Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Golongan darah merupakan ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya
perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah.
Golongan darah ditentukan oleh jumlah zat yang terkandung di dalam sel darah merah.Dua
jenis penggolongan darah yang paling penting adalah penggolongan A-B-O dan Rhesus
(faktor Rh). Rh atau Rhesus (juga biasa disebut Rhesus Faktor) pertama sekali ditemukan
pada tahun 1940 oleh Landsteiner dan Weiner. Dinamakan rhesus karena dalam riset
digunakan darah kera rhesus (Macaca mulatta), salah satu spesies kera yang paling banyak
dijumpai di India dan Cina.
Pada sistem ABO, yang menentukan golongan darah adalah antigen A dan B,
sedangkan pada Rh faktor, golongan darah ditentukan adalah antigen Rh (dikenal juga
sebagai antigen D).Sekitar 85% orang-orang Eropa mempunyai golongan
Rhesus
Positif(Rh Positif). Pada 15% sisanya, yang sel-selnya tidak diagglutinasikan disebut
golongan Rhesus negatif .Pada orang indonesia , golongan darah Rhesus negatif relatif
jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus
negatif.
Secara genetik, rhesus positif dominan terhadap rhesus negatif. Perbedaan rhesus
yang terjadi pada sang ibu dengan sang janin merupakan suatu keadaan yang sangat
berbahaya karena dapat menimbulkan terjadinya eritroblastosis pada fetal.
1.2 Tujuan
Pembuatan laporan ini bertujuan untuk:
a. Definisi golongan darah rhesus
b. Sejarah rhesus
c. Pemeriksaan golongan darah rhesus
d. Inkompatabilitas rhesus
e. Cara pencegahan
1.3 Manfaat
1
Dengan adanya pembuatan laporan yang berjudul Golongan Darah Rhesus Manfaat
yang dapat diambil adalah mendapat ilmu baru yang berkaitan dengan golongan darah
rhesus
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi rhesus
Sistem rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Masih banyak
perdebatan
baik
mengenai
aspek
genetika,
nomenklatur
maupun
interaksi
antigeniknya. Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen
pada eritrositnya sedang rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak
mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan
antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak
seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan
mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem rhesus
pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu eksposure apakah itu dari transfusi
atau kehamilan.
Sistem golongan darah rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan
dengan sistem golongan darah lainnya. Dengan pemberian darah rhesus positif (D+)
satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai
golongan darah rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti rhesus positif (antiD) walaupun golongan darah ABO nya sama. 1 Anti D merupakan antibodi imun tipe
IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap (sedimentation coefficient) 7 detik,
thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum juga cairan tubuh, seperti air
ketuban, air susu dan air liur.
Imun antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi
janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis. Penyakit hemolisis pada
janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun
antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO) dan merupakan
salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik terhadap
eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab
hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang
merusak eritrosit janin.1,2,3,4,5
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan
diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang
ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis.
3
Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam
patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan
bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang
diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan
profilaksis maternal yang efektif.
2.2 Sejarah rhesus
Sebelum abad ke-20, darah dan fungsinya belum diketahui secara dalam. Untuk
memecahakan masalah yang disebabkan karena kekurangan darah dari luka, dokter
mentranfusi darah dari orang lain atau dari binatang.6 Pada beberapa kasus, hal ini
berhasil dan pasien selamat. Pada beberapa kasus yang lain, hal ini sebenernya
membahayakan pasien dan sering menyebabkan kematian. Tidak ada yang bisa
memprediksi reaksi apa yang timbul dari tansfusi darah. Jadi, pada awal abad ke-20,
sebagian besar negara-negara di Erope melarang dilakukannya transfusi darah.
Sekitar tahun 1900, dokter Austria-Amerika, Karl Landsteiner, menjelaskan
fenomena penolakan darah. Landsteiner menemukan bahwa serum darah manusia bisa
dibagi menjadi empat kelompok, berdasarkan kemampuan untuk menyebabkan
pembekuan sel darah merah. Dia memberikan nama kelompok-kelompok tersebut A,
B, AB, dan O berdasarkan tipe antigen pembekuan yang mereka punya.
Pengenalan golongan darah ABO membuat transfusi darah dapat dilakukan dengan
aman. Tahun 1921, Unger melaporkan bahwa adanya reaksi transfusi intragrup dan
merekomendasikan bahwa setelah donor ABO diidentifikasi, tes tambahan lainnya
perlu untuk dilakukan untuk menggurangi kemungkinan serum penerima donor
membekuan sel darah merah donor. Setelah bank darah dibuat pada sekitar tahun
1940an, ribuan transfusi diberikan secara harian dan insiden reaksi hemolitik intragrup
meningkat.
Pada tahun 1939, Levine dan Stetson melaporkan tentang seorang ibu yang
mengalami dua kejadian yaitu reaksi transfusi setelah mendapat transfusi darah dari
suaminya, dan janin/bayi si ibu mengalami HDN (Hemolytic Disease of the
Newborn). Ibu ini belum pernah mendapatkan tranfusi darah sebelumnya dan
diberikan transfusi darah dari suaminya yang sama-sama bergolongan darah O. Dalam
jangka waktu 10 menit, ibu ini menunjukkan beberapa gejala dan perdarahan yang
parah.7
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan bahwa si ibu ternyata membentuk
antibodi terhadap sel darah merah suaminya, namun belum diketahui jenis antigen apa
pada sel darah merah suaminya yang dikenali oleh antibodi ibu. Dari 104 kelompok
golongan darah contoh yang dites dengan serum si ibu, hanya 21 kelompok yang
cocok. Levine mengira adanya isosensitisasi pada ibu ini karena sesuatu yang
dihasilkan oleh bayinya.
Pada tahun 1940, Landsteiner dan Weiner mendeskripsikan eksperimen yang
mereka lakukan pada guinea pigs dan kelinci. Eksperimen tersebut adalah sebagai
berikut:
Pertama, mereka mengimunisasi / menyuntikkan sel darah merah kera rhesus (kera
kecil
dari
India
yang
biasanya
digunakan
untuk
penelitian,
Macacca
mulatta) ke guinea pigs dan kelinci. Dengan imunisasi ini maka guinea pigs dan
kelinci membentuk antibodi terhadap sel darah merah kera Rhesus (oleh penelitinya
antibodi ini dinamakan anti-Rhesus).
Kedua, anti-Rhesus ini diambil dan direaksikan / dicampur dengan sel darah
manusia dari berbagai individu.
Ketiga, reaksi dari campuran tersebut diamati, positif atau negatif.Disebut reaksi
positif, bila sel darah merah manusia menjadi lisis dan disebut reaksi negatif bila
sel darah merah manusia tidak lisis. Ternyata, 85% eksperimen menunjukkan reaksi
positif. Dengan demikian disimpulkan bahwa anti-Rhesus juga bereaksi terhadap
sel darah merah manusia. Dengan kata lain, pada sebagian besar sel darah manusia
terdapat antigen yang dikenali oleh anti-Rhesus. Sel darah merah yang TIDAK lisis
(15%) berarti tidak mempunyai antigen yang dikenali oleh antibodi tersebut
(gambar 1). Di dunia, populasi dengan Rhesus (+), 85% populasi berada di Eropa
Barat dan Amerika Utara.
Gambar 1
Antigen yang dikenali oleh anti-Rhesus disebut dengan antigen Rhesus. Dengan
berjalannya waktu, kata faktor Rh dan anti-Rh, yang diperkenalkan oleh
Landsteiner dan Wiener, tetap digunakan. Heteroantibodinya dinamakan anti LW
(untuk menghormati Lansteiner dan Wiener) dan alloantibody manusia dinamakan
anti-D. Penemuan faktor Rh oleh Landsteiner dan Alexander Wiener pada tahun
1940 memberikan dasar patofisiologi pada erythoblastosis dan kemungkinan untuk
menjelaskan kasus Levine yang disebabkan oleh isosensitisasi kepada antigen Rh.
Dengan demikian pada sel darah manusia terdapat antigen yang sama dengan yang
terdapat pada sel darah merah kera rhesus yaitu antigen Rhesus. Sel darah merah
manusia yang mempunyai antigen Rhesus akan lisis bila direaksikan dengan antiRhesus, tetapi sel darah merah manusia yang tidak mempunyai antigen Rhesus tidak
akan lisis bila direaksikan dengan anti-Rhesus (gambar 1).
Jadi sejak saat itu diketahui bahwa berdasarkan ada tidaknya antigen-Rh, maka
golongan darah manusia dibedakan atas dua kelompok, yaitu:
Rhesus
adalah
penyakit
hemolitik
isoimun
yang
menyebabkan antibodi IgG melawan anti gen sel darah merah fetus.9
2.3.2 Insiden
Insidens pasien yang mengalami inkompatibilitas rhesus (yaitu rhesus
negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada
bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya
perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif.
Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif,
risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi
pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama
sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya
disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun
sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai.
Mayoritas inkompatibilitas Rh terjadi pada janin dengan Rh-positif dari ibu
yang mempunyai Rh- negatif. Faktor Rh adalah protein, suatu antigen dalam sel
darah merah. Hadirnya faktor Rh membuat sel darah tidak cocok terhadap sel-sel
darah yang tidak mempunyai antigen.
Jika seseorang dengan Rh-positif, berarti dia mempunyai faktor Rh di dalam
darahnya. Jika seseorang dengan Rh-negatif, berarti dia tidak mempunyai faktor Rh
di dalam darahnya. Faktor Rh bermasalah ketika darah dengan Rh-negatif
mengalami kontak dengan darah Rh-positif. Sistem imun dari orang dengan
Rh-negatif mengidentifikasi darah Rh-positif sebagai penyerang yang
berbahaya, suatu antigen dan dapat memproduksi antibodi untuk
melawan darah tersebut.
2.3.3 Genetik
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak
ada d. Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang
digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif
mengandung substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif
memproduksi antibodi. Gen c, e, dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat
7
menjelaskan mengapa antibodi yang dihasilkan oleh wanita rhesus negatif disebut
anti-D (anti-rhesus D).
Seorang wanita rhesus (D) positif tak akan memproduksi antibodi, karena
darah yang positif tak akan memproduksi anti-d, tak ada anti rhesus d. Seseorang
mempunyai Rhesus (D) negatif, jika diwariskan gen d dari tiap orang tua. Mungkin
saja anak Rhesus (D) negatif, jika ibu Rhesus (D) negatif dan bapak Rhesus (D)
positif. Bapak dapat mempunyai gen D atau d, sehingga bayi dapt mewarisi gen d
dari bapaknya.
2.3.4 Patofisiologi
Kira-kira 5% primipara rhesus negatif akan mengalami respon anti bodi
yang ringan. Proses terjadinya hemolisis pada penyakit isoimun akibat
inkompatibilitas Rh adalah sebagai berikut :
1) Ibu golongan Rh negatif,
2) Fetus golongan Rh positif,
3) Masuknya eritrosit fetus ke sirkulasi maternal melalui proses perdarahan
fetomaternal,
4) Terjadi sensitisasi maternal oleh antigen D dari eritrosit fetus,
5) Terbentuk anti D maternal sebagai respon terhadap anti gen D fetus,
6) Kemudian anti D maternal secara transplasental masuk kedalam sirkulasi
fetus,
7) Anti bodi tersebut melekat pada eritrosit fetus, dan
8) Menyebabkan aglutinasi kemudian eritrosit tersebut menjadi lisis.9
2.3.5 Gejala klinis
Pada mulanya terjadi respon maternal dengan peningkatan IgM yang tidak
dapat melewati plasenta, kemudian terjadi respon berupa pembentukan IgG yang
dapat melewati plasenta yang nantinya akan menyebabkan hemolisis. 3.6 Secara
klinis derajat hemolisis dinyatakan sebagai bentuk ringan umumnya terjadi tanpa
anemia (kadar Hb tali pusat > 14 gr/dl). Kadar blilirubin < 4 mg/dl, tidak
memerlukan pengobatan yang spesifik. Bentuk sedang, anemia ringan kadar
bilirubin < 4 mg/dl. Kadang-kadang di sertai trombositopenia (sebabnya tidak
diketahui). Dapat timbul kern ikterus bila tidak di tangani dengan baik. Bentuk
8
berat dapat berupa; anemia yang berat (hidropfetalis), tanda - tanda dekompensasi
jantung (hepato splenomegali, kesulitan pernafasan), edema anasarka masif &
kolaps sirkulasi.9
Pemeriksaan laboratorium pada darah tepi terdapatnya eritrosit berinti, hiper
bilirubinemia, uji Coombs direk maupun indirek yang positif dan anemia tergantung
berat-ringannya hemolisis. Pada hidropfetalis kadar hemoglobin tali pusat sampai 3
4 gr/dl.9
Dari semua gejala di atas, terdapat dua gejala utama yang sangat penting pada
eritroblastosis fetalis, yaitu:
1. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh,
asites dan pleural efusi pada saat lahir. Pada kasus parah, terjadi edema
subkutan dan efusi kedalam kavum serosa ( hidrops fetalis). Hemolisis yang
berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada
sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar. Juga
terjadi
pembesaran
jantung
dan
perdarahan
pulmoner.
Asites
dan
kekakuan
ekstremitas,
retraksi
kepala,
strabismus,
tangisan
melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia
beberapa minggu.
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu
menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami
keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi
inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan
eritropoesis dapat bertahan selama berminggu minggu hingga berbulan-bulan.
2.4 Pencegahan
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat
isoimunisasi Rhesus, adalah imunisasi pasif pada ibu.
Rhesus incompatibility hampir sepenuhnya dicegah. Globulin kekebalan
khusus, yang disebut RhoGAM, sekarang digunakan untuk mencegah Rhesus
incompatibility pada ibu yang Rh-negatif. Jika ayah dari bayi yang Rh-positif atau
jika jenis darahnya tidak dapat dikonfirmasi, ibu diberikan suntikan RhoGAM
selama trimester kedua. Jika bayi Rh-positif, ibu akan mendapatkan suntikan kedua
dalam beberapa hari setelah melahirkan. Suntikan ini mencegah perkembangan
antibodi terhadap darah Rh-positif. Namun, perempuan dengan Rh-negatif
golongan darah harus menerima suntikan:8
1.
2.
3.
4.
Selama kehamilan
Jika mereka mengalami keguguran atau aborsi
Setelah tes prenatal seperti amniosentesis dan chorionic villus biopsi
Setelah cedera pada perut selama kehamilan
Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak
kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan
melindungi ibu dari 4 ml darah janin. Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan
pada saat persalinan bukan sebagai vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap
penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan
bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.
10
Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang
mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan, ternyata sangat
protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa,
atau perdarahan pervaginam harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi
tanpa preparat imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun
fraksi darah berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk mengalami
sensitisasi.
Apabila terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti G, maka
preparat tersebut harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum
mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini
dapat menurunkan resiko isoimunisasi. Antibodi dengan dosis 300 mikrogram
diberikan kepada ibu rhesus negatif yang belum mengalami sensitisasi pada
kehamilan 28 minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat dilakukan
amniosintesis atau pada saat terjadi perdarahan uterus.
Kegagalan pemberian anti D terjadi bila :
1. Tidak diberikan suntikan RhIg pada ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan
bayi Rh positif
2. Tidak diberikan suntikan Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah
pemeriksaan amniocentesis
3. Pemberian dosis RhIg tidak mencukupi (karena feto maternal macrotransfusion
jarang
terjadi)
4. Sudah terlanjur terjadi sensitisasi oleh sel darah merah janin
2.5 Pemeriksaan golongan darah
Bahan:
1. Serum alfa
2. Serum beta
3. Serum alfa beta (tidak harus ada)
4. Serum anti Rhesus
Cara Kerja:
1. Siapkan kartu uji atau object glass yang telah di beri nomor 1 - 4
11
2. Sterilkan salah satu ujung jari dengan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol
70%
3. Tusukkan lancet dengan hati-hati dan mantap ke ujung jari yang telah steril, lalu
tekanlah ujung jari hingga darah keluar
4. Teteskan darah pada kartu uji atau object glass sebanyak 4 kali pada tempat
yang berbeda sesuai nomor
5. Teteskan serum alfa sebanyak 1 tetes pada sampel darah pertama, lalu aduklah
dengan gerakan memutar menggunakan tusuk gigi. Amatilah apa yang terjadi.
6. Lakukan langkah nomor 5 untuk serum beta, serum alfa-beta, dan serum anti
Rhesus
Klasifikasi golongan darah ABO ditentukan berdasarkan ada tidaknya
aglutinogen ((antigen tipe A dan tipe B ) yang ditemukan pada permukaan eritrosit
dan aglutinin (antibodi) anti-A dan anti-B, yang ditemukan dalam plasma.
1. Darah golongan A mengandung aglutinogen tipe A dan aglutinin anti-B
2. Darah golongan B mengandung aglutinogen tipeB dan aglutinin anti-A
3. Darah golongan AB mengandung aglutinogen tipe A dan tipe B,tetapi tidak
mengandung aglutinin anti-A atau anti-B
4. Darah golongan O tidak mengandung aglutinogen, tetapi mengandung aglutinin
anti-A dan aglutinin-B Penggolongan darah penting dilakukan sebelum transfusi
darah karena pencampuran golongan darah yang tidak cocok menyebabkan
aglutinasi dan destruksi sel darah merah.
Contoh pengamatan
1. diberi anti Rhesus : menggumpal
2. diberi anti A : tidak menggumpal
3. diberi anti B : menggumpal
4. diberi anti AB : menggumpal
12
plasma darah
AB
A dan B
a dan b
3. darah + anti B
13
BAB III
KESIMPULAN
Sistem rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Antigen RhD
adalah antigen terpenting dalam reaksi imunitas tubuh. Rhesus positif (rh positif)
14
positif,
maka
antigen
tidak
akan
DAFTAR PUSTAKA
1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Direktorat Laboratorium Kesehatan
Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI.
2. James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease. High Risk Pregnancy. 2nd ed.
WB. Saunders, 1999: 343 361
15
Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian
IKA FKUI, 1991: 332-334
16