Você está na página 1de 5

Analisa Hasil

Berdasarkan Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang


dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 10 Oktober 2015 di Gedumg D lantai 2, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Diperoleh hasil dari Semua responden
menyatakan bahwa metode perkiraan dampak (kerusakan) ini merupakan pendekatan yang
baru bagi mereka untuk menilai dampak kegiatan perikanan tangkap terhadap lingkungan.
Semua responden menyatakan bahwa semua variabel sudah didefinisikan dengan jelas,
termasuk kerusakan kolateral, hasil sampling, perubahan rakitan spesies, alat non-selektif,
scope, severity dan irreversibility. Namun responden masih mengalami kesulitan untuk
menentukan nilai terhadap masing-masing alat tangkap. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan responden tentang alat tangkap dan kerusakan yang ditimbulkan akibat operasi
alat masih beragam. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh alat tangkap terhadap
ekosistem terumbu karang secara berurutan ialah sebagai berikut :
No

Alat Tangkap

Bom & komp. Sianida

Nilai Dampak Akumulatif


(DA0
4

Besaran Dampak

Gill net dasar

3.42

Sangat tinggi

Dogol

3.165

tinggi

Pukat cincin

1.835

sedang

Rawai dasar

1.67

Rendah

Gill net pertengahan

1.4175

Rendah

Bubu dan Perangkap

1.415

Rendah

Rawai Permukaan

1.335

Rendah

Pancing (hook&line)

1.3225

Rendah

10

Pukat pantai

1.25

Rendah

Sangat tinggi

Dari data diatas dapat diklasifikasikan alat tangkap yang memiliki nilai dampak
akumulatif tertinggi yaitu bom dan komponen sianida dengan nilai 4 dan besaran dampak
sangat tinggi bagi kerusakan lingkungan perairan. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan
Haya et al (2004) bahwa penggunaan bom dan racun sianida merupakan bencana bagi
terumbu karang dan habitat ikan, satu botol bir bom bisa menghancurkan area terumbu
karang seluas 5 m2 dan untuk botol gallon yang lebih besar mampu menghancurkan area
terumbu karang seluas 20 m2. Penggunaan bom secara berkala meningkatkan kematian
terumbu karang 50% sampai 80%. Sementara penggunaan racun memberikan dampak ganda,
kerusakan karang dan kematian larva dan ikan-ikan kecil, diurutan kedua yaitu penggunaan
alat tangkap gill net dasar dengan nilai dampak akumulatif sebesar 3,42 dan besaran dampak
yang sangat tinggi. Menurut BI (2008) penangkapan ikan menggunakan gillnet secara umum
memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan, akan tetapi semakin

kecil ukuran jaring yang digunakan akan bedampak langsung pada kerusakan lingkungan
habitat, penggunaan mata jaring dengan ukuran mesh yang sesuai akan memperoleh ikan
dengan jenis dan ukuran tertentu saja yang akan tertangkap sehingga dapat mengurangi hasil
tangkapan sampingan. Diurutan ketiga dogol menjadi alat tangkap yang memiliki nilai
dampak akumulatif sebesar 3,165 dan besaran dampak yang tinggi ini dikarenakan bahwa
dogol yang digunakan untuk menangkap ikan demersal yang dilengkapi dua tali penarik yang
cukup panjang yang dikaitkan pada ujung sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap dogol
terdiri dari kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring, tali penarik (warp), pelampung dan
pemberat, dogol dioperasikan di perairan dengan dasar perairan berupa pasir, lumpur atau
campuran keduanya sehingga memiliki tingkat besaran dampak yang tinggi (Antika, 2014).
Pada urutan keempat yaitu pukat cincin dengan nilai dampak akumulatif sebesar
1.835 dan besaran dampak yang sedang, ini diperkuat dengan pernyataan Idham (2002)
dalam Hariati (2011) konstruksi jaring pukat cincin telah mengalami modifikasi dari pukat
cincin tipe Amerika, dirancang berdasarkan atas kebiasaan nelayan dan disesuaikan dengan
kondisi jaring untuk menangkap ikan perenang cepat, menurut penelitian tingkat penggunaan
pukat cincin tidak mempengaruhi kerusakan habitat ikan secara signifikan, ini dikarenakan
penggunaan pukat cincin yang telah dimodifikasi tidak banyak mendapatkan hasil samping
yang dapat mengurangi populasi spesies ikan tersebut. Pada urutan ke lima alat tangkap rawai
dasar memperoleh nilai dampak akumulatif sebesar 1.67 dan besaran dampak yang rendah,
ini diperkuat dengan penjelasan rawai dasar menurut Muhammad (2001) merupakan salah
satu jenis alat tangkap yang hasil tangkapannya terdiri dari ikan demersal. hasil tangkapan ini
bernilai ekonomis tinggi, yaitu kakap merah (Lutjanus spp), manyung (Arius spp), pari
(Dasyatis blekeeri), cucut (Carcharias malkoti) dan jenis ikan dasar lainnya. Ditambahkan
oleh Kantun (2014) rawai dasar memiliki beberapa kelebihan sehingga banyak dipergunakan
oleh masyarakat diantaranya efektivitas yang baik sebagai alat tangkap, kemudahan dalam
pengoperasiannya dan penanganan, perawatan yang relatif murah dan mudah, mutu hasil
tangkapan lebih baik di bandingkan dengan alat tangkap lain.
Gillnet pertengahan menempati urutan ke enam dengan nilai dampak akumulatif
sebesar 1.4175 dan besaran dampak yaitu rendah, pernyataan ini diperjelas oleh SNI (2006)
bahwa gill net pertengahan yaitu alat penangkap ikan berbentuk empat persegi panjang yang
ukuran mata jaringnya sama besar dan dilengkapi dengan pelampung, pemberat, tali ris atas
dan tali ris bawah atau tanpa ris bawah untukmenghadang arah renang ikan, sehingga ikan
sasaran terjerat mata jaring atau terpuntal pada bagian tubuh jaring. Urutan ke tujuh ditempati
oleh alat tangkap Bubu dan Perangkap yang memperoleh nilai dampak akumulatif sebesar
1.415 dan besaran dampak yaitu rendah, ini dijelaskan oleh Sbani dan Barus (1989) dalam
Ramadan (2011) bahwa bubu merupakan alat tangkap yang berukuran kecil, bentuk bubu
bermacam-macamada yang berbentuk kotak, silinder dan kerucut, bergantung jenis ikan
sasaran tangkap, namun prinsip pengoperasiannya tetap sama. Bahan yang digunakan dalam
pembuatan bubu bermacam-macam, seperti benang, kawat, rotan, bambu maupun bahan
lainnya yang ramah lingkungan.

Pada urutan ke delapan yaitu rawai permukaan dengan nilai dampak akumulatif
sebesar 1.335 dan besaran dampak yang rendah, hasil tersebut diperkuat dengan penjelasan
Dharmadi (2010) mengenai alat tangkap rawai permukaan ( drift long line) merupakan alat
tangkap yang ditujukan untuk menangkap ikan tuna, tetapi cucut dan pari termasuk pari
lampengan (Mobula japanica) juga sering tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan.
Spesifikasi paneing rawai terdiri dari tali utama, tali cabang, dan matapancing. Pada urutan
ke Sembilan yaitu alat tangkap berupa Pancing (hook & line) dengan nilai dampak
akumulatif sebesar 1.3225 dan besaran dampak yaitu rendah. Hasil tersebut dikuatkan dengan
penjelasan Sulandari (2011) mengenai alat tangkap pancing (Hook & line) yaitu pancing
yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal, pancing diberi umpan segar atau
umpan palsu yang karena pengaruh tarikan bergerak didalam air sehingga merangsang ikan
buas menyambarnya, alat tangkap ini tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan habitat
di perairan. Urutan terakhir atau ke sepuluh yaitu alat tangkap jenis pukat pantai dengan nilai
dampak akumulatif sebesar 1.25 dan besaran dampak yaitu rendah. Hasil ini dijelaskan oleh
Mardjudo (2011) bahwa Permasalahan dalam penggunaan pukat pantai berkaitan erat dengan
lokasi atau daerah penangkapan (fishing ground) yang terbatas di perairan dangkal dekat
garis pantai. Karena perairan pantai ini pada umumnya mempunyai fungsi ekologi sebagai
daerah asuhan (Nursery ground), maka operasi penangkapan dengan pukat pantai berpeluang
menangkap ikan - ikan yang masih berumur muda yang bukan merupakan target tangkapan
atau hasil tangkapan sampingan (by-catch). Penggunaan alat tangkap dan lokasi penangkapan
menjadi faktor terpenting didalam penggunaan alat tangkap pukat pantai.

DAFTAR PUSTAKA
Haya. La Ode M. Y, Hazairin Zuliah dan Darmawan Salman. 2004. Analisis Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang: Kasus Penangkapan Ikan yang merusak
(Sianida dan Bom) Di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis.
Volume 1. Nomor 2.
Ramadan. Ari Nado Syahrur. 2011. Uji Coba Tutupan Ijuk dan Goni Pada Pengoperasian
Bubu Tambun Di Perairan Kepulauan Seribu. Skripsi Mayor Teknologi Dan
Manajemen Perikanan Tangkap. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Dharmadi. Mas Tri Djoko Sunarno dan Nagib Isa Edrus. 2010. Indeks Kelimpahan Dan
Biologi Ikan Pari (Mobula japanica) Di Perairan Samudra Hindia. Laporan Akhir.
Program Intensif Peningkatan Kemampuan Peneliti Dan Perekayasa. Dewan Riset
Nasional. Kementerian Kelautan Dan Perikanan. Jakarta.
Muhammad. Abdul Kohar, Abdul Rosyid dan Arie Rahmadi. 2001. Upaya Peningkatan
Kinerja Usaha Perikanan Tangkap Rawai Dasar (Bottom Long Line) Melalui
Peningkatan Lingkungan Usaha Perikanan Dan Kebijakan Pemerintah Daerah Di
Kabupaten Pati. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro.
Semarang.
Kantun. Wayan, Harianti dan Sahrul Harijo. 2014. Respon Ikan Demersal Dengan Jenis
Umpan Berbeda Terhadap Hasil Tangkapan Pada Perikanan Rawai Dasar. Jurnal
Batik Diwa. Volume 5. Nomor 1. Januari Juni.
Hariati. Tuti. 2011. Status Perkembangan Perikanan Pukkat Cincin Di Banda Aceh. Jurnal
Literatur Perikanan Indonesia. Volume 17. No. 3. September. Hal 157 167.
Sulandari. Arik. 2011. Strategi Peningkatan Produksi Pada Nelayan Pancing Tonda Di
Perairan Teluk Prigi (Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi). Tesis. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Program Magister Ilmu Kelautan.
Universitas Indonesia. Depok.
Bank Indonesia. 2008. Pola Pembiayaan Usaha kecil. Penangkapan Ikan Pelagis Dengan Alat
Tangkap Gillnet. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Jakarta.
SNI. 2006. Bentuk Bau Kontruksi Jaring Insang Pertengahan Multifilamen Tanpa Saran.
Badan Standarisasi Nasional. SNI 01-7215-2006.

Antika. M, Abdul Kohar, Herry Boesono. 2014. Analisis Kelayakan Finansial Usaha
Perikanan Tangkap Dogol Di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ujung Batu Jepara.
Journal Of fisheries Resources Utilization Management and Technology. Volume 3.
Nomor 3. Hal 200-207.
Mardjudo. A. 2011. Analisis Hasil Tangkapan Sampingan (By-Catch) Dalam Perikanan Pukat
Pantai Jenis Krakat Di Teluk Kota Palu Sulawesi Tengah. Jurnal KIAT. Universitas
Alkhairaat. ISSN : 0216-7530.

Você também pode gostar