Você está na página 1de 3

ARTIKEL TENTANG PUISI AMIR HAMZAH PADAMU JUA

Panji Pradana
NIM. 092110144 / VI D
Hampir setiap pembahasan karya-karya Amir Hamzah tak dapat, dan siapa pun kiranya
tak mungkin dapat melintasi satu masalah pokoknya yakni, keresahan penyair ini dalam
hubungannya dengan Tuhan. Puisi-puisi tersebut terkumpul ke dalam Nyanyi Sunyi.
Sajak tersebut merupakan monolog di aku lirik kepada kekasihnya sebagai berikut.
Segala cinta si aku kepada kekasihnya yang baru habis terkikis, tak tersisa, hilang terbang
bagaikan burung yang dilepas. Maka, si aku lirik kembali kepada kekasihnya seperti yang dahulu
(bait 1, baris 3). Kekasih itu kekasih lama
Kekasih yang lama itu sesungguhnya sangat menarik bagaikan lentera yang terang
gemerlap dapat menerangi si aku malam yang gelap lewat jendela. Juga sebagai tanda bahwa di
rumah si aku lirik ada penerangan. Dengan kesabaran dan kesetiaan, kekasih itu memanggil si
aku lirik. Si aku lirik pulang.
Si aku lirik menyatakan kepada kekasihnya bahwa si aku lirik hanyalah manusia biasa
yang terdiri atas darah, daging, dan tulang belulang. Oleh karena itu, si aku lirik mempunyai
kerinduan untuk meraba dan melihat kekasihnya (bait ke 3). Si aku lirik tetap mencari tempat
kekasihnya karena kekasihnya tidak punya rupa dan suaranya hanya terdengar oleh si aku lirik
sayup-sayup. Yang dapat ditangkap oleh si aku lirik hanyalah kata-kata yang merangkai hati itu
( kalau si kekasih/engkau merupakan perumpamaan wujud Tuhan) adalah Tuhan atau kata-kata
dalam kitab suci sebagai firman Tuhan.
Si engkau itu selain berupa orang yang setia menunggu juga orang yang buas dan
pencemburu. Si aku lirik dimarahi dengan jala dicengkeram dengan cakarnya dan dipermainkan
oleh si engkau dengan berulang-ulang bergantian ditangkap dan dilepaskan (baris 5). Kemudian,
si aku lirik menjadi nanar dan penasaran. Namun, si engkau juga mempunyai sifat sayang dan
selalu menarik si aku lirik. Si engkau itu mempunyai daya pesona bagian seorang dara di balik
tirai.
Cinta kasih kekasihnya itu sunyi; menunggu kedatangan si aku lirik seorang diri. Ini
merupakan gambaran seorang gadi yang sanagat sabar menanti kekasihnya tanpa pamrih demi
cintanya. Hal itulah yang menimbulkan kegairahan si aku lirik. Namun menskipun waktu
berlalu, bukanlah giliran si aku lirik untuk menemuinya. Meskipun hari telah mati, bukanlah
kawan si aku lirik tetap tak dapat bertemu dengan kekasihnya sebab keksihnya bukanlah kekasih
dunia. Kekasihnya tak dapat ditemui dengan badan jasmaninya.
Secara semiotik, hubungan antara aku dengan engkau dalah sajak ini digambarkan
sebagai hubungan antara sepasang kekasih pemuda dengan kekasihnya (gadisnya). Tanda-tanda
hubungan percintaan itu berupa kata-kata mesra. Kata mesra tersebut adalah: aku, engkau,
cintaku, engkau, padamu, kau, melambai, pulang, sabar, setia selalu, kasihmu, rindu rasa, rindu
rupa, cemburu, kekasihmu seorang diri.
Berdasarkan sistem ketandanan, bait I puisi tersebut menandakan bahwa si aku lirik
kembali kepada kekasih yang lama karena kekasihnya yang baru telah meninggalkan. Bait II
menandakan kekasih itu orang yang sabar, setia dan penerang. Bait III menandakan si aku lirik
tidak bisa berjumpa kekasihnya karena si aku lirk sebagai manusia wadag, sedangkan si engkau
(kekasih) sebagai zat abstak. Bait IV menandakan si engkau (kekasih) marah karena si aku telah
lama meninggalkannya, tetapi si aku lirik dapat bertemu sampai mati. Yang disebut dengan
kekasih itu kiranya adalah Tuhan. Dengan begitu, kiranya menurut si aku lirik, orang yang hanya

dapat bertemu dengan Tuhan secara langsung apabila sudah mati. Jadi, si aku lirik tetap tidak
dapat bertemu dengan Tuhan karena masih hidup.
Secara kultural, puisi yang tergabung dalam buku Nyanyi Sunyi tersebut banyak
pengaruh oleh Tagore. Akan tetapi, khusus dalam puisi Padamu Jua adalah nyanyian yang
sunyi tersebut banyak terpengaruh oleh Tagore. Akan tetapi, khusus dalam puisi Padamu Jua
adalah nyanyian yang sunyi, bersendiri dalam rindu dan bimbang, dalam penyerahan dan
pemberontakan. Karya-karya sastra Hindu juga diterjemahkan oleh Amir Hamzah seperti
Bhagawan Gita (kitab suci weda yang ke 5). Metaforanya tentang Tuhan pada puisi Padamu
Jua tidak menunjukan ciri islam yang lazim :
Engkau cemburu
Engkau ganbas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Dalam mengahdapi pertikaian berbagai pengaruh ajaran agama islam, Kristen dan Hindu itu
membuat goncangan pada jiwa Amir Hamzah. Di saat seperti itu, Amir Hamzah juga menapat
ajaran dari Martin Buber, Marcel, dan filsafat mutakhir Muhammad Iqbal. Melalui Iqbal itulah
Amir Hamzah mengenal sastra sufi selain dari Ar-Raniri, Al Hallaj dan para ahli filsafat lain
yang berhubungan dengan Wijdatul Wujud. Maka, tidaklah mengherankan bila pandangan Amir
Hamzah terhadap Tuhan adalah pandangan horizontal, bukan vertikal. Pandangan si aku dengan
si engkau.
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengintrepretasikan bahwa puisi tersebut bermakna tentang
kerinduan seorang kepada Tuhannya yang disebabkan oleh kekecewaan duniawi. Dalam puncak
kerinduannya seorang ingin bertatap muka dengan Tuhan, tetapi orang tersebut tidak akan
berhasil bertatap muka sampai mati.

PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupatiada
Suara sayuo
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku ke dalam cakarmu
Bertukar tagkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mari hari-bukan kawanku
(Amir Hamzah, 1959:5)

Você também pode gostar