Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
A. Pendahuluan
Anemia defisiensi besi adalah salah satu jenis anemia yang paling
sering dijumpai di dunia terutama di negara yang sedang berkembang sehubungan
dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah, dan
investasi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini 0di Indonesia anemia
defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi utama disamping kurang kalori protein,
vitamin A dan yodium. 1,2
B. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)
Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah normal, patokan WHO (1972) untuk
anak sampai umur 6 tahun kadar Hb di bawah 11.0 g/dl dan untuk anak umur di atas 6
tahun kadar Hb di bawah 12 g/dl dianggap menderita anemia.3
Tabel 1. Batas normal kadar hemoglobin3
Kelompok
Anak Anak
Umur
6 bulan 6 tahun
Dewasa
6 tahun 14 tahun
Laki laki
12
13
Wanita
12
Wanita hamil
11
non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erytropoietin atau
iron limited erytropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratoium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erytrocyt porphyrin (FEP) meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagagi iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb.
Tabel 2. Tahapan Kekurangan Besi. 2
Hemoglobin
Cadangan besi (mg)
Fe serum (ug/dl
TIBC (ug/dl)
Saturasi tansferin(%)
Feritin serum (ug/dl)
Sideroblas (%)
FEP(Ug/dl SDM
MCV
Tahap 1
Normal
<100
normal
360-390
20-30
<20
40-60
>30
Normal
Tahap 2
sedikit
menurun
0
<60
>390
<15
<12
<10
<100
Normal
C. Epidemiologi
Di Chili, Lozof3 melaporkan prevalensi defisiensi besi diantara 1657 bayi
berusia 1 tahun 34,9%, dan dari 186 bayi anemia 84,9% disebabkan oleh
ADB.4 Di Indonesia ADB merupakan salah satu masalah kesehatan gizi utama.
Data SKRT tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada bayi <1 tahun, dan
bayi 0-6 bulan berturut-turut 55% dan 61,3%.5 Endang DL,dkk pada
penelitian di Surakarta menemukan prevalensi ADB sebesar 35%. 6
D.
mioglobin, hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai enzim. Bayi baru
lahir dalam tubuhnya mengandung zat besi sekitar 0,5 gram.3,7,8
Besi dalam jaringan tubuh berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang
membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang
dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang berikatan dengan
protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke
kompartemen lainnya.1
Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di dalam
lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri (Fe 3+) oleh pengaruh asam lambung
(HCL) vitamin C, asam amino. Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh
pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh mukosa usus. Sebagian
akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian masuk ke peredaran darah
berikatan dengan protein yang disebut transferin. Selanjutnya transferin ini akan
dipergunakan untuk sintesis hemoglobin. Sebagian transferin yang tidak terpakai akan
disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri,
terutama bila makanan mengandung vitamin dan fruktosa yang akan membentuk suatu
kompleks besi yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi.
1,3,7
Fe dalam makanan
HCL
Lambung
FeX
Fe +++
Usus
Fe++
Fe+++
Feritin
Plasma
Transferin
Sumsum tulang
Etiologi
Ditinjau dari segi umur penderita, etiologi anemia defisiensi besi dapat digolongkan
menjadi: 9
1. Bayi di bawah usia 1 tahun.
a.
Kekurangan depot besi dari lahir, misalnya pada prematuritas, bayi kembar,
bayi yang dilahirkan oleh ibu yang anemia, pertumbuhan cepat.
b.
Pemberian makanan tambahan yang terlambat, yaitu karena bayi hanya diberi
ASI saja.
a.
b.
c.
Malabsorbsi.
d.
b.
c.
b.
Menstruasi berlebihan.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis umum pada anemia disebut juga sindrom anemia dijumpai apabila
hemoglobin dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, dan mudah capai atau
lelah, mata berkunang kunang, berdebar-debar, cepat marah, nafsu makan berkurang,
sesak nafas, sklera berwarna biru juga sering, meskipun ini juga ditemukan pada bayi
normal dan telinga berdenging.1,9,11
Gejala khas pada anemia defisiensi besi, antara lain :
1. Bentuk kuku konkaf/ kuku sendok (spoon- shape nail/ koilonychia), kuku menjadi
rapuh, bergaris, vertical, dan menjadi cekung.
2. Atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin mengkilat, mera daging,
dan meradang.
3. Stomatitis angularis (cheilosis) adanya peradagan disudut mulut.
4. Disfagia, nyeri menelan karena kerusakan hipofaring
5. Atrofi mukos gaster sehingga menimbulkan akholrida.
6. Pica, keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti : tanah, es, lem, dan
4
lain sebagainya.
G.
Jenis
Nilai
Pemeriksaan
Hemoglobin
Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal berdasarkan
jenis kelamin pasien
Menurun (anemia mikrositik)
Menurun (anemia hipokrom)
Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell
Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE
MCV
MCH
Morfologi
Ferritin
Saturasi
transferin
Pulasan
sumsum tulang
Pemeriksaan
digunakan.
Berbagai kondisi yang mungkin menyebabkan anemia juga
penyait dasar
H.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering
tidak khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB1:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
MCV, MCH dan MCHC yang menurun Red cell distribution width
FEP meningkat
3.
4.
5.
b.
6.
Sumsum tulang
a.
b.
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat
besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat
respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat
besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl
maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.2,10
I.
4. Keracunan timbal
5. Anemia sideroblastik
6. Sindroma Mielodisplatik
7. Sindroma Mieloproliferatif
J.
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 8085% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih
aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian parenteral, pemberian secara
parentertral dilakukan pada pendertita yang tidak dapat memakan obat peroral atau
kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferrous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri,
preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat, yang sering dipakai
adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah, ferrous glukonat, ferrous fumarat
dan ferrous suksiant diabsorpsi sama baiknya tetapi lebih mahal. Untuk bayi preparat besi
berupa tetes (drop). .2-4
Untuk dapat mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg
besi elemental/kgBB/hari. Dosis yang diajurkan untuk remaja dan orang dewasa adalah
60 mg elemen zat besi perhari pada kasus anemia ringan, dan 120 mg/hari (2 60 mg)
pad anemia sedang sampai berat. Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah
3 mg/kgBB/hari.2,5
Pada wanita hamil, pemberian folat (500g) dan zat besi (120 mg) akan
bermanfaat, sebab anemia pada kehamilan biasa diakibatkan pada defisiensi ke dua zat
gizi tersebut. Tablet kombinasi yang cocok, mengandung 250 g folat dan 60 mg zat besi,
dimakan 2 kali sehari.
Efek samping pemberian zat besi peroral dapat menimbulkan keluhan
gastrointestinal berupa rasa tidak enak di ulu hati, mual, muntah dan diare.Sebagai
tambahan zat besi yang dimakan bersama dengan makanan akan ditolelir lebih baik dari
pada ditelan pada saat peut kosong, meskipun jumlah zat besi yang diserap berkurang.2
8
anemia
berat
dengan
diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretic
seperti furesemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi tukar mengguanakan PRC yang segar.2,3
K.
Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja
dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
9
anemia dan menifestasi klinis lannya akan membaik dengan pemberian preparat besi
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut1:
a.
Diagnosis salah
b.
c.
d.
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap.
e.
Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaiam besi (seperti: infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
f.
Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi.)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Permono B., Sutaryo., dan Ugrasena. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: buku ajar hematologi onkologi ,
Badan penerbit IDAI, Jakarta, 2005; 30-42.
2.
Sudoyo W., Setyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., dan Setiati S.,Editor. Pendekatan terhadap Pasien
Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2006; 622-626.
3.
Behram K. A. Anemia Deficiency Iron. Dalam : Kliegman R.M., Bonita, Stanton, Geme J.S., Schor N.,
dan Behrman R.E (Eds). Nelson Textbook of Pediatrics, 19th Edition. W.B. Saunders Company, English,
2010; 1691-1964.
4.
Lozoff B. Iron deficiency in infancy: applying a physiologic framework for prediction. Am J Clin Nutr
2006;84:1412- 21.
5.
Helen Keller International (Indonesia). Iron deficiency anemia in Indonesia. Report of the policy
workshop on iron deficiency anemia in Indonesia. Jakarta: 1997.h.1- 16.
6.
Endang Dewi Lestari, Annang Giri Moelya, Elief Rohana, Budiyanti Wiboworini. Relation of
complementary foods and anemia in urban underprivileged children in Surakarta. Paediatr Indones
2007;47:196-201.
7.
Baker R.D., Greer F.R., and The Committee on Nutrition Pediatrics. Diagnosis and Prevention of Iron
Deficiency and Iron-Deficiency Anemia in Infants and Young Children (0 3 Years of Age). American
Academy Of Pediatrics. 2010;126:1040-1050.
8.
Sudoyo W.,Setyohadi B.,Alwi I.,Simadibrata M.,Setiati S Editor. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006; 644-650.
10
9.
Maria Abdulsalam, Albert Daniel. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari
Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002: 74 77
10. Mansjoer A, Wardhani W. I., Suprohaita, Setiowulan W., Hematologi Anak, Kapita Selekta Kedokteran,
ed. 3, Media Aesculapius FKUI, 2000 : hal 493-494
11. Ferreira M.U., Silva-Nunes M.D., Bertolino C.N., Malafronte R.S., Muniz P.T., and Cardoso M.A.
Anemia and Iron Deficiency in School Children, Adolescents, and Adults: A Community-Based Study in
Rural Amazonia. American Journal of Public Health. 2007, 97(2) : 237-239
12. Lutter C.K. Iron Deciency in Young Children in Low-Income Countries and New Approaches for Its
Prevention. J. Nutr. 2008,138: 25232528
13. Pudjladi A.H., Hegar B, Handryastuti S, Idris N.S., Gandaputra E.P., Harmoniadi E.D. (eds). Pedoman
Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. pp 12-13
11