Você está na página 1de 7

Suasana ruangan : Ruang rumah yang sederhana. Dengan sebuah jendela agak tua.

Dikiri kanan terdapat pintu. Disebelah kiri ruangan terdapat satu set kursi dan meja
yang agak tua, dan di panggung sebelah kanan sebuah meja kecil (bambu) yang sudah
tua dengan dua buah kursi dan satu meja. Di atas meja tampak cangkir teh, kue-kue
atau makanan sederhana dan peralatan lainnya di atas meja. Suara takbiran di latar
belakang dan bunyi bedug sudah terlebih dahulu diperdengarkan sebelum layar
diangkat.
Ketika sandiwara dimulai, tampak ibu sedang duduk di kursi dekat jendela.
Ekspresinya kelihatan sedih dan haru mendengar suara takbiran dan bedug yang
menggema. Kemudian masuk ke panggung Sarah.

Sarah : (memandang Ibu) Ibu melamun? (suara sinis)


Ibu

: (tidak menoleh) Malam takbiran, Sarah. Dengarlah suara takbir yang indah itu. Pada
malam takbiran seperti inilah Ayahmu pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun.

Sarah : (agak kesal) Ayah?


Ibu

: keesokan harinya, tepat dihari lebaran, kuampuni dosanya.

Sarah : kenapa Ibu ingat lagi masa yang lampau itu? Mengingat orang yang tak pernah lagi
mengingat kita?
Ibu

: (memandang Sarah) aku merasa ia masih mengingat kita, Sarah.

Sarah : (pergi ke meja makan) Rini kemana, bu?


Ibu

: rini keluar tadi mengantarkan barang jahitan, sarah.

Sarah : (heran) masih saja terima barang jahitan itu, bu? Bukankah seharusnya rini tak usah
bekerja lagi?
Ibu

: biarlah sarah, nanti kalau dia sudah bersuami, kepandaiannya itu takkan sia-sia.

Sarah : (memandang ibunya dengan kesal) sebenarnya ibu hendak mengatakan


penghasilanku belum cukup untuk makan sekeluarga kan bu? (diam sebentar) lalu,
bagaimana dengan lamaran orang itu, bu?
Ibu

: rini tampaknya belum mau bersuami, tetapi orang itu mendesak juga.

Sarah : tapi apa salahnya? Uangnya kan banyak?


Ibu

: ah, uang banyak sarah?

Sarah : maaf. Bukan maksudku untuk menjual adikku sendiri. Aku hanya sudah lelah untuk
hidup susah.

Ibu

: (terkenang) ayahmu seorang yang kaya raya, punya harta dan kekayaan. Tetapi
kemudian bagaikan pohon ditiup daunnya pada berguguran, aku tak mau terkena dua
kali, aku tak mau Rini harus bersuamikan orang yangberbudi tinggi mesti . . . . .

Sarah : (mencoba tertawa) tetapi kalau kedua-duanya sekaligu, ada harta dan ada hati
bagaimana bu?
Ibu

: dimana akan dicari, sarah? Rini memang gadis yang cantik, sebentar lagi uang
simpananku akan habis.

Sarah : semua ini adalah karena ayah. Rini harus menderita, dari kecil ia sudah merasakan
pahit getirnya kehidupan. Tetapi kita harus mengatasi kesukaran ini, bu. Itu
kewajibanku, aku mesti berusaha lebih keras lagi.
Ibu

: sesudah Rini, giliranmu Sarah.

Sarah : aku kawin, Bu? Belum saatnya aku memikirkan kesenangan bagi diriku sendiri,
sebelum saudariku senang dan aku sendiri dapat merasakan bahagia yang sebenarnya
dari jerih payahku.
Ibu

: aku merasa bahagia kalau kalian semua bahagia sarah. (diam, dari jauh terdengar
lagi suara takbir menggema).
Malam takbir sewaktu dia pergi itu, aku tak tahu apa yang mesti kuperbuat, apa
yang mesti kukerjakan... (kembali sedih dan haru)

Sarah : (mencoba mengalihkan pembicaraan) rini seharusnya sudah pulang sekarang. Hari
ini terlambat sekali rasanya. (duduk di meja makan) Bu, marilah makan.
Ibu

: Oh ya, aku hampir lupa masih ada makanan yang masih tertinggal di dapur. (ibu lalu
masuk ke dalam dapur)
Rini masuk. Ia gadis yang periang nampaknya.

Rini

: Ibu, Kak Sarah, lama menungguku pulang?

Sarah : ah, aku juga baru pulang.


Ibu

: (yang sementara masuk) tadi kami menunggumu, tapi engkau lama benar, rin.
(Rini terus melihat keluar jendela) makanlah, apa yang kau lihat disitu, nak?

Rini

: waktu aku pulang tadi (melihat pada Sarah yang sedang makan) kak Sarah,
dengarlah dulu.

Sarah : (biasa saja) aku mendengar.


Rini

: ada orang tua di pojok jalan ini, dari jembatan sana melihat-lihat keadaan rumah
kita. Seperti kere nampaknya.

Sarah : coba kulihat! (keluar kemudian masuk lalu menoleh keluar jendela lagi untuk
memastikan) tidak ada orang yang kelihatan (kembali ketempatnya, melanjutkan
makannya)
Ibu

: (meletakkan sendok, terkenang) malam takbiran seperti ini, waktu dia pergi itu.
Mungkinkah . . . ??

Sarah : (agak kesal) sudahlah, Bu. Lupakan apa yang telah lalu itu.
Ibu

: (mengenang terus) waktu ayah kalian masih muda, ibu dan ayah kalian sangat dekat
sekali. Banyak kenangan indah dari ayahmu yang tak bisa kulupakan. Mungkinkah
ia kembali juga. Karena ia telah tua, hatinya mungkin lunak juga. (diam sejurus,
terdengar suara pria memberi salam)

Ayah : Assalaamualaikuum.. Assalaamualaikuum..


Ibu

: (kaget, bangkit dari kursi) astaga! Seperti suara ayahmu, nak? Astagaaa...

Ayah : dina? Engkaukah dina yang kukenal?


Ibu

: rudi? Engkau Rudi? Benarkah ini engkau? Engkau sungguh banyak berubah
sekarang...

Ayah : (tersenyum lemah) ya, aku berubah. Dua puluh tahun aku pergi meninggalkan kalian
semua sejak perceraian. Oh ya, anak-anak bagaimana sekarang bu? Tentunya sudah
besar-besar mereka sekarang (masih di beranda depan).
Ibu

: ya, mereka sudah besar-besar sekarang. Malah sudah lebih besar dari ayahnya .
marilah masuk, tengoklah mereka.

Ayah : (ragu-ragu) boleh... bolehkah aku masuk?


Ibu

: tentu saja boleh (mereka masuk, memegang tangannya)


Ayah kalian pulang nak... ayah kalian pulang...

Rini

: (gembira) ayah.. (mendekati ayahnya dan mencium tangannya) Aku Rini, ayah.

Ayah : Rini? Ya, Rini. Sudah besar engkau sekarang. Engkau cantik Rini. Ah, aku girang
sekali. Tak tahu apa yang mesti kukatakan.
Rini

: silahkan duduk, Yah.

Ibu

: Ya, aku sendiri tak tahu dari mana aku akan mulai bicara... anak-anak sudah besar
seperti ini. aku kira bahagiaku kali ini bahagia yang paling besar.

Ayah : (senyum pahit) yah, anak-anak rupanya bisa juga besar meskipun tak punya ayah.
Ibu

: ya, mereka semuanya sudah menjadi pandai sekarang. Sarah bekerja di pabrik dan
Rini bantu-bantu menjahit sementara menunggu... (agak tersenyum)

Rini

: Ah, Ibu.

Ibu

: dan bagaimana engkau selama ini?

Ayah : dua puluh tahun aku meninggalkan kalian, 10 tahun ayah menjadi orang yang cukup
sukses di Singapura. Selama 10 tahun itu ayah mengumpulkan modal untuk
menyewa dan membangun sebuah ruko. Selama 10 tahun itu Ayah mengelola usaha
itu. Tapi malang tokoku terbakar habis dan seolah-olah nasib menyeret aku ke dalam
kesengsaraan. Andil-andil yang kuberi merosot semua. Sesudah itu segala yang
kukerjakan tidak ada yang baik laigi, tak hendak sempurna.. sementara itu aku sudah
mulai tua, tempat tinggalku, keluargaku, anak-anakku, tergambar di depan jiwaku.
Rasany atak tahan lagi aku hidup, karena itu... aku berharap akan kasihmu... (diam
sejurus melihat kepada Sarah) Sarah, maukah kau memberiku segelas air? Kering
rasanya tenggorokanku. Engkau tak begitu berubah rupanya Sarah, hanya engkaulah
yang tidak. (diam lagi)
Ibu

: Sarah!! Ayahmu yang berbicara, mestinya engkau gembira. Sudah semestinya ayah
berjumpa kembali dengan anaknya setelah sekian lama berpisah.

Ayah : Kalau Sarah tidak mau, engkaulah Rini, berilah ayahmu segelas air.
Rini : Baik, ayah. (mengambil air)
Sarah : Kami tidak punya ayah lagi. Sejak kapan kami punya ayah?
Ibu

: Sarah!! Apa katamu?

Sarah : kami tidak punya ayah lagi. Jika kami berayah apa perlunya kami bekerja
membanting tulang menjadi budak orang selama ini. jika kami mempunyai ayah, apa
perlunya kami menjadi kuli pabrik waktu aku berumur 10 tahun. Karena tak ada
ayah, kami jadi besar dalam sengsara. Rasa gembira dalam hati sedikit pun tak ada.
Jika kita punya ayah, mungkinkah hidup kami begini melarat? (Ibu dan Rini mulai
menangis)
Rini

: Tapi Kak Sarah, sedangkan Ibu telah memaafkan Ayah, mengapa kita tidak?

Sarah : (dingin) Ibu adalah seorang perempuan. Aku juga mengerti bagaimana perasaannya.
Tapi aku, andaikan aku mempunyai ayah maka ayahku itu adalah musuhku. Waktu
kita masih kecil, kita menangis di pangkuan Ibu karena lapar, dingin dan penyakitan.
Ibu selalu berkata ini semua adalah kesalahan ayahmu. Ayahlah yang mesti
disalahkan. Jika aku mempunyai ayah, sebenarnya dialah yang menjadi musuhku,
yang menyiksaku hingga hatinya puas, sejak aku masih kecil. Semenjak aku
berumur 10 tahun jadi anak suruhan pabrik. Ibu mestinmenjadi budak orang lain,
jadi babu cucian. Aku bekerja sekuat tenaga untuk dapat membuktikan bahwa aku
dapat memberi makan keluarga. Aku hendak berteriak kepada umum, aku tak perlu
pertolongan orang lain, seorang ayah meninggalkan keluarganya dalam sengsara.

Aku sanggup jadi orang yang berharga meskipun tak mengenal kasih sayang seorang
ayah. Hingga ku berumur 18 tahun tak lain kugambarkan ayahku yang sesat.
Hartanya bertimbun-timbun, akhirnya dia lari dengan seorang wanita lain, yang
menarik ia ke lembah kezinahan... lupa ia pada keluarganya, pada bangsanya...
karena cinta pada orang yang membawanya ke pintu neraka.
Rini

: (dengan air mata, dalam suara parau) tapi Kak Sarah, lihatlah keadaannya yang
seperti itu, telah tua ... karena itu...

Sarah : Rini!! Sering benar kau memakai kata-kata yang tak berarti ayah. Hanya karena
dia masuk ke rumah kita lalu ia mengaku sebagai ayah kita, kau panggil dia ayah?
padahal tidak kita kenal. Sekarang ini dapatkah kau merasakan dengan sungguhsungguh bahwa aku sedang berhadapan dengan seorang ayah? Ayahmu?!
Rini

: tapi Kak Sarah, kita adalah darah dagingnya. Bagaimanapun kelakuannya, kita tetap
anaknya, anaknya yang harus memeliharanya.

Sarah : jadi maksudmu itu adalah kewajiban kita? Sesudah ia memuaskan hatinya dimanamana, lalu dia kembali karena dia telah tua? Dan haruskah kita memeliharanya?
Hmmmm, enak betul kalau begitu.
Ibu

: (agak marah, tapi tak berdaya) sarah, sampai benar hatimu berkata demikian
terhadap ayahmu, ayahmu sendiri, ayah kandungmu.

Sarah : ayah kandung? Sarah yang dulu pernah berayah, dia telah meninggal 20 tahun yang
lalu, menyemplungkan diri ke dalam laut. Sarah yang sekarang adalah Sarah yang
dibentuk oleh aku sendiri. Aku tak merasa berutang budi dengan siapapun di dunia
ini. (hening sebentar , terdengar tangis Rini dan Ibu). Aku merdeka . . .
Ayah : memang aku berdosa dulu, aku mengaku. Itulah sebabnya aku kembali di waktu
tuaku untuk memperbaiki segala kesalahanku. Tetapi benar katamu itu, aku tak akan
mendorong-dorongkan diriku dimana tak dikehendaki. Aku pergi. . . tetapi tahukah
engkau bagaimana pedih batinku, aku yang dulu pernah dihormati, kaya dan punya
harta benda berjuta-juta rupiah, sekarang diusir sebagai pengemis oleh anaknya
sendiri, bagaimana aku terpelesat. . . . aku tak mau mengganggu orang lai (dia
hendak pergi).
Rini

: tunggu dulu, ayah. Jika kak Sarah tak maumenerima ayah, akulah yang akan
menerima ayah. Aku tak peduli apa yang terjadi.

Sarah : Rini, apakah pernah kau menerima pertolongan dari orang semacam itu? Aku pernah
menerima tamparan dan pukulannya dahulu, tetapi enkau tak pernah menerimanya
sekalipun.

Rini

: Kak jangan begitu keras.

Sarah : kau jangan membela diri. Ingatlah siapa yang membesarkan engkau. Lupakah
engkau? Akulah yang mengongkosi engkau selama ini dari gajiku dan keringatku
sebagai kuli pabrik itu. Ayahmu yang sebenarnya adalah aku Rini.
Rini

: (tersedu-sedu menyambung cepat) engau telah menyakiti Ibu juga, Kak Sarah.

Sarah : Ya, jika kau menurut kehendakmu, boleh keluar bersama-sama dia. (hening sejenak.
Ibu dan Rini tangis-tangisan, Sarah menjadi lemah) mungkin kamu tak merasakan
dengan sesungguhnya pahit getir penderitaan selama ini. aku menderita karena tak
mempunyai ayah tapi pikiranku kucurahkan untuk kebahagiaan adik-adikku supaya
mereka jangan menderita seperti aku. Sering malam-malam aku tak bisa tidur, aku
berpikir, tak kupirkan badanku sakit-sakit. Berangkat bekerja untuk menjadikan
kamu manusia berharga agar jangan seperti aku . . . !
Ayah : (sedih) aku mengerti . . . . mengerti, bagiku tak ada jalan lain lagi. Jika aku kembali
juga, aku hanya mengganggu kedamaian anak-anakku saja. Biarlah aku pergi.
Baiklah, jalan yang sebaik-baiknya, bagiku tak ada jalan lain.
Rini

: (mengikuti Ibu) Ayah? Apakah ayah ada uang? Sudah makan?

Ayah : aku akan pergi menunggu mati di tepi jalan atau di tepi kali. Aku Cuma pengemis
biasa sekarang. Sebenarnya aku hanya malu untuk masuk rumah yang kutinggalkan
dahulu dengan sengaja. Tetapi aku sekarang sudah tua dan lemah tak sadar
langkahku terayun kemari, tetapi aku telah tua (keluar dengan langkah berat).
Ibu

: (sambil menangis) dan datang . . . untuk pergi kembali di malam takbiran . . . seperti
gelombang yng dimainkan topan, demikianlah nasibku . . . (terus menangis tersedusedu)

Rini

: (mendekati Sarah) Kak? Bagaimana Kak Sarah bisa begitu keras. Tak dapatkah Kak
mengampuni dosa ayah? Besok hari lebaran, hari kemenangan, hari pengampunan.
Sudah seharusnya kau dapat mengampuni dosanya. Kemana dia akan pergi? (melihat
ke jendela) hujan pun mulai turun nampaknya (terdengar bunyi hujan).
Dalam hujan seperti ini, Kak Sarah suruh pergi ayah kita Kak, ayah kita sendiri?

Sarah : (memandang adiknya) jangan aku dipandang sebagai terdakwa, mengapa menyindir
juga? Aku sudah bilang, kamu harus memilih antara di atau aku.
Rini

: Mengapa memaksa kami untuk memilih, sedang kami sayang pada Kak Sarah . . .
tapi juga pada ayah . . .

Sarah : (melihat Rini) Rin, janganlah kau katakan demikian. Kau sayat-sayat jantungku
sekarang.

Rini

: tidak . . . tidak . . . aku akan panggil ayah kembali. Bunuhlah aku Kak Sarah, kalau
kak mau, akan kupanggil ayahku kembali. Aku akan memanggil ayah pulang . . . (ia
berlari keluar).

Sarah : Rini . . . Rini . . . kembali. (dia lari keluar, sejurus kemudian Ibu menangis tersedusedu). (Tak lama kemudian Rini kembali, pakaiannya basah kuyup, ia membawa
kembali jas tua ayah dan Ibu kaget)
Ibu

: mana ayahmu??

Rini

: tak kulihat ayah. Hanya ini yang kutemui, baju serta tasbih yang sedari tadi
dipegangnya.

Sarah : (mengangkat kepala/memandangnya) Rini, dimanakah kau dapatkan semua itu?


Rini

: di bawah lampu jalan dekat jembatan.

Sarah : dan ayahmu, Rini. Ayahmu mana??


Rini

: Aku tak tahu.

Sarah : (kaget) ayah melompat dari jembatan ke dalam kali ??


Ibu

: Sarah...! Sarah!!

Sarah : ayahku, ayahku. Dia tak tahan penghinaanku, dia yang biasa dihormati dan disegani
dan dia angkuh seperti aku juga. Tak kuat dia menahan hinaanku. Aku bunuh
ayahku. Akan kususul dia (dia seperti orang gila, dia lari keluar dan yang lain
mencoba menahan dia).
LAYAR TURUN
S E LE S AI

Você também pode gostar