Você está na página 1de 32

BAB I

PENDAHULUAN

Penetapan diagnosis dari seorang pasien dimulai dari anamnesis,


pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Setelah melalui
prosedur tersebut, seorang dokter sebagai praktisi medis akan menentukan
diagnosis yang tepat berdasarkan keluhan utama dan gejala penyerta lainnya.
Setelah seorang dokter menentukan diagnosis yang tepat, maka yang diupayakan
selanjutnya adalah melakukan penyembuhan dengan berbagai cara misalnya
dengan pembedahan, fisioterapi, penyinaran, obat dan lain-lain. Di antara berbagai
pilihan tersebut, sedemikian jauh yang paling lazim dipilih adalah terapi dengan
penggunaan obat.1 Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan
karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari
tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Pada sebagian besar kasus,
keputusan pilihan tersebut menyebabkan keperluan penulisan resep.2
Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter
hewan kepada APA (Apoteker Pengelola Apotek) untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Obat yang diberikan kepada penderita harus dipesankan dengan
menggunakan resep. Satu resep umumnya hanya diperuntukkan bagi satu
penderita. Resep merupakan dokumen legal sebagai sarana komunikasi
profesional dari dokter dan penyedia obat, untuk memberikan obat kepada pasien
sesuai kebutuhan media yang telah ditentukan.1 Resep merupakan perwujudan

akhir dari kompetensi, pengetahuan dan keahlian dokter dalam menerapkan


pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Resep juga perwujudan
hubungan profesi antara dokter, apoteker dan pasien. Selain sifat-sifat obat yang
diberikan dan dikaitkan dengan variabel dari penderita, maka dokter yang menulis
resep idealnya perlu pula mengetahui penyerapan dan nasib obat dalam tubuh,
ekskresi obat, toksikologi serta penentuan dosis regimen yang rasional bagi setiap
penderita secara individual.1,3

1.1 Definisi, Fungsi dan Arti Resep


Definisi Resep1
Menurut SK. Men. Kes No. 922/Men.Kes/Per/X/1993, Bab I, pasal 1.h.
menyebutkan sebagai berikut :
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Arti Resep1
1.

Dari definisi tersebut maka resep bisa diartikan/merupakan sarana


komunikasi profesional antara dokter (penulis resep), Apoteker Pengelola
Apotek (penyedia/pembuat obat), dan penderita (yang menggunakan obat).
Agar resep dilayani secara tepat dan relatif cepat maka resep itu harus
lengkap dan jelas atau komunikatif.

2.

Resep ditulis dalam rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka
isi resep merupakan refleksi/pengejawantahan proses pengobatan. Agar
pengobatan berhasil, resepnya harus benar dan rasional.
Fungsi Resep
Sebuah resep mempunyai beberapa fungsi 4 :

1. Sebagai perwujudan cara terapi


Artinya terapi seorang dokter itu rasional atau tidak, dapat dilihat dari
resep yang dituliskan. Karena bila seorang dokter memberikan suatu terapi, pasti
dia akan menuliskan sebuah resep, baik itu pasien rawat jalan ataupun rawat inap.
Dari obat-obat yang diberikan akan memberikan gambaran terapi yang diberikan
oleh dokter tersebut4.
2. Merupakan dokumen legal
Sebuah resep merupakan dokumen yang diakui keabsahannya untuk
mendapatkan obat-obat yang diinginkan oleh dokter. Baik obat bebas, obat bebas
terbatas, obat keras, narkotik maupun psikotropik. Jadi seorang pasien akan
dengan mudah mendapatkan obat-obatan tersebut dengan resep. Karena begitu
pentingnya sebuah resep sebagai dokumen legal maka diharapkan seorang dokter
tidak meletakkan blanko resep secara sembarangan karena dikhawatirkan
dipergunakan oleh orang untuk mendapatkan obat yang seharusnya dia tidak
gunakan4.
3. Sebagai catatan terapi
Seorang dokter hendaknya menuliskan resep rangkap dua, dimana yang
pertama diberikan kepada pasien untuk menebus obat di apotek, sedangkan yang

kedua sebagai arsip dan catatan bahwa pasien tersebut telah mendapatkan terapi
dengan obat-obat yang ada di arsip tersebut4.
4. Merupakan media komunikasi
Sebuah resep merupakan sarana komunikasi antara dokter-apotekerpasien. Apoteker akan tahu seorang pasien akan diberi obat apa saja, berapa
jumlahnya, apa bentuk sediaannya, berapa kali sehari dan kapan harus
meminumkannya4.
1.2

Pedoman Penulisan Resep


Suatu resep dapat ditulis pada lembaran kertas apa saja asalkan semua

bagian resep seperti identitas penulis resep, identitas pasien, jumlah obat, dosis
dan cara penggunaan yang lengkap telah dicantumkan. Ukuran kertas yang ideal
adalah lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Resep harus ditulis secara jelas dan
mudah dimengerti. Harus dihindari penulisan resep yang menimbulkan
ketidakjelasan, keraguan, atau salah pengertian mengenai nama obat serta takaran
yang harus dicantumkan.1,3
Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman
untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius.
Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut
pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah lewat
tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat berita
acara

pemusnahan

seperti

diatur

dalam

SK.

Menkes

RI

no.270/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek.3

1.3 Kelengkapan Resep


Resep harus ditulis secara lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk
dibuatkan obatnya di Apotek. Resep yang lengkap terdiri atas 1,4 :
1.

Nama dan alamat dokter serta surat izin praktek, dan dapat pula dilengkapi
dengan nomor telepon, jam dan hari praktek.

2.

Nama kota serta tanggal resep itu ditulis oleh dokter.

3.

Tanda R/, singkatan dari recipe yang berarti harap diambil (superscription).

4.

Nama setiap jenis/bahan obat yang diberikan serta jumlahnya (inscriptio)


a) Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari :

Remedium cardinale atau bahan obat pokok yang mutlak


harus ada. Obat pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga
dapat terdiri dari beberapa bahan.

Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu kerja


obat pokok; adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep.

Corrigens, hanya kalau diperlukan untuk memperbaiki


rasa, warna atau bau obat (corrigens saporis, coloris dan odoris).

Constituens atau vehikulum, seringkali perlu, terutama


kalau resep berupa komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi.
Misalnya konstituens obat minum umumnya air.

b) Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam satuan berat untuk
bahan padat (microgram, milligram dan gram) dan satuan isi untuk cairan
(tetes, milliliter dan liter).
5.

Cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki (subscriptio).

6.

Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan singkatan


bahasa latin.

7.

Nama penderita dibelakang kata Pro : merupakan identifikasi penderita, dan


sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya yang akan memudahkan penelusuran
bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita. Dalam hal penderita seorang
anak, maka dituliskan umurnya, sehingga apoteker dapat mencek apakah
dosis yang diberikan sudah cocok untuk anaak dengan umur sekian.

8.

Tanda tangan atau paraf dari dokter yang menulis resep tersebut yang
menjadikan resep itu otentik. Resep obat suntik dari golongan narkotika harus
dibubuhi tanda tangan lengkap oleh dokter yang menulis resep dan tidak
cukup dengan paraf saja.

1.4 Resep yang Tepat dan Rasional


Resep yang tepat, aman dan asional adalah resep yang memenuhi 5 T,
yaitu4,5 :
1.

Tepat obat

2.

Tepat dosis

3.

Tepat bentuk sediaan

4.

Tepat waktu dan cara pemberian

5.

Tepat penderita

Tepat Obat
Setelah diagnosis ditegakkan, baik diagnosis kerja maupun diagnosis
definitif, selanjutnya harus ditetapkan pilihan intervensi terapi yang terbaik bagi

pasien. Intervensi pengobatan dapat berupa intervensi obat (farmakoterapi) dan


intervensi tanpa obat (non-farmakoterapi) atau kombinasi kedua intervensi. Dalam
hal ni perlu ditentukan apakah pasien betul-betul membutuhkan obat. Kalau ya,
obat apa yang terbaik yang dapt menghilangkan atau meringankan penderitaan
pasien, dan kalau mungkin dapat ditetapkan obat apa yang dapat mengubah
kelainan yang mendasari penyakit pasien.4,5
Tepat Dosis
Dalam pemberian terapi yang rasional, dosis obat merupakan faktor
penting karena pada individu-individu tertentu pennggunaan obat untuk tujuan
terapi tidak selalu memberikan efek terapi sebagaimana yang diharapkan.
Misalnya pada suatu obat yang diberikan dalam dosis biasa (dosis rata-rata) pada
seorang penderita dapat memberikan efek yang kecil sehingga penyakitnya tidak
kunjung sembuh sedangkan pada penderita lain menimbulkan efek yang besar
sehingga menimbulkan efek samping yang berat dan dapat terjadi keracunan. Hal
ini terjadi karena perbedaan-perbedaan individual yang besar dalam hal ini
farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam tubuh penderita.4,5
Tepat Bentuk Sediaan
Pemilihan obat untuk tujuan terapi memerlukan beberapa pertimbangan,
yaitu 4,5 :
a. Efikasi atau mutu obat telah terbukti secara pasti.
b. Keamanan pemakaian obat. Pengobatan yang dipilih ialah yang memberi
risiko yang paling kecil dan imbang dengan manfaat yang akan ddiperolah
pasien.

c. Kecocokan obat dengan kondisi pasien perlu mendapat perhatian. Ini


berarti jenis obat dan cara pakainya dapat dilaksanakan oleh pasien.
Misalnya orang tua yang sulit menelan lebih baik diberikan obat dalam
bentuk sirup atau tablet yang digerus.
d. Harga (biaya) obat. Di antara obat-obat alternatif dengan keamanan dan
kemanfaatannya, maka obat yang dipilih ialah yang paling sesuai dengan
kemampuan penderita.
e. Selain itu juga perlu dipertimbangkan akan terjadinya interaksi bila
diberikan obat lebih dari 1 macam obat. Pengobatan yang terbaik adalah
obat tunggal atau sesedikit mungkin kombinasinya. Dengan obat
kombinasi tetap sukar untuk memberikan dosis yang tepat untuk sesuatu
obat.
f.

Pemillihan jenis obat yang tersedia di pasaran dan mudah didapat.


Banyak terjadi penggunaan/peresepan obat yang tidak rasional yang

bersumber dari pemilihan obat dengan kemanfatan dan keamanan yang tidak
jelas, atau memilih obat-obat mahal, sedangkan obat alternatif yang sama dengan
harga lebih murah juga tersedia.
Tepat Cara & Waktu Pemberian
Cara atau tehnik pemakaian/penggunaan obat harus tepat agar efek
obat/hasil pengobatan sesuai dengan yang diinginkan, ialah mencapai tujuan
pengobatan, selain itu perlu memilih cara pemakaian yang paling mudah, aman
dan efektif untuk pasien. Waktu pemberian obat yang tepat bertujuan untuk

mendapatkan efek yang optimal, efek samping yang minimal dan tidak
mengganggu kebiasaan penderita.4,5
Tepat Penderita
Setiap penderita memiliki kondisi fisiologik dan patologik tertentu yang
dapat menyebabkan perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik yang besar
antara satu pasien dengan pasien lainnya. Pada penderita-penderita dengan kondisi
tertentu dapat mempengaruhi/merubah respon penderita terhadap obat. Ini berarti
cukup pertimbangan apakah ada kontra indikasi, ataukah ada kondisi-kondisi
khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual (misalnya adanya
kegagalan ginjal). 4,5
1.5 Resep yang Tidak Rasional
Penggunaan obat yang tidak rasional pada dasarnya tidak tetap secara
medik, yaitu tidak tepat indikasi, tidak tepat dosis, cara dan lamanya pemberian,
serta tidak tepat informasi yang disampaikan sehubungan pengobatan yang
diberikan. Ketidakrasionalan penggunaan obat juga terjadi bila risiko penggunaan
obat lebih besar dari manfaatnya. Dalam praktek sehari-hari ketidakrasionalan
penggunaan obat banyak dijumpai dan beragam jenisnya, mulai dari peresepan
obat tanpa indikasi, pemberian yang tidak tepat, peresepan obat yang mahal atau
manfaatnya masih diragukan serta praktek polifarmasi.1
Penggunaan obat yang tidak rasional mempunyai dampak negatif sebagai
berikut 1 :

1.

Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, yaitu menghambat upaya


penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit, serta mencerminkan bahwa
mutu pengobatan masih kurang.

2.

Dampak terhadap biaya pengobatan, yaitu pemberian obat tanpa indikasi,


pada keadaan tidak memerlukan obat atau penggunaan obat yang mahal,
menyebabkan pemboroson biaya obat.

3.

Dampak terhadap efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan, yaitu
makin banyak obat yang digunakan makin besar juga risiko terjadinya efek
samping, peningkatan resistensi pada pemberian antibiotik secara under atau
over prescribing atau kemungkinan penularan penyakit/terjadinya syok
anafilaktik.

4.

Dampak psikososial, yaitu ketergantungan pasien terhadap intervensi obat


atau persepsi yang keliru terhadap pengobatan, misalnya kebiasaan
menyuntik atau pemberian obat penambah nafsu makan.

1.6 Obat-Obatan Pada Analisa Resep


1.6.1 Interflox (Ciprofloksasin)
Farmakokinetik
Ciprofloksasin adalah antibiotika golongan kuinolon derivat siklopropil
dari kelompok fluorokuinolon. Pada pemberian oral, ciprofloksasin diserap
dengan cepat dan baik oleh saluran cerna. Bioavailabilitas mutlak obat ini
mencapai 70% tanpa kehilangan berarti pada efek metabolisme lintas pertama di
hati. Kadar maksimum dicapai setelah 1-2 jam pemberian oral. Waktu paruh

10

eliminasi serum pada subjek dengan fungsi ginjal normal adalah sekitar 4 jam.
Ikatan ciprofloksasin dengan protein serum cukup rendah, sekitar 20-40 %,
sehingga tidak cukup untuk menyebabkan interaksi yang kuat dengan obat lain.6
Indikasi
Secara

in vitro

ciprofloksasin

ampuh

melawan

sejumlah

besar

mikroorganisme gram positif dan negatif. Berikut mikroorganisme yang telah


yang telah resisten dengan kelas antibiotika tersebut dan terbukti peka terhadap
ciprofloksasin secara in vitro dan klinis.6
Mikroorganisme gram positif aerob : Enterococcus faecalis, Staphylococcus
aureus dan Staphylococcus epidermidis(hanya galur yang rentan dengan
methicilin), Staphylococcus saprophyticus, Streptococcus pneumoniae (hanya
yang sensitif terhadap galur penisilin), dan Streptococcus pyogenes.6
Mikroorganisme gram negatif aerob : Campylobacter jejuni, Citrobacter
diversus,

Citrobacter

freundii,

Enterobacter

cloacae,

Escherichia

coli,

Haemophilus influenzae, Haemophilus parainfluenzae, Klebsiella pneumoniae,


Moraxella catarrhalis, Morganella morganii, Neisseria gonorrhoeae, Proteus
mirabilis,Proteus vulgaris Providencia stuartii, Pseudomonas aeruginosa,
Salmonella typhi, Serratia marcescens, Shigella boydii, Shigella dysenteriae,
Shigella flexneri, dan Shigella sonnei.6
Efek bakterisidal ciprofloksasin berasal dari inhibisi enzim topoisomerase
II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV, yang dibutuhkan untuk replikasi,
transkripsi, perbaikan, dan rekombinasi DNA. Mekanisme kerjanya yang berbeda
dengan penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, makrolida, dan tetrasiklin ini,

11

membuat

ciprofloksasin

bisa

menjadi

pilihan

bagi

mikroorganisme. 6

Ciprofloksasin memiliki aktivitas yang sangat bagus untuk gram negatif dan
aktivitas dari sedang sampai baik terhadap bakteri gram positif.7,8
Ciprofloksasin dapat digunakan pada penderita dengan infeksi saluran
napas, infeksi saluran kemih, infeksi tulang dan sendi, infeksi kulit dan jaringan
lunak, infeksi gastrointestinal, gonorrhoea akut, osteomielitis akut dan serta untuk
mengatasi infeksi pasca bedah oleh kuman Ps. Aeruginosa atau stafilokokkus
yang resisten terhadap aminoglikosida dan betalaktam.6,7
Dosis Obat
Sediaan yang tersedia adalah tablet 250 mg dan kapsul 500mg. Dosis
pemberian ciprofloksasin yang dianjurkan adalah 2 x 250 750 mg/hari atau 5-15
mg/kgBB diberikan 2 kali dalam sehari untuk oral dan 2 x 100-200mg/hari (iv)
selama 7 10 hari.7,9
Kontra Indikasi
1.

6,9,10

Pasien yang terbukti hipersensitif terhadap ciprofloksasin maupun obat


lain dari golongan kuinolon.

2.

Wanita hamil dan menyusui.

3.

Tidak dianjurkan pada anak-anak dan remaja dalam masa pertumbuhan.

Interaksi obat 7,11


1.

Obat-obat yang mempengaruhi keasaman lambung (antasida) yang


mengandung Aluminium atau Magnesium

hydroxide akan mengurangi

absorpsi ciprofloksasin. Karena itu Ciprofloxacin harus diberikan selang


waktu 1-2 jam

sebelum atau minimal 4 jam sesudah meminum antasida.

12

Pembatasan ini tidak berlaku pada antasida yang tidak mengandung


Aluminium atau Magnesium hydroxide.
2.

Pemberian bersama makanan akan menunda absorpsi ciprofloksasin.


Tetapi dapat diberikan bersama makanan untk mengurangi rasa tidak nyaman
pada saluran cerna.

3.

Pemberian ciprofloksasin bersama teofilin dapat meningkatkan kadar


teofilin dalam plasma sehingga dapat menimbulkan efek samping teofilin.

4.

Pemberian bersama metoclopramide mempercepat absorbsi ciprofloksasin.

5.

Absorpsi ciprofloksasin dapat berkurang hingga 50% atau lebih jika


diberikan bersamaan dengan preparat besi (Fe).

Efek Samping
Biasanya bisa timbul nausea, abdominal discomfort, dispepsia, flatulens,
diare, stomatitis, kolitis pseudomembran, sakit kepala, pusing, malaise,
drownsiness, kelelahan, agitasi, insomnia. Jarang terjadi efek seperti depresi,
halusinasi, gangguan penglihatan, psikosis dan konvulsi, serta ruam pada kulit.6
Selain itu efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat ini antara lain
gangguan saluran cerna (mual, muntah, diare, dispepsia, nyeri perut), susunan
saraf pusat (halusinasi, kejang, delirium) dan hepatotoksisitas. Hati-hati
penggunaannya pada penderita dengan disfungsi ginjal, lanjut usia, epilepsi,
riwayat gangguan SSP.7,9
1.6.2 Mefinter (Asam Mefenamat)
Mefinter merupakan nama dagang obat yang mengandung asam
mefenamat. Mefinter merupakan obat yang digunakan untuk pengurang rasa sakit,

13

penurun panas dan antiradang. Obat ini termasuk analgetik-antipiretik dan


antiinflamasi nonsteroid (AINS) bekerja langsung pada sistem biosintesis
prostaglandin sehingga memperbaiki sel-sel yang mengalami kerusakan akibat
prostaglandin. Asam mefenamat sangat terikat sangat kuat pada protein plasma
sehingga interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan. Dosis mefinter
diberikan 2-3 kali 250-500 mg. Maksimal 4 gram perhari dosis orang dewasa.
Maksimal pemberian selama 7 hari.7,9
Indikasi
Obat ini dapat diberikan pada keadaan demam, sakit gigi, nyeri otot, sakit
telinga, rematik, nyeri traumatik (terpukul, terbentur, teriris, dll), rasa sakit setelah
operasi, dismenore (nyeri pada saat haid).9,12
Kontra Indikasi
Hati-hati diberikan pada penderita yang mengidap tukak lambung aktif;
pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal; pasien dengan riwayat
hipersensitivitas terhadap asetosal atau AINS lainnya, termasuk mereka yang
terkena serangan asma, angioedem, urtikaria atau rinitis yang dipicu oleh asetosal
dan AINS lainnya.13
Efek Samping
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul, misalnya dispepsia
dan dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Pada orang usia lanjut efek
samping diare hebat lebih sering dilaporkan. Efek samping lain yang berdasarkan
hipersensitivitas ialah eritem kulit dan bronkokontriksi. Dapat menyebabkan

14

gangguan dan perdarahan gastrointestinal; sakit kepala; pusing; bingung; dan


gangguan penglihatan.7
Interaksi obat
Asam mefenamat memiliki interaksi obat bila diberikan dengan obat-obat
anti koagulan oral seperti warfarin, asetosal (aspirin) dan insulin.12
1.6.3 Aviter 14
Komposisi
Tiap sachet Aviter mengandung:
Malic acid

700

mg

Glucosamine HCl

800

mg

L-Arginine HCl

800

mg

Glycine

333

mg

Glycyrrhizinic acid

33,3 mg

Zink sulfate

mg

Calsium pantothenate

mg

Pyridoxine

0,6 mg

Folic acid

133

Cyanocobalamin
Cistus incanus

mg

0,5 mg
125

mg

(Pink Rock Rose Extract)


Bahan Tambahan berupa madu, xanthan gum, methylparaben sodium, neotame,
orange essence.
Aturan Pakai: 1 sachet sehari

15

Cara Penyajian: Campurkan dan aduk Aviter dengan air, susu atau jus buah
Kemasan: Kotak berisi 21 sachet @ 6 gram
Kegunaan: Membantu memelihara daya tahan tubuh
Perinngatan/Perhatian:
1.

Tidak boleh digunakan lebih dari 4 minggu tanpa anjuran dari dokter.

2.

Mengandung pemanis buatan Neotame.

3.

Produk ini mengandung fenil alanin, tidak boleh digunakan pada penderita
phenyl ketonuria dan wanita hamil dengan kadar fenil alanin tinggi.

1.6.4 Gastridin (Ranitidin) 7,15


Gastridin mengandung ranitidin yang merupakan antihistamin penghambat
reseptor Histamin H2 yang berperan dalam efek histamin terhadap sekresi cairan
lambung.
Farmakodinamik
Ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Reseptor
H2 akan merangsang sekresi cairan lambung srhingga pada pemberian ranitidin
sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi ranitidin terhadap reseptor
H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak lengkap, ranitidin dapat
menghambat sekresi cairan lambung akibat rangsangan obat muskarinik atau
gastrin. Ranitidine mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung.
Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi
pepsin menurun.

16

Farmakokinetik
Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Pada
pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar
pada ginjal. Pada ginjal normal, volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan klirens
kreatinin 25-35 ml/menit. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah
penggunaan ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma hanya 15 %.
Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
yang cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30 % yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal.
Interaksi Obat
Nifedin, warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan
ranitidin. Selain menghambat sitokrom P-450, Ranitidin dapat juga menghambat
absorbsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Sebaiknya
obat yang dapat berinteraksi dengan ranitidin diberi selang waktu minimal 1 jam.
Ranitidin dapat menyebabkan gangguan SSP ringan, karena lebih sukar melewati
sawar darah otak.
Indikasi
Ranitidin digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak
duodenum. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak

17

lambung belum diketahui secara jelas. Efek penghambatannya selama 24 jam,


Ranitidin 300 mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi asam lambung;
sedangkan

terhadap

sekresi

malam

hari,

masing-masing

menyebabkan

penghambatan 90%.
Tersedia dalam tablet 150 mg dan ampul 50 mg/ml. Dosis untuk dewasa 2
x sehari 150 mg. Selain itu juga ada bentuk ampul 50 mg dengan dosis untuk
dewasa 3-4 x sehari 50 mg IM/ bolus IV intermitten. Cara pemberian obat adalah
bersamaan dengan makanan.

BAB II

18

ANALISA RESEP

2.1. Resep

Keterangan Resep

19

Klinik

: Poli Bedah Digestif

Tanggal

: 10-11-2009

Nama Pasien

: Tn. Didi Rosel

Umur

: 33 tahun

No. RMK

: 85-56-89

Alamat

: Jl Gandaria II No.4 Rt.12 Kebun Bunga Banjarmasin

Diagnosa

: Post operasi laparatomi appendisitis kronis

2.2. Analisa Resep


2.2.1. Penulisan Resep
Pada resep ini, meskipun tulisannya dapat dibaca, namun masih kurang
jelas, terutama untuk penulisan dosis dan waktu pemberian obat. Untuk obat yang
pertama tidak dicantumkan berat obat, waktu pemberian obat tidak jelas dan
jumlah obat yang diminum per kali tidak dituliskan, dan tidak dituliskan apakah
obat tersebut harus diminum sampai habis atau kalau perlu saja pada saat tertentu.
Untuk obat kedua yaitu tertulis Mefinter 500 dengan satuan berat obat yang
tidak dicantumkan dibelakang angka, selain itu waktu pemberian obat pun tidak
jelas,dan jumlah obat yang dikonsumsi tiap kali tidak dituliskan, sebelum angka
romawi jumlah obat tidak didahului dengan numero, dan tidak dituliskan
apakah obat tersebut harus diminum sampai habis atau kalau perlu saja pada saat
tertentu.
Pada resep yang ketiga juga penulisan obat sudah jelas hanya tidak
dicantumkan kapan waktu pemberian obat. Pada obat yang ketiga, sediannya
berbentuk sachet. Seharusnya apabila ingin dituliskan berapa kali waktu

20

pemberian dalam satu hari terlebih dahulu kemudian bagaimana cara


pemakaiannya (apakah dilarutkan dalam air atau boleh digunakan cairan yang
lainnya), kapan cara pemakaiannya (pagi,siang atau malam hari) atau bila cara
pemberian obat ini memerlukan penjelasan lebih lanjut dari dokter sampai pasien
mengerti dapat ditulis hanya dengan Usus Cognitus (uc) yang artinya aturan
pakai diketahui. Pada obat keempat berat obat dan waktu pemberian obat tidak
jelas; jumlah obat yang diminum per kali tidak dituliskan.
Pada resep ini ukuran kertas yang digunakan lebarnya 11 cm dan
panjangnya 21 cm. Ukuran kertas resep yang ideal adalah lebar 10-12 cm dan
panjang 15-18 cm.2 Berdasarkan ketentuan tersebut, ukuran kertas yang
digunakan pada resep ini, lebarnya sudah ideal tapi terlalu panjang.
Penulisan pada resep ini kurang bisa dibaca. Pada penulisan resep yang
benar tulisan harus dapat dibaca dengan jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam
pemberian obat.1,3
2.2.2

Kelengkapan Resep

1. Pada resep ini sudah dicantumkan nama dokter, tempat praktek/poli (bagian
dari rumah sakit). Surat izin praktek pada resep ini tidak diperlukan karena
dokter yang menuliskan sedang bertugas di dalam bagian rumah sakit.
2. Nama kota serta tanggal resep sudah ditulis oleh dokter.
3. Superscriptio
Tanda R/ sebagai superscriptio sudah tercantum dalam resep ini

4. Inscriptio

21

a) Pada resep ini sudah mencantumkan nama setiap jenis obat/bahan yang
diberikan dan jumlahnya. Jenis/bahan obat dalam resep ini terdiri dari :

Remedium

Cardinale

atau

obat pokok yang

digunakan adalah antibiotik Interflox (ciprofloksasin)

Remedium Adjuvans atau obat tambahan yang


digunakan

dalam resep ini adalah

Mefinter (asam mefenamat),

Aviter sebagai suplemen makanan, dan Gastiridin (ranitidine)

Corrigens, resep ini tidak ada corrigens, karena


bukan resep magistralis.

Constituens atau vehikulum, tidak menggunakan


constituens atau vehikulum karena bukan resep magistralis.

b)

Untuk satuan berat sediaan obat tidak jelas, serta sediaan obat dan cara
pemakaian kurang lengkap dan jelas, obat tidak dituliskan diminum
sesudah makan atau sebelum makan.

5. Subscriptio
Subscriptio yang berisi cara pembuatan obat dan bentuk sediaan yang akan
dibuat tidak dicantumkan karena resep ini menggunakan formula spesialistis.
6. Signatura/transcriptio
-

Pada resep ini tanda signatura (S) telah dicantumkan, walaupun tulisannya
kurang jelas karena terlihat seperti garing miring.

Pada resep ini tidak dicantumkan waktu pemberian obat, misalnya : p.c, a.c,
atau d.c.

22

Pada bagian signatura untuk obat kausatif harus diberikan setiap berapa jam
obat diminum, misalnya tiap 12 jam (o.12.h). Pada resep simptomatik juga
seharusnya dicantumkan pemakaian apabila gejala timbul (prn) dan harus
diberikan setiap berapa jam obat diminum.

Angka

pada

frekuensi

pemberian

obat

menggunakan angka arab sebaiknya menggunakan angka Latin.


7. Identitas pasien
Nama penderita sudah ditulis namun umur dan alamat tidak ada. Seharusnya
identitas penderita ditulis lengkap agar resep tidak tertukar saat pengambilan
dan mudah menelusuri bila terjadi sesuatu dengan obat penderita.
8. Keabsahan resep
Kertas resep yang digunakan di sini adalah resep dokter rumah sakit. Resep
dokter rumah sakit/klinik/poliklinik, dikatakan sah jika terdapat nama dan
alamat rumah sakit/klinik/poliklinik, nama dan tanda tangan dokter/paraf
dokter penulis resep tersebut serta bagian/unit di rumah sakit. Namun, pada
resep ini tanda tangan/paraf dokter pada setiap obat yang diberikan tidak
dicantumkan.
2.2.3 Keabsahan Resep
Pada resep ini sudah dicantumkan bagian/unit pelayanan RSUD Ulin,
nama dokter, tanda tangan/paraf dokter. Sebuah resep minimal harus ada paraf
dokter di masing-masing resep yang ditulis setelah garis pemisah antar resep. Dari
penjelasan di atas maka resep ini bisa dikatakan tidak sah karena dokter tidak
mencantumkan paraf pada setiap resep dan resep tidak ditutup.

23

2.2.4 Dosis, Frekuensi, Waktu dan Lama Pemberian Obat


Pada resep ini, dosis, frekuensi, dan lama pemberian obat sudah sesuai
dengan referensi yang dianjurkan, akan tetapi waktu pemberian obat

tidak

dituliskan, apakah sebelum makan, sesudah makan, atau berapa jam jeda
pemberian. Frekuensi pemakaian obat tertulis pada semua obat.
Pada resep ini, penulisan dosis obat tidak disertai dengan mg, sehingga
satuan yang tidak dituliskan mungkin menyebabkan kesalahan interpretasi
menjadi dosis g.
Tabel 2.1

Perbandingan Dosis, Frekuensi, Waktu dan Lama Pemberian Obat


Antara Resep Kasus & Referensi 7,9

N Nama Obat
o

Fungsi Obat

Obat Antibiotik

Interflox
(Ciprofloksas
in)

golongan
kuinolon
derivat
siklopropil dari
kelompok
fluorokuinolon.

Dosis

Freku
ensi

Waktu

Lama

Pemberian

Pemberian

Obat

Obat

Resep

250750
mg

2x

Bersama/
Setelah
makan

Sesuai
prosedur
terapi
pemberian
antibiotik 710

2x1
tab,
selama
5 hari

3 x 500
mg
selama
5 hari
2x 1
sachet
selama
10 hari

Mefinter
(Asam
Mefenamat)

Obat Antipiretik,
analgetik dan
antiinflamasi

500
mg

3x

Setelah
makan

Selama
diperlukan

Aviter

Suplemen
makanan

1
sachet

1x

Selama
diperlukan

Gastridin
(Ranitidin)

Penghambat
Reseptor H2

150
mg

2x

Dapat
diberikan
sebelum
atau setelah
makan
Dapat
bersama
makan/
tidak

Selama
diperlukan

2x1 tab
selama
5 hari

24

2.2.5. Bentuk Sediaan Obat


Pada resep kali ini bentuk sediaan yang diberikan adalah bentuk sediaan
padat yaitu interflox (kapsul), mefinter (kaplet), gastridin (tablet) dan suplemen
makanan dalam bentuk sachet (serbuk). Pemilihan bentuk sediaan ini dianggap
sudah tepat dengan memperhatikan bahwa pasien adalah orang dewasa yang
kooperatif dan tidak ada kesulitan menelan.
2.2.6. Interaksi Obat
Obat yang diberikan pada kasus ini yaitu 3 jenis, yaitu antibiotik,
analgetik, obat penghambat resptor H2 dan terapi suportif berupa penambahan
aviter sebagai suplemen makanan. Tidak ada interaksi yang saling menghambat
dan mempengaruhi antara satu obat dengan obat yang lain.
2.2.7. Efek Samping Obat
Interflox (Ciprofloksasin)
Biasanya bisa timbul nausea, abdominal discomfort, dispepsia, flatulens,
diare, stomatitis, kolitis pseudomembran, sakit kepala, pusing, malaise,
drownsiness, kelelahan, agitasi, insomnia. Jarang terjadi efek seperti depresi,
halusinasi, gangguan penglihatan, psikosis dan konvulsi, serta ruam pada kulit.6
Selain itu efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat ini antara lain
gangguan saluran cerna (mual, muntah, diare, dispepsia, nyeri perut), susunan
saraf pusat (halusinasi, kejang, delirium) dan hepatotoksisitas. Hati-hati
penggunaannya pada penderita dengan disfungsi ginjal, lanjut usia, epilepsi,
riwayat gangguan SSP.7,9

25

Mefinter (Asam Mefenamat)


Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul, misalnya dispepsia
dan dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Pada orang usia lanjut efek
samping diare hebat lebih sering dilaporkan. Efek samping lain yang berdasarkan
hipersensitivitas ialah eritem kulit dan bronkokontriksi. Dapat menyebabkan
gangguan dan perdarahan gastrointestinal; sakit kepala; pusing; bingung; dan
gangguan penglihatan.7
Aviter
Produk ini mengandung fenil alanin, tidak boleh digunakan pada penderita
phenyl ketonuria dan wanita hamil dengan kadar fenil alanin tinggi.14
Gastridin (Ranitidin)
Dapat menyebabkan diare, nyeri otot, pusing, sakit kepala, ruam kulit,
malaise dan mual, konstipasi, perubahan fungsi hati yang reversible.5
2.2.8. Analisa Diagnosis
Data yang diperoleh dari status pasien tidak diketahui anamnesa dan
pemeriksaan fisik secara pasti, namun diagnosa yang ditegakkan adalah post
operasi laparatomi appendisitis kronis. Appendisitis kronis adalah infeksi bakterial
pada apendik vermiformis. Appendisitis kronis adalah keadaan akut abdomen
yang memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih
buruk Appendisitis kronik ditandai dengan nyeri abdomen kronik (berlangsung
terus menerus) di daerah fossa illiaca dextra, tetapi tidak terlalu parah, dan bersifat

26

continue atau intermittent, nyeri ini terjadi karena lumen appendik mengalami
partial obstruksi.16
Patofisiologi terjadinya apendiks terinflamasi dan mengalami edema
sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari
faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal,
menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam
beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya
apendiks yang terinflamasi berisi pus.16,17
Terjadinya apendisitis kronis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Jenis bakteri yang biasanya menyebabkan appendisitis adalah Escherichia coli.
Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen
apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras,
hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh,
kanker primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi
lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.16,17
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : mual,
muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara
mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan
muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut
kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri
tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam
bisa mencapai 37,8-38,8 C.16,17

27

Pada kasus penderita telah melakukan operasi sebagai tindakan


penatalaksaan appendisitis kronis. Pasien diberikan interflox yang berisi
ciprofloksasin dimana memiliki aktivitas yang sangat bagus untuk gram negatif
dan aktivitas dari sedang sampai baik terhadap bakteri gram positif.7
Ciprofloksasin dapat digunakan pada penderita dengan infeksi saluran
napas, infeksi saluran kemih, infeksi tulang dan sendi, infeksi kulit dan jaringan
lunak, infeksi gastrointestinal, gonorrhoea akut, osteomielitis akut dan serta untuk
mengatasi infeksi pasca bedah oleh kuman Ps. Aeruginosa atau stafilokokkus
yang resisten terhadap aminoglikosida dan betalaktam.6,7
Diberikan mefinal yang berisi asam mefenamat adalah untuk mengurangi
rasa nyeri yang ditimbulkan pasca operasi. Obat ini termasuk analgetik-antipiretik
dan antiinflamasi nonsteroid (AINS) bekerja langsung pada sistem biosintesis
prostaglandin sehingga memperbaiki sel-sel yang mengalami kerusakan akibat
prostaglandin.7 Untuk mengatasi efek samping dari obat-obatan di atas terhadap
gangguan gastrointestinal maka diberikan gastridin.

28

2.3 Usulan Resep

PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I


KALIMANTAN SELATAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ULIN


BANJARMASIN
Jl. A. Yani km 1,5 Banjarmasin Telp : (0511) 3252180

Nama Dokter

: dr.E.Electa IRT

Tanda Tangan Dokter

UPF / Bagian
NIP

: Penyakit Bedah Digestif


: 145 037 204
Kelas I / II / III
Banjarmasin, 13 Desember 2009

R/ Interflox caps 500 mg


S b.d.d caps I. p.c. (o.12.h)

No.XIV

R/ Mefinter capl 500 mg


No.X
S p r n t.d.d. capl I. p.c. (dur dol)
R/ Gastridin tab 150 mg
No.X
S p r n b.d.d tab I p.c ( dispepsia)

Pro
: Tn. Didi Rosel
Umur : 33 tahun
Alamat : Jl Gandaria II No.4 Rt.12 Kebun Bunga
Banjarmasin

BAB III

29

KESIMPULAN

Berdasarkan 5 tepat pada resep rasional, maka :


1. Tepat obat
Penggunaan antibiotik untuk kasus ini sudah tepat.
2. Tepat dosis
Pada resep ini dosis antibiotik yang diberikan tidak dapat diketahui
ketepatannya, karena untuk dosis obat tidak ditulis terperinci. Sedangkan
dosis untuk pengobatan symptom dan terapi supportif sudah tepat
3. Tepat bentuk sediaan
Bentuk sediaan yang diberikan sudah tepat sesuai dengan keadaan pasien.
4. Waktu penggunaan obat
Pada resep ini tidak dituliskan dengan jelas kapan obat seharusnya
diminum.
5. Tepat penderita
Tepat karena obat sudah disesuaikan dengan keadaan penderita
berdasarkan diagnosa yang ada.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Lestari, CS. Seni Menulis Resep Teori dan Praktek. PT Pertja. Jakarta, 2001.
2. Harianto. Hubungan antara kualifikasi dokter dengan kerasionalan penulisan
resep obat oral kardiovaskuler pasien dewasa ditinjau dari sudut interaksi obat
(studi kasus di apotek x Jakarta Timur). Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III,
No.2, Agustus 2006, 66 77.
3. Joenoes, Nanizar Zaman. Ars prescribendi penulisan resep yang rasional 1.
Surabaya: Airlangga University Press, 1995.
4. Staf Pengajar Farmakologi FK UNLAM. Perihal resep I. Dalam Diktat
Farmakologi III edisi 3 Program Studi Pendidikan Dokter. Banjarbaru: Bagian
Farmakologi FK Unlam, 2008.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Informatorium Obat
nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan
Obat.
6. Anonymous. Pilihan Antibiotika untuk CAP. 2006. (online); Available from:
(http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=110,
di
akses tanggal 7 Desember 2009).
7. Ganiswarna, Sulistia G. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran UI. Jakarta, 1995.
8. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. Obat-Obat Penting Edisi ke 5. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2002.
9. Almatsier M. MIMS edisi bahasa Indonesia. Volume 7. Jakarta: CMP Medica,
2006.
10. Anonymous. INTERFLOX. 2009. (online); Available from: (http:///
www.kimiafarmaapotek.com/.../INTERFLOX.../kf.flypage.html,
diakses
tanggal 7 Desember 2009).
11. Anonymous. Interflox 500 mg. 2009. (online); Available from: (http:///
www.farmasiku.com/index.php?target=products&product_id, diakses tanggal
7 Desember 2009).
12. Anonymous. MEFINTER. 2009. (online); Available from:
www.kimiafarmaapotek.com/.../MEFINTER.../kf.flypage.html,
tanggal 7 Desember 2009).

(http:///
diakses

31

13. Sukandar YE, Andrajati R, Sigit IJ, Setiadi AA, Kusnandar. Infeksi pasca
pembedahan dalam ISO Farmakoterapi. Ikrar Mandiri Abadi. Jakarta; 2008.
14. Anonymous.
AVITER.
2009.
(online);
Available
from:
(http:///id.answers.yahoo.com/question/index?qid, diakses tanggal 7 Desember
2009).
15. Lacy, Charles F. Drug Information Handbook. 14th edition. 2006. Lexicomp,
North American.
16. Anonymous. Appendisitis kronis dalam ilmu bedah. 2009. (online); Available
from: http:///www.bedahugm.net/tag/appendicitis-kronis, diakses tanggal 7
Desember 2009).
17. Arisandy Defa. Appendisitis. 2009. (online); Available from: http:///
www.fadlie.web.id/askep/askep-apendisitis8b.pdf, diakses tanggal 7 Desember
2009).

32

Você também pode gostar