Você está na página 1de 5

Gubernur DKI Ahok Marah Besar Diberi

Penilaian WDP oleh BPK


tribunnews.com-WARTA KOTA, BALAIKOTA -Kemarahan Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama atau Ahok, kembali meradang.
Pasalnya, saat DPRD DKI Jakarta menggelar paripurna istimewa perihal penyampaian Laporan
Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) Provinsi DKI Tahun 2014 kemarin, BPK memberikan opini penggunaan anggaran
Pemprov DKI 2014 adalah Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Menurut Ahok, opini yang diberikan BPK tidak sesuai. Pasalnya, standar pemeriksaan BPK
tidak jelas.
"Saya minta standar BPK harus jelas dalam memeriksa. Kenapa zaman Pak Foke (Gubernur DKI
sebelum Ahok) itu WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dengan kasus aset yang sama, sekarang
kami sedang perbaiki jadi WDP," kata Ahok, di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan,
Jakarta Pusat, Selasa (7/7/2015).
Bahkan, Ahok pun dengan tegas, ia tidak mempermasalahkan bahwa pihaknya mendapat
predikat disclaimer. Asalkan, standar penilaiannya yang jelas.
"Nggak apa-apa, saya mau disclaimer juga nggak apa-apa kok. Saya nggak masalah, yang
menentukan saya jadi Gubernur atau tidak adalah warga DKI, bukan BPK, disclaimer, WDP atau
WTP. Foke yang dapat WTP juga kalah dengan kami. Jadi tidak ada urusan buat saya, yang
penting duit pelayanan DKI tidak dicolong. Nah sekarang standar harus dibuat jelas juga bagi
BPK. Orang membuat mark up padahal proses tendernya benar, itu harusnya ditangkap yang
mark up," tegasnya.
Ahok pun menjelaskan, bahwa salah satu penilaian yang ia tidak terima adalah kasus Rumah
Sakit Sumber Waras, Grogol, Jakarta Barat.
Pasalnya, BPK memaksakan, seharusnya NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), rumah sakit tersebut,
sama dengan NJOP pemukiman yang berada di belakang rumah sakit.
"Yang saya nggak terima adalah kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Saya mau tanya, bisa nggak
beli tanah (dengan harga) NJOP di tengah kota dan siap bangun? Itu yang terjadi saat Sumber
Waras mau jual. Kami mau beli utuh, dia nggak mau dan jual setengahnya dengan perjanjian dia
harus kasih jalan masuk kalau setengah dengan menghadap ke jalan raya," katanya.
Lalu lanjut Ahok, pijaknya pun membeli dengan dengan harga NJOP. Dengan tidak
menggunakan prosedur apraisal.
Ahok mengaku, tidak mengetahui apa pertimbangannya saat itu tidak menggunakan appraisal.
"BPK sekarang temuannya, beli tanah 3 hektar, kemahalan Rp 191 miliar. Darimana
kemahalannya? Dia bandingkan dengan NJOP di belakang (rumah sakit). Jadi BPK ngotot mau
memaksakan NJOP di Sumber Waras harus sama dengan NJOP tanah belakang rumah penduduk.
Pertanyaan saya, kalau begitu Anda harus periksakan kami ke polisi, apa kami sengaja
menaikkan NJOP atau tidak. Kalau kami sengaja menaikkan NJOP untuk keuntungan berarti
kami salah. Sekarang bandingkan saja kenaikan NJOP dari 2010 sampai sekarang naiknya sesuai
nggak? Belakang naik nggak? Sepanjang gedung sama nggak NJOP-nya, mungkin nggak
setengah gedung beda-beda wong 1 komplek, nggak mungkin dibedakan toh," katanya.
Karena itu, menurut Ahok dengan dilaporkan ke pihak kepolisian, maka akan terbukti jika ada
tindak pidana korupsi.
Pasalnya, ia menduga, adanya PNS yang bermain dalam kasus tersebut.

"Makannya saya sinyalir ada oknum di PNS, pengen pakai notaris tertentu. Nggak jadi karena
yang jual juga notaris. Makannya dia lapor laporin ciptain ini. Kalau 3 persen dari Rp 800 miliar
kan Rp 24 miliar. Nah saya nggak tahu ada unsur itu," katanya.
Bahkan, atas kasus tersebut, Ahok juga menantang para petugas pajak, untuk diperiksa
pembayaran pajaknya.
Agar, nantinya terbukti, bahwa sebagai pegawai BPK yang bertugas memeriksa keuangan
pejabat, juga tidak terlibat kasus tindak pidana korupsi.
"Saya mau nantang semua pejabat di BPK yang ada. Bila perlu buktikan pajak yang kalian bayar,
harta kalian berapa, biaya hidup kalian, anak anak anda kuliah dimana. Saya mau tahu semua.
Kalau nggak bisa buktikan, nggak boleh jadi angggota BPK semua. Nggak boleh periksa orang
karena kalian bisa ada unsur masalah," tegasnya.
Karena itu, saat Paripurna yang digelar, Senin (6/7/2015) kemarin, ia menyesalkan tidak diberi
kesempatan untuk bicara atas opini WDP yang diterimanya.
Padahal, ia telah siap untuk memberikan penjelasannya.
"Saya protes tidak terima, mereka kemarin nggak kasih saya ngomong. Kayaknya DPRD sengaja
ngaturin supaya saya nggak ngomong. Padahal seharusnya begitu disampaikan BPK itu, saya
harus ikut ngomong paling tidak terima kasih. Sudah siapin pidatonya, nggak boleh tiba-tiba. Ya
sudah saya ikuti, saya nggak punya hak interupsi saya bukan anggota DPRD. Semua ditutup
kemarin," katanya.
Tidak Resmi
Sementara itu, Ketua BPK, Harry Azhar Azis, mengatakan, bahwa apa yang dilontarkan oleh
Ahok bukanlah statement resmi.
Karena, sebelumnya, menurut Harry, pihaknya telah menerima tanggapan resmi dari Ahok atas
pemeriksaan tersebut.
"Tanya sama dia (Ahok). Dia bisa buat keberatan kok. Pemeriksaan ada keberatan, dalam UU
wajib diatur. Kami sebelum memutuskan opini, ada tanggapan Pemerintah Daerah, dicek
tanggapan Gubernur. Sudah ada tanggapan resmi Gubernur, di laporan BPK ada tanggapan itu.
Jadi, ya yang diomongin sekarang bukan omongan resmi dia," jelas Harry.
Ia pun mengatakan, bahwa untuk pemberian penilaian WTP, WDP, mauapun disclaimer, terdapat
beberapa kriteria tersendiri.
Ia pun menampik, bahwa pemberian WDP kepada Pemprov DKI tidak memiliki landasan
penilaian.
"Baca di SPKN (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara) ada di website. Jadi untuk WTP itu,
standar kita tiga persen terhadap keuangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kalau
diatas tiga persen bisa dapat WTP," jelasnya
Contohnya, lanjut Harry, Pemprov melakukan belanja sebesar Rp100 miliar. Tapi Rp 5 miliar
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka tidak mungkin pihaknya memberikan WTP.
"Lalu, misalnya kemudian Rp 100 miliar, tapi Rp 2 miliar gak bisa dipertanggungjawabkan,
berarti kan dua persen tuh. Artinya berada dibawah tiga persen. Satu rupiah korup terbukti, jelas
korupsi segala macem, dia gak mungkin WTP. Tapi kalau Rp 2 miliar gak ada unsur korupsi
segala macem, rekomendasi ada, terus barangnya ada dimana, san satuan kerja bisa
mengembalikan, itu bisa WTP," katanya.
Lalu, Harry, pun menegaskan, bahwa seluruh keuangan pejabat akan diperiksa.
Terlebih, jika penggunaan uang tersebut, milik negara.
"Semua uang negara satu rupiah pun kita periksa. Beli garam pake uang negara pun pasti kita
periksa, garam satu rupiah, pake APBD periksa. Operasional kan dari APBD juga. Tapi kalau
pakai uang Ahok Rp 10 miliar, kita gak akan periksa. Ahok sebagai pribadi yang tidak
mengambil uang APbD, pakai uang pribadi ke luar Rp10 miliar, kita gak bisaperiksa. Dia sebagai
Gubernur gunakan satu rupiah uang negara, ya pasti diperiksa," tegasnya.
Tanggungjawab

Sementara itu, Wakil DPRD DKI Jakarta, Mohamad Taufik, mengatakan, bahwa aksi protes yang
dilakukan oleh Ahok seharusnya tidal terjadi.
Pasalnya, apapun hasil penilaian yang diberikan BPK, merupakan penilaian yang sudah melalui
prosedur sebenarnya.
"Itu ciri-ciri orang panik. Padahal kan, apa yang dilakukan BPK adalah tugas negara. Ahok itu
melakukan buang badan. Padahal kan seharusnya dia bertanggungjawab atas penilaianya yang
diberikan kepadanya," kata Taufik, ketika dihubungi Warta Kota, Selasa (7/7/2015).
Ia pun menilai, bahwa Ahok tidak memiliki kewenangan atas penilaian yang telah diberikan oleh
BPK.
Terlebih, ketika membandingkan dengan masa kepemimpinan Gubernur sebelumnya, Fauzi
Bowo.
"Gubernur harusnya bertanggung jawab. Beresin semua yang menjadi tupoksinya. Nggak usah
komentar macam-macam. Dia nggak ada kewenangan menolak penilaian itu. Dia juga gak bisa
bandingin sama zaman Foke. Kenapa nggak sekalian saja, bandingin dengan zaman Ali Sadikin,"
kecam Taufik.
Apalagi, pemeriksaan oleh pihak BPK, dilakukan oleh petugas yang berkompeten. Dimana, para
petugas BPK sudah melalui fit and propher test.
"Semua sudah ada mekanismenya. Sudah ada aturannya, dalam pemeriksaan yang dilakukan
BPK. Jadi semua yang dilakukan sudah sesuai prosedur. Kalau tidak terima, ya silakan saja bikin
provinsi baru," ketus Taufik.

Ahok Marah: Jangan BPK Merasa Yang Maha Kuasa di Republik ini
detik.com -Jakarta - Gubernur DKI Basuki T Purnama atau Ahok menumpahkan
kemarahannya ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga auditor negara itu

dinilainya memiliki persoalan.


Ahok menyoal predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) yang disandangkan ke
sejumlah daerah. Padahal kemudian kepala daerahnya korupsi. Ahok marah dengan
status wajar dengan pengecualian (WDP) yang dikenakan ke DKI Jakarta.
Jangan BPK merasa kaya (Tuhan) Yang Maha Kuasa saja di republik ini," imbuh
Ahok dengan mimik serius di balai kota, Jakarta, Selasa (7/7/2015).
Ahok mengaku tidak mau pedulikan opini apa yang disematkan kepada DKI untuk
anggaran tahun 2014 dari BPK RI. Menurutnya, tidak sedikit juga daerah yang
mendapat opini baik sekalipun ternyata dipimpin kepala daerah yang bermasalah.
"Daerah yang dapat (opini) WTP (Wajar Tanpa Syarat) itu semua apa? Ada kepala
daerah dapat WTP, masuk penjara juga toh? Saya mau tahu ini. Biar kita terbuka
selesaikan masalah republik ini, supaya sama-sama beres," terang Ahok.
Ahok mempersilakan lembaga tinggi negara tersebut untuk mengaudit keuangan
DKI secara tuntas. Bila perlu mengaudit dirinya. Akan tetapi, dia juga meminta agar
BPK menggunakan standarisasi audit setiap daerah sama.
"Mulai sekarang periksa saja DKI sekencang mungkin. Periksa saja, kalau perlu bikin
sampai Ahok bisa masuk penjara. Tapi, saya akan menuntut seluruh kabupaten,
kota dan provinsi se-Indonesia dasar periksanya sama, sesuai yang disampaikan
oleh BPK," kata dia.
(aws/dra)

Dapat predikat WDP, Ahok marah ke BPK


Merdeka.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tak terima
atas predikat 'wajar dengan pengecualian' (WDP) yang diberikan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, pada laporan keuangan Pemprov DKI tahun anggaran
2014 kemarin.
Salah satu hasil pemeriksaan BPK yang dinilai janggal oleh Ahok, adalah pembelian

lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta
Barat.
BPK menilai pembelian lahan senilai RP 191 miliar itu kemahalan. Padahal, Pemprov
DKI sudah membeli lahan itu dengan harga yang murah, sesuai nilai jual objek
pajak. Namun menurut BPK, pembelian lahan itu seharusnya dilakukan dengan
model taksiran harga (appraisal). Prosedur pembelian itulah yang dianggap sebagai
'temuan' oleh pihak BPK.
Ditambah lagi, BPK menyebut jika temuan itu diutarakan saat Ahok memimpin DKI.
Padahal, program pembelian lahan seluas 3 hektare itu sudah dimulai, ketika Fauzi
Bowo menjadi Gubernur DKI pada 2007-2012 silam.
"Masak era Foke mau kampanye, BPK beri predikat 'wajar tanpa pengecualian'
(WTP). Sementara saya yang diwarisi program itu malah dapat predikat 'wajar
dengan pengecualian' (WDP), kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (7/7)
Saking kesalnya, Ahok berujar bahwa apa yang BPK temukan di laporan keuangan
Pemprov DKI itu, tak akan mempengaruhi popularitasnya di mata warga DKI Jakarta.
Sebab, masyarakat lebih merasakan manfaat dan laju pembangunan saat DKI
dipimpinnya, daripada saat dipimpin Gubernur lain sebelumnya.
"Buktinya, Foke yang dapat WTP kalah sama saya yang dapat WDP. Pokoknya yang
membuat saya bisa menjadi Gubernur itu bukan BPK, tapi warga DKI, tegas Ahok.
Ahok menilai, tidak adanya transparansi dan standar yang jelas dalam penilaian dan
proses audit oleh BPK tersebut, membuatnya tak peduli akan kredibilitasnya.
Apalagi, banyak kenyataan dimana daerah yang pengelolaan anggarannya tidak
jelas dan transparan, justru malah memperoleh predikat wajar tanpa pengecualian
(WTP) dari BPK.
Di daerah yang dapat predikat WTP itu, banyak bupati dan gubernurnya masuk
penjara, pungkasnya.
Diketahui, BPK mengungkap 70 temuan dalam laporan keuangan DKI tahun
anggaran 2014, yang disampaikan dalam Rapat Paripurna di DPRD DKI, kemarin.
Total nominal dalam temuan itu tercatat bernilai Rp 2,16 triliun, yang rinciannya
terdiri atas program-program yang terindikasi menimbulkan kerugian daerah, senilai
Rp 442 miliar, dan program yang berpotensi menimbulkan kerugian daerah senilai
Rp 1,71 triliun.
Kemudian, temuan BPK lainnya dalam laporan keuangan DKI tahun anggaran 2014
lalu, antara lain kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja
administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan anggaran senilai Rp 3,04
miliar.

Você também pode gostar