Você está na página 1de 40

AGUS DHARMANSYAH

06711063

MEKANISME KERJA ANTIBIOTIKA


Pendahuluan
Istilah awal yang harus dipahami dalam pembahasan antibiotika meliputi farmakokinetik dan
farmakodinamik. Farmakokinetik berhubungan dengan absorbsi, distribusi dan eliminasi dari
antibiotika. Farmakodinamik berkaitan dengan konsentrasi untuk melawan mikroorganisme pada
daerah atau tempat infeksi.
Farmakodinamik juga membahas mengenai sifat antibiotika yaitu bakterisidal (membunuh kuman) dan
bakteriostatik (menghambat pertumbuhan kuman). Kedua hal ini berkaitan dengan sifat time dependent
(tergantung waktu) atau consentration dependent (tergantung konsentrasi antibiotika).
Sistem Kerja Antibiotika
Antibiotika pada prinsipnya bekerja pada tiga area pada kuman yaitu pada dinding sel, pada membrane
sel, pada proses pembentukan protein yaitu proses centra dogma.
1. Penghambatan pada sistesis dinding sel
Sintesis dinding sel berupa sintesis peptidoglikan yang menjadi unsur dinding sel bakteri. Proses ini
diawali dari subunit dinding yang dibawa melintasi membran sitoplasma dan akhirnya dimasukkan
dalam molekul peptidoglikan yang sedang berkembang.
Secara terperinci proses ini terbagi dalam tiga tahapan, yaitu:
a. Biosintesis molekul prekusor dengan berat ringan pada sitoplasma.
Antibiotika yang bekerja pada titik ini adalah Fosfomycin, cycloserine
b. Transfer subunit nukleotida prekusor ke peptidoglikan yang sedang berkembang dan bergabung ke
substrat dinding sel.
Antibiotika yang bekerja pada proses Transfer subunit nukleotida prekusor ke peptidoglikan yang
sedang berkembang adalah Bacitracin.
Antibiotika yang bekerja pada proses bergabung ke substrat dinding sel adalah Glycopeptides
(vancomycin dan teicoplanin)
c. Polimerisasi subunit ke peptidoglikan baru.
Antibiotika yang bekerja pada tahap ini ada tiga

a.Natural penicillins (penicillin G, phenoxymethyl penicillin),


Penicillinase-resistant penicillins (Methicillin, Nafcillin, Oxacillin, Cloxacillin),
Aminopenicillin (Ampicillin, Amoxycillin);
beta-lactamase inhibitors (clavulanic acid, sul/tazo-bactam)
b. Cephalosporins (1st 4th generation),
Cephamycin
c. Carbapenems, Monobactams
2. Penghambatan pada fungsi membran sitoplasma
Membran sitoplasma berfungsi sebagai barrier untuk air, ion, nutrisi dan system transport.
Membran bakteri. Contoh : Polymixin, gramicidins
Membran jamur.
Berinteraksi dengan membran sterol jamur untuk memproduksi kompleks membrane-polyene yang
merubah permeabilitas membran atau menciptakan pori sehingga isi jamur lisis.
Contoh: amphotericin B, nystatin, promaricin
Menginterferensi lapisan lemak jamur sehingga terjadi kerusakan membran jamur.
Contoh : miconazole, ketonazole, clotrimazole and fluconazole
3. Penghambatan sintesis asam nukleat
Proses ini dapat dibagi dalam beberapa tingkatan.
Penghambatan sintesis prekusor untuk asam nukleat yaitu folat. Contoh sulphonamides,
trimethoprim
Penghambatan aktifitas DNA gyrase yaitu : Topoisomerase II yang berfungsi pada relaksasi supercoil
DNA, dan Topoisomerase IV yang berfungsi memisahkan anakan DNA selama replikasi kromosom
dalam bakteri.

Contoh : Quinolones : Nalidixid acid, ciprofloxacin, levofloxacin, gati / moxi-floxacin).


Penghambatan RNA polymerase
Contoh : Rifampicin
Menginterferensi replikasi DNA
Contoh : Metronidazole
4. Penghambatan sintesis protein
Menghambat proses translasi mRNA ke protein. Proses translasi tersebut terjadi pada ribosom, baik
pada subunit 30 S maupun subunit 50 S. Kedua titik tersebut yang menjadi target kerja dari antibiotika.
Antibiotika dengan kerja pada 30S
Aminoglycosides
Tetracyclines
Antibiotika dengan kerja pada 50S subunit.
Chloramphenicol
Macrolides , Azalides and Lincosamides
Fusidic acid

MEKANISME KERJA ANTIBIOTIK


I.

PENDAHULUAN
Obat yang mengandung antibiotik sering kali menjadi buah simalakama. Pada satu sisi

dipercaya dapat mempercepat proses penyembuhan. Di lain sisi, antibiotik diyakini akan
menimbulkan masalah kesehatan baru pada si kecil.
Obat antibiotika, umumnya banyak dipakai untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Obat-obatan seperti Penisilin, Chloramphenicol, Cephalosporin, Tetrasiklin (khusus anak di atas 8
tahun) dan Quinolon (khusus anak besar), diberikan dokter bersama sejumlah obat lain. Umumnya,
dokter akan menyarankan untuk `meminumnya sampai habis, baik pada resep maupun
secara lisan.

Secara medis, antibiotik merupakan senyawa mikroorganisme seperti jamur atau bakteri
tertentu yang telah dijinakkan dan bila dimasukkan ke dalam tubuh dapat menjadi penyembuh
yang ampuh. Antibiotik berperang melawan bakteri-bakteri di dalam tubuh. Namun perlu diingat,
penggunaannya tidak boleh sembarangan. Bila dikonsumsi berlebihan akan berisiko tinggi pada
kesehatan.
Pada dasarnya, obat yang ditemukan oleh Alexander Fleming dari Scotlandia di tahun 1928
ini mempunyai dua cara kerja. Pertama, mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyakit
(bakteriostasis) dan membunuh bakteri penyakit tersebut (baktericidal). Sehingga obat ini mampu
menghilangkan dan membasmi bakteri tanpa menimbulkan efek samping yang berarti pada tubuh
yang mengonsumsinya.
Namun, bukan berarti semua penyakit dapat diberikan antibiotik. Menurut Dr Hinky Hindra
Irawan Satari SpA MTropaed, obat antibiotik umumnya diberikan pada penyakit-penyakit infeksi
atau yang disebabkan oleh bakteria saja. Misalnya, penyakit-penyakit yang berkenaan dengan
infeksi saluran pernapasan, saluran pencernaan atau peradangan telinga.

II.

PEMBAHASAN

Kemampuan suatu terapi antimikrobial sangat bergantung kepada obat, pejamu, dan agen
penginfeksi. Namun dalam keadaan klinik hal ini sangat sulit untuk diprediksi mengingat
kompleksnya interaksi yang terjadi di antara ketiganya.Namun pemilihan obat yang sesuai dengan

dosis yang sepadan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dan menghindari
timbulnya resistansi agen penginfeksi.
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek
menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses
infeksi oleh bakteri.Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di dalam
konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi. Berdasarkan
sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dibagi menjadi dua:
1. Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap
bakteri.
2. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat
pertumbuhan atau multiplikasi bakteri.
Cara yang ditempuh oleh antibiotik dalam menekan bakteri dapat bermacam-macam, namun
dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghambat perkembangan bakteri. Oleh karena itu
mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat dijadikan
dasar untuk mengklasifikasikan antibiotik sebagai berikut:
1.

Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Ada antibiotik yang merusak dinding
sel mikroba dengan menghambat sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan
hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis. Antibiotik ini menghambat sintesis dinding
sel terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan. Dinding sel bakteri yang menentukan
bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi bagian dalam sel terhadap perubahan tekanan
osmotik dan kondisi lingkungan lainnya. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Beta-laktam,
Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Ampicillin, Oxasilin.
a.

Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada enzim


DD-transpeptidase yang memperantarai dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan
demikian akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena
ketidakseimbangan tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang
mencerna dinding peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam
(dan Penicillin) hanya efektif terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan membran
terluar (outer membran) yang terdapat pada bakteri gram negatif membuatnya tak
mampu menembus dinding peptidoglikan.

b.

Penicillin meliputi natural Penicillin, Penicillin G dan Penicillin V, merupakan


antibiotik bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel dan digunakan untuk
penyakit-penyakit

seperti

sifilis,

listeria,

atau

alergi

bakteri

gram

positif/Staphilococcus/Streptococcus. Namun karena Penicillin merupakan jenis


antibiotik pertama sehingga paling lama digunakan telah membawa dampak resistansi
bakteri terhadap antibiotik ini. Namun demikian Penicillin tetap digunakan selain karena
harganya yang murah juga produksinya yang mudah.
c.

Polypeptida meliputi Bacitracin, Polymixin B dan Vancomycin. Ketiganya bersifat


bakterisidal. Bacitracin dan Vancomycin sama-sama menghambat sintesis dinding sel.
Bacitracin digunakan untuk bakteri gram positif, sedangkan Vancomycin digunakan
untuk bakteri Staphilococcus dan Streptococcus. Adapun Polymixin B digunakan untuk
bakteri gram negatif.

d.

Cephalosporin (masih segolongan dengan Beta-laktam) memiliki mekanisme kerja


yang hampir sama yaitu dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri.
Normalnya sintesis dinding sel ini diperantarai oleh PBP (Penicillin Binding Protein)
yang akan berikatan dengan D-alanin-D-alanin, terutama untuk membentuk jembatan
peptidoglikan. Namun keberadaan antibiotik akan membuat PBP berikatan dengannya
sehingga sintesis dinding peptidoglikan menjadi terhambat.

e.

Ampicillin memiliki

mekanisme

yang

sama

dalam

penghancuran

dinding

peptidoglikan, hanya saja Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram positif
dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga
membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri gram
negatif.
f.

Penicillin jenis lain, seperti Methicillin dan Oxacillin, merupakan antibiotik


bakterisidal yang digunakan untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan
Methicillin dan Oxacillin biasanya untuk bakteri gram positif yang telah membentuk
kekebalan (resistansi) terhadap antibiotik dari golongan Beta-laktam.

g.

Antibiotik jenis inhibitor sintesis dinding sel lain memiliki spektrum sasaran yang
lebih luas, yaitu Carbapenems, Imipenem, Meropenem. Ketiganya bersifat bakterisidal.

2.

Antibiotik yang menghambat transkripsi dan replikasi. Yang termasuk ke dalam golongan ini
adalah Quinolone, Rifampicin, Actinomycin D, Nalidixic acid, Lincosamides, Metronidazole.
a.

Quinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat pertumbuhan bakteri


dengan cara masuk melalui porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase
sehingga dengan demikian akan menghambat replikasi dan transkripsi DNA. Quinolone
lazim digunakan untuk infeksi traktus urinarius.

b.

Rifampicin (Rifampin) merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan cara


berikatan dengan -subunit dari RNA polymerase sehingga menghambat transkripsi
RNA dan pada akhirnya sintesis protein. Rifampicin umumnya menyerang bakteri
spesies Mycobacterum.

c.

Nalidixic acid merupakan antibiotik bakterisidal yang memiliki mekanisme kerja


yang sama dengan Quinolone, namun Nalidixic acid banyak digunakan untuk penyakit
demam tipus.

d.

Lincosamides merupakan antibiotik yang berikatan pada subunit 50S dan banyak
digunakan untuk bakteri gram positif, anaeroba Pseudomemranous colitis. Contoh dari
golongan Lincosamides adalah Clindamycin.

e.

Metronidazole merupakan antibiotik bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan


berefek menghambat sintesis DNA.

3.

Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
Macrolide, Aminoglycoside, Tetracycline, Chloramphenicol, Kanamycin, Oxytetracycline.
a.

Macrolide,

meliputi

Erythromycin

dan

Azithromycin,

menghambat

pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga
dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang diperlukan
untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat bakteriostatis, namun dalam
konsentrasi tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide biasanya
menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi.
Macrolide biasanya digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan
Haemophilus.
b.

Aminoglycoside meliputi

Streptomycin,

Neomycin,

dan

Gentamycin,

merupakan antibiotik bakterisidal yang berikatan dengan subunit 30S/50S


sehingga menghambat sintesis protein. Namun antibiotik jenis ini hanya
berpengaruh terhadap bakteri gram negatif.
c.

Tetracycline merupakan antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan


subunit ribosomal 16S-30S dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs
A pada ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translasi protein.
Namun antibiotik jenis ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan gigi
menjadi berwarna dan dampaknya terhadap ginjal dan hati.

d.

Chloramphenicol merupakan antibiotik bakteriostatis yang menghambat


sintesis protein dan biasanya digunakan pada penyakit akibat kuman Salmonella.

4.

Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Dibawah dinding sel bakteri adalah lapisan
membran sel lipoprotein yang dapat disamakan dengan membran sel pada manusia. Membran ini
mempunyai sifat permeabilitas selejtif dan berfungsi mengontrol keluar masuknya subtaansi dari
dan kedalam sel, serta memelihara tekanan osmotik internal dan ekskresi waste products. Selain itu
membran sel juga berkaitan dengan replikasi DNA dan sintesis dinding sel. Oleh karena itu
substansi yang mengganggu fungsinya akan sangat lethal terhadap sel. Contohnya antara lain
Ionimycin dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan kadar kalsium intrasel
sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel.

5.

Antibiotik yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang termasuk ke dalam golongan ini
adalah Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim, Azaserine.
a.

Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor kompetitif


terhadap enzim dihidropteroate sintetase (DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini
menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri. Tetrahidrofolat
merupakan bentuk aktif asam folat[17], di mana fungsinya adalah untuk berbagai peran
biologis di antaranya dalam produksi dan pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan
protein. Biasanya Sulfonamide digunakan untuk penyakit Neiserria meningitis.

b.

Trimetophrim juga
penghambatan

menghambat

metabolisme,

hanya

pembentukan
mekanismenya

DNA

dan

berbeda

protein
dari

melalui

Sulfonamide.

Trimetophrim akan menghambat enzim dihidrofolate reduktase yang seyogyanya


dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF) menjadi tetrahidrofolat (THF).
c.

Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine) merupakan antibiotik yang dikenal sebagai


purin-antagonis dan analog-glutamin. Azaserin mengganggu jalannya metabolisme
bakteri dengan cara berikatan dengan situs yang berhubungan sintesis glutamin, sehingga
mengganggu pembentukan glutamin yang merupakan salah satu asam amino dalam
protein.

III.

KESIMPULAN

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai
efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam
proses infeksi oleh bakteri.Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di
dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi.

Sifat antibiotik untuk terapi harus memiliki toksisitas selektif yaitu harus dapat
menghambat mikroorganisme infektif dan bersifat toksik hanya terhadap patogen infektif tidak
terhadap inangnya.
Berdasarkan sifat nya antibiotik dibagi menjadi 2 yaitu antibiotik yang bersifat
bakterisidal dan antibiotik yang bersifat bakteriostatik
Mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme
dapat dijadikan dasar untuk mengklsifikasikan antibiotik.
Pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis antibiotik yang diberikan haruslah tepat.
Jika antibiotik diberikan dalam jenis yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang
terjadi adalah bakteri tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk kekebalan
terhadap antibiotik tersebut
Contoh obat yang dapat diberikan melalui infus.
Contoh obat yang dapat diberikan melalui infus yaitu metronidazol ( 500 mg metronidazol
dalam 100 ml infus). Metronidazol bekerja sebagai bakterisid, amubisid dan trikomonasid.
Farmakokinetik
Absorpsi
Setelah pemberian infus IV selama 1 jam dengan dosis 15 mg/kgBB kemudian diikuti dengan
pemberian infus IV metronidazol Hcl selama 1 jam dengan dosis 7,5 mg/kgBB setiap 6 jam
pada orang dewasa sehat, konsentrasi puncak metronidazol dalam plasma rata-rata 26 g/ml
dan

konsentrasi

yang

studi crossover pada

mantap

orang

dalam

dewasa,

plasma

daerah

bawah

rata-rata
kurva

18 g/ml.
(AUCs

Dalam

= area

under

satu
the

concentration time curves) tidak ada perbedaan secara signifikan pada pemberian dosis
metronidazol tablet 500 mg dengan dosis infus IV tunggal 500 mg metronidazol HCl yang
diberikan selama 20 menit.

Distribusi
Metronidazol didistribusikan secara luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh termasuk tulang,
empedu, air liur, cairan pleural, cairan peritoneal, cairan vagina, cairan seminal, cairan
serebrospinal (CSF = cerebrospinal fluid), dan abses hati dan otak. Distribusi pada pemberian
oral maupun pemberian infus IV adalah sama. Konsentrasi metronidazol dalam cairan
serebrospinal dilaporkan sebanyak 43% dari konsentrasi metronidazol dalam plasma, pada
pasien denganuninflamed meninges serta sebanding atau lebih besar dari konsentrasi
metronidazol dalam plasma pada pasien dengan inflamed meninges. Metronidazol juga

didistribusi ke dalam eritrosit. Ada data yang menduga bahwa volume distribusi metronidazol
menurun pada pasien geriatrik dibandingkan pasien usia muda, hal ini mungkin merupakan
akibat

dari

menurunnya

ambilan

metronidazol

oleh

eritrosit

pada

pasien

geriatrik.

Metronidazol terikat kurang dari 20% pada protein plasma. Metronidazol melewati plasenta,
didistribusikan ke dalam ASI dengan konsentrasi yang sama dengan konsentrasi metronidazol
dalam plasma.
Eliminasi:
Waktu paruh dalam plasma dari metronidazol dilaporkan 6-8 jam pada orang dewasa dengan
fungsi ginjal dan hepar normal. Suatu studi dengan menggunakan metronidazol HCl yang
dilabel, waktu paruh dari metronidazol bentuk utuh rata-rata 7,7 jam dan waktu paruh dari
radioaktivitas total rata-rata 11,9 jam. Waktu paruh metronidazol dalam plasma tidak
dipengaruhi oleh perubahan fungsi ginjal, akan tetapi waktu paruh dapat lebih panjang pada
pasien gangguan fungsi hepar. Studi pada orang dewasa dengan penyakit hepar alkoholik dan
gangguan fungsi hepar memperlihatkan bahwa waktu paruh rata-rata 18,3 jam (kisaran: 10,329,5 jam).

Inkompatibilitas obat melalui infus.


Ada obat yang tidak kompatibel dengan kandungan larutan infus. Contoh khas adalah natrium
bikarbonat dengan Ringer laktat atau Ringer asetat. Untuk mencegah inkompatibilitas,
penting dipikirkan bagaimana obat bisa berinteraksi di dalam atau di luar tubuh. Jika harus
mencampur suatu obat, selalu ikuti petunjuk pabrik seperti volume dan jenis diluen yang
tepat; mana larutan yang bisa ditambahkan ke pemberian piggy back; dan larutan bilas
apa yang harus digunakan di antara pemberian suatu produk dan produk lain untuk
menghindari kejadian-kejadian, seperti pengendapan di dalam selang infus (sebagai Contoh,
jangan pernah memberikan fenitoin ke dalam infus jaga yang mengandung dekstrosa, atau
jangan

campur

amphotericin

dengan

normal

saline).

Hal-hal

lain

yang

perlu

dipertimbangkan adalah adanya elektrolit (misal. kalium klorida) yang dicampur ke infus
kontinyu, misal pada sistem piggyback. Jika ingin mencampur obat dalam spuit untuk
pemberian bolus, pastikan obat obat ini kompatibel di dalam spuit. Selain itu perlu waspada
dengan obat yang dikenal memiliki riwayat inkompatibilitas bila berkontak dengan obat lain.
Contoh-contoh furosemide (Lasix), phenytoin (Dilantin), heparin, midazolam (Versed), dan
diazepam (Valium) bila digunakan dalam campuran IV.

METRONIDAZOLE
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Metronidazol adalah salah satu obat antibiotika yang banyak diresepkan di Indonesia. Metronidazol
adalah antibiotik yang cukup baik untk bakteri anaerob, yakni bakteri yang dapat hidup tanpa
membutuhkan oksigen. Bakteri jenis ini biasanya hidup di dalam luka tertutup atau di dalam organ
tubuh, misal pada luka kaki penderita kencing manis (diabetes) yang biasanya sudah terdapat nanah,
pada infeksi perut bagian dalam, dan sebagainya.
Metronidazol juga baik untuk sejumlah parasit dan bakteri penyebab penyakit kelamin. Selengkapnya,
metronidazol digunakan untuk penyakit berikut:
1.Infeksi yang diduga disebabkan oleh bakteri anaerob;
2.Infeksi menular seksual;
3.Infeksi bakterial vaginosis (penyakit infeksi tidak spesifik pada vagina);
4.Infeksi parasit trichomonas (misal pada diare atau keputihan akibat trichomonas);
5.Infeksi kuman amoeba (misal pada diare akibat amoeba).
Metronidazol tidak boleh diberikan pada pasien yang pernah mengalami alergi terhadap antibiotik ini.
Metronidazol juga tidak boleh diberikan untuk wanita hamil trimester pertama (hamil usia 0-3 bulan)
dan saat menyusui.
EFEK SAMPING
Sejumlah efek samping yang pernah ditemukan dan persentase kemunculannya adalah sebagai berikut:
1.Nafsu makan turun (10%);
2.Muncul infeksi jamur (10%);
3.Diare (10%);
4.Pusing (10%);
5.Mual dan muntah (10%);
6.Air kencing berwarna gelap (1-10%);
7.Alergi (1-10%);
8.Kejang (1-10%).

DOSIS
Metronidazol tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, dan botol infusan. Metronidazol tablet tersedia
dalam ukuran 250 mg dan 500 mg. Untuk kapsul, metronidazol tersedia dalam ukuran 375 mg.
Sedangkan dalam kemasan botol infusan, metronidazol tersedia dalam ukuran 500 mg/100ml.
Metronidazol dapat ditemukan sebagai obat paten maupun generik.
Dosis metronidazol sebagai terapi infeksi anaerob (misal pada luka diabetes atau infeksi orga dalam
tubuh) ialah 7,5 mg/kg berat badan sebanyak 3-4 kali sehari selama 7-10 hari. Secara praktis,
metronidazol biasa diresepkan berupa tablet 500mg, diminum tiga kali sehari selama 7 hari. Pada
pasien yang dirawat di rumah sakit, metronidazol diberikan lewat infusan dengan dosis 15 mg/kg berat
badan. Dosis maksimal ialah 4 gram per hari. Untuk infeksi kelamin dan diare akibat trichomonas,
metronidazol diberikan 500 mg, dua kali sehari selama 7 hari. Sedangkan untuk diare akibat amoeba,
metronidazol diberikan sebanyak 750 mg, 2-3 kali sehari selama 5-10 hari.
Untuk anak-anak, dosis Metronidazol tergantung berat badan. Dosisnya ialah 15 mg/kg berat
badan/hari tiga kali sehari. Untuk bayi umur kurang dari 7 hari, dosisnya ialah 7,5 mg/kg berat
badan/har

Bakteri penyebab sepsis intrabadominal


Sepsis Intra-Abdominal & HIV
Pengantar
Sepsis didefinisikan sebagai respons inflamasi sistemik karena infeksi. Respons inflamasi ini terjadi
karena invasi mikroorganisme ke dalam jaringan. Angka kejadian sepsis dan komplikasinya saat ini
cukup tinggi dan merupakan salah satu penyebab kematian utama di unit perawatan intensif medik dan
bedah.
Sepsis dapat disebabkan oleh virus, kuman Gram negatif, kuman Gram positif dan jamur. Saat ini
infeksi kuman Gram negatif masih merupakan penyebab utama sepsis tetapi didapatkan peningkatan
infeksi kuman Gram positif dan jamur sebagai penyebab sepsis. Pada pemeriksaan mikrobiologi

didapatkan tidak semua kuman dapat ditemukan dalam darah atau lokasi dugaan terjadinya infeksi.
Patogenesis sepsis saat ini masih belum diketahui secara pasti, mengingat kompleksnya mekanisme
melibatkan banyak mediator proinflamasi dan anti inflamasi yang saling berinteraksi satu dengan lain
sehingga menyebabkan kerusakan atau disfungsi endotel.
Penanganan sepsis saat ini meliputi terapi baku, kontroversial dan terapi masa depan. Terapi baku
meliputi oksigenisasi (termasuk bantuan napas), resusitasi cairan (koloid dan kristaloid), eradikasi
kuman penyebab (bedah dan antibiotik), vasoaktif, inotropik dan suportif lain seperti koreksi gangguan
asam basa, nutrisi, regulasi gula darah, koagulasi intravaskular diseminata dan lainnya.
Terapi kontroversial meliputi kortikosteroid dan antiinflamasi nonsteroid. Perkembangan kemajuan
bidang kedokteran terutama berkaitan dengan pemahaman patogenesis sepsis menjadi dasar terapi
masa depan seperti: antitrombin III, antibodi monoklonal (HA-1A dan E5 murine IgM antibodi),
antagonis reseptor interleukin-1, antiTNF dan anti nitric oxide.
Pendahuluan
Sepsis didefinisikan sebagai respons inflamasi sistemik karena infeksi.1-3 Respons inflamasi ini terjadi
karena invasi mikroorganisme ke dalam jaringan.1 Kemajuan di bidang teknologi dan aplikasi
kedokteran meningkatkan risiko terjadinya sepsis seperti: penggunaan kateter, alat invasif, implantasi
prosthesis, pemakaian obat antikanker, kortikosteroid dan imunosupresif lain pada penyakit inflamasi
atau transplantasi organ.1,4
Setiap tahun sepsis terjadi pada lebih dari 500.000 penderita di Amerika Serikat dan hanya 55-65%
yang dapat diselamatkan.5 Angka kematian ini berkisar dari 16% pada penderita dengan sepsis dan 4060% pada penderita dengan renjatan septik.3
Kematian dini pada penderita dengan renjatan septic (kurang dari 14 hari) terutama disebabkan oleh
respons inflamasi sistemik akut, sedangkan kematian berikutnya merupakan akibat hipotensi refrakter
yang disebabkan tahanan vaskular sistemik menurun dan gangguan fungsi organ multipel (multiple
organ dysfunction syndrome = MODS) sehingga organ vital mengalami hipoperfusi dengan akibat
gagal organ multipel di mana, homeostasis tak dapat dipertahankan tanpa adanya intervensi.6,7

Sepsis dan komplikasinya (seperti: renjatan septik, sindrom gagal napas dan lainnya) memerlukan
penanganan yang intensif di ruang perawatan. Saat ini meskipun berbagai kemajuan telah dicapai
dalam diagnosis dan terapi tetapi angka mortalitas sepsis masih cukup tinggi, diharapkan dengan
berkembangnya pemahaman mengenai pathogenesis sepsis akan berakibat pada penanganan yang lebih
baik dari sepsis dan komplikasinya.
HIV dan Sepsis pada Pembedahan
Prevalensi dari infeksi human immunodeficiency virus (HIV) semakin meningkat. Pengalaman
pembedahan dengan penyakit ini masih tetap terbatas. Seringkali ahli bedah dipanggil untuk
mengevaluasi pasien yang terinfeksi HIV dan melakukan bervariasi prosedur baik elective dan
emergency.1-8 Prosedur yang sering termasuk biopsi nodus limfatikus, drainase absess, operasi
anorectal, abses vascular dan laparotomi. Pasien dengan HIV sering ditampilkan dengan variasi dari
kondisi abdominal, beberapa diantaranya pada populasi yang immunokompeten, sementara yang
lainnya langsung terkait dengan HIV.
Tingginya angka mortalitas dan morbiditas telah dilaporkan dalam berbagai studi pada pembedahan
abdominal dengan pasien terinfeksi HIV. 2 Pasien terinfeksi HIV dapat tampil dengan kondisi abdomen
yang ditemukan pada populasi yang immunokompeten seperti appendicitis, pelvic inflammatory
disease dan torsi ovarium. Pasien terinfeksi HIV asimptomatik dapat pulih dengan baik dari
pembedahan dan tidak tampak untuk mengalami perlambatan penyembuhan. 9,12 Lowy et al13 telah
menggarisbawahi bahwa immunodefisiensi yang ditemukan berkaitan dengan prognosis yang buruk
dan hampir bisa dikoreksi. Literaturnya bagaimanapun, tidak cukup dalam quantifikasi rekomendasi.
Wexner dan teman-temannya14 merupakan orang yang pertama untuk mengkorelasikan penyembuhan
luka dengan hitung leukosit total preoperasi.
Banyak data yang relevant dalam pengukuran klinis dari jumlah CD4+ dimana saat ini dikenali sebagai
indicator prognostic utama untuk hasil akhir pasien dengan infeksi HIV. Kegagalan dari laporan saat ini
termasuk data yang sama masih mengecewakan. 13 Telah diusahakan untuk mengaitkan jumlah CD4+
pada pasien dengan terkait patologi HIV yang bagaimanapun, tidak secara statistic bersifat signifikan.
Pasien dengan jumlah CD4+ yang rendah tidak tampak terkait dengan patologi HIV dan dapat pulih
dengan baik setelah post operasi. Bagaimanapun, pada kelompok dengan patologi terkait HIV,
mortalitasnya dapat tinggi (40% atau 2 dari 5 kasus serial).

Nyeri abdominal pada pasien terinfeksi HIV adalah sulit untuk didiagnostik dan mempunyai masalah
terapetik. Banyak pasien terinfeksi HIV mengeluh nyeri abdomen selama perjalanan penyakitnya.
Proporsi yang besar dari keluhannya berupa organomegali, lymfadenopati, infeksi enterik oportunistik
dan peritonitis bacterial spontan dimana tidak membutuhkan pembedahan. Dilema ahli bedah adalah
dalam membedakan kondisi ini dari patologi yang bisa ditangani dengan pembedahan. Seperti yang
lainnya,4,13 kami telah menyimpulkan bahwa leucopenia relative adalah hal yang sering terutama pada
penyakit HIV yang berat, membuat hitung darah lengkap dan perbedaan sel darah putih tidak dapat
dipercaya. Riwayat yang teliti dan pemeriksaan fisik ulangan sangat berguna, dengan perhatian
diarahkan langsung terhadap deteksi diare, riwayat masa lalu neoplasma atau infeksi oportunistik dan
adanya organomegali serta limfadenopati.
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan seluruhnya dan termasuk hitung darah lengkap, urea serum
dan elektrolit, amylase serum, panel hati, urinalisis, dan radiografi dada dan abdomen. Tuberculosis
(TB) adalah endemic diwilayah kami dan tidak dapat dipertimbangkankan sebagai penyakit terkait
HIV. Pada populasi non endemis, telah ditemukan peningkatan insidensi diantara pasen yang
immunocompromised 15,16 Barnes et al15 melaporkan seorang pasien dengan TB limpa yang
mempunyai AIDS tetapi pulih dengan baik dari operasinya.
CMV merupakan infeksi oportunistik yang paling sering dari traktus gastrointeastinal dan seringkali
memburuk. Dia mempengaruhi lebih seringnya pada kolon dan bermanifestasi sebagai nyeri
abdominal, demam dan diare berdarah. Diagnosis histologist dikonfirmasi dengan CMV owls eye
intranuclear inclusion bodies dengan inflamasi yang sering terlihat pada jaringan kolonik. Biopsi
kolonoskopi dari caecum lebih dari 90% akurat dalam menegakkan diagnosis. 15 Perforasi CMV colitis
dapat menjadi sepsis.
Yang terpenting dalam pembedahan ini adalah pengetahuan preoperative mengenai status HIV dan
tindakan yang aman untuk penanganannya. Adapun tindakan yang aman dikelompokkan sebagai
berikut:
Tindakan Universal berupa:

Baju yang waterproof, sarung tangan dan masker

Tidak berpindah dari tangan ketangan akan benda yang tajam

Benda tajam jangan disarungkan kembali

Jari tidak boleh digunakan sebagai pembimbing jarum

Pelindung mata dari darah

Pembuangan benda tajam kedalam container yang sesuai

Tindakan Ekstra dengan kasus resiko tinggi berupa:

Sarung tangan yang double

Pelindung mata

Jarum tidak dipegang dengan tangan

Pelindung kaki

Efek HIV pada Pasien Ko-Infeksi


Infeksi dengan HIV mempunyai kemampuan untuk mengubah riwayat alami infeksi dengan pathogen
lain melalui (1) fasilitas infeksi, (2) mengubah insidensi penyakit dengan meningkatkan rasio penyakit
terhadap infeksi, (3) mengubah presentasi klinis penyakit dan (4) Eksaserbasi dari perjalanan penyakit
itu sendiri. Efek seperti ini diasumsikan untuk menjadi hasil primer untuk imunosupressi yang
dikaitkan dengan infeksi HIV.
Abnormalitas fungsi imun ditemukan untuk menjadi esensial disetiap kompartemen selular dan
fungsional pada system Imun dengan AIDS, meskipun defek yang ditemukan pada cell-mediated
immunity (CMI) timbul untuk menjadi kepentingan klinis yang terbesar. 5 Secara invitro hal ini
berkolerasi termasuk abnormalitas fungsional dari :
o

CD4+ T cells, dengan kegagalan progresif unutk berprolferasi, produksi interleukin (IL)-2 dan

interferon- (IFN-), 6,7 disregulasi ekspresi dari molekul yang esensial untuk T-aktivasi abnormal
induced apoptosis,9,10 dan penyebaran subset CD4+ T cells (CD4+CD25+ regulatory T cells) yang
merupakan penghambat potent dalam respon imun untuk diri sendiri dan pathogen 11,12
o

Monocyte/macrophages, dengan penurunan kemotaksis dan aktvitas mikrobisidal intraselular

dan produksi sitokin abnormal 5,6


o

Sel Dendritic, dengan penurunan kemampuan untuk merepresentasikan antgen dan

mengaktivasi sel (bersamaan dengan transfer efisien dari infeksi HIV terhadap sel CD4+ sel T)13
o

Sel CD8+ T, dengan penurunan fungsi cytotoxic T-lymphocyte (CTL) 5 dan aktivasi abnormal

activation-induced apoptosis 10
o

Sel Natural killer (NK), dengan penurunan proliferasi dan produksi IFN- 14

Disregulasi dari imunitas humoral, ditandai dengan aktivasi sel B poliklonal, juga terlihat. 5 Secara

fungsional, abnormalitas dari sel CD4+ T cell, monocyte/macrophage, dan fungsi dendritic cell telah
diduga menjadi ambang untuk penekanan CMI dan nfeksi oportunistik yang terlihat pada pasien
dengan AIDS. Sebagai tambahan terhadap efek langsung dari infeksi HV, system imun dari HIV
seropositif dapat menjadi compromised yang secara klinik bersifat signifikan dengan menyebabkan
gangguan nutrisi dan metabolic, intervensi terapetik, dan abnormalitas immune yang dikaitkan dengan
infeksi sekunder ).
Definisi
Berdasarkan konsensus American College of Chest Physician dan Society of Critical Medicine
(ACCP/SCCM Consensus conference) tahun 1992, sepsis didefinisikan sebagai respons inflamasi
sistemik karena infeksi.2,4 Respons inflamasi sistemik ditandai dengan manifestasi dua atau lebih
keadaan sebagai berikut:2
1. suhu lebih >38oC atau 90 x/menit
3. frekuensi pernapasan >20 x/menit atau PaCO212.000/mm3, 10% sel darah putih muda (batang)
Infeksi sendiri adalah fenomena mikrobial yang ditandai dengan respons inflamasi terhadap adanya
mikroorganisme atau invasi ke dalam jaringan yang dalam keadaan normal steril terhadap
mikroorganisme tersebut.2 Apabila keadaan di atas tanpa disertai adanya infeksi maka disebut sindrom
respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome = SIRS). Sepsis berat adalah
sepsis yang disertai dengan gangguan fungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi sedangkan renjatan
septik adalah sepsis yang disertai dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terdapat
penurunan tekanan darah lebih dari 40 mmHg tekanan basal tanpa disertai penyebab lain) walaupun
telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.2,4
Septikemia adalah ditemukannya mikroorganisme atau toksinnya dalam darah sedangkan bakteremia
adalah ditemukannya bakteri dalam darah.2,4 Saat ini istilah septikemia dianjurkan untuk tidak
digunakan lagi karena terdapat kesulitan dalam interprertasi data dan tidak menggambarkan secara
keseluruhan spektrum organism patogen yang menginfeksi dalam darah.2
Saat ini berkembang pula istilah yang mengacu pada pemahaman mengenai hipotesis dari patogenesis
terjadinya sepsis. Pada respons inflamasi sistemik (SIRS) diduga respons sel proinflamasi sangat
berperan, sedangkan bila respons sel proinflamasi tidak berjalan atau sel antiinflamasi lebih berperan
sehingga menimbulkan imunosupresi disebut sindrom respons anti inflamasi terkompensasi

(compensatatory anti inflammatory response syndrome = CARS).8


Akibat yang ditimbulkan juga dipengaruhi dari sel proinflamasi atau anti inflamasi yang berperan lebih
dominan. Pada CARS HLA-DR pada monosit <30% dan berkurangnya kemampuan monosit untuk
memproduksi sitokin inflamasi seperti TNF atau IL-6.8,9 Pada suatu keadaan tertentu
F
terdapat keseimbangan antara sel proinflamasi dan sel anti inflamasi (mixed antagonist response
syndrome = MARS) sehingga terjadi homeostasis.8
Etiologi
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif, gram positif, virus dan jamur.2,6 Penyebab tersering
sepsis adalah kuman gram negatif walaupun terdapat peningkatan dari bakteri gram positif dan
jamur.10 Bakteri gram negative mempunyai lapisan lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin pada
dinding luar bakteri.6,11,12 Lapisan LPS tersebut terdiri dari 3 struktur, yaitu:
1. Polisakarida yang terdiri dari rantai O
2. Lapisan tengah yang terdiri dari lapisan luar dan dalam
3. Lapisan lipid A
Lapisan lipid A ini merupakan lapisan terpenting yang berperan dalam toksisitas endotoksin. Pada
bakteri gram negatif mempunyai kemiripan pada struktur lapisan tengah dan lipid A tetapi berbeda pada
rantai spesifik O. Sepsis dapat juga disebabkan oleh eksotoksin atau lapisan peptidoglikan dari bakteri
gram positif.10
Microbiologic Etiology
Mayoritas dari infeksi intra abdomenial adalah polymikrobial secara alaminya, yang disebabkan oleh
Enterobacteriaceae, anaerobes, atau streptococci.Organisme yang diisolasi dari pemberian infeksi intra
abdominalmerefleksikan bahwa as all flora terhadap wilayah yang terlibat dari traktus gastrointestinal.
Flora normal dari lambung, duodenum, dan usus halus proksimal terdiri dari sejumlah kecil
streptokokus viridians dan streptokokus mikrofilik lainnya. Usus halus distal dipopulasikan dengan
sejumlah besar Enterobacteriaceae, enterococci, dan anaerobes. Kolon dijumlahkan terdapat 1012
organisme per gram fesesnya. Spesies candidia berkoloni di traktus gastrointestinal hingga sekitar 50%
individu, dmana dapat berkontribusi untuk infeksi intra abdominal pada pasien ini. Flora mikrobiologik
normal dari traktus gastrointestinal dipengaruhi secara dramatis dengan terapi antibotik, yang memilih

dalam peningkatan kolonisasi dengan spesies candida, enterokokus, dan gram negative basil resisten
seperti pseudomonas dan spesies enterobacter. Infeksi intra abdominal dapat disebabkan oleh pathogen
yang tidak biasa dikaitkan dengan flora gastrointestinal. Pada pasien dengan resiko (dengan kecurigaan
terpapar atau immunocompromised) organism berikut sebaiknya dipertimbangkan: Mycobacterium
tuberculosis, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Coccidioides immitis, Yersinia
enterocolitica, dan actinomyces.
Patogenesis 1,3,4,6,11
Patogenesis sepsis masih belum jelas benar, kaskade inflamasi umumnya sangat dipengaruhi oleh
sitokin atau mediator inflamasi. Mediator ini bertanggung jawab terhadap kerusakan endotel kapiler.
Diyakini ada mekanisme yang akan menghambat kerja dari mediator tersebut sehingga terjadi
keseimbangan antara sel proinflamasi dan antiinflamasi. Bila reaksi tubuh tersebut berlebihan maka
keseimbangan tadi akan terganggu dan tubuh tidak dapat mengatasi hal tersebut.
Endotoksin yang masuk sirkulasi akan memacu makrofag untuk mengeluarkan mediator, misalnya
TNF dan interleukin-1. Sitokin proinflamasi ini merangsang terjadinya adhesi netrofil
F
dan endotel vaskular, aktivasi faktor pembekuan darah dan terbentuknya mediator-mediator lain seperti
PAF (platelet activating factor), protease, prostaglandin, leukotrien dan juga dibebaskannya sitokin
antiinflamasi seperti interleukin-6 dan interleukin-1. Melalui proses ini juga akan dirangsang sistem
komplemen dan akan mengakibatkan pula neutrofil teraktivasi dan keluarnya radikal bebas yang toksik
terhadap sel.
Mediator tersebut juga akan menyebabkan depresi miokard sehingga dapat menimbulkan renjatan.
Pada akhirnya mediator-mediator tersebut akan mengakibatkan kerusakan pada endotel kapiler
sehingga terjadi kaskade sepsis dengan akibat terjadi kegagalan multi organ dan kematian.
Clinical Features
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari sepsis intra abdominal tidak hanya bervariasi diantara pasien tetapi juga
bergantung pada etiologi infeksi yang mendasarinya. Gejala dapat menjadi tidak spesifik, dengan
pasien yang melaporkan nyeri abdomen, anoreksia, atau demam subjektif. Pasien dapat menjadi febrile
atau hipotermik; takikardia yang lebih sering dan takipneu dapat hadir sebagai kompensasi unruk

asidosis metabolic yang mendasarinya. Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan tidak adanya atau
berkurangnya suara abdomen. Pasien yang obese, tua, neutropenik, atau yang menerima steroid atau
agen imunosupresif lebih sering tidak mempunyai keluhan yang non spesifik. Lebih jauh, mereka dapat
secara relative mempunyai patologis abdomen. Maka, seorang klinisi harus menjaga level kecurigaan
yang tinggi dalam mengevaluasi populasi pasien ini.
Penemuan Laboratorium
Penemuan laboratorium tidak spesifik pada pasien dengan sepsis intraabdomen. Leukositosis perifer
lebih sering, meskipun leucopenia dapat terlihat pada sejumlah pasien yang mungkin dikarenakan
sequestrasi sel darah putih. Asidosis dapat timbul dan harus mempertimbangkan adanya sebuah
iskemik usus. Peningkatan aminotransferase hati, meskipun relative lebih sering, merupakan penemuan
yang non spesifik pada infeksi intra abdominal dan hanya merupakan infeksi intrahepatik fokal.
Peningkatan dari serum fosfatase alkali dan bilirubin total memberikan investigasi terhadap saluran
bilier untuk menyingkirkan obstruksi massa, cholangitis, atau cholecystitis. Peningkatan serum amylase
atau lipase dapat menunjukkan pankreattis, meskipun serum amylase yang abnormal dapat terlihat
dengan infark usus atau eprforasi. Jika asites timbul, diagnosis parasintesis harus dilakukan dengan
cairan dihitung untuk jumlah sel, protein, albumin, pewarnaan gram dan kultur.
Studi Imaging
Supine film atas abdomen dapat menunjukkan udara bebas jika perforasi viskusnya ada. Petunjuk
diagnostic lain dapat timbul pada radiograf polos, seperti pada peningkatan diafragma dari
kemungkinan sebuah abses intraabdominal. Ultrasound abdominal merupakan alat diagnostic
radiografis lain yang seringkali tersdia dan secara relative tidak mahal untuk dilakukan. Ultrasonografi
abdominal paling sering berguna untuk mendeteksi patologis kuadran kanan atas, retroperitoneum dan
pelvis, dimana sensitivitasnya adalah mencapai 90%. Bagaimanapun, hal ini kurang sensitive hingga di
area interloop, dan adanya sejumlah besar cairan usus dapat membatasi kegunaan ultrasonografi. CT
abdomen lebih sensitive dibandingkan ultrasound dalam diagnosis patologi intra abdominal;
bagaimanapun, hal ini lebih mahal dan membutuhkan pemberian kontras oral dan intravena. MRI dapat
menjadi diagnostic yang berguna jika menghindari penggunaan pemberian kontras intravena;
bagaimanapun, lebih mahal, tidak tersedianya disemua center dan dapat tidak menjadi berguna pada
semua pasien ( contohnya mereka yang membutuhkan ventilasi mekanis)
Diagnosis

Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya dua atau lebih manifestasi respons inflamasi
sistemik dan kecurigaan terdapatnya infeksi.1,2 Paru adalah organ yang paling sering ditemukan
mengalami infeksi, diikuti oleh abdomen dan saluran kemih, tetapi pada 20-30% penderita lokasi pasti
terjadinya infeksi tidak dapat ditentukan.5 Pada sepsis, pemeriksaan mikrobiologi tidak selalu
menunjukkan adanya kuman positif.1,5 Kultur darah positif hanya terdapat pada kurang lebih 30%.5
Penderita yang termasuk rentan terhadap sepsis seperti: usia lanjut, malnutrisi, imunodefisiensi, kanker,
penyakit kronik, trauma, luka bakar, diabetes melitus, prosedur invasif, pemakaian imunosupresi dan
transplantasi.1,2
Beberapa perkembangan pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis dan menilai prognosis
adalah pemeriksaan prokalsitonin, laktat, lipopolisakarida (Limulus) dan jamur (glukan).13,14 Susunan
prokalsitonin terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 13 kD. Prokalsitonin ini diduga
-diproduksi oleh sel neuroendokrin paru dan usus, pada keadaan normal kadarnya )--Dglukan di dalam serum dengan menggunakan reagen Limulus. Pada kasus jamur sistemik kadar (1->)--

D-glukan

dalam

serum

dapat

diukur

dengan

menggunakan

metode

turbidimetri

kinetik. Saat ini di Subbagian Penyakit Tropik Infeksi Bagian Penyakit Dalam FKUI / RSUPNCM
sudah dapat dilakukan pemeriksaan endotoksin dan tes glukan sedangkan pemeriksaan prokalsitonin
sedang dalam persiapan.
Diagnosis etiologis definitive membutuhkan isolasi mikroorganisme dari darah atau tempat terjadinya
infeksi. Sedikitnya 2 contoh darah (masing-masing 10 mL) harus didapatkan (dari tempat pungsi vena
yang bervariasi) untuk dilakukan kultur. Dikarenakan bakteremia gram negative lebih sering tingkat
rendah (<10 organisms/mL darah), perlamaan inkubasi kultur dapat diperlukan; S. aureustumbuh lebih
sering dan dideteksi didalam kultur darag dalam 48 jam pada banyak keadaan. Dalam banyak kasus,
kultur darah adalah negative; hasil ini dapat merefleksikan pemberan antibiotic sebelumnya, adanya
pertumbuhan lambat dari organism atau tidak adanya invasi microbial pada aliran darah. Pada kasus
ini, pewarnaan gram dan kultur bahan dari tempat lokasi primer infeksi atau lesi kutan terinfeksi dapat
menegakkan etiologi microbial. Kulit dan mukosa harus dipriksa secara hati-hati dan berulang
dikarenakan dapat memberikan informasi diagnostic.
Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah menghilangkan sumber infeksi, memperpaiki dan mengembalikan perfusi

jaringan,
memperbaiki dan mempertahankan fungsi ventrikel dan upaya suportif lain.1 Penanganan renjatan
septik dapat dibagi tiga kategori, yaitu:
1. baku
2. kontroversial
3. masa depan (emerging)
Pengobatan baku
I. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan merupakan lini pertama dari penatalaksanaan sepsis. Resusitasi cairan ini dapat
menggunakan cairan kristaloid atau koloid.15 Sampai saat ini belum didapatkan bukti bahwa salah satu
jenis cairan tersebut lebih baik dibandingkan yang lain. Kristaloid membutuhkan jumlah cairan yang
lebih baik dibandingkan yang lain. Kristaloid membutuhkan jumlah cairan yang lebih banyak (dua
sampai tiga kali) dibandingkan koloid dalam memberikan efek hemodinamik dan dapat menyebabkan
edema perifer.16
Pada tahap pertama dapat diberikan 1.000 ml cairan kristaloid atau 500 ml cairan koloid dalam 20-30
menit.16 Diharapkan tekanan darah dapat mencapai lebih dari 90 mmHg dan sebaiknya pemantauan
dilakukan dengan tekanan vena central (CVP). Apabila tekanan vena sentral sudah mencapai 12-15
mmHg tetapi keadaan belum membaik maka pemberian cairan harus hati-hati karena dapat terjadi
edema paru. Pada saat ini dipertimbangkan untuk memasang kateter arteri pulmonalis (swanganz
catheter).16
II. Oksigenisasi dan bantuan ventilasi
Oksigen harus diberikan pada penderita sepsis terutama renjatan septik. Bila renjatan septik menetap
selama 24-48 jam perlu dipertimbangkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik.3,16 Pada
resusitasi cairan perlu dipantau dengan hati-hati karena dapat menyebabkan edema paru. Pada sindrom
gagal napas (ARDS=acute/adult respiratory distress syndrome) sebagai komplikasi dari sepsis
diberikan bantuan ventilasi dengan PEEP (Positive End Expiratory Pressure) untuk mencegah kolaps
alveoli.5,16
III. Antibiotika

Semua sumber infeksi harus dihilangkan. Pemilihan antibiotika tidak perlu menunggu hasil biakan
kuman dan pada awalnya diberikan antibiotika spektrum luas.1 Pemilihan antibiotika ditentukan oleh
lokasi dan hasil yang terbaik secara empirik dari dugaan kuman penyebab (best-guess).1 Bila sumber
infeksi tidak jelas, semua dugaan bakteri yang dapat menimbulkan sepsis harus dilenyapkan: bakteri
Gram negatif, Gram positif, anaerob dan pada hal tertentu dipikirkan pula jamur sistemik.1
Panduan pemilihan antibiotika pada sepsis (Bartlett, modifikasi):
1. Pengobatan awal aminoglikosid ditambah salah satu sefalosporin generasi ke-3 (seftriakson,
sefotaksim, sefoperazon atau seftazidim), tikarsilin-asam klavulanat, imipenem-cilastatin
2. Bila dicurigai MRSA (Methicillin Resistance Staphylococcus Aureus): ditambah vankomisin,
rifampisin
3. Infeksi intraabdominal ditambah metronidazol atau klindamisin untuk kuman anaerob
4. Infeksi saluran kemih
5. Neutropenia: monoterapi dengan seftazidim atau imipenem/meropenem
Initial Antimicrobial Therapy for Severe Sepsis with No Obvious Source in Adults with Normal Renal
Function
IV. Vasoaktif dan inotropik
Vasoaktif dan inotropik diberikan pada renjatan septic setelah resusitasi cairan adekuat. Noradrenalin
(norepinefrin) dan dopamin dapat diberikan dan perlu dipertimbangkan ditambah dengan dobutamin.16
Pada penderita dengan takiaritmia noradrenalin lebih baik dibandingkan dengan dopamin, selain itu
dapat diberikan fenilefrin. Pemakaian dopamin dosis rendah tidak didapatkan bukti kuat akan
memperbaiki fungsi ginjal. Adrenalin walaupun dapat meningkatkan tekanan darah tidak dianjurkan
karena akan menyebabkan gangguan pada perfusi splangnik dan metabolisme jaringan termasuk
meningkatkan produksi asam laktat.16
V. Nutrisi
Dukungan nutrisi diperlukan pada penderita sepsis karena mempunyai kebutuhan kalori dan protein
yang tinggi. Saat ini masih terjadi perdebatan mengenai kapan dimulai nutrisi enteral, komposisi dan
jumlah yang diberikan.5 Nutrisi enteral dapat ditunda untuk beberapa saat sampai keadaan stabil
(misal: 1-2 hari), keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain dapat dipertahankan buffer pH

lambung dan mukosa usus, menghindari translokasi bakteri dari usus ke sirkulasi dan menghindari
pemakaian kateter nutrisi parenteral yang akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi baru.5
VI. Bantuan suportif lain
Transfusi darah harus dipertimbangkan pada Hb 10 g/dl akan memperbaiki konsumsi oksigen pada
penderita dengan renjatan septik.16
Perlu diperhatikan bahwa resusitasi cairan akan menyebabkan hemodilusi, pemberian transfusi sel
darah merah akan meningkatkan viskositas darah yang akan mengganggu mikrosirkulasi aliran darah
pada penderita sepsis dan risiko karena transfusi seperti reaksi transfusi dan infeksi.16
Koreksi gangguan asam basa dan regulasi gula darah perlu dipertimbangkan terutama bila terdapat
gangguan asam basayang berat dan hiperglikemia atau hipoglikemia.16 Pemberian profilaksis terhadap
stress ulcer dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton diindikasikan pada penderita
dengan risiko tinggi, seperti yang sedang menggunakan ventilator dan tidak dapat diberikan nutrisi
secara enteral.5
Heparin biasa dan heparin dosis rendah dapat diberikan bila tidak terdapat kontraindikasi untuk
pencegahan terjadinya trombosis vena dalam.5
Pengobatan Kontroversial
I. Kortikosteroid
Penelitian multisenter yang besar dengan menggunakan metilprednisolon 30 mg/kg berat badan selama
15 menit dilanjutkan 5 mg/kg berat badan tiap jam selama 9 jam pada
223 penderita (112 menerima kortikosteroid dan 111 plasebo) ternyata hasil tidak menunujukkan
adanya perbedaan bermakna pada angka kematian setelah 14 hari.17 Kortikosteroid hanya
diindikasikan bila penderita terdapat insufisiensi adrenal.16
II. Nalokson
Nalokson merupakan antagonis opiat yang mempunyai kemampuan menghambat endorfin endogen,
yang dikeluarkan dalam sepsis di mana endorfin berperan dalam ketidakstabilan kardiovaskular. Pada
penelitian tersamar ganda, kontrolplasebo tidak didapatkan perbedaan bermakna pada tekanan darah
dan survival. Penelitian lain menggunakan nalokson selama 16-18 jam didapatkan perbedaan bermakna
pada penurunan kebutuhan vasopresor dan memperbaiki volume stroke dan denyut jantung dibanding

plasebo.6
III. Antiinflamasi non steroid
Penelitian dengan menggunakan ibuprofen pada hewan percobaan memperlihatkan hambatan terhadap
respons
F

kardiovaskular

akibat

rangsangan

TNF dan

IL-1,

tetapi

penelitian

pada

manusia dengan renjatan septik tidak memperlihatkan adanya perbaikan hemodinamik.6


Pengobatan Masa Depan (Emerging)
I. Antitrombin III
Antitrombin III merupakan glikoprotein rantai tunggal dengan berat molekul 65.000 Dalton, diproduksi
di hati. AT III ini merupakan penghambat proses koagulasi yang penting. Pada sepsis, terjadi penurunan
kadar plasma AT III karena konsumsi akut. Sitokin proinflamasi menyebabkan pelepasan Plasminogen
Activator Inhibitor-I atau PAI-I yang merupakan penghambat fibrinolisis kuat. Pada keadaan sepsis ini
terjadi ketidakseimbangan antara faktor koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi keadaan
hiperkoagubilitas.24 Pemberian AT III akan mempertahankan kadar AT III dan menyebabkan
penurunan konsentrasi PAI-1 sehingga diharapkan akan efektif untuk memperbaiki atau mencegah
gagal organ.24
Peranan AT III diduga mempunyai peran juga sebagai antisitokin dan antiaktivasi leukosit pada endotel
pembuluh darah selain efek antitrombin pada sirkulasi darah.24 Blauhutdkk, melaporkan penelitian 51
penderita renjatan septic dan koagulasi intravaskular diseminata (KID) didapatkan AT III akan
mempercepat status koagulasi walaupun tidak didapatkan perbedaan pada angka mortalitas, Fourrier
dkk, melaporkan penelitian acak, tersamar ganda, plasebo-kontrol didapatkan penurunan mortalitas
sebesar 44% walaupun secara statistik tidak bermakna.6
II. Imunoglobulin
Penggunaan imunoglobulin telah dilakukan pada penderita sepsis dan meningitis bakterial. Kalbeim
melaporkan penggunaan 5S imunoglobulin pada 5 penderita sepsis di mana 4 orang hidup dan 1 orang
lainnya meninggal.18
III. Anti Endotoksin
Penelitian terhadap antibodi monoklonal menggunakan E 5 murin suatu IgM pada lipid A dilakukan

terhadap 468 penderita dengan sepsis Gram negatif yang diberikan 2 mg/kg berat badan dalam 24 jam
intravena pada 242 penderita dan 226 lainnya plasebo. Hasil penelitian menunjukkan penurunan angka
mortalitas setelah 30 hari pada penderita yang tidak mengalami renjatan (30% yang diberikan E 5
murin dan 43% plasebo). Pada 179 penderita yang mengalami renjatan tidak didapatkan perbedaan
bermakna dengan plasebo.19,20
Penelitian lain dengan menggunakan antibody monoklonal IgM HA-IA (didapatkan dari limpa
penderita
yang telah divaksinasi strain mutan J 5 E. coli) dilakukan pada 543 penderita dengan sepsis.20
Penelitian dilakukan dimana 262 penderita mendapat 100 mg HA-IA intravena dan 281 plasebo.
Terdapat penurunan angka mortalitas dari 200 penderita dengan bakteremia negatif. Pada penderita
dengan bakteremia negatif dan renjatan juga didapatkan penurunan angka mortalitas setelah 28 hari.
Penelitian
lanjutan (CHESS study) terhadap 2.199 penderita ternyata terdapat peningkatan angka mortalitas yang
diberikan HAIA dibanding plasebo sehingga penelitian dihentikan.
IV. Anti tumor necrosis factor (TNF)
Penelitian awal dari Exley dkk, pada 14 penderita dengan renjatan septik yang diberikan rekombinan
anti TNF dengan dosis 0,4-10 mg/kg berat badan didapatkan hasil anti TNF akan memperbaiki hasil
tekanan arterial rata-rata 24 jam.20 Penelitian multisenter yang besar (INTERSEPT) menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada angka mortalitas antara yang diberikan anti TNF dan
plasebo. Pada penderita dengan renjatan septik didapatkan waktu pemulihan setelah renjatan lebih
cepat pada kelompok yang diberi anti TNF dibanding plasebo.21
V. Antagonis reseptor interleukin-1
Gordon dkk, melaporkan bahwa antagonis reseptor interleukin-1 efektif dalam menurunkan angka
mortalitas setelah 28 hari pada penderita dengan sindrom sepsis dan hal ini bergantung pada dosis yang
diberikan.21 Penelitian multisenter besar pada penderita sindrom sepsis yang mendapatkan terapi
standar ditambahkan dengan antagonis reseptor interleukin- 1 dalam 3 dosis berbeda (1.000 mg
dilanjutkan 17,67 dan 133 mg/jam infus selama 72 jam) didapatkan penurunan angka mortalitas
tergantung dosis.22 Pada kelompok placebo angka mortalitas sebesar 44%, kelompok dosis 17 mg
angka mortalitas 32%, kelompok 67 mg angka mortalitas 25% dan kelompok 67 mg angka mortalitas
16%.

VI. Anti nitric oxide (NO)


Produksi NO yang berlebihan (inducible NO) akan menyebabkan vasoplegia, depresi miokard
gangguan pada regulasi aliran darah lokal dan melalui berbagai interaksi dengan radikal bebas akan
menyebabkan kerusakan sel.22 NO diproduksi melalui jalur L-arginine yang membutuhkan enzim NO
synthase. Saat ini berbagai penelitian sedang dilakukan untuk menghambat terjadinya pembentukan
NO yang berlebihan.
Kesimpulan
Angka kejadian dan angka kematian sepsis dan komplikasinya masih cukup tinggi walaupun telah
didapatkan kemajuan teknologi kedokteran dalam usaha penanganan sepsis. Apalagi jika ditambah
dengan adanya infeksi HIV.
Patogenesis sepsis masih belum jelas benar dan masih banyak kontroversi dalam pemahaman tentang
terjadinya sepsis. Diagnosis sepsis dibuat dengan ditemukannya dua atau lebih manifestasi respons
inflamasi sistemik dan ditemukannya kecurigaan terjadinya infeksi. Beberapa pemeriksaan penunjang
seperti tes prokalsitonin, tes Limulus dan glukan berguna untuk menunjang diagnosis dan menilai
prognosis.
Penanganan sepsis meliputi pengobatan baku (cairan, antibiotika, vasoaktif/inotropik, dll),
kontroversial dan masa depan (AT III, imunoglobulin, anti TNF, dll). Saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian masa depan terutama dalam usaha menurunkan angka mortalitas sepsis dan komplikasinya.

FARMAKOTERAPI PENYAKIT INFEKSI


Penyakit infeksi merupakan penyakit yang banyak kita temui dimasyarakat kita atau bahkan menimpa
kita sendiri. Antiinfeksi atau antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan dan
paling banyak disalahgunakan juga. Penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh agen
patogen yang masuk ke dalam tubuh dan memicu perkembangan infeksi. Agen patogen ini dapat
berupa

bakteri,

virus,

jamur

(fungi),

parasit,

protozoa,

dan

mikobakterium.

Penyakit infeksi merupakan jenis penyakit yang sangat mudah menyebar dan menular, akibat
perpindahan/pergerakan agen patogen tersebut dari satu individu ke individu lainnya. Penularan infeksi
dapat terjadi melalui:
1. Kontak fisik penderita dengan individu lainnya
2. Udara yang terkontaminasi agen patogen
3. Makanan yang terkontaminasi
4. Cairan tubuh (darah, mukus, urin)
5. Vektor pembawa agen patogen (lalat, nyamuk, atau binatang lainnya)
Tingkat keparahan penyakit infeksi pada seseorang bervariasi, yang sangat dipengaruhi kondisi
kekebalan tubuh (sistem imun) seseorang tersebut. Seseorang yang kontak dengan agen patogen dapat
mengalami infeksi atau bebas dari infeksi agen patogen tersebut. Sedangkan pada orang yang telah
terinfeksi sebagian akan menunjukan gejala sakit dan dapat berkembang semakin parah dan sebagian
lainnya asimptomatik dan kebal terhadap infeksi tersebut.
Dinegara-negara berkembang masalah penyakit infeksi dan penggunaan antiinfeksi yang tidak rasional

masih merupakan masalah yang serius. Penyakit infeksi juga merupakan penyebab kematian yang
paling banyak terjadi. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional tersebut memicu cepatnya proses
perkembangan resistensi antibiotik dikelompok negara ini.
Agen antiinfeksi adalah substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat menghambat
pertumbuhan bahkan membunuh mikroorganisme lain. Antiinfeksi dapat berupa antibiotik/antimikroba,
antivirus, antifungi, antiparasit. Antibiotik merupakan agen antiinfeksi yang paling banyak digunakan.
Konsep penggunaan antibiotik dapat berupa terapi spesifik, pencegahan (profilaksis) dan terapi
empirik.
Terapi Spesifik
Pada terapi ini, antibiotik digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh organisme
penginfeksi dimana pilihan antimikroba yang tepat telah diketahui. Antibiotik yang digunakan dalam
terapi ini telah teruji, sehingga pemilihannya relatif mudah berdasarkan sensitivitas mikroba dan
kondisi pasiennya, disamping faktor lain seperti biaya.
Terapi Empirik
Terapi empirik antibiotik adalah terapi terhadap organisme penginfeksi dan antimikroba tepatnya
belum diketahui, tetapi dapat diprediksi berdasarkan studi sebelumnya. Terapi ini harus dilakukan pada
penyakit-penyakit infeksi yang serius dan bersifat life-threatening. Pemilihan antibiotik didasarkan
pada pengalaman klinis dengan menggunakan antibiotik tertentu yang diduga akan efektif pada kondisi
tersebut. Antibiotik dengan spektrum luas menjadi pilihan pada kondisi ini. Karena antibiotik kelompok
ini akan efektif pada banyak organisme penginfeksi.
Dalam semua kasus ini, pengujian spesimen kultur harus dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
sensitivitas agen penginfeksi.
Terapi Profilaksis
Terapi profilaksis adalah terapi antibiotik yang diberikan dengan tujuan pencegahan infeksi spesifik

pada beberapa individu atau infeksi pasca operasi. Terapi ini harus diberikan pada kondisi-kondisi
pasien berikut:
1. Pencegahan infeksi oleh paparan bakteri patogen spesifik, misal pada seseorang yang kontak
dengan pasien meningitis menikokus harus menerima terapi rifampisin.
2. Pencegahan penyakit oleh akteri patogen dorman yang telah menginfeksi orang tersebut. INH
dapat diberikan pada pasien TB dorman untuk mencegah konversi tuberkolin.
3. Pencegahan infeksi spesifik pada pasien yang rentan terkena infeksi, misalnya pasien penyakit
jantung rheumatik sebelum penanganan gigi untuk mencegah endokarditis.
4. Pencegahan infeksi pasca operasi
Dalam terapi profilaksis operasi antibiotik jangka pendek diberikan sebelum terdapat bukti klinis
terjadinya infeksi. Dalam terapi ini perlu dilakukan pertimbangan berikut:
1. Waktu, antibiotik yang diberikan harus tersedia dalam jumlah yang memadai pada tempat
kontaminasi sebelum insisi dilakukan. Artinya antibiotik tersebut tersedia dalam konsentrasi
hambat minimumnya (KHM)
2. Durasi, profilaksis dilakukan dalam rentang operasi. Patokan umumnya 24 jam
3. Spektrum antibiotika, patokan umumnya adalah dengan menggunakan sefalosporin generasi I.
Sefazolin menjadi obat pilihan utama terkait efek sampingnya yang rendah dan harga yang
relatif murah. Selain itu vankomisin dapat menjadi pilihan yang cocok bagi pasien yang alergi
terhadap penisilin.
4. Rute pemberian, sebaiknya intravena atau intramuskular untuk menjamin konsentrasi yang
memadai pada saat insisi.
Pertimbangan Pemilihan Antibiotika
Dalam pemilihan antibiotik, maka perlu dilakukan pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Mengidentifikasi organisme penginfeksi berdasarkan informasi klinis, tropisme jaringan, dan
data mikrobiologi
2. Kesesuaian antimikroba dan mikroba penginfeksi harus diketahui
3. Pemilihan obat juga harus menjamin tercapainya konsentrasi terapeutik pada tempat infeksi
4. Spektrum dan cara kerja antibiotik
5. Faktor kondisi pasien. Dalam pemilihan antibiotik ini harus diperhatikan juga usia, status
imunologi, keberadaan benda asing (pace maker), sejarah reaksi alergi, disfungsi ginjal dan atau

hati, adanya penyakit tertentu, kehamilan dan ibu menyusui, serta faktor genetik. Adanya benda
asing dalam tubuh seperti alat pacu jantung dan alat-alat lain dapat menurunkan aktivitas
antibiotik.
6. Faktor harga
Spektrum Kerja Antibiotik
Berdasarkan spektrum kerjanya antibiotik dapat digolongkan menjadi:
1. Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum), yaitu kelompok antibiotik yang aktif hanya
terhadap satu atau sekelompok mikroorganisme tertentu. Misalnya INH yang hanya aktif
terhadap micobacteria TB.
2. Antibiotik spektrum diperluas (extended spectrum) yaitu antibiotik yang efektif untuk bakteri
gram positif, namun juga efektif terhadap beberapa bakteri gram negatif. Contoh ampisilin.
3. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum) yaitu antibiotika yang efektif untuk kelompok besar
organisme gram posistif dan negatif. Contoh tetrasiklin dan kloramfenikol. Antibiotik golongan
ini beresiko terhadap resistensi bakteri dan terbunuhnya flora normal tubuh (komensalisme)
sehingga berpotensi terjadinya superinfeksi.
Cara Kerja Antibiotik
Setiap

antibiotik

dapat

memiliki

mekanisme

kerja

yang

khas

dalam

peranannya

menghambat/membunuh bakteri patogen. Namun secara umum, berdasarkan cara kerjanya antibiotik
dapat digolongkan menjadi:
1. Antibiotik bakterisida, yaitu antibiotik yang dapat menyebabkan kematian mikroba pada
konsentrasi yang dapat dicapai secara klinis. Contoh: beta laktam, glikoprotein, aminoglikosida,
kuinolon dan metronidazol.
2. Antibiotik bakteriostatik, yaitu antibiotik yang menghambat pertumbuhan mikroba pada
konsentrasi yang dapat dicapai secara klinis. Contoh: klindamisin, makrolida, sulfonamida,
trimetoprim, tetrasiklin dan kloramfenikol.
Kombinasi Antibiotika
Kombinasi antibiotik atau penggunaan bersama beberapa antibiotik dapat dibenarkan pada kondisikondisi berikut:

1. Data klinis menunjukan bahwa kombinasi antibiotika terbukti lebih efektif daripada terapi
tunggal
2. Penanganan infeksi oleh polimikroba, misal pada infeksi intraabdominal
3. Penanganan awal terhadap infeksi yang mengancam jiwa sebelum ditemukan penyebabnya
4. Pencegahan terbentuknya resistensi, misal pada penanganan TB dan ulkus peptikum akibat
infeksiHelicobacter pylori.
5. Jika terdapat efek sinergis terhadap organisme penginfeksi spesifik, sehingga kombinasi
antibiotik dapat mengurangi dosis obat. Contoh kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol
(kotrimoksazol)
Kombinasi antibiotik juga dapat menimbulkan beberapa kerugian diantaranya:
1. Resiko toksisitas meningkat dari dua atau lebih antibiotika
2. Meningkatkan potensi resistensi beberapa mikroorganisme terhadap antibiotika
3. Hilangnya flora normal sehingga meningkatkan potensi superinfeksi
4. Meningkatkan biaya pengobatan
Resistensi Antibiotika
Resistensi antibiotika adalah kondisi dimana pertumbuhan mikroba tidak terpengaruh oleh antimikroba
pada konsentrasi maksimum yang dapat ditoleransi. Resistensi antibiotik dapat berupa resistensi alami
(intrinsik) dan resistensi dapatn (acquired).
Resistensi alami terjadi karena adanya perubahan sifat genetik yang stabil yang dikode dialam
kromosom dan terdapat dalam semua galur dari spesies mikroba tersebut. Sedangkan resistensi dapatan
terjadi akibat galur tertentu dari suatu spesies mikroba mengembangkan kemampuan resistensi yang
mana spesies yang lain tidak memiliki kemampuan tersebut. Resistensi antibiotika ini dapat dipicu oleh
beberapa hal diantaranya:
1. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dari segi dosis, durasi maupun jenisnya.
2. Penggunaan dua atau lebih antibiotika
3. Penyalahgunaan antibiotika, seperti penggunaan antibiotika untuk pertanian, peternakan dan
perikanan
4. Paparan antibiotika sub-dosis yang berkepanjangan
Resistensi antibiotika dapat terjadi melalui mekanisme-mekanisme berikut:

1. Inaktivasi atau modifikasi obat oleh enzim bakteri, mekanisme ini terjadi pada golongan beta
laktam
2. Perubahan Barrier permeability sehingga antibiotika tidak dapat mencapai tempat kerjanya,
seperti yang terjadi pada sefalosporin
3. Perubahan tempat kerja di sel mikroba, seperti pada kuinolon
4. Konsentrasi antibiotika yang dicapai melalui transport aktif (efflux) yang lebih rendah dari
konsentrasi hambat minimumnya (KHM), seperti yang terjadi pada tetrasiklin
Durasi Terapi Antibiotik
Untuk mengasilkan efek terapi yang tepat, antibiotik harus diberikan pada rentang waktu yang tepat
pula. Panduan umum sehubungan dengan durasi terapi antibiotik adalah sekurang-kurangnya 72 jam
pada terapi infeksi akut yang tidak kompleks. Sedangkan pada infeksi kronis seperti endokarditis dan
osteomyelitis, terapi memerlukan durasi yang lebih panjang, yaitu berkisar antara 4-6 minggu dengan
analisis lanjutan untuk menilai keberhasilan terapi.
Komplikasi Terapi Antibiotika
Komplikasi terapi antibiotika dapat mengakibatkan terjadinya:
1. Hipersensitivitas, contoh pada penisilin
2. Toksisitas langsung, contoh aminoglikosida pada konsentrasi tinggi
3. Superinfeksi, contoh antibiotika spektrum luas atau kombinasi antibiotika
Superinfeksi
Superinfeksi ditandai dengan adanya data klinis dan bakteriologi yang menunjukan adanya infeksi baru
selama terapi infeksi primer. Gejala ini relatif umum dan sangat berbahaya sebab mikroba penyebab
infeksi baru ini dapat berupa drug-resistant starint (Enterobacteriaceae, Pseudomonas, Candida dan
fungi lainnya).
Superinfeksi terjadi karena hilangnya pengaruh dari hambatan flora normal yang juga menghasilkan
antibakteri tertentu dan berkompetisi dalam memperebutkan komponen nutrisi penting.
Efektivitas Terapi Antibiotika

Untuk menilai efektivitas terapi antibiotika dapat dilihat/dikaji dari berbagai parameter-parameter klinis
berikut:
1. Derajat demam. Demam merupakan parameter penting untuk menilai respon terapi antibiotika.
Karena demam merupakan salah satu gejala adanya infeksi.
2. Jumlah sel darah putih (neutrofil), jumlah sel darah putih pada tahap awal infeksi akan
meningkat secara signifikan.
3. Data radiografi; effusi kecil, abses, dan ruang yang muncul menandakan adanya pusat infeksi.
4. Nyeri dan inflamasi; pembengkakan, eritema, permukaan yang empuk/lunak muncul pada
infeksi permukaan, sendi dan tulang.
5. Laju endap darah (LED), peningkatan LED berkaitan dengan infeksi akut maupun kronis,
seperti: endokarditis, osteomyelitis, dan infeksi intraabdominal.
6. Konsentrasi komponen serum, khususnya komponen C3 akan turun pada infeksi yang serius.
Kegagalan Terapi Antibiotika
Kegagalan terapi antibiotika dapat terjadi akibat beberapa faktor berikut:
1.Salah diagnosa (unsuspected infection)
2.Regimen obat yang tidak tepat baik dari segi dosis, rute pemberian, frekuensi dan durasinya
3.Pemilihan antibiotika yang tidak tepat
4.Resistensi mikroba
5.Ekspektasi yang berlebihan; nekrosis jaringan, pengurasan secara operasi, demam virus, artritis,
neoplasma, dan reaksi obat
6.Infeksi oleh dua atau lebih mikroba

FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK

1.

Farmakokinetik
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap

obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M),
dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif
merupakan proses eliminasi obat (Gunawan, 2009).
1.1 Absorpsi

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung
pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit,
paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat
absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200
meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili )(Gunawan, 2009).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh,
melalui jalurnyahingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level

seluler,

obat diabsorpsi melalui beberapametode, terutama transport aktif dan transport pasif.

Gambar 1. 1 Proses Absorbsi Obat


a.

Metode absorpsi
-

Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi obat dapat
berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah.
Transport aktif terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membrane dan
berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membrane seimbang.

Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari daerah dengan konsentrasi
obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi

b.

Kecepatan Absorpsi

Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel. Absorpsi terjadi
cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh.
-

Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi

Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot

Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained frelease.

c.

Faktor yang mempengaruhi penyerapan


1.

Aliran darah ke tempat absorpsi

2.

Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi

3.

Waktu kontak permukaan absorpsi

d.

Kecepatan Absorpsi
1.

Diperlambat oleh nyeri dan stress


Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster

2.

Makanan tinggi lemak


Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan memperlambat
waktu absorpsi obat

3.

Faktor bentuk obat


Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll)

4.

Kombinasi dengan obat lain


Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung jenis
obat
Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh.

Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan efek firstpass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat
yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.
1.2

Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan dan cairantubu

h.
Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
a.

Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah,
Organ

segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah alirandarahnya.

dengan aliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal.

lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat


b.

Permeabilitas kapiler

Sedangkan

distribusi keorgan

Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat


c.

Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat atau bebas. Obat
yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat
memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein

1.3

Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat sehingga

menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.


Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
a.

Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;

b.

Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa dimetabolisme lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme baru

menjadi aktif (prodrugs).


Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum
(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal,
paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar
(larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya
diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1.

Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit hepar seperti sirosis.

2.

Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat dengan
cepat, sementara yang lain lambat.

3.

Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok, Keadaan stress,
Penyakit lama, Operasi, Cedera

4.

Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs orang tua.

1.4

Ekskresi

Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat dibuang dari
tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat,
ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk
utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara
eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus,
sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa
menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan
keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum(Gunawan,
2009).
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik:
a.

Waktu Paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang dari tubuh.
Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan ekskresi.
Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan.

b.

Onset, puncak, and durasi


Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat tergantung rute
pemberian dan farmakokinetik obat
Puncak, Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh
semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak respon
Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi

2.

Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan

fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari farmakodinamik adalah untuk meneliti
efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum
efek dan respons yang terjadi (Gunawan, 2009).
2.2

Mekanisme Kerja Obat


kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organism.
Interaksi obat dengan reseptornya dapat menimbulkan perubahan dan biokimiawi yang merupakan
respon khas dari obat tersebut. Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen di sebut agonis,
obat yang tidak mempunyai aktifitas intrinsic sehingga menimbulkan efek dengan menghambat
kerja suatu agonis disebut antagonis.

2.3

Reseptor Obat
protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor
obat yang penting, misalnya untuk sitotastik. Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan ion,
hydrogen, hidrofobik, vanderwalls, atau kovalen. Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya
perubahan stereoisomer dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.

2.4

Transmisi Sinyal Biologis


penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler yang
menimbulkan respon seluler fisiologis yang spesifik. Reseptor yang terdapat di permukaan sel
terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim. Reseptor tidak hanya berfungsi dalam pengaturan
fisiologis dan biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic lain. Bila
suatu sel di rangsang oleh agonisnya secara terus-menerus maka akan terjadi desentisasi yang
menyebabkan efek perangsangan.

2.5

Interaksi Obat-Reseptor
ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion, hydrogen,
hidrofilik, van der Waals), mirip ikatan antara subtract dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.

2.6

Antagonisme Farmakodinamik
a.

Antagonis fisiologik
Terjadi pada organ yang sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan.

b.

Antagonisme pada reseptor


Obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu menimbulkan efek farmakologi
secara instrinsik

2.7 Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor


a.

Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran

b.

Perubahan sifat osmotic

c.

Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrate glomerulus


sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretic

d.

Perubahan sifat asam/basa


Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam lambung.

e.

Kerusakan nonspesifik
Zat

perusak

nonspesifik

digunakan

sebagai

antiseptik

dan

kontrasepsi.contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein.


f.

Gangguan fungsi membrane

disinfektan,

dan

Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran, dan metoksifluran
bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di SSP sehingga eksitabilitasnya menurun.
g.

Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion


Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat
Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.

h.

Masuk ke dalam komponen sel


Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam

nukleat
sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya
6-merkaptopurin atau anti mikroba lain.

Você também pode gostar