Você está na página 1de 172

KAJIAN ETNOBOTANI DAN ASPEK KONSERVASI

SENGKUBAK [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]


DI KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

UTIN RIESNA AFRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI
TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Etnobotani dan Aspek
Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] di Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,

Desember 2007

Utin Riesna Afrianti


NRP. E051054085

ABSTRACT
UTIN RIESNA AFRIANTI. The study of Etnobotany and Conservation Aspect
of Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] in Sintang, West
Kalimantan. Supervised by AGUS HIKMAT and AGUS PRIYONO KARTONO.
This study was Sintang Regency carried out in sub districts of Dedai, Sintang,
Kelam Permai and Sepauk, West Kalimantan by using interview and direct
sampling for collecting vegetation data. Sampling methods for characteristics of
vegetation was conducted by using combination line transect and square line. The
result indicated that the leaves of the P. cauliflora used as natural tasty by Dayak
and Melayu ethnic. Other utilization has not been recognized yet. The average
density of P. cauliflora in secondary forests was 14 individuals/ha; the height
average is 1.5 m, diameter is 0.73 cm, 68.98% of P. cauliflora are seedling. P.
cauliflora mostly can be found at 50 150 meters above sea level (m asl). The
spatial distribution pattern of P. cauliflora tends to be clumped. They have
positive associated with rubber plantation (Hevea brasilliensis) and Syzygium
zeylanicum for tree level; Hopea dryobalanoides and Palaquium rostratum for
pole level. Cultivation effort and the preservation of tembawang forest (mixed
rubber plantation) from conversion to other land uses are important aspect of P.
cauliflora conservation.
Key words: Etnobotany, Conservation, Pycnarrhena cauliflora, Dayak, Melayu.

ABSTRAK
UTIN RIESNA AFRIANTI. Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi
Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan AGUS PRIYONO
KARTONO.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Dedai, Sintang, Kelam Permai dan
Sepauk, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat menggunakan wawancara dan
metode kombinasi jalur dengan garis berpetak. Hasilnya menunjukkan bahwa
daun sengkubak digunakan oleh etnik Dayak dan Melayu sebagai penyedap rasa
alami, pemanfaatan untuk kepentingan lainnya relatif belum diketahui. Pada
formasi hutan sekunder sengkubak memiliki potensi rata-rata 14 ind/ha, rata-rata
tinggi batangnya adalah 1,5 m, potensi anakan 68,98%, rata-rata diameternya 0,73
cm. Sengkubak dapat ditemukan pada ketinggian 50-150 m dpl. Sengkubak
memiliki sebaran spasial cenderung mengelompok, dan berasosiasi positif dengan
Hevea brasilliensis dan Syzygium zeylanicum (tingkat pohon) dan Hopea
dryobalanoides dan Palaquium rostratum (tingkat tiang). Meningkatkan budidaya
dan tetap mempertahankan keberadaan hutan tembawang (hutan karet alam
campuran) dari konversi lahan untuk penggunaan lain merupakan aspek penting
dalam konservasi sengkubak.
Kata kunci : Etnobotani, konservasi, sengkubak, Dayak, Melayu.

Hak cipta milik IPB, tahun 2007


Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

RINGKASAN

UTIN RIESNA AFRIANTI. Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi


Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan AGUS PRIYONO
KARTONO.
Komunitas etnis Melayu dan Dayak di Kabupaten Sintang memiliki
pengetahuan tradisional mengenai penggunaan daun sengkubak (Pycnarrhena
cauliflora) sebagai penyedap rasa alami masakan. Pengetahuan tersebut
merupakan warisan leluhur kedua etnis tersebut. Diperlukan penelitian mengenai
etnobotani sengkubak pada etnis Melayu dan Dayak Sintang dan aspek
konservasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi aspek etnobotani
meliputi persepsi masyarakat mengenai pemanfaatan sengkubak, budidayanya,
pergeseran penggunaannya, jenis sengkubak menurut masyarakat, dan
mengidentifikasi aspek konservasi sengkubak meliputi bagaimana kondisi
populasi sengkubak dan habitat sengkubak, faktor-faktor yang mengancam
kelestariannya dan implikasi konservasi sengkubak di Kabupaten Sintang.
Metode penelitian secara garis besar terdiri dari 2 (dua) kegiatan utama,
yaitu pengumpulan data primer berupa wawancara untuk kajian etnobotani dan
inventarisasi potensi sumberdaya sengkubak (P. cauliflora) dan spesies tumbuhan
lain dilakukan pada tipe hutan sekunder di Kabupaten Sintang, pengisian
kuesioner dan pengumpulan data sekunder. Penelitian di laksanakan selama 3
(tiga bulan) yaitu bulan Mei-Juli 2007.
Daun sengkubak saat ini masih digunakan oleh sebagian masyarakat Dayak
dan Melayu Sintang sebagai penyedap rasa alami. Pengetahuan manfaat
sengkubak untuk keperluan penyedap rasa, pengobatan, nilai magis dan
pengetahuan mengenai manfaat terhadap bagian-bagian yang dapat digunakan
(daun, batang, buah) dari sengkubak, serta pengetahuan cara mengolah sengkubak
sebagai penyedap rasa (diremas, diiris-iris, ditumbuk) adalah berbeda antara etnis
Dayak dan Melayu Sintang. Tingkat seringnya menggunakan daun sengkubak
sebagai penyedap rasa tidak berbeda antara suku Dayak dan Melayu jika di lihat
berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, asal etnis, jarak antara tempat
tinggal pengguna sengkubak dengan tempat hidupnya sengkubak, namun berbeda
jika berdasarkan kelompok umur (15-54 tahun dan > 54 tahun). Pengetahuan
penggunaan sengkubak telah berkurang terutama di kalangan generasi muda etnis
Dayak dan Melayu. Pemanfaatan sengkubak yang dilakukan oleh masyarakat
dengan cara memanen langsung dari alam, sengkubak tidak dibudidayakan tetapi
tumbuh secara liar di hutan-hutan sekunder (karet alam campuran dan hutan adat).
Kondisi populasi sengkubak di formasi hutan sekunder Sintang rata-rata
kerapatannya 14 ind/ha. Sengkubak cenderung menyebar secara mengelompok,
dan sengkubak mempunyai asosiasi positif dengan Ubah (Syzygium zeylanicum)
pada tingkat pohon, (X2 = 4,4408 dan X20,05(1) = 3,841) di hutan Sirang. Dengan
derajat asosiasi 0,375 (Jaccard Index) dan 0,545 (Dice Index). Sengkubak juga
berasosiasi positif dengan Nyatoh (Palaquium rostratum) pada tingkat tiang (X2 =
6,511 dan X20,05(1) = 3,841), dengan derajat asosiasi 0,400 (JI) dan 0,571 (DI),

asosiasi sengkubak juga terjadi dengan karet (Hevea brasilliensis) pada tingkat
pohon (X2 = 5,590 dan X20,05(1) = 3,841), dengan derajat asosiasi 0,200 (JI) dan
0,333 (DI), dengan keladan (Hopea dryobalanoides) dengan (X2 = 5,590 dan
X20,05(1) = 3,841), dengan derajat asosiasinya yaitu 0,375 (JI) dan 0,545 (DI).
Pada tingkat semai di habitat P. cauliflora ditemukan 69 spesies tumbuhan,
dengan spesies yang dominan adalah Hevea brasilliensis (INP 26,15%), Hopea
dryobalanoides (INP 16,31%), dan Syzygium zeylanicum (INP 15,32%). Pada
tingkat pancang ditemukan 89 spesies tumbuhan, dimana Hevea brasilliensis
merupakan spesies dominan pertama dengan INP 48,37%, Horsfieldia irya (INP
20,82%) dan Litsea elliptica merupakan spesies dominan ketiga (INP 13,64%).
Pada tingkat tiang di habitat P. cauliflora ditemukan 69 spesies tumbuhan, dimana
Hevea brasilliensis masih merupakan spesies dominan dalam populasi tingkat
tiang dengan INP 59,31%, diikuti oleh tiang dari spesies-spesies Horsfieldia irya
(INP15,16%) dan Syzygium zeylanicum (14,48%). Eleteriospermum tapos (INP
16,7%). Pada tingkat pohon ditemukan 72 spesies tumbuhan, Hevea brasilliensis
merupakan jenis dominan yang memiliki INP tertinggi (58,27%), diikuti Litsea
elliptica dengan INP 21,5% dan Eleteriospermum tapos dengan INP 16,70%.
Hutan sekunder yang menjadi habitat sengkubak memiliki nilai
keanekaragaman spesies yang termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi pada
semua tingkat pertumbuhan spesies berkisar 2,09-3,14, kekayaan spesies pada
berbagai tingkat pertumbuhan berkisar 3,56-8,76 dan kemerataan spesies
bervariasi pada berbagai tingkat pertumbuhan mulai dari 0,66 (tingkat semai)
hingga 0,90 pada tingkat pertumbuhan pancang. Wilayah hutan Suak I dan Suak
II (2-3) memiliki kesamaan komunitas yang cukup tinggi (IS>50%) pada semua
tingkat pertumbuhan, hutan Sirang dengan Suak I, Suak II dan hutan Medang
dapat dikategorikan memiliki kesamaan komunitas rendah (IS<40%), kesamaan
komunitas antara hutan Suak I dengan hutan Medang dan Suak II dengan hutan
Medang dapat dikategorikan sedang pada tingkat pertumbuhan tiang (IS
mendekati 50%), pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon pada
lokasi tersebut kesamaan komunitasnya tergolong rendah (IS<40%).
Ancaman terhadap kelestarian sengkubak di Kab.Sintang berawal dari
konversi lahan hutan (adanya kecenderungan mengganti perkebunan karet
menjadi perkebunan kelapa sawit), dan tidak dilakukan budidaya yang intens
terhadap sengkubak, serta hilangnya pengetahuan penggunaan sengkubak
terutama di kalangan generasi muda baik pada etnis Dayak dan Melayu. Implikasi
konservasi sengkubak adalah meningkatkan nilai (mutu) dari sengkubak dengan
mengetahui kandungan bioaktif sengkubak, melakukan konservasi secara insitu
dan eksitu. Secara insitu dengan mempertahankan keberadaan hutan-hutan
tembawang atau hutan karet alam campuran sebagai habitat alami sengkubak
yang dikelola oleh masyarakat dengan melakukan kemitraan antara masyarakat,
pemerintah, stakeholder lain (Lembaga Swadaya Masyarakat, perguruan tinggi).
Secara eksitu dengan mengembangkan budidaya sengkubak di luar habitat aslinya
yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai pengguna sengkubak
dengan pemanfaatan yang lestari.
Kata Kunci: Sengkubak, Etnobotani, Konservasi, Dayak, Melayu

KAJIAN ETNOBOTANI DAN ASPEK KONSERVASI


SENGKUBAK [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]
DI KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

UTIN RIESNA AFRIANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Kehutanan pada
Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS.

Judul Tesis

: KAJIAN ETNOBOTANI DAN ASPEK KONSERVASI


SENGKUBAK [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]
DI KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN
BARAT

Nama Mahasiswa

: Utin Riesna Afrianti

Nomor Pokok

: E.051054085

Program Studi

: Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Sub Program Studi

: Konservasi Keanekaragaman Hayati

Disetujui
Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si


Anggota

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F


Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F


NIP. 131 760 834

Tanggal Ujian : 14 Desember 2007

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


NIP. 131 953 388

Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR

Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT karena atas berkat anugerahNya penelitian dan penulisan tesis berjudul Kajian Etnobotani Dan Aspek
Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sintang Kalimantan
Barat.
Tesis ini menguraikan tentang dokumentasi persepsi masyarakat tentang
pemanfaatan sengkubak, budidayanya, pergeseran pemanfaatannya, dan jenis
sengkubak menurut masyarakat, dan aspek konservasi sengkubak, meliputi
kondisi populasi sengkubak di alam, kondisi habitat sengkubak, faktor-faktor
yang mengancam kelestarian sengkubak di Sintang, serta implikasi konservasi
sengkubak di Kabupaten Sintang.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, baik isi
maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan tesis ini.

Bogor,

Desember 2007
Utin Riesna Afrianti

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-

besarnya kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F selaku Ketua Komisi dan Dr. Ir.
Agus P. Kartono, M.Si selaku Anggota Komisi yang telah memberikan saran dan
bimbingan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal
PHKA yang telah memberikan kesempatan berupa bea siswa untuk mengikuti
pendidikan pascasarjana, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf atas fasilitas
yang diberikan selama pendidikan, Kepala Balai TN. Bukit Baka-Bukit Raya
beserta staf, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sintang beserta staf yang telah
banyak membantu selama dilakukan penelitian ini, Ir. Sahala Sibarani terima
kasih atas bantuan dan dukungan moril selama dilakukan penelitian, penghargaan
kepada Dr. Ir. Y. Purwanto dan Ismail (Staf LIPI Cibinong) atas saran dan
bantuannya kepada penulis, teman, kerabat dan relasi yang telah membantu
selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih kepada orang tua, Ibunda Utin Halidjah atas keikhlasannya
dan doanya, Ibu mertua Sunarmiati, suami dan anak-anak (Andhar dan Pasha),
semua keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya
selama penulis belajar di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 12 April 1975. Penulis adalah


anak keempat dari enam bersaudara. Ayah bernama Gusti Achmad Katharina
(Alm) dan Ibu bernama Utin Halidjah.
Penulis manamatkan Sekolah Dasar Negeri 13 di Pontianak tahun 1988, dan
menamatkan SMP Negeri 12 Pontianak tahun 1991, kemudian pada tahun 1994
menamatkan SMA Negeri 1 Pontianak dan pada tahun yang sama mendapatkan
kesempatan memasuki Perguruan Tinggi Universitas Tanjungpura Jurusan
Kehutanan melalui program PMDK (Pengembangan Minat dan Kemampuan).
Tahun 1999 penulis berhasil menamatkan kuliah di Jurusan Kehutanan Program
Studi Teknologi Hasil Hutan Universitas Tanjungpura Pontianak dengan predikat
Cumlaude.
Pada bulan Maret tahun 2000 penulis diterima menjadi PNS Departemen
Kehutanan dan bertugas sebagai staf Balai Taman Nasional Bukit Baka-Bukit
Raya, hingga kini penulis telah bertugas selama 7 (tujuh) tahun.
Tahun 2004 penulis mengikuti tes kompetensi (empat kriteria) Departemen
Kehutanan dan dinyatakan lulus dengan nilai sangat disarankan plus, Pada tahun
2006 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti karya siswa Departemen
Kehutanan pada Program Strata 2 (S2) Profesi Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas di IPB.
Penulis menikah dengan Andhi Jumhadi Adji Saroyo pada tanggal 8 Juni
2002. Dari pernikahan ini, penulis telah dikaruniai dua putra yaitu Andhar
Hibatullah Adji Saroyo dan Pasha Ziyadatullah Adji Saroyo.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................
DAFTAR TABEL .............................................................................................
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
I.

i
iii
iv
v

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................
B. Tujuan Penelitian ...................................................................................
C. Manfaat Penelitian .................................................................................

1
2
3

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Bioekologi Sengkubak ...........................................................................
1. Klasifikasi dan Morfologi ............ ....................................................
2. Ekologi dan Penyebaran ...................................................................
B. Penggunaan Sengkubak...........................................................................
C. Etbobotani ..............................................................................................
1. Definisi Etnobotani ...........................................................................
2. Ruang Lingkup Etnobotani................................................................
4. Kajian Etnobotani di Indonesia .........................................................
D. Kearifan Tradisional Masyarakat ...........................................................
E. Hubungan Budaya Dayak dengan Hutan .................................................
F. Hubungan Budaya Melayu dengan Hutan ..................................................
G. Konservasi Tumbuhan ...........................................................................
1. Penyebab Kelangkaan dan Kepunahan Tumbuhan ........................ .
2. Upaya Konservasi Tumbuhan ............................................................
4. Permasalahan Konservasi Tumbuhan ................................................

4
4
7
7
8
8
9
9
10
12
13
14
14
17
19

III. KEADAAN UMUM LOKASI KAJIAN


A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.

Sejarah Kabupaten Sintang .....................................................................


Letak dan Luas .......................................................................................
Topografi ...............................................................................................
Hidrologi ................................................................................................
Iklim.........................................................................................................
Tanah. ......................................................................................................
Keadaan Hutan........................................................................................
Keadaan Sosial dan Ekonomi Masyarakat. .............................................
Deskripsi Lokasi Penelitian......................................................................

21
22
24
24
25
26
27
28
32

IV. METODE PENELITIAN


A. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................
B. Alat dan Bahan Penelitian .....................................................................
C. Perumusan Masalah ................................................................................
i

35
35
36

D.
E.
F.
G.

Kerangka Pemikiran ..............................................................................


Jenis Data yang Dikumpulkan ..............................................................
Penentuan Sampel................................................................................. ....
Metode Pengumpulan Data ....................................................................
1. Wawancara........................................................................................
2. Pengamatan Langsung ....................................................................
a. Bentuk, Ukuran dan Jumlah Unit Pengamatan..............................
b. Metode Pengamatan Jenis.............................................................
c. Metode Pengambilan Data............................................................
1). Inventarisasi Vegetasi............................................................
2). Pengamatan Komponen Fisik Habitat...................................
3). Pembuatan Herbarium...........................................................
H. Metode Analisis Data...............................................................................
1. Data Hasil Wawancara Etnobotani.....................................................
2. Pola Sebaran Spasial Sengkubak......................................................
3. Asosiasi Antar Dua Spesies.............................................................
4. Komposisi dan Dominasi Spesies.. ...................................................
5. Keanekaragaman Vegetasi ................................................................
a. Kekayaan Jenis ............................................................................
b. Keragaman Jenis.......... ................................................................
c. Indeks Kemerataan .......................................................................
6. Kesamaan Komunitas.......................................................................

V. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................


A. Etnobotani Sengkubak ...........................................................................
1. Persepsi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sengkubak.......................
a. Pemanfaatan Sebagai Penyedap Rasa Alami ...............................
b. Pemanfaatan Lain.........................................................................
c. Bagian yang digunakan.................................................................
2. Budidaya Sengkubak .........................................................................
3. Jenis Sengkubak ................................. ..............................................
a. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Dayak Sintang...........................
b. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Melayu Sintang..........................
B. Aspek Konservasi Sengkubak................................................................
1. Kondisi Populasi Sengkubak............................................................
a. Potensi dan Penyebaran Sengkubak.............................................
b. Pola Sebaran Spasial Sengkubak.................................................
c. Asosiasi Antar Spesies ................................................................
2. Kondisi Habitat Sengkubak................................................................
a. Karakterisik Fisik Habitat.............................................................
b. Komposisi dan Dominasi Spesies Tumbuhan..............................
c. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Habitat Sengkubak...
d. Kesamaan Komunitas ..................................................................
3. Ancaman Kelestarian Sengkubak......................................................
4. Implikasi Konservasi Sengkubak.......................................................
a. Meningkatkan Nilai Sengkubak....................................................
b. Konservasi Insitu dan Eksitu........................................................
c. Pemanfaatan Sengkubak Secara Lestari.......................................
ii

37
38
49
40
41
42
42
42
42
42
44
44
44
44
45
46
47
48
49
49
49
50
51
51
51
51
51
52
57
59
59
63
70
70
70
73
74
76
76
80
89
93
94
97
97
99
101

d. Meningkatkan Pengetahuan dalam Pembudidayaan Sengkubak 102


5. Pengelolaan Hutan oleh Etnis Dayak Sintang........................................... 102
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................

104

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 106


LAMPIRAN

iii

DAFTAR TABEL

No.

Halaman

Kategori
keterancaman
biota.............................................

populasi

16

Posisi geografis setiap kecamatan di Kabupaten Sintang.................

22

Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang ...................

23

Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang menurut


topografinya.....................................................................................

24

Temperatur maksimum, minimum dan rata-rata tahunan di


Kabupaten Sintang tahun 2000-2004...............................................

26

Jenis tanah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang........................

27

Luas kawasan hutan di Kabupaten Sintang tahun 2005...................

28

Jumlah penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sintang menurut


jenis kelaminnya tahun 2005............................................................

29

Kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk setiap kecamatan di


Kabupaten Sintang tahun 2005.........................................................

30

10

Kondisi sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Sintang


tahun 2005.......................................................................................

30

11

Kategori pengelompokkan vegetasi dan luas petak ukur.................

43

12

Asosiasi spesies (kotingensi 2 x 2)...................................................

46

13

Komposisi dan pemanfaatan P.cauliflora oleh masyarakat di


Kabupaten Sintang Kalimantan Barat ..............................................

53

14

Penggunaan E. cochincnensis bagi pengobatan................................

67

15

Penggunaan dan pengolahan sengkubak oleh etnis Melayu


Sintang...............................................................................................

68

16

Penggunaan S. elongatae oleh etnis Melayu Sintang........................

69

17

Pengetahuan dan pengenalan etnis Dayak dan Melayu terhadap


sengkubak..........................................................................................

70

18

Kerapatan dan frekuensi sengkubak di formasi hutan sekunder


Kabupaten Sintang Kalimantan Barat...............................................

72

19

Beberapa karakteristik botanis sengkubak di formasi hutan


sekunder Kabupaten Sintang Kalimantan Barat................................

73

20

Nilai standarisasi Indeks Morishita penyebaran spasial


sengkubak..........................................................................................

75

21

Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon dan


tiang...................................................................................................

76

iv

No.

Halaman

22

Beberapa karakteristik fisik sengkubak di formasi hutan sekunder


Kabupaten Sintang Kalimantan Barat...............................................

79

23

Lima spesies tumbuhan pada tingkat semai dengan INP tertinggi di


kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang................................

82

24

Lima spesies tumbuhan pada tingkat pancang dengan INP tertinggi


di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang............................

84

25

Lima spesies tumbuhan pada tingkat tiang dengan INP tertinggi di


kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang................................

86

26

Lima spesies tumbuhan pada tingkat pohon dengan INP tertinggi


di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang............................

88

27

Keanekaragaman spesies tumbuhan pada habitat sengkubak...........

90

28

Indeks kesamaan komunitas pada habitat sengkubak (hutan


sekunder) di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat..........................

95

29

Kegunaan dan kandungan kimia genus Pycnarrhena lainnya..........

99

DAFTAR GAMBAR
No.

Halaman

Morfologi Pycnarrhena cauliflora dalam sketsa.............................

Lokasi penelitian empat kecamatan di Kabupaten Sintang ............

35

Kerangka pemikiran penelitian ......................................................

38

Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi


dengan metode kombinasi jalur dengan garis berpetak...................

Teras sengkubak yang sudah di simpan selama 10 tahun oleh


seorang warga Dusun Medang Kec. Dedai Kabupaten Sintang .....

43
54

Daun sengkubak diikat dalam kulit kayu lukai untuk penangkal


makhluk halus (kepercayaan sebagian etnis Dayak dan Melayu
Sintang) ...........................................................................................

54

Bentuk akar sengkubak perempuan (P.cauliflora) .........................

60

Bentuk daun
................

licin.........

60

Buah sengkubak koleksi Herbarium Bogoriens LIPI Cibinong


Bogor ..............................................................................................

61

10

Anakan sengkubak (lokasi hutan pungkun Medang, Dedai) .........

62

11

Batang atau perpanjangan akar sengkubak tumbuh melilit


dipohon dan batang yang berada di dekat tempat tumbuhnya
........

62

12

Morfologi Galearia filiformis saat berbunga dan belum berbunga

63

13

Pucuk daun G. filiformis yang pucuk daunnya dimakan binatang


di hutan ...........................................................................................

63

14

Warna bagian belakang daun Excoecaria cochincchinensis ..........

65

15

Morfologi sengkubak macan versi etnis Melayu Sintang


...............

65

16

Sengkubak melilit disebuah batang pohon lokasi hutan karet


alam campuran Dusun Suak Kecamatan Sepauk Sintang
2007.................................................................................................

sengkubak

dengan

permukaaan

67

17

Sengkubak rebung lokasi desa Baning Kota Sintang .....................

68

18

Hubungan
................

sengkubak

72

19

Hubungan tinggi batang sengkubak dengan jumlah individunya


(ind/ha)............................................................................................
.

73

diameter

dengan

jumlah

vi

individu

No.

Halaman

20

Jumlah individu sengkubak (ind/ha) berdasarkan ketinggian


tempat.................... .........................................................................

77

21

Hubungan ketebalan serasah dengan jumlah individunya ..............

78

22

Famili-famili dominan tingkat semai berdasarkan INP..................

80

23

Famili-famili dominan tingkat pancang berdasarkan INP..............

82

24

Famili-famili dominan tingkat tiang berdasarkan INP...................

84

25

Famili-famili dominan tingkat semai berdasarkan INP..................

86

28

Indeks keragaman spesies pada habitat sengkubak.........................

91

27

Indeks
kekayaan
sengkubak............................

habitat

92

28

Indeks kemerataan spesies pada habitat sengkubak........................

93

spesies

vii

pada

DAFTAR LAMPIRAN
No.

Halaman

Daftar Nama Responden Sengkubak di Kabupaten Sintang


Kalimantan Barat............................................................................

110

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


pohon di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang

114

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


pohon di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan
Sepauk, Sintang..............................................................................

115

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


pohon di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan
Sepauk, Sintang.............................................................................

116

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


pohon di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai,
Sintang

117

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


tiang di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang

118

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


tiang di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan
Sepauk, Sintang..............................................................................

119

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


tiang di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan
Sepauk, Sintang.............................................................................

120

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


tiang di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang

121

10

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


pancang di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk,
Sintang............................................................................................

122

11

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


pancang di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan
Sepauk, Sintang..............................................................................

123

12

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


pancang di hutan karet alam campuran II Dusun Suak
Kecamatan Sepauk, Sintang...........................................................

124

13

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


pancang di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai,
Sintang............................................................................................

125

14

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan

126

viii

semai di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang


No.

Halaman

15

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


semai di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan
Sepauk, Sintang..............................................................................

127

16

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


semai di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan
Sepauk, Sintang..............................................................................

128

17

Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan


semai di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai,
Sintang............................................................................................

129

18

Perhitungan
sebaran
sengkubak..........................................

spasial

130

19

Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain di hutan adat I


Dusun Sirang Kecamatan Sepauk Sintang.....................................

131

20
21

22

Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain di hutan karet


alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk Sintang ...........
Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain di hutan karet
alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk Sintang
..........
Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain di hutan adat II
Dusun Medang Kecamatan Dedai Sintang.....................................

ix

134
137

139

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] merupakan salah satu
golongan liana yang termasuk dalam famili Manispermaceae (Backer & Brink
1963). Spesies ini menjadi istimewa karena penggunaan sengkubak sebagai
penyedap rasa alami sudah cukup dikenal di kalangan etnis Dayak dan Melayu
Sintang. Ide penting tentang penyedap rasa alami yang berasal dari sengkubak
merupakan alternatif yang perlu mendapat perhatian lebih besar, karena
kandungan kimia sintetik dalam penyedap modern dapat mengganggu kesehatan
manusia.
Sengkubak merupakan salah satu bentuk pemanfaatan yang khas terhadap
suatu spesies tumbuhan yang dilakukan oleh etnis Melayu dan Dayak Sintang.
Pengetahuan penggunaan sengkubak tersebut tumbuh dan berkembang dari
pengalaman empiris yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan
tradisional adalah salah satu kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya, karena
merupakan sumber bagi pengembangan ide-ide alternatif di masa kini
(Adimihardja 1996 dalam Hendra 2002). Sejalan dengan hal itu, menurut
Soekarman dan Riswan (1992) pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan
sumberdaya nabati juga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan sumber
devisa baru bagi negara.
Sengkubak memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan selain sebagai
penyedap rasa juga sebagai bahan obat alami. Hal ini karena marga Pycnarrhena
lainnya yaitu P. ozantha diketahui mengandung 4 (empat) bisbenzylisoquinoline
alkaloids yang dapat mengobati tumor (Loder 1972; Abouchacraet et al. 1987), P.
novoguinensis mengandung magnoflorine (Verpoorte, et al. 1982), P. manillensis
Vidal, tepung dari akarnya sebagai pengobat penyakit kolera (Philippine medical
plants 2007), dan P. tumetacta daunnya diketahui mengandung protein tinggi,
sekitar 6-7% (Hoe & Siong 1999). Oleh karena itu, manfaat sengkubak selain
untuk penyedap rasa juga di duga mengandung bahan bioaktif yang bermanfaat
bagi umat manusia.

Semakin terbukanya gaya hidup moderen dan tersedianya sumber-sumber


alternatif lain, masyarakat lebih jarang menggunakan hasil tanamannya secara
langsung. Oleh karena itu penelitian dan pengembangan pengetahuan etnobotani
penting dilakukan sebelum spesies-spesies tersebut punah (Mackinnon et al.
2000). Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, strategi yang digunakan untuk mewujudkan
tujuan konservasi adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwaliar beserta ekosistemnya dan
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Memanfaatkan, mempelajari dan menyelamatkannya merupakan upayaupaya dalam strategi konservasi (Wilson 1992). Upaya-upaya ini juga tergambar
dalam budaya dan pengetahuan masyarakat lokal, seperti masyarakat Melayu
dan Dayak di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat.
Berdasarkan hal tersebut, kajian ilmiah yang dapat menjelaskan bagaimana
pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap spesies tumbuhan tersebut,
maupun informasi mengenai kondisi populasi sengkubak di alam penting untuk
dilakukan. Diharapkan informasi yang diperoleh dari kajian tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk mendukung upaya pelestarian pemanfaatan dan
pengembangannya di masa kini dan mendatang. Studi etnobotani dapat
memberikan kontribusi yang besar dalam proses pengenalan sumber daya alam
yang ada di suatu wilayah (Ndero & Tjitssen 2004).

B. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi aspek etnobotani sengkubak pada masyarakat di Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat, meliputi bagaimana pemanfaatan dan pengetahuan
tentang sengkubak.
2. Mengidentifikasi aspek konservasi sengkubak, terutama kondisi populasinya
di alam meliputi potensi dan penyebarannya, sebaran spasialnya, asosiasinya,
kondisi habitatnya di alam.

C. Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukan penelitian adalah dapat memberikan data dan informasi
yang berguna, dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pelestarian
pemanfaatan sengkubak, terutama sebagai bahan penyedap rasa alami yang sehat,
dan dapat menjadi dasar bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioekologi Sengkubak
1. Klasifikasi dan Morfologi
Sengkubak merupakan golongan liana yang termasuk dalam famili
Menispermaceae, berdasarkan identifikasi jenis yang dilakukan,

maka secara

taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Backer & Brink 1963) :


Kingdom

: Plantae

Divisio

: Magnoliophyta

Kelas

: Liliopsida

Ordo

: Ranunculales

Famili

: Menispermaceae

Genus

: Pycnarrhena

Spesies

: Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.

Nama lokal

: sengkubak, Dayak Siberuang, Sekujang, Desa, Ransa


Kalimantan Barat, bekkai lan, Dayak Kenyah Kaltim
(Uluk, et al. 2000), apak (P. tumetacta) Malaysia (Hoe &
Siong

1999),

ambal

(P.

manillensis)

Philipina

(Philippine Medical Plant 2007).


Secara umum Pycnarrhena memiliki bunga-bunga aksilar yang tumbuh di
sepanjang tangkai berdaun (foliat) atau tangkai tak berdaun (defoliat), tumbuh
teruntai atau bertangkai, atau muncul berdiri sendiri (secara reduksi). Pycnarrhena
memiliki 6-9 daun kelopak (sepal), bagian luar yang berukuran sangat kecil,
ukurannya kemudian akan meningkat dan daun-daun kelopak bagian dalam
menutupinya.
Bunga Pycnarrhena memiliki 2-6 daun bunga, di Pulau Jawa 3 daun bunga,
ukurannya lebih kecil dari daun kelopak bagian dalam, tumbuh menyebar,
memiliki 2-12 benang sari (stamen). Di Pulau Jawa bunga Pycnarrhena memiliki 9
atau 12 benang sari, berkumpul dengan rapat; tersusun dari tangkai-tangkai sari
(filament), kepala sari (anther) sebagian meresap ke puncak filament. Bunga
betina terdiri dari 2-4 indung telur (ovary), berbulu atau glabrous (tanpa bulu);

5
kepala putik (stigma); terdiri dari 1-4 drupelet, berada di atas bakal buah (sessile)
atau stipitate (bertangkai), dan berbulu atau glabrous. Inti dari kepala putik
terletak di bagian perut, dinding pyrene yang dimiliki sangat tipis; condylus
berukuran kecil atau bahkan tidak ada; tidak memiliki endosperm, cotyledons
berukuran besar, berdaging; dan radicle berukuran sangat kecil. Pembungaan yang
berkembang menjadi buah muncul dari batang disebut cauliflora. Sketsa
morfologi Pycnarrhena cauliflora disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Sketsa morfologi Pycnarrhena cauliflora

P. cauliflora secara morfologi memiliki daun-daun yang tidak berlapis


dengan bentuk lebih panjang, dan daun mudanya berserat pada tangkai. Serat yang
dimaksud adalah cabang dari tulang daun atau tulang daun yang kecil. Petiole
menebal pada kedua ujungnya. Serta secara spesifik P. cauliflora mempunyai
daun-daun pada tangkai yang berbunga dengan panjang 7,5-21 cm hingga 3-9,5
cm, daun yang lebih besar kebanyakan lebih panjang dari 12,5 cm, matang pada
bagian bawah tulang daun, serta memiliki bulu yang pendek atau glabrous,
berbentuk oval-persegi tak beraturan, dengan dasar tumpul atau membulat,
meruncing, lancip memanjang, lancip atau tumpul, pada kedua sisi yang sama dari
tulang daun dengan 5-12 serat lateral, mengkilap pada kedua permukaannya.
Selain itu, pembuluh-pembuluhnya secara terpisah berbeda dengan jelas menonjol
di bagian bawah; memiliki petiole 1,5-6 cm, yang berbulu pendek dan halus.
Pada bunga jantan (hanya diketahui tunas muda), berbunga banyak dalam
untaian; pada tangkai tumbuh satu bunga, benang sari 9 buah, pada bunga betina
berbunga 3-12 untaian, panjang pedicel 4-8 mm; daun kelopak bagian dalam
memiliki lebar 2-2,5 mm; indung telur dan drupelet matang secara bersamaan.
Tangkai muda berbulu pendek halus, secara perlahan, kayu putih (Backer &
Brink 1963).
P. cauliflora memiliki body climber, biasanya hidup diantara pohonpohon besar. Beberapa genus lainnya yang termasuk famili Menispermaceae
sebagian besar merupakan golongan liana. P. cauliflora juga mempunyai ranting
yang zigzag, dan permukaan ranting berbulu halus rapat. Internot (jarak antar
daun) adalah 12 cm, bentuk daun ellips, pangkal daun lancip, tepi daun rata,
ujung daun luncip (accuminate), panjang ujung daun (accumane) atau ekor 2 cm,
serta urat daun nyata sebanyak 68 pasang. Urat daun melengkung sebelum
mencapai tepi (anastomosting).
Selanjutnya dapat dijelaskan pula permukaan daun bagian atas licin,
mengkilat, sedang permukaan bawah berbulu pada urat daun (direticulet),
ganggang daun adalah bipulpined atau tegak tidak melengkung (terjadi dua kali
penebalan), dan tangkai daun berbenjol dua sekitar 3 4 cm (Backer & Brink
1963).

7
2. Ekologi dan Penyebaran
Penyebaran dan ekologi P. cauliflora sulit untuk di uraikan karena sangat
minimnya literatur yang mendukung. Berdasarkan studi pustaka dengan
menelusuri spesimen yang dikolekasi di Herbarium LIPI Cibinong (2007),
diketahui bahwa P. cauliflora ditemukan di Kalimantan Barat pada ketinggian
100-150 m di habitat dataran rendah dan perbukitan, di Kalimantan Selatan pada
habitat lembah antara dua perbukitan di Muara Uya pada ketingian 100 m dan 90
m. Pulau Panaitan (Prinsene Island) pada habitat hutan dengan dataran rendah
(koleksi tahun 1951). Di Pantai Ngliyep Selatan Malang, Pantai Popoh Selatan di
Tulung Agung (koleksi tahun 1914), di Cisampora Wangun Lengkong pada
ketinggian 700 m dpl (tahun 1976), selain itu ditemukan pula di Sumba,
Langgaliru, Sumba Barat pada ketinggian 600 m dpl pada habitat hutan sekunder.
Pada penelusuran spesimen yang dikoleksi tersebut diketahui P. cauliflora
dapat hidup pada ketinggian 80-700 m dpl. Pada habitat dataran rendah,
perbukitan dan pada habitat hutan sekunder. Penyebaran anggota marga
pycnarrhena lainnya ditemukan di Papua New Guinea (P. ozantha), Himalaya dan
Jawa (P. marocarpa), Philipina Jawa, Sulawesi (P. calocarpa), Philipina (P.
manillensis Vidal), Borneo, (P. borneensis), Himalaya (P. longiflora), dan Timortimor (P. longifolia) (Data LIPI Cibinong 2007).
B. Penggunaan Sengkubak
Pengetahuan mengenai penggunaan sengkubak sebagai bumbu atau
penyedap telah lama dimiliki oleh masyarakat pedalaman Kalimantan baik pada
suku dayak maupun melayu. Pengetahuan penggunaan sengkubak sebagai micin
oleh masyarakat pedalaman ini sebagian telah diketahui oleh peneliti yang pernah
berkunjung ke daerah-daerah hulu Kalimantan. Selain itu pada masyarakat Dayak
di sekiatar Taman Nasional Kayan Mentarang dihimpun data bahwa mereka juga
menggunakan tumbuhan tersebut sebagai bahan bumbu dan diketahui bahwa
bumbu yang berasal dari hutan liar berkisar antara 70 % sampai 73 %. Disebutkan
pula bahwa Tumbuhan paling umum yang digunakan sebagai bumbu dari hutan
liar adalah bekkai lan (P. cauliflora) (Uluk et al. 2001). Adanya kesamaan
penggunaan terhadap spesies P. cauliflora sebagai penyedap masakan ternyata

8
juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat suku Melayu maupun Dayak yang
berdiam diwilayah hulu Kalimantan Barat (Sanggau, Sintang, Sekadau,
Putussibau), walaupun belum ada penelitian lebih lanjut tentang kesamaan
penggunaan P. cauliflora ini.
C. Etnobotani
1. Definisi Etnobotani
Istilah etnobotani untuk pertama kalinya diusulkan oleh Harsberger pada
tahun 1895 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pemanfaatan
tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif atau
terbelakang. Etnobotani berasal dari kata ethnos dan botany. Ethnos berasal dari
bahasa Yunani berarti bangsa dan botany artinya tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya
Powers (1874) dalam Maheshwari (1990) telah menggunakan istilah Aboriginal
botany dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari jenis-jenis tumbuhtumbuhan yang dimanfaatkan penduduk asli untuk bahan obat, pangan, sandang
dan sebagainya. Istilah etnobotani untuk pertama kali di adopsi oleh Fewkes
(1896), istilah tersebut digunakan dalam pustaka dan publikasi antropologi dan
menitikberatkan pada nama lokal tumbuhan dan etimologinya (Soekarman dan
Riswan 1992).
Sejalan dengan perkembangan keilmuan, etnobotani kemudian diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh
perkumpulan suku primitif dan berguna untuk mengembangkan perkumpulan
tersebut. Batasan ini merupakan bantuan untuk menguraikan posisi budaya suatu
etnik berdasarkan kegunaan tumbuh-tumbuhan, menggambarkan penyebarannya
dimasa lampau dan perjalanan-perjalanan perdagangannya serta dengan diketahui
manfaatnya maka akan menimbulkann pikiran negatif untuk memindahkan
tumbuhan tersebut dari tempat liarnya ke lingkungan yang masih kosong (Waluyo
2002).
Istilah etnobotani juga digunakan untuk menjelaskan interaksi masyarakat
setempat (etno atau etnis) dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan
tumbuh-tumbuhan. Studi etnobotani ini dapat membantu masyarakat dalam
mencatat atau merekam kearifan lokal yang mereka miliki selama ini, untuk masa

9
mendatang. Sehingga studi etnobotani dapat memberi kontribusi yang besar dalam
proses pengenalan sumber alam hidup yang ada di suatu wilayah melalui kegiatan
pengumpulan kearifan lokal dari dan bersama masyarakat setempat (Ndero &
Thijssen 2004 ).
Etnobotani yang dimaksud dalam penelitian ini menggunakan definisi yang
dinyatakan oleh Purwanto (1999) yaitu etnobotani didefinisikan sebagai suatu
bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik secara menyeluruh antara
masyarakat lokal dengan alam lingkungannya meliputi sistem pengetahuan
tentang sumber daya alam tumbuhan.
2. Ruang Lingkup Etnobotani
Pengkajian etnobotani dibatasi oleh ruang lingkup bahwa etnobotani adalah
cabang ilmu pengetahuan yang mendalami tentang persepsi dan konsepsi
masyarakat tentang sumber daya nabati di lingkungannya. Dalam hal ini kajian di
arahkan dalam upaya untuk mempelajari kelompok masyarakat dalam mengatur
sistem pengatuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkungannya,
yang digunakan tidak saja untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan
spiritual dan nilai budaya lainnya. Pemanfaatan yang dimaksud di sini adalah
pemanfaatan baik sebagai bahan obat, sumber pangan, dan sumber kebutuhan
hidup manusia lainnya. Disiplin ilmu lain yang terkait dalam penelitian etnobotani
adalah antara lain anthropologi, sejarah, pertanian, ekologi, kehutanan, geografi
tumbuhan (Sudarsono & Waluyo 1992).
3. Kajian Etnobotani di Indonesia
Kedudukan etnobotani saat ini di Indonesia telah mendapatkan perhatian
dan porsi yang layak seperti halnya ilmu-ilmu lainnya di mata para pakar,
terutama botani. Hal ini merupakan suatu perkembangan yang baik, para ahli
menyadari bahwa banyak sumber daya nabati telah punah sebelum

mereka

sempat meneliti. Demikian halnya dengan pengetahuan tradisional pemanfaatan


tumbuhan oleh masyarakat yang masih terbelakang atau dianggap primitif sudah
hilang, sebelum informasi pengetahuan tersebut dicatat atau diketahui oleh
peneliti. Karena pengetahuan ini sifatnya lisan dari mulut ke mulut, dari satu
generasi ke generasi lainnya.

10
Kemajuan teknologi telah menimbulkan akses terhadap lingkungan dan
dampak negatif terhadap kesehatan, misalnya obat-obatan atau pewarna makanan
sintetis. Akhir-akhir ini, di Indonesia timbul gerakan untuk kembali alam atau
back to nature, diantaranya berupaya memanfaatkan kembali sumber daya nabati
alami, seperti penggunaan obat tradisional, kosmetik, pewarna yang dibuat dari
bahan alami. Hal yang terpenting adalah bagaimana pengetahuan tradisional dapat
diselamatkan, untuk dikaji kembali.
Pusat dari pengetahuan tradisional mengenai pemanfaatan tumbuhan ini
umumnya dijumpai pada negara-negara berkembang dan umumnya terletak pada
kawasan tropika, baik di Amerika, Afrika maupun Asia. Di negara-negara ini pula
dikatakan merupakan sumber dari pengetahuan tradisional serta sumber daya
hayati yang meliputi tumbuhan, hewan dan jasad renik terdapat.
Penelitian etnobotani di Indonesia, telah banyak dilakukan oleh para pakar
dari berbagai disiplin ilmu, tetapi dikatakan bahwa penelitan tersebut hanya
sebagai sampingan saja. Hal tersebut menyebabkan data dan informasi mengenai
etnobotani tersebut diberbagai publikasi dari berbagai disiplin ilmu, misalnya ahli
botani lebih menitikberatkan pada pemanfaatan tumbuhannya sedangkan ahli
antropologi lebih menitikberatkan pada manusianya (Soekarman & Riswan 1992).
Beberapa kajian etnobotani terhadap beberapa etnis di Indonesia yaitu etnobotani
Pandanaceae dalam kehidupan etnis Arfak, Irian Jaya (Sadsoeitoeboen 1999),
etnobotani pinang yaki (Areca vestiaria) oleh etnis Bolaang Mongondow,
Sulawesi (Simbala 2006), dan etnobotani benzoin (Stryrax spp.) pada etnis batak
di Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Purwanto et al. 2003).
D. Kearifan Tradisional Masyarakat
Bangsa Indonesia yang mendiami diseluruh pulau-pulau yang tersebar dari
Sabang hingga Merauke terdiri dari suku-suku yang masing-masing mempunyai
kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang dan diwariskan secara turuntemurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehidupan suku-suku tersebut
terutama yang mempunyai interaksi dekat dengan sumberdaya dan lingkungannya
secara turun-temurun pula mewarisi pola hidup tradisional yang dijalani oleh
leluruhnya. Masyarakat setempat yang hidup secara tradisional tersebut dikenal
dengan istilah-istilah tribal people (masyarakat suku), indigenous people (orang

11
asli), native people (penduduk asli) atau tradisional people (masyarakat
tradisional (Dasman 1991 dalam Primack et al. 1998).
Indonesia diperkirakan dihuni oleh

100 150 famili tumbuhan yang

meliputi 25.000-30.000 spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di dalam kawasan


hutan alam. Diperkirakan separuh dari jumlah tersebut merupakan tumbuhan
berkayu dan buah-buahan (Meijer 1974) dan masih banyak sekali yang belum
diketahui manfaatnya (Khazahara 1986).
Telah lama masyarakat tradisional hidup secara berdampingan dengan
keanekaraman hayati atau sumber daya alam yang ada di sekelilingnya. Di
sebagian besar tempat, ternyata mereka tidak melakukan perusakan besar-besaran
terhadap sumber daya alam yang ada di sekelilingnya tersebut (Primack et al.
1998). Masyarakat tradisional telah berhasil memanfaatkan metoda-metoda irigasi
yang bersifat inovatif, misalnya dengan melakukan panen yang bervariasi. Metode
tersebut telah memungkinkan kehidupan manusia dengan populasi yang tinggi
tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan maupun komunitas biologis

di

sekelilingnya. Namun, saat ini masyarakat tradisional sedang dihadapkan pada


perubahan lingkungan secara besar-besaran akibat meningkatnya interaksi
masyarakat dengan dunia luar, yang seringkali timbul perbedaan tajam antara
generasi tua dan muda.
Banyak masyarakat tradisional yang mempunyai etika konservasi yang kuat,
walaupun etika tersebut lebih halus dan tersamar dibandingkan keyakinan
konservasi dunia Barat. Etika konservasi telah memberikan pengaruh pada
perilaku sehari-hari (Gomez-Pompa & Kaus 1992; Posey 1992 dalam Primack et
al. 1998). Salah satu contoh yang baik dari penerapan pandangan konservasi
adalah pada suku Indian Huastec, di timur laut Meksiko. Mereka memelihara
lahan pertanian secara permanen, juga memelihara hutan yang terletak dibukitbukit, dan daerah aliran sungai, berdasarkan konservasi dikenal dengan istilah
lokal telom. Di kawasan hutan tersebut terdapat 300 species yang merupakan
sumber makanan, kayu dan berbagai produk bermanfaat lainnya. Mereka
melakukan modifikasi pada komposisi species di hutan untuk mendukung
berbagai species bermanfaat dengan cara menanam dan memangkas gulma secara
berkala (Alcorn 1984 dalam Primack et al. 1998).

12
E. Hubungan Budaya Dayak dengan Hutan
Kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan
agama atau sistem kepercayaan/believe system. Sistem kepercayaan/agama bagi
kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya
dan kehidupan sosial ekonomi sehari-hari. Kepribadian, tingkah laku, sikap,
perbuatan, kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung
dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan
adat istiadat, tetapi juga dengan nilai-nilai budaya (Algadrie 1994 dalam Florus et
al. 1994). Hubungan etnis Dayak dengan hutan dengan segala isinya merupakan
hubungan timbal balik, di satu pihak alam memberikan kemungkinankemungkinan bagi perkembangan budaya etnis Dayak, di lain pihak etnis Dayak
senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.
Pola kehidupan etnis Dayak tradisional masih sangat tergantung pada sumber
alam, mata pencahariannya terbatas pada kemungkinan-kemungkinan yang
disediakan oleh alam (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994).
Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan.
Hutan digunakan sebagai tempat berburu, untuk berladang pohon-pohon di hutan
di buka, untuk mengusahakan tanaman perkebunan, etnis Dayak cenderung
memilih tanaman hutan seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya.
Kecenderungan seperti itu merupakan suatu refleksi dari hubungan yang akrab
yang telah berlangsung berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Hutan
merupakan basis utama dari kehidupan, sosial, ekonomi, budaya dan politik
kelompok etnik Dayak (Florus et al. 1994).
Pengolahan lahan tradisional masyarakat Dayak didasarkan pada sistem
perladangan daur ulang untuk masa putaran tertentu. Masa putaran 3 sampai 4
tahun untuk tana ujung dan paya; 5 sampai 6 tahun untuk tana rambur dan
kereng; dan 10-15 tahun untuk tana toan (hutan sekunder).
Kultur material etnis Dayak juga dipengaruhi dan berorientasi pada hutan,
rumah panjang yang masih asli di buat seluruhnya dari kayu. Tiang, lantai,
dinding, atap, bahkan pengikat semuanya diambil dari hutan. Peralatan
transportasi sungai berupa sampan-sampan kecil biasanya dibuat dengan teknologi
sederhana yaitu dengan mengeruk batang pohon. Peralatan kerja dan senjata

13
seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, talabang (perisai),
tengkalang dan sumpit sebagian bahannya terbuat dari bahan-bahan yang diambil
dari hutan (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994). Demikian pula dengan
kebudayaan non material orang Dayak banyak sekali berhubungan dengan hutan.
Sebagai contoh pohon-pohon besar atau spesies kayu tertentu dipandang sebagai
perlambang kekuatan atau mistik. Hal tersebut menggambarkan bahwa kehidupan
tradisional dan budaya Dayak sulit dipisahkan dari sumber daya hutan.
F. Hubungan Budaya Melayu dengan Hutan
Etnis Melayu yang mendiami wilayah pedalaman Sintang merupakan
pengelola hutan yang gigih, hutan belantara yang begitu tebal bertukar menjadi
kampung dan ladang. Tradisi mengelola hutan untuk kepentingan manusia tidak
dapat dipisahkan karena hutan mempunyai kaitan yang erat dengan kepentingan
manusia selama berada di dalam hutan.
Pada masa dahulu masyarakat Melayu menganggap bahwa hutan
mempunyai semangat yang keras (nuansa magis sangat tinggi). Hutan selain di
huni oleh binatang buas, hutan juga di huni berbagai jenis jembalang (makhluk
halus), yang dapat menyebabkan bencana pada manusia. Lantaran kepercayaan
tersebut, masyarakat Melayu beranggapan perlu mengadakan upacara khas bila
hendak mengambil rotan, damar, kayu, buluh, akar kayu dan sebagainya atau
untuk membuka lahan baru. Adat tersebut dilaksanakan demi menjamin
keselamatan seseorang (www.members.tripod.com/niah_abdullah/tamadun/new
2007).
Sebelum datangnya Islam di kehidupan etnis Melayu Sintang, masyarakat
memiliki kepercayaan animisme. Namun sejak Islam memasuki kehidupan
masyarakat

Melayu, Melayu selalu diidentikkan dengan Islam. Masyarakat

Melayu juga mempercayai kelebihan sesuatu hari dalam melakukan upacara atau
acara-acara yang penting dalam hidup. Bulan atau hari yang dipilih didasarkan
pada kalender Hijriah. Hari yang kurang baik untuk masuk hutan adalah hari
Selasa akhir bulan Melayu. Hari yang baik untuk melakukan upacara adalah hari
Rabu, Kamis, dan Jumat. Hari-hari tersebut dipercayai mendatangkan manfaat
yang lebih. Selain itu, dalam budaya Melayu terdapat sistem kekerabatan yang
bersifat bilateral, masyarakat juga percaya akan petuah-petuah yang di sampaikan

14
oleh orang tua. Petuah yang sangat dipercaya oleh masyarakat Melayu bila
memasuki hutan, yaitu pantang bagi orang Melayu untuk bersiul semasa dalam
perjalanan, berbicara dengan keras, dan berpisah dari rombongan saat memasuki
hutan.
Etnis Melayu di Kabupaten Sintang saat ini terkonsentrasi pada pemukimanpemukiman yang berada di sepanjang tepian Sungai Kapuas. Pusat Kerajaan
Melayu Sintang yaitu Kerajaan Al Mukaromah berada di tepian Sungai Kapuas
Kampung Raja di Kecamatan Sintang.
G. Konservasi Tumbuhan
1. Penyebab Kelangkaan dan Kepunahan Tumbuhan
Tumbuh-tumbuhan,

hewan,

mikroorganisme

di

bumi

yang

saling

berintegrasi dengan lingkungan fisik di ekosistem merupakan landasan bagi


pembangunan yang berkelanjutan. Sumber biota yang kaya ini mampu
mendukung kehidupan dan aspirasi manusia, dan memungkinkan manusia
beradaptasi dengan perubahan akan kebutuhan dan lingkungan. Hilangnya
keanekaragaman hayati secara terus-menerus merupakan ukuran adanya
ketimpangan antara kebutuhan dan keinginan manusia dan daya dukung alam.
Laju berkurangnya keanekaragaman hayati pada masa kini, diperkirakan
sama cepatnya dengan pada masa kepunahan dinosaurus, yaitu sekitar 65 juta
tahun yang lalu. Tingkat kepunahan yang paling parah diperkirakan terdapat di
hutan tropis, sekitar 10 juta spesies yang hidup dibumi berdasarkan perkiraan
terbaik antara 50% hingga 90% dari jumlah tersebut diperkirakan berada di hutan
tropis. Dengan kecepatan pembuakaan hutan yang ada, maka antara 5% sampai
10% jenis hutan tropis mungkin akan punah dalam waktu 30 tahun mendatang.
Hal ini juga berarti kita akan mengalami kehilangan spesies tumbuhan tropis yang
beragam jenisnya dan mempunyai aneka keunikan dan kegunaan bagi manusia
(UNEP 1995).
Jika diadopsi mekanisme hilangnya keanekaragaman hayati bagi keberadaan
spesies tumbuhan yang dimiliki hutan tropis, maka punahnya keanekaragaman
hayati termasuk spesies tumbuhan diantaranya diakibatkan baik oleh faktor
penyebab langsung maupun tidak langsung. Mekanisme langsung dari kepunahan

15
tersebut meliputi hilangnya dan terkotak-kotaknya habitat akibat fragmentasi
habitat, invasi jenis baru yang diintroduksi, pemanfaatan sumber daya hayati yang
berlebihan apalagi tanpa diikuti tindakan budidaya, polusi, perubahan iklim
global, serta industri pertanian dan kehutanan. Pemiskinan biota tersebut hampir
merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari sebagai akibat cara manusia
menggunakan dan menyalahgunakan lingkungan dalam usahanya untuk menjadi
spesies yang dominan.
Penyebab utama hilangnya dan punahnya spesies-spesies tumbuhan yang
ada berasal dari populasi manusia yang berkembang dengan cepat, dari cara
manusia yang dengan cepat memperluas wilayah ekologisnya dan memanfaatkan
sumber daya hayati dari bumi yang lebih banyak lagi. Konsumsi sumber daya
alam yang berlebihan tanpa berusaha memperbaharuinya, pengurangan yang
terus-menerus terhadap jenis pertanian dan perikanan komersil, sistem ekonomi
yang gagal dalam meletakkan nilai yang tidak tepat bagi lingkungan, lemahnya
sistem hukum maupun institusional.
Menurut UNEP (1995), penyebab utama kepunahan keanakaragaman hayati
yang juga penyebab kepunahan di tingkat spesies tumbuhan antara lain adalah :
(1). Adanya peningkatan laju populasi manusia dan konsumsi sumber daya alam
yang tidak berkelanjutan. Bersamaan dengan meningkatnya populasi
manusia yang memiliki laju dan besarnya pertumbuhan yang cukup tinggi,
dan berkembangnya teknologi baru, maka penggunaan sumber daya alam
oleh umat manusia akan turut meningkat. Penggunaan sumber daya alam
secara berlebihan termasuk terhadap spesies tumbuhan, tanpa didukung oleh
upaya pengembangan spesies tumbuhan tersebut maka akan menyebabkan
kepunahan bagi spesies tumbuhan tersebut.
(2). Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian,
kehutanan, dan perikanan. Pertukarangan ekonomi global yang berdasarkan
prinsip persaingan dan spesialisasi telah meningkatkan keseragaman dan
saling ketergantungan. Salah satu contohnya yaitu produsen pertanian
banyak yang mengkhususkan diri untuk memperdagangkan spesies tanaman
yang relatif sedikit dan laku untuk diperdagangkan dipasaran. Bersamaan
berkurangnya jenis tanaman, bakteri pengikat nitrogen, penyerbuk, penyebar

16
benih dan jenis lain yang berevolusi selama berabad-abad dalam sistem
pertanian tradisional ikut musnah, kehadiran mereka diganti oleh pupuk,
pestisida, dan varietas lain yang dapat menghasilkan panen yang baik demi
peningkatan produksi, keuntungan jangka pendek akan didapatkan.
Penyempitan spektrum pada produk pertanian tersebut salah satunya
merupakan penyebab berkurangnya keanekaragaman spesies tumbuhan
yang lama kelamaan dapat menyebabkan terjadinya kepunahan ditingkat
spesies tumbuhan.
(3). Sistem kebijakan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan kepada
lingkungan dan sumber dayanya. Perubahan yang dilakukan terhadap sistem
alam, seperti perubahan hutan dan rawa menjadi lahan pertanian dan
peternakan secara biologis dan ekonomis seringkali tidak efisien, karena
sering tidak mempertimbangkan apakah tindakan tersebut akan merusak
atau tidak, dan sebagian lainnya karena habiatat alami umumnya tidak
dihargai secara ekonomis.
(4). Kurangnya pengetahuan dan penerapannya. Ketidaktahuan ini terjadi akibat
erosi kebudayaan tradisional yang mempunyai pemahaman tersendiri
mengenai alam, bahkan walaupun pengetahuan itu ada seringkali tidak
mengalir

secara

efisien

kepada

pengambil

keputusan,

sehingga

menyebabkan gagalnya pengembangan kebijakan yang mencerminkan nilai


ilmiah, ekonomis dan sosial.
(5). Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi
Kriteria keterancaman (kelangkaan) spesies dilihat berdasarkan kategori
keterancaman biota (IUCN 1994) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kategori keterancaman populasi biota
Kriteria
Penurunan tajam
Daerah sebaran
yang sempit

Kritis
> 80% selama 10
tahun/3 generasi
Luas daerah
sebaran < 100km2
atau luas daerah
yang ditempati <
10 km2

Genting
> 50% selama 10
tahun/ 3 generasi
Luas daerah
sebaran < 500 km2
atau luas daerah
yang ditempati <
500 km2

Rawan
> 20% selama 10
tahun/ 3 generasi
Luas daerah
sebaran < 20.000
km2 atau luas
daerah yang
ditempati < 2000
km2

17
Tabel 1 Lanjutan
Kriteria
Populasi kecil

Kritis
< 250 individu
dewasa
< 50 individu
dewasa

Populasi sangat
kecil

Genting
< 2500 individu
dewasa
< 250 individu
dewasa

Kemungkinan
punah

Peluang punah >


50% selama 5
tahun
Sumber : IUCN (1994)

Peluang punah >


20% selama 20
tahun

Rawan
< 10.000 individu
dewasa
< 10.000 individu
dewasa <100 km2/
<5 lokasi
Peluang punah >
10% selama 100
tahun

2. Strategi Konservasi Tumbuhan


Melakukan konservasi tumbuhan tentunya merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati secara
keseluruhan. Konservasi sumber daya alam hayati adalah sebagai upaya
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya senantiasa
memperhitungkan kelangsungan persediannya dengan tetap memelihara serta
meningkatkan

kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan dilakukannya

konservasi tersebut adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber


daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia
(Dephut 1990).
Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, maka strategi yang digunakan untuk mewujudkan
tujuan konservasi adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar beserta ekosistemnya dan
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
a. Perlindungan system penyangga kehidupan.
Dalam melakukan cara pemanfaatan wilayah perlindungan dan system
penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi
perlindungan di wilayah tersebut.
b. Pengawetan
ekosistemnya.

keanekaragaman

jenis

tumbuhan

dan

satwaliar

beserta

18
Kegiatan pengawetan dapat dilakukan melalui dua macam kegiatan yaitu
melalui konservasi secara insitu dan konservasi eksitu. Secara Insitu berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar, maka pengelolaan di dalam habitatnya dapat dilakukan dalam
bentuk

identifikasi,

inventarisasi,

pemantauan

habitat

dan

populasinya,

penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian dan pengembangan (Dephutbun


1999a). Konservasi eksitu merupakan upaya pengawetan jenis di luar kawasan
yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakan jenis tumbuhan dan
satwa liar. Tempat yang cocok untuk melakukan kegiatan tersebut misalnya di
kebun binatang, kebun raya, arboretum, dan taman safari. Dan

kegiatan

konservasi eksitu dilakukan untuk menghindari adanya kepunahan suatu jenis.


Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat
dilakukan

dalam

bentuk

pemeliharaan,

pengembangbiakan,

pengkajian,

penelitian,pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan


satwa liar.
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Dalam pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam
hendaknya senantiasa tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan, dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwaliar harus selalu memperhatikan kelangsungan potensi,
daya dukung, keanekaragaman jenis tumbuhan, dan satwa liar tersebut.
Pemanfaatannya dapat dilakukan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan
pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran,
budidaya tanaman dan obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan
(Dephutbun 1999b).
Menurut Willson (1992), ada tiga unsur pokok yang dapat dilakukan sebagai
strategi pelestarian keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya strategi untuk
melakukan

konservasi

terhadap

tumbuhan

adalah

menyelamatkan

keanekaragaman hayati yang ada, mempelajarinya dan menggunakannya secara


berkelanjutan dan seimbang. Dalam hal mempelajari, berarti mendokumentasikan
pengetahuan yang diperoleh dari apa yang dipelajari tentang suatu spesies

19
tumbuhan misalnya, dan memanfatkan pengetahuan tersebut untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
Strategi konservasi sumber daya alam di era pelaksanaan otonomi daerah
saat ini, dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar
kawasan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan, serta
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam tersebut,
hal tersebut dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan
(Sudarmadji 2002).
3. Permasalahan Konservasi Tumbuhan
Hingga saat ini, spesies tumbuhan hutan tropika banyak memberikan
kontribusi terhadap kebutuhan manusia salah satunya terhadap kesehatan.
Sebagian besar bahan baku tumbuhan untuk keperluan tersebut merupakan hasil
panenan dari alam, di lain pihak kebutuhan akan bahan baku tersebut terusmenerus meningkat. Apabila upaya pelestarian tidak dilakukan, dikhawatirkan
akan terjadi kekurangan suplai bahan baku dan bahkan yang lebih parah adalah
akan terjadi pemanenan berlebihan yang berakibat pada kepunahan spesies
tumbuhan tertentu.
Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bioekologi dan
teknik penangkaran tumbuhan secara umum dan tumbuhan obat khususnya masih
sangat terbatas. Di lain pihak publikasi dan informasi mengenai hal tersebut
sangat diperlukan guna mendasari upaya pelestarian pemanfaatan dan
pengembangan usaha pemanfaatan tumbuhan obat khususnya melalui budidaya
jenis. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran lembaga ilmiah sangat diperlukan
dan perlu ditingkatkan. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai
keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara insitu
maupun eksitu, agar tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragamannya
(Zuhud & Haryanto 1991).
Ancaman kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan, terutama tumbuhan
obat, lebih dikarenakan sebagian besar dari tumbuhan obat merupakan tumbuhan
liar yang hidup di alam. Heyne (1950) dalam Zuhud dan Haryanto (1991),
mengidentifikasi sebanyak 1040 spesies tumbuhan obat/jamu di Indonesia
sebagian besar berasal dari tumbuhan berbiji, yang sebagian besar merupakan

20
tumbuhan liar yang hidup di alam. Permasalah berikutnya, bahwa bududaya untuk
jenis-jenis tersebut sebagian besar juga belum diketahui tekniknya dan belum
dilakukan budidaya, serta masih dipungut dari alam. Apabila laju pemungutan
langsung dari alam lebih cepat dari laju kemampuan alam untuk memulihkan
populasinya, maka akan kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan tersbeut
tidak dapat dielakkan.
Permasalahan dalam konservasi tumbuhan secara umum, dan tumbuhan
obat khususnya adalah masalah budidaya tumbuhannya. Hingga saat ini belum
menggairahkan petani, disebabkan kurangnya informasi dan publikasi hasil
penelitian mengenai teknik budidaya serta belum adanya sistem pemasaran hasil
yang mantap. Selain itu penelitian sebagai upaya memperoleh data dasar yang
diperlukan bagi pelestarian pemanfaatan tumbuhan potensial mulai dari penelitian
bioekologi hingga teknik budidayanya dan eksplorasi bahan aktif yang berguna
belum dilakukan

secara intensif. Salah satu perusahaan farmasi menyatakan

bahwa penapisan (screening) tumbuhan potensial untuk memperoleh senyawa


yang berguna sangat mahal dan laju keberhasilannya rendah. Untuk mengatasi hal
tersebut maka kegiatan harus dipusatkan dan pada umumnya screening tumbuhan
potensial banyak dilakukan di luar negeri walaupun bahan tumbuhannya berasal
dari Indonesia (Zuhud & Haryanto 1991).
Keadaan yang dikemukakan di atas lebih memberikan gambaran mengenai
belum terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat petani
dengan perusahaan asing yang memegang monopoli harga bahan baku dan
produknya. Selain itu budidaya tumbuhan obat dalam skala ekonomi belum
menjadi bagian kebudayaan
Indonesia.

dan kelembagaan para petani, khususnya di

III. KEADAAN UMUM LOKASI KAJIAN


A. Sejarah Kabupaten Sintang
Daerah Sintang pada tahun 1936 pernah berada dalam kekuasaan
pemerintahan Belanda, merupakan lanschop di bawah naungan pemerintahan
Gouverment. Daerah lanschop ini terbagi menjadi 4 (empat) onderrafdeling yang
dipimpin oleh seorang controleur atau gesagkekber, yaitu :
(1). Onderafdeling Sintang, berkedudukan di Sintang.
(2). Onderafdeling Melawi, berkedudukan di Nanga Pinoh.
(3). Onderafdeling Semitau, berkedudukan di Semitau.
(4). Onderafdeling Boeven Kapuas, berkedudukan di Putussibau.
Sedangkan daerah kerajaan Sintang yang didirikan oleh Demang Irawan
(Jubair I) dijadikan daerah swapraja Sintang dan kerajaan Tanah Pinoh dijadikan
neo swapraja Tanah Pinoh. Pemerintahan Lanschop ini berakhir pada tahun 1942
dan kemudian tampuk pemerintahan di ambil alih oleh pemerintahan Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang, struktur pemerintahan yang berlaku tidak
mengalami perubahan hanya sebutan wilayah kepala pemerintahan yang
disesuaikan dengan bahasa negara yang memerintah ketika itu. Kepala negara
disebut Kenkarikan (semacam bupati), sedangkan wakilnya disebut Bunkenkarikan,. disetiap kecamatan diangkat Gunco (Kepala Daerah).
Setelah adanya pengakuan kedaulatan dari pihak Belanda kepada pihak
Indonesia, kekuasaan pemerintahan Belanda yang disebut Afdeling Sintang diganti
dengan Kabupaten Sintang, onderafdeling diganti dengan kewedanan, distric
diganti dengan kecamatan. Untuk menetralisir pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1953,
UU No. 25 Tahun 1956 dan UU No. 4 Tahun 1956 tentang pembentukan DPRD
dan DPR Peralihan, maka pada tanggal 27 Oktober 1956 dilaksanakan pelantikan
keanggotaan DPRD Peralihan Kabupaten Sintang.
Sesuai dengan Keppres No. 6 Tahun 1959 tanggal 6 Nopember 1959,
sebagai realisasi pelaksaan UU No. 3 Tahun 1953, maka daerah onderrafdeling
dihimpun kembali dalam satu tangan Bupati Kepala Daerah yang dibantu oleh
Badan pemerintahan Harian yang kemudian di atur lebih lanjut dalam UU No. 18
Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

22
Berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Sintang No. 14 Tahun 2000
pemerintah Kabupaten Sintang dibagi menjadi 21 pemerintahan kecamatan.
Kemudian setelah adanya UU No. 43 Tahun 2003 (pemekaran wilayah kabupaten)
tentang pembentukan Kabupaten Melawi, sehingga Kabupaten Sintang menjadi
14 pemerintahan kecamatan, 6 kelurahan, 183 desa dan 638 dusun (Badan Pusat
Statistik Kabupaten Sintang 2006) .
B. Letak dan Luas
1. Letak
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sintang,
Kabupaten Sintang terletak di bagian timur Propinsi Kalimantan Barat atau
diantara 105 LU serta 046 LS dan 11050 - 11320 BT, dilalui oleh garis
khatulistiwa. Informasi tentang posisi geografis setiap kecamatan di Kabupaten
Sintang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Posisi geografis setiap kecamatan di Kabupaten Sintang
Nama Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Dedai
Kayan Hilir
Sintang
Sei Tebelian
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Letak Keseluruhan

Letak Astronomis
Garis Lintang
Garis Bujur
002 LS-044 LS
11220 - 11251 BT
016 LU-046 LS
11230 - 11320 BT
008 LU-029 LS
11157 - 11330 BT
014 LU-031 LS
11052 - 11122 BT
009 LU-026 LS
11114 - 11124 BT
044 LU-014 LS
11130 - 11139 BT
011 LU-014 LS
11136 - 11215 BT
009 LU-002 LS
11121 - 11136 BT
004 LU-022 LS
11122 - 11136 BT
002 LU-020 LU
11133 - 11156 BT
006 LU-018 LU
11120 - 11135 BT
013 LU-037 LU
11113 - 11144 BT
026 LU-102 LU
11112 - 11144 BT
041 LU-105 LS
11050 - 11120 BT
105 LU-046 LS
11050 - 11320 BT

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

Secara administratif pemerintahan Kabupaten Sintang termasuk dalam


wilayah propinsi Kalimantan Barat. Secara administratif, batas wilayah
Kabupaten Sintang adalah :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Serawak (Malaysia Timur) dan Kapuas Hulu
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kalimantan Tengah dan Kabupaten Melawi

23
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kalimantan Tengah
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, Sanggau dan Sekadau.
Jarak ibukota Kabupaten Sintang dengan ibukota Propinsi Kalimantan
Barat mencapai 395 km atau jarak tempuh melalui jalan darat mencapai 9 jam,
dan melalui Kabupaten Sanggau dan Sekadau. Kabupaten Sintang dengan luas
21.638 km2 merupakan kabupaten yang memiliki luas wilayah ketiga terbesar
setelah Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu.
2. Luas
Sebagian

besar

wilayah Kabupaten

Sintang

merupakan

wilayah

perbukitan dengan luas sektar 13.573,75 km atau 62,74% dari luas Kabupaten
Sintang (21.635 km2). Kabupaten Sintang merupakan kabupaten terbesar ketiga
setelah Kabupaten Kapuas Hulu dan Ketapang.
Kecamatan yang memiliki luas terbesar adalah Kecamatan Ambalau
dengan luas 6.386,40 km2 dan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Sintang
dengan luas wilayahnya sebesar 277,05 km2. Namun, Kecamatan Sintang
merupakan ibokota Kabupatan dan pusat kegiatan pemerintahan daerah kabupaten
berlangsung. Data tentang luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang
secara rinci disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang
Nama
Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Dedai
Kayan Hilir
Sintang
Sei Tebelian
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Luas Keseluruhan
Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

Luas area
(km2)
2.127,50
6.386,40
937,50
1.825,70
1.027,00
694,10
1.136,70
277,05
526,50
523,80
307,65
1.544,50
2.182,40
2.138,20
21.635,00

Persentase terhadap
luas kabupaten (%)
9,83
29,52
4,33
8,44
4,75
3,21
5,25
1,28
2,43
2,42
1,42
7,14
10,09
9,88
100,00

24
Selain itu Kabupaten Sintang menempati posisi strategis baik dalam
konteks nasional, regional dan internasional. Kabupaten Sintang berbatasan
langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur) serta berlanjut ke Brunei
Darussalam. Kawasan ini akan menjadi gerbang keluar masuk barang dan orang
(outlet) dari dan ke Sarawak maupun Brunei Darussalam melalui jalan darat.
C. Topografi
Sebagian

besar

wilayah Kabupaten

Sintang

merupakan

wilayah

perbukitan dengan luas sekitar 22.392 km2 atau sekitar 69,37 persen dari luas
Kabupaten Sintang (32.279 km2). Berdasarkan topografinya, wilayah datar di
Kabupaten Sintang seluas 806.125 ha dan wilayah bukit dan gunung seluas
1.357.375 ha. Wilayah datar terluas terdapat di Kecamatan Ketungau Hilir seluas
127.954 ha, sedangkan wilayah bukit dan gunung terdapat di Kecamatan ambalau
seluas 638.640 ha, hal tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4

Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang menurut


topografinya

Nama Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Dedai
Kayan Hilir
Sintang
Sei Tebelian
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Luas Keseluruhan

Luas Area
(ha)
212.750
638.640
93.750
182.570
102.700
69.410
113.670
27.705
52.650
52.380
30.765
154.450
218.240
213.820
2.163.500

Wilayah datar (ha)


29.573
71.936
58.632
57.792
88.838
27.705
49.850
49.780
30.021
127.954
121.116
92.928
806.125

Wilayah bukit dan


gunung (ha)
212.750
638.640
64.177
110.634
44.068
11.618
24.832
2.800
2.600
744
26.496
97.124
120.892
1.357.375

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

D. Hidrologi
Kabupaten Sintang dialiri oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan
Sungai Melawi. Sungai Kapuas melewati daerah Sepauk, Tempunak, Sintang dan

25
Ketungau, sedangkan Sungai Melawi melewati kota Sintang, Dedai, sampai
Ambalau dan menuju ke Propinsi Kalimantan Timur.
Di akibatkan sebagian besar wilayahnya adalah perbukitan, Kabupaten
Sintang memiliki sekitar 19 air terjun yang tersebar di 5 (lima) lokasi kecamatan.
Air terjun tertinggi berada di Kecamatan Ambalau yaitu : Air Terjun Nokam
Langit (200 m), Air Terjun Nokam Nayan (180 m), dan Air Terjun Nokam
Jengonai (170 m).
E. Iklim
1. Tipe Iklim
Kabupaten Sintang cukup dikenal sebagai daerah penghujan dengan
intensitas tinggi. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, iklim di
Kabupaten Sintang tergolong iklim A, yaitu daerah yang bercurah hujan tinggi
(Iklim basah), dengan bulan basah antara 7-9 bulan, sedangkan bulan kering 2-3
bulan.
2. Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan
Berdasarkan data BPS Kabupaten Sintang (2006), Kabupaten Sintang
merupakan daerah Khatulistiwa dengan intensitas curah hujan cukup tinggi. Hal
ini dikarenakan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan yaitu
sebesar 62,74 %. Sepanjang tahun 2005 jumlah curah hujan 3297,36 mm atau
rata-rata 274,78 mm/bulan. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi terutama
dipengaruhi oleh keadaan daerah yang berhutan tropis dan disertai kelembaban
udara yang cukup tinggi.
Rata-rata bulanan curah hujan tertinggi tahun 2005 terjadi pada bulan
Oktober mencapai 414,9 mm dengan hari hujan sebanyak 26 hari, sedangkan ratarata curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu hanya mencapai 110,3
mm dengan hari hujan sebanyak 14 hari. Sedangkan intensitas hujan yang tinggi
biasanya mempengaruhi kecepatan angin.
Intensitas hujan yang tinggi

biasanya mempengaruhi kecepatan angin.

Faktor angin ini sangat mempengaruhi kegiatan penerbangan serta kegiatankegiatan lainnya. Kecepatan angin setiap bulannya rata-rata berkisar antara 1

26
knots /jam sampai dengan 3 knots/jam.

Selain itu, penyinaran matahari di

Kabupaten Sintang berkisar antara 42,0 s/d 71,0 % atau rata-rata 53,9 % (BPS
Kabupaten Sintang, 2006).
3. Temperatur
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang (2006),
temperatur rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang selama lima tahun dari tahun
2000-2004 adalah 26,89 oC, di mana rata-rata temperatur udara terendah sebesar
22,45 oC dan temperatur udara tertinggi sebesar 35,7 oC. Data temperatur
maksimum, minimum dan rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Temperatur maksimum, minimum dan rata-rata tahunan di Kabupaten
Sintang tahun 2000-2004.
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
Rata-rata

Maksimum (oC)
32,10
33,45
32,60
32,30
32,50
32,59

Temperatur
Minimum (oC)
22,45
21,70
22,70
22,70
22,70
22,45

Rata-rata (oC)
26,55
26,55
27,65
26,90
26,80
26,89

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2005)

4. Kelembaban Relatif
Kelembabab relatif rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang selama tahun
2004 berkisar antara 82-90%, dengan kelembabab relatif rata-rata tahunan sebesar
86,9% (BPS Kabupaten Sintang 2006).
F. Tanah
Dilihat dari jenis tanahnya, sebagian besar daerah Kabupaten Sintang terdiri
dari tanah latosol meliputi areal seluas 1.016.606 hektar atau sekitar 46,99 % dari
luas daerah yaitu 2,16 juta hektar. Selanjutnya tanah podsolik sekitar 928.014
hektar atau 42,89 % yang terhampar hampir di seluruh kecamatan sedangkan jenis
tanah yang paling sedikit ditemui yaitu jenis tanah organosol.
Jenis tanah Organosol terluas terdapat di Kecamatan Sepauk seluas 24.064
ha, tanah aluvial di Kecamatan Ketungau Hilir seluas 67.072 ha, tanah podsolik di

27
Kecamatan Sepauk seluas 158.506 ha, dan tanah latosol di Kecamatan Ambalau
seluas 541.130 ha, seperti tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis tanah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang
Nama Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Dedai
Kayan Hilir
Sintang
Sei Tebelian
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Luas Keseluruhan

Organosol
24.064
2.304
17.920
768
45.056

Luas areal per jenis tanah (ha)


Alluvial
Podsolik
97.510
22.500
158.506
100.390
69.410
100.870
27.705
12.748
37.552
37.780
12.925
20.071
10.367
67.072
69.458
8.448
125.312
123.208
173.824
928.014

Latosol
212.750
541.130
71.250
12.800
2.350
1.675
327
83.712
90.612
1.016.606

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

G. Keadaan Hutan
Kawasan hutan yang terdapat di Kabupaten Sintang adalah kawasan hutan
hujan tropis yang terdiri dari kawasan hutan rawa gambut, hutan dataran rendah
hingga pegunungan. Vegetasi Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (sebagian
wilayahnya juga termasuk wilayah administrasi Kabupaten Sintang), Taman
Wisata Alam Bukit Kelam, dan TWA Hutan Baning didominasi oleh jenis-jenis
dari famili Dipterocarpaceae seperti meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus
spp), dan kapur (Dryobalanops sp), dan jenis-jenis lainnya penghasil buah-buahan
yang merupakan sumber makanan bagi banyak satwa, diantaranya jenis durian
(Durio carinatus), rambutan hutan (Nephellium sp), pluntan (Arthocarpus sp), dan
berbagai jenis ara (Ficus spp), serta banyak pula jenis-jenis unik dan berharga
lainnya baik dari jenis palem, berbagai jenis anggrek, kantong semar (Nephenthes
sp), rotan, bambu-bambuan dan berbagai jenis liana yang unik dan bermanfaat.
Sedangkan jenis fauna yang relatif mudah dijumpai di kawasan hutannya,
adalah jenis primata seperti beruk (Macaca nemestrina), monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis), kelasi (Hylobathes frontata), dan jenis mamalia darat

28
lainnya seperti beruang madu, rusa, babi hutan dan beragam jenis burung, dan
salah satunya yang cukup menonjol yaitu jenis rangkong.
Sintang merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang memiliki
hutan yang cukup luas, yaitu berdasarkan rencana Tata Ruang Wilayah pada tahun
2005, maka luas kawasan hutan di Kabupaten Sintang adalah seluas 3.227.900
Ha. Dimana pemanfaatan terbesar adalah untuk hutan produksi terbatas yaitu
31,15 %, yang lainnya untuk pertanian lahan kering sebesar 30,69 %, untuk hutan
lindung 21,30 % dan sisanya adalah untuk hutan produksi biasa, taman nasional
dan hutan produksi yang dapat dikonversi (BPS Kabupaten Sintang, 2006). Luas
kawasan hutan di Kabupaten Sintang dapat disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas kawasan hutan di Kabupaten Sintang tahun 2005
Jenis Hutan
Hutan PPA/Taman Nasional
Hutan Lindung
Hutan Produksi Terbatas
Hutan produksi Biasa
Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi
Pertanian Lahan kering
Luas total

Luas Kawasan (Ha)


119.948,4
687.718,9
1.005.593,6
419.264,4
4.680,6
990.694,1
3.227.900,0

Proporsi lahan (%)


3,72
21,31
31,15
12,99
0,14
30,69
100,00

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

H. Keadaan Sosial dan Ekonomi Masyarakat


1. Kependudukan
a. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data BPS Kabupaten Sintang (2006), jumlah proyeksi tahun
2005, penduduk Kabupaten Sintang berjumlah 341.146 jiwa atau rata-rata jumlah
penduduk per desa sebanyak 1.805 jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya rata-rata jumlah perduduk per desa mengalami penurunan sebanyak 8
orang. Penurunan ini terjadi disebabkan hasil perhitungan penduduk telah
memisahkan Kabupaten Melawi, bukan penurunan yang sebenarnya..
Penyebaran penduduk di Kabupaten Sintang tidak merata antar
kecamatan yang satu dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Sintang merupakan
kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbesar yakni sebanyak 52.276 jiwa,
dan wilayah kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kecamatan

29
Binjai Hulu yakni sebanyak 10.832 jiwa. Data penduduk Kabupaten Sintang
tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sintang menurut jenis
kelaminnya tahun 2005
Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Sei Tebelian
Sintang
Dedai
Kayan Hilir
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu

Laki-laki
(orang)
11.026
7.389
11.149
21.926
12.748
13.604
26.583
12.900
11.983
7.298
5.562
9.984
13.399
9.481
175.032

Jumlah Penduduk
Perempuan
(orang)
10.551
6.937
10.918
20.347
11.677
12.878
25.693
12.302
11.420
7.028
5.270
9.425
12.610
9.058
166.114

Total
(orang)
21.577
14.326
22.067
42.273
24.425
26.482
52.276
25.202
23.403
14.326
10.832
19.409
26.009
18.539
341.146

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

Berdasarkan kelompok umurnya, jumlah penduduk di Kabupaten Sintang


pada tahun 2005 yang berusia belum produktif (umur < 15 tahun) sebanyak
119.833 orang, kelompok produktif (15-54 tahun) sebanyak 200.309 orang, dan
kelompok tidak produktif (umur >54 tahun) sebanyak 21.006 orang.
b. Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Kepadatan penduduk di Kabupaten Sintang pada tahun 2005 adalah 16
jiwa/km2, dengan kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Sintang sebesar 189
jiwa/km2, sedangkan kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan
Ambalau, yaitu dengan kepadatan penduduk sebesar 2 jiwa/km2. Secara umum
Kabupaten Sintang dikatakan mempunyai penduduk dengan kepadatan yang
masih jarang. Laju pertambahan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan
Sintang sebanyak 5,52 jiwa dan terendah terdapat di Kecamatan Ambalau sebesar
-0,52 jiwa (BPS Kabupaten Sintang 2006). Adapun data kepadatan dan laju
pertumbuhan penduduk pada setiap kecamatan di Kabupaten Sintang secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 9.

30
Tabel 9 Kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk setiap kecamatan di
Kabupaten Sintang tahun 2005
Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Sei Tebelian
Sintang
Dedai
Kayan Hilir
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu

Luas
Wilayah
2.127,50
6.386,40
937,50
1.825,70
1.027,00
526,50
277,05
694,10
1.136,70
523,80
307,65
1.544,50
2.182,40
2.138,20
21.635,00

Desa
15
9
14
22
18
19
10
16
13
10
8
13
13
9
189

Jumlah
Penduduk
21.577
14.326
22.067
42.273
24.425
26.482
52.276
25.202
23.403
14.326
10.832
19.409
26.009
18.539
341.146

Kepadatan Penduduk
Per Desa
Per km2
10
1.438
2
1.592
24
1.576
23
1.922
24
1.357
50
1.394
189
5.140
36
1.575
21
1.800
27
1.433
35
1.354
13
1.493
12
2.001
9
2.060
16
1.805

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)

2. Pendidikan
Secara umum jumlah sarana pendidikan di Kabupaten Sintang cukup
memadai, karena telah terdapat fasilitas ruang pendidikan dari tingkat taman
kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi. Namun demikian, pemanfaatan dan
peningkatan mutu pendidikan masih memerlukan banyak peningkatan, misalnya
saja perbandingan antara jumlah sekolah dengan tenaga pengajar, masih tergolong
rendah, jika dilihat bahwa rata-rata satu sekolah dasar hanya mempunyai 7 guru.
Secara umum keadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan dan rasio antara jumlah
unit, jumlah murid dan jumlah guru yang terdapat di Kabupaten Sintang disajikan
pada Tabel 10.
Tabel 10 Kondisi sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Sintang tahun 2005
Jenjang
TK
SD
SLTP
SLTA
Jumlah

Murid
1.872
51.604
12.909
7.363
73.748

Jumlah
Unit
50
364
73
31

Guru
163
2.596
901
524

Guru:Murid
1:11
1:20
1:14
1:14

Rasio Rata-rata
Unit:Murid
1:37
1:142
1:177
1:238

Unit:Guru
1:3
1:7
1:12
1:17

Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006).

Dilihat dari keadaan murid di Kabupaten Sintang lebih dari separuhnya


berada pada jenjang pendidikan SD yaitu sebesar 69,97 % dan jumlah murid

31
jenjang SLTP 17,51%, SLTA 9,98%, dan terendah pada jenjang pendidkan
Taman Kanak-kanak (2,54%).
3. Kesehatan
a. Sarana dan Prasarana Kesehatan
Pembangunan di bidang kesehatan saat ini di arahkan pada penyediaan
berbagai sarana dan prasarana yang meliputi bangunan fisik (rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan dan poliklinik) serta pengadaan tenaga kesehatan
yang terampil. Kondisi sarana dan prasarana di Kabupaten Sintang secara umum
cukup memadai. Begitu pula halnya dengan tenaga medis yang ada di setiap
kecamatan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang
(2006), fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten Sintang berjumlah 202 unit
yang terdiri dari 2 rumah sakit, 7 balai pengobatan, 16 puskesmas (7 dengan rawat
inap dan 10 tanpa rawat inap). Fasilitas kesehatan lainnya yang tersedia adalah
poliklinik desa yang berjumlah 177 unit.
Dengan keberadaan fasilitas kesehatan tersebut, diharapkan tingkat
kesehatan masyarakat semakin membaik. Tenaga medis di Kabupaten Sintang
terdiri dari 24 orang dokter umum, dokter gigi (5 orang), dokter spesialis (5
orang), semuanya berjumlah 34 orang. Selain itu terdapat pula tenaga kesehatan
lainya yaitu Bidan (66 orang), perawat (247 orang) tenaga farmasi (11 orang),
tenaga gizi (16 orang), dan tenaga teknisi medis berjumlah 30 orang.
b. Jenis-jenis Penyakit yang Diderita oleh Masyarakat di Kabupaten Sintang
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang (2006), jumlah
pasien yang masuk ke RSUD Sintang pada tahun 2005 sebanyak 4.204,
mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar 3,22%. Jika dilihat dari
banyaknya kunjungan penderita berdasarkan jenis penyakit, kasus penyakit yang
sering dijumpai di rumah sakit adalah malaria sebanyak 558 kasus, di Puskesmas,
kasus penyakit yang sering dijumpai adalah penyakit infeksi akut lain pada
saluran pernapasan bagian atas sebanyak 16.391 kasus, diikuti kasus penyakit
malaria sebanyak 13.859 kasus.

32
4. Jenis Penggunaan Lahan
Berdasarkan data yang tersedia, menunjukkan bahwa jenis penggunaan
lahan dapat dikelompokkan ke dalam 12 macam penggunaan, yaitu pekarangan,
tegal.kebun, ladang/huma, penggembalaan/padang rumput, sementara tidak di
usahakan, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa, tambak, kolam/empang
dan lain-lain. Dari kesemua tersebut, hutan dan perkebunan masih mendominasi
penggunaan lahan di Kabupaten Sintang.
5. Keadaan Perekonomian
Sektor pertanian merupakan sektor yang cukup dominan dalam memberikan
kontribusi perekonomian di desa/kecamatan di sekitar wilayah Kabupaten
Sintang. Hasil pembangunan di sektor pertanian terutama tanaman pangan,
manfaatnya sudah dirasakan oleh sebagian besar penduduk di Kalimantan Barat
khususnya di Kabupaten Sintang. Untuk itu produksi pangan baik beras maupun
non beras perlu ditingkatkan guna lebih memantapkan swasembada pangan.
Disamping itu juga ditujukan untuk memperbaiki mutu gizi masyarakat melalui
penganekaragaman jenis makanan. Luas lahan produksi padi di Kabupaten
Sintang pada tahun 2004 seluas 25.754 Ha, dengan jumlah produksi 56.697 ton,
yang terdiri dari 34.235 ton (padi sawah) dan 22.462 ton (padi ladang). Jika
dibandingkan dengan luas dan produksi panen pada tahun 2003, pada tahun 2004
mengalami penurunan, dimana pada tahun 2003 luas panen 29.304 Ha, dengan
produksi padi sebanyak 62.895 ton. Hal ini menyebabkan hasil produksi subsektor
tanaman pangan khususnya padi sawah dan ladang di Kabupaten Sintang pada
tahun 2004 mengalami penurunan sebesar 9,85%.
I. Deskripsi Lokasi Pengamatan
a. Hutan Adat I
Hutan adat I terletak di Dusun Sirang Desa Sirang Setambang Kecamatan
Sepauk Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Hutan adat I merupakan hutan adat
yang dimiliki oleh masyarakat Sirang Setambang. Topografinya datar hingga
berbukit, hutan tersebut berada pada ketinggian 35 feet hingga 256 feet (10,675 78,08 m dpl) dan berada di sekitar Daerah Alirah Sungai Sepauk. Di sekitar hutan

33
adat I tersebut banyak terdapat tempat terbuka karena adanya kegiatan
penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat, atau biasa disebut PETI
(Penambangan Emas Tanpa Ijin).
Berdasarkan informasi awal dari masyarakat Dusun Sirang, hutan adat
Sirang merupakan salah satu hutan sebagai tempat tumbuhnya sengkubak (P.
cauliflora). Hutan adat Sirang termasuk wilayah berhutan yang masih dijaga
masyarakat sekitar Dusun Sirang sebagai hutan adat yang dikeramatkan. Hal ini
dikarenakan pada hutan adat Sirang selain masih terdapat beragam spesies
tumbuhan, juga merupakan hutan tempat bersemayamnya jasad nenek moyang
suku dayak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Di dalam hutan adat tersebut
terdapat kuburan-kuburan tua yang merupakan peninggalan nenek moyang suku
Dayak Sekujang saat

masih menganut animisme. Tidak jauh dari dusun ini

terdapat Bukit Kujau yang cukup elok dipandang. Penduduk di sekitar Dusun
Sirang berjumlah 312 kepala keluarga yaitu sebesar

980 jiwa. Mayoritas

masyarakat yang mendiami dusun tersebut adalah etnis Dayak Sekujang. Agama
mayoritas adalah katolik dan protestan.
b. Hutan Karet Alam Campuran
Hutan karet alam campuran (mixed rubber plantation) I dan II terletak di
wilayah Dusun Suak Desa Manis Raya Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang
Kalimantar Barat. Hutan karet alam campuran II terletak pada ketinggian 202 feet
hingga 417 feet (61,61-127,185 m dpl). Hutan karet alam campuran I berada pada
ketinggian 86 ft hingga 402 ft (25,23 -122,61 m dpl). Hutan-hutan tersebut
merupakan hutan sekunder yang di dalamnya terdapat pohon karet yang disebut
sebagai karet alam yang dikelola dan pelihara setiap harinya oleh masyarakat
pemiliknya. Getahnya dikumpulkan (getahnya disebut kulat) setiap hari untuk
kemudian dijual setiap dua minggu pada tiap bulannya. Hasil penjualan kulat
tersebut digunakan petani karet untuk memenuhi kebutuhan kehidupan lainnya, di
luar kebutuhan pangan yang biasanya telah dihasilkan dari ladang padi milik
petani karet. Di dalam hutan karet alam campuran tersebut, selain terdapat
tanaman karet yang telah tumbuh sejak lama, terdapat pula beragam spesies
tumbuhan lainnya dari tingkat pohon, tiang hingga semai, beragam tumbuhan
yang berfungsi sebagai obat-obatan, tumbuhan hutan yang berfungsi sebagai

34
bumbu (spice), palem-paleman, tumbuhan unik lainnya seperti kantong semar
(Nephenthes sp.), beragam anggrek hutan, sarang semut dan lain sebagainya.
Dusun Suak Desa Manis Raya memiliki jumlah kepala keluarga yang
tergolong kecil yaitu sekitar 22 kepala keluarga atau sebesar 100 jiwa. Etnis dayak
yang terdapat di dusun tersebut adalah Dayak Siberuang dengan agama mayoritas
adalah katolik. Mata pencaharian penduduknya adalah petani (berladang). Hutan
karet alam campuran yang terdapat di Dusun Suak tersebut memiliki topografi
yang cukup bervariasi dari datar hingga curam (cukup berat untuk dilalui). Hutanhutan karet alam campuran yang menjadi lokasi pengamatan ini cukup terjaga
karena setiap harinya dipelihara oleh pemilik ladang. Menurut informasi warga
sengkubak masih dapat dijumpai di hutan-hutan tersebut.
c. Hutan Adat II
Hutan adat II (hutan Pungkun) terletak di Dusun Medang Desa Empaci
Kecamatan Dedai Sintang. Hutan tersebut berada pada ketinggian 80 feet hingga
434 feet (24,4 132,37 m dpl). Topografi pada hutan Medang tergolong datar.
Hutan Pungkun merupakan hutan adat (hutan tembawang) yang cukup
dikeramatkan oleh warga sekitarnya. Menurut informasi, hutan ini dahulu
merupakan hutan tempat dilakukanya Ngayau yaitu tempat orang-orang etnis
Dayak bertarung dengan memenggal kepala lawan.
Masyarakat sekitar cukup mematuhi adat istiadat yang berlaku terhadap
hutan adat ini. Hingga kini Hutan Pungkun Medang (hutan adat II) cukup terjaga
kelestariannya karena adanya aturan adat yang cukup keras yang melarang
masyarakat sekitarnya untuk membuka lahan hutannya untuk kepentingan apapun
termasuk berladang. Masyarakat sekitarnya juga mempercayai bila melanggar
aturan adat tersebut akan mendapat bala dan panenan hasil dari ladang tidak
akan membawa keberkahan bagi pemiliknya.

IV. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sepauk, Sintang, Kelam Permai
dan Dedai Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Lokasi penelitian merupakan
lokasi yang dapat mewakili etnis Melayu dan Dayak. Lama penelitian lebih
kurang 3 bulan, yaitu mulai bulan Mei Juli 2007. Lokasi penelitian disajikan
pada Gambar 2.
11100'
111

100'1

11130'

11200'
112

11230'

11300'
113

11330'

PETA LOKASI PENELITIAN


KABUPATEN SINTANG
PROP. KALIMANTAN BARAT
SKALA 1:14.500.000

1
100'

KETUNGAU
HULU
KETUNGAU
TENGAH

400

030'

030'

SINTANG

SEPAUK

KELAM
$
#
PERMAI
TEMPUNAK

#
$
#
#

800
km

030'

KETUNGAU
HILIR

0
000'

400

#(

KAYAN
HULU

DEDAI

AMBALAU

0
000'

KAYAN
HILIR

Lokasi Inventarisasi
Pycnarrhena cauliflora
$ Lokasi Responden
#
% Kab. Sintang
#

SERAWAI

SUNGAI
TEBELIAN

LEGENDA:

030'

PETA KALIMANTAN

% SINTANG
-1
100'

-1
100'

130'

130'
111
11100'

11130'

112
11200'

11230'

113
11300'

11330'

Gambar 2 Lokasi penelitian empat kecamatan di Kabupaten Sintang


B. Alat dan Bahan Penelitian
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Peta wilayah kerja di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat;
2. Perlengkapan inventarisasi dan pengukuran komponen fisik lingkungan,
seperti: kompas, pita meter, tally sheet,
termohigro-meter, hagameter;

tali rapia/tambang, GPS receiver,

36
3. Perlengkapan untuk pembuatan herbarium (specimen) dan perlengkapan
tambahan lainnya seperti: label, kantong plastik, koran, alkohol,

kamera

digital;
4. Perlengkapan alat tulis menulis dan kuisioner.
C. Perumusan Masalah
Sengkubak merupakan salah satu plasma nutfah yang khas dan bernilai
penting karena selama ini telah dimanfaatkan bagi sebagian masyarakat terutama
Suku Dayak dan Melayu di Kabupaten Sintang. Namun, pemanfaatan yang
selama ini dilakukan, tanpa diikuti dengan pembudidayaannya akan menambah
ancaman bagi keberadaan sengkubak di hutan alam. Selain itu, ancaman degradasi
budaya yang menyebabkan terjadinya degradasi pengetahuan tradisional terutama
pada generasi muda yang telah melupakan tradisi leluhurnya. Tingginya tekanan
terhadap hutan alam, deforestasi hutan, konversi lahan hutan dan kebakaran hutan
yang dapat mengancam keberadaan banyak spesies bernilai penting, termasuk
sengkubak.
Informasi

mengenai

keadaan

populasinya

dan

faktor-faktor

yang

mempengaruhinya seperti bagaimana penyebarannya di alam, asosiasinya dengan


tumbuhan lain, potensinya masih terbatas, dan bagaimana pemanfaatan yang
selama ini dilakukan oleh masyarakat terutama oleh kedua suku tersebut juga
masih terbatas. Sehingga kajian etnobotani yang dapat mengangkat bagaimana
persepsi dan konsepsi masyarakat, atau

pengetahuan botani tradisionalnya

terhadap sengkubak di rasa perlu dilakukan.


Satu hal yang sangat positip bagi pengembangan tumbuhan obat atau
tumbuhan berkhasiat di Kabupaten Sintang adalah Pemda Sintang sangat
mendukung pengembangan tumbuhan tersebut dan hingga kini berupaya
pengembangkan potensi tumbuhan obat atau tumbuhan berkhasiat yang terdapat
di Kabupaten Sintang (Fakultas Kahutanan IPB 2005). Hal tersebut merupakan
peluang bagi para peneliti untuk membantu mewujudkan keinginan tersebut
sebagai bentuk nyata untuk benar-benar menggali potensi terpendam yang khas
yang terdapat di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat, salah satunya seperti yang

37
akan diangkat dalam penelitian ini, adalah aspek etnobotani dan konservasi
sengkubak.
Dari uraian di atas maka secara umum permasalahan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.

Bagaimana bentuk pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat lokal Kabupaten


Sintang Kalimantan Barat tentang sengkubak?

2.

Bagaimana keadaan populasi dan ekologis sengkubak di habitat alaminya,


meliputi penyebarannya, kelimpahannya, asosiasinya, keadaan vegetasi pada
habitatnya?

D. Kerangka Pemikiran
Kajian etnobotani sengkubak merupakan sarana yang dapat digunakan,
untuk mempelajari konsepsi dan persepsi masyarakat terutama Suku Dayak dan
Melayu

di

Kabupaten

Sintang.

Serta

merupakan

bagian

kegiatan

pendokumentasian pengetahuan tradisional yang khas dari kabupaten Sintang,


yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman empiris masyarakat. Pengetahuan
tradisional

merupakan

salah

satu

kunci

utama

dalam

pemanfaatan

keanekaragaman hayati secara berkelanjutan (Bappenas 2003).


Informasi mengenai kondisi populasinya di alam perlu diketahui sebagai
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelestarian
sengkubak serta untuk pengembangan potensi sengkubak sebagai tanaman khas
yang dapat dikembangkan menjadi bahan penyedap yang sehat dan berkhasiat
dengan kemasan yang lebih modern.
Dengan mengetahui data-data dari hasil penelitian ini, diharapkan Pemda
Sintang dapat mengambil langkah kebijakan yang tepat untuk melakukan
pelestarian sengkubak serta informasi mengenai status ekologi sengkubak di alam
juga dapat digunakan sebagai bagian strategi pengembangan budidaya sengkubak,
sehingga dapat mengurangi ancaman kelestarian tumbuhan berguna yang ada di
Kabupaten Sintang khususnya. Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan
pada Gambar 3.

38
Ancaman hilangnya
Traditional
Knowledge
Tingginya tekanan
terhadap hutan, al:
-konversi lahan hutan
-deforestasi, dll
Belum dilakukan
budidaya

Potensi
sengkubak

Perlu upaya konservasi/


pelestarian

Kajian etnobotani
sengkubak

Wawancara dengan
masyarakat lokal

Deskripsi traditional knowledge


(pendokumentasian)

Penyedap rasa yang


sehat
Berpotensi tanaman
obat
Bernilai penting
(pemanfaatan khas)

Dokumentasi pengetahuan
penggunaan sengkubak
Mempelajari kondisi populasi
sengkubak di alam

Kajian Potensi sengkubak


& vegetasi lain pada habitatnya

Analisa Vegetasi &


Analisa kuantitatif

Kerapatannya, Penyebaran,
kondisi vegetasi pada
habitatnya, asosiasinya, status

Karakteristik dan aspek konservasi sengkubak

Implikasi Konservasi sengkubak


pemanfaatan, perlindungan dan pengawetan sengkubak
[Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian


E. Jenis Data Yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data
sekunder.

Data

primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

39
masyarakat melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, dan
berfungsi sebagai pendukung utama dalam pengolahan data secara kuantitatif dan
kualitatif. Data sekunder adalah data yang berfungsi sebagai penunjang hasil
penelitian.
1. Data Primer
Data primer yang dikumpulkan meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Data etnobotani, diperoleh dari kegiatan wawancara.
b. Data sengkubak di alam, yang meliputi jumlah individu, ukuran diameter
/tinggi, keadaan individu masih anakan atau dewasa untuk melihat tingkat
regenerasi, dan titik-titik koordinat tempat sengkubak ditemukan.
c. Data keadaan vegetasi lain di habitat sengkubak yang meliputi jenis vegetasi,
jumlah individu setiap spesies untuk tingkat pertumbuhan semai dan pancang,
sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon dicatat jenis, jumlah individu,
diameter batang tinggi bebas cabang..
d. Komponen fisik habitat sengkubak, diukur dan amati meliputi ketinggian
tempat ditemukan, temperatur, kelembaban, dan kedalaman serasah.

2. Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data sosial ekonomi masyarakat,
keadaan tanah, topografi, iklim, hidrologi. Data-data ini dapat diperoleh melalui
pengamatan langsung dilapangan dengan penelusuran kepustakaan, yang dapat
menunjang hasil penelitian.
F. Penentuan Sampel
1. Penentuan Sampel Wilayah Studi
Penelitian dilakukan dibeberapa sampel wilayah. Karena dalam penelitian
ini ada dua kajian yang dilakukan, yaitu kajian etnobotani dengan objek utama
adalah masyarakat suku Dayak dan Melayu di Kabupaten Sintang, dan kajian
keadaan populasi sengkubak dan aspek ekologisnya yang menjadi wilayah kajian
adalah kawasan hutan yang merupakan habitat hutan sekunder di Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat.

40
Penentuan sampel wilayah untuk keperluan kajian etnobotani dilakukan
secara secara purposive sampling. Wilayah studi dipilih dari beberapa kecamatan
yang terdapat di Kabupaten Sintang, dengan pertimbangan bahwa

wilayah-

wilayah tersebut dapat mewakili keberadaan suku Dayak dan Melayu yang
menjadi narasumber penelitian (responden). Wilayah yang telah ditetapkan adalah
Kecamatan Sepauk, Dedai, Kelam Permai dan Kecamatan Sintang.
Sampel wilayah studi untuk kajian keadaan populasi sengkubak dan aspek
ekologisnya, berdasarkan areal pengamatan yang mewakili kondisi penutupan
lahan habitat hutan sekunder. Lokasi/areal tersebut di pilih secara purposive
berdasarkan informasi masyarakat dari kajian etnobotani dan merupakan tempat
ditemukannya sengkubak.
2. Penentuan Responden
Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat
suku Dayak dan Melayu yang telah diketahui memanfaatkan sengkubak sebagai
penyedap rasa masakan (pengguna sengkubak) dan masyarakat dari kedua suku
tersebut yang sering melakukan pemungutan sengkubak di alam.
Jumlah responden berjumlah 30 orang, dan merupakan pengguna sengkubak
dan pemungut sengkubak atau hanya sebagai pengguna, dari jumlah tersebut
sudah mencakup suku Dayak maupun Melayu.
Pengambilan sampel responden dalam penelitian ini dilakukan secara
snowball sampling, karena terbatasnya informasi mengenai masyarakat yang
termasuk sebagai pengguna atau pemungut sengkubak. Pengambilan responden
dimulai dari masyarakt atau tokoh-tokoh masyarakat dari kedua suku tersebut
yang telah diketahui memanfaatkan sengkubak (key informan), dari keterangan
responden tersebut dikumpulkan calon responden lain, calon responden tersebut
memberikan informasi tentang calon responden yang lain, dan begitu seterusnya.
Peneliti hanya mengungkapkan kriteria sebagai persyaratan responden (Subagio
1991; Nasution 2003).
F. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara untuk kajian etnobotani dan pengamatan langsung untuk menduga

41
kondisi populasi dan mengidentifikasi aspek bioekologis sengkubak. Metode
pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara dan pengamatan langsung.
1. Wawancara
Wawancara di lakukan sebagai salah satu cara untuk mempelajari kajian
etnobotani masyarakat lokal terhadap sengkubak di Kabupaten Sintang. Kegiatan
ini dilakukan untuk memperoleh penjelasan mengenai aspek-aspek yang ingin
diketahui dari pemanfaatan dan pengetahuan tentang sengkubak yang dilakukan
oleh masyarakat selama ini. Selain menanyakan langsung kepada responden
tentang hal-hal yang berkaitan dengan etnobotani sengkubak, responden diberikan
kuisioner yang dapat diisi untuk menerangkan bagaimana pemanfaatan dan
pengetahuan masyarakat selama ini tentang sengkubak. Hal-hal yang ingin di
ketahui dari wawancara mencakup hal-hal berikut:
a. Penggunaannya oleh masyarakat, variabel yang di amati dari karakter
masyarakat yaitu umur, pekerjaan, pendidikan (variabel bebas) dan variabel
tidak bebas meliputi komposisi/takaran bahan, cara pengolahannya, jenis
masakan apa saja, dan bagian apa saja yang digunakan.
b. Budidaya, meliputi sudah dilakukan budidaya/belum, cara budidaya yang
dilakukan, permasalahan budidaya.
c. Pengetahuan masyarakat tentang sengkubak, habitat sengkubak, spesies/
tumbuhan lain yang sering menjadi inang sengkubak, rasa (taste) sengkubak,
dan pertumbuhannya.
d. Kegunaan

sengkubak

yang

dipahami

masyarakat,

meliputi

sejarah

penggunaannya, manfaat lain (untuk pengobatan misalnya), nilai religi/nilai


lainnya.
e. Pemanenan/cara memperolehnya, meliputi memanen langsung dari alam, hasil
tanam sendiri atau membeli dipasar/memesan.
f. Kondisi sengkubak saat ini menurut masyarakat, masih banyak/melimpah,
masih dipasarkan, atau jarang/sulit mendapatkannya.
g. Persepsi masyarakat tentang konservasi sengkubak, meliputi: pelestarian
sengkubak, bagaimana cara melestariakannya, arti penting sengkubak bagi
masyarakat.

42
2. Pengamatan Langsung
a. Bentuk, Ukuran dan Jumlah Unit Contoh Pengamatan
Unit contoh pengamatan terdiri atas petak-petak persegi berukuran 20 m x
20 m. Jumlah keseluruhan unit contoh pengamatan adalah 100 unit, yang terdiri
atas 25 unit di setiap lokasi pengamatan dan keseluruhan terdapat 4 lokasi
pengamatan di hutan sekunder. Unit contoh pengamatan berada di jalur-jalur
pengamatan dengan ukuran tiap jalur, panjang 100 m dan lebar 20 m. Jalur
pengamatan di bagi menjadi unit atau petak-petak kecil berukuran 20 m x 20 m
untuk pengamatan tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5
m untuk pancang (sapling) dan 2 m x 2 m untuk anakan (seedling).
b. Metode Pengamatan Spesies
Pengamatan sengkubak dan vegetasi lainnya akan dilakukan dengan
menggunakan metode kombinasi jalur dengan

garis berpetak.

Jalur

dikombinasikan dengan garis berpetak dengan ukuran 20 m x 100 m, dibuat


sebanyak 5 buah jalur pada satu areal pengamatan. Jalur diletakkan secara
systematic dengan jarak antar jalur 50 m. Areal pengamatan adalah sebanyak 4
lokasi, keempat lokasi berada di hutan sekunder.
c. Metode Pengambilan Data
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati semua petak contoh
pengamatan yang telah ditentukan. Dicatat semua data yang diperlukan dalam
setiap petak contoh pengamatan.
(1). Inventarisasi Vegetasi
Untuk mempelajari kondisi sengkubak dan keadaan ekologisnya di alam
dilakukan Inventarisasi vegetasi, yang mencakup spesies sengkubak, vegetasi lain
yang merupakan habitus pohon mulai tingkat semai, pancang, tiang. dan pohon.
Data ini diperlukan untuk melihat aspek konservasi sengkubak.
Pengamatan langsung dilakukan untuk mengumpulkan data tentang jumlah
sengkubak dan jumlah serta individu setiap jenis vegetasi secara umum. Untuk
sengkubak selain di catat jumlah di setiap petak pengamatan juga dicatat titik
koordinat ditemukannya sengkubak. Pada jalur yang ditemukan sengkubak, selain

43
dicatat karakteristik sengkubak yang ditemukan (diameter, tinggi, keterangan
lainnya) dan vegetasi lainnya yang berada pada habitat sengkubak.
Pengamatan langsung dari kegiatan inventarisasi vegetasi dilakukan untuk
mengetahui hal-hal sebagai berikut:
(a). Keadaan populasi sengkubak di habitatnya, meliputi karakteristiknya,
jumlahnya, penyebarannya di alam dan asosiasi dengan spesies lain.
(b). Keadaan vegetasi lain yang termasuk habitus pohon pada habitat sengkubak.
Meliputi keanekaragama spesies,

kekayaan speses, kemerataan, dan

kesamaan komunitas dalam unit pengamatan.


Ukuran petak contoh untuk keperluan analisis vegetasi di areal berhutan
dibedakan menurut tingkatan kelompok tumbuhan, yaitu (Soerianegara dan
Indrawan 1988) disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Kategori pengelompokkan vegetasi dan luas petak ukur
Kategori
Pohon
Tiang
Pancang
Semai

Diameter (cm)
> 20
10 19
< 10 cm dan tinggi 1,5 m
Tinggi < 1,5 m

Ukuran Petak ( m x m)
20 x 20
10 x 10
5x5
2x2

Keterangan : Untuk sengkubak pada petak 20 m x 20 m.

Pengambilan data dalam inventarisasi sengkubak dan vegetasi lainnya


dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi jalur-garis berpetak (Kusmana
1997) disajikan pada Gambar 4.
C

B
A
Arah Rintisan

A
2m

10 m

5m

20 m

100 m

Gambar 4 Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi


dengan metode kombinasi jalur dengan garis berpetak

44
Keterangan :
A. Petak ukur vegetasi tingkat semai (2 m x 2m)
B. Petak ukur vegetasi tingkat pancang (5m x 5m)
C. Petak ukur vegetasi tingkat tiang (10m x 10 m)
D. Petak ukur vegetasi tingkat pohon (20 m x 20m)

(2). Pengamatan Komponen Fisik Habitat Sengkubak


Keadaan fisik habitat sengkubak yang diukur dan di amati, meliputi jenis
tanah, ketebalan serasah, suhu, kelembaban lingkungan.
(3). Pembuatan Herbarium
Pengambilan sampel herbarium dilakukan untuk identifikasi spesies
sengkubak dan spesies tumbuhan yang ada di plot kajian. Pengidentifikasian
spesies dilaksanakan di Herbarium Bogoriensis, Bogor. Tahapan-tahapan yang
dilakukan dalam pembuatan herbarium ini adalah:
(a).

Mengambil contoh herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan


daunnya, kalau ada bunga dan buahnya juga diambil.

(b). Contoh herbarium tadi dengan menggunakan gunting daun, dipotong dengan
panjang kurang lebih 40 cm.
(c). Kemudian contoh herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan
memberikan etiket yang berukuran 3 cm x 5 cm. Etiket berisi keterangan
tentang nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama
pengumpul/kolektor.
(d).

Selanjutnya beberapa herbarium disusun diatas sasak yang terbuat dari


bambu dan disemprot dengan alkohol 70%.

(e). Spesimen selanjutnya dijemur dalam sinar matahari dan disemprot kembali
dengan alkohol 70%.
(f). Herbarium yang sudah kering dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang
diperlukan diidentifikasi untuk mendapatkan nama ilmiahnya di Herbarium
Bogoriense Bogor.
G. Metode Analisis Data
1. Data Hasil Wawancara Etnobotani
Data-data kualitatif yang diperoleh dari kegiatan wawancara diolah dan di
analisis dengan melakukan peringkasan data, penggolongan, penyederhanaan,

45
penelusuran dan pengaitan antar tema. Selanjutnya data yang telah diperoleh
disajikan secara deskriptif, sesuai dengan tema pembahasan yang ada sehingga
mendukung dalam penarikan kesimpulan atau penentuan rekomendasi tindak
lanjut. Selain itu digunakan pula Chi-square untuk mengetahui apakah ada
perbedaan persepsi pemanfaatan antara etnis Dayak dan Melayu Sintang.
Kriteria uji dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:
n

2 =

(O E )

i =1

Keterangan :
O = Frekuensi hasil pengamatan
E = Frekuensi Harapan
df = derajat bebas yaitu (r-1)(c-1), = 0,05 (tingkat signifikansi 5 %).
2. Pola Sebaran Spasial Sengkubak
Penentuan

pola

sebaran

spasial

sengkubak

dilakukan

dengan

menggunakan pendekatan indeks penyebaran Morisita dengan formula Smith and


Gill (1975) dalam Krebs (1999).
X - X
Id = 2 n

Mu =

Mc =

Keterangan:

X .0,975 (n+X
i ) Xi
- X
( Xi ) 1

X 2 .0,025 n + Xi
( Xi) 1

Id
n
X
X

=
=
=
=

Morosita Index of Dipersion


Ukuran sampel
Jumlah individu sengkubak
Jumlah kuadrat individu sengkubak

Untuk menghitung Indeks Morisita terstandar ( Ip ) dapat digunakan formula :


Id - Mc
Ip = 0,5 + 0,5
n - Mc

Jika Id Mc > 1,0

46

Id - 1
Ip = 0,5
Mc - 1

Jika Mc > Id 1,0

Id - 1
Ip = - 0,5
Mc - 1

Id - Mc

Jika 1,0 > Id > Mu

Jika 1,0 > Mu > Id

Ip = - 0,5 + 0,5
n - Mc

Perhitungan Indeks Morisita terstandar dapat mengetahui pola sebaran


spasial P. cauliflora yaitu random jika Ip = 0 ; mengelompok jika Ip > 0 dan
seragam jika Ip < 0.
3. Asosiasi Antar Dua Spesies

Prosedur yang digunakan untuk mempelajari asosiasi antarspesifik antara


sengkubak dengan spesies lainnya didasarkan pada ada tidaknya (presence dan
absence) spesies dalam unit sampling (SU).
Setiap pasangan spesies sengkubak dan spesies X yang diperoleh dari unit
sampling kemudian disusun dalam bentuk tabel kontingensi 2 x 2 (Tabel 12).
Tabel 12 Asosiasi spesies (Kotingensi 2 x 2)
Spesies X
Ada
Tidak ada
Jumlah

P. cauliflora
Ada
Tidak ada
a
b
c
d
A+c
b+d

Jumlah
a+b
c+d
N

Keterangan :
a = jumlah unit sampling (SU) dimana kedua spesies terdapat
b = jumlah SU dimana terdapat spesies X tetapi sengkubak tidak terdapat.
c = jumlah SU dimana terdapat sengkubak tetapi spesies X tidak terdapat
d = jumlah SU dimana kedua spesies tidak terdapat.
N = jumlah total SU (N = a+b+c+d).

47
Nilai harapan untuk sel a, sel b, c dan d adalah
E(a) = (a+b)(a+c)/N
E(b) = (a+b)(b+d)/N
E(c) = (c+d)(a+c)/N
E(c) = (c+d)(b+d)/N
Kriteria uji dilakukan dengan persamaan sebagai berikut :
n

2 =

(O E )

i =1

Keterangan :
O = Frekuensi hasil pengamatan
E = Frekuensi Harapan
df = derajat bebas yaitu (r-1)(c-1), = 0,05 (tingkat signifikansi 5 %).
Jika 2 hitung > 2 tabel, maka hipotesis bahwa terdapat asosiasi antara spesies
A dan B diterima.
Terdapat dua tipe asosiasi, yaitu :
(1) Positif, jika nilai observasi a>E(a), kedua spesies lebih sering terdapat
bersama-sama daripada sendiri-sendiri (bebas satu sama lain).
(2) Negatif, jika nilai observasi a<E(a), kedua spesies lebih sering terdapat
sendiri-sendiri, daripada bersama-sama.
Selanjutnya tingkat asosiasinya dapat diukur dengan menggunakan indeks
Dice dan Indeks Jaccard (Ludwig & Reynold 1988).

DI =

a
2a + b + c

JI =

a
a+b+c

4. Komposisi dan Dominasi Spesies

Data hasil inventarisasi vegetasi selanjutnya dianalisis untuk mengetahui


komposisi dan dominasi spesiesnya. Dominasi suatu spesies akan ditunjukkan
oleh besaran Indeks Nilai Penting (INP).

Indeks Nilai Penting (INP) untuk

vegetasi tingkat tiang dan pohon merupakan penjumlahan dari nilai-nilai

48
kerapatan relatif (KR), dominasi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau INP
= KR + FR + DR, sedangkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang. INP =
KR + FR. Persamaan-persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai
tersebut adalah sebagai berikut :
Jumlah individu suatu spesies
K

=
Luas plot pengamatan (ha)
Kerapatan suatu spesies

KR

x 100%
Kerapatan seluruh spesies

Jumlah plot ditemukannya suatu spesies


Jumlah total plot pengamatan
Frekuensi suatu spesies

FR

x 100%
Frekuensi seluruh spesies

Luas bidang dasar suatu spesies


Luas plot pengamatan (ha)
Dominasi suatu spesies

DR

x 100%
Dominasi seluruh spesies

5. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan

Untuk menentukan ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan pada habitat


sengkubak, digunakan pendekatan indeks keragaman (Shannon-Wiener), koefisien
kesamaan komunitas, indeks kekayaan jenis (Margalef), dan indeks kemerataan
(Evennes).
a. Kekayaan spesies (Species richness)

Untuk mengukur kekayaan spesies dalam unit-unit pengamatan, pendekatan


yang digunakan adalah Indeks Diversitas Margalef (Clifford & Stephenson, 1979)

49
dalam

Magurran

(1988).

Indeks

kekayaan

Margalef

dihitung

dengan

menggunakan persamaan sebagai berikut:


Dmg =

S 1
ln N

Keterangan :
Dmg= Indeks kekayaan Margalef
S = Jumlah spesies
N = Jumlah individu

b. Keragaman spesies (Heterogeneity)

Untuk mengukur keragaman spesies di areal plot pengamatan digunakan


Indeks Keragaman Shannon-Wiener yang dihitung menggunakan persamaan
sebagai berikut :
H = -

pi. ln pi

Keterangan :
pi = proporsi jumlah individu ke-i (ni/N)
H = indeks diversitas Shannon

c. Indeks Kemerataan (Evennes)

Untuk mengukur derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap


spesies digunakan indeks kemerataan spesies tumbuhan pada habitat sengkubak
dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut (Pielou 1969 dalam Magurran
1988):
J =
Keterangan :
J
H
Dmax

H'
;
Dmax
= nilai evennes (0-1)
= indeks keragaman Shannon-Wiener
= nilai maksimun indeks keragaman
= ln S

50

6. Kesamaan Komunitas
Untuk melihat kesamaan komunitas vegetasi antar lokasi pengamatan
digunakan indeks kesamaan komunitas (index of similarity) Soerensen yang
dimodifikasi oleh Bray and Curtis (1957) dalam (Magurran 1988), yaitu:
IS =

2.W
a+b

Keterangan :
IS
W
a
b

=
=
=
=

Koefisien komunitas
Jumlah spesies yang terdapat pada dua komunitas
Jumlah spesies yang terdapat pada komunitas a
Jumlah spesies yang terdapat dalam komunitas b.

51
Untuk melihat apakah ada perbedaan pengetahuan suku Dayak dan Melayu
terhadap pemanfaatan sengkubak, maka dapat digunakan uji Chi-Square, dengan
terlebih dahulu memberikan nilai skor dari jawaban responden yang mewakili
kedua suku tersebut tentang pemanfaatan sengkubak yang mereka ketahui. Nilai
skor untuk pengetahuan tentang pemanfaatan yaitu: Skor 1 : untuk nilai 80-100%
jika memiliki kesamaan pemanfaatannya, Skor 2 : untuk nilai 60-79% jika
memiliki kesamaan pemanfaatan. Skor 3 : untuk nilai <60% memiliki kesamaan
pemanfaatan.
Persamaan yang digunakan dalam Chi-Square adalah sebagai berikut :
X = [(Oi-Ei) / Ei]
Keterangan :
X = nilai Chi-Square
Oi = Observasi atau frekuensi pengamatan
Ei = Frekuensi harapan
Hipotesa yang diuji :
Ho = Tidak ada perbedaan pengetahuan pemanfaatan suku Dayak dan Melayu
terhadap penggunaan sengkubak.
H1 = Ada perbedaa pengetahuan pemanfaatan suku Dayak dan Melayu
Terhadap penggunaan sengkubak.
Kriteria uji:
Jika X hitung > X (0.05;db); maka terima H1
Jika X hitung X (0.05;db); maka terima Ho

52

51

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Etnobotani Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]


1. Persepsi Masyarakat Dalam Pemanfaatan Sengkubak
a. Pemanfaatan Sebagai Penyedap Rasa Alami
Pemanfaatan sengkubak oleh komunitas lokal Dayak dan Melayu Sintang
adalah sebagai penyedap rasa alami yakni untuk menambah rasa manis pada
masakan. Pengetahuan tentang penyedap rasa dari sengkubak merupakan warisan
nenek moyang dalam mengolah masakan. Etnis Dayak di Sintang yang
melakukan pemanfaatan sengkubak sebagai penyedap rasa adalah kelompok
Dayak Siberuang, Sekujang, dan Desa. Pemanfaatan daun sengkubak sebagai
penyedap rasa juga dilakukan oleh etnis Dayak Kenyah (etnis Dayak yang berada
di sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang Kalimantan Timur), pemanfaatan
sengkubak di katakan mempunyai tiga nilai yaitu makanan, ekonomi, dan tanam
(Uluk et al. 2000). Komunitas lokal Dayak di Sabah, Malaysia juga
menggunakan daun Pycnarrhena tumetacta sebagai penyedap rasa (Hoe & Siong
1999), komunitas Dayak Iban di Kalimantan Barat menggunakan sengkubak
sebagai penyedap rasa (MacKinnon et al. 2000). Selain itu, pemanfaatan
sengkubak sebagai penyedap rasa juga dilakukan oleh Dayak Ransa di Dusun
Nanga Juoi Kecamatan Menukung, Melawi Kalimantan Barat (Caniago & Siebert
1998).
b. Pemanfaatan Lain
Pemanfaatan lain dari sengkubak adalah untuk pengobatan luar dan nilai
magis. Pengetahuan mengenai manfaat sengkubak sebagai penyedap rasa,
pengobatan, nilai magis adalah berbeda (2 = 12,59 dan 2 (0,05;2) = 5,99) antara
etnis Dayak dan Melayu. Masing-masing etnis mempunyai pengalaman dan
kepercayaan tertentu yang mempengaruhi pengetahuannya terhadap manfaat
sengkubak. Pengetahuan pemanfaatan sengkubak untuk manfaat lain (sebagai
pengobatan dan nilai magis) masih terbatas pada sebagian komunitas tertentu,
dalam arti pengetahuan tersebut belum diketahui dan dikenal secara luas.

52
Pemanfaatan sengkubak untuk pengobatan yang diketahui oleh komunitas
lokal Melayu Sintang adalah bersifat pengobatan dari luar, seperti untuk jaram
(istilah etnis Melayu untuk kompres menurunkan panas), tapal meletakkan
hasil ramuan bahan-bahan campuran dengan daun Sengkubak yang telah
ditumbuk untuk mengobati perut kembung dan batuk-batuk, pengobatan penyakit
demam merona yaitu penyakit demam yang sudah lama tidak sembuh-sembuh.
Komunitas Dayak Siberuang dan Dayak Sekujang mempunyai kepercayaan
bahwa bahwa diantara buah sengkubak terdapat bagian yang disebut buntat, yang
dipercaya mempunyai nilai spiritual/magis sebagai jimat. Etnis Dayak Siberuang
dan Melayu Sintang percaya batang sengkubak dapat digunakan bersama kayu
Lukai (Goniothalamus macrophyllus Hook.f.& Thoms.) dan bawang merah
sebagai penangkal, selain itu daun sengkubak bersama kayu Lukai juga dipercaya
sebagai penangkal dan digunakan untuk merabun (kegiatan membakar bahanbahan/rempah untuk mengeluarkan asapnya yang dipercaya untuk mengusir
makhluk halus.
c. Bagian yang Digunakan
Bagian yang umum digunakan dari sengkubak adalah daun. Bagian-bagian
lain dari sengkubak yang dapat digunakan adalah batang dan buah. Pengetahuan
mengenai manfaat terhadap bagian-bagian yang dapat digunakan (daun, batang,
buah) dari sengkubak adalah berbeda nyata antara etnis Dayak dan Melayu (2 =
6,84 dan 2

(0,05;2)

= 5,99). Hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya kepercayaan

bahwa buah dan batangnya mempunyai nilai magis, etnis Dayak Sekujang dan
Siberuang Sintang percaya jika teras sengkubak yang berasal dari buah
sengkubak merupakan jimat penawar, etnis Melayu Sintang mempunyai
kepercayaan tentang batang sengkubak jika dibakar bersama kayu lukai dapat
menyadarkan orang yang sedang kesurupan (tidak sadarkan diri karena gangguan
makhluk halus). Pemanfaatan bagian-bagian dari sengkubak, komposisi dan cara
mengolah disajikan pada Tabel 13.

53
Tabel 13 Komposisi dan pemanfaatan sengkubak oleh masyarakat di
Kabupaten Sintang Kalimantan Barat
Bagian
yang
digunakan
Daun

Daun

Daun

Daun

Daun

Peranan

Takaran/
Komposisi

Cara pengolahan

Peruntukkan

Penyedap
rasa

2-3 lembar/masakan

Diiris kecil-kecil/
Ditumbuk dan
dicampur dengan
sayuran

Memasak ikan dan


beragam sayuran

Daun sengkubak
Daun ribu-ribu
Daun medang piawas
Jintan hitam
Ketumbar kasar

Semua bahan
ditumbuk, ditapalkan
atau disemburkan
pada perut si sakit

Perut kembung
disertai batuk-batuk

Daun sengkubak
Daun kembang
sepatu
Bawang merah 1 biji
Bawang putih 1 biji
Daun sirih
Kulit pinang (1 buah)
Daun puring panjang
kecil

Semua bahan
dimasukkan ke dalam
wadah berisi air
diremas-remas
ditambah sedikit cuka
dan nasi dingin satu
butir

Demam panas

Daun sengkubak
Kulit bawang merah
Kulit bawang putih
Air beras
Jintan hitam

Semua bahan
dimasukkan kedalam
wadah (bisa
tempurung kelapa)
Dibuat pada malam
hari
Diembunkan diluar
rumah
Digunakan setelah
diembunkan untuk
mandi bagi si sakit
sampai sembuh
Semua bahan dibakar
asapnya untuk
merabun

Demam merayu atau


Demam merona
(deman lama yang
tidak sembuhsembuh)

Daun sengkubak di
letakkan didalam
kulit lukai dan diikat

Zimat atau penangkal


makhluk halus

Pengobatan
Tapal

Pengobatan
Jaram
(Kompres)

Pengobatan
Untuk
mandi

Nilai Magis
Merabun
(membuat
asap untuk
mengusir
roh-roh
jahat)

Daun sengkubak
Kulit bawang merah
Kulit bawang putih
Kulit kayu lukai
Daun jeruk nipis

Zimat

Daun sengkubak
Kulit kayu Lukai

Anak bayi rewel


(menangis tanpa
sebab)

54
Tabel 13 Lanjutan
Bagian
yang
digunakan

Peranan

Takaran/
Komposisi

Cara pengolahan

Kayu sengkubak
dibakar beserta kayu
lukai, hasilnya
digosok diujung
bawang merah,
kemudian digosokkan
ke kuping orang yang
mengalami
keteguranatau
kesurupan.
Buah
Nilai magis
Buah atau bagian
Buah disimpan dalam
teras atau buntat
dompet
Keterangan : Kayu Lukai (Goniothalamus macrophyllus Hook.f.& Thoms.)
Batang

Obat
keteguran
(magis)

Kayu (batang)
sengkubak
Kayu lukai
Bawang merah

Peruntukkan

Orang yang
mengalami sakit atau
kesurupan akibat
makhluk halus

Zimat Penawar

Gambar 5 Teras sengkubak yang sudah disimpan selama 10 tahun oleh


seorang warga Dusun Medang, Kec. Dedai Sintang, tahun 2007.

Gambar 6 Daun sengkubak diikat dalam kulit kayu Lukai untuk penangkal
makhluk halus (kepercayaan sebagian etnis Melayu dan Dayak)

55
d. Cara Pengolahan dan Penyimpanan
Cara pengolahan yang dilakukan oleh etnis Melayu dan Dayak untuk
memanfaatkan sengkubak sebagai penyedap rasa adalah cukup bervariasi.
Berbagai variasi mengolahnya mulai dari ditumbuk halus, diiris tipis-tipis, dan
diremas-remas kemudian dituangkan ke dalam masakan. Takaran atau banyaknya
daun sengkubak yang diperlukan untuk setiap masakan adalah 3-4 lembar atau
sesuai selera. Pengetahuan cara mengolah sengkubak sebagai penyedap rasa
(diremas, diiris-iris, ditumbuk) adalah berbeda antara etnis Dayak dan Melayu
Sintang (2 = 6,84 dan 2

(0,05;2)

= 5,99). Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh

faktor kebiasaan dalam menggunakan sengkubak, nenek moyang etnis kedua


suku mempunyai cara tersendiri dalam mengolah sengkubak, cara pengolahan
tertentu tersebut telah di contoh oleh generasi saat ini.
Teknis pengolahan agar dapat disimpan dan digunakan dalam waktu cukup
lama yaitu :
(a) Daun sengkubak yang baru di petik dibersihkan
(b) Daun ditumbuk halus atau dipotong kecil-kecil
(c) Hasil dari proses penumbukan atau potongan tersebut dikering anginkan
(d) Serbuk daun sengkubak kemudian disimpan ke dalam wadah bersih (botol).
Botol atau wadah yang berisi serbuk daun sengkubak di simpan untuk
digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Teknis dan cara penyimpanan
Sengkubak sebagai serbuk penyedap alami merupakan salah satu ide orisinil yang
menarik untuk dikaji dan dikembangkan lebih lanjut.
Cara mengolah yang bervariasi dimaksudkan untuk mendapatkan khasiat
yang terdapat pada daun tersebut yaitu menambah rasa manis pada sayuran yang
di masak dan menghilangkan rasa pahit yang biasa ditimbulkan dari sayur-sayur
tertentu saat di masak.
e.

Pergeseran Penggunaan Sengkubak


Generasi muda dari kalangan etnis Dayak dan Melayu Sintang sebagian

besar saat ini sudah tidak mengetahui tentang penggunaan sengkubak. Hal ini
terjadi karena proses alih pengetahuan penggunaan sengkubak dari orang tua ke
generasi muda tidak berjalan dengan baik. Kondisi tersebut didukung oleh

56
adanya keadaan di mana generasi tua sudah mulai jarang menggunakan
sengkubak sebanyak 63,33% responden menyatakan sudah jarang menggunakan
sengkubak, selain itu kurang berusaha mewariskan pengetahuan penggunaan
sengkubak kepada generasi mudanya.
Frekuensi/tingkat seringnya menggunakan sengkubak sebagai penyedap
rasa antara kedua etnis Dayak dan Melayu adalah tidak berbeda nyata pada taraf
kepercayaan 95% (2 = 1,43 dan 2(0,05;1) = 3,84). Frekuensi (seringnya)
menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa oleh kedua etnis berdasarkan
kelompok umur (umur produktif 15-54 tahun dan tidak produktif > 54 tahun)
adalah berbeda nyata (2 = 5,62 dan 2 (0,05;1) = 3,84) dalam arti bahwa kelompok
umur produktif berbeda dengan tidak produktif dalam hal frekuensi
menggunakan sengkubak. Hal ini disebabkan karena umur berkaitan dengan
pengalaman yang dimiliki, umur > 54 tahun diasumsikan mempunyai
pengalaman lebih dalam hal pengetahuan penggunaan sengkubak. Selain itu,
bila dilihat dari tingkat pendidikan (tidak sekolah, SD, SMP, SMA/sederajat),
maka frekuensi (seringnya) menggunakan sengkubak adalah tidak berbeda antara
etnis Dayak dan Melayu Sintang (2 = 1,071 dan 2(0,05;3) = 7,81). Responden
yang memiliki pekerjaan sebagai tani, pedagang dan rumah tangga tidak berbeda
nyata tingkat seringnya menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa baik
pada etnis Dayak maupun Melayu Sintang (2 = 4,42 dan 2 (0,05;2) = 5,99). Jika
dilihat dari jarak antara pengguna sengkubak dengan tingkat seringnya
menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa (dekat, agak jauh, jauh dari
tempat tinggal), adalah tidak berbeda antara etnis Dayak dan Melayu (2 = 1,65
dan 2 (0,05;2) = 5,99).
Tingkat seringnya menggunakan daun sengkubak sebagai penyedap rasa
tidak berbeda antara suku Dayak dan Melayu jika di lihat berdasarkan tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, asal etnis, jarak antara tempat tinggal pengguna
sengkubak dengan tempat hidupnya sengkubak. Tingkat seringnya menggunakan
sengkubak sebagai penyedap rasa adalah berbeda jika di lihat berdasarkan
kelompok umur responden (produktif dan non produktif). Pengalaman dan
kebiasaan (adat) yang diwariskan oleh generasi sebelumnya dapat mempengaruhi
dalam hal pemanfaatan sengkubak sehari-hari.

57
Semakin jarang penggunaan sengkubak di kalangan generasi tua juga dipicu
oleh semakin sulitnya memperoleh sengkubak di lingkungan tempat tinggal,
meningkatnya jumlah penyedap modern dalam berbagai bentuk dan kemasan,
mendorong masyarakat menjadi lebih sering menggunakan penyedap modern
dibanding sengkubak. Implikasi dari semua peristiwa tersebut adalah hilangnya
pengetahuan tradisional

penggunaan sengkubak sebagai penyedap alami

terutama di kalangan generasi muda etnis Dayak dan Melayu.


Namun demikian kearifan penggunaan sengkubak di kalangan etnis Dayak
saat ini masih dapat disaksikan. Di Dusun Suak Desa Manis Raya Kecamatan
Sepauk Sintang, sengkubak masih digunakan oleh sebagian besar warga dusun
tersebut untuk keperluan memasak sehari-hari. Rata-rata di hutan karet alam
campuran (mixed rubber plantation) milik warga, sengkubak masih dapat
dijumpai. Sengkubak tetap di jaga keberadaannya karena adanya pemanfaatan
yang intens oleh masyarakat.
Regenerasi pengetahuan etnis Melayu dan Dayak terhadap sengkubak
mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata umur responden yang
dapat menjelaskan tentang sengkubak tergolong kelompok umur tua.

Dari

kelompok umur produktif yang berusia di bawah 30 tahun hanya 1 orang


responden, yang berusia 31- 49 tahun 13 responden, dan yang berusia 50-54
terdapat 3 responden. Hal ini mengisyaratkan sulit menemukan responden yang
dapat menjelaskan tentang sengkubak yang berusia muda < 30 tahun. Dalam hal
ini pembagian kelompok umur produktif dan tidak produktif berdasarkan BPS
Sintang (2006). Komposisi umur responden yang termasuk dalam kelompok
umur produktif (15-54 tahun) sebesar 46,67% dan responden yang termasuk
dalam kelompok umur tidak produktif (>54 tahun) sebesar 43,33%.
2. Budidaya Sengkubak oleh Masyarakat
Pemanfaatan yang dilakukan terhadap sengkubak adalah dengan cara
memanen langsung dari alam. Masyarakat masih menggantungkan hutan
sekunder sebagai penyedia sengkubak. Kegiatan budidaya sengkubak belum
banyak dilakukan hanya 16,67% responden yang mencoba menanam di
lingkungan tempat tinggal. Pemanfaatan suatu spesies tumbuhan dari alam tanpa

58
diikuti tindakan budidaya lama-kelamaan akan mengancam kelestarian spesies
tumbuhan tersebut.
Sengkubak telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Dayak maupun Melayu Sintang terutama yang tinggal di pedalaman,
namun budidaya sengkubak belum menjadi bagian yang mengisi keseharian
masyarakat. Selama ini responden mendapatkan sengkubak dengan cara
memanen langsung dari hutan atau ladang karet alam campuran yang dimiliki
(93,33% responden).
Menurut responden, sengkubak sangat sulit dibudidayakan, karena
pertumbuhannya sangat lambat, dan responden belum mengetahui cara budidaya
yang tepat untuk spesies yang sering digunakan ini. Belum ada teknis budidaya
lokal sengkubak baik dari etnis Dayak dan Melayu Sintang. Karena umumnya
sengkubak sudah ada dan tumbuh secara liar di hutan sekitar tempat tinggal.
Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa dari semua responden, hanya 16,67%
responden yang telah dan berusaha membudidayakan sengkubak yaitu dengan
menanamnya di sekitar tempat tinggalnya.
Sejak dahulu etnis Dayak dan Melayu di pedalaman Sintang memiliki
ikatan yang kuat dengan hutan. Mata pencaharian orang Dayak selalu ada
hubungannya dengan hutan. Hutan tempat berburu, bila hendak berladang pohonpohon di hutan akan ditebang, bila hendak mengusahakan tanaman perkebunan
orang Dayak cenderung memilih tanaman yang menyerupai tanaman hutan
seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya. Kecenderungan tersebut
merupakan refleksi dari hubungan yang akrab yang telah berlangsung berabadabad dengan hutan dan segala isinya (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994).
Sengkubak merupakan salah satu wujud pengetahuan yang lahir dari
hubungan etnis Dayak dan Melayu dengan hutan. Sejak dahulu masyarakat
terbiasa memenuhi kebutuhan sengkubak dengan memanennya langsung dari
hutan. Saat di mana hutan tidak mengalami penyempitan atau pengurangan lahan
seperti yang terjadi saat ini, pemanenan langsung sengkubak dari hutan alam
bukan menjadi permasalahan. Tetapi pengurangan lahan hutan secara luas demi
memenuhi kebutuhan perluasan lahan perkebunan, pemukiman, pertanian lahan

59
kering, dan lain sebagainya menjadi realitas yang harus dipertimbangkan ke
depan.
Adanya realitas pengurangan wilayah hutan yang masih terus berlanjut,
harus disikapi masyarakat pengguna sengkubak dengan harus turut memikirkan
apakah tindakan mengandalkan sengkubak dari hutan alam masih dapat
diharapkan. Budidaya sengkubak walaupun menurut penduduk sangat sulit
menemukan keberhasilan, namun dengan teknik atau budidaya lokal yang
sederhana harus terus-menerus dilakukan, bila tidak ingin kehilangan sengkubak
di hutan alam.
3. Jenis Sengkubak
a. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Dayak Sintang
Secara umum masyarakat Dayak Sintang mengenal tumbuhan yang disebut
sebagai sengkubak adalah suatu tumbuhan yang sering ditemukan dalam keadaan
memanjat di antara pohon-pohon besar di hutan di mana daunnya sering
digunakan untuk menambah rasa manis pada setiap jenis masakan. Penggunaan
daun sengkubak merupakan tradisi dan pengetahuan leluhur yang dalam
mengolah masakan. Tumbuhan yang disebut sengkubak untuk kepentingan
tersebut adalah Pycnarrhena cauliflora.
Sebagian komunitas etnis Dayak menganggap sengkubak di alam terdiri
dari dua jenis, yaitu sengkubak laki-laki (Galearia filiformis) dan sengkubak
perempuan (P. cauliflora). Komunitas tersebut juga menyatakan bahwa
sengkubak perempuan atau sengkubak jenis yang berakar dan merambat adalah
jenis yang umum dipakai sebagai penyedap rasa masakan, karena rasanya yang
lebih enak, dibanding sengkubak laki-laki. Walaupun ada perbedaan pendapat
diantara etnis Dayak tentang spesies sengkubak laki-laki yang dimaksud, dalam
kesempatan ini pengenalan kelompok Dayak tentang kedua jenis sengkubak
dimaksud disajikan dalam penjelasan berikut.
(1). Sengkubak Perempuan [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]
Sengkubak perempuan adalah suatu spesies tumbuhan pemanjat (liana)
yang mempunyai ciri (menurut etnis Dayak) yaitu adanya akar atau batang yang
merambat (Gambar 7). Karena dianggap tumbuh dengan akar-akar yang

60
merambat dan menjalar untuk memunculkan cabang yang akan ditumbuhi daun
dan bunga. Ujung dari cabang-cabang ini tumbuh terus ke atas hingga memanjat
pohon-pohon yang ada disekitarnya. Batang atau akarnya sangat lentur sulit
dipatahkan jika masih hijau. Daunnya terlihat mengkilat dari arah permukaan
(Gambar 8). Di tempat yang subur daunnya dapat berukuran lebih besar dengan
lebar dan panjang sekitar panjang 26 cm dan lebar 13 cm.

Gambar 7 Bentuk akar sengkubak perempuan (P. cauliflora)


Keberadaa sengkubak perempuan menurut penduduk saat ini sudah sangat
langka. Pembukaan lahan hutan bagi banyak penggunaan dan keperluan
pembangunan telah menghilangkan banyak spesies-spesies baik yang sudah
diketahui manfaatnya atau spesies yang belum diketahui manfaatnya hilang dari
hutan,

termasuk

diantaranya sengkubak.

Menurut responden

pengguna

sengkubak, saat ini hanya hutan-hutan tertentu yang masih terdapat spesies
tersebut.

Gambar 8 Bentuk daun sengkubak dengan permukaan licin

61
Ciri lainnya yang cukup penting adalah adanya pembungaan yang keluar
dari batang sehingga disebut cauliflora (Mackinnon et al. 2000). Buah sengkubak
muncul dari batang sengkubak (Gambar 9). Sebagian etnis Dayak Sekujang, dan
Dayak Desa menganggap ada bagian diantara buah sengkubak yang dipercaya
sebagai buntat atau teras mengandung nilai magis. Buntat yaitu benda alam
yang diperoleh atau ditemui dalam atau dengan keadaan tidak normal atau
berbentuk aneh (Muslim & Frans dalam Florus et al. 1994). Buntat sengkubak
dipercaya

sebagai

jimat

penawar

oleh

sebagian

orang

Dayak.

Bila

menggunakannya pada acara minum tuak, maka pada giliran minum orang
berikutnya tuak tersebut akan terasa hambar (tuak adalah sejenis minuman
beralkohol yang khas dibuat dari beras ketan yang di fermentasi, biasa dibuat
oleh suku Dayak dan sering dihidangkan acara-acara gawai adat Dayak ).

Gambar 9 Buah sengkubak koleksi Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong.


Anakan yang berasal dari biji tumbuh menjadi individu tunggal seperti
anakan pohon lainnya, belum merambat. Setelah berumur dewasa untuk
pertumbuhannya Sengkubak tumbuh berkembang merambat membuat cabangcabang baru, dan memanjat pohon-pohon yang ada disekitarnya. Anakan
sengkubak dengan ciri seperti ini banyak ditemui pada hutan Pungkun Medang
Kecamatn Dedai Sintang (Gambar 10). Lokasi hutan adat II Dusun Medang
sering menjadi tempat warga kampung lain untuk mencari daun sengkubak.

62

Gambar 10 Anakan sengkubak yang ditemukan di hutan pungkun Medang

Gambar 11 Batang atau perpanjangan akar sengkubak tumbuh melilit di pohon


dan batang yang berada didekat tempat tumbuhnya.
(2). Sengkubak laki-laki [Galearia filiformis (BI.) Boerl.]
Pohon kecil tinggi 5-12 m, batang 15-20 cm, kulit batangnya menunjukkan
tanda-tanda adanya alkaloid (Heyne 1987). Sengkubak laki-laki yang dimaksud
adalah sengkubak dengan ciri berkayu (berdiri), tumbuh tegak seperti individu
lainnya, tidak memanjat pada pohon lain. Ciri yang sangat penting yaitu pada
ujung cabang daun terdapat malai atau serat yang tumbuh menjuntai yang
menjadi tempat tumbuhnya bunga dan buah (Gambar 12). Daun tumbuh
berselang seling, agak tipis, belakang daun tidak licin dan agak kasap. Urat daun
timbul tapi tidak sejelas sengkubak perempuan (P. cauliflora).

63

Gambar 12 Morfologi Galearia filiformis saat sesudah dan belum berbunga


Penamaan sengkubak laki-laki oleh Dayak Sekujang dan Siberuang juga
dikenal oleh sebagian etnis Dayak Desa (etnis Dayak yang bermukim di Kec.
Dedai dan Kec. Kelam Permai) menyebutnya dengan nama Kesepai. Ujung
pada pucuk daun pada saat baru tumbuh sering di makan binatang karena rasanya
manis (Gambar 13). Jenis sengkubak laki-laki ini banyak dijumpai di hutan
Kantuk Desa Paoh Benua Kecamatan Sepauk, diantaranya pada ladang karet
alam milik warga Kantuk. Sengkubak laki-laki jarang digunakan untuk memasak.
Penamaan dengan kata sengkubak dikarenakan bentuk daun dan rasa daun yang
manis mirip dengan fungsi sengkubak perempuan, sehingga disebut sengkubak
laki-laki. Dari segi rasa (taste) orang Dayak menyatakan sengkubak lebih manis
daripada G. filiformis.

Gambar 13 Pucuk daun G. filiformis sering dimakan binatang di hutan


b. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Melayu
Secara umum sengkubak yang dikenal oleh seluruh responden etnis Melayu
adalah sengkubak yang mempunyai fungsi sebagai penyedap rasa (Pycnarrhena

64
cauliflora). Namun khusus pada etnis Melayu di Kecamatan Sintang, sengkubak
dikenal dalam tiga versi atau tiga spesies sengkubak. Ketiga spesies sengkubak
yang dimaksud adalah sengkubak macan (Excoecaria cochinchinensis Lour.),
sengkubak rebung (Staurogyne elongata), dan sengkubak sayur (Pycnarrhena
cauliflora.).
(1). Sengkubak Macan (Excoecaria cochinchinensis Lour.)
E. cochinchinensis merupakan perdu bercabang banyak, di Jawa Tengah
dikenal sebagai daun sambang darah dan ditanam sebagai tanaman hias.
Getahnya mempunyai sifat-sifat beracun, lebih beracun dari getah E. agallocha
LINN. Teysmannia (1910) dalam Heyne (1987) menemukan bahwa pada
konsentrasi 1 : 500.000 getah dari E. cochinchinensis masih mematikan pada
ikan. E. cochinchinensis di Sintang tumbuh di dataran rendah, pada lahan
pekarangan ataupun pada lahan yang sekali-kali tergenang air.
Di Jawa E. cochinchinensis

biasa digunakan sebagai obat. Menurut

Vordermen dalam Heyne (1987) E. cochinchinensis

digunakan untuk

pengobatan pendarahan setelah haid. Penggunaan ini berdasarkan ilmu simbolik


(signaturenleer), menurut Boorsma dalam Heyne (1987), daunnya tidak bersifat
racun.
E. cochinchinensis yang dikenal oleh suku Melayu Sintang sebagai
sengkubak macan adalah jenis tumbuhan perdu yang cukup menarik. Jenis ini
lebih dikenal karena daunnya digunakan sebagai bahan penghancur darah oleh
dukun-dukun etnis Melayu. Tidak ada penjelasan tentang penamaannya sebagai
sengkubak macan, tetapi jenis sengkubak ini dipercaya oleh suku Melayu Sintang
berguna untuk keperluan pengobatan.
E. cochinchinensis ditanam dan dipelihara oleh tetua etnis Melayu Sintang
yang mengerti dan memahami pengobatan (termasuk para dukun-dukun dan
mantri). Spesies ini termasuk dalam famili Euphorbiaceae, jika dilihat dari
kekerabatannya dengan sengkubak
Dayak

dan

Melayu

sebagai

yang selama ini telah dikenal oleh etnis

sengkubak

(penyedap

alami),

maka

E.

cochinchinensis sama sekali tidak menunjukkan kesamaan baik dari segi


penggunaan ataupun manfaat.

65
(1a). Morfologi E. cochinchinensis
Ciri yang paling menonjol adalah warna daun yang berbeda-beda antara
permukaan bagian depan dan belakang daun. Permukaan depan daun berwarna
hijau tua, sedangkan belakang daun bewarna merah hati (Gambar 14).

Gambar 14 Warna bagian belakang daun Excoecaria cochinchinensis


E. cochinchinensis merupakan tumbuhan cukup cantik untuk dijadikan
tanaman hias karena warna daunnya yang cukup menarik (Gambar 15). Dari
semua lokasi pengamatan, E. cochinchinensis tidak sekalipun ditemukan di jalurjalur pengamatan di enam lokasi pengamatan, melainkan hanya ditemukan
tumbuh dipekarangan rumah responden yang didata.

Gambar 15 Morfologi Sengkubak macan versi suku Melayu Sintang


(1b). Kegunaan E. cochinchinensis
E. cochinchinensis diakui mempunyai manfaat sebagai bahan pengobatan
yang berkaitan dengan

kelancaran peredaran darah saat haid. Kegunaan

sengkubak macan yang sering dimanfaatkan dukun-dukun (tabib) melayu untuk

66
pengobatan adalah sebagai penghancur darah dan obat saat haid yang sering
menyebabkan rasa sakit. Penggunaan E. cochinchinensis disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Penggunaan E. cochinchinensis bagi pengobatan
Bagian yang
digunakan

Komposisi

Cara pengolahan

Kegunaan

3-4 lembar

Daun direbus, airnya


diminum
Semua bahan direbus
airnya diminum

Penghancur darah
(diminum saat haid)
Haid sering sakit

Daun
3-4 lembar
di tambah akar kuning
(Fibraurea chloroleuca)

E. cochinchinensis juga dikenal oleh dukun atau etnis Dayak tidak sebagai
sengkubak macan, tetapi dukun-dukun etnis Dayak menyebutnya daun pengobat
muntah darah dan menggunakan daun E. cochinchinensis sebagai obat untuk
menyembuhkan penyakit muntah darah.
(2). Sengkubak sayur (Pycnarrhena cauliflora)
Sengkubak sayur atau sengkubak daun ubi merupakan spesies yang umum
dikenal oleh generasi tua pada etnis Melayu, di mana daunnya sering digunakan
sebagai penyedap rasa dalam sayuran. Pengenalan etnis Melayu terhadap
sengkubak sayur memiliki kesamaan dengan etnis Dayak secara keseluruhan
yang menganggap spesies tersebut adalah sengkubak yang biasa digunakan nenek
moyang sebagai penyedap rasa alami .
Kegunaan Sengkubak Sayur oleh etnis Melayu
Pola penggunaan sengkubak oleh etnis Melayu Sintang cukup menarik
untuk dicermati. Pengetahuan yang dimiliki dalam menjadikan atau mengemas
sengkubak sebagai penyedap rasa dan membuat sengkubak lebih praktis untuk
digunakan cukup menarik. Penggunaan sengkubak oleh etnis Melayu Sintang
disajikan dalam Tabel 15. Sengkubak yang telah tersedia dalam wujud serbuk
sangat praktis dan dapat digunakan dalam waktu yang lama untuk keperluan
masak sehari-hari. Teknik penyimpanan sengkubak yang dilakukan oleh
responden etnis Melayu tersebut cukup baik sebagai ide inovatif untuk
pengembangan pemanfaatan sengkubak dimasa datang yang lebih praktis dan
tahan lama.

67
Tabel 15 Penggunaan dan pengolahan sengkubak oleh etnis Melayu
Bagian yang
digunakan
Daun segar

Cara pengolahan

Teknik
penyimpanan
Daun segar dalam jumlah Bubuk sengkubak
yang sudah halus di
lebih banyak ;
simpan dalam
Dibersihkan
wadah bersih,
Ditumbuk hingga halus
Dianginkan (dikeringkan) seperti botol plastik
(bekas botol agua
kecil)

Kegunaan
Sebagai serbuk
penyadap rasa atau
serbuk micin
alami

Walaupun sebagian besar etnis Melayu Sintang saat ini sudah sangat jarang
menggunakan sengkubak, namun dari wawancara diketahu bahwa selalu ada
keinginan untuk menggunakan sengkubak kembali sebagai penyedap rasa
masakan. Sengkubak tetap menjadi bagian kekayaan pengetahuan budaya
warisan nenek moyang yang dihargai dan tetap diinginkan dapat digunakan.

Gambar 16 Sengkubak melilit sebuah batang pohon, Lokasi hutan karet


alam campuran Dusun Suak Kecamatan Sepauk Sintang, 2007
(3). Sengkubak Rebung (Staurogyne elongata)
S. elongata merupakan golongan terna, termasuk dalam famili Acanthaceae,
batangnya lunak dan lemah, tumbuh dihutan-hutan rindang. Akarnya digunakan
sebagai obat diureticum daunnya juga biasa digunakan sebagai obat (Heyne
1987). Menurut penduduk, S. elongata mudah tumbuh di tanah-tanah yang
lembab, sedikit berair atau bahkan di hutan yang cukup lembab. Tanaman ini
mudah ditanam di halaman rumah dengan kondisi tanah yang becek (Gambar
17). Masyarakat Melayu Sintang menggunakan S. elongata sebagai penyedap

68
dalam sayuran yang dimasak. S. elongata juga ditemukan di hutan adat I Sirang
(desa Sirang Setambang, Kecamatan Sepauk Sintang).
S. elongata sangat berbeda karakteristiknya dengan sengkubak (P.
cauliflora). Pemberian nama depan oleh etnis Melayu Sintang sebagai sengkubak
rebung, mungkin dikarenakan peranannya yang hampir sama yaitu dapat
digunakan sebagai penambah rasa manis pada masakan. Bedanya penggunaan S.
elongata dalam sayuran, lebih ditekankan pada penggunaan daunnya yang dapat
di makan sebagai bahan sayur yang manis, sedangkan sengkubak daunnya tidak
berfungsi sebagai sayur, tapi semata-mata di ambil sarinya sebagai penyedap rasa
(to add sweet flavour).

Gambar 17 Sengkubak rebung, lokasi desa Baning Kota Sintang


Pengetahuan penggunaan S. elongata sebagai penambah rasa manis pada
masakan terutama pada sayuran, ternyata juga dilakukan oleh etnis Dayak.
Namun etnis Dayak mengenal spesies ini dengan sebutan Bodoso (etnis Dayak
Sekujang, Desa Sirang Setambang). Cara penggunaan

S. elongata dalam

pengolahan masakan disajikan pada Tabel 16.


Tabel 16 Penggunaan S. elongata oleh Etnis Melayu Sintang
Bagian yang
digunakan
Daun, terutama
bagian yang
muda

Takaran/
komposisi
bahan

Cara pengolahan

Beberapa helai Sengkubak rebung


(sesuai selera)
digunakan terakhir, saat
sayuran yang dimasak
sudah hampir tanak
(matang)

Kegunaan

Penambah rasa manis


pada masakan (terutama
sayuran)

Secara umum pengetahuan etnis Melayu maupun Dayak Sintang tentang


kegunaan sengkubak adalah sama, yaitu sebagai penyedap rasa pada sayuran

69
atau ikan yang dimasak, dan dapat mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan jenis
sayuran tertentu bila dimasak. Kegunaan lainnya adalah sebagai salah satu bahan
yang digunakan dalam pengobatan (lebih bersifat obat luar, seperti jaram), dan
sengkubak dianggap mempunyai nilai magis dan dipercaya oleh sebagian etnis
Dayak ataupun Melayu (Tabel 17).
Tabel 17 Pengetahuan etnis Dayak dan Melayu terhadap sengkubak
Sengkubak lakilaki
Galearia filiformis

Sengkubak perempuan

Sengkubak macan

Pycnarrhena cauliflora

Exoecaria cochinchinensis

Pohon kecil
Berkayu
Daun tumbuh
berselang-seling
Ujung cabang daun
tumbuh malai
Bunga tumbuh
pada malai
Ukuran buah kecil
diameter < 1 cm
Daun penambah
rasa manis pada
masakan (jarang
digunakan)

Tidak berkayu (berserat)


Akar merambat
Ujung cabang tumbuh
merambat
Bunga (buah) muncul dari
batang
Ukuran buah diameter
bisa > 1 cm

Melayu
Karakteristik

Perdu bercabang banyak


Warna permukaan daun
berbeda dg bagian
belakang daun (bag depan
hijau, belakang daun
merah hati)

Terna
Ukuran daun kecilkecil panjang x
lebar (4 x 1)
Bunga
bewarna
putih,
ukuran
sangat kecil.

Kegunaan

Tidak berkayu (berserat)


Akar merambat
Ujung cabang tumbuh
merambat
Bunga (buah) muncul dari
batang
Ukuran buah diameter
bisa > 1 cm
Daun penambah manis
atau penghilan pahit pada
sayuran
Penangkal gangguan
makhluk halus
(daun sengkubak bersama
kayu lukai)
Obat :
Daun untuk campuran
jaram, demam merona
batangnya untuk obat
keteguran

Pengobatan
Penghancur darah (haid
sering sakit)

Dicampur
sayuran
(menambah
manis)

Dayak
Karakteristik

Kegunaan

Sengkubak rebung

Daun penambah manis


atau penghilan pahit pada
sayuran
Penangkal gangguan
makhluk halus
(daun sengkubak bersama
kayu lukai)
Buah (buntat) atau teras
untuk zimat penawar

Secara ekonomis sengkubak saat ini belum mempunyai nilai, karena


manfaatnya belum dikenal secara luas (komunitas lokal) dan kandungan kimia

pada
rasa

70
penting yang berguna bagi pengobatan belum diketahui. Namun bagi etnis Dayak
dan Melayu yang telah mengenalnya sengkubak (P. cauliflora),

sengkubak

merupakan warisan pengetahuan nenek moyang yang perlu dilestarikan (100%


responden menyatakan harapan ke depan sengkubak perlu dilestarikan). Bahkan,
karena semakin sulitnya mendapatkan daun sengkubak, sehingga daunnya sering
menjadi buah tangan bila hendak mengunjungi keluarga atau sanak famili di
kampung yang lain.
B. Aspek Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]
1. Kondisi Populasi Sengkubak
a. Potensi dan Penyebaran Sengkubak
Berdasarkan hasil inventarisasi pada formasi hutan sekunder di Kabupaten
Sintang, diketahui sengkubak

mempunyai kerapatannya sebesar 14 ind/ha.

Potensi sengkubak tertinggi terdapat di hutan Medang sebesar 22 ind/ha, diikuti


oleh hutan Sirang sebesar 17 ind/ha, selanjutnya berturut-turut hutan Suak I
sebesar 10 ind/ha dan Suak II sebesar 9 ind/ha. Potensi yang cukup besar pada
hutan Medang antara lain karena faktor-faktor lingkungan yang dibutuhkan
sengkubak untuk perkembangan hidupnya cukup tersedia di hutan Medang.
Menurut Gardner et al. (1991) kerapatan tanaman dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, dan faktor lingkungan utama yaitu penyinaran, kelembaban dan
kesuburan tanah. Keterbatasan faktor-faktor lingkungan tersebut merendahkan
kerapatan tanaman.
Frekuensi atau penyebaran Sengkubak di hutan Medang cukup merata yaitu
sebesar 0,60. Penyebaran Sengkubak di hutan Sirang (0,24), hutan Suak I (0,28)
dan Suak II (0,16) tergolong rendah yaitu < 50%. Penyebaran Sengkubak yang
cukup tinggi di hutan Medang antara lain disebabkan oleh adanya faktor
penyerbukan dan penyebaran biji buah Sengkubak. Data tentang frekuensi dan
kerapatan Sengkubak disajikan pada Tabel 18.

71
Tabel 18 Kerapatan dan frekuensi Sengkubak (Miers.) Diels. di formasi hutan
sekunder Kabupaten Sintang KalimantanBarat
Parameter
Persentase anakan
(%)
Frekuensi
Kerapatan (ind/ha)

1
70,59
0,24
17

Lokasi Pengamatan
2
3
70
44,44
0,28
10

0,16
9

4
90,91

Total
275,94

Ratarata
68,98

0,60
22

1,28
58

0,32
14,5

Ket : 1=Hutan adat I Sirang, 2=Ht. karet alam campuran I Suak, 3=Ht. Karet alam campuran II
Suak, dan 4= Ht. adat II Medang

Menurut Fitter dan Hay (1991), aspek-aspek yang mempengaruhi dalam


pertumbuhan vegetasi ada 3 (tiga) macam yaitu pengaruh langsung pada
persediaan atau stok sumber daya, pengaruh tidak langsung yang dicapai melalui
pergantian lingkungan fisik (lebih umum lingkungan kimiawi) dan penyebaran,
seperti di dalam penyerbukan (penyebaran biji). Penyebaran Sengkubak yang
cukup tinggi (>50%) di hutan Medang diduga karena adanya aktivitas
penyebaran biji yang dilakukan oleh binatang. Menurut Peters (1994) sebagian
besar tumbuhan tropis bergantung secara ekslusif pada satwa-satwa untuk
memindahkan serbuk sarinya. Sebuah kajian yang dilakukan dalam sebuah petak
kecil di hutan dataran rendah di Costa Rica menemukan bahwa 139 (96,4%) dari
143 spesies pohon yang disurvei dibantu penyerbukannya oleh satwa-satwa
seperti serangga kecil, lalat, agas, kumbang, lebah dan kalong.
Penyebaran biji memberikan paling tidak tiga keuntungan ekologis bagi
tumbuhan. Sebutir biji yang tersebar mempunyai kemungkinan yang lebih besar
untuk terbebas dari keadaan berdesak-desakan dan kematian yang selalu terjadi di
bawah naungan pohon induk. Penyebaran juga mempunyai kesempatan bagi biji
untuk menyebarkan spesies ke habitat-habitat baru (Peter 1994).
Berdasarkan inventarisasi, sengkubak memiliki rata-rata tinggi batang
sebesar 1,5 m dan rata-rata diameter batang sebesar 0,73 cm. Di lihat dari ratarata ukuran diameter dan tinggi batang sengkubak di formasi hutan sekunder
tersebut memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, hal ini diduga disebabkan oleh
komunitas yang terbentuk di hutan-hutan sekunder tergolong masih muda. Ratarata tinggi dan diameter batang

sengkubak pada formasi hutan sekunder di

Kabupaten Sintang Kalimantan Barat di sajikan pada Tabel 19.

72
Tabel 19 Beberapa karakteristik botanis sengkubak di formasi hutan sekunder
Kabupaten Sintang Kalimantan Barat
Karakteristik
Kisaran tinggi batang (m)
Rata-rata tinggi batang (m)
Kisaran diameter (cm)
Rata-rata diameter (cm)

1
0,33-8
1,68
0,4-3,2
0,4

Hutan sekunder
2
3
0,28-7
0,52-6
1,55
2,16
0,5-2,8
0,6-1,1
1,09
0,83

Rata-rata
4
0,35-2,07
0,61
0,4-1,2
0,6

1,5
0,73

Ket : 1=Hutan adat I Sirang, 2=Ht. karet alam campuran I Suak, 3=Ht. Karet alam campuran II
Suak, dan 4= Ht. adat II Medang

Rata-rata ukuran diameter sengkubak yang ditemukan menunjukkan


sebagian besar Sengkubak yang ditemukan adalah golongan anakan, artinya
terjadi regenerasi Sengkubak yang cukup baik di habitatnya (Gambar 18).
Semakin tinggi kelas diameter Sengkubak maka jumlahnya semakin sedikit.
Grafik yang memperlihatkan hubungan diameter dengan jumlah individu
Sengkubak merupakan grafik J terbalik yang memiliki pengertian bahwa
keadaan populasi seperti tersebut adalah normal. Artinya dalam suatu komunitas
yang baik individu muda harusnya lebih banyak dari dewasa, sehingga regenerasi
tumbuhan berjalan.

40
Jumlah individu (ind/ha)

35
30
25
20
15
10
5
0
0.5 0.6-1.0 1.1-1.5 1.6-2.0 2.1-2.5 2.6-3.0

> 3.0

Kelas diameter (cm)

Gambar 18 Hubungan diameter dengan jumlah individu sengkubak

73

Jumlah individu (N/ha)

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1

1,01-3,0

3,01-5,0

> 5,0

Kelas tinggi batang P. cauliflora (m)

Gambar 19 Hubungan tinggi batang sengkubak dengan jumlah individunya


(ind/ha)
Demikian halnya dengan kelas tinggi sengkubak, bahwa semakin rendah
kelas tinggi batangnya, maka semakin besar jumlah individu sengkubak
ditemukan, demikian sebaliknya. Semakin tinggi kelas tinggi batang sengkubak,
maka semakin sedikit jumlah individu sengkubak ditemukan. Hal tersebut
semakin menegaskan bahwa jika diasumsikan bahwa tinggi batang individu
sengkubak anakan adalah < 1 m, maka hal tersebut sesuai dengan Grafik J
terbalik pada kelas diameter sengkubak di atas.
b. Pola Sebaran Spasial Sengkubak (Pycnarrhena cauliflora)
Pola sebaran spasial sengkubak yang ditunjukkan pada formasi hutan
sekunder (selang kepercayaan 95%) di Kabupaten Sintang adalah cenderung
mengelompok. Pada hutan adat I (Sirang), hutan karet alam campuran I dan II
Dusun Suak pola sebarannya adalah mengelompok (clumped), kecuali pada hutan
adat II Dusun Medang adalah seragam (uniform). Pola sebaran mengelompok
atau seragam biasanya ditemui akibat adanya keteraturan sebagai akibat adanya
kendala atau factor pembatas terhadap keberadaan jenis tertentu atau kesesuaian
jenis dari populasi tertentu terhadap lingkungan (Rosalina 1996). Menurut
Ludwig dan Reynold (1988), pola mengelompok terjadi sebagai akibat karena
individu mengelompok pada habitat yang sesuai dengan tuntutan hidupnya. Pola
sebaran mengelompok menunjukkan keterkaitan mutual yaitu kehadiran suatu

74
individu dalam suatu unit areal menaikkan peluang individu lainnya pada unit
areal yang sama. Data pola sebaran sengkubak pada formasi hutan sekunder di
Kabupaten Sintang di sajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Nilai standarisasi Indeks Morishita penyebaran spasial sengkubak
Sengkubak
Pada
Hutan Adat I
Sirang
Hutan karet alam
campuran I Suak
Hutan karet alam
campuran II Suak
Hutan Adat II
Medang

Penyebaran
Id
4,9632

Mu
0,2751

Mc
1,9602

Ip
0,5652

Clumped

1,6667

-0,2888

2,7071

0,1953

Clumped

7,6389

-0,4499

2,9205

0,6068

Clumped

0,7576

0,4477

1,7316

-0,2195

Uniform

Pada hutan adat I Sirang, hutan karet alam campuran I dan II Suak
sengkubak tersebar dengan pola mengelompok hal ini yang menunjukan bahwa
jenis Sengkubak berkembang dan tumbuh baik pada tapak-tapak tertentu yang
sesuai dengan tuntutan hidupnya, antara lain berhubungan dengan ketersediaan
hara, cahaya, atau air. Selain itu pengelompokan terjadi berhubungan dengan
keberhasilan perkembangan dan regenerasinya yang tidak jauh dari induknya.
Pola penyebaran sengkubak yang seragam pada hutan adat II Dusun Medang
diduga di sebabkan oleh adanya penguasaan yang menyeluruh terhadap hampir
seluruh kawasan, dengan kata lain kebutuhan tertentu yang diperlukan sengkubak
untuk tumbuh hampir merata pada seluruh kawasan. Hutan adat II Medang
mempunyai topografi yang relatif datar dengan celah-celah penerimaan cahaya
matahari

yang

hampir

merata.

Faktor-faktor

mempengaruhi terbentuknya pola sebaran

yang

telah

disebutkan

spasial. Faktor lain yang turut

mempengaruhi pola sebaran spasial adalah proses reproduksi dan regenerasi,


kompetisi, dan kebutuhan hara.
c. Asosiasi Antar spesies
Asosiasi antar spesies merupakan pendekatan yang digunakan untuk
melihat apakah ada asosiasi antara sengkubak (P.cauliflora) dengan spsesies
lainnya. Dalam kesempatan ini digunakan hipotesis H0 adalah tidak terdapat
asosiasi dan H1 terdapat asosiasi. Asosiasi sengkubak dengan spesies lain

75
ditemukan pada hutan adat I Dusun Sirang, yaitu adanya asosiasi dengan Ubah
(Syzygium zeylanicum) pada tingkat pohon, dengan X2 hitung sebesar 4,4408 dan
X20,05(1) adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,375 (Jaccard Index) dan 0,545
(Dice Index). Tipe asosiasi yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)), yakni
kedua spesies yaitu sengkubak dan S. zeylanicum lebih sering terdapat bersamasama daripada bebas satu sama lain. Bruenig (1998) menyatakan bahwa spesies
yang jarang (rare spesies) biasanya berada pada kondisi tapak tertentu atau akan
membentuk pola asosiasi tertentu.
Pada hutan karet alam campuran II Dusun Suak asosiasi sengkubak dengan
Nyatoh (Palaquium rostratum) pada tingkat tiang dengan X2 hitung sebesar
6,511 dan X20,05(1) adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,400 (JI) dan 0,571
(DI). Tipe asosiasi yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)). Pada hutan karet
alam campuran I Dusun Suak asosiasi sengkubak terjadi dengan karet (Hevea
brasilliensis) pada tingkat pohon dengan X2 hitung sebesar 5,590 dan X20,05(1)
adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,200 (JI) dan 0,333 (DI). Tipe asosiasi
yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)). Derajat asosiasinya, antara
sengkubak dengan karet tergolong rendah (<0,50). Selain itu asosiasi juga terjadi
pada keladan (Hopea dryobalanoides), dengan X2 hitung sebesar 5,590 dan
X20,05(1) adalah 3,841. Dengan derajat asosiasinya lebih tinggi dari asosiasi
dengan karet yaitu 0,375 (JI) dan 0,545 (DI). Tipe asosiasi yang terjadi adalah
asosiasi positif (a>E(a)). Data asosiasi sengkubak dengan spesies lain disajikan
pada Tabel 21.
Tabel 21 Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon dan tiang.
Asosiasi sengkubak
dengan
Spesies lain
Syzygium zeylanicum

X2 Hitung
(Chi-square)

X2 0.05;1)

Jaccard / Dice
Index

Keterangan

4,44

3,84

0,37 / 0,54

Palaquium rostratum

6,51

3,84

0,40 / 0,57

Hevea brasilliensis

5,59

3,84

0,20 / 0,33

Hopea dryobalanoides

5,59

3,84

0,37 / 0,54

Tingkat pohon
Hutan adat I Sirang
Tingkat tiang
Hutan karet alam
campuran II Suak
Tingkat pohon
Hutan karet alam
campuran I Suak
Tingkat pohon
Hutan karet alam
campuran I Suak

76
Asosiasi positip dapat menunjukkan adanya kondisi yang baik terhadap satu
spesies atau kedua spesies tersebut. Dalam lingkungan hutan yang heterogen,
asosiasi dapat berasal dari suatu kesamaan adaptasi dan respon terhadap
lingkungan dari beberapa spesies (Kusmana 1989). Asosiasi negatif yang terjadi
pada pasangan spesies lainnya, kehadiran bersama individu-individu spesies yang
berbeda dapat bersifat indikatif daripada interaksi yang bersifat menghancurkan
atau merugikan terhadap satu atau dua spesies yang bersangkutan. Di dalam
lingkungan yang heterogen asosiasi negatif dapat mencerminkan adaptasi atau
respon daripada individu-individu spesies yang berbeda-beda terhadap faktor
lingkungannya (Kusmana 1989).
2. Kondisi Habitat Sengkubak
a. Karakteristik Fisik Habitat
Berdasarkan pengukuran terhadap beberapa faktor fisik lingkungan di
habitat sengkubak pada formasi hutan sekunder di Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat, diketahui bahwa rata-rata ketinggian tempat tumbuh (habitat)
sengkubak adalah 72,36 m dpl. Berdasarkan data koleksi herbarium Sengkubak
di LIPI Cibinong, pada wilayah Kalimantan, sengkubak ditemukan pada
ketinggian 100-150 m dpl (Kalbar) dan 90-100 m dpl (Kalsel).
Berdasarkan hasil survey lapang, sengkubak mempunyai karakteristik yang
khas, terutama dalam hal tempat tumbuh. Sengkubak tidak dapat tumbuh di
hutan-hutan yang lantai hutannya memiliki air yang tergenang, dan umumnya
ditemukan tumbuh pada dataran rendah (lembah) hingga perbukitan kecil, namun
tidak pada tanah rawa. Hasil pengamatan ini sesuai dengan informasi dari
masyarakat (pengetahuan masyarakat) bahwa sengkubak tidak dapat tumbuh di
hutan yang memiliki air tergenang.
Dari kisaran ketinggian lokasi ditemukan dan rata-rata ketinggian lokasi
ditemukan sengkubak, diketahui sengkubak dapat tumbuh pada ketinggian 24,4
m hingga 132,37 m. Walaupun berdasarkan ketinggian keempat lokasi tergolong
dataran rendah, namun dari keempat lokasi tersebut bukan merupakan hutan rawa
atau hutan yan memiliki air tergenang.

77

Jumlah individu (N/ha)

30
25

24

22

20
15

12

10
5
0
< 50

50-100

101-150

Kelas ketinggian tempat (m dpl)

Gambar 20 Jumlah individu Sengkubak (ind/ha) berdasarkan ketinggian tempat


Gambar 20 menunjukkan ada kecenderungan bahwa jumlah sengkubak
akan semakin berkurang dengan kenaikan tinggi tempat tumbuhnya (m dpl).
Sengkubak paling banyak ditemukan pada lokasi dengan ketinggian <50 mdpl.
Ragam kerapatan sengkubak yang bisa dijelaskan oleh ketinggian tempat
ditemukannya sengkubak adalah sebesar (R2 = 33%) dengan persamaan Y = 22,4
0,109x (Pvalue =0,426).
Ketebalan serasah pada tempat tumbuh sengkubak, tergolong cukup tebal,
hal ini akan mempengaruhi kelembaban tanah pada habitat sengkubak (tempat
tumbuhnya). Semakin tebal serasah, kelembaban tanah juga semakin tinggi.
Ketebalan serasah ini juga akan mempengaruhi penyerapan air pada permukaan
tanah (infiltrasi air). Air lebih mudah terserap sehingga tidak menggenangi tanah.
Individu sengkubak cenderung berada pada tempat tumbuh dengan
ketebalan serasah 6-15 cm, hal ini disebabkan karena dengan ketebalan serasah
tersebut dapat menjaga kelembaban tanah yang diduga sesuai dengan kebutuhan
hidup sengkubak. Jika dilihat dari rata- rata suhu dan kelembaban lingkungan
tempat tumbuhnya sengkubak di kawasan hutan sekunder Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat adalah 28,68-32,9oC dan 82,8-89,8 %, hal ini menandakan
sengkubak hidup pada iklim basah. Diagram yang menunjukkan rata-rata
ketebalan serasah pada tempat ditemukannya sengkubak (P. caulifora) disajikan
pada Gambar 21.

Jumlah individu ditemukan

78

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

17

16

13

5,0

6,0-10,0

11,0-15,0

16,0-20,0

>20,0

Kelas ketebalan serasah (cm)

Gambar 21 Hubungan ketebalan serasah dengan jumlah individu sengkubak


Individu sengkubak cenderung berada pada tempat tumbuh dengan
ketebalan serasah 6-15 cm, hal ini disebabkan karena dengan ketebalan serasah
tersebut dapat menjaga kelembaban tanah yang diduga sesuai dengan kebutuhan
hidup sengkubak. Data karakteristik fisik habitat sengkubak di hutan sekunder di
Kabupaten Sintang disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22

Beberapa karakteristik fisik sengkubak di formasi hutan sekunder


Kabupaten Sintang Kalimantan Barat

Karakteristik

Kisaran ketinggian tempat


tumbuh (m dpl)
Rata-rata ketinggian ditemukan
(m dpl)
Kisaran ketebalan serasah tempat
ditemukannya sengkubak (cm)
Rata-rata Ketebalan
serasah (cm)
Rata-rata suhu lingkungan (oC)
Rata-rata kelembaban (%)

27,7578,08
43,99

Hutan
Hutan
Karet
alam
campuran
I Suak
26,23115,9
62,37

sekunder
Hutan
Karet
alam
campuran
II Suak
61,61127,18
118,68

12-33

1,5-23

7-21,2

4-9,4

16,76

8,5

13,71

5,76

11,18

32,88
82,82

32
84

29,43
89,86

28,68
88,91

30,75
86,40

Hutan
Adat I
Sirang

Hutan
adat II
Medang
24,4132,37
64,38

Rata-rata

72.36

Jika dilihat dari kisaran rata-rata suhu dan kelembaban lingkungan tempat
tumbuhnya sengkubak di kawasan hutan sekunder Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat adalah 28,68-32,9oC dan 82,8-89,8 %. Hal ini sesuai dengan

79
data BPS Kabupaten Sintang (2006), temperatur rata-rata tahunan di Kabupaten
Sintang selama lima tahun dari tahun 2000-2004 adalah 26,89 oC, di mana ratarata temperatur udara terendah sebesar 22,45 oC dan temperatur udara tertinggi
sebesar 35,7 oC. Kelembabab relatif rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang
selama tahun 2004 berkisar antara 82-90%, dengan kelembabab relatif rata-rata
tahunan sebesar 86,9%. Hal-hal tersebut menandakan sengkubak hidup pada
iklim basah.
Menurut data BPS Sintang (2006), dinyatakan bahwa Sintang tergolong
dalam daerah penghujan dengan intensitas tinggi, dan berdasarkan klasifikasi
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Sintang tergolong
iklim A, yaitu daerah yang bercurah hujan tinggi (Iklim basah), dengan bulan
basah antara 7-9 bulan, sedangkan bulan kering 2-3 bulan. Hal ini dikarenakan
sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan yaitu sebesar 62,74 %.
Sepanjang tahun 2005 jumlah curah hujan 3297,36 mm atau rata-rata 274,78
mm/bulan. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi terutama dipengaruhi oleh
keadaan daerah yang berhutan tropis dan disertai kelembaban udara yang cukup
tinggi. Intensitas hujan yang tinggi biasanya mempengaruhi kecepatan angin.
Selain itu, penyinaran matahari di Kabupaten Sintang berkisar antara 42,0 s/d
71,0 % atau rata-rata 53,9 % (BPS Kabupaten Sintang, 2006). Dengan kondisi
tersebut, dapat dikatakan bahwa sengkubak selain hidup pada habitat dengan
curah hujan dan kelembaban tinggi, juga berada pada daerah dengan penyinaran
matahari yang cukup sepanjang tahun.
Faktor-faktor lingkungan tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam
memiliki lokasi untuk melakukan budidaya sengkubak, terutama bila akan
mengembangkannya di luar habitat alaminya. Karena seperti yang dikatakan oleh
Gardner et al. (1991) faktor lingkungan utama adalah penyinaran, kelembaban
dan kesuburan tanah, dan keterbatasan faktor-faktor lingkungan tersebut akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

80
b. Komposisi dan Dominasi Spesies Tumbuhan pada Habitat Sengkubak
(1). Tingkat Semai
Pada tingkat semai, ditemukan 69 spesies tumbuhan. Hasil penelitian
menunjukkan Hevea brasilliensis merupakan spesies yang dominan dan penting
dalam populasi tingkat semai. Selanjutnya diikuti oleh semai dari spesies-spesies
Hopea

dryobalanoides,

Syzygium

zeylanicum,

Artocarpus

integer,

Eleteriospermum tapos, Psychotria cf. sarmentosa BI, dan Litsea elliptica (Tabel
23). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, maka penelitian Heriyanto (2004)
di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan hutan primer di kelompok hutan
Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang tingkat semai terdapat 59 spesies
pada hutan sekunder dan 63 spesies hutan primer. Hasil penelitian Antoko dan
Kwatrina di kawasan wisata alam Granit Training Center (GTC) Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh (TNBT) terdapat 51 spesies tumbuhan tingkat semai, sementara
yang dilakukan Sukmana et al. (2002) pada daerah penyangga TNBT ditemukan
63 spesies tumbuhan tingkat semai. Selain itu, famili-famili yang mendominasi
tingkat pertumbuhan semai pada habitat sengkubak disajikan pada Gambar 22.

Indeks Nilai Penting (%)

45
40
35
30
25
20
15
10
5

Eu
ph
or
bi
ac
ea
e
M
or
D
ac
ip
ea
te
ro
e
ca
rp
ac
ea
e
M
yr
ta
ce
ae
R
ub
ia
ce
ae
La
ur
ac
ea
e
Fa
ba
ce
ae
D
ill
e
ni
A
ac
ni
so
ea
ph
e
yl
le
ac
ea
e
Sa
po
ta
ce
ae

Famili

Gambar 22 Famili-famili dominan tingkat semai berdasarkan INP


Pada habitat sengkubak, Hevea brasilliensis pada tingkat semai merupakan
spesies dominan dengan INP tertinggi sebesar 25,99% di kawasan hutan

81
sekunder Sintang, dengan jumlah individu sebesar 5.300 ind/ha. Hopea
dryobalanoides merupakan spesies dominan kedua (INP 16,31%) dengan jumlah
individu sebesar 2.600 ind/ha, Syzygium zeylanicum merupakan spesies dominan
ketiga (INP 15,20%) dengan jumlah individu sebesar 1250 ind/ha.
Tabel 23 Lima spesies tumbuhan pada tingkat semai dengan INP tertinggi
di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang
Nama Lokal & Nama Ilmiah

Famili

KR
(%)

FR
(%)

INP
(%)

I. Hutan karet alam campuran I Dusun Suak


Karet
Euphorbiaceae
39,77
21,91
61,67
(Hevea brasilliensis )
Engkerbang
Rubiaceae
17,87
17,14
35,01
(Psychotria cf. sarmentosa BI.)
Moraceae
Kepuak
14,36
5,71
8,65
(Artocarpus elasticus Reinw.)
Lauraceae
Medang
14,14
9,52
4,611
(Litsea elliptica Blume)
Dipterocarpaceae
Keladan
13,29
6,67
6,63
(Hopea dryobalanoides Miq.)
II. Hutan karet alam campuran II Dusun Suak
Keladan
Dipterocarpaceae
29,35
22,58
51,00
(Hopea dryobalanoides)
Karet
Euphorbiaceae
26,81
16,13
42,28
(Hevea brasilliensis )
Engkerbang
Rubiaceae
5,44
8,25
13,68
(Psychotria cf. sarmentosa BI.)
Myrtaceae
6,16
7,22
13,38
Ubah
(Syzygium zeylanicum )
Lauraceae
3,62
8,25
11,87
Medang
(Litsea elliptica)
III. Hutan adat I Dusun Sirang
Cempedak
Moraceae
22,32
12,35
34,67
(Artocarpus integer )
Ubah
Myrtaceae
11.61
14,82
26,42
(Syzygium zeylanicum)
Gerantung
Fabaceae
7.143
7,41
14,55
(Fordia splendidissima)
Dilleniaceae
7.143
6,17
13,32
Simpur
(Dillenia sp.)
Anisophylleaceae
5,357
6,17
11,53
Ribu-ribu
(Anisophyllea disticha )
IV. Hutan adat II Dusun Medang
Kelampai
Euphorbiaceae
40,08
13,56
53,64
(Eleteriospermum tapos)
Ubah
Myrtaceae
8,26
12,71
20,97
(Syzygium zeylanicum)
Cempedak
Moraceae
9,92
10,17
20,09
(Artocarpus integer )
Medang
Lauraceae
6,61
9,32
15,93
(Litsea elliptica)
Nyatuh
Sapotaceae
3,31
5,08
8,39
(Palaquium rostratum )
Keterangan : K = Kerapatan, KR=Kerapatan Relatif, F=Frekuensi, FR=Frekuensi relative, D=Dominansi,
DR=dominansi relative, INP=Indeks nilai penting

82
(2). Tingkat Pancang
Pada tingkat pancang ditemukan 89 spesies tumbuhan, dimana Hevea
brasilliensis masih merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi
tingkat pancang. Selanjutnya diikuti oleh pancang dari spesies-spesies
Horsfieldia irya, Litsea elliptica, Hopea dryobalanoides dan Symplocos
cochincinensis (Tabel 24). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada
penelitian Heriyanto (2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan
hutan primer di kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang
tingkat pancang terdapat 60 spesies (hutan sekunder) dan 58 spesies (hutan
primer). Penelitian lain, Kwatrina et al. (2003) di zona penyangga di Taman
Nasional Bukit Tigapuluh pada tingkat belta (diameter 2-10 cm) terdapat 70
spesies tumbuhan. Sementara hasil penelitian Purwanto (2005) di Plot Permanen
di Sungai Tappa, Jambi (hutan sekunder) terdapat sekitar 120 spesies pohon
(diameter 2-10 cm). Famili-famili yang mendominasi tingkat pertumbuhan
pancang disajikan pada Gambar 23.

Indeks Nilai Penting (%)

60
50
40
30
20
10
0

e
e
e
e
ae
ae
ae
ae
ae
ae
ae
ea
ea
ea
ea
ac cac pac race cac iace iace race ace tace race
i
r
i
b
r
au plo card Rub Mo Ulm My urse
or rist
ca
h
L
o
m
y
p
a
r
B
M ipte
Sy An
Eu
D

Famili

Gambar 23 Famili-famili dominan tingkat pancang berdasarkan INP

83
Hevea brasilliensis masih merupakan spesies dominan yang memiliki INP
tertinggi (41,84%), dengan penyebaran individu merata dan jumlah individu
sebesar 312 ind/ha (19,176%). Horsfieldia irya merupakan spesies dominan
kedua dengan INP 21,46% dengan jumlah individu sebesar 104 ind/ha.
Sedangkan Hopea dryobalanoides merupakan spesies dominan ketiga (13,92%)
dengan jumlah individu sebesar 96 ind/ha.
Tabel 24 Lima spesies tumbuhan pada tingkat Pancang dengan INP tertinggi di
kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang
Nama lokal & nama ilmiah

Famili

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

I. Hutan karet alam campuran I Dusun Suak


66,44
19,17
21,05
26,21
Euphorbiaceae
Karet
(Hevea brasilliensis )
22,83
8,67
7,39
6,80
Rubiaceae
Engkerbang
Psychotria cf. sarmentosa BI.)
18,99
6,84
6,32
5,82
Ulmaceae
Medang bulai
(Gironniera subaequalis Planch)
15,41
5,31
5,26
4,85
Symplocaceae
Bar
(Symplocos sp.)
15,37
5,25
5,26
4,85
Symplocaceae
Jangau
(Symplocos cochincinensis )
II. Hutan karet alam campuran II Dusun Suak
43,84
15,152 10,08
18,58
Euphorbiaceae
Karet
(Hevea brasilliensis )
35,48
11,111 11,11
13,27
Dipterocarpaceae
Keladan
(Hopea dryobalanoides )
33,37
15,40
9,091
8,85
Myristicaceae
Kumpang
(Horsfieldia irya)
19,52
8,13
6,061
5,31
Symplocaceae
Jangau
(Symplocos cochincinensis)
14,85
3,49
6,061
5,31
Lauraceae
Medang
(Litsea elliptica)
III. Hutan Adat I Dusun Sirang
57,08
5,25
20,253
31,57
Euphorbiaceae
Karet
(Hevea brasilliensis )
33,22
10,126 14,67
8,42
Myristicaceae
Kumpang
(Horsfieldia irya)
30,77
14,54
8,860
7,36
Anacardiaceae
Kemantan
(Mangifera foetida)
Moraceae
6,31
6,329
10,19
22,84
Cempedak
(Artocarpus integer)
Lauraceae
6,31
6,329
5,78
18,42
Medang
(Litsea elliptica)
IV. Hutan Adat II Dusun Medang
31,461
10,12
9,489
11,842
Euphorbiaceae
Kelampai
(Eleteriospermum tapos)
22,114
8,38
5,839
7,895
Lauraceae
Medang
(Litsea elliptica)
19,260
8,16
5,839
5,263
Myristicaceae
Kumpang
(Horsfieldia irya)
17,303
4,15
6,569
6,579
Myrtaceae
Ubah
(Syzygium zeylanicum)
16,217
7,30
3,650
5,263
Burseraceae
Salak
(Dacryodes rugosa)
Keterangan : K = Kerapatan, KR=Kerapatan Relatif, F=Frekuensi, FR=Frekuensi relative, D=Dominansi,
DR=dominansi relative, INP=Indeks nilai penting

84
(3). Tingkat Tiang
Pada tingkat tiang ditemukan 69 spesies tumbuhan, dimana Hevea
brasilliensis merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi
tingkat tiang. Selanjutnya diikuti oleh tiang dari spesies-spesies Horsfieldia irya,
Syzygium zeylanicum, Litsea elliptica, dan Eleteriospermum tapos (Tabel 25).
Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada penelitian Heriyanto
(2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan hutan primer di
kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang tingkat tiang
terdapat 50 spesies pada hutan sekunder dan 57 spesies di hutan primer. Familifamili yang mendominasi tingkat pertumbuhan tiang disajikan pada Gambar 24.

Indeks Nilai Penting (%)

80
70
60
50
40
30
20
10

Eu
ph
or
bi
a
M cea
yr
e
M
t
yr ace
ist ae
ic
a
M cea
or e
ac
U ea e
lm
a
La cea
ur e
ac
Fa eae
ba
Ru cea
e
A biac
p
D oc ea
e
ip
ter yna
c
oc
e
ar ae
p
V
er ace
be ae
na
Eb cea
en e
ac
ea
e

Famili

Gambar 24 Famili-famili dominan tingkat tiang berdasarkan INP


Hevea brasilliensis merupakan spesies dominan yang memiliki INP
tertinggi (59,36%), dengan penyebaran individu merata dan jumlah individu
sebesar 77 ind/ha (21,16%). Syzygium zeylanicum merupakan spesies dominan
kedua dengan INP 20,84% dengan jumlah individu sebesar 14 ind/ha. Sedangkan
Horsfieldia irya merupakan spesies dominan ketiga (10,90%) dengan jumlah
individu sebesar 20 ind/ha.

85
Tabel 25

Lima spesies tumbuhan pada tingkat tiang dengan INP tertinggi


di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang

Nama lokal & nama ilmiah

Famili

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

24,69

20,83

30,00

75,53

12,35

11,11

12,52

35,97

7,41

8,33

5,66

21,40

6,17

5,56

4,99

16,72

4,94

5,56

4,37

14,86

23,71

16,67

23,61

63,82

8,25

9,52

3,39

25,40

6,19

5,95

5,20

33,37

5,15

5,95

2,97

16,45

5,15

5,95

5,18

16,28

Euphorbiaceae

39,08

24,64

34,19

97,91

Lauraceae

9,19

11,59

8,09

28,88

Myristicaceae

9,19

10,14

7,96

27,29

Fabaceae

6,90

8,70

8,70

24,28

Myrtaceae

5,75

7,25

6,72

19,72

Euphorbiaceae

15,91

10,38

16,79

43,09

Myrtaceae

11,36

14,15

12,67

38,19

Moraceae

8,33

8,49

7,88

24,71

Rubiaceae

7,58

6,60

7,27

21,46

Ebenaceae

4,54

5,66

4,00

14,20

I. Hutan karet alam campuran I Dusun Suak


Euphorbiaceae
Karet
(Hevea brasilliensis )
Ulmaceae
Medang bulai
(Gironniera subaequalis)
Apocynaceae
Pelaik pipit
(Alstonia angustifolia)
Dipterocarpaceae
Keladan
(Hopea dryobalanoides)
Verbenaceae
Leban
(Vitex pubenscens)
II. Hutan karet alam campuran II Dusun Suak
Euphorbiaceae
Karet
(Hevea brasilliensis )
Dipterocarpaceae
Keladan
(Hopea dryobalanoides)
Myristicaceae
Kumpang
(Horsfieldia irya)
Symplocaceae
Jangau
(Symplocos cochincinensis)
Lauraceae
Medang
(Litsea elliptica )
III. Hutan Adat I Dusun Sirang
Karet
(Hevea brasilliensis )
Medang
(Litsea elliptica)
Kumpang
(Horsfieldia irya)
Gerantung
(Fordia splendidissima)
Ubah
(Syzygium zeylanicum )
IV. Hutan Adat II Dusun Medang
Kelampai
(Eleteriospermum tapos)
Ubah
(Syzygium zeylanicum)
Cempedak
(Artocarpus integer)
Engkerbang
(Psychotria cf. sarmentosa BI.)
Kayu malam
(Diospyros sp.)

Keterangan : K = Kerapatan, KR=Kerapatan Relatif, F=Frekuensi, FR=Frekuensi relative, D=Dominansi,


DR=dominansi relative, INP=Indeks nilai penting

(4). Tingkat Pohon


Pada tingkat pohon (>20 cm) ditemukan 72 jenis tumbuhan, dimana Hevea
brasilliensis masih merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi

86
tingkat pohon. Selanjutnya diikuti oleh pohon dari spesies-spesies Litsea
elliptica, Eleteriospermum tapos, Artocarpus elasticus, dan Artocarpus
lanceifolius (Tabel 26). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada
penelitian Heriyanto (2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan
hutan primer di kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang
tingkat pohon terdapat 54 spesies pada hutan sekunder dan 64 spesies di hutan
primer. Kwatrina et al. (2003), pada zona penyangga di TNBT pada tingkat
pohon (>10 cm) terdapat 72 jenis tumbuhan. Dengan demikian keanekaragaman
jenis pada tingkat pohon di lokasi penelitian di bandingkan dengan jumlah jenis
tingkat pohon pada hutan sekunder tergolong tinggi tinggi. Famili-famili yang
mendominasi tingkat pertumbuhan pohon disajikan pada Gambar 25.
80

Indeks Nilai Penting (%)

70
60
50
40
30
20
10

ae
M
yr
ta
ce
ae
Fa
ba
ce
M
ae
yr
ist
ic
D
ac
ip
ea
ter
e
oc
ar
pa
ce
ae
Fa
ga
ce
ae

yn
ac
e

ea
e
A

po
c

La
ur
ac

ac
ea

M
or

Eu
ph
or
b

ia
ce
a

Famili

Gambar 25 Famili-famili dominan tingkat pohon berdasarkan INP


Hevea brasilliensis pada tingkat pohon di habitat P. cauliflora merupakan
jenis dominan yang memiliki INP tertinggi (58,27%), dengan penyebaran
individu merata dan jumlah individu sebesar 21 ind/ha (16,35%). Litsea elliptica
merupakan jenis dominan kedua dengan INP 21,5% dengan jumlah individu
sebesar

ind/ha

dengan

frekuensi

relatif

(FR

6,64%).

Selain

itu,

87
Eleteriospermum tapos merupakan jenis dominan ketiga (INP 16,70%) dengan
jumlah individu sebesar 8 ind/ha (FR 5,05%).
Tabel 26

Lima spesies tumbuhan pada tingkat pohon dengan INP tertinggi


di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang

Nama lokal & nama ilmiah

Famili

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

I. Hutan karet alam campuran I Dusun Suak


90,45
34,15
25,61
30,69
Euphorbiaceae
Karet
(Hevea brasilliensis )
35,15
14,50
9,76
10.89
Moraceae
Kepuak
(Artocarpus elasticus)
33,85
10,77
12,19
10,89
Apocynaceae
Pelaik pipit
(Alstonia angustifolia )
23,33
7,86
8,54
6,93
Moraceae
Mentawak
(Artocarpus lanceifolius )
18,43
6,40
6,10
5,94
Apocynaceae
Pelaik bukit
(Alstonia scholaris)
II. Hutan karet alam campuran II Dusun Suak
55,94
15,95
15,48
24,51
Euphorbiaceae
Karet
(Hevea brasilliensis )
23,90
14,23
4,76
4,90
Dipterocarpaceae
Keladan
(Hopea dryobalanoides )
23,77
6,61
8,33
8,82
Lauraceae
Medang
(Litsea elliptica)
23,56
8,37
8,33
6,86
Myrtaceae
Ubah
(Syzyzgium zeylanicum )
15,74
7,05
4,76
3,92
Fagaceae
Kempili
(Quercus sp.)
III. Hutan Adat I Dusun
Sirang
86,70
29,04
24,32
33,33
Euphorbiaceae
Karet
(Hevea brasilliensis )
39,42
11,09
14,86
13,33
Moraceae
Cempedak
(Artocarpus integer)
35,17
11,89
12,16
11,11
Lauraceae
Medang
(Litsea elliptica )
26,22
9,12
8,11
8,89
Myristicaceae
Kumpang
(Horsfieldia irya)
21,38
6,61
8,11
6,67
Moraceae
Kepuak
(Artocarpus elasticus)
IV. Hutan Adat II Dusun Medang
66,79
19,81
20,20
26,77
Euphorbiaceae
Kelampai
(Eleteriospermum tapos)
34,17
15,63
9,09
9,45
Fabaceae
Petai
(Parkia speciosa)
26,92
14,56
6,06
6,299
Lauraceae
Medang
(Litsea elliptica)
17,90
6,33
6,06
5,512
Moraceae
Mentawak
(Artocarpus lanceifolius)
15,15
2,79
6,06
6,299
Myrtaceae
Ubah
(Syyzgium zeylanicum)
Keterangan : K = Kerapatan, KR=Kerapatan Relatif, F=Frekuensi, FR=Frekuensi relative, D=Dominansi,
DR=dominansi relative, INP=Indeks nilai penting

Menurut Smith (1977), yang dimaksud dengan spesies dominan adalah


spesies yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien
daripada spesies lain dalam tempat yang sama. Crow et a.l (1994)

88
mengemukakan bahwa dominasi merupakan tipe keanekaragaman yang dicirikan
oleh distribusi horisontal dan ukuran tumbuhan. Dominansi dari suatu spesies
pada tiap tingkatan spesies tumbuhan dapat memberi petunjuk daya survival
suatu spesies dalam suatu komunitas hutan. Indeks nilai penting merupakan
suatu bentuk gambaran struktur tegakan secara horizontal (Husch et al. 1982
dalam Kissinger 2002). Suatu jenis dikatakan berperan jika INP tingkat pancang
dan anakan lebih dari 10% dan untuk tingkat pohon dan tiang sebesar 15%.
Bila dikaitkan dengan suatu pengelolaan hutan, spesies yang selalu
dominan pada tiap tingkatan vegetasi mempunyai peluang yang besar untuk tetap
terjaga kelestariannya, seperti contoh : Hevea brasilliensis, Horsfieldia irya,
Syzygium zeylanicum, Litsea elliptica, dan Hopea dryobalanoides. Famili
Euphorbiaceae merupakan famili yang selalu dominan pada keempat hutan
sekunder tersebut, sejalan dengan hasil penelitian tersebut, menurut Newbery et
al (1992) dalam Mackinnon et al. (2000) dikatakan bahwa Euphorbiaceae
merupakan suku utama ke dua di hutan-hutan di Borneo, kadang-kadang lebih
banyak terdapat daripada Dipterocarpaceae.
Keempat lokasi kajian merupakan hutan sekunder di mana habitat tersebut
telah mengalami perubahan. Suatu habitat yang telah mengalami perubahan
akibat

adanya gangguan seperti penebangan, deforestrasi, hama penyakit,

kebakaran dan lain-lain, maka tumbuhan yang ada akan mengadakan reaksi untuk
merubah lingkungan sehingga berada pada kondisi yang cocok bagi spesies yang
telah ada atau lebih cocok pada individu-individu baru. Sehingga reaksi ini
memegang peranan penting dalam pergantian spesies (Shukla & Chandel 1982
dalam Kusmana & Istomo 1995).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dominasi suatu spesies yang
terjadi pada tiap tingkatan spesies tumbuhan dalam suatu tipe hutan terbentuk
melalui integrasi antara faktor kondisi spesies tumbuhan secara menyeluruh
(pertumbuhan dan perkembangan, interaksi dengan tumbuhan lain, proses
regenerasi, distribusi, dan lain-lain), kondisi lahan serta aktifitas yang terjadi
pada tipe hutan yang bersangkutam.
Keberadaan berbagai spesies pada lokasi kajian yang merupakan hutan
sekunder, jika dikelola dengan baik selain dapat melestarikan sengkubak dan

89
habitatnya juga dapat melestarikan spesies-spesies yang telah diketahui nilai dan
manfaatnya, misalnya spesies-spesies tumbuhan berkayu komersil, beragam
tumbuhan obat, tumbuhan unik seperti Nephenthes sp., yang terdapat di kawasan
hutan sekunder tersebut. Pengelolaan hutan-hutan tembawang (hutan karet alam
campuran) oleh masyarakat dapat di arahkan sebagai tempat penelitian. Hal ini
dapat menjadi alternatif dalam melestarikan tumbuhan bernilai ekonomis tinggi
sekaligus dapat melestarikan ekosistem kawasan itu sendiri. Sehingga diharapkan
dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar jika dikelola dengan
perencanaan yang benar dan dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat
(MacKinnon et al. 1993).

c. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Habitat Sengkubak


Keanekaragaman

spesies

merupakan

suatu

karakteristik

tingkatan

komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat digunakan untuk


menyatakan struktur komunitas (Soegianto 1994). Konsep ini dapat digunakan
untuk mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam
menyeimbangkan komponennya dari berbagai ganggauan yang timbul. Secara
kuantitatif keanekaragaman spesies tumbuhan dapat diukur berdasarkan indeks
kekayaan, indeks keragaman spesies, indeks kesamaan komunitas dan indeks
kemerataan yang menandakan adanya pembagian individu yang merata diantara
jenis. Hasil analisis data terhadap kondisi kenekaragaman spesies tumbuhan di
empat lokasi kajian (habitat sengkubak) disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26 Keanekaragaman spesies tumbuhan pada habitat sengkubak
Habitat
Hutan Adat I
Sirang
Hutan karet
alam campuran I
Suak
Hutan karet
Alam campuran II
Suak

Tingkat
Pertumbuhan
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Semai
Pancang
Tiang
Pohon

N
112
94
87
90
347
103
81
101
276
113
97
102

S
21
24
18
17
24
31
29
23
25
32
36
32

Dmg
4,24
5,06
3,81
3,56
3,93
6,47
6,37
4,77
4,27
6,56
7,65
6,70

Indeks
H
2,72
2,54
2,24
2,25
2,09
2,90
2,83
2,50
2,22
2,96
3,03
2,97

J
0,89
0,80
0,77
0,79
0,66
0,84
0,84
0,80
0,69
0,85
0,84
0,86

90
Tabel 26 Lanjutan
Habitat
Hutan Adat II
Medang

Tingkat
Pertumbuhan
Semai
Pancang
Tiang
Pohon

N
242
152
132
127

S
34
45
38
33

Dmg
6,01
8,76
7,58
6,61

Indeks
H
2,47
3,42
3,14
2,87

J
0,70
0,90
0,86
0,82

Keterangan :
N
= Jumlah individu pada suatu habitat
S
= Jumlah spesies tumbuhan pada suatu habitat
Dmg
= Indeks Diversitas Margalef
H
= Indeks keragaman Shannon-Wiener
J
= Indeks kemerataan Shannon (Evennes Shannon)

Untuk mengetahui tingkat keragaman spesies di lokasi kajian, digunakan


kriteria indeks Shannon-Wienner. Kriteria nilai indeks keragaman spesies
Shannon-Wienner (Barbour et al. 1987) yang digunakan adalah : jika H<1
dikategorikan sangat rendah, 1<H 2 kategori rendah, 2<H 3 kategori sedang,
3<H 4 kategori tinggi dan jika H>4 kategori sangat tinggi.
Hutan adat I Sirang dan hutan karet alam campuran I Suak termasuk dalam
kategori sedang, hutan karet alam campuran II Suak dan hutan adat II Medang
memiliki keragaman spesies termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi.
Keragaman spesies tinggi terdapat pada hutan karet alam campuran II Suak pada
tingkat pertumbuhan tiang (3,03) dan pada hutan adat II Medang pada tingkat
pertumbuhan pancang (3,42) dan tiang (3,14). Nilai keragaman tumbuhan secara
keseluruhan terendah pada lokasi hutan Suak karet alam campuran I pada tingkat
pertumbuhan semai sebesar 2,09 dan tertinggi adalah pada tingkat pertumbuhan
pancang pada hutan Medang yaitu sebesar 3,42.
Keragaman spesies yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau
kestabilan dari suatu tingkat pertumbuhan, dengan kata lain bahwa tingkat
pertumbuhan tiang pada Suak II dan pancang serta tiang pada hutan Medang
mempunyai

stabilitas

yang

lebih

tinggi

dibandingkan

dengan

tingkat

pertumbuhan lainnya. Menurut Odum (1993) bahwa keragaman akan menjadi


tinggi pada komunitas yang lebih tua dan rendah pada komunitas yang baru
terbentuk. Kestabilan yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat kompleksitas yang
tinggi, yang disebabkan oleh terjadinya interaksi yang tinggi pula, sehingga akan
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan-

91
gangguan terhadap komponen-komponennya. Semakin tinggi nilai keragaman
jenis di suatu habitat, maka keseimbangan komunitasnya juga akan semakin
tinggi. Diagram keragaman spesies pada semua tingkat pertumbuhan berdasarkan
indeks Shannon-Wiener disajikan pada Gambar 26.
4
Indeks keragaman spesies

3.5
3
2.5
Ht. adat I Sirang

Ht. karet alam


campuran I Suak
Ht. karet alam
campuran II Suak
Ht. adat II Medang

1.5
1
0.5
0
Semai

Pancang

Tiang

Pohon

Tingkat Pertumbuhan spesies tumbuhan

Gambar 26 Indeks keragaman spesies pada habitat sengkubak


Dari sudut pandang pengelolaan, tingginya keragaman spesies yang
diperlihatkan oleh hutan-hutan tropis merupakan dua sisi yang berbeda. Pada sisi
positif, terdapatnya sejumlah besar sumber daya tumbuhan yang tersedia. Sisi
lainnya, akibat tingginya keragaman spesies, maka individu-individu biasanya
terdapat dalam kepadatan yang sangat kecil. Apabila terdapat sejumlah besar
spesies, maka tiap spesies hanya terwakili oleh beberapa individu saja (Peter
1994).
Indeks kekayaan spesies merupakan suatu indeks yang memberikan
penjelasan tentang harapan menemukan spesies pada suatu komunitas tertentu.
Nilai kekayaan spesies dipengaruhi oleh banyaknya jumlah spesies dan jumlah
individu yang terdapat dalam suatu komunitas. Secara keseluruhan nilai indeks
tertinggi pada lokasi hutan Medang pada tingkat pertumbuhan pancang yaitu
sebesar 8,76 dan terendah pada hutan Sirang pada tingkat pertumbuhan pohon
yaitu sebesar 3,56. Hutan Medang memiliki nilai indeks kekayaan spesies
tertinggi pada hampir semua tingkat pertumbuhannya, dan hutan Suak II

92
memiliki nilai indeks kekayaan tertinggi kedua setelah hutan Medang. Hutan
Sirang memiliki kekayaan spesies terendah dari keempat lokasi kajian. Harapan
menemukan spesies lebih tinggi pada hutan Medang. Hutan Medang memiliki
jumlah spesies dan jumlah individu tertinggi dibanding ketiga lokasi lainnya, hal
ini mempengaruhi nila indeks kekayaan spesiesnya menjadi lebih tinggi. Diagram
yang menunjukkan indeks kekayaan spesies pada habitat sengkubak disajikan
pada Gambar 27.

Indeks kekayaan (M argalef)

10
9
8
7
6
5

Ht. adat I Sirang


Ht. karet alam
campuran I Suak
Ht. karet alam
campuran II Suak
Ht. adat II
Medang

4
3
2
1
0
Semai

Pancang

Tiang

Pohon

Tingkat pertumbuhan spesies tumbuhan

Gambar 27 Indeks kekayaan spesies pada habitat sengkubak


Nilai indeks kemerataan merupakan ukuran keseimbangan antara suatu
komunitas satu dengan lainnya. Nilai ini dipengaruhi oleh jumlah spesies yang
terdapat dalam suatu komunitas (Ludwig & Reynolds 1988). Semakin tinggi nilai
keanekaragaman spesies di suatu habitat, maka keseimbangan komunitasnya juga
akan semakin tinggi. Keseimbangan antara komunitas pada tingkat semai di
hutan Sirang mempunyai keseimbangan komunitas tertinggi sebesar 0,89, pada
tingkat pancang hutan Medang mempunyai keseimbangan komunitas tertinggi
(0,90), tingkat tiang di hutan Medang mempunyai keseimbangan komunitas
tertinggi (0,864), dan pada tingkat pohon keseimbangan komunitas tertinggi
berada pada hutan Suak II yaitu sebesar 0,86 (Gambar 28).
Keempat lokasi penelitian yang merupakan habitat sengkubak memiliki
nilai keragaman spesies yang sedang hingga tinggi pada semua tingkat

93
pertumbuhan spesies (berkisar 2,09-3,14), kekayaan spesies yang tinggi pada
tingkat pertumbuhan (berkisar 3,56-8,76) dan kemerataan spesies yang bervariasi
pada berbagai tingkat pertumbuhan mulai dari 0,66 (tingkat semai) hingga 0,90

Indeks K em era taan

pada tingkat pertumbuhan pancang.

1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0

Hutan adat I (Sirang)


Hutan karet alam
campuran I (Suak I)
Hutan karet alam
campuran II (Suak II)
Hutan adat II (Medang)

Semai

Pancang

Tiang

Pohon

Tingkat Pertumbuhan spesies tumbuhan

Gambar 28 Indeks kemerataan pada habitat sengkubak


Variasi nilai indeks keanekaragaman pada berbagai tingkatan spesies
tumbuhan (semai hingga pohon) yang terjadi merupakan sesuatu yang
berhubungan

dengan

karakteristik

tempat

tumbuh

dan

aktivitas

yang

berhubungan di dalam komunitas hutan tersebut. Sejalan dengan pendapat


tersebut,

Bruenig

(1995)

menyatakan

bahwa

keanekaragaman

spesies

berhubungan dan dibatasi kondisi tanah di mana terdapat zone perakaran, aerasi
dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus. Kissinger (2002)
menyatakan bahwa aktivitas yang terjadi pada suatu hutan relatif berpengaruh
terhadap kondisi keanekaragaman yang ditampilkan.

d. Kesamaan Komunitas
Kesamaan komunitas ditunjukkan oleh index of similarity (IS), yaitu
menggambarkan tingkat kesamaaan struktur dan komposisi spesies dari
komunitas yang dibandingkan. Nilai berkisar antara 0% sampai dengan 100%,
jika dua komunitas yang dibandingkan sama maka nilai IS mendekati 100% (1),

94
sedangkan jika dua komunitas yang dibandingkan berlainan maka nilai IS
mendekati 0%. yang dimodifikasi oleh Bray and Curtis (1957) dalam Magurran
(1988).
Wilayah hutan Suak I dan Suak II (2-3) memiliki kesamaan komunitas yang
cukup tinggi (IS>50%) pada semua tingkat pertumbuhan, hutan Sirang dengan
Suak I, Suak II dan hutan Medang dapat dikategorikan memiliki kesamaan
komunitas rendah (IS<40%), kesamaan komunitas antara hutan Suak I dengan
hutan Medang dan Suak II dengan hutan Medang dapat dikategorikan sedang
pada tingkat pertumbuhan tiang (IS mendekati 50%), pada tingkat pertumbuhan
semai, pancang dan pohon pada lokasi tersebut kesamaan komunitasnya
tergolong rendah (IS<40%). Data indeks kesamaan komunitas pada habitat
sengkubak disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Indeks kesamaan komunitas pada habitat sengkubak (hutan sekunder)
di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat
Habitat sengkubak
Ht. Adat I Sirang Ht. Karet alam campuran I
Suak
Ht. Adat I Sirang Ht. Karet alam campuran
II Suak
Ht. Adat I Sirang Ht. Adat II Medang
Ht. Karet alam campuran I Suak Ht. Karet
alam campuran II Suak
Ht. Karet alam campuran I Suak Ht. Adat II
Medang
Ht. Karet alam campuran II Suak Ht. Adat II
Medang

Indeks kesamaan komunitas


(Index of Similarity)
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
0.24

0.24

0.39

0.21

0.20
0.22

0.23
0.23

0.35
0.39

0.15
0.15

0.53

0.51

0.62

0.51

0.27

0.33

0.47

0.40

0.35

0.36

0.48

0.33

3. Ancaman Kelestarian Sengkubak


Ancaman kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan, terutama
tumbuhan obat, lebih dikarenakan sebagian besar dari tumbuhan obat merupakan
tumbuhan liar yang hidup di alam. Heyne (1950) dalam Zuhud dan Haryanto
(1991), mengidentifikasi sebanyak 1040 spesies tumbuhan obat/jamu di
Indonesia sebagian besar berasal dari tumbuhan berbiji, yang sebagian besar
merupakan tumbuhan liar yang hidup di alam. Permasalah berikutnya, bahwa
budidaya untuk jenis-jenis tersebut sebagian besar juga belum diketahui
tekniknya dan belum dilakukan budidaya, serta masih dipungut dari alam.

95
Apabila laju pemungutan langsung dari alam lebih cepat dari laju kemampuan
alam untuk memulihkan populasinya, maka akan kelangkaan dan kepunahan
spesies tumbuhan tersebut tidak dapat dielakkan.
Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bioekologi dan
teknik penangkaran tumbuhan secara umum dan tumbuhan obat khususnya
masih sangat terbatas. Di lain pihak publikasi dan informasi mengenai hal
tersebut sangat diperlukan guna mendasari upaya pelestarian pemanfaatan dan
pengembangan usaha pemanfaatan tumbuhan obat khususnya melalui budidaya
jenis. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran lembaga ilmiah sangat diperlukan
dan perlu ditingkatkan. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai
keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara
insitu

maupun

eksitu,

agar

tidak

terjadi

penurunan

populasi

dan

keanekaragamannya (Zuhud & Haryanto 1991).


Menurut BPS Sintang (2006), proporsi wilayah hutan di Sintang yang
diperuntukkan untuk kepentingan hutan perlindungan dan pelestarian alam/taman
nasional dan hutan lindung adalah 25,03% dari luas total hutan 3.227.900 ha.
Sekitar 75% dari luas tersebut adalah untuk kepentingan hutan produksi terbatas,
hutan produksi biasa, pertanian lahan kering dan hutan produksi yang dapat
dikonversi. Dari proporsi seperti ini, jelas peluang dibukanya hutan-hutan yang
tersisa masih tinggi.
Di sisi lain, dalam pengelolaan hutan umumnya liana kurang diperhatikan.
Hal ini berimplikasi pada spesies seperti sengkubak, karena bila tidak dikenal dan
diketahui manfaatnya secara luas maka sengkubak lama-kelamaan akan punah
bersamaan dengan punahnya spesies yang belum dikenali lainnya. Berkurangnya
habitat sengkubak merupakan ancaman terhadap kelestariannya. Hilangnya
pengetahuan tradisional (umur respoden > 50 tahun sebesar 53,33%), pembukaan
lahan-lahan hutan tembawang yang selama ini dikelola oleh masyarakat menjadi
perkebunan sawit atau penggantian pola ladang karet alam menjadi hutan karet
murni turut mengancam keberadaan habitat sengkubak di Kabupaten Sintang.
Belum dilakukan budidaya sengkubak oleh masyarakat penggunanya menambah
daftar panjang permasalahan yang mengancam kelestariannya.

96
Selain itu, informasi yang diperoleh dari pola sebaran spasial sengkubak
pada formasi hutan sekunder diketahui bahwa sengkubak cenderung membentuk
pola penyebaran mengelompok (clumped). Individu dengan pola spasial
mengelompok bila mendapat gangguan akan lebih cepat punah dibandingkan
individu yang menyebar random (Kissinger 2002). Pengelompokkan yang terjadi
memerlukan suatu bentuk habitat tertentu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola sebaran
spasial seperti proses reproduksi dan regenerasi, kompetisi, topografi, kebutuhan
hara dan cahaya merupakan variabel penting yang harus menjadi perhatian utama
dalam pengelolaan hutan. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan dalam
manajemennya diantaranya adalah menjaga kelestarian pohon induk, mengurangi
halangan bagi carrier dalam proses dispersal, mengurangi kompetisi,
terpenuhinya kebutuhan hara dan cahaya. Intinya adalah bagaimana memadukan
syarat-syarat pertumbuhan yang membatasi keberadaan suatu spesies.
Sengkubak adalah salah satu bagian yang menjadi prioritas penyelamatan
dalam kegiatan konservasi. Karena sengkubak adalah tumbuhan yang khas (khas
dalam pemanfaatan), mempunyai potensi sebagai tanaman obat, mempunyai arti
tersendiri di kehidupan masyarakat pedalaman Sintang (baik Melayu maupun
Dayak), dan sengkubak juga hampir tidak dapat ditemukan di luar Kalimantan.
Luas daerah sebarannya juga semakin semakin kecil, peluang punahnya akan
tinggi jika hutan-hutan sekunder yang ada dan telah dikelola masyarakat selama
ini beralih fungsi menjadi lahan perkebunan atau lain sebagainya.
Sengkubak merupakan spesies yang diburu atau dipanen oleh manusia, jika
perilaku pemanenan tidak memperhatikan aspek-aspek kelestariannya, maka
spesies ini akan lebih cepat punah (Primack 1998). Penyebab utama hilangnya
dan punahnya spesies-spesies tumbuhan yang ada berasal dari populasi manusia
yang berkembang dengan cepat, dari cara manusia yang dengan cepat
memperluas wilayah ekologisnya dan memanfaatkan sumber daya hayati dari
bumi yang lebih banyak lagi. Mekanisme langsung dari kepunahan tersebut
meliputi hilangnya dan terkotak-kotaknya habitat akibat fragmentasi habitat,
invasi jenis baru yang diintroduksi, pemanfaatan sumber daya hayati yang

97
berlebihan apalagi tanpa diikuti tindakan budidaya, polusi, perubahan iklim
global, serta industri pertanian dan kehutanan (UNEF 1995).
Lunturnya pengetahuan tradisional (erosi kebudayaan tradisional) yang
memiliki pemahaman tersendiri terhadap alam menyebabkan kesalahan dalam
penerapan pengetahuan yang dapat menyebabkan gagalnya pengembangan
kebijakan yang mencerminkan nilai ilmiah, ekonomis dan sosial. Hal ini dapat
mendorong kesalahan yang fatal dalam membuat perencanaan pengelolaan hutan
yang masih ada.
Sengkubak pernah ditemukan di pulau Jawa yaitu Pulau Panaitan tahun
1951, Pantai Ngliyep Selatan Malang, Pantai Popoh Tulung Agung tahun 1914
(Herbarium Bogoriense, LIPI Cibinong 2007). Saat ini spesies tersebut hampir
tidak pernah terindentifikasi dalam beberapa kegiatan inventarisasi di Pulau
Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa karena tidak adanya pengenalan manfaat
sengkubak di Pulau Jawa, cenderung membuat spesies tersebut menjadi kurang
diperhatikan keberadaannya dan mempercepat kepunahan spesies tersebut.
Negara-negara tetangga, antara lain Philipina, Malaysia, dan Australia telah
melakukan pengujian bioaktif terhadap marga Pycnarrhena ini, dan Philipina
telah menetapkan P. manillensis Vidal sebagai tumbuhan obat penting, dimana
akar dan batangnya digunakan sebagai tonik, tepung akarnya untuk mengobati
kolera (Anonim 2007). Malaysia telah melakukan hal yang sama terhadap marga
Pynarrhena lainnya, diketahui

daun dari P. tumetacta mengandung protein

tinggi (Hoe & Siong 1999).


4. Implikasi Konservasi Sengkubak
a. Meningkatkan Nilai Sengkubak
Implikasi dari konservasi sengkubak yang pertama-tama dapat dilakukan
adalah meningkatkan nilai tambah dari sengkubak, dalam arti mengetahui
keunggulan lain yang dimiliki sengkubak selain peranannya sebagai penyedap
rasa alami. Melakukan pengujian bahan bioaktif yang terkandung di dalam
sengkubak, mulai dari akar, batang dan daun merupakan salah satu strategi yang
penting dilakukan.

98
Nilai ekonomi sengkubak dapat ditingkatkan antara lain dengan mengetahui
kandungan bioaktif sengkubak yang berperan untuk pengobatan. Karena sebagian
besar spesies dari famili Manispermaceae seperti akar kuning [Arcangelisia flava
(L.) Merr.], brotowali [Tinospora crispa (L.) Diels.] merupakan tumbuhan obat.
Jika dikaitkan dengan anggota dari marga Pycnarrhena, diketahui bahwa
sebagian besar bagian vegetatif dari marga Pycnarrhena mempunyai kandungan
bioaktif yang dapat digunakan sebagai bahan obat. Sebagai contoh akar dan
batang dari Pycnarrhena manillensis Vidal (Philipina) memiliki enam kandungan
alkaloid yang terdiri dari 3 (tiga) non phenolic dan 3 (tiga) phenolic, tepung dari
akar dan batangnya digunakan untuk mengobati penyakit kolera, akarnya
dikatakan juga berperan sebagai tonik (Philippine Medical Plants 2007), batang
dari Pycnarrhena ozantha diketahui mengandung bahan bioaktif yang penting
bagi pengobatan penyakit tumor. Hal tersebut dapat digunakan sebagai
pendekatan untuk menduga bahwa sengkubak memiliki kandungan bioaktif yang
bermanfaat dalam pengobatan Kegunaan dan kandungan kimia dari spesies
Pycnarrhena lainnya disajikan dalam Tabel 29.
Tabel 29 Kegunaan dan kandungan kimia genus Pycnarrhena (spesies lainnya)
Spesies

P. ozantha

1)

P. novoguinensis 2)
P. manillensis 3)

P. tumetacta 4)

Kandungan kimia

Asal
Specimen

Peranan

4 bisbenzylisoquinoline
alkaloids
(+)-2-nortthalrugosine
(+)-bisnorobamegine
(+)-bisnorthalrugosine
(+)-pycnazanthine
Alkaloid jenis
magnoflorine
Enam jenis alkaloid :
Pycnarrhine, ambaline,
ambalininine (nonphenolic), pycnaminde,
pycnarrhinine,
pycnarrhenamine
(phenolic). Akar
mengandung
cicatrizant, vulnerary,
febrifuge dan
emmenagogue.
Protein tinggi

Papua
Nugini

Obat tumor

Indonesia

Penghasil
alkaloid
Akar sebagai
tonik, tepung
dari akar
obat kolera

Philipina

Malaysia

Bagian
yang
digunakan
Batang

Batang dan
akar

Penyedap
Daun
masakan
Sumber : 1)Abouchacra, et al. (1987); Loder et al. (1972) , 2) Verpoorte, et al. (1982), 4) Hoe &
Siong (1999) dan 3) Philippine Medical Plants (2007)

99
b. Konservasi Insitu dan Eksitu
Melakukan konservasi tumbuhan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati secara keseluruhan.
Konservasi sumber daya alam hayati adalah sebagai upaya pengelolaan sumber
daya

alam

hayati

yang

pemanfaatannya

senantiasa

memperhitungkan

kelangsungan persediannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan


kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan dilakukannya konservasi tersebut
adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan
keseimbangan

ekosistemnya,

sehingga

dapat

lebih

mendukung

upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut


1990). Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka strategi yang digunakan untuk
mewujudkan

tujuan

konservasi

adalah

perlindungan

sistem

penyangga

kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwaliar beserta


ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Sengkubak mempunyai peranan sebagai salah satu sumber plasma nutfah
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga
melakukan konservasi terhadap sengkubak

berarti bukan hanya melakukan

perlindungan dan pengawetan saja tetapi juga melakukan pemanfaatan yang


lestari. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai keperluan manusia
perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara insitu maupun eksitu,
agar tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragamannya (Zuhud &
Haryanto 1991).
Dalam melakukan cara pemanfaatan wilayah perlindungan dan sistem
penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi
perlindungan di wilayah tersebut. Sesuai dengan pengertian tersebut maka tujuan
pokok dari konservasi sengkubak khususnya dan tumbuhan lainnya sebagai
sumber plasma nutfah perlu diarahkan pada usaha mempertahankan atau
melindungi

proses

ekologi

serta

sistem

penyangga

kehidupan

dan

mempertahankan keanekaragaman plasma nutfah serta menjamin pemanfaatan


sumber daya alam.

100
Kegiatan pengawetan menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 dapat dilakukan
melalui dua macam kegiatan yaitu melalui konservasi secara insitu dan
konservasi eksitu. Secara Insitu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan di
dalam habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk identifikasi, inventarisasi,
pemantauan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian
dan pengembangan (Dephutbun 1999a). Konservasi sengkubak secara insitu
dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan keberadaan hutan karet alam
campuran atau hutan tembawang yang selama ini telah dikelola oleh masyarakat
setempat, terutama etnis Dayak. Hal tersebut direkomendasikan karena hutanhutan tersebut merupakan habitat sengkubak. Di dalam hutan karet alam
campuran terdapat beragam spesies tumbuhan, selain pohon karet alam sebagai
komoditi utama, juga terdapat pohon-pohon penghasil buah (durian, rambutan,
cempedak, terap), jenis pohon yang dapat dimanfaatkan kayunya seperti keladan,
meranti, medang, ulin, beragam tumbuhan obat, spesies-spesies unik seperti
aneka Nephenthes, dan anggrek. Pengelolaan hutan karet alam campuran yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut, bukan hanya sengkubak yang lestari tapi
banyak spesies yang sudah diketahui nilai dan manfaatnya turut terlindungi dan
lestari dalam suatu komunitas hutan sekunder.
Konservasi eksitu merupakan upaya pengawetan spesies di luar kawasan
yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakan spesies tumbuhan dan
satwa liar. Kegiatan konservasi eksitu dilakukan untuk menghindari kepunahan
dari spesies tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar
habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan,
pengkajian, penelitian, pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis
tumbuhan dan satwa liar. Konservasi sengkubak secara eksitu dilakukan dengan
mengembangkan kegiatan budidaya di luar habitat alaminya. Karena dengan
membantu pelestarian di luar habitat alaminya, spesies ini dapat disediakan tidak
jauh dari lingkungan tempat tinggal masyarakat penggunanya. Dengan demikian
dapat memudahkan masyarakat untuk menggunakan bagi keperluan sehari-hari.

101
Pemanfaatan sengkubak dan kondisi habitat sengkubak yang masih tersisa,
diketahui bahwa sebagian besar sengkubak yang dimanfaatkan masih bersifat liar
dan masih langsung dipungut dari hutan. Semakin terbatasnya hutan yang masih
terdapat sengkubak, hal ini harus segera diimbangi dengan tindakan budidaya.
Tindakan budidaya sebaiknya sudah mulai diupayakan terhadap sengkubak, jika
masyarakat beserta Pemda Kabupaten Sintang mempunyai keinginan untuk
mengangkat dan mempertahankan keberadaan sengkubak sebagai salah satu
tumbuhan khas yang mempunyai nilai khusus di masyarakat. Selain itu tindakan
budidaya juga merupakan upaya untuk menjaga sumber plasma nutfah atau
genetik.
Konservasi eksitu dan insitu tidak dapat dilakukan oleh pemerintah tanpa
dukungan dan partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat dapat dimotivasi untuk
tetap mempertahankan pengelolaan hutan karet alam yang telah dilakukan dan
didorong untuk memperbanyak bibit sengkubak dan membudidayakan pula di
lingkungan sekitar tempat tinggal (di luar habitat alami). Adanya kecenderungan
penggantian pola perkebunan ke arah perkebunan kelapa sawit di Sintang,
masyarakat

harus

melakukan

perhitungan

yang

matang,

dengan

mempertimbangkan aspek pelestarian bagi banyak spesies yang dapat


dipertahankan (termasuk sengkubak).
c. Pemanfaatan Sengkubak Secara Lestari
Hampir setiap jenis eksploitasi sumber daya hutan tropis akan
mengakibatkan dampak ekologis. Besarnya dampak secara tepat tergantung pada
komposisi tumbuh-tumbuhan hutan, dan terutama pada spesies tertentu atau
sumber daya yang dieksploitasi. Dampak awal pemungutan sumber daya
tergantung pada jaringan tumbuhan tertentu yang dipungut. Pada Sengubak
bagian umum yang dipungut adalah bagian vegetatifnya yaitu daun.
Pemungutan dari struktur vegetatif menghasilkan salah satu dari dua
dampak. Spesies tumbuhan mungkin mati dalam proses itu, atau dalam beberapa
kasus tertentu, tumbuhan tersebut akan tetap hidup dan memudakan kembali
bagian yang dipungut itu (Peter 1994). Contoh skenario yang sudah terkenal
dampak yang pertama adalah rotan. Pemanfaatan yang dilakukan pada sengkubak

102
karena yang dipanen adalah bagian daun atau pucuk yang merupakan struktur
vegetatif, maka yang terjadi kemudian adalah permudaan kembali pada bagian
tersebut.

Jika

masyarakat

dalam

memanen

sengkubak

memperhatikan

kelangsungan pertumbuhannya, maka sesungguhnya pemanenan terhadap daun


sengkubak dengan batas-batas yang wajar tidak akan menyebabkan masalah yang
berarti.
d. Meningkatkan Pengetahuan dalam Pembudidayaan Sengkubak
Strategi konservasi sumber daya alam di era pelaksanaan otonomi daerah
saat ini, dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang berada di
sekitar kawasan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan
lingkungan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber
daya alam tersebut, hal tersebut dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan
dan pelatihan (Sudarmadji 2002).
Dalam hal pengelolaan kawasan hutan, masyarakat etnis Dayak khususnya
telah memiliki pengetahuan yang cukup baik. Namun dalam budidaya
sengkubak, etnis Dayak dan Melayu Sintang belum memiliki teknik budidaya
lokal yang dapat digunakan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya meningkatkan
pengetahuan masyarakat terutama terhadap pembudidayaan sengkubak.
5. Pengelolaan Hutan oleh Etnis Dayak
Pengelolaan hutan oleh masyarakat dayak merupakan suatu strategi
konservasi yang dapat dilestarikan. Mengapa etnis Dayak, karena etnis Melayu
saat ini lebih terkonsentrasi berada di pusat kota kabupaten atau kecamatan, etnis
Dayak pada komunitas tertentu saat ini masih intens mengelola hutan karet alam
campuran. Di samping diperoleh manfaat dari segi ekonomi yaitu hasil getah
karet (kulat), hutan-hutan sekunder yang dikelola oleh etnis Dayak tersebut juga
merupakan habitat sengkubak di Kabupaten Sintang. Sengkubak masih dapat
bertahan dan lestari karena memiliki pengelola yang jelas yaitu masyarakat
sekitar hutan.
Hutan merupakan bagian yang penting bagi sebagian kehidupan suku
Dayak pedalaman Sintang. Hutan adalah tempat dimana masyarakat memenuhi

103
kebutuhan sosialnya (ruang individu, keluarga dan masyarakat), kebutuhan
spiritualnya (tempat keramat, tempat pemakaman dan rumah ibadah), kebutuhan
ekonominya (hasil hutan, bahan baku dan kesempatan kerja) dan kebutuhan fisik
masyarakat (makanan, bahan bakar, obat-obatan dan alat).
Hutan merupakan sumber kebutuhan pokok dan ekonomi masyarakat, dari
hasil menoreh karet di hutan karet alam, setiap bulan setiap keluarga suku Dayak
Desa, Siberuang dan Sekujang Sintang dapat menghasilkan rata-rata 160 kg kulat
(getah karet) atau setara dengan Rp. 1.120.000. Sebagian kebutuhan hidup dapat
dipenuhi dengan mengelola hutan karet alam di samping kegiatan menanam padi
di ladang yang tetap dilakukan untuk kebutuhan pangan sehari-hari.
Masyarakat Dayak mempunyai pandangan perspektif yang berbeda
terhadap hutan. Hutan dianggap sebagai sebuah ruang yang pernah dihuni oleh
pendahulu/nenek moyang yang pengaruhnya terhadap hutan tersebut dapat
dilacak kembali. Masyarakat mempunyai aturan tersendiri dalam pengelolaan
hutan, ada sistem kepercayaan tradisional (norma, tabu, dan praktek tradisional
yang disepakati) yang mendukung nilai dan membimbing sistem pengelolaan
hutan yang dijalankan. Masyarakat memiliki pengetahuan yang luas terhadap
hutan yang dikelola, masyarakat pengelola sangat paham peranan masing-masing
pohon atau tumbuhan yang terdapat di dalam kawasan yang dikelola. Sebagai
contoh masyarakat mengerti jenis pohon kempas (Koompasia malaccensis)
sebagai tempat bersarangnya lebah, pohon kempelas (Tetracera macrophylla)
berguna sebagai bahan amplas tradisional, pohon rambai hutan (Sarcotheca
macrophylla) buahnya digunakan masyarakat sebagai pembersih kuku.
Adanya pemahaman terhadap kegunaan dari masing-masing komponen
yang terdapat dalam hutan yang dikelola, hal tersebut membuat masyarakat
sangat mengerti bagaimana memperlakukan hutan yang dikelola. Tindakan yang
diambil dalam pengelolaan hutan didasarkan atas pengetahuan dan pemahaman
yang mendalam terhadap masing-masing komponen hutan. Keunggulan lain dari
teknologi asli masyarakat Dayak dalam pengelolaan sumber daya alam (hutan)
adalah adanya pola-pola pemanfaatan yang tergantung pada banyak sumber, baik
kayu maupun non kayu sehingga tidak menimbulkan tekanan pada salah satu
spesies tertentu (Moniaga dalam Florus et al. 1994).

104

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

1. Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] saat ini masih digunakan


oleh sebagian masyarakat Dayak dan Melayu Sintang sebagai penyedap alami.
Pengetahuan mengenai manfaat sengkubak untuk keperluan penyedap rasa,
pengobatan, nilai magis dan pengetahuan terhadap bagian-bagian yang dapat
digunakan (daun, batang, buah), serta pengetahuan cara mengolah sengkubak
sebagai penyedap rasa (diremas, diiris, ditumbuk) adalah berbeda antara etnis
Dayak dan Melayu Sintang. Berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
asal etnis,jarak tempat tinggal pengguna sengkubak dengan tempat hidupnya
sengkubak tidak berbeda antara Dayak dan Melayu dalam hal seringnya
menggunakan daun sengkubak sebagai penyedap rasa, namun berbeda
berdasarkan kelompok umur (15-54 tahun dan > 54 tahun). Pengetahuan
penggunaan sengkubak telah berkurang terutama di kalangan generasi muda
etnis Dayak dan Melayu Sintang.
2. Kondisi populasi sengkubak (P. cauliflora) pada hutan sekunder di Kabupaten
Sintang adalah memiliki kerapatan 14 ind/ha, dapat ditemukan pada
ketinggian 50-150 m dpl, cenderung menyebar secara berkelompok,
berasosiasi positif dengan Hevea brasilliensis dan Syzygium zeylanicum untuk
tingkat pohon, dengan Hopea dryobalanoides dan Palaquium rostratum
(tingkat tiang). Implikasi konservasinya adalah meningkatkan nilai sengkubak
dan melakukan konservasi sengkubak secara insitu dan eksitu. Secara insitu
dengan mempertahankan keberadaan hutan-hutan tembawang atau hutan karet
alam campuran yang dikelola oleh masyarakat dengan melakukan kemitraan
antara masyarakat, pemerintah, dan stakeholder lain (Lembaga Swadaya
Masyarakat, perguruan tinggi). Secara eksitu dengan mengembangkan
budidayanya di luar habitat alaminya. Memberdayakan masyarakat sekitar
hutan dalam pembudidayaannya dan melakukan pemanfaatan yang lestari
terhadap sengkubak.

B. Saran

1. Perlu dilakukan peningkatan pemahaman arti pentingnya dan manfaat


pelestarian sengkubak (P.cauliflora) terutama di kalangan generasi muda di
Kabupaten Sintang.
2. Perlu dilakukan penelitian aspek budidaya sengkubak untuk menghasilkan
bibit yang banyak dan berkualitas untuk kepentingan konservasi dan
pemanfaatan oleh masyarakat.
3. Perlu dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan bioaktif sengkubak
untuk meningkatkan nilai atau pemanfaatan lainnya.

106

DAFTAR PUSTAKA

Abaouchacra ML, M Leboeuf, H Guinaudeau, A Cave and P Cabalion. 1987. The


Bisbenzylisoquinoline Alkaloids of Pycnarrhena ozantha. Natural Product
50:375-380.
Anonim. 2007. Philippine Medicinal Plants: ambal (Pycnarrhena manillensis
Vidal). www. stuartxchange.org/ambal.html-similar pages. [4 April 2007].
Anonim. 2007. The Ethnobotanical Garden. Htttp://www.forestry.sarawak.gov.
mu/forweb/research/frc/faciliti/ethnougdn.htm. [2 Mei 2007]
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang. 2006. Kabupaten Sintang Dalam
Angka. Sintang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang.
Backer CA and BVD Brink. 1963. Flora of Java 1. Netherlands: N.V.P.
Noordhoft Groningen.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Strategi dan
Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Bruenig EF. 1995. Conservation and Management of Tropical Rainforest : An
Integrated Approach to Sustainability. CAB International.
Caniago I and SF Siebert. 1998. Medical plant ecology, knowledge and
conservation in Kalimantan, Indonesia. Economic Botany 52(3):229-50 Jl/S.
Cotton CM. 1996. Ethnobotany Principles and Apllications. England: Wiley.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999a. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999b. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Jakarta.
Ekawaty R. 2001. Status Konservasi Rafflesia Arnoldi R. Br. Di Gunung Sago
Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

107
Fitter AH dan RKM Hay. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman. S Andini,
penerjemah; B Srigandono, editor. Yogyakarta:Gadjah Mada University Pres.
Florus P, S Djuweng, J Bamba dan N Andasputra.. 1994. Kebudayaan Dayak:
Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: Grasindo.
Gailea R. 2005. Identifikasi Pemanfaatan Dan Pengembangan Tumbuhan Obat Di
Sekitar Taman Nasional Lore Lindu. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Gardner FP, RB Pearce dan RL Mitchell. 1991. Fisilogi Tanaman Budidaya.
Universitas Indonesia. UI- Press. Jakarta.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (I-IV). Penerjemah; Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta:
Yayasan Sarana Wana Jaya.
Hendra M. 2002. Pemanfaatan Tumbuhan Buah-buahan dan Sayuran Liar Oleh
Suku Dayak Kenyah Kalimantan Timur. [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Heriyanto NM. 2004. Suksesi Hutan Bekas Tebangan Di Kelompok Hutan Sungai
Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam 1:175-191.
Hoe VB and KH Siong. 1999. The Nutrition Value of Indigenous Fruit and
Vegetables in Serawak. Clinical Nutrition 8:24-31. www.blackwellsynergy.com [4 April 2007].
Kartikawati SM. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan Oleh Masyarakat
Dayak Meratus Di Kawasan Hutan Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Kissinger. 2002. Keanekaragama Jenis Tumbuhan Struktur Tegakan, Dan Pola
Sebaran Spasial Beberapa Spesies Pohon Tertentu Di Hutan Kerangas. [tesis].
Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kusmana C. 1989. Phitososiologi Hutan Hujan Pegunungan Gunung Gede
Pangrango, Jawa Barat. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan.
Kusmana C dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan
Fakuoltas Kehutanan IPB. Bogor.
Kwatrina RT dan BS Antoko. 2006. Potensi dan keragaman jenis flora pada
kawasan wisata alam di Granit Training Center Taman Nasional Bukit
TigaPuluh Riau. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 3: 513-532.

108
Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. Second Edition. Canada: AddisonWelsey Educational Publishers.
Loder J and R Neam. 1972. Tumour Inhibitory Plants: Two New Bisbenzylisoguinoline Alkaloid From Pycnarrhena ozantha (Menisperma-ceae). Chemistry
25(10):2193-2197. [2 Maret 2007].
Ludwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and
computing. New York: A Wiley-Interscience.
MacKinnon J, K MacKinnon, G Child dan J Thorsell. 1986. Pengelolaan
Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. penerjemah: Harry Harsono
Amir. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Pr.
MacKinnon K, G Hatta, H Halim dan A Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan.
Editor: Kartikasari SN. Jakarta: Prenhallindo.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom
Helm.
Maheswari JK. 1988. Ethnobotanical research and documentation. Symb. Bot.
Usp. 28(3):207-217. Univ. Uppsala.
Martin GJ. 1998. Etnobotani. Sebuah Manual Pemuliharaan Manusia dan
Tumbuhan. Edisi Bahasa Malaysia. Sabah: Natural History Publications
(Borneo).
Nasution S. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Ndero G dan R Thijssen. 2004. Studi Etnobotani: Menemukan Jenis-jenis
Tanaman Potensial. Tropical Ethnobiology 1:8-9. www.leisa.info [5 April
2007].
Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada
Univ. Pr.
Purwanto Y, EB Waluyo dan JJ Afriastini. 2005. Keanekaragaman jenis hasil
hutan bukan kayu di Plot Permanen di sungai Tapah, Jambi. Tropical
Ethnobiology 2:88-110.
Purwanto Y dan EB Waluyo. 1992. Etnobotani Suku Dani di Lembah Baliem :
Tinjauan terhadap Pengetahuan dan Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan. Di
Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani I. Cisarua,
Bogor.
Peter CM. 1994. Pemungutan Secara Lestari Sumber Daya Tumbuhan Non Kayu
Dalam Hutan Tropika Basah: Suatu Pengantar Ekologi. (Terjemahan Arman,
S.). Institut of Ekonomi Botany. Biodiversity Support Program. New York.

109

Primack RB, J Supriatna, JM Indrawan dan P Kramadibrata. 1998. Biologi


Konservasi. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.
Rosalina U. 1996. Analisis Populasi dan Penyebaran Keanekaragaman Flora.
Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian.
Institut Pertanian. Bogor.
Soekarman dan S Riswan. 1992. Status pengetahuan etnobotani di Indonesia. Di
dalam Prosiding Seminar Dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Departemen Pertanian RI,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional RI. Bogor.
Soerianegara I dan A Indrawan. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitaf. Surabaya:Usaha Nasional.
Subagyo PJ. 1991. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Cetakan Kedua.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sudarsono NSB dan EB Waluyo. Pengelolaan Data Etnobotani. Di Dalam
Prosiding Seminar Dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Departemen Pertanian RI,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional RI. Bogor.
Sudarmadji. 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Dalam. Ilmu Dasar 3:50-55.
Uluk A, M Sudana dan E Wollenberg. 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak
Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. CIFOR
(Center for International Forestry Research). Bogor.
Verpoorte, R. TA Van Beek. H Siwon. AB Svendsen. 1982. Studies on
Indonesian medical plants: Screening of some Indonesian Menispermaceae for
alkaloid. Pharmacy World & Science Vol 4. Springer Netherland.
Wilson EO. 1992. The Strategy for Biodiversity Concervation. Dalam: Global
Biodiversity Strategy (WRI, IUCN,UNEP). pp. 19-36.
[UNEP] United Nations Environment Programme.1992. Strategi Keanekaragaman
Hayati Global. WRI. Washington.
Zuhud EAM dan Haryanto. 1991. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari
Hutan tropis Indonesia (Prosiding). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

110

Abaouchacra ML at al. 1987.


The Bisbenzylisoquinoline Alkaloids of
Pycnarrhena ozantha. Natural Product 50:375-380.
Anonim. 2007. Philippine Medicinal Plants: ambal (Pycnarrhena manillensis
Vidal). www. stuartxchange.org/ambal.html-similar pages. [4 April 2007].
[BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Sintang. 2005. Kabupaten Sintang Dalam
Angka. Sintang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang.
Backer CA. dan BVD Brink. 1963. Flora of Java. Vol.I. Netherlands: N.V.P.
Noordhoft Groningen.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Strategi dan
Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Cotton, C. M. 1996. Ethnobotany Principles and Apllications. England: Wiley.
Cropper, S.C. 1993. Management of Endangered Plants. Melbaourne:CSIRO
Publications..
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999a. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999b. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Jakarta.
Ekawaty, Reni. 2001. Status Konservasi Rafflesia Arnoldi R. Br. Di Gunung Sago
Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

111
Gailea, R. 2005. Identifikasi Pemanfaatan Dan Pengembangan Tumbuhan Obat Di
Sekitar Taman Nasional Lore Lindu. [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Given, D.R. 1994. Principles And Practice of Plant Concervation Timber Press
Inc. Portland Oregon.
Hendra M. 2002. Pemanfaatan Tumbuhan Buah-buahan dan Sayuran Liar Oleh
Suku Dayak Kenyah Kalimantan Timur. [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kartikawati, S.M. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan Oleh Masyarakat
Dayak Meratus Di Kawasan Hutan Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Krebs, C.J. 1978. Ecology: The experimental analysis of distribution and
abundance. Second Edition. New York: Harper and Row Publishers.
Loder J, and R. Neam.
1972. Tumour Inhibitory Plants: Two New
Bisbenzylisoguinoline Alkaloid From Pycnarrhena ozantha (Menispermaceae). Chemistry 25(10):2193-2197. http://www.publish. csiro.au/paper/
CH9722193.htm [2 Maret 2007].
Ludwig J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods
and computing. New York: A Wiley-Interscience.
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom
Helm Limited.
Maheswari, JK. 1988. Ethnobotanical research and documentation. Symb. Bot.
Usp. 28(3):207-217. Univ. Uppsala.
Martin, G.J. 1998. Etnobotani. Sebuah Manual Pemuliharaan Manusia dan
Tumbuhan. Edisi Bahasa Malaysia. Sabah: Natural History Publications
(Borneo).
MacKinnon, J.,K. MacKinnon, G. Child, J. Thorsell. 1993. Pengelolaan kawasan
yang dilindungi di daerah tropika. Alih bahasa: Harry Harsono Amir.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Noerdjito, M., dan dkk. 2005. Kriteria Jenis Hayati Yang Harus Dilindungi Oleh
Dan Untuk Masyarakat Indonesia. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia dan World Agroforestry Centre-ICRAF. Bogor.
Nugraha A, M. 2005. Antropologi Kehutanan. Tanggerang: Wana Aksara.

112
Purwanto, Y. dan E.B. Waluyo. 1992. Etnobotani Suku Dani di Lembah Baliem :
Tinjauan terhadap Pengetahuan dan Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani I. Cisarua, Bogor.
Primack R.B., J., Supriatna, J., M., Indrawan, dan P., Kramadibrata. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.
Singarimbun M, dan S., Effendie. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S.
Soekarman dan S. Riswan. 1992. Status Pengetahuan Etnobotani Di Indonesia.
Prosiding Seminar Dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Departemen Pertanian
RI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional RI.
Bogor.
Soerianegara, I dan A. Indrawan. 1985. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan
Komunitas. Usaha Nasional. Surabaya.
Sudarsono NSB dan EB Waluyo. Pengelolaan Data Etnobotani.dalam Prosiding
Seminar Dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia, Departemen Pertanian RI, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional RI. Bogor.
Sudarmadji. 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi
Daerah. Dalam: Jurnal Ilmu Dasar Vol.3 No. 1.pp.50-55.
Uluk, A., M., Sudana, dan E., Wollenberg. 2001. Ketergantungan Masyarakat
Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang.
CIFOR (Center for International Forestry Research). Bogor.
Wilson, E.O. 1992. The Strategy for Biodiversity Concervation. Dalam: Global
Biodiversity Strategy (WRI, IUCN,UNEP). pp. 19-36.
Wong, J.L.G., K., Thornber, dan N., Baker. 2001. Resource Assessment of NonWood Forest Products. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Rome.
[UNEP] United Nations Environment Programme.1992. Strategi Keanekaragaman
Hayati Global. WRI. Washington.
Whitmore, T.C., dan J.A., Sayer. 1992. Tropical Deforestation and Species
Extinction, London: Chapman and Hall.
Zuhud, E.A.M., dan Haryanto. 1991. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat
dari Hutan tropis Indonesia (Prosiding). Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lampiran 1. Daftar nama responden sengkubak di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat


Umur (th)

Asal suku

Jenis kelamin

Pekerjaan

Tingkat
Pendidikan

1 Rostina

30

Dayak Siberuang

Tani

2 Mita

35

Dayak Siberuang

3 Libu

42

Dayak Siberuang

4 Murni

56

5 Dayang Utami

No. Nama Responden

Alamat

Agama
Protestan

Manfaat
yg diketahui
penyedap rasa

Bagian yg
dimanfaatkan
daun

Mendapatkan
sengkubak
mengambil
di hutan

SD

Dusun Tawang Sari SP V


Desa Sirang Setambang
Kec. Sepauk

Tani

SD

Dusun Sei Nyilu (Kantuk)


Desa Paoh Benua
Kec. Sepauk
Dusun Sei Nyilu (Kantuk)
Desa Paoh Benua
Kec. Sepauk
Desa Tanjung Ria
Kec. Sepauk

Protestan

penyedap rasa

daun

mengambil
dihutan

Tani

tdk sekolah

Protestan

penyedap rasa
penangkal

daun

mengambil
di hutan

Dayak Siberuang

Pensiun guru/
tani

SPGc

Protestan

penyedap rasa

daun

memesan
dengan orang

62

Melayu

RT

SMP

Jl. Lintas Melawi No. 1


Kec. Sintang

Islam

penyedap rasa

daun

memesan
dengan orang

6 Abang Maslip B.

67

Melayu

Pensiun guru/
tani

SMP

Jl. YC. Oevang Oeray


Gg. Aneka 3 No. 6 Sintang

Islam

daun

mengambil
di hutan

Tani

tdk sekolah

Jl. YC. Oevang Oeray


Gg. Gama Jaya Sintang

Islam

daun
batang

mengambil
di hutan

Melayu

Tani

SD

Jl. Sintang Putussibau,


Akcaya Sintang

Islam

penyedap rasa
untuk jimat`/
penangkal
penyedap rasa
untuk obat
untuk penangkal
penyedap rasa
untuk obat

7 Halidjah

70

Melayu

8 Dayang Zaitun

62

daun

mengambil
di hutan

9 Bajung

42

Dayak Desa

Tani

SMP

Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

10 Intana

60

Dayak Desa

Tani

tdk sekolah

Protestan

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

11 Kumba

70

Dayak Desa

Tani

SD

Protestan

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

12 Hermanus bintang

53

Dayak Desa

Tani

SD

Protestan

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

13 Mad Amin

73

Melayu

Dukun

tdk sekolah

Dusun Ensaid
Desa Ensaid Panjang,
Kec. Kelam Permai
Dusun Najak
Desa Merpak
Kec. Kelam Permai
Dusun Najak
Desa Merpak
Kec. Kelam Permai
Dusun Ensaid
Desa Ensaid Panjang,
Kec. Kelam Permai
Jl. YC. Oevang Oeray
Gg. Gama Jaya Sintang

Islam

penyedap rasa
untuk obat

daun

mengambil
di hutan

14 Ukin

80

Dayak Siberuang

Tani

tdk sekolah

Protestan

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

15 Damai

38

Dayak Siberuang

Tani

SMP

Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil

Dusun Suak
Desa Manis Raya
Kec. Sepauk
Dusun Suak

16 Tayang

40

Dayak Siberuang

Tani

SD

Desa Manis Raya


Kec. Sepauk
Dusun Suak
Desa Manis Raya
Kec. Sepauk

di hutan
Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

Alamat

Agama

Dusun Setambang
Desa Sirang Setambang
Kec. Sepauk
Dusun Setambang
Desa Sirang Setambang
Kec. Sepauk
Dusun Setambang
Desa Sirang Setambang
Kec. Sepauk
Dusun Medang
Desa Harapan Jaya
Kec. Dedai
Dusun Medang
Desa Harapan Jaya
Kec. Dedai
Jl. Kartini Kampung Alai
Sintang

Katolik

Manfaat
yg diketahui
penyedap rasa
"buntat"/teras

Bagian yg
dimanfaatkan
daun
buah (teras)

Mendapatkan
sengkubak
mengambil
di hutan

Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

Islam

penyedap rasa
untuk obat

daun

mengambil
di hutan

Lampiran 1 Lanjutan (Daftar Nama Responden Sengkubak di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat)
No. Nama Responden

Umur (th)

Asal suku

Jenis kelamin

Pekerjaan Tingkat Pendidika

17 Skadok

55

Dayak Sekujang

ani (Ketua ada

SD

18 Saminah

50

Dayak sekujang

Tani

SD

19 Julong

43

Dayak Sekujang

Tani

SMP

20 Suryati

43

Dayak Desa

Tani

SMP

21 Yuliana

27

Dayak Desa

Swasta

SMP

22 Koni

60

Melayu

Mantri

SPK

23 Yusharlina

36

Melayu

RT

SMA

Jl. YC. Oevang Oeray


Gg. Aneka 3 No. 6 Sintang

Islam

penyedap rasa
untuk obat

daun

mengambil
di hutan

24 Usman

40

Melayu

Tani

SMP

Kampung Masukan darat


Sintang

Islam

penyedap rasa
untuk obat

daun

mengambil
di hutan

25 Machmud Effendi

64

Melayu

Pensiun TNI

SMP

Islam

penyedap rasa
untuk obat

daun

mengambil
di hutan

26 Atong

46

Dayak desa

Pedagang

SMP

Katolik

mengambil
di hutan

32

Dayak Siberuang

Tani

SMP

Katolik

penyedap rasa
jimat penawar
"buntat"
penyedap rasa

daun
buah (teras)

27 Moses

daun

mengambil
di hutan

28 Singki

42

Dayak Siberuang

Tani

SD

Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

29 Began

52

Dayak Desa

Tani

SD

Katolik

penyedap rasa
jimat penawar

daun
buah (teras)

mengambil
di hutan

30 Lau

68

Dayak Siberuang

Tani

tidak sekolah

Jl. Teuku Umar Gg. Jambu


Air Kampung Alai
Kec. Sintang
Dusun Medang
Desa Harapan Jaya
Kec. Dedai
Dusun Suak (SP I)
Desa Manis Raya
Kec. Sepauk
Dusun Sei Nyilu (Kantuk)
Desa Paoh Benua
Kec. Sepauk
Dusun Medang
Desa Harapan Jaya
Kec. Dedai
Dusun Sei Nyilu (Kantuk)
Desa Paoh Benua
Kec. Sepauk

Katolik

penyedap rasa

daun

mengambil
di hutan

Lampiran 2. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Nama Lokal
Cempedak
Pelok kelik
Karet
Kepuak
Kayu asam
Kumpang
Jambu Belanda
Ketikal
Jengkol
Medang
Ubah
Kayu ara
Mulik asuk
Puduk
Mawang
Mentawak
Gerantung

Nama Indonesia

Famili

Cempedak
Karet
Terap
Peredah burung
Jambu bol
Petaling

Moraceae
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Sapindaceae
Myristicaceae
Myrtaceae
Olacaceae

Jengkol

Fabaceae

Medang
Kelat
Beringin
Sendok-sendok
Puduk
Kulim
Keledang
-

Lauraceae
Myrtaceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Olacaceae
Moraceae
Fabaceae

Nama Ilmiah
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Nephelium ramboutan-ake (Labill.) Leenh.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Artocarpus elasticus Reiwn.
Nephelium laurinum BI.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Syzigium sp.
Ochanostachys amentancea Mast.
Pithecellobium jiringa Pram.
Litsea elliptica Blume
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Ficus spp.
Endospermum malacensis
Artocarpus kemando Miq.
Scorodacarpus borneensis Becc.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.

K
(ind/ha)

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

12
1
30
6
2
8
1
3
3
10
5
2
2
1
1
1
2

13,33
1,11
33,33
6,67
2,22
8,89
1,11
3,33
3,33
11,11
5,56
2,22
2,22
1,11
1,11
1,11
2,22

0,44
0,04
0,72
0,24
0,08
0,24
0,04
0,12
0,12
0,36
0,20
0,08
0,08
0,04
0,04
0,04
0,08

14,86
1,35
24,32
8,11
2,70
8,11
1,35
4,05
4,05
12,16
6,76
2,70
2,70
1,35
1,35
1,35
2,70

1,33
0,20
3,48
0,79
0,13
1,09
0,09
0,43
0,28
1,42
0,37
1,40
0,22
0,05
0,16
0,16
0,37

11,10
1,67
29,04
6,61
1,12
9,12
0,77
3,62
2,31
11,90
3,09
11,70
1,80
0,45
1,30
1,34
3,07

39,29
4,13
86,70
21,38
6,04
26,11
3,23
11,01
9,70
35,17
15,40
16,62
6,72
2,91
3,76
3,80
8,00

90

100

2,96

100,00

11,97

100,00

300,00

Lampiran 3. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan karet alam campuran I Dusun Suak, Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Nama Lokal
Karet
Mentawak
Leban
Selangking dada
Kepuak
Sengkajang
Kedadak
Pelaik pipit
Meniran
Entibab
Purang
Medang
Puduk
Pelaik bukit
Merhubong
Raba
Nyatuh
Jengkol
Cempedak
Kumpang
Sumpit
Keladan
Kempili

Nama Indonesia
Karet
Keledang
Laban
Tampang
Terap
Pulai pipit
Mahang
Medang
Puduk
Pulai
Mengkubang
Nyatoh terung
Jengkol
Cempedak
Peredah burung
Anyang-anyang
Keladan
Pasang

Famili
Euphorbiaceae
Moraceae
Verbenaceae
Moraceae
Moraceae
Anonaceae
Myristicaceae
Apocynaceae
Rubiaceae
Dipterocarpaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Moraceae
Apocynaceae
Euphorbiaceae
Anacardiaceae
Sapotaceae
Fabaceae
Moraceae
Myristicaceae
Elaeocarpaceae
Dipterocarpaceae
Fagaceae

Nama Ilmiah
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Vitex pubescens
Artocarpus dadah Miq.
Artocarpus elasticus Reinw.
Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
Myristica villosa
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Lasianthus sp.
Dryobalanops fuscas
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Litsea elliptica Blume
Artocarpus kemando Miq.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
Macaranga gigantea Muell.
Mangifera havilandii
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Pithecellobium jiringa Pram.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Elaeocarpus griffithii (Wight.) A. Gray
Hopea dryobalanoides Miq.
Quercus Sp.

K
(ind/ha)

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

31
7
3
4
11
4
1
11
2
1
1
2
1
6
3
1
1
1
5
1
1
2
1

30,69
6,93
2,97
3,96
10,89
3,96
0,99
10,89
1,98
0,99
0,99
1,98
0,99
5,94
2,97
0,99
0,99
0,99
4,95
0,99
0,99
1,98
0,99

0,84
0,28
0,08
0,16
0,32
0,16
0,04
0,40
0,04
0,04
0,04
0,08
0,04
0,20
0,12
0,04
0,04
0,04
0,12
0,04
0,04
0,08
0,04

25,61
8,54
2,44
4,88
9,76
4,88
1,22
12,20
1,22
1,22
1,22
2,44
1,22
6,10
3,66
1,22
1,22
1,22
3,66
1,22
1,22
2,44
1,22

2,81
0,65
0,14
0,22
1,19
0,24
0,11
0,89
0,12
0,04
0,04
0,08
0,05
0,53
0,26
0,04
0,08
0,09
0,43
0,08
0,07
0,04
0,04

34,15
7,86
1,64
2,65
14,50
2,93
1,36
10,77
1,48
0,49
0,51
0,97
0,62
6,40
3,21
0,44
0,94
1,12
5,17
0,97
0,88
0,43
0,51

90,45
23,33
7,05
11,49
35,15
11,77
3,57
33,85
4,68
2,70
2,72
5,39
2,83
18,44
9,84
2,65
3,15
3,33
13,78
3,18
3,09
4,85
2,72

101

100,00

3,28

100,00

8,22

100,00

300,00

Lampiran 4. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Nama Lokal
Keladan
Ubah
Nyatuh
Pakit
Ubah merah
Ubah putih
Medang
Kempenat
Tajar
Pelaik bukit
Mulan
Titidan
Karet
Pelaik pipit
Puduk
Ketikal
Mentawak
Kempili
Nyatu ensik
Upik
Keretali
Belengkiang
Jangau
Medang bulai
Purang
Kepuak
Jengkol
Cempedak
Perigi
Engkerbang
Tengkawang
Leban

Nama Indonesia
Keladan
Kelat
Nyatoh terung
Meranti
Kelat
Medang
Pulai
Karet
Pulai pipit
Puduk
Petaling
Keledang
Pasang
Nyatoh
Jirak
Jirak
Kayu gambir
Mahang
Terap
Jengkol
Cempedak
Jirak
Tengkawang
Laban

Famili
Dipterocarpaceae
Myrtaceae
Sapotaceae
Dipterocarpaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Lauraceae
Alangiaceae
Sapindaceae
Apocynaceae
Rubiaceae
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Apocynaceae
Moraceae
Olacaceae
Moraceae
Fagaceae
Sapotaceae
Anacardiaceae
Euphorbiaceae
Symplocaceae
Symplocaceae
Ulmaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Fabaceae
Moraceae
Theaceae
Rubiaceae
Dipterocarpaceae
Verbenaceae

Nama Ilmiah
Hopea dryobalanoides Miq.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Shorea sp.
Eugenia acuntangula Schum.
Syzygium sp.
Litsea elliptica Blume
Alangium salviniolium (L.f.) Wangerin
Nephelium cuspidatum BI.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
Lasianthus reticulatus BI.
Nephelium cuspidatum BI. Var.eriopetalum
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Artocarpus kemando Miq.
Ochanostachys amentancea Mast.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Quercus Sp.
Palaquium sericeum H.J. Lam
Parishia insignis Hook. f.
Macaranga javanica Hk. f
Symplocos sp.
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Gironniera subaequalis Planch.
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Artocarpus elasticus Reinw.
Pithecellobium jiringa Pram.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Eurya nitida Khs.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Shorea stenoptera Burck.
Vitex pubescens

K
(ind/ha)

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

5
7
4
2
1
3
9
1
1
3
1
4
25
2
3
1
2
4
2
1
2
1
4
2
2
3
1
1
1
2
1
1

4,90
6,86
3,92
1,96
0,98
2,94
8,82
0,98
0,98
2,94
0,98
3,92
24,51
1,96
2,94
0,98
1,96
3,92
1,96
0,98
1,96
0,98
3,92
1,96
1,96
2,94
0,98
0,98
0,98
1,96
0,98
0,98

0,16
0,28
0,16
0,04
0,04
0,12
0,28
0,04
0,04
0,12
0,04
0,12
0,52
0,08
0,12
0,04
0,08
0,16
0,08
0,04
0,08
0,04
0,12
0,08
0,08
0,12
0,04
0,04
0,04
0,08
0,04
0,04

4,76
8,33
4,76
1,19
1,19
3,57
8,33
1,19
1,19
3,57
1,19
3,57
15,48
2,38
3,57
1,19
2,38
4,76
2,38
1,19
2,38
1,19
3,57
2,38
2,38
3,57
1,19
1,19
1,19
2,38
1,19
1,19

1,36
0,80
0,38
0,13
0,06
0,17
0,63
0,43
0,12
0,21
0,07
0,19
1,53
0,25
0,23
0,09
0,10
0,68
0,22
0,05
0,12
0,03
0,29
0,19
0,15
0,30
0,17
0,15
0,09
0,10
0,25
0,04

14,23
8,37
3,99
1,33
0,61
1,81
6,62
4,50
1,23
2,16
0,70
2,02
15,95
2,63
2,44
0,92
0,99
7,05
2,32
0,50
1,26
0,33
3,04
1,96
1,52
3,15
1,78
1,60
0,97
1,00
2,58
0,45

23,90
23,56
12,67
4,48
2,78
8,32
23,77
6,67
3,40
8,67
2,87
9,52
55,94
6,97
8,95
3,09
5,33
15,74
6,66
2,67
5,60
2,50
10,53
6,30
5,87
9,66
3,96
3,77
3,14
5,34
4,75
2,62

102

100,00

3,36

100,00

9,58

100,00

300,00

Lampiran 5. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Nama Lokal
Petai
Piling
Menyatuk Babi
Kelampai
Berangan Badak
Merkubong
Ingit
Kumpang
Ranjing
Bejantang
Cempedak
Pingan
Salak hutan
Ubah
Medang
Liur Unoi
Kayu asam
Kiara timun
Pensik
Ran
Ketugan
Kemulan
Temulan
Pejatai
Mentawak
Kempili
Ramuas
Kedang
Labang
Menteli
Entangor
Tekam
Keladan

Nama Indonesia

Famili

Nama Ilmiah

Petai

Fabaceae

Nyatoh
Tapos
Balau

Fagaceae
Sapotaceae
Euphorbiaceae
Rosaceae

Parkia speciosa Hassk.


Lithocarpus dasystachyus
Palaquium xanthophymum Piare
Eleteriospermum tapos Blume
Parinarium sp.

Mengkubang

Euphorbiaceae

Macaranga gigantea Muell.

Putat
Peredah burung
Cempedak
Kosar
Kelat
Medang
Kayu bulan
Pasang
Selampan taon
Miri
Pejatai
Terap
Pasang
Dulang-dulang
Setambun
Bintangur
Meranti
Keladan

Lecythidaceae
Myristicaceae
Rubiaceae
Sapindaceae
Moraceae
Moraceae
Burseraceae
Myrtaceae
Lauraceae
Lecythidaceae
Sapindaceae
Moraceae
Anonaceae
Sapindaceae
Fagaceae
Myristicaceae
Meliaceae
Moraceae
Moraceae
Fagaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Rosaceae
Clusiaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae

Barringtonia sp.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Anthocephalus cadamba Miq.
Pometia pinnata Forst.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Artocarpus rigidus BI.
Dacryodes rugosa (Blume) H.J. Lam.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Litsea elliptica Blume
Barringtonia reticulata (BI.) Miq.
Nephelium laurinum BI.
Ficus aurata Miq.
Polyalthia glauca
Lepisanthes divaricata
Quercus blumeana Korth.
Knema hookeriana Warb.
Xylocarpus granatum Koen
Paratocarpus venenosus
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Quercus sp.
Glochidion obscurum Hook.
Beccaurea parviflora
Chaetocarpus castanocarpus Thw.
Prunus arborea (BI.) Kalkman
Calophyllum soulatri Burm. f.
Hopea sp.
Hopea dryobalanoides Miq.

K
(ind/ha)

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

12
1
2
34
3
5
1
1
2
2
6
2
1
8
8
1
1
1
1
1
1
1
5
1
7
3
1
2
1
3
3
3
3

9,45
0,79
1,57
26,77
2,36
3,94
0,79
0,79
1,57
1,57
4,72
1,57
0,79
6,30
6,30
0,79
0,79
0,79
0,79
0,79
0,79
0,79
3,94
0,79
5,51
2,36
0,79
1,57
0,79
2,36
2,36
2,36
2,36

0,36
0,04
0,08
0,80
0,08
0,12
0,04
0,04
0,08
0,08
0,24
0,08
0,04
0,24
0,24
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,12
0,04
0,24
0,12
0,04
0,04
0,04
0,12
0,12
0,12
0,12

9,09
1,01
2,02
20,20
2,02
3,03
1,01
1,01
2,02
2,02
6,06
2,02
1,01
6,06
6,06
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
3,03
1,01
6,06
3,03
1,01
1,01
1,01
3,03
3,03
3,03
3,03

2,55
0,03
0,21
3,24
0,85
0,40
0,03
0,08
0,22
0,18
0,69
0,16
0,11
0,46
2,38
0,04
0,05
0,57
0,05
0,20
0,22
0,13
0,24
0,28
1,03
0,26
0,08
0,23
0,11
0,17
0,26
0,50
0,31

15,63
0,20
1,30
19,82
5,23
2,47
0,21
0,51
1,36
1,10
4,22
1,00
0,69
2,79
14,56
0,21
0,28
3,47
0,32
1,24
1,33
0,77
1,44
1,73
6,33
1,60
0,48
1,38
0,69
1,02
1,62
3,07
1,92

34,17
2,00
4,90
66,79
9,61
9,44
2,01
2,31
4,95
4,70
15,01
4,60
2,49
15,15
26,92
2,01
2,08
5,27
2,12
3,03
3,13
2,57
8,41
3,52
17,90
7,00
2,27
3,96
2,49
6,41
7,01
8,47
7,31

127

100,00

3,96

100,00

16,34

100,00

300,00

Lampiran 6. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Nama Lokal
Kumpang
Karet
Sengkajang
Sumpit
Medang
Puduk
Gerantung
Pelaik pipit
Cempedak
Kayu asam
Selangking dada
Ubah
Bidau
Pelok kelik
Upik
Sabar bubu
Mentawak
Jengkol

Nama Indonesia
Peredah burung
Karet
Anyang-anyang
Medang
Puduk
Pulai pipit
Cempedak
Tampang
Kelat
Melinjo
Keledang
Jengkol

Famili
Myristicaceae
Euphorbiaceae
Anonaceae
Elaeocarpaceae
Lauraceae
Moraceae
Fabaceae
Apocynaceae
Moraceae
Sapindaceae
Moraceae
Myrtaceae
Gnetaceae
Sapindaceae
Anacardiaceae
Rubiaceae
Moraceae
Fabaceae

Nama Ilmiah
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
Elaeocarpus griffithii (Wight.) A. Gray
Litsea elliptica Blume
Artocarpus kemando MIQ
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Nephelium laurinum BI.
Artocarpus dadah Miq.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.
Nephelium ramboutan-ake (Labill.) Leenh.
Parishia insignis Hook. f.
Gaertnera vaginans (DC.) Merr.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Pithecellobium jiringa Pram.

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

32
136
4
8
32
8
24
16
16
12
8
20
12
4
4
4
4
4

9,20
39,08
1,15
2,30
9,20
2,30
6,90
4,60
4,60
3,45
2,30
5,75
3,45
1,15
1,15
1,15
1,15
1,15

0,28
0,68
0,04
0,08
0,32
0,08
0,24
0,16
0,16
0,12
0,08
0,20
0,12
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04

10,14
24,64
1,45
2,90
11,59
2,90
8,70
5,80
5,80
4,35
2,90
7,25
4,35
1,45
1,45
1,45
1,45
1,45

0,46
1,99
0,09
0,15
0,47
0,14
0,51
0,30
0,27
0,28
0,17
0,39
0,26
0,05
0,08
0,07
0,05
0,10

7,96
34,19
1,60
2,51
8,10
2,32
8,70
5,07
4,62
4,76
2,85
6,72
4,49
0,91
1,38
1,17
0,93
1,74

27,30
97,91
4,20
7,71
28,89
7,52
24,29
15,47
15,02
12,56
8,05
19,71
12,28
3,51
3,97
3,77
3,53
4,33

348

100,00

2,76

100,00

5,82

100,00

300,00

Lampiran 7. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29

Nama Lokal
Purang
Karet
Medang
Leban
Kedadak
Raba
Mansing
Pelaik pipit
Ketikal
Engkerbang
Kayu asam
Unik
Sengkajang
Jangau
Medang bulai
Keladan
Pensik
Durian
Selangking dada
Pelaik bukit
Kepuak
Kempili
Jengkol
Bar
Pantat rusa
Merhubong
Cempedak
Kumpang
Ubah

Nama Indonesia
Mahang
Karet
Medang
Laban
Pulai pipit
Petaling
Kayu lentadak
Jirak
Kayu gambir
Keladan
Kayu bulan
Durian
Tampang
Pulai
Terap
Pasang
Jengkol
Jirak
Mengkubang
Cempedak
Peredah burung
Kelat

Famili
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Verbenaceae
Myristicaceae
Anacardiaceae
Hipericaceae
Apocynaceae
Olacaceae
Rubiaceae
Sapindaceae
Sapindaceae
Anonaceae
Symplocaceae
Ulmaceae
Dipterocarpaceae
Anonaceae
Bombaceae
Moraceae
Apocynaceae
Moraceae
Fagaceae
Fabaceae
Symplocaceae
Myrsinaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Myristicaceae
Myrtaceae

Nama Ilmiah
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Litsea elliptica Blume
Vitex pubescens
Myristica villosa
Mangifera havilandii
Cratoxylum cochinchinense (Lour.) BI.
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Ochanostachys amentancea Mast.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Nephelium laurinum BI.
Guioa pleuropteris (BI.) Radlk.
Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Gironniera subaequalis Planch.
Hopea dryobalanoides Miq.
Polyalthia glauca
Durio zibethinus
Artocarpus dadah Miq.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
Artocarpus elasticus Reinw.
Quercus Sp.
Pithecellobium jiringa Pram.
Symplocos sp.
Ardisia cf. lanceolatum Roxburgh
Macaranga gigantea Muell.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

16
80
12
16
4
8
4
24
4
4
4
4
12
12
40
20
4
8
4
8
4
4
4
4
4
4
4
4
4

4,94
24,69
3,70
4,94
1,23
2,47
1,23
7,41
1,23
1,23
1,23
1,23
3,70
3,70
12,35
6,17
1,23
2,47
1,23
2,47
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23

0,12
0,60
0,12
0,16
0,04
0,08
0,04
0,24
0,04
0,04
0,04
0,04
0,12
0,12
0,32
0,16
0,04
0,08
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04

4,17
20,83
4,17
5,56
1,39
2,78
1,39
8,33
1,39
1,39
1,39
1,39
4,17
4,17
11,11
5,56
1,39
2,78
1,39
2,78
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39

0,22
1,46
0,16
0,21
0,04
0,11
0,03
0,28
0,06
0,05
0,06
0,05
0,14
0,20
0,61
0,24
0,07
0,11
0,09
0,15
0,08
0,03
0,08
0,06
0,04
0,04
0,10
0,04
0,03

4,60
30,00
3,28
4,37
0,90
2,28
0,70
5,66
1,31
1,05
1,29
0,96
2,83
4,12
12,52
4,99
1,48
2,34
1,85
3,12
1,68
0,66
1,66
1,15
0,90
0,72
2,07
0,80
0,70

13,70
75,53
11,15
14,86
3,53
7,52
3,32
21,40
3,94
3,67
3,92
3,59
10,70
12,00
35,97
16,72
4,10
7,59
4,47
8,37
4,31
3,28
4,29
3,77
3,53
3,34
4,70
3,42
3,32

324

100,00

2,88

100,00

4,87

100,00

300,00

Lampiran 8. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
29
30
31
32
33
34
35
36

Nama Lokal
Kumpang
Nyatu
Medang
Selangking dada
Pakit
Kayu asam
Menteli
Ubah
Karet
Upik
Kempili
Gentelang
Puduk
Ubah merah
Ubah putih
Pelaik pipit
Kayu malam
Pendok
Belian
Mentawak
Ketikal
Tajar
Bar
Medang bulai
Merhubong
Jangau
Unik
Kepuak
Gerantung
Keladan
Keretali
Cempedak
Leban
Jengkol
Pelaik bukit

Nama Indonesia
Peredah burung
Nyatoh terung
Medang
Tampang
Meranti
Kelat
Karet
Pasang
Puduk
Kelat
Kelat
Pulai pipit
Kayu itam
Ulin/kayu besi
Keledang
Petaling
Jirak
Kayu gambir
Mengkubang
Jirak
Kayu lentadak
Terap
Keladan
Mahang
Cempedak
Laban
Jengkol
Pulai

Famili
Myristicaceae
Sapotaceae
Lauraceae
Moraceae
Dipterocarpaceae
Sapindaceae
Rosaceae
Myrtaceae
Euphorbiaceae
Anacardiaceae
Fagaceae
Clusiaceae
Moraceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Apocynaceae
Ebenaceae
Anonaceae
Lauraceae
Moraceae
Olacaceae
Sapindaceae
Symplocaceae
Ulmaceae
Euphorbiaceae
Symplocaceae
Sapindaceae
Moraceae
Fabaceae
Dipterocarpaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Verbenaceae
Fabaceae
Apocynaceae

Nama Ilmiah
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Litsea elliptica Blume
Artocarpus dadah Miq.
Shorea sp.
Nephelium laurinum BI.
Prunus arborea (BI.) Kalkman ssp. arborea
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Parishia insignis Hook. f.
Quercus Sp.
Garcinia lateriflora BI.
Artocarpus kemando Miq.
Eugenia acuntangula Schum.
Syzygium sp.
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Diospyros sp.
Cyathocalyx biovulatus Boerl.
Eusideroxylon zwageri
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Ochanostachys amentancea Mast.
Nephelium cuspidatum BI.
Symplocos sp.
Gironniera subaequalis Planch.
Macaranga gigantea Muell.
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Guioa pleuropteris (BI.) Radlk.
Artocarpus elasticus Reinw.
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
Hopea dryobalanoides Miq.
Macaranga javanica Hk. f
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Vitex pubescens
Pithecellobium jiringa Pram.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.

KR
(%)

FR
(%)

DR
(%)

INP
(%)

20
24
20
4
4
8
4
32
92
4
8
4
20
8
8
4
4
8
4
12
4
4
8
20
4
12
4
4
4
12
4
4
4
4
4

5,15
6,19
5,15
1,03
1,03
2,06
1,03
8,25
23,71
1,03
2,06
1,03
5,15
2,06
2,06
1,03
1,03
2,06
1,03
3,09
1,03
1,03
2,06
5,15
1,03
3,09
1,03
1,03
1,03
3,09
1,03
1,03
1,03
1,03
1,03

0,20
0,20
0,16
0,04
0,04
0,08
0,04
0,32
0,56
0,04
0,08
0,04
0,20
0,08
0,08
0,04
0,04
0,08
0,04
0,12
0,04
0,04
0,08
0,16
0,04
0,12
0,04
0,04
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04

5,95
5,95
4,76
1,19
1,19
2,38
1,19
9,52
16,67
1,19
2,38
1,19
5,95
2,38
2,38
1,19
1,19
2,38
1,19
3,57
1,19
1,19
2,38
4,76
1,19
3,57
1,19
1,19
1,19
2,38
1,19
1,19
1,19
1,19
1,19

0,31
0,38
0,30
0,07
0,06
0,10
0,05
0,45
1,39
0,04
0,15
0,06
0,32
0,13
0,15
0,04
0,04
0,09
0,06
0,23
0,07
0,06
0,10
0,34
0,05
0,17
0,04
0,07
0,05
0,20
0,07
0,06
0,04
0,10
0,04

5,20
6,43
5,18
1,23
1,07
1,77
0,92
7,69
23,61
0,75
2,59
0,95
5,37
2,23
2,62
0,70
0,63
1,45
1,01
3,87
1,23
1,06
1,77
5,73
0,87
2,97
0,72
1,26
0,82
3,39
1,11
0,94
0,63
1,64
0,61

16,31
18,56
15,10
3,45
3,30
6,22
3,14
25,46
63,98
2,97
7,03
3,18
16,48
6,68
7,07
2,92
2,85
5,89
3,23
10,53
3,45
3,28
6,22
15,64
3,09
9,63
2,94
3,48
3,04
8,87
3,33
3,16
2,85
3,86
2,84

388

100,00

3,36

100,00

5,87

100,00

300,00

Lampiran 9. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38

Nama Lokal
Dadak
Ubah
Singka
Kelampai
Selangking dada
Pial
Cempedak
Sumpit
Kelangking
Tengkawang
Mang
Kantik
Engkerbang
Purang
Mentawak
Pantat rusa
Pantat daun
Mengelas

Nama Indonesia

Famili

Tampang

Moraceae

Prainea frutescens

Kelat

Myrtaceae

Syzygium zeylanicum (L.) DC.

Euphorbiaceae

Agrostistachys longifolia

Tapos
Tampang

Euphorbiaceae
Moraceae

Eleteriospermum tapos Blume


Artocarpus dadah Miq.

Pauh bayan

Simaraubaceae

Irvingia malayana

Cempedak
Anyang-anyang
Sukun
Tengkawang
Kulim
Mahang
Keledang
Kayu panu
Kayu lampan

Moraceae
Elaeocarpaceae
Moraceae
Dipterocarpaceae
Clusiaceae
Olacaceae
Rubiaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Myrsinaceae
Rubiaceae
Verbenaceae

Artocarpus integer (Thunb.) Merr.


Elaeocarpus griffithii (Wight.) A. Gray
Artocarpus spp.
Shorea stenoptera Burck.
Garcinia gaudichaudii Planch. & Triana
Scorodocarpus sp.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Ardisia cf. lanceolatum Roxburgh
Psychotria sp.
Clerodendron adenophysum
Anthocephalus cadamba Miq.
Parishia insignis Hook. f.
Calophyllum soulatri Burm. f.
Macaranga gigantea Muell.

Ranjing

Rubiaceae

Upik
Entangor

Bintangur
Mengkubang

Anacardiaceae
Clusiaceae
Euphorbiaceae

Merkubong
Piling
Kelapan
Kayu malam
Beringin hijau
Medang
Pingan
Durian
Kumpang
Rambai
Jengkol
Keladan
Kelampu
Sengkajang
Nyatuh
Mantut
Puduk

Nama Ilmiah

Fagaceae

Lithocarpus dasystachyus

Geronggang
Kayu itam
Kayu pudak
Medang
Kosar
Durian
Peredah burung
Jengkol
Keladan
Kecapi
Nyatoh terung
Puduk

Hypericaceae
Ebenaceae
Anonaceae
Lauraceae
Moraceae
Bombaceae
Myristicaceae
Oxalidaceae
Fabaceae
Dipterocarpaceae
Meliaceae
Anonaceae
Sapotaceae
Meliaceae
Moraceae

Cratoxylum glaucum
Diospyros sp.
Goniothalamus tapis Miq.
Litsea elliptica Blume
Artocarpus rigidus BI.
Durio zibethinus
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Sarcotheca macrophylla (Planch ex Hk.f.) Hall.f
Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King
Hopea dryobalanoides Miq.
Sandoricum koetjape
Xylopia ferriginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Walsura chrysogyne (Miq.) Bakh. f.
Artocarpus kemando Miq.

KR
(%)
16
60
4
84
8
4
44
4
4
20
4
4
40
16
4
4
8
4
16
8
20
12
4
8
24
4
20
4
4
8
4
4
16
8
4
16
8
4

3,030
11,364
0,758
15,909
1,515
0,758
8,333
0,758
0,758
3,788
0,758
0,758
7,576
3,030
0,758
0,758
1,515
0,758
3,030
1,515
3,788
2,273
0,758
1,515
4,545
0,758
3,788
0,758
0,758
1,515
0,758
0,758
3,030
1,515
0,758
3,030
1,515
0,758

F
0,12
0,6
0,04
0,44
0,08
0,04
0,36
0,04
0,04
0,12
0,04
0,04
0,28
0,12
0,04
0,04
0,08
0,04
0,12
0,04
0,16
0,12
0,04
0,08
0,24
0,04
0,16
0,04
0,04
0,08
0,04
0,04
0,08
0,08
0,04
0,16
0,04
0,04

FR
(%)

DR
(%)

2,830
14,151
0,943
10,377
1,887
0,943
8,491
0,943
0,943
2,830
0,943
0,943
6,604
2,830
0,943
0,943
1,887
0,943
2,830
0,943
3,774
2,830
0,943
1,887
5,660
0,943
3,774
0,943
0,943
1,887
0,943
0,943
1,887
1,887
0,943
3,774
0,943
0,943

0,270
0,979
0,038
1,298
0,112
0,073
0,609
0,040
0,089
0,304
0,054
0,059
0,562
0,280
0,066
0,071
0,099
0,054
0,206
0,070
0,239
0,202
0,097
0,066
0,309
0,032
0,313
0,059
0,074
0,085
0,053
0,043
0,289
0,112
0,051
0,216
0,100
0,055

3,494
12,668
0,492
16,796
1,449
0,945
7,880
0,518
1,152
3,934
0,699
0,763
7,272
3,623
0,854
0,919
1,281
0,699
2,666
0,906
3,093
2,614
1,255
0,854
3,998
0,414
4,050
0,763
0,958
1,100
0,686
0,556
3,740
1,449
0,660
2,795
1,294
0,712

INP
(%)
9,354
38,183
2,193
43,083
4,851
2,646
24,704
2,219
2,853
10,552
2,400
2,464
21,452
9,484
2,555
2,620
4,683
2,400
8,526
3,364
10,654
7,717
2,956
4,256
14,204
2,115
11,612
2,464
2,659
4,502
2,387
2,257
8,657
4,851
2,361
9,599
3,753
2,413

528

100

4,24

100,000

7,728 100,000

300,000

Lampiran 10. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang

No
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Nama Lokal
Medang
Gaharu
Karet
Legai
Kemantan
Kerangkai
Kandis
Linang
Pelok kelik
Jambu belanda
Cempedak
Gerantung
Bidau
Kumpang
Ubah
Jengkol
Keradilah
Kayu asam
Puduk
Pelaik pipit
Mentawak
Lipis kulit
Sumpit
Sabar bubu

Nama Indonesia
Medang
Kayu garu
Karet
Kelepang
Embacang
Kandis
Rambutan
Jambo bol
Cempedak
Melinjo
Peredah burung
Kelat
Jengkol
Beruwas
Puduk
Pulai pipit
Keledang
Temberas
Anyang-anyang
-

Famili
Lauraceae
Thymelaceae
Euphorbiaceae
Theaceae
Anacardiaceae
Icacinaceae
Clusiaceae
Sapindaceae
Sapindaceae
Myrtaceae
Moraceae
Fabaceae
Gnetaceae
Myristicaceae
Myrtaceae
Fabaceae
Clusiaceae
Sapindaceae
Moraceae
Apocynaceae
Moraceae
Melastomataceae
Elaeocarpaceae
Rubiaceae

Nama Ilmiah
Litsea elliptica Blume
Gonystylus bancanus Kurs.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Adinandra dumosa Jack
Mangifera foetida Lour.
Gomphandra quadrifida (BI.) Sleumer
Garcinia parvifolia (Miq.) Miq.
Nephelium sp.
Nephelium ramboutan-ake (Labill.) Leenh.
Syzygium sp.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Pithecellobium jiringa Pram.
Garcinia cf. celebica L.
Nephelium laurinum BI.
Artocarpus kemando Miq.

Alstonia angustifolia King ex Gamble


Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Memecylon myrsinoides
Elaeocarpus griffithii (Wight.) A. Gray
Gaertnera vaginans (DC.) Merr.

KR
(%)

FR
(%)

96
16
480
32
112
16
16
16
32
16
96
80
64
128
80
64
16
32
32
16
16
16
16
32

6,32
1,05
31,58
2,11
7,37
1,05
1,05
1,05
2,11
1,05
6,32
5,26
4,21
8,42
5,26
4,21
1,05
2,11
2,11
1,05
1,05
1,05
1,05
2,11

0,20
0,04
0,64
0,08
0,28
0,04
0,04
0,04
0,08
0,04
0,20
0,20
0,16
0,32
0,20
0,16
0,04
0,08
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,08

6,33
1,27
20,25
2,53
8,86
1,27
1,27
1,27
2,53
1,27
6,33
6,33
5,06
10,13
6,33
5,06
1,27
2,53
2,53
1,27
1,27
1,27
1,27
2,53

1520

100,00

3,16

100,00

D
0,07
0,03
0,07
0,02
0,18
0,00
0,02
0,07
0,02
0,01
0,13
0,06
0,05
0,19
0,05
0,04
0,04
0,02
0,09
0,01
0,01
0,00
0,03
0,05

DR
(%)

INP
(%)

5,78
2,55
5,26
1,82
14,54
0,14
1,44
5,90
1,42
0,73
10,20
5,02
4,18
14,68
4,21
3,19
2,80
1,37
7,19
0,84
0,40
0,25
2,29
3,79

18,43
4,87
57,09
6,46
30,77
2,46
3,76
8,22
6,06
3,04
22,84
16,61
13,45
33,23
15,80
12,46
5,11
6,01
11,83
3,16
2,72
2,57
4,61
8,42

1,26 100,00

300,00

Lampiran 11. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Nama Lokal Nama Indonesia

Famili

Mawang
Karet
Mentawak
Medang bulai
Kepuak
Bar
Sengkajang
Ubah
Purang
Jengkol
Leban
Keretali
Mansing
Male angin
Engkerbang
Kopi hutan
Jangau
Kumpang
Medang
Keladan
Mang
Simpur
Tengkawang
Langkang ruai
Pakit
Puduk
Pelaik pipit
Kayu asam
Selangking dada
Gentelang

Mahang
Karet
Keledang
Kayu gambir
Terap
Jirak
Kelat
Mahang
Jengkol
Laban
Petaling
Namiwiran
Jirak
Peredah burung
Medang
Keladan
Sempur
Tengkawang
Meranti
Puduk
Pulai pipit
Tampang
-

Euphobiaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Ulmaceae
Moraceae
Symplocaceae
Anonaceae
Myrtaceae
Euphorbiaceae
Fabaceae
Verbenaceae
Euphorbiaceae
Hipericaceae
Urticaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Symplocaceae
Myristicaceae
Lauraceae
Dipterocarpaceae
Clusiaceae
Dilleniaceae
Dipterocarpaceae
Euphorbiaceae
Dipterocarpaceae
Moraceae
Apocynaceae
Sapindaceae
Moraceae
Clusiaceae

Raba

Anacardiaceae

Nama Ilmiah

KR

(ind/ha)
Macaranga sp.
16
Hevea brasiliensis Muell. ARG
432
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
16
Gironniera subaequalis Planch.
96
Artocarpus elasticus Reinw.
16
Symplocos sp.
80
Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
32
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
64
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
32
Pithecellobium jiringa Pram.
48
Vitex pubescens
64
Macaranga javanica Hk. f.
16
Cratoxylum cochinchinense (Lour.) BI.
16
Leucosyke capitellata (Poirret) Wedd.
16
Psychotria sp.
112
Tricalysia singularis Korth.
16
Symplocos cochincinensis (Lour.) Moore
80
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
32
Litsea elliptica Blume
64
Hopea dryobalanoides Miq.
112
Garcinia gaudichaudii Planch. & Triana
16
Dillenia spp.
32
Shorea stenoptera Burck.
48
Croton angyratus BI.
16
Shorea sp.
16
Artocarpus kemando Miq.
16
Alstonia angustifolia King ex Gamble
64
Nephelium laurinum BI.
16
Artocarpus dadah Miq.
16
Garcinia lateriflora BI.
16
Mangifera havilandii
32

(%)
0,97
26,21
0,97
5,83
0,97
4,85
1,94
3,88
1,94
2,91
3,88
0,97
0,97
0,97
6,80
0,97
4,85
1,94
3,88
6,80
0,97
1,94
2,91
0,97
0,97
0,97
3,88
0,97
0,97
0,97
1,94

1648

100,00

FR

DR

0,04
0,80
0,04
0,24
0,04
0,20
0,08
0,16
0,08
0,12
0,16
0,04
0,04
0,04
0,28
0,04
0,20
0,08
0,16
0,24
0,04
0,08
0,12
0,04
0,04
0,04
0,16
0,04
0,04
0,04
0,08

(%)
1,05
21,05
1,05
6,32
1,05
5,26
2,11
4,21
2,11
3,16
4,21
1,05
1,05
1,05
7,37
1,05
5,26
2,11
4,21
6,32
1,05
2,11
3,16
1,05
1,05
1,05
4,21
1,05
1,05
1,05
2,11

(%)
0,55
19,17
0,12
6,84
0,37
5,31
4,09
3,85
6,17
1,77
2,69
0,24
4,21
0,12
8,67
0,18
5,25
0,37
3,54
7,08
0,67
0,85
2,93
0,12
0,55
0,92
1,28
0,79
5,68
0,85
4,76

0,01
0,31
0,00
0,11
0,01
0,09
0,07
0,06
0,10
0,03
0,04
0,00
0,07
0,00
0,14
0,00
0,09
0,01
0,06
0,12
0,01
0,01
0,05
0,00
0,01
0,02
0,02
0,01
0,09
0,01
0,08

3,80

100,00

1,64 100,00

INP
(%)
2,57
66,44
2,15
18,98
2,39
15,43
8,14
11,94
10,21
7,84
10,78
2,27
6,24
2,15
22,83
2,21
15,37
4,41
11,63
20,19
2,70
4,90
9,00
2,15
2,57
2,94
9,38
2,82
7,70
2,88
8,81
300,00

Lampiran 12. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Nama Lokal
Medang
Kumpang
Puduk
Kayu asam
Cempedak
Mokulat
Kayu malam
Keladan
Karet
Ubah merah
Ketikal
Ubah
Unik
Purang
Mantut
Belengkiang
Ubah putih
Legai
Sumpit
Kopi hutan
Selangking dada
Entangor
Engkerbang
Medang bulai
Pakit
Bidau
Merabah
Jangau
Leban
Male angin
Tengkawang
Pelaik bukit

Nama Indonesia
Medang
Peredah burung
Puduk
Cempedak
Kelat
Kayu itam
Keladan
Karet
Petaling
Kelat
Kayu lentadak
Mahang
Jirak
Kelat

Kelepang
Anyang-anyang
Tampang
Nyamplung
Kayu gambir
Meranti
Melinjo
Medang bentawar
Jirak
Laban
Tengkawang
Pulai

Famili
Lauraceae
Myristicaceae
Moraceae
Sapindaceae
Moraceae
Myrtaceae
Ebenaceae
Dipterocarpaceae
Euphorbiaceae
Myrtaceae
Olaxaceae
Myrtaceae
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Meliaceae
Symplocaceae
Myrtaceae
Theaceae
Elaeocarpaceae
Rubiaceae
Moraceae
Clusiaceae
Rubiaceae
Ulmaceae
Dipterocarpaceae
Gnetaceae
Annonaceae
Symplocaceae
Verbenaceae
Urticaceae
Dipterocarpaceae
Apocynaceae

Nama Ilmiah
Litsea elliptica Blume
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Artocarpus kemando Miq.
Nephelium laurinum BI.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Syzygium sp.
Diospyros sp.
Hopea dryobalanoides Miq.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Eugenia acuntangula Schum.
Ochanostachys amentancea Mast.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Guioa pleuropteris (BI.) Radlk.
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Walsura chrysogyne (Miq.) Burck.
Symplocos sp.
Syzygium sp.
Adinandra dumosa Jack
Elaeocarpus griffithii (Wight.) A. Gray
Tricalysia singularis Korth.
Artocarpus dadah Miq.
Calophyllum soulatri Burm. f.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Gironniera subaequalis Planch.
Shorea sp.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.
Polyalthia sumatrana (Miq.) Kurz.
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Vitex pubescens
Leucosyke capitellata (Poirret) Wedd.
Shorea stenoptera Burck.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.

K
KR
(ind/ha) (%)

FR
(%)

96
160
16
64
48
16
16
240
336
64
48
96
32
96
16
16
32
16
32
16
16
16
16
32
16
16
16
96
48
32
32
16

5,31
8,85
0,88
3,54
2,65
0,88
0,88
13,27
18,58
3,54
2,65
5,31
1,77
5,31
0,88
0,88
1,77
0,88
1,77
0,88
0,88
0,88
0,88
1,77
0,88
0,88
0,88
5,31
2,65
1,77
1,77
0,88

0,24
0,36
0,04
0,16
0,12
0,04
0,04
0,44
0,60
0,16
0,12
0,16
0,08
0,24
0,04
0,04
0,08
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,24
0,12
0,08
0,08
0,04

6,06
9,09
1,01
4,04
3,03
1,01
1,01
11,11
15,15
4,04
3,03
4,04
2,02
6,06
1,01
1,01
2,02
1,01
2,02
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
6,06
3,03
2,02
2,02
1,01

1808

100,00

3,96

100,00

DR
(%)

INP
(%)

3,49
15,40
3,70
2,72
1,91
0,09
0,60
11,11
10,09
5,62
4,09
2,77
2,43
2,64
2,55
0,72
1,45
0,34
0,55
0,43
0,51
3,40
0,30
0,30
0,17
0,43
3,96
8,13
5,53
1,06
3,45
0,09

14,86
33,34
5,60
10,30
7,60
1,98
2,49
35,49
43,82
13,20
9,77
12,12
6,22
14,01
4,45
2,62
5,24
2,24
4,34
2,32
2,41
5,30
2,19
3,08
2,07
2,32
5,85
19,50
11,22
4,85
7,24
1,98

2,35 100,00

300,00

0,08
0,36
0,09
0,06
0,05
0,00
0,01
0,26
0,24
0,13
0,10
0,07
0,06
0,06
0,06
0,02
0,03
0,01
0,01
0,01
0,01
0,08
0,01
0,01
0,00
0,01
0,09
0,19
0,13
0,03
0,08
0,00

Lampiran 13. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di Hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45

Nama Lokal
Retih
Dadak
Ubah
Temalak
Salak hutan
Ingit
Mentawak
Gerantung
Pelampai
Kumpang
Medang
Pejantang
Kayu malam

Nama Indonesia

Famili

Nama Ilmiah

Moraceae

Prainea frutescens

Kelat

Myrtaceae

Syzygium zeylanicum (L.) DC.

Dipterocarpaceae

Hopea kerangasensis

Burseraceae

Dacryodes rugosa (Blume) H.J. Lam.

Lecythidaceae

Barringtonia sp.

Keledang
-

Moraceae
Fabaceae

Artocarpus lanceifolius Roxburgh.


Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.

Peredah burung
Medang
Kayu itam

Myristicaceae
Lauraceae
Violaceae
Ebenaceae

Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.


Litsea elliptica Blume
Rinorea bengalensis (Wallich.) Kuntze
Diospyros sp.

Tekam

Tekam

Dipterocarpaceae

Hopea sp.

Nyatuh
Pingan
Mang lilin
Beringin hijau
Engkerbang

Nyatoh terung
Kosar

Sapotaceae
Moraceae

Palaquium rostratum (Miq.) Burck.


Artocarpus rigidus BI.

Dipterocarpaceae

Hopea semicuneata

Annonaceae
Rubiaceae

Goniothalamus tapis Miq.


Psychotria cf. sarmentosa BI.

Ranjing

Simasam

Rubiaceae
Rosaceae
Theaceae

Anthocephalus cadamba Miq.


Agrostistachys sp.
Tetramerista sp.

Tengkawang

Dipterocarpaceae

Shorea stenoptera Burck.

Tidak teridentifikasi

Bintangur bunut
Tapos

Clusiaceae
Annonaceae
Olaxaceae
Euphorbiaceae

Calophyllum soulatri Burm. f.


Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair

Meranti
-

Dipterocarpaceae
Burseraceae

Shorea seminis
Dacryodes rubiginosa H.J.L.

Clusiaceae

Garcinia gaudichaudii Planch. & Triana

Lauraceae

Cinnamomum spp.

Kecapi

Meliaceae

Sandoricum koetjape

Kincit
Pidin
Tengkawang
Terong musang
Entangor
Sengkajang
Mokiau
Kelampai
Romunsang
Mengkirai
Bulai
Mang
Sibau
Kelampu
Engkelili
Biantang
Belian
Merkunyit

Katuri

Rosaceae
Clusiaceae

Prunus arborea
Garcinia bancana

Ulin/kayu besi
Meranti kuning

Lauraceae
Dipterocarpaceae

Eusideroxilon zwageri
Shorea acuminatissima

Kandis

Kandis

Clusiaceae

Garcinia parvifolia (Miq.) Miq.

Pendok
Lukai
Bidau
Petai
Cempedak
Kempili

Melinjo
Petai
Cempedak

Annonaceae
Annonaceae
Gnetaceae
Fabaceae
Moraceae

Cyathocalyx biovulatus Boerl.


Goniothalamus macrophyllus Hook.f. & Thoms.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.
Parkia speciosa Hassk.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.

Pasang

Fagaceae

Quercus sp.

Ochanostachya sp.
Eleteriospermum tapos Blume

KR

(ind/ha)
16
32
160
32
128
48
64
128
48
128
192
80
48
64
128
16
16
32
16
48
16
16
64
16
32
32
48
288
16
32
16
48
16
80
32
16
16
16
16
64
16
16
32
32
32

(%)
0,66
1,32
6,58
1,32
5,26
1,97
2,63
5,26
1,97
5,26
7,89
3,29
1,97
2,63
5,26
0,66
0,66
1,32
0,66
1,97
0,66
0,66
2,63
0,66
1,32
1,32
1,97
11,84
0,66
1,32
0,66
1,97
0,66
3,29
1,32
0,66
0,66
0,66
0,66
2,63
0,66
0,66
1,32
1,32
1,32

2432

100,00

FR

DR

INP

(%)
0,22
2,71
4,15
2,30
7,30
1,63
2,63
2,60
0,78
8,16
8,38
3,41
0,93
4,23
2,74
0,30
0,07
0,52
2,48
1,85
0,22
0,82
5,64
0,07
0,33
0,56
3,34
10,12
0,70
0,67
0,07
1,37
0,85
5,41
1,89
0,07
0,07
3,52
0,07
1,56
0,07
0,19
2,37
1,52
1,08

(%)
1,61
5,48
17,30
5,07
16,22
5,79
7,45
13,70
4,94
19,26
22,11
10,35
5,09
9,78
13,12
1,68
1,46
3,29
3,87
6,02
1,61
2,20
11,19
1,46
3,11
3,33
7,50
31,45
2,09
3,44
1,46
5,54
2,24
12,35
4,67
1,46
1,46
4,91
1,46
7,11
1,46
1,57
5,15
4,30
3,85

2,70 100,00

300,00

0,04
0,08
0,36
0,08
0,20
0,12
0,12
0,32
0,12
0,32
0,32
0,20
0,12
0,16
0,28
0,04
0,04
0,08
0,04
0,12
0,04
0,04
0,16
0,04
0,08
0,08
0,12
0,52
0,04
0,08
0,04
0,12
0,04
0,20
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,16
0,04
0,04
0,08
0,08
0,08

(%)
0,73
1,46
6,57
1,46
3,65
2,19
2,19
5,84
2,19
5,84
5,84
3,65
2,19
2,92
5,11
0,73
0,73
1,46
0,73
2,19
0,73
0,73
2,92
0,73
1,46
1,46
2,19
9,49
0,73
1,46
0,73
2,19
0,73
3,65
1,46
0,73
0,73
0,73
0,73
2,92
0,73
0,73
1,46
1,46
1,46

0,01
0,07
0,11
0,06
0,20
0,04
0,07
0,07
0,02
0,22
0,23
0,09
0,03
0,11
0,07
0,01
0,00
0,01
0,07
0,05
0,01
0,02
0,15
0,00
0,01
0,02
0,09
0,27
0,02
0,02
0,00
0,04
0,02
0,15
0,05
0,00
0,00
0,10
0,00
0,04
0,00
0,01
0,06
0,04
0,03

5,48

100,00

Lampiran 14. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Nama Lokal
Cempedak
Ribu-ribu
Ketikal
Pelok kelik
Gerantung
Mansing
Engkerbang
Kempenat
Bungkang
Ubah
Pelaik pipit
Kerangkai
Kumpang
Jengkol
Ruai
Simpur
Kayu bunga
Melanjan
Tegar
Kayu malam
Bidau

Nama Indonesia
Cempedak
Petaling
Kelat
Kelat
Pulai pipit
Peredah burung
Jengkol
Sempur
Balau
Kayu itam
Melinjo

Famili
Moraceae
Anisophylleaceae
Olacaceae
Sapindaceae
Fabaceae
Hipericaceae
Rubiaceae
Alangiaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Apocynaceae
Icacinaceae
Myristicaceae
Fabaceae
Euphorbiaceae
Dilleniaceae
Rosaceae
Sapindaceae
Anacardiaceae
Ebenaceae
Gnetaceae

Nama Ilmiah
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Anisophyllea disticha (Jack) Baillon
Ochanostachys amentancea Mast.
Nephelium ramboutan-ake (Labill.) Leenh.
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
Cratoxylum cochinchinense (Lour.) BI.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Alangium salviniolium (L.f.) Wangerin
Syzygium sp.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Gomphandra quadrifida (BI.) Sleumer
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Pithecellobium jiringa Pram.
Aporosa aurata
Dillenia spp.
Parinarium sp.
Nephelium uncinatum Radlk. Ex Leenh.
Campnosperma auriculata
Diospyros sp.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.

KR

FR

(ind/ha)
2500
600
200
400
800
500
400
400
200
1300
200
200
400
500
300
800
100
400
300
200
500

(%)
22,32
5,36
1,79
3,57
7,14
4,46
3,57
3,57
1,79
11,61
1,79
1,79
3,57
4,46
2,68
7,14
0,89
3,57
2,68
1,79
4,46

0,40
0,20
0,08
0,12
0,24
0,04
0,12
0,12
0,08
0,48
0,08
0,08
0,16
0,16
0,12
0,20
0,04
0,16
0,08
0,08
0,20

(%)
12,35
6,17
2,47
3,70
7,41
1,23
3,70
3,70
2,47
14,81
2,47
2,47
4,94
4,94
3,70
6,17
1,23
4,94
2,47
2,47
6,17

11200

100

3,24

100

INP (%)
34,67
11,53
4,25
7,28
14,55
5,70
7,28
7,28
4,25
26,42
4,25
4,25
8,51
9,40
6,38
13,32
2,13
8,51
5,15
4,25
10,64
200

Lampiran 15. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Nama Lokal
Durian
Engkerbang
Mentawak
Jangau
Medang
Karet
Keladan
Simpur
Mansing
Kepuak
Ubah
Leban
Purang
Kopi hutan
Pakit
Nyatu Ensik
Medang bulai
Rambutan
Cempedak
Jengkol
Kayu asam
Gaharu
Langkang ruai
Pelaik pipit

Nama Indonesia
Durian
Keledang
Jirak
Medang
Karet
Keladan
Sempur
Terap
Kelat
Laban
Mahang
Meranti
Nyatoh
Kayu gambir
Rambutan
Cempedak
Jengkol
Kayu garu
Pulai pipit

Famili
Bombaceae
Rubiaceae
Moraceae
Symplocaceae
Lauraceae
Euphorbiaceae
Dipterocarpaceae
Dilleniaceae
Hipericaceae
Moraceae
Myrtaceae
Verbenaceae
Euphorbiaceae
Rubiaceae
Dipterocarpaceae
Sapotaceae
Ulmaceae
Sapindaceae
Moraceae
Fabaceae
Sapindaceae
Thymelaceae
Euphorbiaceae
Apocynaceae

Nama Ilmiah
Durio zibethinus
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh
Symplocos cochincinensis (Lour.) Moore
Litsea alliptica Blume
Hevea brasiliensis Muell. ARG

Hopea dryobalanoides Miq.


Dillenia spp.
Cratoxylum cochinchinense (Lour.) BI.
Artocarpus elasticus Reinw.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Vitex pubescens
Macaranga puncticulata Gage
Tricalysia singularis Korth.
Shorea sp.
Palaquium sericeum H.J. Lam
Gironniera subaequalis Planch.
Nephelium lappaceum L
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Pithecolobium lobatum Benth.
Nephelium laurinum BI.
Gonystylus bancanus Kurs.
Croton angyratus BI.
Alstonia angustifolia King ex Gamble

KR
(%)

FR
(%)

100
6200
1900
1400
1600
13800
2300
500
300
3000
800
300
100
100
400
100
500
300
500
100
100
100
100
100

0,29
17,87
5,48
4,03
4,61
39,77
6,63
1,44
0,86
8,65
2,31
0,86
0,29
0,29
1,15
0,29
1,44
0,86
1,44
0,29
0,29
0,29
0,29
0,29

0,04
0,72
0,12
0,20
0,40
0,92
0,28
0,12
0,12
0,24
0,24
0,12
0,04
0,04
0,08
0,04
0,16
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04

0,95
17,14
2,86
4,76
9,52
21,90
6,67
2,86
2,86
5,71
5,71
2,86
0,95
0,95
1,90
0,95
3,81
0,95
1,90
0,95
0,95
0,95
0,95
0,95

34700

100

4,2

100

INP (%)
1,24
35,01
8,33
8,80
14,13
61,67
13,29
4,30
3,72
14,36
8,02
3,72
1,24
1,24
3,06
1,24
5,25
1,82
3,35
1,24
1,24
1,24
1,24
1,24
200

Lampiran 16. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Nama Lokal
Melanjan
Karet
Medang
Cempedak
Keladan
Pendok
Kemidan
Ubah
Belengkiang
Kayu asam
Mentawak
Langkang ruai
Medang bulai
Kempenat
Kumpang
Pakit
Unik
Kempili
Engkerbang
Pelaik bukit
Titidan
Jangau
Simpur
Kepuak

Nama Indonesia
Karet
Medang
Cempedak
Keladan
Limang
Kelat
Jirak
Keledang
Kayu gambir
Peredah burung
Meranti
Kayu lentadak
Pasang
Pulai
Jirak
Sempur
Terap

Famili
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Moraceae
Dipterocarpaceae
Anonaceae
Anonaceae
Myrtaceae
Symplocaceae
Sapindaceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Ulmaceae
Alangiaceae
Myristicaceae
Dipterocarpaceae
Sapindaceae
Fagaceae
Rubiaceae
Apocynaceae
Sapindaceae
Symplocaceae
Dilleniaceae
Moraceae

Nama Ilmiah
Nephelium uncinatum Radlk. Ex Leenh.
Hevea brasiliensis Muell. ARG

Litsea elliptica Blume


Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Hopea dryobalanoides Miq.
Cyathocalyx biovulatus Boerl.
Mezzettia spp.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Symplocos sp.
Nephelium laurinum BI.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Croton angyratus BI.
Gironniera subaequalis Planch.
Alangium salviniolium (L.f.) Wangerin
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Shorea sp.
Guioa pleuropteris (BI.) Radlk.
Quercus sp.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
Nephelium cuspidatum BI. Var.eriopetalum
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Dillenia spp.
Artocarpus elasticus Reinw.

K
(ind/ha)

KR
(%)

FR
(%)

100
7400
1000
800
8100
500
100
1700
100
200
2000
700
200
100
100
200
100
400
1500
100
400
1200
100
500

0,36
26,81
3,62
2,90
29,35
1,81
0,36
6,16
0,36
0,72
7,25
2,54
0,72
0,36
0,36
0,72
0,36
1,45
5,43
0,36
1,45
4,35
0,36
1,81

0,04
0,60
0,32
0,20
0,84
0,16
0,04
0,28
0,04
0,08
0,04
0,16
0,08
0,04
0,04
0,08
0,04
0,04
0,32
0,04
0,08
0,16
0,04
0,12

1,03
15,46
8,25
5,15
21,65
4,12
1,03
7,22
1,03
2,06
1,03
4,12
2,06
1,03
1,03
2,06
1,03
1,03
8,25
1,03
2,06
4,12
1,03
3,09

27600

100

3,88

100

INP (%)
1,39
42,28
11,87
8,05
51,00
5,94
1,39
13,38
1,39
2,79
8,28
6,66
2,79
1,39
1,39
2,79
1,39
2,48
13,68
1,39
3,51
8,47
1,39
4,90
200

Lampiran 17. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

Nama Lokal
Pantat daun
Pingan
Cempedak
Medang
Beringin hijau
Penyelabak
Ubah
Kubal
Salak hutan
Pejantang
Tekam
Kumpang
Empaling
Pantat rusa
Kelampai
Engkerbang
Nyatuh
Kepuak
Biantang
Keraput
Kedangkai
Mokiau
Jengkol
Lukai
Melaban
Kayu Ambon
Simpur
Mang
Kemayau
Bentak
Gerantung
Petai
Keladan
Mentawak

Nama Indonesia
Kosar
Cempedak
Medang
-

Famili
Rubiaceae
Moraceae
Moraceae
Lauraceae
Anonaceae

Nama Ilmiah
Psychotria sp.
Artocarpus rigidus BI.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Litsea elliptica Blume
Goniothalamus tapis Miq.

Kelat

Myrtaceae

Syzygium zeylanicum (L.) DC.

Burseraceae
Violaceae

Dacryodes rugosa (Blume) H.J. Lam.


Rinorea bengalensis (Wallich.) Kuntze

Tekam

Dipterocarpaceae

Hopea sp.

Peredah burung

Myristicaceae

Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.

Tapos
Nyatoh terung
Terap

Myrsinaceae
Euphorbiaceae
Rubiaceae
Sapotaceae
Moraceae

Ardisia cf. lanceolatum Roxburgh


Eleteriospermum tapos Blume
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Artocarpus elasticus Reinw.

Katuri
-

Clusiaceae
-

Garcinia bancana
-

Jengkol
-

Fabaceae
Anonaceae

Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King


Goniothalamus macrophyllus Hook. f. & Thoms.

Pelawan

Myrtaceae

Tristania beccarii

Sempur
-

Clusiaceae
Dilleniaceae
Clusiaceae
Burseraceae

Calophyllum sp.
Dillenia excelsa
Garcinia gaudichaudii Planch. & Triana
Dacryodes rostrata (Blume) H.J.Lam

Petai
Keladan
Keledang

Fabaceae
Fabaceae
Dipterocarpaceae
Moraceae

Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.


Parkia speciosa Hassk.
Hopea dryobalanoides Miq.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.

K
(ind/ha)

KR
(%)

FR
(%)

INP
(%)

300
500
2400
1600
400
100
2000
100
100
700
300
400
100
100
9700
300
800
200
400
100
100
100
200
500
500
400
400
100
100
100
300
400
300
100

1,24
2,07
9,92
6,61
1,65
0,41
8,26
0,41
0,41
2,89
1,24
1,65
0,41
0,41
40,08
1,24
3,31
0,83
1,65
0,41
0,41
0,41
0,83
2,07
2,07
1,65
1,65
0,41
0,41
0,41
1,24
1,65
1,24
0,41

0,12
0,08
0,48
0,44
0,04
0,04
0,60
0,04
0,04
0,16
0,08
0,16
0,04
0,04
0,64
0,12
0,24
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,08
0,16
0,12
0,08
0,12
0,04
0,04
0,04
0,12
0,16
0,12
0,04

2,54
1,69
10,17
9,32
0,85
0,85
12,71
0,85
0,85
3,39
1,69
3,39
0,85
0,85
13,56
2,54
5,08
0,85
1,69
0,85
0,85
0,85
1,69
3,39
2,54
1,69
2,54
0,85
0,85
0,85
2,54
3,39
2,54
0,85

3,78
3,76
20,09
15,93
2,50
1,26
20,98
1,26
1,26
6,28
2,93
5,04
1,26
1,26
53,64
3,78
8,39
1,67
3,35
1,26
1,26
1,26
2,52
5,46
4,61
3,35
4,20
1,26
1,26
1,26
3,78
5,04
3,78
1,26

24200

100,00

4,72

100,00

200,00

Lampiran 18. Perhitungan Sebaran Spasial Sengkubak (Pycnarrhena cauliflora )


Lokasi Ht. Adat I Sirang
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

S Individu
3
0
0
2
0
7
0
0
0
0
2
1
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
17

Ht. Karet alam campuran I Suak


Sxi2

Plot
9
0
0
4
0
49
0
0
0
0
4
1
0
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
71

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sxi2
s2

289
2,476667
0,68

Sxi2
s2

Id=
Mu =
Mc =
Ip=
Clumped

4,963235
0,275063
1,96025
0,56517

Id=
Mu =
Mc =
Ip=
Clumped

S Individu
0
2
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
2
1
0
0
0
10
100
0,5
0,4

1,666667
-0,28878
2,707111
0,195262

Sxi2

Ht. Karet alam campuran II Suak


Plot

0
4
0
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
4
1
0
0
0
16

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

S Individu
0
0
0
5
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
2
0
0
0
9

Sxi2

Lokasi Adat II Medang


Plot

0
0
0
25
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
4
0
0
0
31

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

S Individu
2
2
1
0
1
0
1
0
0
0
0
2
1
1
2
2
2
1
1
1
2
0
0
0
0
22

Sxi2
s2

81
1,156667
0,36

Sxi2
s2

484
0,693333
0,88

Id=
Mu =
Mc =
Ip=
Clumped

7,638889
-0,44988
2,9205
0,60685

Id=
Mu =
Mc =
Ip=
Uniform

0,757576
0,447667
1,731619
-0,21945

Sxi2
4
4
1
0
1
0
1
0
0
0
0
4
1
1
4
4
4
1
1
1
4
0
0
0
0
36

Lampiran 19 Analisis asosiasi spesies sengkubak dengan spesies lainnya pada tingkat pohon
Lokasi Hutan Adat I Dusun Sirang (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak Cempedak
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
3
Tdk ada
8
11
Total
11
14
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Plot

Sengkubak Cempedak
1
1
0
0
0
0
1
0
0
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
6
11

2,64
3,36
8,36
10,64
0,115345
0,115345
3,841
0,214286
0,352941

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

6
19
25

Sengkubak Pelok kelik


Ada
Tdk ada Total
Ada
1
5
Tdk ada
0
19
Total
1
24
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Plot

Sengkubak Pelok kelik


1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
1

0,24
5,76
0,76
18,24
3,298611
3,298611
3,841
0,166667
0,285714

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
6
19
25

Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6

Karet
Ada

Plot

Karet
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
1
0
0
1
17

Tdk ada
5
12
17

4,08
1,92
12,92
6,08
0,853006
0,853006
3,841
0,277778
0,434783

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Total
1
7
8

6
19
25

Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6

Kepuak
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
1
0
6

Sengkubak Kepuak
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
4
Tdk ada
4
15
Total
6
19
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

1,44
4,56
4,56
14,44
0,377039
0,377039
3,841
0,2
0,333333

6
19
25

Lampiran 19. Lanjutan


Hutan Adat I Sirang (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6

0
0
0
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
10

Sengkubak Medang
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
4
Tdk ada
8
11
Total
10
15
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

2,4
3,6
7,6
11,4
0,146199
0,146199
3,841
0,142857
0,25

Plot

Medang

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

6
19
25

Sengkubak Kumpang
Ada
Tdk ada Total
Ada
0
6
Tdk ada
6
13
Total
6
19
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Plot

Sengkubak Kumpang
1
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
6
6

1,44
4,56
4,56
14,44
2,493075
2,493075
3,841
0
0

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
6
19
25

Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6

Ubah
Ada

Plot

Ubah
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
5

Tdk ada
3
2
5

1,2
4,8
3,8
15,2
4,440789
4,440789
3,841
0,375
0,545455

3
17
20

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Total
6
19
25

Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6

jengkol

Sengkubak jengkol
Ada
Tdk ada Total
Ada
0
3
Tdk ada
2
17
Total
2
20
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,272727
2,727273
1,727273
17,27273

X2h =

0,347368
0,347368

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0
0

3
19
22

Karena X2h > X20.05, maka ho diterima, ada asosiasi antara sengkubak dengan ubah

Lampiran 19. Lanjutan


Hutan Adat I Sirang (Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat tiang)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak kumpang
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
4
Tdk ada
2
17
Total
4
21
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Plot

Sengkubak kumpang
1
1
0
0
0
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
6
7

0,96
5,04
3,04
15,96
1,764829
1,764829
3,841
0,25
0,4

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

6
19
25

Sengkubak Gerantung
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
5
Tdk ada
5
14
Total
6
19
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Plot

Sengkubak gerantung
1
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
6
6

1,44
4,56
4,56
14,44
0,232764
0,232764
3,841
0,090909
0,166667

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
6
19
25

Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6

karet
Ada

Plot

karet
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
1
0
1
0
1
1
17

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
Tdk ada
5
12
17

4,08
1,92
12,92
6,08
0,853006
0,853006
3,841
0,277778
0,434783

Total
1
7
8

6
19
25

Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6

ubah
Ada

ubah
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
5

Tdk ada
0
5
5

1,2
4,8
3,8
15,2
1,973684
1,973684
3,841
0
0

6 Total
14
20

6
19
25

Lampiran 20. Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain


Lokasi Hutan Karet Alam Campuran I Dusun Suak (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
Ada
Tdk ada
Total

Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

Karet
Ada

Plot

Karet
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
23

Tdk ada
5
18
23

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Total
2
0
2

7
18
25

Plot

Sengkubak Mentawak
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
7
7

Sengkubak Mentawak
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
5
Tdk ada
5
13
Total
7
18

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
7
18
25

Ada
Tdk ada
Total

Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

Pelaik
Ada
4
9
13

Plot

Pelaik
0
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
1
1
0
1
1
13

Tdk ada
3
9
12

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Total
7
18
25

Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

6,44
0,56
16,56
1,44

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

1,96
5,04
5,04
12,96

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

3,64
3,36
9,36
8,64

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

1,68
5,32
4,32
13,68

X 2h =

5,590062
5,590062

X 2h =

0,001575
0,001575

X 2h =

0,103022
0,103022

X 2h =

1,895363
1,895363

JI =
DI =

3,841
0,2
0,333333

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,166667
0,285714

Karena X2h > X20.05, maka ho diterima, ada asosiasi antara sengkubak dengan ubah

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,25
0,4

0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
6

Sengkubak Kepuak
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
4
Tdk ada
3
15
Total
6
19

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

X20.05(1) =

Kepuak

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,3
0,461538

7
18
25

Lampiran 20. Lanjutan


Lokasi Hutan Karet Alam Campuran I Dusun Suak (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Plot

Sengkubak Sengkajang
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
7
4

SengkubakSengkajang
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
5
Tdk ada
2
16
Total
4
21

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

7
18
25

Plot

Sengkubak Cempedak
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
0
0
7
3

Sengkubak Cempedak
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
6
Tdk ada
2
16
Total
3
22

Lokasi Suak tiang


Sengkubak
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

7
18
25

0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

Plot

Merkubong
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
4

Sengkubak Merkubong
Ada
Tdk ada
Total
Ada
1
6
Tdk ada
3
15
Total
4
21

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

7
18
25

Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

1,12
5,88
2,88
15,12

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,84
6,16
2,16
15,84

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

1,12
5,88
2,88
15,12

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

1,12
5,88
2,88
15,12

X 2h =

1,143235
1,143235

X 2h =

0,0481
0,0481

X 2h =

0,0212585
0,0212585

X 2h =

5,217782
5,217782

JI =
DI =

3,841
0,222222
0,363636

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,111111
0,2

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,1
0,18181818

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
0
4

Sengkubak Keladan
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
4
Tdk ada
1
17
Total
4
21

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

X20.05(1) =

Keladan

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,375
0,545455

7
18
25

Lampiran 20. Lanjutan


Lokasi Hutan Karet Alam Campuran I Dusun Suak (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat tiang)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

Plot

Medang bulai

SengkubakMedang bulai
Ada
Tdk ada
Ada
2
Tdk ada
6
Total
8

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
8

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Total
5
12
17

7
18
25

Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

Plot

Medang

Sengkubak Medang
Ada
Tdk ada
Ada
2
Tdk ada
2
Total
4

0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
4

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkuba
Total
5
16
21

7
18
25

Ada
Tdk ada
Total

Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

Leban
Ada

Plot

Leban
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
4

Tdk ada
1
3
4

6
15
21

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Total
7
18
25

Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7

2,24
4,76
5,76
12,24

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

1,12
5,88
2,88
15,12

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

1,12
5,88
2,88
15,12

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,75
5,25
2,25
15,75

X 2h =

0,052521
0,052521

X 2h =

1,143235
1,143235

X 2h =

0,021259
0,021259

X 2h =

1,142857
1,142857

JI =
DI =

3,841
0,153846
0,266667

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,222222
0,363636

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,1
0,181818

0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3

Sengkubak Jangau
Ada
Tdk ada Total
Ada
0
6
Tdk ada
3
15
Total
3
21

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

X20.05(1) =

Jangau

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0
0

6
18
24

Lokasi Suak I tiang


Plot
Sengkubak
1
0
2
1
3
0
4
0
5
0
6
0
7
0
8
0
9
1
10
0
11
0
12
0
13
0
14
0
15
0
16
0
17
1
18
1
19
1
20
0
21
1
22
1
23
0
24
0
25
0
7

Sengkubak Ada
Ada
Tdk ada
Total

Sengkajang
Tdk ada
1
2
3

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,84
6,16
2,16
15,84

X 2h =

0,0481
0,0481

X20.05(1) =
JI =
DI =

Sengkajang

3,841
0,111111
0,2

0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
3

Total
6
16
22

7
18
25

Lampiran 21. Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain


Lokasi Hutan Karet alam campuran II Dusun Suak (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4

Plot

Keladan
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
4

Sengkubak Keladan
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
3
Tdk ada
3
18
Total
4
21

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
4
21
25

Ada
Tdk ada
Total

Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4

Ubah
Ada

Plot

Ubah
1
0
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5

Tdk ada
2
3
5

2
18
20

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Total
4
21
25

Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4

Plot

Medang
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6

Sengkubak Medang
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
3
Tdk ada
5
16
Total
6
19

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

4
21
25

Sengkubak Kempenat
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
4
1

Sengkubak Kempenat
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
3
Tdk ada
0
21
Total
1
24

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,64
3,36
3,36
17,64

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,8
3,2
4,2
16,8

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,96
3,04
5,04
15,96

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,16
3,84
0,84
20,16

X 2h =

0,28699
0,28699

X 2h =

2,678571
2,678571

X 2h =

0,002611
0,002611

X 2h =

5,46875
5,46875

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,142857
0,25

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,285714
0,444444

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,111111
0,2

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,25
0,4

4
21
25

Lampiran 21. Lanjutan


Hutan Karet alam campuran II Dusun Suak (tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Plot

Sengkubak Nyatuh ensik


0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
4
2

SengkubakNyatuh ensik
Ada
Tdk ada
Total
Ada
1
3
Tdk ada
1
20
Total
2
23

Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat tiang (Ht. karet alam campuran II Suak)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

4
21
25

Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4

Plot

Entibab

Sengkubak Entibab
Ada
Tdk ada
Ada
1
Tdk ada
0
Total
1

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
Total
3
21
24

4
21
25

Ada
Tdk ada
Total

Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4

Nyatuh
Ada

Plot

Nyatuh
1
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
Tdk ada
2
1
3

2
20
22

Total
4
21
25

Ada
Tdk ada
Total

Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4

Ubah
Ada

0,32
3,68
1,68
19,32

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,16
3,84
0,84
20,16

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

0,48
3,52
2,52
18,48

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

1,28
2,72
6,72
14,28

X 2h =

1,869824
1,869824

X 2h =

5,46875
5,46875

X 2h =

6,511544
6,511544

X 2h =

0,709034
0,709034

JI =
DI =

3,841
0,2
0,333333

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,25
0,4

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,4
0,571429

X20.05(1) =
JI =
DI =

0
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
1
0
8

Tdk ada
2
6
8

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

X20.05(1) =

Ubah

3,841
0,2
0,333333

2
15
17

Total
4
21
25

Lampiran 21. Lanjutan


Lokasi SuakII Tiang
Plot
Sengkubak
1
0
2
0
3
0
4
1
5
0
6
0
7
0
8
0
9
1
10
0
11
0
12
0
13
0
14
0
15
0
16
0
17
0
18
0
19
0
20
0
21
1
22
1
23
0
24
0
25
0
4

Sengkubak Ada
Ada
Tdk ada
Total

0,8
3,2
4,2
16,8

X 2h =

0,074405
0,074405

JI =
DI =

0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
5

Puduk
Tdk ada Total
1
3
4
17
5
20

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

X20.05(1) =

Puduk

3,841
0,125
0,222222

4
21
25

Lampiran 22. Analisis asosiasi sengkubak dengan spesies lain


Lokasi Hutan Adat II Dusun Medang (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
2
X h=

2
0.05(1) =

JI =
DI =

sengkubak
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
15

Petai
Ada

Plot

Petai
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
8

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
Tdk ada
7
1
8

4,8
10,2
3,2
6,8
3,707108
3,707108
3,841
0,4375
0,608696

Total
8
15
9
10
17
25

Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

sengkubak
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
15

Piling
Ada

Plot

Piling
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2

Tdk ada Total


2
13
15
0
10
10
2
23
25

1,2
13,8
0,8
9,2
1,449275
1,449275
3,841
0,133333
0,235294

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak Kelampai
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
15
18

Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak Merkubong
1
0
1
1
1
0
0
0
1
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
3

Sengkubak Kelampai
Ada
Tdk ada Total
Ada
12
3
15
Tdk ada
6
4
10
Total
18
7
25

SengkubakMerkubong
Ada
Tdk ada
Total
Ada
2
13
15
Tdk ada
1
9
10
Total
3
22
25

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

10,8
4,2
7,2
2,8
1,190476
1,190476
3,841
0,571429
0,727273

X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

1,8
13,2
1,2
8,8
0,063131
0,063131
3,841
0,125
0,222222

Lampiran 22. Lanjutan


Hutan Adat II Medang (asosiasi tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
15

Plot

Medang
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
5

Sengkubak Medang
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
12
Tdk ada
1
9
Total
4
21
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
2
X h=

2
0.05(1) =

JI =
DI =

2,4
12,6
1,6
8,4
0,446429
0,446429
3,841
0,1875
0,315789

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Sengkubak
15
10
25

Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =

X20.05(1) =
JI =
DI =

Sengkubak
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
15

Ubah
Ada

Plot

Ubah
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
8

Tdk ada Total


5
10
3
7
8
17

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

15
10
25

Plot

sengkubak Cempedak
1
0
1
0
1
1
0
0
1
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
1
0
1
15
6

Sengkubak Cempedak
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
13
Tdk ada
4
6
Total
6
19

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

15
10
25

Sengkubak Mentawak
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
15
6

Sengkubak Mentawak
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
12
Tdk ada
3
7
Total
6
19

4,8
10,2
3,2
6,8

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

3,6
11,4
2,4
7,6

E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =

3,6
11,4
2,4
7,6

0,030637
0,030637

X2h =

2,339181
2,339181

X2h =

0,328947
0,328947

3,841
0,277778
0,434783

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,105263
0,190476

X20.05(1) =
JI =
DI =

3,841
0,166667
0,285714

15
10
25

Você também pode gostar