Você está na página 1de 12

ANEMIA DEFISIENSI BESI: PENDEKATAN HEMATOLOGI

A. Pendahuluan
Anemia defisiensi besi adalah salah satu jenis anemia yang paling
sering dijumpai di dunia terutama di negara yang sedang berkembang sehubungan

dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah, dan
investasi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini 0di Indonesia anemia
defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi utama disamping kurang kalori protein,
vitamin A dan yodium. 1,2
B. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)
Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah normal, patokan WHO (1972) untuk
anak sampai umur 6 tahun kadar Hb di bawah 11.0 g/dl dan untuk anak umur di atas 6
tahun kadar Hb di bawah 12 g/dl dianggap menderita anemia.3
Tabel 1. Batas normal kadar hemoglobin3
Kelompok
Anak Anak

Umur
6 bulan 6 tahun

Kadar Hemoglobin (g/dl)


11

Dewasa

6 tahun 14 tahun
Laki laki

12
13

Wanita

12

Wanita hamil

11

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan besi yang


berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi yang berkurang. Ada tiga tahap dari anemia defisiensi besi,
yaitu:
1. Tahap petama.
Tahap ini disebut iron depletion atau iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi
0

non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erytropoietin atau
iron limited erytropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratoium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erytrocyt porphyrin (FEP) meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagagi iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb.
Tabel 2. Tahapan Kekurangan Besi. 2
Hemoglobin
Cadangan besi (mg)
Fe serum (ug/dl
TIBC (ug/dl)
Saturasi tansferin(%)
Feritin serum (ug/dl)
Sideroblas (%)
FEP(Ug/dl SDM
MCV

Tahap 1
Normal
<100
normal
360-390
20-30
<20
40-60
>30
Normal

Tahap 2
sedikit
menurun

0
<60
>390
<15
<12
<10
<100
Normal

Tahap 3 menurun jelas


(mikrositik/hipokrom)
0
<40
>410
<10
<12
<10
>200
Menurun

C. Epidemiologi
Di Chili, Lozof3 melaporkan prevalensi defisiensi besi diantara 1657 bayi
berusia 1 tahun 34,9%, dan dari 186 bayi anemia 84,9% disebabkan oleh
ADB.4 Di Indonesia ADB merupakan salah satu masalah kesehatan gizi utama.
Data SKRT tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada bayi <1 tahun, dan
bayi 0-6 bulan berturut-turut 55% dan 61,3%.5 Endang DL,dkk pada
penelitian di Surakarta menemukan prevalensi ADB sebesar 35%. 6

D.

Metabolisme Zat Besi


Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau
sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30%
sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk
1

mioglobin, hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai enzim. Bayi baru
lahir dalam tubuhnya mengandung zat besi sekitar 0,5 gram.3,7,8
Besi dalam jaringan tubuh berupa: (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang
membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang
dipersiapkan bila masukan besi berkurang; (3) besi transport, besi yang berikatan dengan
protein tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu kompartemen ke
kompartemen lainnya.1
Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di dalam
lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri (Fe 3+) oleh pengaruh asam lambung
(HCL) vitamin C, asam amino. Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh
pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh mukosa usus. Sebagian
akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian masuk ke peredaran darah
berikatan dengan protein yang disebut transferin. Selanjutnya transferin ini akan
dipergunakan untuk sintesis hemoglobin. Sebagian transferin yang tidak terpakai akan
disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri,
terutama bila makanan mengandung vitamin dan fruktosa yang akan membentuk suatu
kompleks besi yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi.
1,3,7

Fe dalam makanan
HCL
Lambung

FeX

Fe +++

Usus

Fe++

Fe+++

Sel mukosa: (mikrovilli) Fe ++

Feritin

Plasma

Transferin

Sumsum tulang

labile iron pool

Sintesis Hb dalam pembentukan sel darah merah

Gambar 1. Bagan metabolisme besi.8


Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan
hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan
akan dipergunakan lagi untuk sintesa hemoglobin. Jadi dalam tubuh normal kebutuhan
akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang
terkelupas dan karena perdarahan (menstruasi) sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian
besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.5
Pengeluaran besi dari tubuh yang normal ialah : bayi 0,3-0,4 mg/hari, anak 4-12
tahun 0,4-2,5 mg/hari, laki-laki dewasa 1,0-1,5 mg/hari, wanita dewasa 1,0-2,5 mg/hari,
wanita hamil 2,7 mg/hari. Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari
pengeluarannya , karena dipergunakan untuk pertumbuhan. Kebutuhan rata-rata seorang
anak 5 mg/hari, tetapi bila terdapat infeksi dapat meningkat sampai 10 mg/hari.5
Didalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat
mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua
adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan
feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel kupfer hati dan makrofag di limpa dan
sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis
besi dalam tubuh. 2
E.

Etiologi
Ditinjau dari segi umur penderita, etiologi anemia defisiensi besi dapat digolongkan
menjadi: 9
1. Bayi di bawah usia 1 tahun.
a.

Kekurangan depot besi dari lahir, misalnya pada prematuritas, bayi kembar,
bayi yang dilahirkan oleh ibu yang anemia, pertumbuhan cepat.

b.

Pemberian makanan tambahan yang terlambat, yaitu karena bayi hanya diberi
ASI saja.

2. Anak umur 1-2 tahun


3

a.

Masukan besi kurang karena tidak mendapat makanan tambahan (hanya


minum susu).

b.

Kebutuhan meningkat karena infeksi yang berulang/menahun seperti enteritis,


bronkopneumonia.

c.

Malabsorbsi.

d.

Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit


dan divertikulum meckeli.

3. Anak umur 2 5 tahun


a.

Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme

b.

Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang atau menahun.

c.

Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit


dan divertikulum meckeli

4. Anak umur lebih dari 5 tahun- masa remaja


a.

Kehilangan darah kronis karena infestasi parasit (amubiasis, ankilostomiasis).

b.

Diet yang tidak adekuat.

5. Usia remaja - dewasa


a.
F.

Menstruasi berlebihan.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis umum pada anemia disebut juga sindrom anemia dijumpai apabila
hemoglobin dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, dan mudah capai atau
lelah, mata berkunang kunang, berdebar-debar, cepat marah, nafsu makan berkurang,
sesak nafas, sklera berwarna biru juga sering, meskipun ini juga ditemukan pada bayi
normal dan telinga berdenging.1,9,11
Gejala khas pada anemia defisiensi besi, antara lain :
1. Bentuk kuku konkaf/ kuku sendok (spoon- shape nail/ koilonychia), kuku menjadi
rapuh, bergaris, vertical, dan menjadi cekung.
2. Atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin mengkilat, mera daging,
dan meradang.
3. Stomatitis angularis (cheilosis) adanya peradagan disudut mulut.
4. Disfagia, nyeri menelan karena kerusakan hipofaring
5. Atrofi mukos gaster sehingga menimbulkan akholrida.
6. Pica, keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti : tanah, es, lem, dan
4

lain sebagainya.
G.

Pemeriksaan Laboratorium 1-5,6,8,10


Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorim yang
meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit, ditambah
pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi
(Fe serum, total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, FEP, feritin), dan apus
sumsum tulang.
Menentukan adanya anemia dengan pemeriksaan kadar Hb dan atau PCV
merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam
menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC
menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada
keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi
ditemukaan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikolisitiosis (dapat
ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen).
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama terjadi
granulositopenia. Pada keadaan ini disebabkan infestasi cacing sering ditemukan
eosinofilia Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal, trombositosis hanya
dapat terjadi pada penderita dengan perdarahan yang massif. Kejadian trombositopenia
dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis
dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35%
dan trombositpenia 28%.

Gambar 3. Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi,


menunjukkan anemia hipokromik mikrositer,
5

Jenis

Nilai

Pemeriksaan
Hemoglobin
Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal berdasarkan
jenis kelamin pasien
Menurun (anemia mikrositik)
Menurun (anemia hipokrom)
Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell
Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE

MCV
MCH
Morfologi
Ferritin

sehingga kadar Ferritin secara tidak langsung menggambarkan


konsentrasi kadar Fe. Standar kadar normal ferritin pada tiap center
kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin serum normal tidak
menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi namun kadar ferritin
TIBC

>100 mg/L memastikan tidak adanya anemia defisiensi besi


Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350 mg/L

Saturasi

(normal: 300-360 mg/L )


Saturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-50%)

transferin
Pulasan

selDapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang

sumsum tulang

dengan normoblas kecil. Pulasan besi dapat menunjukkan butir


hemosiderin (cadangan besi) negatif. Sel-sel sideroblas yang
merupakan sel blas dengan granula ferritin biasanya negatif. Kadar
sideroblas ini adalah Gold standar untuk menentukan anemia
defisiensi besi, namun pemeriksaan kadar ferritin lebih sering

Pemeriksaan

digunakan.
Berbagai kondisi yang mungkin menyebabkan anemia juga

penyait dasar

diperiksa, misalnya pemeriksaan feces untuk menemukan telur


cacing tambang, pemeriksaan darah samar, endoskopi, dan lainnya.

H.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering
tidak khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB1:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1.

Kadar HB kurang dari normal sesuai usia

2.

Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-35%)


6

3.

Kadar Fe serum <50 ug/dl (N:80-180ug/dl)

4.

Saturasi Transferin <15% (N:20-50%)


Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen

1.

Anemia hipokrom mikrositik

2.

Saturasi transferin < 16%

3.

Nilai FEP > 100 % Ug/dl eritrosit

4.

Kadar feritin serum<12 ug/dl


Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria ( ST, feritin serum dan

FEP ) harus dipenuhi.


Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1.

Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi


dengan kadar

MCV, MCH dan MCHC yang menurun Red cell distribution width

(RDW) > 17%


2.

FEP meningkat

3.

Feritin serum menurun

4.

Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST <16%

5.

Respon terhadap pemberian preparat besi


a.

Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi

b.

Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV


mmeningkat 1%/hari

6.

Sumsum tulang
a.

Tertundanya maturasi sitoplasma

b.

Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat

besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat
respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat
besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl
maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.2,10
I.

Diagnosis Banding 1,13


1. Anemia penyakit kronis
2. Talassemia minor
3. Hemoglobinopati
7

4. Keracunan timbal
5. Anemia sideroblastik
6. Sindroma Mielodisplatik
7. Sindroma Mieloproliferatif
J.

Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 8085% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih
aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian parenteral, pemberian secara
parentertral dilakukan pada pendertita yang tidak dapat memakan obat peroral atau
kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferrous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri,
preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat, yang sering dipakai
adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah, ferrous glukonat, ferrous fumarat
dan ferrous suksiant diabsorpsi sama baiknya tetapi lebih mahal. Untuk bayi preparat besi
berupa tetes (drop). .2-4
Untuk dapat mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg
besi elemental/kgBB/hari. Dosis yang diajurkan untuk remaja dan orang dewasa adalah
60 mg elemen zat besi perhari pada kasus anemia ringan, dan 120 mg/hari (2 60 mg)
pad anemia sedang sampai berat. Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah
3 mg/kgBB/hari.2,5
Pada wanita hamil, pemberian folat (500g) dan zat besi (120 mg) akan
bermanfaat, sebab anemia pada kehamilan biasa diakibatkan pada defisiensi ke dua zat
gizi tersebut. Tablet kombinasi yang cocok, mengandung 250 g folat dan 60 mg zat besi,
dimakan 2 kali sehari.
Efek samping pemberian zat besi peroral dapat menimbulkan keluhan
gastrointestinal berupa rasa tidak enak di ulu hati, mual, muntah dan diare.Sebagai
tambahan zat besi yang dimakan bersama dengan makanan akan ditolelir lebih baik dari
pada ditelan pada saat peut kosong, meskipun jumlah zat besi yang diserap berkurang.2
8

Pemberian preparat besi parenteral


Pemberian besi secara intra muscular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat
menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Oleh karena itu, besi parenteral
diberikan hanya bila dianggap perlu, misalnya : pada kehamilan tua, malabsorpsi berat,
radang pada lambung. Kemampuan untuk menaikan kadar Hb tidak lebih baik
dibandingkan peroral. 2,10
Besi parenteral efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal.
Indikasi, yaitu :
1. Intoleransi oral berat
2. Kepatuhan berobat kurang
3. Kolitis ulserativa
4. Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir).
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml.
Dosis dapat dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg) = BB (kg) kadar Hb yang diinginkan (g/dl ) 2,5
Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons
terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, lebih akan
membahayakan kerana dapat menyebabkan hipovolemia dan dilatasi jantung. Pemberian
PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikan kadar Hb
sampai tingkat aman sampai menunggu respons terapi besi. Secara umum, untuk
penderita

anemia

berat

dengan

diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretic
seperti furesemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi tukar mengguanakan PRC yang segar.2,3
K.

Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja
dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
9

anemia dan menifestasi klinis lannya akan membaik dengan pemberian preparat besi
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut1:
a.

Diagnosis salah

b.

Dosis obat tidak adekuat

c.

Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa

d.

Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap.

e.

Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaiam besi (seperti: infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)

f.

Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi.)

DAFTAR PUSTAKA
1.

Permono B., Sutaryo., dan Ugrasena. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: buku ajar hematologi onkologi ,
Badan penerbit IDAI, Jakarta, 2005; 30-42.

2.

Sudoyo W., Setyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., dan Setiati S.,Editor. Pendekatan terhadap Pasien
Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2006; 622-626.

3.

Behram K. A. Anemia Deficiency Iron. Dalam : Kliegman R.M., Bonita, Stanton, Geme J.S., Schor N.,
dan Behrman R.E (Eds). Nelson Textbook of Pediatrics, 19th Edition. W.B. Saunders Company, English,
2010; 1691-1964.

4.

Lozoff B. Iron deficiency in infancy: applying a physiologic framework for prediction. Am J Clin Nutr
2006;84:1412- 21.

5.

Helen Keller International (Indonesia). Iron deficiency anemia in Indonesia. Report of the policy
workshop on iron deficiency anemia in Indonesia. Jakarta: 1997.h.1- 16.

6.

Endang Dewi Lestari, Annang Giri Moelya, Elief Rohana, Budiyanti Wiboworini. Relation of
complementary foods and anemia in urban underprivileged children in Surakarta. Paediatr Indones
2007;47:196-201.

7.

Baker R.D., Greer F.R., and The Committee on Nutrition Pediatrics. Diagnosis and Prevention of Iron
Deficiency and Iron-Deficiency Anemia in Infants and Young Children (0 3 Years of Age). American
Academy Of Pediatrics. 2010;126:1040-1050.

8.

Sudoyo W.,Setyohadi B.,Alwi I.,Simadibrata M.,Setiati S Editor. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006; 644-650.

10

9.

Maria Abdulsalam, Albert Daniel. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari
Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002: 74 77

10. Mansjoer A, Wardhani W. I., Suprohaita, Setiowulan W., Hematologi Anak, Kapita Selekta Kedokteran,
ed. 3, Media Aesculapius FKUI, 2000 : hal 493-494
11. Ferreira M.U., Silva-Nunes M.D., Bertolino C.N., Malafronte R.S., Muniz P.T., and Cardoso M.A.
Anemia and Iron Deficiency in School Children, Adolescents, and Adults: A Community-Based Study in
Rural Amazonia. American Journal of Public Health. 2007, 97(2) : 237-239
12. Lutter C.K. Iron Deciency in Young Children in Low-Income Countries and New Approaches for Its
Prevention. J. Nutr. 2008,138: 25232528
13. Pudjladi A.H., Hegar B, Handryastuti S, Idris N.S., Gandaputra E.P., Harmoniadi E.D. (eds). Pedoman
Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. pp 12-13

11

Você também pode gostar