,
rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza dan parotitis. Pola penyebab sepsis ternyata
tidak hanya berbeda antar klinik dan antar waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan
sepsis tersebut berlainan.4
Dari survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 19982000 terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien
BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan 21,1% pada
SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri gram negatif pada 60,7% kasus bakteremia, dan pada
SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri gram positif (70,2%). Bakteri gram
negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%) sedangkan Coagulase-negative
Staphylococcus merupakan penyebab tersering (47,9%) pada SAL. Selain itu, faktor lain
seperti pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan,
kelahiran kurang bulan, BBLR dan cacat bawaan dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan
kemudian sepsis.4

.4 Faktor Resiko4
Faktor resiko ada yang membaginya menjadi 3 bagian besar yaitu berdasarkan onsetnya,
berdasarkan subjeknya (ibu dan anak) dan ada pula yang membaginya sebagai faktor resiko
mayor dan minor.
Faktor resiko yang terkait dengan early onset neonatal sepsis adalah:
1. Bayi prematur
2. Ibu dengan infeksi saluran kencing
3. Chorioamnionitis
4. Bayi dengan apgar skor rendah (<6 pada 1 atau 5 menit pertama)
5. Ibu yang mengalami demam > 38C
6. Nutrisi ibu yang rendah
7. Riwayat ibu dengan aborsi
8. Bayi dengan BBLR
9. Bayi lahir dengan asfiksia
10. Anomali kongenital
Faktor resiko yang terkait dengan late onset neonatal sepsis adalah:
1. Bayi lahir prematur
2. Kateterisasi vena sentral (>10 hari)
2

3. Pemakaian nasal kanul dan CPAP yang kontinue


4. Gangguan pada GIT
Faktor resiko ibu :
1.
2.
3.
4.

Ketuban pecah dini


Infeksi peripartum
Partus lama
Infeksi intrapartum

Faktor resiko anak:


1.
2.
3.
4.

Berat badan lahir rendah


Prematuritas
Defek kongenital
Tindakan resusitasi saat melakukan intubasi

FAKTOR RISIKO MAYOR


Ketuban pecah dini >18 jam
Demam intrapartum >38 C
Korioamnionitis
Ketuban berbau
Denyut jantung janin >160 x/menit

FAKTOR RISIKO MINOR


Ketuban pecah dini >12jam
Demam intrapartum >37,5 C
Skor APGAR rendah
BBLSR
Usia kehamilan <37 minggu
Kembar
Keputihan
Infeksi Saluran kemih

.5 Patofisiologi 4
Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena
terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, korion, dan beberapa
faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian, kemungkinan kontaminasi
kuman dapat timbul melalui berbagai jalan. Blanc (1961) membaginya dalam 3 golongan,
yaitu:
1. Masa antenatal atau sebelum lahir
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus, masuk
kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah
mikroorganisme yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo,

koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain
malaria, sifilis dan toksoplasma, triponema pallidum dan listeria.
2. Masa intranatal atau saat persalinan
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Infeksi saat
persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan
amnion, akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilkus
masuk ke tubuh bayi. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga
uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran
cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila
ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam. Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada
janin dapat terjadi melalui kontak langsung pada kuman saat bayi melewati jalan lahir yang
terkontaminasi seperti herpes genitalis, Candida albicans dan gonorea.

Infeksi akibat chorioamnionitis

3. Masa pasca natal atau sesudah persalinan


Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi yang diperoleh
(acquired infection) yaitu infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim misalnya melalui
alat-alat; pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik dan botol minuman.
Bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam
ventilator, kurang memperhatikan tindakan anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan
hunian terlalu padat juga mudah mendapat infeksi nosokomial ini. Kapsul polisakarida yang
merupakan bagian dari bakteri dapat menempel sangat baik pada platik polimer pada kateter
dan juga protein (At1E dan SSP-1) yang ditemukan di bakteri membuat bakteri lebih mudah
menempel pada permukaan kateter. Perlekatan bakteri ke kateter menyebabkan terbentuknya
kapsul antara bakteri dan kateter. Hal ini menyebabkan kuman sulit difagosit.
Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat juga menyebabkan
terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi pascanatal ini sebetulnya sebagian besar dapat dicegah.
Hal ini penting karena mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali bayi lahir di
rumah sakit terkena infeksi dengan kuman-kuman yang sudah tahan terhadap banyak jenis
antibiotika, sehingga menyulitkan pengobatannya. Bila paparan kuman pada kelompok ini
berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk
mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan
5

pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit,
gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain
pemberian antibiotika, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat
beratnya penyakit.
Respons inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.
Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang memicu
respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya
sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.
Respon

sepsis

terhadap

bakteri

gram

negatif

dimulai

dengan

pelepasan

lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida


merupakan komponen penting pada membran luar bakteri gram negatif dan memiliki peranan
penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma
yaitu lipoprotein binding (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14,
yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like
receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.
Bakteri gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yaitu dengan
menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan fragmen
dinding sel yang merangsang sel imun.
Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin
proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif yang tidak
mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non
spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri gram negatif. Kedua kelompok
organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi
sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan
mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi akan dilawan oleh
tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil
serta melalui sistem imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur
komplemen.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta
TLR-4 di membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk
6

mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan


berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan
sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon (IFN- ), interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-6 dan IL-12. Sel Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4,
-10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme
umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem
imun untuk melawan kuman penyebab.
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat
membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta kematian.
Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi yang
berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan
baik. Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara
tidak langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, Platelet
Activating Factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi
makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta
pembentukan mikrotrombin sehingga menyebabkan kerusakan organ.
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel
untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini
juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu,
inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.
PMN (polimorfo nuclear) merupakan substansi imunologi yang penting dan sangat
efektif untuk membunuh bakteri ketika infeksi terjadi didalam tubuh. Namun, pada neonatus,
PMN dan substansi imunologi belum terbentuk sempurna sehingga kemampuannya untuk
membunuh bakteri tidak maksimal.
Respon jantung-paru terhadap sepsis
Sepsis yang berat ditandai dengan terjadinya hipertensi pulmonal, menurunnya
cardiac output dan hipoksemia. Gangguan cardiopulmonary ini disebabkan oleh aktivitas
mediator biokimia bagian dari granulosit yaitu radikal hidroksil dan tromboksan B2
(metabolik asam arakidonat). Mediator biokimia tersebut menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi saat berada dalam jaringan paru sehingga terjadi lah hipertensi pulmonal.
7

Keterlibatan gastrointestinal pada sepsis


Usus dapat dipenuhi koloni kuman oleh organisme dalam rahim atau saat melahirkan
melalui infeksi akibat tertelannya cairan ketuban. Pertahanan imunologi dari saluran
pencernaan yang belum matang, terutama pada bayi prematur. Limfosit berkembang biak
dalam usus sebagai respon terhadap rangsangan mitogen. Namun, proliferasi ini tidak
sepenuhnya efektif dalam memberikan respon terhadap mikroorganisme karena respon
antibodi dan pembentukan sitokin yang belum matang sampai kira-kira 46 minggu.
Necrotizing enterocolitis telah dikaitkan dengan adanya sejumlah spesies bakteri di usus yang
imatur. Pertumbuhan berlebih dari organisme ini dalam lumen neonatal merupakan
komponen patofisiologi multifaktorial dari Necrotizing enterocolitis.

.6 Manisfestasi Klinis 4
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat
sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap
masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan
tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang
hiperglikemia, tampak tidak sehat dan malas minum. Selanjutnya akan terlihat berbagai
kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat
(letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi
menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, takikardi,
bradikardi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan
kelainan

hematologik

(ikterus,

splenomegali,

ptekie,

dan

pendarahan),

kelainan

gastrointestinal (distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare dan hepatomegali), ataupun


gangguan respirasi (apnea, dispnea, takipnea, napas cuping hidung, merintih dan sianosis).
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses
tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum berat bila ditemukan satu
atau lebih dari gejala-gejala berikut ini: laju napas > 60 kali per menit, retraksi dada yang
dalam, pernapasan cuping hidung, bayi merintih, ubun-ubun besar menonjol, bayi
mengalami kejang, keluar pus dari telinga, kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke
kulit, suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba dingin), letargi
atau tidak sadar, penurunan aktivitas atau gerakan, tidak dapat minum. Bervariasinya gejala
klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti pada pasien. Oleh karena itu,
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus
lainnya perlu dilakukan.

Keadaan umum

Demam, hipotermia, tidak merasa


baik,tidak mau makan, sklerema

Sistem Gastointestinal

Perut

kembung,

muntah,

diare,
9

hepatomegali
Sistem Pernapasan

Apnea, dispnea, takipnea, retraksi,


grunting, sianosis

Sistem Saraf Pusat

Iritabilitas, lesu, tremor, kejang,


hiporefleksia, hipotonia, refleks Moro
abnormal, pernapasan tidak teratur,
fontanela menonjol, tangisan nada
tinggi

Sistem Kardiovaskuler

Pucat, mottling, dingin,kulit lembab,


takikardi, hipotensi, bradikardi

Sistem Hematologi

Ikterus, splenomegali, pucat, petekie,


purpura, perdarahan

Sistem Ginjal

Oliguria

.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang 1,4


Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun
kriteria sepsis neonatorum ini baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor resiko ibu
dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis
ini berbeda tergantung pada karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap
masuknya kuman ini. Kriteria sepsis juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus
Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:

SIRS

Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi dan


desaturasi oksigen(O2)
Suhu tubuh tidak stabil (<36C atau >37.5C)
Waktu pengisian kapiler > 3 detik
Hitung leukosit <4000x109/L atau
>34000x109/L CRP >10mg/dl IL-6 atau IL-8
>70pg/ml 16 S rRNA gene
PCR : Positif

10

Terdapat satu atau lebih kriteria SIRS disertai

SEPSIS

dengan gejala klinis infeksi


Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ

SEPSIS BERAT

tunggal
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan

SYOK SEPTIK

resusitasi cairan dan obat-obat inotropik


Terdapat disfungsi multi organ meskipun

SINDROM DISFUNGSI MULTIORGAN

telah mendapatkan pengobatan optimal


Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9
Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan laboratorium
pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada International Concensus
Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai kesepakatan mengenai definisi
SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik. Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis
neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi
(suspected) maupun terbukti infeksi (proven).

Kriteria SIRS
Usia Neonatus

Suhu

Laju Nadi per

Laju napas per

Jumlah

menit

menit

leukosit X
103/mm3

Usia 0-7 hari

>38,5C

atau >180 atau <100

>50

>34

<36C
Usia 7-30 hari

>38,5C atau

>180 atau <100

>40

>19,5 atau <5

<36C
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

11

Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik


Infeksi

Terbukti infeksi (proven infection) bila


ditemukan kuman penyebab atau tersangka
infeksi (suspected infection) bila terdapat
sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang lain).

Sepsis

SIRS disertai infeksi yang terbukti atau


tersangka.

Sepsis berat

Sepsis

yang

disertai

disfungsi

organ

kardiovaskular atau disertai gangguan napas


akut atau terdapat gangguan dua organ lain
(seperti gangguan neurologi, hematologi,
urogenital, dan hepatologi).
Syok septik

Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah


sistolik <65 mmHg pada bayi <7 hari dan
<75 mmHg pada bayi 7-30 hari).

Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
Untuk

pemeriksaan

penunjang

dilakukan

berbagai

pemeriksaan

termasuk

pemeriksaan darah rutin untuk memeriksa hemoglobin (Hb), leukosit, trombosit, laju endap
darah (LED), Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT), dan Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase (SGPT). Analisa kultur urin dan cairan sebrospinal (CSS) dengan
lumbal fungsi dapat mendeteksi kuman. Laju endap darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan
meningkat menandakan adanya inflamasi. Tetapi sampai saat ini pemeriksaan biakan darah
merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai
kelemahan karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Kultur
darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut.

.8 Penatalaksanaan

12

Penanganan sepsis dilakukan secara suportif dan kausatif. Tindakan suportif antara
lain ialah dilakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa, koreksi jika terjadi
hipovolemia, hipokalsemia dan hipoglikemia, atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolik,
awasi adanya hiperbilirubinemia dan pertimbangkan nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat
menerima nutrisi enteral. Tidakan kausatif dengan pemberian antibiotik sebelum kuman
penyebab diketahui. Pada fase inisial antibiotik yang diberikan dapat berupa:6
-

Ampicilin (200 mg/kgBB/hari/i.v dalam 4 dosis) dikombinasi dengan aminoglikosida


(garamisin 5-7 mg/kgBB/hari/i.v atau amikasin 15-20 mg/kgBB/hari/i.v atau

netilmisin 5-6 mg/kgBB/hari/i.v dalam 2 dosis).


Kombinasi lain adalah ampisilin dengan dosis diatas dengan sefotaksim 100
mg/kgBB/hari/i.v dalam 3 dosis.
Pada sepsis nosokomial, antibiotik diberikan dengan mempertimbangkan flora di

ruang perawatan, namun sebagai terapi inisial biasanya diberikan vankomisin dan
aminoglikosida atau sefalosforin generasi ketiga. Setelah didapat hasil biakan dan uji
sistematis, diberikan antibiotik yang sesuai. Terapi dilakukan selama 10-14 hari, bila terjadi
meningitis, antibiotik diberikan selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk meningitis. 1,2,4

.9 Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain ialah meningitis, neonatus dengan
meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular,
asidosis metabolik, koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan intrakranial dan
pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). Selain itu ada komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan
aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal, komplikasi akibat gejala sisa
berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental
dan komplikasi kematian. 1,2,4

.10 Prognosis
Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10-40 %. Angka tersebut
berbeda-beda tergantung pada cara dan waktu awitan penyakit, agen etiologik, derajat
13

prematuritas bayi, adanya dan keparahan penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang
bayi atau unit perawatan. Angka kematian pada bayi BBLR adalah 2 kali lebih besar. Dengan
diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi bila tanda dan gejala awal
serta faktor resiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka kematian. Pada
meningitis terdapat gejala sisa gangguan neurologi pada 15-30% kasus neonatus. Rasio
kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan
bayi cukup bulan. Presentase kematian neonatus 50 % jika tidak diterapi. Rasio kematian
pada sepsis awitan dini adalah 15 40% (pada infeksi SGB pada SAD adalah 2 30 %) dan
pada sepsis awitan lambat adalah 10 20.
BAB III
KESIMPULAN

Sepsis merupakan suatu penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada bayi-bayi
yang dirawat di rumah sakit dan pada bayi-bayi prematur. Terlihat dari masih tingginya angka
kejadian sepsis neonatorum baik secara global di dunia maupun di Indonesia. Berdasarkan
waktu terjadinya, sepsis neonatorum diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis
neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat
(late-onset neonatal sepsis). Penyebab tersering dari sepsis neonatorum adalah Escherichia
coli dan SGB. Gambaran klinis dari sepsis neonatorum ini adalah bayi tampak lemah,
hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia, tampak tidak sehat dan
malas minum. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.
Penanganan sepsis dilakukan secara suportif dan kausatif. Tindakan suportif antara
lain ialah dilakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa, koreksi jika terjadi
hipovolemia, hipokalsemia dan hipoglikemia, atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolik,
awasi adanya hiperbilirubinemia dan pertimbangkan nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat
menerima nutrisi enteral. Tindakan kausatif dengan pemberian antibiotik sebelum kuman
penyebab diketahui. Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik,
tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor resiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Pola Kuman dan Sensitifitas Antibiotik diruang Perinatologi. 2000. [April


2015]. Diunduh dari : http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/12-6-3.pdf
2. Nelson. Textbook of Pediatrics, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 18. Sepsis dan
Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC, 2004, hal 653-663.
3. Shefali Oza, Joy E Lawn. Neonatal Cause of Death estimates For The Early
and Late Neonatal Periods For 194 Countries: 2000-2013. 2014. [1 April
2015].

Diunduh

dari:

http://www.who.int/bulletin/volumes/93/1/14-

139790/en/.
4. Anderson L Ann. Neonatal Sepsis. 2014.[27 Maret 2015]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview#showall
5. James L. Time for a Neonatal-Spesific Consensus Definition for Sepsis. 2014.
[27 Maret 2015] Pediatr Crit Care Med. 2014;15(6):523-528. Diunduh dari:
http://www.medscape.com/viewarticle/828787.
6. Soedarmo Sumarmo, Garna Herry. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Edisi 3. Badan penerbit IDAI. Jakarta: 2012, Hal: 358-363.

15

Você também pode gostar