Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
KERATOUVEITIS
Oleh:
Oleh :
Rizqi Yuni Ardhani
105070100111026
Astrid N. Lukito
105070100111096
Evanti Tansil
105070107111033
Pembimbing:
dr. Ovi Sofia, Sp.M
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keratouveitis adalah istilah yang digunakan bila terdapat kombinasi keratitis
dan uveitis dalam waktu yang bersamaan. Keratouveitis biasanya terjadi karena
keratitis yang kemudian menyebabkan adanya uveitis. Kejadian paling sering
adalah keratitis yang kemudian menyebabkan terjadinya uveitis anterior. Hal ini
terjadi lebih dikarenakan struktur anatomis dari kornea dan traktus uvea yang
saling berdekatan. Insiden pada keratouveitis hampir sama banyaknya dengan
insiden kejadian uveitis anterior itu sendiri.
Keratitis sendiri merupakan peradangan pada kornea. Kornea berfungsi
sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui oleh berkas cahaya saat
menuju retina. Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskular, dan deturgenses. Epitel yang terdapat pada kornea ini adalah
sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea (Biswell,
2010). Radang pada kornea biasanya diklasifikasikan dalam lapis kornea yang
terkena, seperti keratitis superficial dan interstitial atau profunda, yang disebabkan
oleh virus, bakteri jamur dan protozoa (Iiyas, 2015).
Uveitis anterior merupakan peradangan yang mengenai iris dan jaringan
bada siliar (iridosiklitis) biasanya unilateral dengan onset akut. Hasil Survei
Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996 menunjukkan
angka kebutaan di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia, yaitu mencapai
1,5% dari jumlah penduduk. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0,78%),
glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), kelainan di retina (0,13%), serta
kelainan di kornea (0,10%)
Apabila keratouveitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen.
Sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan dapat sampai
menyebabkan kebutaan. Berdasarkan hal tersebut, pengobatan keratitis haruslah
cepat dan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang
akan datang.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
1.2.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Keratouveitis
Keratouveitis merupakan inflamasi yang melibatlam kornea dan uvea pada
mata. Penyebab terbanyak keratouveitis ialah dari virus, herpes simpleks virus dan
herpez zooster virus, akan tetapi penyebab lain seperti bakteri, akantamoeba,
dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.
2.2
Epidemiologi Keratouveitis
Keratitis seringkali dikaitkan dengan penggunaan lensa kontak. Studi di
Hongkong menunjukkan insiden 0.63 dari 10.000 orang non pengguna kontak
lensa dan 3.4 per 10.000 pengguna lensa kontak. Insiden keratitis infeksius di
negara berkembang cukup tinggi. Di Nepal, terdapat 799 kejadian per 100.000
penduduk tiap tahunnya. Di India Selatan, 35% ulkus kornea karena bakteri, dan
32% karena fungi. Beberapa penyebab keratitis virus ialah adeno virus, herpes
simplex viru, herpes zoster. Herpes simpleks saat ini menjadi penyebab utama
kebutaan yang infeksius di negara berkembang karena HSV dapat menyebabkan
opasifikasi pada stromal. Insiden globalnya meliputi 1.5 juta, meliputi, 40.000 kasus
baru dnegan kerusakan visual monokular setiap tahunnya. Adenovirus seringkali
menjadi 92% penyebab viral keratokonjungtivitis terbanyak. Tidak terdapat
perbedaan jenis kelamin pada keratitis akibat adenovirus (Farooq and Shukia,
2012).
Uveitis menyebabkan 10% kebutaan di Amerika Serikat, meskipun
demikian insidennya hanya meliputi 15/100.000 orang per tahun. prevalensi ini
bervariasi tergantung pada lokasi geografiknya, umur, dan waktunya.
Di California, insidennya meliputi 52.4/100.000 orang/tahun, 3 kali lebih
banyak dari Amerika Serikat (Grits, et al., 2007). Berdasarkan umur, paling sedikit
terjadi pada pediatrik dan tertinggi di usia sekitar 65 tahun. wanita lebih sering
terkena (Nagpal. et al., 208). Berdasarkan ditribusinya terbanyak meliputi bagian
anterior, kemudian panuveitis, kemudian posterior uveitis dan yang terakhir uveitis
intermediate. Biasanya sebagian besar disebabkan oleh idiopatik yang biasanya
tampak pada uveitis anterior dan k infkesi bila pada uveitis posterior. Penyakit
Behcet banyak di Tukey dan Cina, Uveitis viral dan toxoplasmosis banyak di Timur
tengah dan Perancis (Rathinam and Namperumalsamy, 2007).
2.2
Anatomi
2.2.1
Anatomi Kornea
muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan maju lagi menjai sel
skuamous. Area yang paling luar terdapat mikroplika dan mikrovili yang
memfasilitasi perlekatan pada tear film dan musin. Stem sel kornea terletak pada
limbus sklerokorneal, yaitu pada palisade Vogt. Kekurangan dapat mengakibatkan
defek epitelual dan konjungtivalisasi yang merupakan instabilitas dari epitel,
vaskularisasi, dan penampakkan pada sel goblet. Ini semua sangat penting sebaga
penghalang fisiologis, mencegah jaringan konjungtiva dari bergerak ke konjunctiva,
mencegah jaringan konjunctiva.
Lapisan Bowman, merupakan lapisan aselular superfisialis pada stroma da
yang dibentuk oleh serat kolagen, lapisan ini tidak mem[unyai daya regenerasi.
Stroma membentuk 90% ketebalan kornea. Terdiri atas lamel yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu sama lain, permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedangkan di bagian perifer serat ini bercabang. Jarak antara 1 dengan
yang lain dipertahankan dengan substansi proteoglikan chondroitin sulphate and
keratan sulphate . terbentuknnya kembali serat kolagen memakan waktu 15 bulan,.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibriblast terletak diantara
serat kolagen stroma.
Lapisan membrane desemen,
merupakan membrean
aselular
dan
merupakan batas belakang stroma, bersifat elastic dan memiliki potensi. Endotel
berasal
dari
mesotelium,
berlapis
satu,
bentuk
helsgonal.
Sel
endotel
(Kanski, 2015 ).
2.2.2
Anatomi Uvea
Traktus uvea meliputi iris, badan siliar, dan koroid yang merupakan lapisan
vascular yang juga mesuplai retina (Asbury, et al., 2007).Perdarahan pada uvea
dibedakan antara anterior dan superior. Bagian anterior diperdarahi oleh 2buah
arteri siliar posterior longus yang masuk dengan menembus sclera dari temporal
dan nasal dekat saraf optikus dan 7 arteri siliar anterior, yang terdapat 2 pada
setiap otot superior, medial inferior pada otot rektus lateral. Arteri ini bergabung
membentuk areteri siliaris mayor pada badan siliar.Sedangkan uvea posterior
mendapatkan perdarahan dari 15-20 arteri siliar antara bola mata dan otot rektus
lateral (Sidharta, 2015).
Sedangkan persarafan untuk uvea ialah saraf sensoris, saraf simpatis, dan
parasimpatis. Saraf sensoris berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung
serabut sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar, saraf simpatis membuat pupil
berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang melingkari arteri karotis,
mempersarafi pumbuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil, dan akar saraf motor
yang memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil (Sidharta, 2015).
Iris mempunyai kemampuan untuk mengatur cahaya yang masuk ke dalam
bola mata melalui reaksi pupil.Dimana dia diatur oleh saraf simpatis (midriasis) dan
parasimpatis (miosis).Badan siliar merupakan susunan otot yang melingkar dan
emmpunyai system ekskresi di belakang limbus, yang mengakibatkan melebarnya
pembuluh darah di limbus, sehingga tampak mata merah dan gambaran
karakteristik radang intraocular. Otot longitudinal berinsersi di daerah baji sclera
bila berkontraksi akan membuka trabecular meshwork dan mempercepat aliran
cairan mata. Otot melingkar badan diliar bila berkontraksi pada akomodasi
mengakibatkan menggendornya zonula zinn sehingga terjadi pencembungan
lensa.Keduanya dipersarafi oleh saraf parasimpatik dan bereaksi dengan obat
parasimpatomimetik (Sidharta, 2015).
2.3
kerusakkan epitel, lensa kontak yang mngakibatkan infeksi sekunder dan non
infeksi keratitis, daya imunitas yang berkurang, pemkaian kortikosteroid, musim
panas dan daerah yang lembab, herpes genital (Sidharta, 2015).Pada keratitis oleh
virus seperti pada keratitis karena herpes simpleks faktor resiko terjadinya ialah
dari terpapar dengan viral yang berlangsunga simptomatik.Akan tetapi ini bisa
reaktifasi, faktor resikonya ialah trauma, sinar matahari, panas, menstruasi, stress,
penyakit infeksi, dan keadaan imunokompromis (AAO, 2005).
Faktor resiko uveitis anatra lain HLA-B27 alel, ankylosing spondylitis,
psoriatic arthritis (American Uveitis Society, 2003).
2.4
2.4.1
ini
dapat
menetap
karena
kemampuan
pemulihan
endotel
yang
interstitial).Lesi
pada
kornea
juga
mengakibatkan
pandangan
kabur.Potofobia pada kornea merupakan hasil dari kontraksi yang nyeri pada iris
yang inflamasi.Dilatasi pada pembuluh iris merupakan fenomena reflek yang
disebabkan iritasi pada serabut saraf kornea (Asbury, et al., 2007).
2.4.2
Pada limbus sangat banyak terdapat sel Langerhans. Sebaliknya, tidak terdapat
APC pada kornea parasentral dan sentral. Stimulus seperti trauma mengakibatkan
terlibatnya sitokim-sitokin tertentu (IL-1). Selain itu, infeksi dapat merekruit APC
menuju ke kornea sentral. Sel pada kornea juga menunjukkan sintesis antimikroba
dan imunoregulator protein. Sel efektor umumnya tidak ada, akan tetapi neutrophil,
monosit, dan limfosit dapat bermigrasi melalui stroma jika adanya aktivasi stimuli
kemotaktik yang cukup. Limfosit, monosit, dan neutrophil dapat juga menempel
pada permukaan endotel selama inflamasi, memberikan bentukan keratik presipitat
atau garis khodadoust pada rejeksi endothelial (Streilein, et al., 2002).
2.4.3
Patogenesis Keratitis
Sebagian besar inflamasi pada kornea ditandai dengan edema lokal ataupun
difus yang non spesifik, yang dimanifestasikan sebagai hilangnya transparansi dari
kornea. Reaksi vaskuler awal pada inflamasi kornea adalah hiperemi perilimbal,
yang dapat bersifat sektoral ataupun menyebar hingga ke seluruh kuadran dari
mata. Sel inflamasi pada kornea berasal dari pembuluh darah limbus baik yang
superfisial maupun dalam. Leukosit juga bermigrasi ke lokasi adanya stimulus
makrofag (sel fagosit) yang berasal dari limbus, bersamaan dengan makrofag yang
berasal dari sel stroma, mulai memakan mikroorganisme dan produk hasil
inflamasi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa antigen yang terkait dengan
makrofag merupakan suatu hal yang penting untuk memulai stimulasi elemen
limfosit dan respon imun spesifik.
10
11
disertai
konjungtivitis
folikularis
akut
dan
adanya
pembentukan
memberikan
gambaran
patchy
atrophy
di
sekitar
sphincter
12
Keratitis Bakterial
Dari anamnesa, akan didapatkan keluhan berupa rasa nyeri, fotofobia,
pandangan kabur, serta sekret mukopurulen hingga purulen (Kanskis Clinical
Ophtalmology, 2015).
Pemeriksaan fisik akan menunjukkan hasil sebagai berikut :
-
Defek epitel dengan infiltrate luas dan injeksi kornea yang bermakna
Edema stromal, lipatan di membrane Descement, serta uveitis anterior
Chemosis dan edema palpebra pada kasus sedang-berat
Ulkus yang parah dapat mengakibatkan terbentuknya descemetocoele dan
13
kecurigaan
endoftalmitis.
Tetrasiklin
dapat
diberikan
sebagai
antikolagenase ketika terjadi penipisan yang signifikan. TIO harus dimonitor secara
berkala. Tindakan yang dapat dilakukan pada keratitis fungal adalah keratektomi
superficial dan keratoplasty terapeutik (Kanskis Clinical Ophtalmology, 2015).
Herpes Simplex Keratitis
Infeksi primer umumnya terjadi pada usia anak dan sebagian besar menyebar
melalui droplet. Gejala yang dikeluhkan pasien pada stadium ini sebagian besar
merupakan gejala subklinis atau hanya berupa demam yang tidak terlalu tinggi,
kelemahan, serta gejala pada saluran nafas atas. Blepharitis dan konjungtivitis
folikular juga dapat terjadi, namun kebanyakan ringan dan dapat sembuh dengan
sendirinya.
Stadium yang selanjutnya adalah infeksi berulang. Pada fase ini, perjalanan
penyakit akan bertahap dari infeksi primer hingga menjadi reaktivasi subklinis.
Setelah itu akan terjadi reaktivasi klinis yang dipicu akibat adanya demam,
perubahan hormonal, radiasi UV, trauma, ataupun kerusakan pada nervus
trigeminus. Keratitis akibat HSV dapat berupa keratitis epithelial maupun keratitis
disciformis. Pengobatan terhadap keratitis akibat HSV adalah berupa agen antiviral
seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, serta valganciclovir.
Herpes Zoster Ophtalmika
Keratitis yang terkait dengan infeksi Herpes Zoster memiliki fase prodromal
yang ditandai dengan munculnya ruam. Ruam pada HZO awalnya berbentuk area
kemerahan yang nyeri dan selanjutnya akan berkembang menjadi vesikel. Fase ini
akan bertahan selama 3-5 hari dengan gejala berupa kelelahan, demam,
kelemahan, dan nyeri kepala. Gejala neurologis berupa gatal, kesemutan, ataupun
sensasi terbakar akan muncul sesuai dengan dermatom yang terkena.
Gejala pada mata dapat berupa keratitis epithelial akut yang ditandai dengan
lesi dendritik yang lebih kecil dan halus dibandingkan dendrite pada herpes
simpleks,
konjungtivitis,
episkleritis
dan
skleriitis,
keratitis
14
ataupun
carbamazepin.
Gabapentin
dan
pregabalin
juga
15
dan
juga
merupakan
penyebab
utama
dari
epidemic
keratoconjunctivitis. Virus ini menyebar melalui droplet dan cairan tubuh dari
pasien yang terinfeksi melalui hidung, tenggorokan, dan konjungtiva (Kishan et.al,
2015). Masing-masing subtype dari adenovirus memberikan gejala yang mata.
Secara umum, penyakit mata akibat adenovirus dapat muncul sebagai 1 dari 3
sindroma
klasik,
yakni
pharyngoconjunctival
simple
fever
follicular
(serotype
conjunctivitis
3
atau
7),
(semua
serotype),
serta
epidemic
keratoconjunctivitis
adalah
satu-satunya
manifestasi
infeksi
adenovirus pada mata yang memberikan gangguan yang signifikan pada kornea.
Infeksi biasanya terjadi bilateral dan muncul setelah terjadi suatu episode infeksi
saluran pernafasan atas (ISPA). Konjungtivitis folikular berat akan muncul setelah
7-10 hari pasca inokulasi, yang berhubungan dengan terjadinya keratitis epithelial
punctata. Pada pemeriksaan akan didapatkan chemosis, bintik perdarahan
ptechiae, dan terkadang perdarahan subkonjungtiva. Adenopati preaurikular sangat
menonjol. Dapat terbentuk membrane ataupun pseudomembran pada tarsus
konjungtiva. Pasien akan mengeluhkan adanya mata berair, sensitivitas terhadap
cahaya, dan sensasi adanya benda asing di mata. Erosi kornea geografis luas di
sentral dapat terbentuk dan bertahan selama beberapa hari. Dalam 7-14 hari
setelah onset, infiltrat pada kornea di lapisan subepitelial (stromal) yang bersifat
multifokal dapat terlihat pada pemeriksaan dengan slit lamp. Fotofobia dan
penurunan visus akibat infiltrat tersebut dapat menetap selama beberapa bulan
ataupun tahunan. Komplikasi kronis pada konjungtiva dapat berupa scar pada
subepitelial kornea, simblefaron, dan sindroma mata kering akibat adanya
16
17
pasti dari suatu keratitis.Steroid topikal dapat diberikan untuk mengurangi fotofobia
dan memperbaiki gangguan penglihatan akibat infiltrat subepitelial akibat
adenovirus. Namun, pemakaian steroid hanya dibatasi pada pasien dengan
indikasi spesifik seperti adanya membran pada konjungtiva dan gangguan
penglihatan akibat infiltrat subepitelial bilateral. Pada pasien dengan membrane
pada konjungtiva, harus dilakukan pengambilan manual oleh dokter dengan
menggunakan forsep atau dengan lidi kapas setiap 2-3 hari, dikombinasikan
dengan steroid topikal untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah
terjadinya jaringan parut.
Pasien dengan infeksi yang masih aktif dapat menyebarkan virus ini dengan
cepat, sehingga penularan harus dicegah dengan menjaga higienitas seperti sering
mencuci tangan, handuk, sapu tangan, maupun sarung bantal serta membuang
setiap tisu yang sudah terkontaminasi pada tempatnya. Pasien yang bekerja dan
berhubungan dengan masyarakat harus mengambil hari libur untuk menghindari
penularan pada orang lain. Pasien dikatakan masih infeksius jika pasien masih
menunjukkan gejala mata merah dan berair.
2.7 Komplikasi Keratitis
Keratitis yang tidak tertangani dengan baik dapat menimbulkan berbagai
macam komplikasi pada mata. Beberapa komplikasi dari keratitis di antaranya
adalah inflamasi kronis pada kornea, terbentuknya ulkus kornea, terbentuknya
jaringan parut (scar) pada kornea, hingga hilangnya penglihatan pada mata yang
terinfeksi. Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah uveitis.
Uveitis merupakan peradangan pada uvea. Uveitis dapat terjadi sebagai suatu
komplikasi dari keratitis akibat respon uvea terhadap kornea yang terpenuhi oleh
antigen (Jones, 1958).
Gejala uveitis secara umum adalah mata merah, nyeri, fotofobia, epifora, dan
gangguan penglihatan, baik berupa pandangan kabur, skotoma, maupun floaters.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan juga adanya injeksi siliar, miosis,
hipopion, adanya sel radang pada kamera okuli anterior, keratic precipitate,
eksudat fibrin, nodul pada iris, sinekia (anterior ataupun posterior), atrofi iris, band
keratopathy, rubeosis iridis, serta penurunan TIO. Terapi yang dapat diberikan
pada uveitis adalah agen midriatil, siklopegia, NSAID, steroid, dan imunomodulator.
18
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1
3.2
3.2.1
3.2.2
Identitas
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
: Ny. S
: 60 tahun
: Perempuan
: Islam
: Petani
: Ds. Kasin 27/09 Karangploso
Anamnesis
Keluhan Utama
Penglihatan mata kiri kabur
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merasakan mata kiri kabur sejak 1 minggu sebelum ke poli mata
RSSA. Pasien merasa pandangan tertutup bayangan. Selain itu pasien juga
mengeluhkan silau yang berlebihan saat melihat cahaya. Mata merah (+)
sejak 10 hari sebelum ke poli mata RSSA, nyeri (+), nrocoh (+). Saat ini
keluhan dirasa sudah cukup membaik.
Pasien memiliki riwayat trauma mata kelilipan padi sebelum keluhan mata
3.2.3
merah dirasakan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat HT dengan tensi 150/100 namun pasien tidak rutin
mengkonsumsi obat hipertensi. Riwayat DM disangkal. Riwayat nyeri sendi,
batuk lama, kelainan di kulit beberapa hari sebelum keluhan muncul
3.2.4
disangkal.
Riwayat Terapi
Pasien awalnya menggunakan pengobatan berupa obat tetes mata Herbal
dan obat tetes mata Visine, masing-masing 2x1 tetes tiap harinya. Namun,
keluhan dirasa tidak membaik sehingga pasien berobat ke poli mata RSSA.
Pasien kemudian 4 hari yang lalu berobat ke Poli Mata RSSA, didiagnosis
dengan keratokonjungtivitis dan diberi pengobatan Levofloxacin eye drop
3.2.5
3.2.6
Visus
Orthophoria
Kedudukan
Orthophoria
19
Gerakan
Bola Mata
Spasme (-), Edema (-)
Palpebra
Konjungtiva
Jernih
Kornea
Dalam
C.O.A
Radline
Iris
Bulat,diameter 3mm, RP
Pupil
Keruh tipis
Lensa
Jernih
n/p
TIO
n/p
(+)
OD
OD
OS
OS
20
3.8
Prognosis
Ad visam
: dubia ad bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Ad kosmetika
: dubia ad bonam
21
Ad sanam
: dubia
Ad vitam
: bonam
3.9 Follow Up
30 September 2015
Keluhan utama: keluhan sudah membaik, kabur sudah berkurang, merah (-)
nyeri (-), nrocoh (-), klawer-klawer (-).
22
23
Pemeriksaan Fisik
5/20F ph 5/8.5
Visus
Orthophoria
Kedudukan
Orthophoria
Gerakan
Bola Mata
Spasme (-), Edema (-)
Palpebra
Konjungtiva
Jernih
Kornea
Dalam
C.O.A
Radline
Iris
Bulat,diameter 3mm, RP
Pupil
Jernih
Lensa
Jernih
n/p
TIO
n/p
(+)
24
Diagnosa Kerja
OS Keratouveitis suspek viral dengan perbaikan
Terapi
BAB IV
PEMBAHASAN
Secara epidemiologi, keratouveitis paling jarang terjadi pada pasien pediatrik
dan paling sering ditemukan pada pasien usia sekitar 65 tahun. Keratouveitis lebih
sering mengenai wanita dibandingkan dengan laki-laki. Faktor resiko pada
keratouveitis secara umum ialah defisiensi vitamin A, trauma dan kerusakan epitel,
pemakaian lensa kontak, daya imunitas yang berkurang, pemakaian kortikosteroid,
musim panas dan daerah yang lembab, serta herpes genital. Pada keratitis oleh
virus, faktor resiko reaktifasi ialah trauma, sinar matahari, panas, menstruasi,
stress, penyakit infeksi, dan keadaan imunokompromis. Pada kasus ini, didapatkan
bahwa usia pasien adalah 60 tahun dan pasien berjenis kelamin wanita. Pasien
tersebut memiliki riwayat trauma dan kerusakan epitel pada mata yang terinfeksi,
25
terpapar sinar matahari, panas, dan suhu yang lembab. Hal ini sesuai dengan
epidemiologi serta faktor resiko keratouveitis pada landasan teori.
Pasien dengan keratouveitis secara umum akan mengeluhkan adanya mata
merah, nyeri, fotofobia, epifora (banyak keluar air mata), perasaan adanya
benda asing dan pandangan kabur pada mata yang terinfeksi. Pada keratitis
bakterial, akan didapatkan keluhan yang lebih spesifik berupa sekret
mukopurulen hingga purulen. Keratitis fungal akan memberikan keluhan berupa
nyeri gradual, perasaan mengganjal pada mata, fotofobia, pandangan kabur dan
sekret yang bersifat watery hingga mukopurulen. Pasien dengan Herpes Zoster
Ophtalmika dapat memberikan keluhan spesifik berupa nyeri pada mata disertai
munculnya lesi kulit berbentuk vesikel bergerombol yang mengikuti alur dermatom
dan nyeri.
memberikan gambaran yang mirip, yakni mata merah, nyeri, mata berair, sekret
mukoid, dan rasa gatal pada mata. Namun, pada EKC pasien akan cenderung
mengeluhkan adanya mata berair, sensitivitas terhadap cahaya, dan sensasi
adanya benda asing di mata. Keluhan biasanya muncul setelah terjadi suatu
episode ISPA. Gejala uveitis secara umum adalah mata merah, nyeri, fotofobia,
epifora, dan gangguan penglihatan, baik berupa pandangan kabur, skotoma,
maupun floaters. Pada uveitis anterior gejala yang muncul meliputi nyeri unilateral,
fotofobia, mata merah disertai sekret watery, terkadang dengan sedikit rasa tidak
nyaman pada mata selama beberapa hari.
Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan pandangan mata kiri kabur
disertai dengan mata merah, rasa nyeri pada mata kiri, rasa panas pada mata,
mata berair, terasa mengganjal, dan sensitif terhadap cahaya. Pasien juga
mengaku beberapa hari sebelum muncul keluhan pada mata, pasien mengalami
batuk yang tidak terlalu mengganggu. Tidak ditemukan adanya keluhan secret
mukopurulen maupun adanya lesi kulit berbentuk vesikel bergerombol yang
mengikuti alur dermatom dan nyeri. Maka pasien ini dapat didiagnosis sebagai
keratouveitis dengan kecurigaan virus sebagai organisme penyebab.
Pada pemeriksaan fisik, gambaran yang mungkin didapatkan pada pasien
dengan keratouveitis dapat berupa visus yang menurun. Gambaran lain dari
keratouveitis adalah gambaran keratitis punctata difusa non spesifik yang sering
disertai konjungtivitis folikularis akut dan adanya pembentukan pseudomembran.
Namun, bila infeksi tersebut merupakan infeksi rekuren, gambaran yang
didapatkan mungkin berupa lesi kornea khas berbentuk dendrite, geografis,
disiformis, maupun punctata. Tes fluoresin akan menunjukkan hasil positif dan tes
26
sensibilitas akan menurun sampai dengan negatif. Selain itu, juga bisa didapatkan
neurotrophic ulcer (ulkus steril dengan tepi epitel yang halus pada area stroma
kornea interpalpebral yang menetap atau memburuk setelah terapi antiviral) serta
scar/ghost dendritic.
Tanda lain yang bisa didapatkan pada pemeriksaan segmen anterior adalah
spasme ataupun edema ringan pada kelopak mata, konjungtiva yang hiperemis,
dilatasi pembuluh darah di sekitar limbus (hiperemi perikorneal), keratik presipitat,
flare disertai hipopion atau fibrin, edema iris, sinekia, serta reflek pupil yang lambat
hingga negatif.
Hasil pemeriksaan fisik pada keratouveitis viral juga dapat ditentukan dari jenis
virus penyebab dari penyakit tersebut. Uveitis anterior herpetik memberikan
karakteristik berupa keratik presipitat yang bersifat difus, inflamasi sedang, sinekia
posterior, dan atrofi iris, baik sektoral maupun difus. Uveitis yang dikarenakan HSV
cenderung
memberikan
gambaran
patchy
atrophy
di
sekitar
sphincter
27
dapat terlihat pada pemeriksaan dengan slit lamp. Selain itu, penurunan
sensibilitas kornea juga dapat ditemukan pada pasien dengan EKC.
Pada kasus ini, dari pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan hasil berupa CI,
PCI, erosi kornea, infiltrat subepitel berbentuk disiformis, edema kornea, dan
Keratic Precipitate putih di sentral. Tes fluoresin pada pasien ini memberikan hasil
yang positif. Gambaran pemeriksaan fisik tersebut juga menunjukkan bahwa
pasien menderita keratouveitis. Selanjutnya, masih perlu dilakukan pemeriksaan
sensibilitas kornea untuk mengarahkan kemungkinan agen penyebab keratouveitis
pada pasien ini.
Tatalaksana pada keratitis, terutama yang diakibatkan oleh virus, awalnya
lebih bersifat supotif. Kompres dingin dan artificial tears dapat membantu secara
simptomatik. Antibiotik topikal hanya diindikasikan pada pasien dengan gejala klinis
mengarah ke infeksi bakteri ataupun ketika viral belum dapat dipastikan sebagai
penyebab pasti dari suatu keratitis. Steroid topikal dapat diberikan untuk
mengurangi fotofobia dan memperbaiki gangguan penglihatan akibat infiltrat
subepitelial akibat adenovirus. Namun, pemakaian steroid hanya dibatasi pada
pasien dengan indikasi spesifik seperti adanya membran pada konjungtiva dan
gangguan penglihatan akibat infiltrat subepitelial bilateral. Pada pasien dengan
membrane pada konjungtiva, harus dilakukan pengambilan manual oleh dokter
dengan
menggunakan
forsep
atau
dengan
lidi
kapas
setiap
2-3
hari,
28
BAB V
KESIMPULAN
60
tahun.
Diagnosis
ditegakkan
berdasarkan
anamnesa,
29
sentral. Tes fluoresin pada pasien ini memberikan hasil yang positif. Pasien
ditatalaksana dengan menggunakan Vosama eye drop 6x1 OS, Levofloxacin
eyedrops 4x1 OS, dan Protagent A eyedrops 6x1 OS. Pada follow up pasien
menunjukkan perbaikan yang berarti, sehingga dapat disimpulkan pemberian
tatalaksana sudah cukup tepat dan adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
American Association of Ophtalmology Basic and Clinical Science Course,
External Disease and Cornea, 2005-2006, 134-145
American Association of Ophtalmology Basic and Clinical Science Course,
Intraocular Inflammation and Uveitis, 2005-2006, 85-115.
Ashbury T, et al., 2007, General Ophthalmology, Lange: California
Beiser, JA, Rota PA, Tumpey M. Ocular Tropism of Respiratory Viruses. American
Society for Microbiology. 2013, 77: 144-156
30
31
32