Você está na página 1de 6

http://sunda.andyonline.net/2012/11/antara-islam-dan-budaya-sunda.

html
Antara Islam dan Budaya Sunda

Tatar Sunda adalah wilayah tempat bermukimnya suku Sunda. Tatar Sunda umumnya
disamakan dengan daerah Jawa Barat. Sebelum daerah Jawa bagian barat terpecah
menjadi provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat seluruh wilayah ini dianggap sebagai
bagian dari etnik Sunda. Oleh sebab itu, ketika membicarakan sejarah Sunda, selalu saja
Cirebon, Banten, dan Jakarta menjadi wilayah yang dianggap menjadi bagian dari Sunda.
Akan tetapi, kini Jakarta diklaim sebagai tempat bermukim etnik khusus bernama "Betawi",
dan orang-orang Banten menganggap mereka bukan Sunda, melainkan "Banten". Sebentar
lagi, Cirebon ingin berpisah dari Jawa Barat karena mereka merasa bukan "Sunda". Mereka
adalah etnik tersendiri.
Sesungguhnya, kalau yang dilihat adalah perbedaan-perbedaan, tentu akan semakin
banyak wilayah yang ingin membentuk provinsi sendiri karena alasan etnisitas seperti kasus
Banten dan Cirebon. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa sungguh-sungguh Banten, Cirebon,
dan Betawi benar-benar bukan bagian dari "Tatar Sunda", karena pada kenyataannya, pada
wilayah-wilayah itulah populasi masyarakat Sunda tersebar. Oleh sebab itu, bila berbicara
"Tatar Sunda" dalam sejarah, tentu wilayah-wilayah itu tetap merupakan bagian di
dalamnya.
Sama seperti etnis Jawa yang umumnya berdiam di wilayah Jawa bagian tengah dan timur,
etnis Sunda pun mengalami proses sejarah yang panjang yang umumnya tidak terlampau
berbeda dengan yang dialami oleh etnis Jawa. Salah satu fase sejarah yang paling penting
adalah proses Islamisasi. Proses ini, sampai saat ini merupakan proses yang memberikan
kesan paling penting dam mendalam bagi masyarakat Sunda. Paling tidak, secara nominal,
mayoritas suku Sunda menganut Islam. Islam bahkan hampir menjadi bagian dari identitas
kesundaan. Dengan kata lain, kalau tidak Islam, agak aneh bahwa dia adalah orang Sunda,
sekalipun pada kenyataannya ada saja orang Sunda yang tidak Islam.
Membicarakan Sunda dengan Islam tentu menjadi semakin menarik apabila pendekatan
yang dipakai adalah kebudayaan. Islam sebagai agama yang berwatak membentuk
peradaban, tantu yang akan paling terlihat dampaknya dari keberadaan Islam adalah basis
dari peradaban itu sendiri, yaitu kebudayaan. Sejarah proses Islamisasi menjadi semakin
dapat dimengerti dengan baik apabila yang dipertimbangkan adalah faktor kebudayaan ini.
Tulisan berikut ini akan secara singkat memotret hubungan Islam dan Sunda dari sudut
pandang sejarah dan kebudayaan.
Islam

dan

Falsafah

Hidup

Urang

Sunda

Untuk memahami bagaimana intensifnya hubungan Islam dan Sunda pada masa kini, akan
amat penting apabila kita menggali bagaimana falsafah yang dianut masyarakat Sunda
kiwari. Apabila falsafah hidup yang dianut ternyata mendapat pengaruh kuat dari Islam,
maka hampir dapat dipastikan bahwa Islam telah meresap menjadi bagian tak terpisahkan
dari kebudayaan masyarakat Sunda. Inilah yang akan digali pertama pada tulisan ini.
Menggali falsafah hidup tentu saja harus diambil dari keseharian kehidupan masyarakat
Sunda. Jejak-jejak budaya yang hidup sehari-hari-lah yang akan memberikan banyak
informasi mengenai bagaimana urang Sunda mendefinisikan kehidupannya dan bagaimana
mereka harus menjalaninya. Salah satu jejak budaya yang cukup representatif untuk
menggambarkan mengenai falsafah hidup yang dianut urang Sunda adalah warisan
peribahasa dan pepatah yang hidup di tengah masyarakat. Dalam bahasa Sunda yang
demikian disebut paribasa dan babasan.
Di balik peribahasa dan pepatah itu tentu tersimpan suatu pandangan hidup tertentu
(worldview). Pandangan hidup inilah yang menjadi kerangka dasar masyarakat yang
bersangkutan melihat dan menafsirkan berbagai realitas yang dihadapinya. Di sini pula
dengan segera akan ditemukan sejauh mana Islam berpengaruh membentuk pandangan
hidup masyarakat Sunda.
Berkait dengan peribahasa, ada dua buku penting yang dapat dijadikan rujukan, yaitu buku
Mas Natawisastra berjudul Saratus Paribasa jeung Babasan (cet. I thn. 1914; cet. II 1978)
terdiri atas lima jilid. Buku lainnya ditulis Samsoedi Babasan jeung Paribasa Sunda yang
terbit tahun 1950-an. Dalam kedua buku tersebut termuat lebih dari 500 peribahasa Sunda.
Seluruhnya mewakili apa yang berkembang di tengah masyarakat Sunda.
Menurut Ajip Rosjidi, dari lebih 500 peribahasa, yang secara langsung kosakatanya
meminjam peristilahan Islam hanya ada sekitar 16 peribahasa. Sisanya tidak meminjam
peristilahan khusus Islam. Di antara babasan yang ada kaitan langsung dengan Islam
antara lain: Kokoro manggih Mulud, puasa manggih Lebaran (Orang melarat bertemu
perayaan Maulid Nabi, yang berpuasa bertemu dengan Lebaran), Jauh ke bedug (Jauh ke
suara bedug di mesjid), dan sebagainya.[1] Sementara peribahasa lain umumnya
menggunakan peristilahan yang umum dalam masyarakat Sunda dan tidak kaitannya
secara langsung dengan Islam contohnya antara lain: cul dog-dog tinggal igel (menari tanpa
diiringi lagi musik pengiring), kandel kulit beungeut (tebal kulit muka), dan sebagainya.
Berdasarkan bacaan Rosjidi, sekalipun peribahasa dan pepatah yang dibuat tidak secara
langsung menyerap istilah yang ada kaitan dengan kebudayaan Islam seperti tajug (mesjid),
mulud (perayaan Maulid Nabi), lebaran, puasa, dan semisalnya bukan berarti makna yang

terkandung di dalamnya juga tidak ada kaitan dengan Islam. Justru setelah keseluruhan
pepatah dibaca dan beberapa sampel pepatah dicontohkan, Rosjidi menyimpulkan:
Dengan demikian walaupun jumlah peribahasa yang tampak Islami tidak banyak, namun
kalau diteliti lebih lanjut, kebanyakan peribahasa Sunda ternyata mengandung nilai-nilai
yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pendapat yang pernah dikemukakan
oleh almarhum H. Endang Saifudin Anshari, MA bahwa "Islam teh Sunda, Sunda teh Islam"
tidaklah bertentangan dengan hasil pengamatan terhadap peribahasa Sunda.[2]
Dalam kesimpulannya Rosjidi setuju dengan pendapat Endang Saefudin Anshary bahwa
sesungguhnya antara Islam dengan Sunda tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan yang hidup
di tengah masyaraqkat Sunda adalah kebudayaan yang telah mendapat sentuhan Islam
sangat kuat hingga ajaran-ajaran Islam, sekalipun tidak harus dieksplisitkan ayat dan
hadisnya, telah membentuk pandangan hidup masyarakat Sunda. Tentu saja Sunda yang
dimaksud adalah kebudayaan Sunda kontemporer yang telah mengalami Islamisasi amat
intensif.
Sebagai contoh, ada peribahasa dalam bahasa Sunda mun teu ngarah moal ngarih, mun
teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek (kalau tidak berusaha takkan
mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan akal tak nanti menanak nasi, kalau tidak
bekerja tidak akan mungkin bisa makan). Peribahasa ini mencerminkan bagaimana orang
Sunda mengajarkan bahwa hidup harus dihadapi dengan usaha dan ikhtiar, tidak boleh
berpangku tangan. Sekalipun kata-kata yang digunakan tidak menggunakan istilah Islam,
namun pepatah ini amat sesuai dengan ajaran Islam yang memerintahkan untuk berusaha
dan berikhtiar.
Akan tetapi, dalam kenyataan keseharian kehidupan masyarakat Sunda, ada saja adat yang
kelihatannya tidak mencerminkan perilaku yang dipengaruhi Islam. Bisa jadi adat tersebut
maih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran pra-Islam. Hal demikian adalah wajar mengingat proses
Islamisasi adalah proses "menjadi" yang mungkin saja di satu tempat sudah berubah
sementara di tempat lain belum. Karya H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat Sunda.[3] Dalam
buku ini, Mustapa yang tokoh intelektual Muslim Sunda abad ke-19, memberikan penjelasan
mengenai berbagai adat kebiasaan yang dikerjakan masyarakat Sunda mulai adat saat
melahirkan, mengkhitan, menikahkan, menanam, kematian, dan sebagainya.
Dalam penjelasannya Mustapa menunjukkan apa pengaruh dan falsafah yang ada di balik
kebiasaan itu. Ada adat yang memang berkenaan dengan kepercayaan pra-Islam, ada pula
yang sudah menunjukkan pengaruh ajaran Islam. Sebagai seorang intelektual Muslim,
Mustapa secara proporsional menempatkan adat kebiasaan urang Sunda yang dituliskan
dalam kerangka pandangan hidupnya sebagai Muslim.

Dari sisi sumber intelektual, sebetulnya karya Mustapa ini juga sudah menunjukkan secara
tidak langsung bahwa tokoh-tokoh intelektual Sunda seperti dirinya pada abad ke-19 sudah
memiliki pengaruh yang kuat dari Islam. Ini berarti bahwa Islam sudah menjadi salah satu
referensi inetelektual yang penting sehingga adat kebiasaan yang berlaku pun ditimbang
dalam kerangka Islam.
Mengenai persoalan ada sebagian masyarakat yang lebih memegang adat daripada
pengajaran baru, di dalam falsafah masyarakat Sunda sendiri sudah disadari sejak awal. Ini
tercermin dari peribahasa kuat adat batan warah (lebih kuat adat daripada pengajaran). Ini
menunjukkan bahwa adat bukanlah harga mati. Bisa jadi, dengan datangnya pengajaran
baru adat haru berubah. Namun seringkali orang yang sudah telanjur memagang adat tidak
dapat dengan mudah meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya hanya karena ada pengajaran
baru.
Islamisasi

Tatar

Sunda

Sudah menjadi kebiasaan dalam historiogri kolonial bahwa Islamisasi akan dibenturkan
dengan pertahanan adat masyarakat lokal. Umpamanya ketika sejarawan-sejarawan
kolonial menceritakan proses Islamisasi di wilayah kebudayaan Jawa. Islamisasi yang
sesungguhnya adalah proses kebudayaan kemudian digambarkan dengan pristiwa-peristiwa
politik. Jadilah kemudian perang antara Demak dengan Majapahit (1526 M) sebagai
diartikan perang antara Islam dengan Hindu; atau Islam dengan kebudayaan Jawa. Dalam
hal ini, Demak disimbolkan sebagai wakil tradisi Islam sementara Majapahit disimbolkan
sebagai wakil kebudayaan Jawa.
Bila melihat hubungan antara Islam dengan kebudayaan setempat seperti demikian, maka
akan dapat disimpulkan bahwa Islam datang untuk menghancurkan "kebudayaan"
masyarakat

tempatan.

Padahal,

sejatinya

proses

Islamisasi,

apalagi

menyangkut

kebudayaan adalah proses yang damai, normal, dan wajar tanpa kekerasan. Orang dengan
sukarela menjadi Islam atau tidak. Sementara persoalan politik sesungguhnya lebih banyak
berkaitan dengan kepentingan kekuasaan, daripada dengan kepentingan mempertahankan
kebudayaan.
Hal yang sama juga akan ditemukan saat menceritakan hubungan antara Sunda dengan
Islam. Hubungan ini, dalam sejarah selalu dikaitkan dengan ingatan perang antara Maulana
Hasanudin dari Banten dengan kerajaan Sunda di bawah pimpinan Ratu Samiam tahun
1579 yang berakhir dengan hancurnya kerajaan Sunda. Perang ini seolah memberikan
pertanda bahwa Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu yang tidak dapat dipersatukan.
Oleh sebab adanya pandangan demikian, ada yang sengaja mencari "jati diri" kasundaan
dengan melewatkan Islam.[4]

Islam datang ke Tatar Sunda seiring dengan datangnya Islam ke Tanah Jawa pada
umumnya. Sama seperti di wilayah Jawa yang lain, puncak keberhasilan dakwah Islam
adalah pada masa Wali Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang menjadi penyebar
Islam tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan Islam di Cirebon dan Banten
adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Namun demikian, Sunan Gunung Jati
bukan orang pertama yang membawa Islam.
Dalam sumber-sumber lokal-tradisional dipercayai bahwa orang yang pertama kali memeluk
dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra
kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa
Kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar. Karena posisinya itu, ia
tebiasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia
menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.
Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan
mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji
di kerajaannya, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian menetap di Cirebon
Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan Galuh. Bila cerita ini menjadi patokan,
dapat disimpulkan bahwa Islam pertama kali dibawa ke Tatar Sunda oleh pedagang dan
pada tahap awal belum banyak pendukungnya karena masih terlampau kuatnya pengaruh
Hindu.[5]
Ada pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh Nurjati dari Persia.
Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14 bersama 12 orang muridnya untuk
menyebarkan Islam di daerah jawa Barat. Atas izin penguasa pelabuhan tempat ia
mendarat, ia diperbolehkan menetap di Muarajati (dekat Cirebon) dan mendirikan pesantren
di sana. Kisah ini terdapat dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.[6]
Ada lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam) bernama Syekh
Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal Laksamana Cheng Ho.
Sementara Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan
menikah dengan Ratna Sondari putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk mendirikan
pesantren hingga ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih leluasa.[7]
Sumber-sumber tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan Barat dianggap
sebagai sumber yang tidak otoritatif, namun untuk tidak dipercayai secara keseluruhan pun
bukan perkara yang tepat. Oleh sebab itu, sebagai informasi permulaan apa yang ditulis
dalam sumber-sumber tradisional di atas patut dipertimbangkan.

Bila sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah datang ke Tatar
Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi, sebagaimana umumnya pengembangan
agama secara damai, tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan mayoritas
membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad ke-16, Kerajaan
Sunda

runtuh,

bukan

berarti

bahwa

Islam

yang

menghancurkannya.

Kehancuran Kerajaan Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot
sehingga mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan dengan
Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara simplisistik
menyebutkan bahwa hancurnya simbol "kasundaan" adalah ketika Islam datang.

Catatan

Kaki -

Oleh,

Tiar

Anwar

Bachtiar

[1] Ajip Rosjidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, Pustaka Jaya Jakarta, 2010, hal. 39-40
[2]

Ibid,

hal.

50

[3] Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama oleh M.
Maryati Sastrawijaya diterbitkan terakhir

oleh PT Alumni Bandung tahun 2010.

[4] Salah satu yang berusaha untuk melakukan itu adalah budayawan Katolik ahli Sunda,
Jakob Sumardjo. Dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Simbol-Simbol Artefak Budaya
Sunda (diterbitkan Penerbit Kelir Bandung tahun 2009), Sumardjo berusaha mengaitkan jati
diri kasundaan dengan mengembalikannya pada kepercayaan Sunda yang dipengaruhi
animisme dan dinamisme; atau Hindu-Budha. Dalam jilid ketiga yang secara khusus
mengenai pantun-pantun Sunda, tafsiran istilah pada pantun itu ia kaitkan dengan
kepercayaan lama yang bukan Islam, padahal dalam konteks kekinian, pandangan hidup
Sunda

tidak

dapat

dipisahkan

dari

Islam.

[5] Nina Herlina, dkk. Sejarah Tatar Sunda. Satya Historika Bandung, 2003: hal. 164-165
[6]
[7] Ibid. hal. 167

Ibid.

hal.

166

Você também pode gostar