Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
A. Profil Perusahaan
Lapindo Brantas, Inc (LBI) adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha
eksplorasi dan produksi migas di Indonesia yang beroperasi melalui skema Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS) di blok Brantas, Jawa Timur. Lapindo Brantas Inc.,
pertama didirikan pada tahun 1996 setelah proses kepemilikan sahamnya diambil alih
dari perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat, Huffington Corporation, yang saat
itu telah menandatangani perjanjian Production Sharing Contract (PSC) dengan Blok
Brantas di Jawa Timur untuk jangka waktu 30 tahun.
LBI melakukan eksplorasi secara komersil di 2 wilayah kerja (WK) di darat
dan 3 WK lepas pantai dan saat ini total luas WK Blok Brantas secara keseluruhan
adalah 3.042km2. Sementara komposisi jumlah Penyertaan Saham (Participating
Interest) perusahaan terdiri dari Lapindo Brantas Inc. (Bakrie Group) sebagai operator
sebesar 50%, PT Prakarsa Brantas sebesar 32% dan Minarak Labuan Co. Ltd (MLC)
sebesar 18%. Dari kepemilikan sebelumnya, walaupun perizinan usaha LBI terdaftar
berdasarkan hukum negara bagian Delaware di Amerika Serikat, namun saat ini 100%
sahamnya dimiliki oleh pengusaha nasional.
Dari berbagai kegiatan eksplorasi yang dilakukan, LBI telah menemukan
cadangan-cadangan migas yang berpotensi sangat baik, antara lain di lapangan Wunut
yang terletak di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lapangan Wunut dinyatakan
komersial dan mulai berproduksi pada bulan Januari 1999. Kemudian disusul oleh
lapangan Carat di Kabupaten Mojokerto juga yang telah dinyatakan komersial pada
tahun 2006, lalu lapangan Tanggulangin yang mulai dinyatakan komersial pada bulan
Juni 2008. Untuk memajukan usahanya, LBI didukung oleh 77 orang karyawan tetap
dan kontrak, ditambah 142 orang dari kontrak pihak ketiga.
Visi :
Turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia melalui pemenuhan energi
minyak dan gas bumi.
Meningkatkan nilai tambah perusahaan kepada seluruh pemangku kepentingan.
Menjadi perusahaan minyak dan gas bertaraf internasional dan sebagai produsen
minyak dan gas terbesar di Jawa Timur.
Misi :
Menjalankan seluruh kegiatan operasi perusahaan dengan ekonomis, dapat
dipertanggungjawabkan dan sesuai standar HSE yang tertinggi.
Menahan laju penurunan produksi dari lapangan yang ada.
Explore, discover & develop prospek di Area-1, 3, 4 & 5.
B. Kronolgis Kasus
Pada awalnya Lapindo menyatakan bahwa bencana lumpur di Jawa Timur
merupakan akibat dari adanya gempa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Lapindo menyatakan gempa-gempa susulan yang terjadi di Yogyakarta serta dampak
yang ditimbulkan merupkan kunci penyebab terjadinya bencana lumpur panas ini.
Namun setelah diadakan penelitian, ditemukan bahwa semburan lumpur tersebut
bukan karena gempa, melainkan adanya kesalahan teknis pengeboran oleh Lapindo
tersebut.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal
Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra
Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia,
Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki
(2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan
dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman
untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan
kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran
menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo sudah memasang casing 30 inchi
pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada
2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor lapisan
bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang
casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara
formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran
ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis
dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target
pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang
tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing
setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak
ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran
masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari
formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan
pompa lumpurnya Lapindo (Medici).
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping.
Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya
menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolongbolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan
hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss
sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan
berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit
sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan,
perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan
lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick.
Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke
atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing)
13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil
dan kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai
ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui
lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi
akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami dan
berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area
sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Berikut adalah kronologis luapan lumpur panas di Sidiarjo:
1. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan
sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan
Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar
lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput
alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut
bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan
Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini, sebagian penduduk
Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa
terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru Porong.
2. Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai
mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman
penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari
debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya
pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun
Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring.
Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar
Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak keluarga yang tersebar di sejumlah
tempat.
3. 10 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi
semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat
sejumlah pabrik.
4. 12 Juli 2006 lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo
dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo
dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar.
5. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah
desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total
warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa
mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah
ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur
adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan
Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo,
Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor
unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang
tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan
tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak
bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil
Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan
telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak
sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480,
Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah
negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan
musala 15 unit .
6. Memasuki akhir September 2006, Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun
Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul penahan
lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol.
7. 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14
orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa
meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena
ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai ketinggian
1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana sangat
mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa akibat
amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa tertekan
sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak diindahkan
oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul utama penahan
lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu menahan laju luapan
lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah utara desa tersebut
seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera
Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang lumpur.
8. 6 Desember 2006, Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang
beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru
Porong.
9. Memasuki Januari 2007, Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya.
10. Memasuki April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian
Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya
Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan antara
desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang harus
mengungsi ke Balai Desa Ketapang.
11. 10 Januari 2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur
akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya MalangSurabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan air
hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong atau
ke sanak keluarga mereka yang terdekat.
12. Dengan demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/
atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo,
Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung
Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan,
Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pelanggaran HAM
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang
sejak ia dalam kandungan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat
siapa pun. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum
dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29
ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
Jenis HAM dapat dibagi sebagai berikut:
1. Hak asasi pribadi / personal Right, terdiri dari:
Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat
Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan
kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right, terdri dari:
Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik
lainnya
Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right, terdiri dari:
Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / PNS
Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths, terdiri dari:
Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights, terdiri dari:
Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
Republik Indonesia. Akal sehat semua orang pasti bisa memikirkan bahwa kegiatan
eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk akan mengandung
risiko dan dampak yang sangat besar. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditari
kesimpulan hukum bahwa hak pengeboran PT. Lapindo Brantas adalah ilegal,sebab
melanggar berbagai aturan keselamatan sosial.
Kedua adalah penyampaian informasi yang salah. informasi yang disampaikan
oleh pihak perusahaan kepada warga bahwa tanah lokasi sumur BJP-1 dibeli bukan
untuk pengeboran tetapi untuk kandang ayam. Jelas dalam kasus ini perusahaan
menutup-nutupi informasi yang sebenarnya kepada masyarakat. Lapindo berniat ingin
membeli daerah pemukiman mayarakat disekitar daerah pengeboran, tapi masyarakat
tidak mau.
Selain pelanggaran dalam masalah perizinan pada awal pengeboran, perusahaan
juga melakukan kelalain dan kesalahan teknis dalam melakukan pengeboran, yaitu:
- Lapindo melakukan pengeboran tidak sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Pada saat perencanaa Lapindo membuat prognosis pengeboran
dengan mengasumsikan zona pemboran mereka adalah di zona Rembang
dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Pada kenyataanya mereka
membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.
- Lapindo tidak mematuhi kaidah operasional yang telah dibakukan para ahli
pemboran sebagai Prosedur Operasi Standar. Ketika Lapindo mengebor
lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kak,i mereka harusnya
memasang casing 9-5/8 inchi tapi pada kenyataanya mereka tidak melakuakan
hal tersebut.
- Prosedur mencabut atau memasukkan rangkaian pipa bor dan pahat pada saat
mencabut string mengalami tambahan beban, tetapi tidak dihiraukan oleh
Lapindo. Hal yang lebih parah, batasan tekanan maksimum di permukaan
tidak dipatuhi oleh operator dan insinyur pengeboran Lapindo ketika
menanggulangi semburan sehingga melebihi kekuatan formasi di bawah
selubung 13 5/8 di 1.092 meter yang berakibat terjadinya rekahan sampai ke
permukaan yang akhirnya menjadi jalan keluar lumpur dari dalam lubang bor.
Sampai setelah terjadinya bencana lumpur panas, Lapindo tidak juga mengakui
telah melakukan kesalahan. Pihak perusahaan berdalih bahwa bencana ini terjadi
akibat gempa di Yogyakarta 2 hari sebelumnya dan dasar ini sama sekali tidak kuat.
Gempa bumi yang klaim sebagai penyebab utama luapan lumpur hanya memiliki
dampak sepele. Alasannya, gempa bumi terjadi di Yogyakarta dua hari sebelum
lumpur meluap, dan jauh dari lokasi luapan lumpur, yakni sekitar 250 km di sebelah
barat daya titik luapan. Beberapa ahli geolog melakukan penelitian bahwa lupan
lumpur karena gempa tidak mungkin karena jarak yang terlalu jauh dan skala gempa
yang terlalu kecil. Para ahli, melalui berbagai penerbitan di jurnal ilmiah yang sangat
kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa penyebab semburan adalah
kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah lalai memasang casing,
dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga Lumpur
akhirnya menyembur.
Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong
dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan 25.000 jiwa
mengungsi dikarenakan tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit
rumah ibadah terendam lumpur, selain itu lahan dan ternak yang tercatat terkena
dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di
Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring
Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7
ekor kijang. Dalam tragedy tersebut sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa
menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873
orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintahan dan
sarana pendidikan juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
Masalah lain yang timbul akibat tragedi lumpur lapindo ini adalah meledaknya
pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar
2,5 kilometer pipa gas terendam, serta ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol
hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan dan tak kurang
600 hektar lahan terendam sehingga saluran listrik dan telepon juga tidak berfungsi.
Dalam peristiwa tersebut juga terjadi beberapa peristiwa diantaranya yaitu
pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa. Pelaku dalam pemindahan
penduduk secara paksa tersebut bukanlah aparat Negara melainkan karena lingkungan
sekitar warga yang semakin melebar kerusakannya akibat semburan lumpur lapindo.
Melihat kejadian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejadian tersebut merupakan
pelanggaran HAM berat kategori kejahatan kemanusiaan.
Kasus luapan lumpur lapindo ini berkaitan erat dengan pelangaran HAM berat
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Bahkan Komnas HAM pada tanggal 24 Februari 2009 melalui sidang paripurna telah
membentuk Tim Investigasi Kasus Luapan Lumpur Lapindo. Nurkholis sebagai
Koordinator Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo.Berapa banyak korban lumpur
lapindo yang harus kehilangan rumah, kehilangan pekerjaan, anak-anak putus sekolah
dan kehilangan masa depan mereka. Hasil investigasi Komnas HAM menunjukkan
bahwa di penampungan korban luapan lumpur lapindo yakni Pasar Baru Porong,
banyak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis,
ekonomi maupun seksual.
Setidaknya ada lima belas (15) hak yang terlanggar yaitu : hak hidup, hak atas
rasa aman, hak atas informasi, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas
pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan
sosial, hak-hak pengungsi, dan hak-hak kelompok rentan. Berikut adalah rician
pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh Lapindo:
1. Pelanggaran Hak untuk Hidup
Dalam
tragedi
lapindo,
hak
setiap
orang
untuk
hidup
tentram,aman,damai,bahagia,sejahtera lahir batin dan hak atas lingkungan hidup
yang sehat dan baik kini telah dilanggar karena sudah jelas dengan adanya
semburan lumpur lapindo tersebut telah membuat hidup warga tidak tentram dan
lingkungan merekapun menjadi tidak sehat.
2.
Hak keamanan
Pelanggaran atas hak keamanan warga dalam tragedy lapindo ini sangat
jelas terlihat karena dengan mereka dipindah secara paksa sudah pasti dalam
lingkungan mereka yang baru (pengungsian) rasa aman tersebut sangatlah minim
dibanding saat mereka tinggal dirumahnya semula. Sedangkan apabila mereka
kembali ke tempat tinggal semula mereka, maka rasa aman itupun juga tidak akan
didapat. Karena dengan bahayanya semburan lumpur tersebut maka dapat
mengancam keselamatan warga yang tetap tinggal disekitar semburan lumpur
lapindo.
5.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan yang telah kami paparkan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Semburan lumpur Lapindo terjadi karena ada beberapa aspek yang belum tentu
kepastiannya yang benar sebagai akibat munculnya lumpur. Dan ini akan mengakibatkan
tidak akan cepat terselesaikannya pada kasus lumpur dan dengan siapa yang akan
menanggung jawabkannya pun tidak ada.
2. Kesejahteraan rakyat korban lumpur Lapindo Brantas masih belum terpenuhi, baik
kesejahteraan kehidupan pada umumnya seperti, basic human rights (hak asasi manusia),
hak untuk memiliki (properti rights) telah terampas ketika penduduk harus meninggalkan
rumah dan harta benda, hak untuk memiliki kebebasan (liberty) mencari nafkah telah
ditindas tatkala para buruh dan petani tidak dapat bekerja karena lahan terendam , pabrik
tenggelam dan bangkrut terkena semburan lumpur, hak hidup (rights to live) telah
terampas dengan jatuhnya korban.
3. Pemerintah
belum
bisa
berhasil
memfungsikan
hukum
sebagai
alat
desak
pertanggungjawaban atas bencana lumpur panas Lapindo Brantas. Pemerintah pusat dan
daerah sudah bekerja untuk mengatasi masalah lumpur Lapindo ini. Pada tanggal 26
September 2011, pemerintah kembali memberi perhatian terhadap penanganan luapan
lumpur lapindo di Sidoarjo - Jawa Timur, dengan membahasnya dalam rapat kabinet.
B. Saran
1. Perlu dibuat lembaga pengawas independen, yang bertugas mengawasi pelaksanaan setiap
aktifitas bisnis yang dapat menimbulkan pelanggaran HAM.
2. Pemerintah harus konsisten dalam penegakan sanksi dari setiap pelanggaran HAM yang
terjadi.
3. Aturan aturan yang terkait dalam standar teknis pengeboran minyak dan gas, harus
diatur lebih jelas untuk melindung hak hak masyarakat dan mencega terjadinya
pelanggaran HAM.