Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Analisis
Realisasi APBD
Tahun Anggaran 2011
ii
Daftar Isi
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
KATA PENGANTAR................................................................................................. ix
RINGKASAN EKSEKUTIF....................................................................................... xi
BAB I GAMBARAN UMUM REALISASI APBD.....................................................1
A. Gambaran Umum Realisasi APBD 2011 Secara Nasional.................. 2
B. Gambaran Umum Realisasi APBD 2011 Provinsi................................ 5
C. Gambaran Umum Realisasi APBD 2011 Kabupaten/Kota................. 6
BAB II REALISASI PENDAPATAN DAERAH..........................................................9
A. Komposisi Pendapatan Daerah......................................................... 10
B. Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional (Harga Berlaku dan
Harga Konstan).................................................................................... 14
BAB III REALISASI BELANJA DAERAH................................................................17
A. Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah.............. 17
B. Komposisi Realisasi Belanja Daerah .................................................20
C. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional................................23
D. Realisasi Belanja Daerah Per Kapita.................................................26
E. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita...................................... 27
BAB IV REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH............... 29
A. Surplus/Defisit.....................................................................................29
B. Pembiayaan Daerah............................................................................32
C. SiLPA....................................................................................................35
D. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah.........................39
BAB V ANALISIS INDIKATOR KONDISI
KEUANGAN DAERAH.............................................................................. 43
A. Dasar Teoretis Analisis Indikator Kondisi Keuangan Daerah...........43
Daftar Isi
iii
iv
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Realisasi Apbd Tahun Anggaran 2011.............................................1
Tabel 4.1 Rata-Rata Besaran surplus/defisit perdaerah.................................31
Tabel 4.2 Daerah dengan SiLPA Tahun Berkenaan Negatif............................37
Tabel 4.3 Rata-rata Pinjaman Daerah per-kab/kota yang melakukan
pinjaman.........................................................................................42
Tabel 4.4 Rata-rata Pinjaman Daerah per-Provinsi yang melakukan
pinjaman.........................................................................................42
Tabel 5.1 Tabel Indikator-Indikator Kondisi Keuangan Daerah.......................46
Tabel 5.2 Gambaran Deskriptif Skor Seluruh Daerah Provinsi.......................49
Tabel 5.3 Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Provinsi...........................49
Tabel 5.4 Gambaran Deskriptif Skor Seluruh Daerah Kabupaten..................52
Tabel 5.5 Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah
Tertinggi (Kluster 1 - luas wilayah di bawah 1, 213 km2).................52
Tabel 5.6 Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah
Terendah (Kluster 1 - luas wilayah di bawah 1, 213 km2)................53
Tabel 5.7 Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah
Tertinggi (Kluster 2 - luas wilayah antara 1, 213km2 s/d
1,989km2)........................................................................................54
Tabel 5.8 Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah
Terendah (Kluster 2 - luas wilayah antara 1, 213km2 s/d
1,989km2)........................................................................................55
Tabel 5.9 Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah
Tertinggi (Kluster 3 - luas wilayah antara 1,990km2 s/d
3,571km2)........................................................................................55
Daftar Isi
vi
Daftar Grafik
Grafik 1.1 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara Nasional
TA 2011.............................................................................................3
Grafik 1.2 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Provinsi TA 2011.............6
Grafik 1.3 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota
TA 2011.............................................................................................7
Grafik 2.1 Perbandingan Anggaran - Realisasi Pendapatan Nasional 2011...10
Grafik 2.2 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah Nasional........................11
Grafik 2.3 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi.........................12
Grafik 2.4 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota............13
Grafik 2.5 Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional (harga berlaku)........14
Grafik 2.6 Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional (harga konstan,
tahun 2000).....................................................................................15
Grafik 3.1 Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah APBD
Tahun Anggaran 2011.....................................................................17
Grafik 3.2 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Nasional...............................20
Grafik 3.3 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Provinsi................................21
Grafik 3.4 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota...................22
Grafik 3.5 Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional (harga berlaku)................24
Grafik 3.6 Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional (harga konstan,
tahun 2000).....................................................................................24
Grafik 3.7 Realisasi Belanja Daerah Per Kapita..............................................26
Grafik 3.8 Realisasi Belanja Modal Daerah PerKapita....................................27
Grafik 4.1 Perbandingan Suplus/Defisit Anggaran dan realisasi APBD 20092011................................................................................................29
Daftar Grafik
vii
viii
KATA PENGANTAR
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa dalam konteks kebijakan fiskal,
pemerintah daerah selama ini mengelola dana yang dikelolanya dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang sekaligus menjadi
instrumen vital bagi kebijakan publik di daerah. APBD yang ditetapkan dengan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menunjukkan
sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi belanja untuk
melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang muncul bila terjadi
surplus atau defisit.
Selanjutnya, ketika pemerintah daerah telah selesai melaksanakan dan
menyusun suatu laporan terhadap realisasi dari APBD maka hal-hal yang ingin
dilihat oleh semua stakeholder terkait antara lain: (1) membandingkan antara
kinerja pengelolaan keuangan dilihat dari sisi kesesuaian dengan perencanaan,
(2) konsistensi pelaksanaan anggaran untuk merealisasikan program / kegiatan,
(3) seberapa baik pihak pemerintah daerah dalam mengelola keuangan
daerah, dan (4) dampak pelaksanaan APBD terhadap perekonomian regional.
Dalam konteks itulah, buku ini disusun untuk menyajikan analisis atas realisasi
APBD seluruh daerah dan diharapkan dapat memberikan potret yang informatif
dan akurat mengenai hasil dari pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah di
tahun anggaran 2011.
Pengelolaan dana dalam APBD sudah seharusnya dilaksanakan sebaikbaiknya sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas belanja daerah
(quality of spending), dengan memastikan dana tersebut benar-benar
dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar
bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah perlu
selalu menerapkan kebijakan-kebijakan yang kondusif terhadap pembangunan
ekonomi dan terus mendorong peningkatan kualitas layanan publik, baik
melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan non fiskal.
Kata Pengantar
ix
Jakarta,
Desember 2012
Yusrizal Ilyas
RINGKASAN EKSEKUTIF
Realisasi APBD TA 2011 memperlihatkan bahwa realisasi pendapatan dan
realisasi belanja daerah lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya,
sehingga mengakibatkan terjadinya suplus di akhir tahun. Realisasi
pendapatan lebih tinggi Rp66,9 triliun dan realisasi belanja daerah juga
lebih tinggi Rp22,7 triliun dari anggarannya. Yang patut menjadi perhatian
adalah bahwa terjadinya surplus dalam realisasi APBD 2011 ternyata lebih
banyak didorong oleh terjadinya pelampauan pendapatan, dan bukan
terjadi karena tidak terealisasikannya belanja.
Realisasi belanja daerah secara nasional adalah Rp498,04 triliun dengan
komposisi realisasi belanja daerah secara nasional didominasi oleh belanja
pegawai yaitu sebesar 46,2%, diikuti oleh belanja modal yaitu sebesar
21,7%, belanja barang dan jasa sebesar 21,2%, dan belanja lainnya
sebesar 10,8%.
Beberapa hal yang cukup memprihatinkan justru terlihat bahwa ternyata
yang mengalami pelampauan target belanja (dari pagu anggaran induk)
cukup tinggi adalah Belanja Pegawai Tidak Langsung, atau biasa orang
awam menyebutnya sebagai Gaji PNS. Sementara belanja pegawai yang
terkait langsung dengan kegiatan justru mengalami under-target, dan yang
lebih memprihatinkan lagi adalah belanja modal yang realisasinya hanya
mencapai 95% dari anggaran induk, atau masih kurang Rp5,4 triliun dari
anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan alokasi pendapatan
transfer dari Pusat (yang informasinya baru didapat pada saat tahun
anggaran 2011 berjalan), maka anggaran belanja juga harus segera
menyesuaikan sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal mungkin
teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan
kuantitas dan kualitas layanan publik.
Ringkasan Eksekutif
xi
xii
Ringkasan Eksekutif
xiii
xiv
BAB I
GAMBARAN UMUM REALISASI APBD
Realisasi APBD pada dasarnya menunjukkan kinerja pengelolaan keuangan
dilihat dari sisi kesesuaian dengan perencanaan dan konsistensi pelaksanaan
anggaran. Fakta dan potret mengenai realisasi APBD Tahun Anggaran (TA)
2011 yang akan dianalisis secara deskriptif dalam buku ini meliputi data
realisasi APBD TA 2011 seluruh daerah di Indonesia, terdiri dari 33 provinsi, 398
kabupaten dan 93 kota.
Secara ringkas buku ini akan membahas tentang perbandingan realisasi
APBD TA 2011 dengan anggarannya dan perbandingan data realisasi APBD
TA 2011 dengan realisasi APBD tahun-tahun sebelumnya, baik dari sisi
pendapatan, belanja maupun pembiayaannya. Selain itu akan disajikan analisis
tentang beberapa indikator kinerja keuangan maupun implikasinya terhadap
indikator perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Potret mengenai Realisasi APBD TA 2011 secara agregat nasional, seluruh
provinsi, kabupaten, dan kota bisa dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Realisasi Apbd Tahun Anggaran 2011
(dalam miliar Rupiah)
Mata Anggaran
Jumlah Anggaran
Nasional*
Provinsi
Kabupaten
Kota
Pendapatan
526,830
140,034
328,381
78,370
109,213
73,700
22,371
13,142
Dana Perimbangan
344,034
52,731
243,427
47,876
73,582
13,602
62,583
17,352
Mata Anggaran
Jumlah Anggaran
Nasional*
Provinsi
Kabupaten
Kota
Belanja
498,036
132,290
310,664
75,037
Pegawai
230,197
30,411
159,297
40,489
105,786
33,604
56,870
15,313
Modal
108,127
26,264
67,773
14,090
Lain-lain
53,926
42,011
26,725
5,145
Surplus/Defisit
28,794
7,743
17,717
3,334
Pembiayaan
49,266
17,681
25,927
5,659
Penerimaan
58,278
20,503
31,123
6,652
Pengeluaran
9,011
2,823
5,196
993
78,060
25,424
43,643
8,992
Grafik 1.1
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara Nasional TA 2011
tergantung kepada transfer dari Pusat, sehingga informasi yang relatif cepat dan
akurat atas besaran transfer yang dialokasikan ke daerah akan menjadi kunci
bagi kecepatan dan keakurasian perencanaan anggaran di daerah. Pemerintah
Pusat perlu secara serius memperbaiki kedua hal tersebut. Salah satu langkah
maju yang telah dilakukan untuk bisa menjawab hal tersebut adalah telah
disepakatinya untuk tidak mengalokasikan dana ad hoc pada tahun 2012 dan
seterusnya, sehingga semua bentuk transfer telah dapat memberikan kepastian
yang lebih baik. Pekerjaan rumah yang cukup bagi Pemerintah Pusat adalah
memperbaiki kualitas perencanaan alokasi DBH, mengingat ini memerlukan
kerjasama yang cukup besar dengan berbagai Kementerian dan Lembaga
yang terkait dengan penerimaan Negara yang dibagihasilkan ke daerah. Di
sisi lain, daerah juga harus secara serius memperbaiki kinerja pengelolaan
keuangannya dan juga memperbaiki kualitas belanjanya, sehingga lebih fokus
kepada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik, bukan
sekedar menyerap belanja untuk keperluan aparatur.
BAB II
REALISASI PENDAPATAN DAERAH
Realisasi pendapatan APBD Tahun Anggaran 2011 secara nasional
menunjukkan kenaikan sebesar 14,6% (Rp66,94 triliun) dari anggaran semula.
Semua komponen pendapatan mengalami kenaikan dengan kontributor
pelampauan anggaran terbesar adalah lain-lain pendapatan yang sah
sebesar Rp31,5 triliun, yaitu dari anggaran sebesar Rp42,1 triliun terealisasi
sebesar Rp73,58 triliun (realisasi 174,6%). Urutan kedua adalah pelampauan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp18,8 triliun (realisasi 120,8%) dan
pelampauan Dana Perimbangan sebesar Rp16,6 triliun (realisasi 105,1%).
Termasuk di dalam pos Lain-lain pendapatan adalah Dana Penyesuaian.
Sebagaimana telah disampaikan dalam bab sebelumnya, pos pendapatan
Dana Penyesuaian inilah yang kontribusi pelampauannya tertinggi. Secara
persentase, pelampauan pendapatan propinsi (sebesar 18%) ternyata lebih
besar apabila dibandingkan dengan pelampauan pendapatan kabupaten/kota
(sebesar 13%).
Satu hal lain yang juga cukup menarik adalah bahwa di dalam pos Lainlain Pendapatan ini terdapat juga pos lain-lain yang ternyata pelampauannya
juga cukup tinggi, yaitu mencapai kisaran Rp7 triliun. Demikian juga dengan
Pos PAD, di mana di dalamnya terdapat pos Lain-lain PAD, yang ternyata
pelampauannya juga cukup signifikan, yaitu mencapai kisaran Rp2,5 triliun,
bahkan lebih besar dari pelampauan yang terjadi pada pos Retribusi daerah.
Besarnya pelampauan pendapatan pada pos lain-lain menunjukkan masih
rendahnya kualitas perencanaan anggaran pendapatan daerah pada pos-pos
yang bukan merupakan pos utama.
Hal ini patut menjadi perhatian karena meskipun semua pos pendapatan
pada APBD secara resmi akan diaudit, namun seringkali karena bukan
merupakan pos utama justru terabaikan dalam proses audit dan juga luput dari
perhatian masyarakat secara umum. Keterabaian terhadap pos-pos tersebut
harus diwaspadai agar tidak mengurangi kualitas governance pengelolaannya,
mengingat fakta menunjukkan bahwa besaran nominalnya ternyata cukup
besar.
Grafik 2.1
Perbandingan Anggaran - Realisasi
Pendapatan Nasional 2011
10
Lain-lain Pendapatan yang sah (14%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar pendapatan daerah berasal dari transfer pusat ke daerah.
Grafik 2.2
Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah
Nasional (agregat Prop, Kab, Kota)
11
kisaran Rp56 triliun). Semua hal tersebut pada akhirnya saling terkait, yaitu
karena kemampuan perencanaan dan eksekusi belanja yang kurang baik telah
mengakibatkan dana lebih banyak menganggur di Bank sehingga Pemda
justru mendapat pendapatan bunga yang lebih tinggi, dan pada akhirnya SiLPA
daerah meningkat cukup tajam.
Grafik 2.3
Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah
Provinsi
12
Pendapatan yang Sah sebesar Rp13,6 triliun (realisasi 113,2%), dan Dana
Perimbangan sebesar Rp52,7 triliun (realisasi 111,18%).
Grafik 2.4
Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah
Kabupaten/Kota
13
14
Grafik 2.6
Tren Realisasi
Pendapatan Daerah Nasional
(harga konstan, tahun 2000)
15
mengalami peningkatan dari tahun 2009 2011 dengan persentase yang lebih
rendah. Tahun 2010 PAD meningkat sebesar 12% (Rp4 triliun) dan tahun 2011
meningkat 24,2% (Rp8 triliun).
Tren realisasi Dana Perimbangan secara nasional juga mengalami kenaikan
baik berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga
berlaku pada tahun 2010 terjadi peningkatan dana perimbangan sebesar 9%
(Rp25 triliun) dan 2011 meningkat sebesar 12,2% (Rp37 triliun), sedangkan
menurut harga konstan, dana perimbangan juga mengalami kenaikan
meskipun secara persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2010
telah terjadi peningkatan sebesar 1,7% (Rp2 triliun) dan pada tahun 2011
kembali naik sebesar 3,5% (Rp4 triliun).
Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain
Pendapatan yang Sah juga mengalami peningkatan baik dalam harga berlaku
maupun harga konstan. Peningkatan harga berlaku tahun 2010 sebesar 38,2%
(Rp17 triliun) dan 20% (Rp12 triliun) di tahun 2011 dan berdasarkan harga
konstan peningkatannya sebesar 29% (Rp6 triliun) pada tahun 2010 dan 10,7%
(Rp3 triliun) di tahun 2011.
Dengan demikian, Pendapatan Daerah baik secara keseluruhan maupun
per jenis pendapatan mengalami kenaikan, baik dengan memasukkan faktor
perubah harga maupun tidak, atau dengan kata lain terjadi peningkatan
realisasi pendapatan secara riil dari tahun ke tahun.
16
BAB III
REALISASI BELANJA DAERAH
17
18
19
20
21
22
23
Grafik 3.5
Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional
(harga berlaku)
Grafik 3.6
Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional
(harga konstan, tahun 2000)
24
25
26
disebabkan oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi
tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit.
Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu
sebesar Rp13.052.807,00, diikuti oleh Provinsi Papua, dan Provinsi Kalimantan
Timur dengan belanja per kapita masing-masing sebesar Rp7.552.516,00 dan
Rp7.081.413,00. Sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi
di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini disebabkan karena provinsi di
Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi dengan belanja
per kapita terkecil adalah Provinsi Jawa Barat yaitu sebesarRp1.080.351,00,
diikuti oleh Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar
Rp1.166.984,00 dan Rp1.280.012,00.
27
belanja daerah per kapita per provinsi, belanja modal daerah per kapita juga
menunjukkan bahwa belanja modal per kapita paling besar terjadi pada
provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia.
Belanja modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat
yaitu Rp3.619.045,00 diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua
dengan belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp2.389.944,00 dan
Rp2.383.817,00. Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap
dimiliki oleh beberapa provinsi di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi
Jawa Tengah, dan Provinsi D.I. Yogyakarta dengan belanja perkapita masingmasing adalah sebesar Rp154.120,00, Rp158.112,00, dan Rp182.982,00.
28
BAB IV
REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN
PEMBIAYAAN DAERAH
A. Surplus/Defisit
Perbedaan antara realisasi pendapatan dan belanja menimbulkan selisih
belanja lebih besar dari pendapatan maka disebut defisit, sedangkan jika
pendapatan yang lebih besar dari belanja maka terjadi surplus. Berdasarkan
tren dari beberapa tahun terakhir, realisasi APBD cenderung mempunyai
defisit yang lebih rendah dari anggaran bahkan cenderung terjadi surplus.
Perbandingan APBD dan realisasi selama tiga tahun terakhir dapat dilihat
dalam grafik berikut.
Grafik 4.1
Perbandingan Suplus/Defisit Anggaran dan realisasi APBD 2009-2011
Grafik 4.1 menunjukkan bahwa pada tiga tahun terakhir, APBD dianggarkan
defisit, sedangkan dalam realisasinya selalu defisit tersebut menjadi lebih kecil
atau bahkan terjadi surplus. Pada tahun 2009 besaran realisasi defisit lebih
kecil dari anggaran, namun pada tahun 2010 dan 2011 dalam realisasi APBD
Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
29
Grafik 4.3
Tren provinsi yang mengalami surplus/defisit realisasi
Provinsi
Surplus
2010
2011
3.200.107.472
41.232.821.608
57.232.307.990
Defisit
-54.073.281.750
-36.879.354.227
-24.089.773.113
Surplus
200.124.464.546
257.710.984.820
396.612.455.079
Defisit
-225.999.378.117
-173.931.306.666
-89.278.056.085
Sumber: DJPK
31
B. Pembiayaan Daerah
Komposisi penerimaan pembiayaan masih didominasi oleh Sisa Lebih
Perhintungan Anggaran (SiLPA), secara nasional kontribusi SiLPA tahun
sebelumnya terhadap Penerimaan Pembiayaan adalah 96,6%, sedangkan
pinjaman daerah yang tiap tahunnya selalu diawasi pemerintah pusat melalui
Peraturan Menteri Keuangan hanya mempunyai kontribusi sebesar 1,4%
terhadap Penerimaan Pembiayaan. Secara lebih detail komposisi Penerimaan
Pembiayaan dapat dilihat dalam grafik 4.4 berikut.
Grafik 4.4
Rincian Penerimaan Pembiayaan
Keterangan
Total
32
SiLPA
PDC
Secara total realisasi pembiayaan lebih tinggi yaitu 130% anggaran (APBD
Rp44,5 triliun dan realisasinya mencapai Rp58,3 triliun). Hal tersebut sangat
dipengaruhi oleh besaran realisasi SiLPA tahun sebelumnya yang dalam
realisasinya mencapai Rp56,3 triliun (138,3% anggaran). Berbeda dengan
SiLPA tahun sebelumnya, Pencairan Dana Cadangan (PDC) dan Penerimaan
Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah (PPD&OD) mempunyai realisasi yang
lebih kecil, 52,1% (dianggarkan sebesar Rp323 miliar namun hanya terealisasi
Rp168 miliar) untuk Pencairan Dana Cadangan dan 30,4% (dianggarkan
sebesar Rp2,6 triliun namun hanya terealisasi Rp802 miliar) untuk Penerimaan
Pinjaman Daerah dan Obligasi Daeerah. Sementara itu, untuk Hasil Penjualan
Kekayaan yang Dipisahkan (HPKyD) mempunyai persentase realisasi terbesar
(431%), namun jika dilihat secara nominal, penjualan asset merukan sumber
penerimaan pembiayaan yang relatif sangat kecil. Sumber penerimaan
pembiayaan yang terakhir adalah Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman
(PKPP) yang mempunyai realisasi sebesar 108,2% (dianggarkan sebesar
Rp809 miliar, terealisasi sebesar Rp875 miliar).
Secara total, Pengeluaran Pembiayaan daerah jauh lebih rendah dari
penerimaannnya, baik pada saat dianggarkan maupun pada saat realisasinya.
Secara rata-rata pengeluaran pembiayaan hanya mencapai seperlima
penerimaannya. Sisi pengeluaran pembiayaan, secara total mempunyai
realisasi yang lebih besar dari anggaran, secara detail dapat dilihat dalam
grafik 4.5 berikut
33
Grafik 4.5
Rincian Pengeluaran Pembiayaan
Keterangan
Total
PDC
PMD
PPU
PPD
PKL
PPFK
34
C. SiLPA
Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (SiLPA) merupakan sisa anggaran
yang tidak tergunakan di tahun anggaran berkenaan, namun dapat digunakan
di tahun berikutnya. Dalam realisasi APBD terdapat dua macam SiLPA,
pertama adalah SiLPA yang menjadi salah satu penerimaan pembiayaan yang
dikenal dengan SiLPA tahun sebelumnya. Kedua adalah hasil penjumlahan
surplus/defisit dengan netto pembiayaan yang disebut SiLPA tahun berkenaan.
SiLPA tahun sebelumnya merupakan sisa anggaran dari tahun sebelumnya
(akumulatif sisa APBD sampai dengan tahun 2010) yang digunakan dalam
anggaran berikutnya (APBD 2011). Dalam anggaran (induk), SiLPA tahun
sebelumnya selalu lebih rendah dari realisasinya, perbandingan tersebut dapat
dilihat dalam grafik 4.6.
35
Grafik 4.6
Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan
Realisasi
36
Grafik 4.7
Tren SiLPA Tahun Berkenaan
Daerah
Defisit
SiLPATahun
Berkenaan
Pembiayaan
-72,170,479,344
-1,500,000,000 -73,670,479,344
-12,752,710,845
-5,223,378,633 -17,976,089,478
Kab. Bolaang
Mongondow Utara
-4,496,536,628
-4,496,536,628
37
No
Daerah
Defisit
SiLPATahun
Berkenaan
Pembiayaan
38,516,745,617 -40,483,350,863
-1,966,605,246
Kota Sorong
22,962,141,678
-24,816,372,624
-1,854,230,946
Kab. Bolaang
Mongondow Timur
-761,440,543
-761,440,543
Kota Ternate
-4,904,774,981
4,765,190,786
-139,584,195
38
39
Grafik 4.9
Perbandingan Anggaran dan Realisasi Penerimaan Pinjaman Provinsi
40
Grafik 4.10
Jumlah Kab/kota yang melakukan Pinjaman
Grafik 4.11
Jumlah Provinsi yang melakukan Pinjaman
41
anggaran
realisasi
Provinsi
anggaran
realisasi
2009
4,650,232,367 3,167,863,739
2009
2,848,522,727 2,338,712,300
2010
3,467,568,069 1,885,385,796
2010
3,015,244,308 2,577,431,675
2011
4,607,671,510
2011
11,428,796,106 7,243,593,205
1,117,976,408
42
BAB V
ANALISIS INDIKATOR KONDISI
KEUANGAN DAERAH
43
44
penerimaan pajak daerah bisa tercermin dari besarnya PDRB dari masingmasing daerah.
5. Indikator Kemampuan Mendanai Belanja Daerah; Kemampuan keuangan
daerah tentu saja tercermin dari seluruh penerimaan daerah baik
pendapatan APBD dan penerimaan pembiayaan, yang seharusnya bisa
mencukupi untuk digunakan dalam mendanai seluruh belanja daerah dan
pengeluaran pembiayaan yang direncanakan.
6. Indikator Belanja Modal; Salah satu ukuran kualitas belanja yang baik
adalah dengan semakin besarnya porsi belanja modal sebagai bagian
dari total belanja daerah. Belanja modal yang besar diharapkan akan
memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi di daerah
dan pada akhirnya akan meningkatkan potensi-potensi penerimaan daerah
yang baru.
7. Indikator Belanja Pegawai Tidak Langsung; Semakin membaiknya kualitas
belanja daerah bisa juga dilihat dari semakin menurunnya porsi belanja
pegawai tidak langsung dalam APBD. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
sedikit porsi APBD yang digunakan untuk belanja aparatur, sehingga
APBD bisa lebih terkonsentrasi pada belanja yang langsung terkait dengan
layanan publik. Asumsinya belanja ini semakin berkurang maka akan
direalokasikan ke belanja modal dan belanja barang dan jasa yang lebih
efektif dalam mendorong roda perekonomian daerah.
8. Indikator optimalisasi SiLPA; Besarnya SiLPA pada akhir tahun tentunya
menjadi salah satu sumber pembiayaan pada tahun berikutnya
untuk mendanai belanja daerah. Rasio ini diharapkan akan semakin
turun mengingat tingginya SiLPA yang terjadi bisa ditengarai oleh
karena rendahnya penyerapan belanja daerah, yang pada dasarnya
mengidikasikan tidak efisien dan efektifnya perencanaan kegiatan di
daerah. Sumber SiLPA selain itu adanya dana dari pusat yang tidak
terserap. Sehingga rasio ini juga perlu dicermati oleh pemerintah pusat
dalam melakukan kebijakan transfer ke daerah yang efisien dan efektif.
45
Rasio
Definisi
Jenis Data
Sumber
Data
Total Pendapatan
Daerah / Jumlah
Penduduk
APBD,
BPS
PAD /Total
Pendapatan Daerah
APBD
Pendapatan Daerah,
Tingkat kemampuan daerah
DAK, Hibah, Dana
dalam mendanai program dan
Penyesuaian, Dana
kegiatan yang menjadi prioritas
Darurat, Bel Pegawai tdk
daerahnya.
langsung, Bel Bunga
APBD
APBD,
BPS
Total Pendapatan
Daerah+Penerimaan
Pembiayaan /
Total Belanja
Daerah+Pengeluaran
Pembiayaan
Total Pendapatan
daerah, Total
Tingkat kemampuan keuangan
Penerimaan
daerah dalam mendanai
Pembiayaan, Total
belanja dan pengeluaran
belanja daerah,
daerah.
Total Pengeluaran
Pembiayaan
46
APBD
No
Rasio
Definisi
Belanja Pegawai
Tidak Langsung /
Total Belanja Daerah
SiLPA tahun
Proporsi SiLPA tahun
sebelumnya / Belanja sebelumnya terhadap belanja
Daerah
daerah tahun berjalan
Pembayaran Pokok
Utang+Bunga / Total
Pendapatan Daerah
Jenis Data
Sumber
Data
APBD
APBD
APBD
Pembayaran Pokok
Pinjaman, Belanja
Bunga, Total pendapatan
Daerah
APBD
Cara penghitungan sembilan rasio analisis ini dengan mengacu pada cara
penghitungan ten point test analysis-nya Brown adalah sebagai berikut:
1. Ke sembilan rasio tersebut masing-masing dihitung berdasarkan data yang
sudah tersedia.
2. Hasil perhitungan rasio tersebut kemudian diurutkan dari atas ke bawah,
atau dari bawah ke atas. Cara pengurutannya didasarkan pada nilai yang
diinginkan dari masing-masing rasio. Misalnya, rasio pendapatan perkapita,
maka nilai yang lebih diinginkan adalah rasio yang tinggi adalah semakin
bagus. Sebaliknya, untuk rasio yang menurut common sense dianggap
rasio yang semakin rendah semakin bagus, misalnya rasio belanja pegawai
tidak langsung / total belanja daerah, maka pengurutannya dibalik.
3. Setelah rasio-rasio tersebut sudah sesuai dengan urutannya, kemudian
disesuaikan berdasarkan kuartil-kuartilnya. Nilai tengah atau nilai median
observasi dari urutan tersebut menunjukkan titik 50%. Rasio-rasio yang
berada di bawah persentil ke-25 berarti masuk kuartil pertama. Rasio-
47
48
Total Skor
Tertinggi
30
Terendah
18
Rata-rata
25
Daerah
Skor
30
29
Prov. Lampung
28
28
27
26
Prov. Jambi
26
26
26
49
No.
Daerah
Skor
10
26
11
26
12
Prov. Bengkulu
26
13
Prov. Maluku
26
14
26
15
Prov. Gorontalo
26
16
25
17
Prov. Riau
25
18
25
19
Prov. Banten
25
20
25
21
25
22
25
23
24
24
Prov. Bali
23
25
Prov. DI Yogyakarta
23
26
23
27
23
28
23
29
22
30
22
31
Prov. Aceh
20
32
Prov. Papua
18
50
51
Tabel 5.4
Gambaran Deskriptif Skor Seluruh Daerah Kabupaten
Peringkat
Total Skor
Kluster 1
Kluster 2
Kluster 3
Kluster 4
Kluster 5
Tertinggi
26
31
29
30
31
Terendah
15
15
14
12
16
Rata-Rata
20
21
21
22
24
52
Daerah
Skor
26
Kab. Deiyai
25
No.
Daerah
Skor
25
Kab. Karimun
25
25
24
Kab. Sinjai
24
24
24
10
Kab. Badung
23
Daerah
Skor
Kab. Takalar
17
Kab. Magelang
17
Kab. Jombang
17
Kab. Purworejo
17
Kab. Trenggalek
17
Kab. Minahasa
17
Kab. Magetan
17
53
No.
Daerah
Skor
Kab. Tulungagung
16
Kab. Klaten
16
10
Kab. Madiun
15
Daerah kabupaten yang memiliki skor tingkat kondisi keuangan yang tinggi
di tahun 2011 dalam kluster 2 adalah sebagai berikut :
Tabel 5.7
Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Tertinggi
(Kluster 2 - luas wilayah antara 1, 213km2 s/d 1,989km2)
No.
Daerah
Skor
31
28
Kab. Bintan
28
Kab. Bekasi
28
26
26
Kab. Nias
26
26
25
10
Kab. Maros
25
54
tingkat kondisi keuangan yang terendah dalam kluster 2 dengan nilai sebesar
15, sebagaimana dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5.8
Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Terendah
(Kluster 2 - luas wilayah antara 1, 213km2 s/d 1,989km2)
No.
Daerah
Skor
Kab. Blora
16
Kab. Pati
16
Kab. Blitar
16
16
Kab. Lumajang
16
Kab. Kediri
16
Kab. Wonogiri
15
Kab. Dairi
15
Kab. Brebes
15
10
Kab. Bireuen
15
Daerah kabupaten yang memiliki skor tingkat kondisi keuangan yang tinggi
di tahun 2011 dalam kluster 3 adalah sebagai berikut :
Tabel 5.9
Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Tertinggi
(Kluster 3 - luas wilayah antara 1,990km2 s/d 3,571km2)
No.
Daerah
Skor
29
28
55
No.
Daerah
Skor
28
28
27
26
26
26
25
10
Kab. Lingga
25
56
Daerah
Skor
Kab. Pandeglang
17
17
Kab. Indramayu
16
Kab. Cilacap
16
Kab. Tanggamus
16
Kab. Sumenep
16
Kab. Pesawaran
16
No.
Daerah
Skor
Kab. Ciamis
16
Kab. Garut
15
10
Kab. Tasikmalaya
14
Daerah kabupaten yang memiliki skor tingkat kondisi keuangan yang tinggi
di tahun 2011 dalam kluster 4 adalah sebagai berikut :
Tabel 5.11
Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Tertinggi
(Kluster 4 - luas wilayah antara 3,572km2 s/d 6,276km2)
No.
Daerah
Skor
Kab. Sukamara
30
30
Kab. Tabalong
30
29
29
Kab. Sekadau
28
27
27
26
10
26
57
tingkat kondisi keuangan yang terendah dalam kluster 4 dengan nilai sebesar
12, sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 5.12
Kabupaten dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Terendah
(Kluster 4 - luas wilayah antara 3,572km2 s/d 6,276km2)
No.
Daerah
Skor
Kab. Konawe
17
Kab. Simalungun
17
Kab. Asahan
17
Kab. Banyuwangi
17
Kab. Kupang
16
16
16
Kab. 50 Kota
15
Kab. Bone
14
10
12
Tabel 5.13
Kabupaten Dengan Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Tertinggi
(Kluster 5 - luas wilayah di atas 6,276km2)
No.
58
Daerah
Skor
31
30
30
Kab. Jayawijaya
30
No.
Daerah
Skor
Kab. Berau
29
Kab. Merauke
29
Kab. Malinau
28
Kab. Bulungan
28
28
10
Kab. Sorong
28
Daerah
Skor
Kab. Sambas
21
20
20
20
Kab. Banyuasin
20
Kab. Sintang
20
Kab. Kapuas
20
Kab. Banggai
20
18
10
16
59
Total Skor
Kluster 1
Kluster 2
Kluster 3
Kluster 4
Kluster 5
Tertinggi
30
26
24
28
26
Terendah
16
17
16
16
15
Rata-Rata
22
22
20
21
21
Tabel di atas menunjukan bahwa skor kondisi keuangan per kota pada
masing-masing kluster mempunyai nilai tertinggi dan terendah serta nilai ratarata yang berbeda. Untuk kluster 1 memiliki skor tertinggi sebesar 30 dan
60
Daerah
Skor
Kota Subulussalam
30
28
Kota Pare-Pare
26
Kota Sabang
26
Kota Mojokerto
25
Kota Tual
25
25
Kota Sibolga
23
23
10
Kota Sawahlunto
21
11
Kota Solok
21
12
Kota Magelang
21
13
20
14
20
61
No.
Daerah
Skor
15
20
16
Kota Kotamobagu
19
17
Kota Pariaman
19
18
Kota Payakumbuh
18
19
Kota Tomohon
16
62
Daerah
Skor
Kota Bontang
26
Kota Blitar
26
Kota Singkawang
24
Kota Banjar
24
Kota Metro
24
Kota Lhokseumawe
24
Kota Gorontalo
24
22
Kota Palopo
22
10
Kota Prabumulih
21
11
Kota Bau-Bau
21
12
Kota Langsa
21
13
Kota Salatiga
20
14
Kota Pasuruan
20
15
20
16
Kota Bima
20
17
19
18
Kota Madiun
17
Daerah kota yang memiliki skor tingkat kondisi keuangan yang tinggi di
tahun 2011 dalam kluster 3 adalah sebagai berikut :
Tabel 5.18
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kota
(Kluster 3 - jumlah penduduk antara 189.382 jiwa sampai 264.608 jiwa)
No.
Daerah
Skor
Kota Banjarbaru
24
Kota Dumai
23
Kota Tarakan
23
23
23
Kota Batu
22
22
Kota Pekalongan
22
Kota Tegal
22
10
Kota Jayapura
20
11
Kota Ternate
20
12
Kota Sorong
19
63
No.
Daerah
Skor
13
Kota Kediri
19
14
18
15
Kota Binjai
18
16
Kota Probolinggo
18
17
18
18
Kota Bitung
17
19
16
64
Daerah
Kota Cilegon
Skor
28
Kota Balikpapan
25
Kota Cirebon
25
Kota Pontianak
25
Kota Banjarmasin
23
Kota Manado
23
Kota Palu
22
Kota Kendari
22
Kota Sukabumi
22
10
Kota Yogyakarta
21
11
Kota Serang
21
No.
Daerah
Skor
12
Kota Mataram
20
13
Kota Ambon
20
14
Kota Surakarta
19
15
Kota Jambi
18
16
Kota Bengkulu
18
17
Kota Cimahi
18
18
Kota Kupang
16
Daerah
Skor
26
Kota Depok
25
Kota Batam
23
Kota Samarinda
22
Kota Pekanbaru
22
Kota Bogor
22
Kota Bekasi
22
65
No.
Daerah
Kota Semarang
22
Kota Bandung
22
10
Kota Medan
22
11
Kota Tangerang
21
12
Kota Denpasar
20
13
Kota Malang
19
14
Kota Palembang
18
15
Kota Surabaya
18
16
Kota Makassar
18
17
Kota Tasikmalaya
17
18
16
19
Kota Padang
15
66
Skor
BAB VI
IMPLIKASI REALISASI APBD TA 2011
TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH
Realisasi seluruh kegiatan pelayanan publik daerah yang alokasi
pendanaannya telah tertuang dalam APBD tentunya diharapkan mempunyai
implikasi pada peningkatan kinerja perekonomian suatu daerah. Salah satu
indikator kinerja perekonomian daerah adalah peningkatan nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah. PDRB merupakan nilai tambah
bruto seluruh barang dan jasa yang tercipta atau dihasilkan di wilayah domestik
suatu daerah yang timbul akibat berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu
periode tertentu tanpa memperhatikan apakah faktor produksi dimiliki oleh
residen atau non-residen (Direktorat Neraca Produksi BPS, 2006).
Secara teoritis, besarnya penyerapan anggaran yang tercermin dari
besarnya dana yang dibelanjakan daerah memberikan kontribusi pada
pembentukan PDRB dan bisa dilihat dengan menggunakan pendekatan
penggunaan, di mana salah satu faktor pembentuk PDRB adalah belanja
pemerintah daerah. Meskipun demikian, tidak serta merta realisasi belanja
daerah akan secara otomatis mempengaruhi laju pertumbuhan PDRB. Banyak
sekali faktor yang mempengaruhi pertumbuhan PDRB. Salah satu faktor yang
mempengaruhi adalah besar kecilnya volume belanja APBD dibandingkan
dengan total PDRB. Secara nasional, porsi belanja APBD terhadap PDRB
relatif kecil bila dibandingkan dengan faktor pembentuk PDRB lainnya seperti
konsumsi,dan investasi. Rata-rata nasional menunjukkan bahwa volume
belanja APBD hanya berkisar 19% dari besarnya PDRB suatu daerah.
Di wilayah Indonesia timur, perbandingan antara besarnya volume APBD
dengan PDRB memang relatif tinggi, sebagai contoh volume APBD agregat
provinsi, kabupaten, kota se-provinsi Maluku Utara bahkan mencapai 78% dan
67
68
No
Provinsi
PDRB
(Rp juta)
Total APBD
(Rp Juta)
% APBD to
PDRB
Riau
413.350.123
18.762.393
4,50%
Jawa Barat
861.006.348
47.540.535
5,50%
Jawa Timur
883.511.575
51.556.018
5,80%
Banten
192.218.910
12.922.930
6,70%
Kalimantan Timur
390.638.541
26.574.325
6,80%
Sumatera Utara
314.156.937
25.216.918
8,00%
Jawa Tengah
498.614.636
41.453.459
8,30%
Sumatera Selatan
181.776.073
17.668.206
9,70%
Lampung
128.408.895
12.664.287
9,90%
10
Kepulauan Riau
80.242.794
8.045.745
10,00%
No
Provinsi
PDRB
(Rp juta)
Total APBD
(Rp Juta)
% APBD to
PDRB
11
DKI Jakarta
233.147.424
26.423.600
11,30%
12
DI Yogyakarta
51.782.092
6.302.377
12,20%
13
Sumatera Barat
98.917.269
12.396.835
12,50%
14
Sulawesi Selatan
137.389.879
18.142.068
13,20%
15
Bali
73.478.162
9.776.375
13,30%
16
Jambi
63.268.138
8.643.229
13,70%
17
Bangka Belitung
30.254.777
4.275.421
14,10%
18
Kalimantan Selatan
68.234.881
10.463.593
15,30%
19
Kalimantan Barat
66.780.222
10.839.032
16,20%
20
48.729.107
8.463.274
17,40%
21
Sulawesi Tengah
44.318.855
7.768.389
17,50%
22
Kalimantan Tengah
49.072.507
9.204.212
18,80%
23
Sulawesi Utara
41.505.118
8.054.567
19,40%
24
Aceh
85.537.966
19.663.900
23,00%
25
Sulawesi Tenggara
32.032.499
7.405.259
23,10%
26
Sulawesi Barat
12.895.358
3.190.065
24,70%
27
Bengkulu
21.150.290
5.457.899
25,80%
28
Papua Barat
36.170.456
10.126.820
28,00%
29
Papua
76.370.616
24.188.610
31,70%
30
31.204.406
11.259.582
36,10%
31
Gorontalo
9.153.669
3.505.863
38,30%
32
Maluku
9.594.886
6.145.534
64,10%
33
Maluku Utara
6.056.974
4.738.565
78,20%
69
70
Tabel 6.2
Perbandingan APBD Per Kapita
dengan Indikator Kesejahteraan Masyarakat
No
Provinsi
Jabar
Banten
3
4
5
6.48
10.65
9.83
1,167
6.43
6.32
13.06
Jateng
1,28
6.01
15.76
5.93
Jatim
1,369
7.22
14.23
4.16
Lampung
1,641
6.39
16.93
5.78
DIY
1,819
5.16
16.08
3.97
NTB
1,851
-3.18
19.73
5.33
Sumut
1,935
6.58
11.33
6.37
Sulsel
2,226
7.65
10.29
6.56
10
Sumsel
2,325
6.50
14.24
5.77
11
NTT
2,363
5.63
21.23
2.69
12
Bali
2,419
6.49
4.20
2.32
13
Kalbar
2,424
5.94
8.60
3.88
14
Sumbar
2,531
6.22
9.04
6.45
15
DKI
2,628
6.70
3.75
10.80
16
Sulbar
2,634
10.41
13.89
2.82
17
Jambi
2,684
6.90
8.65
4.02
18
Kalsel
2,823
6.12
5.29
5.23
19
Sulteng
2,856
9.16
15.83
4.01
20
Bengkulu
3,119
6.40
17.50
2.37
21
Sultra
3,214
8.68
14.56
3.06
22
Gorontalo
3,281
7.68
18.75
4.26
23
Riau
3,289
5.01
8.47
5.32
24
Babel
3,379
6.40
5.75
3.61
25
Sulut
3,503
7.39
8.51
8.62
26
Maluku
3,788
6.02
23.00
7.38
71
No
Provinsi
27
Kalteng
4,041
6.74
6.56
2.55
28
Aceh
4,285
5.02
19.57
7.43
29
Malut
4,422
6.41
9.18
5.55
30
Kepri
4,5
6.67
7.40
7.80
31
Kaltim
7,081
3.93
6.77
9.84
32
Papua
7,553
-5.67
31.98
3.94
33
Papbar
13,053
27.22
31.92
8.94
Grafik 6.1
Realisasi Pendapatan Perkapita
72
73
Provinsi Papua. Untuk Provinsi Papua dan Provinsi NTB, meskipun memiliki
realisasi belanja yang tinggi, namun pertumbuhan ekonominya negatif. Dasar
penyebab yang paling memungkinkan dari fakta tersebut adalah sektor swasta
maupun masyarakat di ketiga wilayah tersebut kontribusinya dalam PDRB kecil
sehingga laju pertumbuhan PDRB yang hanya tergantung dari government
spending menjadi melambat atau lebih kecil dari tahun sebelumnya.
Grafik 6.2
Perbandingan Realisasi Belanja dengan Pertumbuhan Ekonomi
74
yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Maluku yaitu 31,98%,
31,92% dan 23%.
Grafik 6.3
Perbandingan Realisasi Belanja dengan Tingkat Pengangguran
Grafik 6.4
Perbandingan Realisasi Belanja dengan Tingkat Kemiskinan
75
76
Grafik 6.5
Perbandingan Realisasi Belanja per Kapita dengan Delta Tingkat
Kemiskinan 2010-2011
Grafik 6.6
Perbandingan Realisasi Belanja per Kapita dengan Delta Tingkat
Pengangguran 2010-2011
77
DAFTAR LAMPIRAN
Daftar Lengkap Peringkat Pemerintah Daerah berdasarkan
BAB V Analisis Indikator Kondisi Keuangan Daerah
Lampiran 5.1
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Provinsi
No.
78
Daerah
Skor
30
29
Prov. Lampung
28
28
27
26
Prov. Jambi
26
26
26
10
26
11
26
12
Prov. Bengkulu
26
13
Prov. Maluku
26
14
26
15
Prov. Gorontalo
26
16
25
17
Prov. Riau
25
18
25
19
Prov. Banten
25
20
25
21
25
22
25
No.
Daerah
23
Skor
24
24
Prov. Bali
23
25
Prov. DI Yogyakarta
23
26
23
27
23
28
23
29
22
30
22
31
Prov. Aceh
20
32
Prov. Papua
18
Lampiran
79
Lampiran 5.2
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kabupaten
(Kluster 1 - Luas Wilayah di Bawah 1, 213 km2)
No.
80
Daerah
Skor
26
Kab. Deiyai
25
25
Kab. Karimun
25
25
24
Kab. Sinjai
24
24
24
10
Kab. Badung
23
11
23
12
23
13
23
14
23
15
Kab. Wakatobi
23
16
Kab. Sangihe
23
17
Kab. Bangli
23
18
Kab. Rembang
23
19
Kab. Tangerang
22
20
Kab. Supiori
22
21
Kab. Semarang
22
22
Kab. Bantaeng
22
23
22
24
Kab. Barru
22
25
22
26
Kab. Jepara
22
27
21
No.
Daerah
Skor
28
Kab. Demak
21
29
Kab. Gresik
21
30
Kab. Kebumen
21
31
21
32
21
33
Kab. Karangasem
21
34
Kab. Majene
21
35
21
36
Kab. Tabanan
21
37
Kab. Banjarnegara
21
38
21
39
Kab. Temanggung
21
40
Kab. Wonosobo
20
41
20
42
Kab. Klungkung
20
43
Kab. Kudus
20
44
Kab. Purbalingga
20
45
Kab. Sukoharjo
20
46
Kab. Gianyar
20
47
Kab. Kendal
20
48
Kab. Bantul
20
49
Kab. Purwakarta
20
50
Kab. Pekalongan
20
51
Kab. Pemalang
20
52
Kab. Sidoarjo
19
53
Kab. Jembrana
19
54
19
55
Kab. Lebong
19
56
Kab. Sleman
19
57
19
Lampiran
81
No.
Daerah
58
Kab. Cirebon
19
59
Kab. Majalengka
19
60
Kab. Karanganyar
18
61
Kab. Mojokerto
18
62
Kab. Pamekasan
18
63
Kab. Sragen
18
64
Kab. Bangkalan
18
65
Kab. Tegal
18
66
Kab. Batang
18
67
Kab. Pringsewu
18
68
Kab. Jeneponto
18
69
Kab. Kuningan
18
70
Kab. Boyolali
18
71
Kab. Takalar
17
72
Kab. Magelang
17
73
Kab. Jombang
17
74
Kab. Purworejo
17
75
Kab. Trenggalek
17
76
Kab. Minahasa
17
77
Kab. Magetan
17
78
Kab. Tulungagung
16
79
Kab. Klaten
16
80
Kab. Madiun
15
82
Skor
Lampiran 5.3
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kabupaten
(Kluster 2 - Luas Wilayah Antara 1, 213km2 s/d 1,989km2)
No.
1
Daerah
Skor
31
28
Kab. Bintan
28
Kab. Bekasi
28
26
26
Kab. Nias
26
26
25
10
Kab. Maros
25
11
25
12
25
13
25
14
Kab. Kepahiang
25
15
24
16
Kab. Balangan
24
17
Kab. Ngada
24
18
24
19
23
20
Kab. Lembata
23
21
23
22
23
23
Kab. Yalimo
22
24
22
25
22
26
22
27
Kab. Nagekeo
22
83
84
No.
Daerah
Skor
28
Kab. Pinrang
22
29
Kab. Bondowoso
22
30
22
31
22
32
21
33
Kab. Sikka
21
34
Kab. Subang
21
35
Kab. Boalemo
21
36
20
37
Kab. Pasuruan
20
38
20
39
Kab. Sampang
20
40
20
41
20
42
20
43
Kab. Serang
19
44
Kab. Karawang
19
45
Kab. Sumedang
19
46
Kab. Tuban
19
47
19
48
Kab. Soppeng
19
49
Kab. Probolinggo
19
50
Kab. Buleleng
19
51
Kab. Enrekang
19
52
19
53
19
54
Kab. Gorontalo
19
55
Kab. Ponorogo
19
56
Kab. Pacitan
19
57
Kab. Banyumas
18
No.
Daerah
Skor
58
Kab. Gowa
18
59
18
60
18
61
Kab. Ngawi
18
62
18
63
Kab. Agam
18
64
Kab. Lamongan
18
65
17
66
Kab. Bandung
17
67
Kab. Situbondo
17
68
Kab. Bulukumba
17
69
Kab. Nganjuk
17
70
Kab. Blora
16
71
Kab. Pati
16
72
Kab. Blitar
16
73
16
74
Kab. Lumajang
16
75
Kab. Kediri
16
76
Kab. Wonogiri
15
77
Kab. Dairi
15
78
Kab. Brebes
15
79
Kab. Bireuen
15
85
Lampiran 5.4
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kabupaten
(Kluster 3 - Luas Wilayah Antara 1,990km2 s/d 3,571km2)
No.
86
Daerah
Skor
29
28
28
28
27
26
26
26
25
10
Kab. Lingga
25
11
Kab. Simeulue
25
12
25
13
25
14
Kab. Belitung
24
15
Kab. Nduga
24
16
Kab. Dharmasraya
24
17
Kab. Natuna
24
18
Kab. Kaur
24
19
24
20
24
21
24
22
23
23
Kab. Tapin
23
24
23
25
23
26
Kab. Manggarai
23
27
23
No.
Daerah
Skor
28
23
29
Kab. Mesuji
23
30
Kab.Seluma
23
31
Kab. Bima
23
32
22
33
22
34
Kab. Bangka
22
35
Kab. Bogor
22
36
Kab. Samosir
22
37
Kab. Alor
22
38
22
39
22
40
Kab. Pontianak
21
41
Kab. Lebak
21
42
Kab. Wajo
21
43
21
44
21
45
Kab. Luwu
21
46
Kab. Bombana
20
47
Kab. Sijunjung
20
48
Kab. Muna
20
49
Kab. Kerinci
20
50
20
51
Kab. Buton
20
52
Kab. Belu
20
53
20
54
20
55
20
56
19
57
19
87
No.
Daerah
58
Kab. Mamasa
19
59
19
60
Kab. Ende
19
61
Kab. Malang
19
62
Kab. Dompu
19
63
19
64
Kab. Pidie
19
65
Kab. Bojonegoro
18
66
18
67
Kab. Grobogan
18
68
Kab.Humbang Hasundutan
17
69
Kab. Jember
17
70
Kab. Pandeglang
17
71
17
72
Kab. Indramayu
16
73
Kab. Cilacap
16
74
Kab. Tanggamus
16
75
Kab. Sumenep
16
76
Kab. Pesawaran
16
77
Kab. Ciamis
16
78
Kab. Garut
15
79
Kab. Tasikmalaya
14
88
Skor
Lampiran 5.5
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kabupaten
(Kluster 4 - Luas Wilayah Antara 3,572km2 s/d 6,276km2)
No.
Daerah
Skor
Kab. Sukamara
30
30
Kab. Tabalong
30
29
29
Kab. Sekadau
28
27
27
26
10
26
11
Kab. Maybrat
25
12
25
13
25
14
25
15
25
16
25
17
25
18
25
19
Kab. Buol
25
20
Kab. Tambrauw
24
21
Kab. Tolikara
24
22
Kab. Banjar
24
23
24
24
24
25
24
26
24
27
Kab. Lahat
23
89
90
No.
Daerah
Skor
28
23
29
23
30
Kab. Dogiyai
23
31
Kab. Sarolangun
23
32
Kab. Pohuwato
23
33
23
34
23
35
Kab. Buru
23
36
22
37
Kab. Mukomuko
22
38
22
39
Kab. Batanghari
22
40
22
41
Kab. Bengkayang
22
42
22
43
22
44
Kab. Tolitoli
22
45
22
46
21
47
Kab. Bungo
21
48
21
49
21
50
21
51
Kab. Donggala
21
52
21
53
21
54
20
55
Kab. Sigi
20
56
Kab. Pasaman
20
57
20
No.
Daerah
Skor
58
19
59
19
60
19
61
19
62
19
63
Kab. Sukabumi
19
64
19
65
19
66
Kab. Langkat
18
67
Kab. Cianjur
18
68
17
69
Kab. Solok
17
70
Kab. Konawe
17
71
Kab. Simalungun
17
72
Kab. Asahan
17
73
Kab. Banyuwangi
17
74
Kab. Kupang
16
75
16
76
16
77
Kab. 50 Kota
15
78
Kab. Bone
14
79
12
91
Lampiran 5.6
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kabupaten
(Kluster 5 - Luas Wilayah di Atas 6,276km2)
No.
1
92
Daerah
Kab. Seram Bagian Timur
Skor
31
30
30
Kab. Jayawijaya
30
Kab. Berau
29
Kab. Merauke
29
Kab. Malinau
28
Kab. Bulungan
28
28
10
Kab. Sorong
28
11
Kab. Seruyan
28
12
28
13
27
14
27
15
Kab. Mappi
27
16
27
17
27
18
Kab. Paniai
27
19
26
20
Kab. Paser
26
21
Kab. Siak
26
22
Kab. Kotabaru
26
23
26
24
Kab. Mimika
26
25
26
26
26
27
Kab. Bengkalis
25
No.
Daerah
Skor
28
25
29
Kab. Lamandau
25
30
25
31
Kab. Manokwari
25
32
Kab. Melawi
25
33
Kab. Yahukimo
25
34
Kab. Merangin
25
35
24
36
Kab. Nunukan
24
37
Kab. Kaimana
24
38
Kab. Tebo
24
39
24
40
Kab. Morowali
24
41
Kab. Fakfak
24
42
24
43
Kab. Keerom
24
44
24
45
Kab. Landak
24
46
Kab. Kolaka
24
47
Kab. Jayapura
24
48
Kab. Poso
24
49
Kab. Nabire
24
50
24
51
24
52
Kab. Sarmi
23
53
Kab. Puncak
23
54
Kab. Katingan
23
55
23
56
23
57
Kab. Mamuju
23
93
No.
Daerah
58
23
59
23
60
Kab. Pelalawan
23
61
23
62
Kab. Sumbawa
23
63
23
64
Kab. Asmat
22
65
Kab. Waropen
22
66
Kab. Ketapang
22
67
Kab. Sanggau
22
68
Kab. Kampar
22
69
21
70
21
71
Kab. Sambas
21
72
20
73
20
74
20
75
Kab. Banyuasin
20
76
Kab. Sintang
20
77
Kab. Kapuas
20
78
Kab. Banggai
20
79
18
80
16
94
Skor
Lampiran 5.7
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kota
(Kluster 1 - Jumlah Penduduk di Bawah 131.423 Jiwa)
No.
Daerah
Skor
Kota Subulussalam
30
28
Kota Pare-Pare
26
Kota Sabang
26
Kota Mojokerto
25
Kota Tual
25
25
Kota Sibolga
23
23
10
Kota Sawahlunto
21
11
Kota Solok
21
12
Kota Magelang
21
13
20
14
20
15
20
16
Kota Kotamobagu
19
17
Kota Pariaman
19
18
Kota Payakumbuh
18
19
Kota Tomohon
16
Daftar Pustaka
95
Lampiran 5.8
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kota
(Kluster 2 - Jumlah Penduduk Antara 131.423 Jiwa Sampai 189.381 Jiwa)
No.
Daerah
Kota Bontang
26
Kota Blitar
26
Kota Singkawang
24
Kota Banjar
24
Kota Metro
24
Kota Lhokseumawe
24
Kota Gorontalo
24
22
Kota Palopo
22
10
Kota Prabumulih
21
11
Kota Bau-Bau
21
12
Kota Langsa
21
13
Kota Salatiga
20
14
Kota Pasuruan
20
15
20
16
Kota Bima
20
17
19
18
Kota Madiun
17
96
Skor
Lampiran 5.9
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kota
(Kluster 3 - Jumlah Penduduk Antara 189.382 Jiwa Sampai 264.608 Jiwa)
No.
Daerah
Skor
Kota Banjarbaru
24
Kota Dumai
23
Kota Tarakan
23
23
23
Kota Batu
22
22
Kota Pekalongan
22
Kota Tegal
22
10
Kota Jayapura
20
11
Kota Ternate
20
12
Kota Sorong
19
13
Kota Kediri
19
14
18
15
Kota Binjai
18
16
Kota Probolinggo
18
17
18
18
Kota Bitung
17
19
16
97
Lampiran 5.10
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kota
(Kluster 4 - Jumlah Penduduk Antara 264.609 Jiwa sampai 643.043 Jiwa)
No.
Daerah
Skor
Kota Cilegon
28
Kota Balikpapan
25
Kota Cirebon
25
Kota Pontianak
25
Kota Banjarmasin
23
Kota Manado
23
Kota Palu
22
Kota Kendari
22
Kota Sukabumi
22
10
Kota Yogyakarta
21
11
Kota Serang
21
12
Kota Mataram
20
13
Kota Ambon
20
14
Kota Surakarta
19
15
Kota Jambi
18
16
Kota Bengkulu
18
17
Kota Cimahi
18
18
Kota Kupang
16
98
Lampiran 5.11
Skor Tingkat Kondisi Keuangan Daerah Kota
(Kluster 5 - Jumlah Penduduk di Atas 643.043 Jiwa)
No.
Daerah
Skor
26
Kota Depok
25
Kota Batam
23
Kota Samarinda
22
Kota Pekanbaru
22
Kota Bogor
22
Kota Bekasi
22
Kota Semarang
22
Kota Bandung
22
10
Kota Medan
22
11
Kota Tangerang
21
12
Kota Denpasar
20
13
Kota Malang
19
14
Kota Palembang
18
15
Kota Surabaya
18
16
Kota Makassar
18
17
Kota Tasikmalaya
17
18
16
19
Kota Padang
15
99
DAFTAR PUSTAKA
- Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD),
Perimbangan Keuangan ,Kementerian Keuangan.
Direktorat
Jenderal
- www.bps.go.id.
-
100
Daftar Pustaka
101
102