Você está na página 1de 17

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN HIRSHSPRUNG

DISUSUN OLEH :
M. DAVID NUGROHO

STIKES INSAN CENDIKIA MEDIKA


2012

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya makalah dengan judul Asuhan Keperawatan Hirshsprung dapat diselesaikan.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Anak,
khususnya teori tentang Hirshsprung.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk hasil yang lebih baik di
kemudian hari. Semoga makalah ini bermanfaat.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan Penulisan......................................................................................
D. Manfaat....................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
A. Definisi ...................................................................................................
B. Etiologi ...................................................................................................
C. Klasifikasi................................................................................................
D. Patofisiologi dan Pathway.......................................................................
E. Manifestasi Klinis....................................................................................
F. Penatalaksanaan.......................................................................................

i
ii
iii

G. Komplikasi...............................................................................................
H. Asuhan Keperawatan...............................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Perencanaan Keperawatan
BAB IV PENUTUP............................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................
B. Saran........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Pada tahun 1886 Hirschsprung mengemukakan 2 kasus obstipasi sejak lahir yang
dianggapnya disebabkan oleh dilatasi kolon. Kedua penderita tersebut kemudian meninggal.
Dikatakannya pula bahwa keadaan tersebut merupakan kesatuan klinis tersendiri dan sejak itu
disebut penyakit Hirscsprung atau megakolon kongenital.(Ilmu Kesehatan Anak, Universitas
Indonesia, 1985).
Zuelser dan Wilson (1948) mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit
tidak ditemukan ganglion prarasimpatis. Sejak saat tersebut penyakit ini lebih dikenal dengan
istilah aganglionosis kongenital. (Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Indonesia, 1985).
Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan Hirschsprung ini telah
pula diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill (1946) berupa prosedur
rektosigmoidektomi, Duhamel (1956) berupa prosedur retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur
endorektal ekstramukosa serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection.
Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik komplikai dini
berupa infeksi, dehisensi luka, abses pelvik dan kebocoran anastomose, maupun komplikasi

lanjut berupa obstipasi, inkontinensia dan enterokolitis. Namun secara umum diperoleh
gambaran hasil penelitian bahwa ke-empat prosedur bedah definitif diatas memberikan
komplikasi yang hampir sama, namun masing-masing prosedur memiliki keunggulan tersendiri
dibanding dengan prosedur lainnya, tergantung keahlian dan pengalaman operator yang
mengerjakannya .(Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997, Teitelbaum,1999).
B. Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan hirscshprung?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan Hirscshprung?
3. apa saja intervensi yang dapat dilakukan pada anak dengan Hirscshprung?

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

C . Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum :
Setelah membuat makalah ini, mahasiswa dapat menjelaskan Asuhan Keperawatan pada klien
anak dengan gangguan Hirscshprung dengan resiko tinggi.
2. Tujuan Instruksional Khusus :
Setelah membuat makalah ini mahasiswa dapat menjelaskan:
Anatomi fisiologi sistem gastrointestinal.
Definisi penyakit Hirschsprung
Etiologi penyakit Hirschsprung.
Patofisiologi penyakit Hirschsprung.
Pathway penyakit Hirschsprung.
Penatalaksanaan penyakit Hirschsprung.
Asuhan Keperawatan Anak pada penyakit Hirschsprung.
D. Manfaat
Agar mahasiswa mengetahui definisi dari penyakit Hirscshprung dan dapat menjelaskan asuhan
keperawatan pada klien anak dengan penyakit hirscshprung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hirschsprung adalah sebuah kelainan bawaan lahir yang cukup jarang terjadi dan
mengakibatkan beberapa kerusakan karena tidak sempurnanya sistim kerja usus. Kasus
terbanyak dialami oleh pria dan umumnya ditemukan pada anak-anak yang memiliki sindroma
down. (Down Syndrome). Kelainan ini dapat berakibat kematian atau kelainan kronis lainnya.
Penyakit Ini disebabkan oleh pergerakan usus yang tidak memadai karena tidak terdapatnya
syaraf pada bagian usus tertentu hingga mengakibatkan pembesaran usus.
Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu penyumbatan pada usus
besar yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar
tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. (www.medicastor.com)
Hirschsprungs disease atau conginetal aganglionic mgacolon dengan gejala-gejala
obstruksi intestinal (muntah, perut besar), yang kemudian menjadi konstipasi kronik, dan

mungkin diare yang berat dengan kenaikkan suhu badan, terutama pada bayi, dapat berakibat
hipoproteinemia dan gagal tumbuh (Rossi, 1981).
Penyakit hirschprung ditandai dengan tidak adanya secara kongenital sel ganglion di dalam
pleksus mienterikus dan submukosa. Panjang segmen aganglionik bervariasi mulai dari segmen
yang pendek yang hanya mengenai daerah sfingter anal sampai daerah yang meliputi seluruh
kolon bahkan usus kecil. (www.pediatric.com).
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari
spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk
anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus
fungsional.(Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997;Fonkalsrud,1997)
B. Etiologi
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di sepanjang usus
karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut
gerakan peristaltik).
Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang
terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada, biasanya
hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak
dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna dan terjadi penyumbatan.
Penyakit Hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki.
Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan bawaan lainnya, misalnya sindroma Down.
Pada pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit ini, tidak ditemukan sel ganglion
Auerbach dan Missner, serabut saraf menebal dan srabut otot hipertrofik. Aganglionosis ini
mulai dari anus ke arah oral. (IKA, Universitas Indonesia, 1985).

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe, yaitu ;


1. Penyakit Hirschsprung segmen pendek.
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari kasus Hirschsprung
dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
2. Penyakit Hirschsprung segmen panjang
Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, malahan dapat mengenai seluruh kolon atau
sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan anak perempuan.
C. Patofisiologi
Penyakit Hirschprung ditimbulkan karena kegagalan migrasi kranio-kaudal dari cikal bakal
sel ganglion sepanjang usus pada minggu ke 5 sampai minggu ke 12., yang mengakibatkan
terdapatnya segmen aganglionik. Dalam segmen ini, peristalsis propulsif yang terkoordinasi akan
hilang dan sfingter anal internal gagal untuk mengendor pada saat distensi rektum. Hal ini
menimbulkan obstruksi, distensi abdomen dan konstipasi. Segmen aganglionik distal tetap

menyempit dan segmen ganglionik proksimal mengalami dilatasi. Hal ini tampak pada enema
barium sebagai zona transisi. (www.medicastore.com).
Sistem persarafan autonom instrinsik saluran gastrointestinal terdiri dari pleksus sel
ganglion dengan hubungan neural masing-masing ke (1). Pleksus Auerbach, terletak diantara
lapisan otot sirkular dan longitudinal. (2). Pleksus Henle atau Deep Submucosal Plexsus
terletak disepanjang batas dalam muskularis propria sirkular. Dan (3). Pleksus Meissner dibawah
muskularis mukosa. Tiap pleksus mengandung orgamen halus yang terintregrasi yang bekerja
untuk mengontrol semua fungsi absorbsi, sekresi, alirasn darah dan mortilitas usus dengan
kontrol yang relative kecil dari sistem saraf pusat.
Terminologi megacolon aganglion kongenital digambarkan karena adanya kecacatan secara
primer, dimana keberadaan sel ganglion dalam jumlah yang sedikit atau tidak adanya sama sekali
sel ganglion disatu, atau beberapa segmen didalam kolon. Mekanisme terjadinya aganglion pada
penyakit Hirscshprung ini bermula jika migrasi sel neuroblast terhenti disuatu tempat dan tidak
mencapai rectum, dimana pada keadaan normal sel neuroblast bermigrasi dari krista neuralis
saluran gastrointestinal bagian atas dan slanjutnya mengikuti serabut-serabut vagal yang telah
ada di kaudal.
Segmen aganglionik ini bisa meliputi rectum dan bagian proksimal di usus besar, bisa saja
segmen aganglionik trjadi pada seluruh usus, namun hal ini jarang terjadi. Dengan adanya sgmn
aganglionik hal ini akan mengakibatkan kurangnya gerak pristaltik sehingga terjadi akumulasi
bahan-bahan diusus dan terjadi distensi isi perut bagian proksimal sampai terjadi megacolon.
Spingter anal terdiri dari otot polos dan otot lurik yang membentuk saluran anal. Adanya
kegagalan dari spingter anal interna untuk relaksasi hal ini akan menyebabkan terjadinya
obstruksi sebab adanya pencegahan evakuasi solid air dan gas. Distensi usus dan iskmik dapat
muncul sebagai komplikasi berikutnya dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya
enterokolitis

C. Pathway

D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis
mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal.
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat,
muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam
pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari
pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam
dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan
ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat
menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah
dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau
busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.
(Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).
(2). Anak.
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi
buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika
dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semiliquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam
beberapa hari dan biasanya sulit untuk defek

E. Penatalaksanaan Medis
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung.
Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard
dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Kartono,1993).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka
dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan
feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun
disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid .(Kartono,1993, Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990)
b. Pemeriksaan Histopatologis
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion pada
pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat
dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan
semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim
yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan
konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase, juga
digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan
enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti
dengan adanya perdarahan .(Cilley dkk,2001)
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh
tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis,
metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan
pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun 1969
mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan
jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode
ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi sebab tidak memerlukan anastesi dan akurasi
pemeriksaan mencapai 100% (Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3
tempat : 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah
dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley
(1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi
(Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002).

c. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi
fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya,
manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis
meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif
terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph
atau komputer .(Shafik,2000; Wexner,2000; Neto dkk,2000)
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi
rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan
(Kartono,1993; Tamate,1994; Neto,2000).
d. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin sterase dari hasil biopsi hisap. Pada
penyakit Hirschsprung, khas yang terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin
esterase.
e. Pemeriksaan aktivitas norepineprin dari jaringan biopsi usus. Usus yang
aganglionosis akan menunjukkan peningkatan aktivitas enzim tersebut.
F. Pengobatan
Tindakan defenitif adalah menghilangkan hambatan pada segmen usus yang menyempit.
Sebelum operasi definitif, dapat dilakukan pengobatan konservatif yaitu tindakan darurat untuk
mnghilangkan tanda-tanda obstruksi rndah dengan jalan memasang anal tube dngan atau tanpa
disertai pmbilasan dngan air garam hangat secara teratur. Tindakan konservatif ini sebenarnya
akan mengaburkan gambaran pemeriksaan barium enema yang dibuat kemudian.
Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat dan dimaksudkan untuk menghilangkan
gejala obstruksi usus, sambil menunggu dan memperbaiki keadaan umum penderita sebelum
operasi definitif.
Oprasi defenitif dilakukan dengan mereseksi segmen yang menyempit dan menarik usus
yang sehat ke arah anus. Cara ini dikenal dengan pull through (Swenson, Reinbein dan
Duhamel). Di RSCM Jakarta, dianjurkan pull through modifikasi Duhamel, setelah terlebih
dahulu dibuat kolostomi terminal (IKA, UniversitasIndonesia, 2000)
G. Tindakan Pembedahan
1. Tindakan Pembedahan Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi
pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna
menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang
berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan angka kematian pada saat
dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung

yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose .(Fonkalsrud dkk,1997;


Swenson dkk,1990)
2.

Tindakan Bedah Definitif


Prosedur Swenson
Orvar Swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik
terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada
dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani.
Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan
daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme
rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun
1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum
bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior .(Kartono,1993; Swenson dkk,1990;
Corcassone,1996; Swenson,2002)
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi
otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin
ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia
luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal
(yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal.
Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1
cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal
yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan seromuskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen.
Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.(Kartono,1993; Swenson
dkk,1990)
Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik
pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang
ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding
posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik
sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis,
inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila
terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya:
Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan
endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia.
Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan
anastomose side to side yang panjang.
Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi
setelah 6-8 hari kemudian.

Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps
sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah
dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari
berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis
(Kartono,1993).
Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk
tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang
telah dikupas tersebut. (Reding dkk,1997; Swenson dkk,1990)
Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end
to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal
verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca
operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.(Swenson
dkk,2000)
I.

Komplikasi.
Enterokolitis nekrotikans, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi dan septikemia

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN.
A.

Pengkajian.
1. Identitas.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal.
Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen
aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus
halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan.
(Ngastiyah, 1997)

2. Riwayat Keperawatan.
a.

b.

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering ditemukan adalah
mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah
berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan
muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi,
muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang
diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan
diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung.
Riwayat kesehatan keluarga.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
Riwayat kesehatan lingkungan.
Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.
Imunisasi.
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
Nutrisi.
3. Pemeriksaan fisik.

a.
b.
c.

d.
e.
f.
g.
h.
i.

Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.
Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.
Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak yang
lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu
ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
Sistem genitourinarius.
Sistem saraf.
Tidak ada kelainan.
Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Gangguan rasa nyaman.
Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.
Sistem integumen.
Akral hangat.
Sistem pendengaran.

Tidak ada kelainan.


4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a.
b.
c.
d.
e.
B.
1.
2.
3.
4.
5.

Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi
usus rendah.
Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang
tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar dan terdapat retensi
barium setelah 24-48 jam.
Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan aktivitas enzim
asetilkolin eseterase.
Diagnosa Keperawatan
Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya
dorong.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.
Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak.

C.

Perencanaan Keperawatan
Diagnosa
Perencanaan Keperawatan
Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi
Rasio
Gangguan eliminasi
Pasien tidak mengalami 1.
Monitor cairan yang keluar dari Mengetahui warna da
BAB : obstipasi
ganggguan eliminasi
kolostomi
dan menentukan renc
berhubungan dengan dengan kriteria defekasi 2.
Pantau jumlah cairan kolostomi Jumlah cairan yang k
spastis usus dan tidak normal, tidak distensi
dipertimbangkan untu
adanya daya dorong. abdomen.
3.
Pantau pengaruh diet terhadap
cairan
pola defekasi
Untuk mengetahui die
mempengaruhi pola d
Gangguan nutrisi
Kebutuhan nutrisi
1.
Berikan nutrisi parenteral
Memenuhi kebutuhan
kurang dari
terpenuhi dengan kriteria
sesuai kebutuhan.
kebutuhan tubuh
dapat mentoleransi diet 2.
Pantau pemasukan makanan
Mengetahui keseimba
berhubungan dengan sesuai kebutuhan secara
selama perawatan
kebutuhan 1300-3400
intake yang
parenteal atau per oral. 3.
Pantau atau timbang berat
Untuk mengetahui pe
inadekuat.
badan.
badan
Kekurangan cairan
tubuh berhubungan
muntah dan diare.

Kebutuhan cairan tubuh 1. Monitor tanda-tanda dehidrasi.


terpenuhi dengan kriteria
tidak mengalami
2. Monitor cairan yang masuk dan
dehidrasi, turgor kulit
keluar.
normal.
3. Berikan caiaran sesuai
kebutuhan dan yang
diprograrmkan

Gangguan rasa
nyaman berhubungan
dengan adanya
distensi abdomen.

Kebutuhan rasa nyaman


terpenuhi dengan kriteria
tenang, tidak menangis,
tidak mengalami
gangguan pola tidur

Kaji terhadap tanda nyeri

Mengetahui kondisi d
langkah selanjutnya
Untuk mengetahui kes
tubuh
Mencegah terjadinya

Mengetahui tingkat n
menentukan langkah
Berikan tindakan kenyamanan Upaya dengan distrak
: menggendong, suara halus,
mengurangi rasa nyer
ketenangan
Mengurangi persepsi
Berikan obat analgesik sesuai yamg kerjanya pada s
program

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berbagai gangguan yang terdapat pada saluran pencernaan bayi dan anak pada intinya
disebabkan karena dua hal yaitu kelainan yang didapat atau bawaan. Salah satu contoh gangguan
akibat kelainan kongenital yaitu hirschsprung yang juga dikenal dengan megakolon kongenital
Hirschsprung disebabkan karena tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada
dalam colon. Masalah keperawatan utamanya yaitu terjadinya gangguan defekasi (obstipasi) dan
perawatannya dengan dilakukan spuling air garam hangat tiap hari serta mencukupi gizi dan
mencegah infeksi.

B. Saran
Dalam memberikan perawatan kepada bayi atau anak dengan gangguan saluran pencernaan
kongenital ini hendaknya benar-benar memperhatikan trias yang sering ditemukan pada penyakit
hirschsprung (mekonium lebih 24 jam setelah lahir, perut kembung dan muntah berwarna hijau)
agar dapat memberikan perawatan yang benar dan menghindarkan terjadinya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 3. Universitas
Indonesia. Jakarta
Anonim. 2003. Mengenal Penyakit Hirschsprung (Aganglionic Megacolon). Disitasi dari
http://www.indosiar.co.id/v2003/pk. pada tanggal 26 Oktober 2010.
Behrman, dkk.1996. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. Jakarta: EGC.
Budi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung. Disitasi dari
http://www.mediakeperawatan.com/?id=budixtbn. pada tanggal 26 Oktober 2010.
Yuda. 2010. Penyakit Megacolon. Disitasi dari http://dokteryudabedah.com/wpcontent/uploads2010/01/mega-colon pada tanggal 26 Oktober 2010.
Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan

Você também pode gostar