Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
MANAJEMEN KHUSUS
Dalam terapi DE, yang menjadi sasaran terapi (bagian yang akan diterapi) adalah ereksi
penis. Berdasarkan sasaran yang diterapi, maka tujuan terapi adalah meningkatkan kualitas dan
kuantitas ereksi penis yang nyaman saat berhubungan seksual. Kualitas yang dimaksud adalah
kemampuan untuk mendapatkan dan menjaga ereksi. Sedangkan kuantitas yang dimaksud adalah
seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi (waktu untuk tiap-tiap orang
berbeda untuk mencapai kepuasan orgasme, tidak ada waktu normal dalam ereksi).
Sebelum memilih terapi yang tepat, perlu diketahui penyebab atau faktor risiko pada
pasien yang berperan dalam menyebabkan munculnya DE. Hal ini terkait dengan beberapa
penyebab DE yang terkait. Dengan demikian, jika diketahui penyebab DE yang benar maka
dapat diberikan terapi yang tepat pula. Terapi untuk DE dapat dibedakan menjadi dua yaitu terapi
tanpa obat (nonfarmakologis pola hidup sehat dan menggunakan alat ereksi seperti vakum
ereksi) dan terapi menggunakan obat (farmakologis).
Yang pertama kali harus dilakukan oleh pasien DE adalah harus memperbaiki pola hidup
menjadi sehat. Beberapa cara dalam menerapkan pola hidup sehat antara lain olah raga, menu
makanan sehat (asam amino arginin, bioflavonoid, seng, vitamin C dan E serta makanan
berserat), kurangi dan hindari rokok atau alkohol, menjaga kadar kolesterol dalam tubuh,
mengurangi berat badan hingga normal), dan mengurangi stres. Jika dengan menerapkan pola
hidup sehat, pasien sudah mengalami peningkatan kepuasan ereksi maka pasien DE tidak perlu
menggunakan obat atau vakum ereksi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen DE menyangkut terapi
psikologi, terapi medis dan terapi hormonal yaitu :
Terapi psikologi yaitu terapi seks atau konsultasi psikiatrik, percobaan terapi (edukasi,
Apabila penyebab disfungsi ereksi tersebut ialah faktor organik, Stewart (1993c) menganjurkan
lima langkah berikut sebelum dilakukan terapi khusus, yakni:
1) dipertimbangkan apakah perlu dilakukan terapi spesifik;
2) pengobatan terhadap masalah psikogenik sekunder;
3) menyingkirkan faktor yang memperberat disfungsi ereksi;
4) memperbaiki kondisi atau faktor kesehatan umum;
5) mempertimbangkan kenyataan bahwa umur berperan pada penurunan libido dan frekuensi
ereksi.
Sebelum pemberian suatu obat, perlu dipertimbangkan adanya penyakit-penyakit yang diderita,
obat yang telah diperoleh, kepuasan pasangan, kenyamanan dengan metoda pemberian obat serta
profil efek sampingnya (Viera et al., 1999). Pada menejemen operatif, pilihan terapi disfungsi
ereksi ialah bedah vaskuler atau implantasi prostesis penis, dengan mempertimbangkan
kemungkinan adanya kontra indikasi. Implantasi prostesis penis mempunyai tingkat kepuasan
tinggi, akan tetapi tidak direkomendasikan sebagai pilihan utama oleh karena kemungkinan
menimbulkan kerusakan permanen pada jaringan penis (korpus kavernosum). Alat bantu ereksi
vacuum constriction devices ternyata dapat diterima oleh sekitar 75 persen pasien (Manning,
1998).
Berbagai usaha juga dapat dilakukan dalam pengelolaan impotensi, yaitu:
1) farmakoterapi oral, misalnya yohimbin, sildenafil;
2) injeksi intrakavernosa.Menurut studi Tsai et al . (2000), injeksi alprostadil intra kavernosa
masih dipertimbangkan sebagai cara yang relatif efektif dan aman pada sejumlah pasien diabetik
dengan disfungsi ereksi.(Sobocinski et al. 1998) mendapatkan efektivitas terapi alprostadil
bervariasi 50-67 persen. Dosis paling efektif ialah 20 mg, sementara dosis efektif minimal ialah
10 mg;
3) prostesis penis. Carson et al. (2000) menyatakan bahwa implan AMS 700CX menghasilkan
ereksi cukup bagus, sangat memuaskan pada pemantauan jangka penjang sebagian besar pasien.
Akoz et al. (1999) menganjurkan memakai flap tulang iliaka sebagai penunjang penis, oleh
karena menurut pengamatannya dengan pemantauan selama satu tahun menunjukkan fungsi
seksual baik;
4) vacuum devices;
5) revaskularisasi arteriel. Sica et al. (1999) mengatakan bahwa tidak ada prosedur
revaskularisasi tunggal telah diterima untuk mengatasi masalah impotensi vaskulogenik.
Revaskularisasi arteriel tidak direkomendasikan untuk pasien dengan DM oleh Zumbe et al.
(1999). Peneliti tersebut merekomendasikan indikator seleksi kasus revaskularisasi penis sebagai
berikut: (a) gagal dengan injeksi intra kavernosa, (b) usia kurang dari 55 tahun, (c) nondiabetik
(d) tidak ada kebocoran kavernosa, dan (e) stenosis di arteria pudenda interna; 6) pengobatan
kerusakan vena; 7) pengobatan hormonal; dan 8) terapi seks.
Sildenafil merupakan salah satu obat yang telah terbukti bermanfaat untuk terapi disfungsi ereksi
laki-laki diabetik. Dosis awal ialah 50 mg (oral) kemudian dapat diturunkan menjadi 25 mg atau
dinaikkan menjadi 100 mg tergantung respon penderita. Studi yang dilakukan oleh Rendell et al .
(1999) menunjukkan bahwa sildenafil oral merupakan obat efektif dan dapat ditolerir dengan
baik oleh laki-laki diabetik.
Studi tersebut juga melaporkan adanya efek samping berupa nyeri kepala, dispepsia, gangguan
saluran nafas, dan kardiovaskuler. Insidensi efek samping kardiovaskuler sama besar antara
subjek dengan kontrol. Efek samping paling banyak terjadi menurut Assouline-Dayan et al.
(1998) dan Price et al. (1998) ialah nyeri kepala, flushing, nyeri otot, dan gangguan saluran
cerna, bahkan ada laporan menimbulkan kematian. Kloner dan Jarow (1999) mengatakan bahwa
sildenafil sitrat kontraindikasi mutlak pada pasien yang mendapat nitrat organik. Cohen (2000)
mendiskusikan keuntungan dan kerugian mulai pengobatan dengan sildenafil dosis rendah.
Keuntungan pendekatan tersebut termasuk: 1) mengidentifikasi pasien sangat sensitif pada efek
sildenafil dan memerlukan dosis lebih; 2) meminimalkan efek samping seperti flushing dan
pusing yang sering menakutkan pasien dan mempengaruhi kepatuhan; 3) menghindari efek
samping yang berat; dan 4) menjamin pasien tetap berhati-hati dalam menggunakan terapi
sildenafil. Kalinichenko et al . (1999) menyatakan bahwa efek paling bagus sildenafil sitrat
tercapai dengan dosis 100 mg (efektif pada 68,5 persen pasien) sementara dengan dosis 50 mg
efektif pada 31,5 persen, dan dosis 25 mg efektif pada 0 persen pasien. Cumings dan Alexander
(1999) menyatakan bahwa sildenafil merupakan obat pilihan pertama pasien disfungsi ereksi
pada pasien diabetes melitus .
Vardenafil, suatu penyekat fosfodiesterase-5, ternyata cukup bagus untuk kasus disfungsi ereksi
dengan diabetes mellitus (Goldstein, et al., 2003). Vardenafil secara statistik meningkatkan
kemampuan ereksi, dan dapat ditoleransi dengan baik pada pasien diabetik dengan disfungsi
ereksi. Telah dilakukan penelitian buta-ganda multisenter (placebo-controlled fixed-dose
parallel-group phase III trial ) pada 452 pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 atau 2, dengan
disfungsi ereksi, yang secara acak mendapat dosis 10 mg, 20 mg vardenafil atau plasebo sesuai
kebutuhan selama 12 minggu. Respon efikasi diuji dengan International Index of Erctile
Function domain scores , banyaknya penetrasi vaginal dan suksesnya hubungsn kelamin, dan
Global Assessment Question (GAQ) tentang perbaikan ereksi selama 4 minggu sebelumnya.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa vardenafil meningkatkan fungsi ereksi dan umumnya
ditoleransi dengan baik oleh subjek dengan diabetes melitus dan disfungsi ereksi.
Dewasa ini terapi obat menjadi sangat penting. Penyekat fosfodiesterase baru dewasa ini sedang
dalam uji praklinik. Fentolamin dan apomorfin rupa-rupanya akan segera tersedia untuk terapi
disfungsi ereksi (Trummer, 2000). Dinsmore et al. (1999) mengkombinasi VIP dengan
fentolamin mesilat injeksi intrakorporeal, dan ternyata efektif dan aman pada pasien-pasien
disfungsi ereksi nonpsikogenik.
Kebanyakan dari pria yang menderita disfungsi ereksi dapat diterapi dengan berhasil dengan
salah satu pedekatan dibawah ini. Pria yang tidak menderita disfungsi organik kemungkinan
lebih menguntungkan dengan terapi seks yang beroriaentasi pada tingkah laku (behavioral ).
Berikut ini beberapa penjelasan tetang beberapa macam terapi pada disfungsi ereksi (Macphee,
2006):
Terapi penggantian hormone
Injeksi testosteron (200 mg intramuscular setiap 3 minggu) atau testosterone topical (2.56
mg/hari) diberikan pada pria dengan defisiensi androgen yang telah menjalani pemeriksaan
endokrin.
Alat vakum konstriksi
Alat vakum konstriksi adalah alat yang berbentuk silinder yang menjadikan penis dalam kondisi
ereksi dengan memacu kondisi vakum dalam silinder. Alat vakum konstriksi adalah alat yang
berbentuk silinder yang menjadikan penis dalam keadaan ereksi dengan cara induksi fakum yang
terdapat dalam silinder. Ketika fase tumescence telah tercapai alat konstriksi dari karet atau
pembalut ditempatkan mengelilingi sekitar proksimal penis untuk mencegah hilangnya ereksi,
selanjutnya silinder di pindah. Alat ini cocok untuk pasien dengan gangguan vena pada penis dan
yang gagal mencapai ereksi yang cukup dengan injeksi bahan vasoaktif. Komplikasi penggunaan
alat ini jarang terjadi.