Você está na página 1de 6

IMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA DALAM AWIG-AWIG

Tjok Istri Putra Astiti, Wayan Windia, I Ketut Sudantra,


I Gede Marhaendra Wijaatmaja, Anak Agung Istri Ari Atu Dewi,
Fakultas Hukum, Universitas Udayana, E-mail: cokastiti@gmail.com
ABSTRACT
Ajaran Tri Hita Karana adalah salah satu ajaran dalam
agama Hindu yang pada intinya mengajarkan tentang
keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Ketiga keseimbangan tersebut merupakan penyebab
terjadinya kebahagiaan. Sebagai salah satu ajaran, Tri
Hita Karana selalu dijadikan landasan losos dalam
pembangunan, baik pembangunan di tingkat daerah
maupun pembangunan di tingkat desa. Di lingkup
desa pakraman, ajaran ini dengan jelas disebutkan
sebagai pamikukuh (dasar) dalam setiap awig-awig.
Walaupun ditetapkan sebagai pamikukuh, namun
dalam kenyataannya nampak bahwa, ajaran Tri Hita
Karana belum tercermin dengan baik dalam awigawig. Pengkajian terhadap penomena tersebut penting
dilakukan supaya dapat diketahui secara lebih rinci dan
mendalam tentang bagaimana ajaran Tri Hita Karana
itu diimplementasukan dalam awig-awig, khusunya
dalam sistematika dan substansinya. Pengkajian secara
mendalam mengenai hal tersebut penting dilakukan
supaya dapat dijadikan bahan pemikiran dalam
menyempurnakan awig-awig ke depan.
Adapun Metoda yang digunakan dalam mengkaji
hal tersebut adalah metoda content analysis (analisis
isi). Metoda ini dilakukan dengan cara mengkaji format
dan substansi dari awig-awig desa pakraman dari
berbagai kabupaten/kota di Bali yang telah mendapat
pembinaan
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa ajaran Tri
Hita Karana belum diimplementasikan dengan baik
dalam pembuatan sistematika dan perumusan isi awigawig. Oleh karena itu, supaya awiig-awig sinkron
dengan dasar lososnya yaitu Tri Hita Karana, maka
ke depan awig-awig masih perlu disempurnakan.
Kata kunci: Tri Hita Karana, Awig-awig
PENDAHULUAN
Tri Hita Karana, baik sebagai falsafah, sebagai
konsep, maupun sebagai ajaran dalam agama Hindu
telah banyak dibicarakan baik oleh para ilmuwan,
birokrat, anggota dewan, tokoh-tokoh adat dan
agama, tidak terkecuali istilah ini juga sudah populer di
kalangan orang kebanyakan, seolah-olah istilah ini telah
mendarah-daging dan membudaya dalam kehidupan

28

The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011

masyarakat Bali. Sebagaimana diketahui ajaran Tri


Hita Karana sebagai salah satu ajaran dalam agama
Hindu mengajarkan bahwa kebahagiaan akan dapat
dicapai dengan terwujudnya tiga keseimbangan, yaitu
keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Terkait dengan ketiga bentuk keseimbangan
tersebut, Ida Pedanda Gede Made Gunung dalam
beberapa kali dharmawacananya menyebutkan bahwa
keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan
harus diwujudkan dalam bentuk bakti, hubungan
manusia dengan manusia diwujudkan dalam bentuk
tresna, dan hubungan manusia dengan lingkungannya
diwujudkan dalam bentuk asih. Menurut Ida Pedanda,
dewasa ini hubungan antara manusia dengan Tuhan,
hubungan antara manusia dengan manusia sesama,
dan hubungan antara manusia dengan lingkungannya
tidak harmonis lagi. Sebagai salah satu ajaran, Tri
Hita Karana selalu dijadikan sebagai landasan losos
dalam pembangunan, baik pembangunan di tingkat
daerah maupun pembangunan di tingkat desa. Di
lingkup desa pakraman, ajaran tersebut dengan jelas
ditetapkan sebagai dasar (pamikukuh) dalam awigawignya. Pertanyaannya,
apakah para pejabat,
tokoh masyarakat, dan warga masyarakat sendiri
telah betul-betul memahami Tri Hita Karana dalam
wujud bakti, tresna dan asih tersebut, sehingga mampu
mewujudkannya/mengimplementasikannya
dalam
bentuk kebijakan, program, ataupun kegiatan nyata.
Masalah Tri Hita Karana, sebenarnya sudah sering
ditulis oleh berbagai pihak, antara lain, Dasi Astawa
(2007) yang menyoroti Tri Hita Karana sebagai
Landasan Dasar dalam Pembangunan Industri di Bali,
Raka Dalem (2007) dalam artikelnya yang berjudul :
Filoso Tri Hita Karana dan Implementasinya dalam
Industri Pariwisata (dalam Raka Dalem, dkk (editor),
2007). Dalam artikelnya itu, ia mengemukakan teknik
implementasi konsep Tri Hita Karana ke dalam tiga
bidang, yaitu bidang Parahyangan (hubungan manusia
dengan Tuhan), bidang pawongan (hubungan manusia
dengan manusia, dan bidang palemahan (hubungan
manusia dengan lingkungan) yang dikaitkan dengan
industri pariwisata.
Artikel tersebut walaupun
mengkaji tentang Tri Hita Karana, akan tetapi sama
sekali tidak menyinggung awig-=awig.. Di bagian
lain, Astiti (2007) ada menulis artikel yang berjudul:
Awig-awig sebagai Sarana Pelestarian Lingkungan
Hidup (dalam Raka Dalem, dkk, 2007). Dalam artikel

ini, Astiti juga menyinggung tentang Tri Hita Karana,


akan tetapi yang menjadi fokus perhatian dalam
pembahasan adalah awig-awig dalam fungsinya sebagai
pengendalian sosial dan sebagai alat pembaruan dalam
konteks pelestarian lingkungan hidup. Dilihat dari
fokus pembahasannya, ia memang banyak membahas
isi awig-awig (substansi awig-awig) yang merupakan
komponen legal substance dari suatu sistem hukum yang
dikaitkan dengan salah satu komponen Tri Hita Karana
yaitu lingkungan hidup. Itu berarti ia tidak membahas
secara khusus tentang implementasi ajaran Tri Hita
Karana dalam awig-awig
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas,
dianggap sangat penting melakukan kajian/penelitian
tentang implementasi ajaran Tri Hita Karana, khususnya
di desa pakraman terkait dengan awig-awignya dengan
mempermasalahkan apakah ajaran Tri Hita Karana
sudah benar-benar diimlementasikan dalam awig-awig
ataukah hanya sebagai slogan?
Penelitian ini bertujuan untuk mengkritisi awigawig dari sudut pandang Tri Hita Karana, dengan fokus
kajian terhadap sistematika (format) dan substansi
awig-awig, terutama sistem penormaannya.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif dengan obyek kajian awig-awig desa
pakraman, Kajian normatif terhadap awig-awig
dilakukan dengan menggunakan metode content
analysis (analisis isi). Analisis isi dilakukan dengan
cara mengkaji secara kritis format (sistematika) dan isi
(substansi) awig-awig.
Awig-awig yang dikaji ada sembilan (9), merupakan
awig-awig desa pakraman yang berasal dari berbagai
kabupaten/kota di Bali. Kesembilan awig-awig yang
dikaji itu merupakan awig-awig yang sudah mendapat
pembinaan, dengan demikian baik format maupun
isinya relatif homogen.
Data yang diperoleh dari analisis isi terhadap
sistematika dan substansi awig-awig dengan
menggunakan ajaran Tri Hita Karana sebagai alat
analisis, kemudian ditafsirkan sehingga diperoleh
gambaran tentang implementasi ajaran Tri Hita Karana
yang tercermin di dalamnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai mana diketahui Tri Hita Karana merupakan
salah satu ajaran dalam agama Hindu yang mengajarkan
tentang adanya tiga keseimbangan yang menyebabkan
tercapainya kebahagiaan, yaitu keseimbangan antara
manusia dengan Tuhan, keseimbangan manusia dengan

manusia sesama, dan keseimbangan antara manusia


dengan lingkungannya. Ketiga keseimbangan tersebut
umumnya oleh para penulis maupun dalam ungkapan
sehari-hari disebut dengan istilah Parhyangan, Pawongan,
dan Palemahan. Berbeda dengan Ida Pedanda Gede
Made Gunung, menyebutkan keseimbangan hubungan
manusia dengan Tuhan adalah dalam bentuk bakti,
keseimbangan antara manusia dengan manusia sesama
adalah dalam bentuk tresna, dan keseimbangan antara
manusia dengan lingkungannya adalah dalam bentuk
asih. Dalam penelitian atau kajian ini pengertian Tri
Hita Karana yang digunakan adalah sesuai dengan
pendangan Ida Pedanda Gede Made Gunung, karena
bakti, tresna, asih itulah yang mempunyai arti hubungan,
sedangkan Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan tidak
bermakna hubungan.
Awig-awig sebagai salah satu bentuk dari hukum
adat di Bali, merupakan hukum yang hidup (living law)
yang dibuat oleh masyarakat adat sebagai pedoman
bertingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat
adat. Hukum adat Bali (awig-awig) sebagai subsistem hukum adat mempunyai corak khusus yang
membedakannya dengan sistem hukum adat pada
umumnya. Sistem hukum adat sendiri dalam kerangka
pluralisme sistem hukum di Indonesia mempunyai
perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan sistem
hukum lainnya (Hukum Barat, Hukum Nasional,
Hukum Islam), dalam hal losonya, dalam asasasas hukum, dalam kaedah-kaedahnya, sistem sanksi,
sistem pemerintahan, sistem peradilannya, dan lain
sebagainya. Sebagai salah satu sub-sistem dari Hukum
Adat, Hukum Adat Bali (awig-awig) mempunyai
kekhususan, antara lain terkait dengan loso, asasasas, dan sanksi serta cara-cara penyelesaian sengketa.
Sesuai dengan pandangan Laurance M. Friedman (1969),
suatu sistem hukum terdiri dari komponen-komponen
substansi hukum (legal substance), komponen penegak
hukum dan penegakan hukum (legal structure), dan
komponen budaya hukum (legal culture). Demikian
juga halnya dengan Hukum Adat Bali (awig-awig) juga
mempunyai ketiga komponen tersebut (substansi
awig-awig, penegak hukumnya, dan budaya hokum
masyarakat adat).
Sebagai salah satu kekhususan awig-awig sebagai
sub komponen sistem hukum adat, awig-awig
mempunyai landasan losos yang bersumber pada
ajaran agama Hindu. Salah satu ajaran itu adalah ajaran
Tri Hita Karana yang telah ditetapkan sebagai landasan
loso awig-awig, oleh karena itu, sudah semestinya
ajaran ini diimplementasikan dalam awig-awig.

The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011

29

Kajian Kritis terhadap Sistematika Awig-awig


Temuan
Berdasarkan hasil kajian terhadap 9 awig-awig
yaitu : 1) Awig-awig Desa Pakraman Baluk (Negara,
Jembrana, 2009) 2) Awig-awig Desa Adat Tabanan
(Tabanan, 1985), 3) Awig-awig Desa Adat Kapal
(Badung, 2007), 4) Awig-awig Desa Adat Ubung
(Denpasar Barat, 2003). 5) Awig-awig Desa Pakraman
Ubud (Gianyar, 2002), 6) Awig-awig Desa Adat
Selisishan (Klungkung, 1988), 7) Awig-awig Desa
Pakraman Kubu (Bangli, 2009), 8) Awig-awig Desa
Adat Padangaji (Karangasem, tt), 9) Awig-awig Desa
Adat Panglatan (Buleleng, 2009), ditemukan bahwa:
(1)

(2)

(3)

Sistematika ke 9 awig-awig tersebut pada


prinsipnya hampir sama, namun ada sedikit
variasi yang membedakan antara awig-awig No.
5, 7, 8 dan 9 di satu pihak, dengan awig-awig
No. 1, 2, 3, 4, 6 di pihak lain, dalam pengaturan
masalah lingkungan (palemahan). Awig-awig No.
5, 7, 8, dan 9 mengatur masalah palemahan secara
eksplisit dalam satu sargah tersendiri, sedangkan
awig-awig No. 1, 2, 3, 4, 6 masalah palemahan tidak
diatur tersendiri, akan tetapi menjadi bagian
dari sarga Sukerta Tata Pakraman, dalam palet
terakhir dengan topik Palet Sukerta Pamitegep,
bercampur dengan materi-materi lain. Pada
Awig-awig No. 2 malahan palemahan diatur pada
Sarga Sukerta Tata Pakraman dan Pawongan
yang dijadikan satu.
Hampir semua awig-awig mengatur komponen
hubungan manusia dengan manusia lebih
banyak dari komponen-komponen yang lainnya
(hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan
manusia dengan lingkungan). Dalam kaitan ini,
komponen hubungan manusia dengan manusia
diatur dalam beberapa sarga seperti Sarga
Sukerta Tata Pakraman, Sukerta Tata Pawongan,
Sarga Wicara lan Pamidanda.
Awig-awig yang dikaji, hampir semuanya
mencantumkan beberapa jenis sanksi dalam
sebuah sargah yang disebut sargah Wicara lan
Pamidanda. Pamidanda (sanksi) tersebut ada
beberapa jenis antara lain, sanksi melaksanakan
kewajiban (ayahan) tertentu, membayar sejumlah
uang (danda), minta maaf (pangampura), membuat
upacara, pangucilan (kasepekang), dan dipecat
sebagai krama. Jenis-jenis pamidanda tersebut
ternyata tidak semuanya digunakan secara rinci
dan jelas dalam penormaan awig-awig.

(4) Hampir semua awig-awig di bagian akhirnya


mencantumkan prihal nguwah-nguwuhin awig-

30

The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011

awig yang berarti mengurangi dan menambah


awig-awig. Itu artinya awig-awig dapat diubah
untuk disempurnakan.
Pembahasan
Berdasarkan temuan tersebut di atas, tampaknya
sistematika awig-awig cenderung lebih menekankan
pada pengaturan komponen pawongan, hal tersebut
terlihat dari pengaturannya dalam beberapa sarga,
sejumlah palet dan pawos yang jauh melebihi komponen
tata agama, terlebih-lebih lagi pengaturan terhadap
masalah tata palemahan yang dalam beberapa awig-awig
hanya diatur sebagai bagian dari sebuah sargah, yakni
sargah Sukerta Tata Pakraman., seperti halnya awigawig Desa Adat Baluk (Jembrana) dimana masalah
pawongan secara keseluruhan diatur dalam 3 sargah
dengan total pawos 49 pawos. sedangkan Sukerta Tata
Agama hanya diatur dalam satu sargah yang terdiri
dari 5 palet dan 12 pawos, dan masalah palemahan hanya
diatur dalam salah satu palet, 4 kaping, dan 6 pawos,
yang merupakan bagian dari sargah Sukerta Tata
Pakraman. Selanjutnya masalah lain-lain diatur dalam
4 sargah, dan 7 pawos.
Penempatan unsur palemahan sebagai bagian
dari sarga Sukerta Tata Pakraman dalam beberapa
awig-awig tanpa mengaturnya secara tersendiri,
mencerminkan tidak berimbangnya pengaturan ketiga
unsur Tri Hita Karana (Parhyangan, Pawongan, Palemahan).
Cara penempatan seperti itu, menunjukkan bahwa
unsur palemahan tampaknya kurang dipentingkan dan
terpinggirkan. Hal ini tentunya tidak konsekuen dan
tidak konsisten dengan penempatan Tri Hita Karana
(ajaran tentang keseimbangan) sebagai pamikukuh
(dasar) dari awig-awig.
Adanya berbagai jenis sanksi yang ditetapkan
dalam awig-awig sebagaimana temuan di atas, apabila
ditinjau dari ajaran Tri Hita Karana yang mengajarkan
tentang adanya keseimbangan (keharmoniosan) antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia,
manusia dengan lingkungannya, kelihatannya sanksi
berupa pelaksanaan upacara itu berkaitan dengan
unsur hubungan manusia dengan Tuhan, sanksi
permintaan maaf dapat dikatakan terkait dengan
unsur hubungan manusia dengan manusia, demikian
juga sanksi kewajiban melaksanakan ayahan. Ketiga
jenis sanksi tersebut ditinjau dari ajaran Tri Hita Karana
dapat dikatagorikan sebagai sanksi yang mengacu
pada keharmonisan, antara manusia dan Tuhan serta
manusia dengan manusia. Dengan kata lain jenis
sanksi trersebut mencerminkan wujud bakti dan tresna.
Berbeda dengan sanksi pangucilan (kasepekang), dan
dipecat sebagai krama, keduanya tergolong sanksi yang
terkait dengan hubungan manusia dengan manusia,

akan tetapi tidak mencerminkan adanya keharmonisan


karena bersifat menjauhkan seseorang/ sekelompok
warga dari warga lainnya. Dengan kata lain, unsur
tresna antara sesama dalam hubungan manusia tidak
tampak dalam sanksi semacam ini.
Selanjutnya dengan adanya sargah tentang nguwahnguwuhin awig-awig dalam setiap awig-awig merupakan
hal yang sangat tepat dan penting artinya untuk
membuat awig-awig tersebut eksibel karena dapat
dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan
jaman serta berubahnya rasa keadilan dan kepatutan
di masyarakat. Hal ini sesuai dengan sifat luwes dan
dinamis dari hukum adat sebagaimana dikemukakan
oleh Prof.Koesnoe (2002)
Kajian Kritis terhadap Substansi Awig-awig
Temuan
(1) Dari 9 awig-awig yang dikaji, dilihat dari segi
perumusan isi awig-awig, cenderung lebih
banyak merupakan penjelasan-penjelasan yang
dirumuskan dalam pernyataan (deklaratif)
yang tidak berupa
norma atau kaedah.
Contoh: Pawos 2 Sarga I Awig-awig Desa
adat Selisihan, Klungkung yang menyebutkan:
Desa Adat Selisihan puniki ngewidangin 2 (kalih)
banjar: 1.1 Banjar Kangin, 1.2 Banjar Kawan, .dst.
Sebagian yang lain dari isi awig-awig tersebut
dirumuskan dalam bentuk kaedah atau norma.
Dari rumusan-rumusan kaedah tersebut lebih
banyak kaedah-kaedah tanpa disertai sanksi,
misalnya Pawos 17 yang mengatur tentang
atiwa-tiwa (ngaben) sebagai berikut: 1) Yan
tingkahing pacang mapawangun karya atiwa-tiwa
(ngaben) sadurungnya patut masadok ring Klian
Banjar muwah ring Klian Desa Adat Selisihan.
Hanya sebagian kecil perumusan norma
disertai dengan sanksi, misalnya: pawos 31
menyebutkan: 1) Yan wenten sinalih tunggil klian
desa adat utawi klian banjar iwang sesamanya miwah
ngalinyokin sehananin duwen desa wiadin banjar tur
presida kabuktiang kaiwangane antuk ikrama, punapi
malih banget tiwal ring daging awig-awig makamiwah
pasuara, patut keni pamidabdab nikel ring pamidanda
krama siosan.
(2) Norma-norma yang disertai sanksi adakalanya
jenis dan besarnya sanksi tidak disebutkan
dengan jelas, hanya disebutkan manut perarem.
Misalnya, Pawos 64 (1 ca) Awig-awig Desa adat
Ubud yang menyebutkan: Tan kalugra adung
utawi mawiwaha malih diprade sampun palas ping
kalih. Sang mamurug keni pamidanda manut perarem.
Hanya sedikit sekali norma bersanksi yang jenis

dan besarnya sanksi dinyatakan dengan cukup


jelas. Sebagai contoh: Pawos 38 (2 ra) Awigawig Desa Adat Ubung yang menyebutkan
sebagai berikut: Maling kalaku kawastanin, yening
wenten jatma ngambil sarwaning barang yan katara
wawu mapajar ngidih, patut kadanda sapengargan
barang sane keambil, saha ngawaliang barang inucap
(terjemahan : Disebut maling tertangkap basah
(ketara), orang yang mnengambil barangbarang apabila ketahuan baru mengatakan
minta, didenda seharga barang yang diambil
dan harus mengembalikan barang tersebut).
(3) Masalah sanksi diatur dalam salah satu sargah
yang berjudul sarga Wicara lan Pamidanda.
Mengenai pamidanda yang di atur dalam salah
satu pawos ada beberapa jenis antara lain:
melaksanakan kewajiban (ayahan) tertentu,
membayar sejumlah uang (danda), minta maaf
(pangampura), membuat upacara, pangucilan
(kasepekang), dan dipecat sebagai krama. Jenisjenis pamidanda tersebut tidak
semuanya
digunakan secara rinci dan jelas dalam
perumusan norma. Tidak dicantumkannya
jenis dan besarnya sanksi secara jelas dalam
perumusan norma, di satu sisi dapat berdampak
positip, karena akan dapat dimanfaatkan untuk
menyesuaikan sanksi dengan rasa kepatutan
yang sedang tumbuh di massyarakat, namun di
sisi lain juga dapat berdampak negatip karena
akan dapat dimanfaatkan untuk menjatuhkan
sanksi yang dilatarbelakangi motif balas
dendam.
(4) Dalam sargah Sukerta Tata Agama, yang diatur
umumnya mengenai yadnya (panca yadnya),
sangat sedikit berisi rumusan petunjuk hidup
beragama, misalnya tentang bagaimana bersikap
bakti kepada Ida Sanhyang Widhi, demikian
juga dalam bagian sukerta tata pawongan yang
mengatur tentang hubungan manusia dengan
manusia, kurang mengarah pada bagaimana
bersikap tresna antar sesama, juga pada bagian
sukerta tata palemahan (pada awig-awig yang
mengatur hal ini secara tersendiri) belum
ada petunjuk kearah mendidik krama supaya
mencintai atau asih terhadap lingkungan.
Pembahasan
Berdasarkan beberapa temuan tersebut di
atas,
tanpaknya Tri Hita Karana yang dijadikan
landasan (dasar atau pamikukuh) dari awig-awig belum
dijabarkan secara baik dalam penetapan materi maupun
dalam perumusannya sebagai norma. Kelihatannya,
pemahaman terhadap Tri Hita Karana hanya sebatas

The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011

31

Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan sedangkan


hakekatnya sebagai suatu piloso yang mengajarkan
tentang keseimbangan atau keharmonisan, seharusnya
melandasi cara berkir, bersikap dan berperilaku
yang mengarah pada sikap bakti, tresna dan asih
belum dimaknai secara baik. Demikian juga, dari
materi-materi yang diatur dalam awig-awig belum
secara tajam mengarah kepada tujuan (petitis) yaitu
ngerajegang Sanghyang Agama karena pemahaman tentang
makna ngerajegang Sanghyang Agama itu masih
terbatas pada masalah Yadnya (Panca Yadnya) yang
penekanannya lebih pada aci dan Upacara belum
masuk pada persoalan sikap dan perilaku beragama.
Sebagai contoh, jika Sanghyang Agama dijadikan
petitis/tujuan, mestinya hal-hal yang dilarang dan
diperintahkan oleh agama diatur secara tegas dalam
awig-awig dalam bentuk norma yang bersanksi jelas.
Salah satu contoh perilaku yang jelas-jelas dilarang
oleh agama (Hindu) adalah judi. Masalah judi hampir
tidak disinggung di dalam awig-awig. Jika masyarakat
desa pakraman konsekuen ngerajegang Sanghyang Agama,
maka masalah judi (termasuk judi tajen) seharusnya
dilarang secara tegas dalam awig-awig. Berdasarkan
awig-awig yang telah dikaji, larangan berjudi hanya
disinggung sangat minim antara lain dalam awigawig Desa Pakraman Ubung Pawos 44 (1) ta, yang
rumusannya sebagai berikut: Patut ngamanggehang
sesananing Pemangku, luire tan wenang ngamargiang Panca Ma
(madat, madon, mamunyah, mamotoh, lan mamaling). Hanya
sayangnya, norma semacam ini tidak disertai sanksi
yang jelas. Selain itu, larangan melakukan Panca Ma
hanya ditujukan kepada Pemangku, pada hal perilaku
Panca Ma itu perlu dilarang untuk semua krama.
Terkait dengan masalah palemahan (lingkungan hidup),
agama Hindu mempunyai pandangan yang sangat luhur
terhadap hubungan manusia dengan lingkungannya,
hubungan mana menyangkut sekala dan niskala,
antara lain, hubungan manusia dengan tanah di mana
mereka tinggal. Tanah tidak saja dimaknai sebagai
benda sik yang dapat dimiliki sebagai harta kekayaan
dimana dapat dibangun rumah, tempat bertani,
tempat dikubur, dan lain sebagainya, melainkan secara
niskala dikenal juga konsep Ibu Pertiwi berupa
kekuatan yang memberi kehidupan, oleh karenanya
sangat dihormati dan secara rutin dilakukan ritual dan
pemujaan terhadap Beliau. Demikian juga terhadap air,
hutan, dan sumberdaya alam lainnya. Hubungan yang
begitu mesra (harmonis) antara manusia dengan alam
lingkungannya terutama tanah, oleh Prof.Dr. M. H.
Koesnoe (2002) diibaratkan seperti hubungan ibuanak atau orangtua-anak . Dalam hubungan seperti
itu, tidak saja terdapat hubungan hukum, tetapi juga
hubungan moral dan spiritual, oleh karena itu sudah
menjadi kewajiban umat manusia, khususnya umat

32

The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011

Hindu untuk menjaga, membela, mempertahankan,


melestarikan, dan menghormati lingkungan dengan
sebaik-baiknya supaya dapat berfungsi untuk
kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian
tidak ada alasan para penyusun awig-awig untuk
memarjinalkan pengaturan hubungan manusia dengan
lingkungan, karena dengan menghormati lingkungan
juga merupakan salah satu bentuk bakti kepada Ida
Sang Hyang Widhi.
Ada beberapa ketentuan awig-awig yang perlu
mendapat perhatian terkait dengan pelestarian dan
penghormatan terhadap lingkungan, antara lain: Pawos
28 awig-awig Subak Tembuku yang menentukan
sebagai berikut:
1)

Tan dados mabacin ring telabah gede, miwah telabah


jelinjing.

2) Rikala anak istri kapiambeng sebel, patut pisan tan


dados mabersih ring tembuku aya, taler tan dados
masahin sehanan pengange ring genah punika
3)

Soang-soang pelinggih pangungangan carik patut


kasuciang sareng sami, lamakane tan patut malaksana
leteh miwah romon ring genah punika

4) Tan dados nganyudang wek-wekan pengangge miwah


barang-barang romon ring telabahe
5) Sapasira ugi pacang ngemem sagu, kayu miwah ramuan
siyosan ring telabahe, patut sang madruwe mapiorah
ring prajuru mangda mapiduduh ring genah sane
kadadosang.
Terjemahan
1) Tidak boleh membuang kotoran di sungai
maupun di saluran-saluran air.
2) Wanita yang sedang kotor kain, tidak boleh
membersihkan diri maupun mencuci pakaian
yang dipakai, di saluran air menuju ke sawah
3) Tempat-tempat suci yang berkaitan dengan
sawah harus disucikan dan tidak boleh
mengotori tempat tersebut.
4) Tidak boleh membuang pakaian bekas atau
lainnya ke sungai
5) Setiap orang yang akan merendam pohon sagu
atau, kayu, dan bahan- bahan lainnya di sungai,
harus memberitahukan kepada Pengurus
untuk mendapat petunjuk di tempat mana hal
tersebut boleh dilakukan.
Patut dicermati pula awig-awig Desa Tenganan

Pagringsingan tentang larangan menebang pohon


sembarangan yang dimaksudkan untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan. Dalam Pawos 14 awig-awig
tersebut diatur larangan bagi krama setempat untuk
menebang jenis-jenis pohon tertentu seperti keluek,
kemiri, nangka, dan lain sebagainya (Baca Astiti, 2005).

meminjamkan awig-awignya untuk dikaji. Melalui


tulisan ini, kami atas nama Tim Peneliti mengucapkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya. Secara khusus
kami juga menyampaikan terimamasih kepada Bapak
Rektor yang telah memberikan dana operasional dalam
tahap pembuatan proposal penelitian.

Terkait dengan hubungan manusia dengan


lingkungan hidup, agama Hindu telah mengajarkan
untuk menghormati tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang tertuang dalam konsep Tumpek Wariga (Tumpek
Uduh) dan Tumpek Uye (Tumpek Kandang), yang di
dalam kehidupan masyarakat dikenal sebagai oton
entik-entikan) dan oton Celeng di mana krama pada
saat itu mengadakan ritual keagamaan. Hanya sayangnya
pemahaman dan pemaknaan hari-hari tersebut baru
hanya sebatas ritual, belum dibudayakan dalam bentuk
perilaku. Dalam konteks kekinian, mestinya konsep
Tumpek Wariga selain untuk melakukan ritual,
pada saat itu mestinya disertai juga dengan tindakan/
gerakan menanam pohon untuk menunjang program
Pemerintah dalam upaya mewujudkan Bali yang
bersih dan hijau atau menunjang program menanam
1 milyard pohon 2010 ataupun program one man one
tree yang telah ada sebelumnya. Di sinilah sebenarnya
wujud konkret dari hubungan sih antara manusia
dengan lingkungannya. Demikian juga dalam kaitan
dengan pengaturan hubungan manusia dengan manusia
perlu lebih ditekankan pada norma-norma perilaku
yang mengarahkan krama untuk dapat hidup rukun
dan selaras yang mencerminkan keharmonisan dalam
hidup antar sesama, sebagai perwujudan tresna.

REFERENSI

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil kajian terhadap sistematika
dan substansi awig-awig terutama terkait dengan
perumusan
norma/kaedah
awig-awig,
dapat
disimpulkan bahwa ajaran Tri Hita Karana belum
diimplementasikan secara baik dalam sistematika dan
subtansi awig-awig. Itu berarti bahwa penempatan
Tri Hita Karana sebagai pamikukuh dalam awig-awig
masih sebatas slogan. Oleh karena itu, melalui klausula
nguwah nguwuhin awig-awig, awig-awig dapat
disempurnakan dengan mengimplemtasikan ajaran Tri
Hita Karena kedalam sistematika maupun substansi
awig-awig, sehingga tampak ada sinkronisasi atau
konsistensi antara dasar (pamikukuh) dengan awigawignya sendiri.

Awig-awig Subak Tembuku


Awig-awig Desa Adat Tenganan Pagringsingan
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005. Awig-awig Menuju Ajeg
Bali, Plawasari, Denpasar.
------. 2007 Awig-awig sebagai Sarana Pelestarian
Lingkungan Hidup dalam Raka Dalem, dkk.
(editor), 2007. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UPT Penerbit Universitas Udayana
bekerjasama dengan Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup, Denpasar.
Dasi Astawa, 2007. Tri Hita Karana sebagai Landasan
Dasar dalam Pembangunan Industri di Bali, dalam
majalah Dharmasmerthi, Vol V No. 9, April 2007.
Friedman, Laurence. M. 1969. The Legal System : A Social
Sience Perspective Russle Sage Foundation, New
York.
Koesnoe, M. Haji. 2002. Kapita Selekta Hukum Adat :
Suatu Pemikiran Baru, Varia Peradilan-Ikatan Hakim
Indonesia, Jakarta.
Raka Dalem, A A Gede. Filoso Tri Hita Karana
dan Implementasinya dalam Industri Pariwisata
dalam Raka Dalem, dkk. (editor), 2007. Kearifan
Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, UPT
Penerbit Universitas Udayana bekerjasama dengan
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Denpasar.

UCAPAN TERIMAKASIH
Selesainya penelitian ini dilakukan dan sebagian
hasilnya ditulis sebagai artikel ini, tidak terlepas dari
bantuan dan kerjasama yang baik antara Tim Peneliti
serta bantuan yang tulus dari berbagai pihak yang telah

The Excellence Research UNIVERSITAS UDAYANA 2011

33

Você também pode gostar