Você está na página 1de 11

Nama : Bagus Nur Rohim

Nim : 1512584021
1.1. Pengertian Aqidah Islam
Secara etimologi (lughatan), aqidah berakar dari kata aqada yaqidu aqdan yang berarti
simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.
Relevansi antara arti kata aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di
dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (tarif) antara lain:
1. Menurut Hasan al-Banna:

Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hatimu,
mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan
keragu-raguan
2. Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
, , ,
,
Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta
diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran itu
Untuk lebih memahami kedua definisi di atas maka perlu dikemukakan beberapa catatan
tambahan:
1. Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu yang dihasilkan oleh indera,
dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri. Misalnya anda melihat meja di hadapan mata,
anda tidak lagi memerlukan dalil atau bukti bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang
memerlukan dalil atau pembuktian itu disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu perlu dalil
untuk orang yang belum tahu teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah
sangat umum dan terkenal maka tidak memerlukan lagi adanya dalil, misalnya sepeda bannya
ada dua sedangkan mobil bannya ada empat, tanpa dalil siapapun pasti mengetahui hal tersebut.
Hal inilah yang disebut badihiyah. Badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu
dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu
tidak perlu pembuktian lagi.
2. Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari
kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman
menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, misalnya, setiap manusia
memiliki fithrah bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya
wahyulah yang menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang sebenernya.
3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke
tingkat yakin dia akan mengalami lebih dahulu Syak (50%-50% antara membenarkan dan

menolak), kemudian Zhan (salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang
menguatkan), kemudian Ghalabatuz Zhan (cenderung menguatkan salah satu karena dalilnya
lebih kuat, tapi masih belum bisa menghasilkan keyakinan penuh), Keyakinan yang sudah
sampai ke ringkat ilmu inilah yang disebut aqidah.
4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahiriyah seseorang bisa saja purapura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa karena dia
harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya. Kawin paksa misalnya,
hidup satu rumah dengan orang yang tidak pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan mereka
telah sukses karena berakhir dipelaminan namun jiwa mereka tidaklah tenteram seperti kelihatan.
5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala yang bertentangan
dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang
bertentangan. Misalnya ada meyakini gula itu rasanya manis, tentunya anda akan menolak untuk
meyakini bahwa gula itu rasanya asin, tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya manis
dan asin.
6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahamannya terhadap
dalil. Misalnya:
Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda mendapatkan informasi tentang beasiswa
tersebut dari orang yang anda kenal tidak pernah berbohong.
Keyakinan itu akan bertambah apabila anda mendapatkan informasi yang sama dari beberapa
orang lain, namun tidak menutup kemungkinan bahwa anda akan meragukan kebenaran
informasi itu apabila ada syubuhat (dalil dalil yang menolak informasi tersebut).
Bila anda melihat pengumuman beasiswa di fakultas maka bertambahlah keyakinan anda
sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil
Apabila anda diberi formulir pengajuan beasiswa maka keyakinan anda semakin bertambah
dan segala keraguan akan hilang bahkan anda tidak mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan
merubah pendirian anda sekalipun semua orang menolaknya
Ketika anda bolak balik mengurus segala yang terkait dengan beasiswa maka bertambahlah
pengetahuan dan pengalaman anda tentang beasiswa yang diyakini tadi.
B. FUNGSI DAN PERANAN AKIDAH ISLAM
a. Fungsi akidah islam ,diantaranya yaitu :
1. Sebagai pondasi untuk mendirikan bangunan Islam.
2. Merupakan awal dari akhlak yang mulia. Jika seseorang memiliki aqidahyang kuat pasti akan
melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia, dan bermuamalat dengan baik.
3. Semua ibadah yang kita laksanakan jika tanpa ada landasan aqidah maka ibadah kita tersebut
tidak akan diterima
b. Sedangkan peran akidah dalam islam meliputi :
1. Aqidah merupakan misi pertama yang dibawa para rasul Allah.
Allah berfirman:Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu (QS. An-Nahl: 36).

2. Manusia diciptakan dengan tujuan beribadah kepada Allah.


Allah berfirman:Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.
(QS. Adz-Dzariyat: 56).
3. Aqidah yang benar dibebanrkan kepada setiap mukallaf.
Nabi bersabda:Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi
bahwasanya tiada sesembahan yang sebenarnya selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah
rasul utusan Allah. (Muttafaq alaih).
4. Berpengang kepada aqidah yang benar merupakan kewajiban manusia seumur hidup.
Allah berfirman:Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah
kemudian merkea beristiqomah (teguh dalam pendirian mereka) maka para malaikat akan turun
kepada mereka (seraya berkata) : Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa
sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah
kepadamu.(QS. Fushilat: 30).
5. Aqidah merupakan akhir kewajiban seseorang sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.
Nabi saw bersabda:Barangsiapa yang akhir ucapannya Tiada sesembahan yang berhak
disembah selain Allah niscaya dia akan masuk surga. (HSR. Al-Hakim dan lainnya).
6. Aqidah yang benar telah mampu menciptakan generasi terbaik dalam sejarah umat manusia,
yaitu generasi sahabat dan dua generasi sesusah mereka.
Allah berfirman:Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kamu
menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.
(QS. Ali-Imran: 110).
7. Kebutuhan manusia akan aqidah yang benar melebihi segala kebutuhan lainnya karena ia
merupakan sumber kehidupan, ketenangan dan kenikmatan hati seseorang. Dan semakin
sempurna pengenalan serta pengetahuan seorang hamba terhadap Allah semakin sempurna pula
dalam mengagungkan Allah dan mengikuti syariat-Nya.
1.3. Landasan Religius Aqidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh
Allah dalam Al-Quran dan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan
diamalkan).[6]
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang
terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau diperlukan membuktikan secara
ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Quran dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu
kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu
menggapai sesuatu yang tidak terbatas. Misalkan, saat ditanya, kekal [sesuatu yang tidak
terbatas] itu sampai kapan?, maka akal tidak akan mampu menjawabnya karena akal itu terbatas.
Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak mungkin ada peluang bagi
seseorang untuk meragukannya. Dan untuk mencapai tingkat keyakinan ini, aqidah Islam
wajiblah bersumber pada dua warisan tersebut [Al-Quran Hadits] yang tidak ada keraguan
sedikit pun padanya. Dan akal bukanlah bagian dari sumber yang tidak ada keraguan padanya.

Dengan kata lain, untuk menjadi sumber aqidah, maka asal dan indikasinya haruslah pasti dan
meyakinkan, tidak mengandung sedikut pun keraguan. Jika kita memandang Al-Quran dari segi
wurud, maka ia adalah pasti lagi meyakinkan karena telah ditulis selagi Rasulullah masih hidup
dan juga dihafal serta sejumlah besar sehabat yang mustahil mereka sepakat berdusta untuk
memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah timbul perselisihan tentang kesahihan AlQuran di kalangan umat Islam sejak dahulu hingga sekarang.[7] Tidak pernah ada yang berbeda
pendapat bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu satu, bahwa Tuhan itu mahakuasa.
Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati. Ia mendorong manusia untuk
melakukan amal-amal yang baik dan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Allah berfirman
dalam Surat al-Taghabun/64:11 :
. . . (11 ). . .
Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi hidayah kepada
hatinya.
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah ibarat nur atau cahaya yang menerangi
hati dan sangat diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya di dunia. Tanpa cahaya itu hati
sangat gelap, sehingga akan sangat mudah orang tergelincir dalam lembah maksiat. Ibarat orang
yang berjalan pada waktu malam tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat mudah terperosok ke
dalam lobang atau jurang. Demikianlah peranan iman yang merupakan bangunan bawah/fondasi
utama dari kepribadian yang kukuh dan selalu mengawal serta membuat hati agar selalu baik dan
bersih, sehingga dapat memberi bimbingan bagi manusia ke arah kehidupan yang tenteram dan
bahagia.
2. RUANG LINGKUP, KAIDAH, FUNGSI SERTA MANFAAT AQIDAH ISLAM
1. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan,
Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, afal Allah dan lainnya.
2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan
Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mujizat, karamat dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik
seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
4. Samiyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat Sami
(dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda
kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.[9]
Di samping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistimatika arkanul iman
(rukun iman) yaitu:
1. Iman Kepada Allah SWT.
2. Iman Kepada Malaikat (termasuk juga makhluk ruhani lain seperti Jin, Iblis dan Syetan).
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4. Iman Kepada Nabi dan Rasul.

5. Iman Kepada Hari Akhir.


6. Iman Kepada Takdir Allah.
http://miharu-chuppy.blogspot.co.id/2011/12/peran-iman-dalam-menjawabtantangan.html
2 Konsep Manusia dalam Pandangan Islam
berbicara tentang manusia dalam perspektif Islam, ada satu kata yang terlintas
dalam benak saya LEMAH. manusia berasal dari saripati tanah, lalu menjadi
nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang sempurna,
tapi dengan beragam macam proses kehidupan yang harus ia alami. Oleh karena
itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah Swt.
Hakekat penciptaan manusia dalam perspektif Islam dengan merujuk pada nash
Alquran, selalu bertitik tolak pada term khalaqa (menciptakan) dan atau jaala
(menjadikan). Dimana Allah lah sebagai maha pencipta dan yang menjadikan
manusia ada di muka bumi ini. Kedua term ini, mengimformasikan bahwa manusia
itu tercipta atas dua unsur yakni materi dan immateri.kedua unsur yang disebutkan
di atas, dapat tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan.
http://www.kompasiana.com/wrep/konsep-manusia-dalam-pandanganislam_5529a92ef17e615d15d623ea
2.2 BAB II
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG TUGAS DAN FUNGSI MANUSIA
(IBADAH DAN KHALIFAH)
B.1. Ibadah
B.1.1. Definisi Ibadah
Kata ibadah ()dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar dari kata-kata
yang memiliki arti patuh dan tunduk, menghambakan dan menghinakan diri.[1]
Turunan dari arti kata ini adalah hamba sahaya (ta abbadtu fulanan), yang
dihinakan (ba ir mu abbad), marah (abida alaihi), bertahan lama (sawbika
abadah), menghambakan dan menundukkan diri (abadattagut)[2].
Sedangkan dalam terminologi bahasa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)[3], kata ini memiliki arti:
1.
Perbuatan atau pernyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang didasari oleh
peraturan agama.

2.
Segala usaha lahir dan batin yang sesuai perintah agama yang harus dituruti
pemeluknya.
3.

Upacara yang berhubungan dengan agama.

Menurut Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan ibadah ialah:


Suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya,
baik berupa perkatan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin), maupun yang
nampak (lahir).(al-Ubudiyah, cet. Maktabah Dar al-Balagh, hlm. 6)[4]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin di dalam kitabnya berjudul al-Qaul alMufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah
satu diantara dua perkara berikut:
1.
Taabbud, penghinaan dan ketundukan kepada Allah azza wa jalla. Hal ini
dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi
kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang;
2.
Mutaabbad bih, yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah. Inilah
pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Ibnu Taimiyah, Ibadah adalah
suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya,
baik berupa perkatan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin), maupun yang
nampak (lahir).[5]

B.2. Khalifah (Pemimpin)


B.2.1. Definisi Pemimpin
Arti kata pemimpin dalam bahasa Inggris disebut leader.Kegiatannya disebut
kepemimpinan atau leadership. Dalam ungkapan al-Quran kata pemimpin dapat
diterjemahkansetidaknyadengan tiga wacana, yaitu:[10]
1.

Khalifah;

2.

Imam;

3.

Uli al-Amr.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pemimpin merupakan


derivasi dari kata pimpin, yang memiliki arti dibimbing, dituntun. Dengan demikian,
kata pemimpin memiliki arti yakni seseorang yang mampu memimpin, membimbing
dan menuntun apa yang dipimpinnya.[11]

B.2.2. Pemimpin Menurut Al-Quran


Di dalam al-Quran, kata pemimpin sering diartikan dengan kata Khalifah, Imam
danUli al-Amr. Berikut penjelasan masing-masing kata pemimpin yang terdapat di
dalam al-Quran.
1.

Khalifah

Secara etimologis kata khalifah berasal dari kata khalf (di belakang).Lalu dari sini
kata khalifah diartikan sebagai pengganti, karena yang menggantikan selalu
berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya.[12]
Al-Quran memakai kata khalifah dalam bentuk tunggal sebanyak dua kali, yaitu
dalam surah al-Baqarah ayat 30 dan surah Shad ayat 26. Sedangkan bentuk jamak,
khalaif terulang sebanyak empat kali ([6]: 165, [10]: 14, 73, [35]: 39), dan juga
bentuk jamak khulafa terulang sebanyak tiga kali ([7]: 69, 74, [27]: 62).[13]
Perbedaan bentuk kata seperti ayat-ayat diatas, dengan konteks yang berbeda
pula, akan menimbulkan pengertian yang persis tidak sama. Kata khalifah yang
hanya terulang dua kali itudalam konteksnyamenyangkut masalah kekuasaan
dalam pengelolaan wilayah tertentu. Ini secara jelas ditunjukkan oleh
2.

Imam

Kata imam berakar dari kata amama (di depan). Imam berarti yang di depan,
yakni yang diikuti perkataan dan perbuatannya, baik dia manusia, tulisan ataupun
yang selain dari itu,[14] dan mungkin perbuatannya itu baik ataupun buruk.


Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteriisteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan Jadikanlah kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Furqan [25]: 74)

Dalam al-Quran, kata imam terulang sebanyak tujuh kali dengan makna yang
berbeda.Kendati demikian, semuanya mengacu kepada pengertian sesuatu yang
dituju atau diteladani.[15] Arti-arti tersebut adalah:
a.

Pemimpin dalam kebajikan; (Q.S. al-Baqarah [2]: 124)

b.

Kitab amalan manusia; (Q.S. al-Isra [17]: 71)

c.

Lauh Mahfufdz; (Q.S. Yasin [36]: 12)

d.

Taurat; (Q.S. Hud [11]: 17)

e.

Jalan yang jelas. (Q.S. al-Hijr [15]: 79)

3.

Uli al-Amr

Menurut arti kebahasaan, uli al-amr berarti yang mempunyai pekerjaan atau
urusan.Kata tersebut terdapat dua kali dalam al-Quran yaitu pada surah al-Nisa
ayat 59 dan 83.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu... (Q.S. al-Nisa [4]: 59)




Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri),
(Q.S. al-Nisa [4]: 83)
Para mufassir berbeda pendapat tentang pengertian uli al-amr. Sementara mereka
mengatakan bahwa uli al-amr ialah penguasa, tetapi yang lain mengartikannya
dengan ulama.
Bila dilihat rangkaian ayat 59 dan ayat sebelumnya, yang mebicarakan tentang
amanat dan keadilan dalam menegakkan hukum, terlihat bahwa uli al-amr terlihat
dengan kedua tugas tersebut.Lalu kemudian, datang perintah Allah agar orangorang beriman mengikuti Allah, Rasul-Nya dan uli al-amr. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa uli al-amr tidak lain adalah orang yang menjalankan tugas Allah
dan Rasul-Nya, baik dalam hal duniawi maupun ukhrawi.[16]

B.3. Tafsir Ayat Tentang Tugas dan Fungsi Manusia (Ibadah dan Khalifah)
Dalam Kamus Populer Ilmu Pengetahuan karya S. Hassan Masdoeki, kata
fungsi diartikan sebagai jabatan, tugas dan kewajiban.[17]Ini berarti bahwa kata
tugas dan fungsi memiliki pengertian yang serupa. Dengan demikian, tugas dan
fungsi manusia yakni ibadah dan khalifah tidak dapat dipisahkan antara satu sama
lain, atau tidak dapat dilaksanakan hanya secara parsial, karena aspek ibadah juga
mencakup kepada aspek khalifah dan begitu juga aspek khalifah mencakup aspek
ibadah.
B.3.1. Manusia Sebagai Abdullah (Hamba Allah)

a. Q.S. Al-Dzariyat [51]: 56



Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah (kepadaKu).
Di dalam Tafsir ibn Katsir dijelaskan bahwa Allah menciptakan mereka (jin dan
manusia) itu dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepada-Nya, bukan
karena Allah membutuhkan mereka.[18]
Mengenai kalimat (melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku), Ali bin
Abi Thalib meriwayatkan dari Ibnu Abbas:
Melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara sukarela
maupun terpaksa.
Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini adalah khusus ditujukan bagi
golongan jin dan manusia yang telah Allah SWT tetapkan menurut ilmu-Nya untuk
menyembah-Nya. Pengungkapan redaksi ayat tersebut menggunakan lafadz umum
sedangkan maknanya adalah khusus sehingga makna dari ayat tersebut adalah
Dan Aku tidak menciptakan ahli kebahagiaan dari golongan jin dan manusia
supaya mereka menyembahk-Ku atau mentauhidkan Allah SWT, sebagaimana
perkataan al-Qusyairi bahwa dalam ayat ini berlaku takhsis terhadap qath i.[19]
http://tedifarhanudin.blogspot.co.id/2015/03/tugas-dan-fungsi-manusiamenurut.html

3 Secara garis besar, ajaran Islam mencakup 4 aspek, yaitu:


1.
Aqidah, yaitu aspek keyakinan atau keimanan kepada perkara-perkara yang
dijelaskan dalam rukun Iman.
Aqidah adalah merupakan fundasi ajaran Islam yang sifat ajarannya pasti, mutlak
kebenarannya, terperinci dan monoteistis. Ajaran intinya adalah mengesakan Tuhan
(tauhid). Oleh karena itu, ajaran aqidah Islam yang tauhidi sangat menentang
segala bentuk kemusyrikan.
2.
Ibadah, yaitu aturan-aturan tentang tata cara hubungan manusia dengan
Allah atau segala cara dan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah
diperintahkan dan diatur cara-cara pelaksanaannya dalam Al-Qur'an dan Hadits
Nabi. Seperti, shalat, puasa, haji, dan lain-lain.
3.
Akhlak, yaitu aturan tentang perilaku lahir dan batin yang dapat membedakan
antara perilaku yang terpuji dan tercela, antara yang salah dan yang benar, antara
yang patut dan yang tidak patut (sopan); dan antara yang baik dan yang buruk.

Sifat ajaran akhlak Islam adalah universal, eternal, dan absolut, dan akhlak yang
benar menurut Islam adalah akhlak yang dilandasi dengan iman yang benar.
4.
Mu'amalah, yaitu aturan tentang hubungan manusia dengan manusia dalam
rangka memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidupnya, baik yang primer maupun
yang sekunder. Contohnya, ialah berdagang, perkawinan; termasuk masalah hukum
pidana dan hukum tata negara. ((Zaky Mubarok, dkk: 78-80)

http://tablighpp.blogspot.co.id/2012/06/islam-satu-satunya-agama-yang-benar.html

4. Sikap Toleran terhadap Perbedaan Pendapat

Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam,


terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan
sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat
mereka di bawah Al Quran dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu
siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah
menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak
hanya milik Allah subhanahu wataala. Mereka tidak pernah memposisikan
pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.
khilafiyah dalam Masalah Furuiyah

Contoh-contoh al khilaf al maqbul adalah perbedaan ulama mengenai bentuk


manasik yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu; mengeraskan bacaan
basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam shalat ied,
dan redaksi doa istiftah yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam masalahmasalah tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga
kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi kita masingmasing. Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada sama
sekali tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat terhadap
keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.

Adapun al khilaf as saigh al maqbul, ialah perbedaan pendapat yang tidak dapat
dikompromikan, namun tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan
medodologi ilmiah yang dikenal ulama.

Perbedaan pendapat tentang najisnya air yang kurang dari dua qullah bila terkena
najis sedangkan tidak terjadi perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat,
hukum membaca al Fatihah bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan
contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan pendapat
yang kedua ini.

Muhammad bin Husain al Jizani, dalam disertasi doktornya untuk kajian Ushul Fiqh
di Universitas Islam Madinah, KSA, yang mengantarnya memperoleh yudisium
summa cum laude disertai pengahargaan tingkat I, menulis tentang sikap islami
terhadap masalah ijtihad sebagai berikut:

1. Tidak menganggap fasiq, mubtadi dan kafir pihak yang berselisih paham;

2. Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;

3. Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;

4. Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.


http://belajarislam.com/2014/01/memahami-dan-menyikapi-perbedaan-secaraislami/

Você também pode gostar