Você está na página 1de 5

BAB 1 PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Masyarakat seakan acuh pada keadaan orang yang memiliki kekurangan didalam
dirinya. Banyak orang yang merasa dikucilkan dan merasa dirinya tidak di anggap di
dalam masyarakat. Masyarakat yang cenderung individualistis dan selalu mementingkan
diri sendiri mengakibatkan terjadinya para penyandang catat mengalami perasaan yang di
kucilkan.
Menurut Departemen Sosial (Depsos) pada tahun 2002 . Anak yang mengalami cacat
di Indonesia berjumlah 358.738 jiwa . yang didalamnya terdiri dari tuna daksa (35.8 %),
tuna netra (17%), tuna rungu wicara (14.27%), tuna grahita (12.15%), dan sisanya kurang
dari 7% adalah penyandang cacat lain.
Sedangkan, Menurut data WHO , anak yang memiliki cacat atau kekurangan pada
setiap Negara adalah sejumlah 10% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah
penyandang cacat sesuai sensus tahun 1978 di Indonesia berjumlah 1.793.118 jiwa, atau
mencapai (3.1%) dari jumlah penduduk. Lalu pada tahun 2004 dapat diketahui jumlah
penyandang cacat sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sosenas) di Indonesia
adalah 6.047.008 jiwa, yang terdiri dari tuna netra 1.749.981 jiwa (29%), tuna daksa
1.652.741 jiwa (27%), eks penderita penyakit kronis 1.282.881 jiwa (21%), tuna grahita
777.761 jiwa (12.8%), dan tuna rungu wicara mencapai angka 602.784 (9.9%).
Angka 602.784 jiwa tuna rungu wicara cukup mencengangkan bagi masyarakat
awam apalagi kita yang berperan sebagai terapis wicara kelak. Perbandingan antara
terapis wicara di Indonesia yang berjumlah kurang dari 600 orang pada tahun 2011 ini
dan penyandang tuna rungu wicara yang mencapai 602.784 jiwa dan mungkin lebih.
Kasus tuna rungu wicara merupakan masalah yang sering di jumpai di masyarakat.
Mungkin warga yang mengalami tuna rungu dan tuna wicara ada di sekitar kita. Namun,
kita sering tidak tanggap akan masyarakat yang mengalami kekurangan dalam segi
pendengaran dan bicaranya sehingga kita tidak tahu akan keberadaan orang yang
mengalami gangguan tersebut. Pengetahuan tentang gangguan pendengaran dan
gangguan wicara perlu diperhatikan pada anak, karena itu semua saling berkaitan dalam
proses berkomunikasi. Keadaan pada anak yang mengalami gangguan pada
pendengarannya akan mempengaruhi pada proses bicara dimasa dewasa anak.
B.Rumusan masalah
1.jelaskan pengertian tuna rungu?
2.Jelaskan klasifikasi tuna rungu?
3.Apa saja penyebab tuna rungu?
4.Bagaimana dampak tuna rungu?
5.Bagaimana karakteritis anak yang mengalami tuna rung?
6.Apa saja layanan anak tuna rungu?

C.Tujuan
1.untuk mengetahui pengertian tuna rungu
2.untuk mengetahui klasifikasi tuna rungu
3.untuk mengetahui penyebab tuna rungu
4.untuk mengetahui dampak tuna rungu
5.untuk mengetahui karakteritis anak yang mengalami tuna rungu
6. untuk mengetahui layanan anak tuna rungu

BAB II ISI
A.Pengertian tuna rungu
Tuna rungu adalah seseorang yang memiliki masalah pada pendengarannya. Anak
yang menderita ketunarunguan memliliki postur tubuh normal dan memiliki intelegensi
seperti anak-anak normal lainya namun memiliki kekurangan pada pendengarannya dan
kosa kata yang dia miliki cukup kurang anak yang menderita ketunarunguan mengalami
keterlambatan bahasa, sehingga sering menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi
sehingga kurang bahkan tidak tanggap jika diajak untuk berkomunikasi, dan memiliki
ucapan kata yang tidak jelas dan cenderung sengau.
Tuna rungu dapat dibantu dengan menghadirkan kepadanya ahli-ahli yang menjadi ruang
lingkup ketunarunguan seperti audiologist, speech-language pathologist, pendidik khusus
tuna rungu dan tuna wicara, guru, speech therapist, physico therapist, dan semua orang
yang berada dilingkungannya karena hal itu cukup berpengaruh. Strategi pendidikan yang
cocok bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara antaralain melalui membaca isyarat,
membaca gerak bibir, verbalisasi oleh lawan bicara dan strategi tertulis.
Karena anak yang mengalami kekurangan biasanya kurang percaya diri, sehingga
mengalami keterlambatan bicarasehingga cenderung mengasingkan diri dan diasingkan
oleh orang disekitarnya dan keluarganya. Sebaiknya anak yang mengalami kekurangan
diajak bergabung dan bersosialisasi agar memudahakan kondianak untuk beradaptasi, dan
tidak merasa minder dengan kekurangan yang dimilikinya sehingga faktor lingkungan
cukup berpengaruh dalam optimalisasi pada anak yang mengalami kekurangan pada
pendengarannya.
B.Klalisifikasi tuna rungu
Menurut Sardjono (1997, hal. 21) mengklasifikasikan ketunarunguan
sebagai berikut :
Berdasarkan bagian alat pendengaran. Klasifikasi ketunarunguan berdasar pada
bagian alat pendengarannya yang rusak dapat dijelaskan kembali menjadi tiga bagian ,
yaitu tuna rungu konduktif, tuna rungu perseptif, dan gejala tuna rungu campuran
(kombinasi ketunarunguan konduktif dan perseptif).
Berdasarkan kelainan pendengaran. Kelainan jenis ini terbagi atas tiga jenis yaitu
kelainan pendengaran conductive lasses, sensory neural or perceptive losses, dan central
deafness.
Berdasarkan gradasi atau tingkatan. Kelainan jenis ini di bagi lagi menjadi enam
bagian pada etiologis, anatomi dan fisiologis ukuran nada . Tuna rungu sangat ringan (025 dB), tuna rungu rimgan (30-40dB),tuna rungu sedang (40-60 dB), tuna rungu berat
(60-70 dB), tuli berat (70 dB dan lebih parah ), dan pada tingkatan paling akut atau total
deafness (tuli total).
Berdasarkan kemampuan mengerti bahasa. Kelainan ini berdasarkan pada
kemampuan mengerti bahasa dan bicara yaitu 10-20 dB (normal) tidak ada hubungan
dengan gangguan bicara dan bahasa. 20-35 dB (mild hearing impairment) tidak ada
hubungan dengan gangguan bahasa. Tapi mungkin perkembangan bahasa menjadi

terlambat. 35-55 dB (mild to moderate hearing impairment) ada beberapa kesulitan


artikulasi, perkembangan kata mungkin tidak sempurna. 55-70 dB (moderate hearing
impairment) artikulasi dan suara tidak baik dan perbendaharaan kata mungkin tidak
sempurna. 70-90 dB (severe hearing loss) artikulasi dan kualitas suara tidak baik. Kalimat
dan aspek-aspek bahasa tidak sempurna. 90 dB atau lebih (severe to profound hearing
impairment) ritme bicara, suara dan artikulasi tidak baik, bicara dan bahasa harus
dikembangkan secara intensif dan seksama. 100 dB atau lebih (profound hearing
impairment) sangat perlu bantuan tentang keberadaan pendengarannya, tapi tidak perlu
bantuan pengembangan bicara melalui pendengaran.
Menurut Uden (1997) dalam Murni Winarsih (2007, hal. 26) kita dapat membagi
klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga bagian yaitu :
Berdasarkan saat terjadinya. Klasifikasi ini berdasarkan saat terjadinya
ketunarunguan, diantaranya terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ketunarunguan bawaan
dan ketunarunguan setelah lahir.
Yang dimaksud dengan ketunarunguan bawaan adalah keadaan ketunarungguan
disandang ketika anak lahir sudah menyandang tuna rungu dan indera pendengarannya
sudah tidak berfungsi lagi. Sedangkan ketunarunguan setelah lahir artinya terjadi
ketunarunguan setelah anak lahir dan diakibatkan oleh kecelakaan atau oleh suuatu
penyakit.
Berdasarkan tempat kerusakan. Klasifikasi ini terbagi kembali menjadi dua , yaitu
kerusakan pada telinga luar dan telinga tengah atau yang sering disebut bagian konduktif
yang mengakibatkan menjadi tuli konduksi, dan yang kedua adalah pada bagian telinga
dalam yang menyerang pada bagian sensori neural yang mengakibatkan kerusakan
pendengaran pada bagian persepsinya atau yang sering disebut tuli sensoris.
Berdasarkan taraf penguasaan bahasa. Kalsifikasi ini membagi ketunarunguan
menjadi dua, yaitu tuna rungu pra bahasa dan purna bahasa. Ketunarunguan pra bahasa
adalah ketunarunguan yang terjadi pada mereka yang mengalami tuna rungu ketika belum
terkuasainya bahasa. Sedangkan tuli purna bahasa adalah ketunarunguan yang terjadi
setelah mereka mengenal bahasa dan telah menguasainya dan telah menerapkannya
dalam kehidupannya yang berlaku dilingkungannya.
Mendeteksi Ketunarunguan
Sardjono (2000, hal. 48) juga menjelaskan ada beberapa cara untuk mendeteksi terjadinya
kelainan pendengaran seseorang. Ada pun tes-tes yang diberikan untuk mengetahui
kelainan tersebut antara lain :
Tes bisik (Whisper test). Tes ini dilakukan dengan dilakukan di tempat yang tenag , jarak
anak dan pemeriksa antara 5 atau 6 meter , memeriksa dahulu telinga bagian kanan lalu
telinga dihadapkan ke arah pemeriksa dan pemeriksa membisikan kata-kata yang harus
diterima anak.
Tes detik jam. Tes ini dilakukan dengan cara mendengarkan detik jam tangan dan
menghitung jarak dimana anak tersebut tidak bisa mendengar detik jam tersebut,
dilakukan secara bergantian pada kedua telinga secara bergantian lalu membandingkan
dengan pemeriksa (pendengaran pemeriksa harus normal).
Tes suara. Tes ini dilakukan apabila tidak bisa dilakukannya pengetesan pendengaran
dengan melakukan tes pertama dan kedua. Tes ini dilakukan dengan cara memanggil anak
itu dari belakang atau membunyikan sesuatu dari arah belakang anak , seperti suara bel,

suara pecahan piring dan lain lain.


Tes mendengar suara. Tes ini dilakukan dengan cara pemeriksaan bunyi binatang seperti
kambing, ayam, sapi, harimau dan lain lain. Dan kemudian anak diharuskan untuk
menyebutkan nama nama binatang tersebut.
C.Penyebab tuna rungu
Faktor yang bisa menyebabkan tuna wicara diantaranya karena tekanan darah yang
terlalu tinggi (Hipertensi), faktor genetik atau keturunan dari orangtua, keracunan
makanan, penyakit Tetanus Neonatorum yang menyerang bayi pada saat bayi baru lahir,
biasanya karena pertolongan persalinan yang tidak memadai, dan penyakit infeksi akut
pada saluran pernafasan bagian atas (Difteri).
D.Dampak tuna rung
dampak tuna rungu wicara sehubungan dengan karakteristik anak tuna rungu yaitu:
miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata
yang mengandung kiasan, adanya gangguan bicara maka hal ini merupakan sumber
masalah pokok bagi anak tuna rungu wicara.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kehilangan pendengaran bagi seseorang
sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab pendengaran
merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas perkembangan secara
optimal. Usaha yang mungkin akan mendorong anak tuna rungu dapat bersekolah
dengan cepat adalah mengikuti pendidikan pada sekolah normal dan disediakan programprogram khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak
normal.

Você também pode gostar