Você está na página 1de 16

Interpretasi Hasil AGD

Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:

pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau alkalosis. Nilai normal pH
berkisar antara 7,35 sampai 7,45.

PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan hipoksemia dan pasien
tidak bernafas dengan adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen
tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg

PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme normal, PCO2 dipengaruhi
sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada
kondisi gangguan metabolisme, PCO2 dapat menjadi abnormal sebagai kompensasi keadaan metabolik. Nilai
normal PCO2 adalah 35-45 mmHg

HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme, seperti ketoasidosis. Nilai yang
rendah menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal
ketika ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH kembali dalam rentang yang normal. Kadar
HCO3- normal berada dalam rentang 22-26 mmol/l

Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus ditambahkan dalam mmol/l
untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C 0. BE
bernilai positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE bernilai negatif menunjukkan
kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2 mmol/l

Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Nilai normalnya adalah 9598 %
Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan yang menggambarkan
konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:
Asidosis respiratorik
Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi
tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan seperti
kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat
meningkatkan PCO2 adalah keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal.
Alkalosis respiratorik
Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat. Kondisi ini sering terjadi
pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk
menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan
memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik akibat
ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses sudah
kronik.
Asidosis Metabolik
Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh kelainan
metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi
ini, paru-paru akan memberi respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun.
Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan

berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab
asidosis metabolik, dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui rumus
(Na+ + K+) (HCO3 + Cl)
Batas normal anion gap adalah 10 12 mmol/l. Rentang normal ini harus disesuaikan pada pasien dengan
hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah terjadinya asidosis dengan anion gap yang lebih. Koreksi
tersebut dihitung dengan memodifikasi rumus diatas menjadi
(Na+ + K+) (HCO3 + Cl) (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)
Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik lain seperti laktat, keton,
salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat berkurangnya suplai oksigen atau berkurangnya perfusi,
sehingga terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil sampingan berupa laktat. Pada keadaan gagal ginjal,
ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap.
Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan kehilangan bikarbonat atau retensi
H+. Contohnya pada renal tubular asidosis, gangguan GIT (diare berat), fistula ureter, terapi acetazolamide, dan
yang paling sering adalah akibat pemberian infus NaCl berlebihan.
Alkalosis metabolik
Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2
menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru. Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat
pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi
sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan pemberian HCO3- atau
prekursornya (laktat atau asetat) secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan
gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.
Keseimbangan Asam Basa
pH adalah derajat keasaman yang merupakan log negatif dari konsentrasi ion H+. Konsentrasi ion H+ ini diatur
dengan sangat ketat, karena perubahan pada konsentrasinya akan mempengaruhi hampir semua proses biokimia,
termasuk struktur dan fungsi protein, dissosiasi dan pergerakan ion, serta reaksi kimia obat. Berbeda dengan
ion-ion lain, kadar ion H+ dijaga dalam nanomolar (36-43 nmol/l ~ pH 7,35-7,45).
Sebagian besar asam yang masuk dalam tubuh berasal dari proses respirasi, yaitu CO2 yang membentuk asam
karbonat, sedangkan sisanya berasal dari metabolisme lemak dan protein. Mekanisme tubuh untuk menjaga pH
tetap dalam rentang normalnya diketahui melalui tiga mekanisme,

Kontrol respirasi terhadap PaCO2 oleh pusat pernafasan yang mengatur ventilasi alveolar. Semakin
banyak ion H+ dalam darah, semakin banyak CO2 yang dibuang melalui paru-paru. Mekanisme ini cepat dan
sangat efektif untuk mengkompensasi kelebihan ion H+.

Pengontrolan ginjal terhadap bikarbonat dan ekskresi asam-asam non-volatil. Mekanisme ini relatif
lebih lama (jam sampai hari) jika dibandingkan dengan kontrol respirasi.

Sistem buffer oleh bikarbonat, sulfat, dan hemoglobin yang meminimalkan perubahan asam-basa akut.
Metode Henderson Hasselbach (H H)
Persamaan H H menitik beratkan pada sistem buffer asam karbonat yang memegang peranan penting dalam
pengaturan asam basa melalui ginjal dan paru paru. Karbondioksida bereaksi dengan air untuk membentuk
HCO3- dan H+.
CO2

H2O

H2CO3

H+

HCO3-

Berdasarkan hukum kekekalan massa, maka [H+] [HCO3-] / [H2CO3] = konstan. Sehingga, dapat ditentukan
bahwa pH = pKa + log([H+] [HCO3-] / [H2CO3]). Dari persamaan tersebut, pH dapat dikatakan sebagai rasio
antara bikarbonat dan karbondioksida. Perubahan pH dapat disebabkan oleh perubahan CO2 (respirasi) atau
HCO3- (metabolik). Sistem kompensasi tubuh berusaha mempertahankan rasio tersebut tetap 20:1.
Namun, persamaan H H tidak membahas mekanisme perubahan pH akibat efek metabolik sejelas efek
respiratoriknya, karena secara in vivo kadar bikarbonat sangat tergantung pada tekanan parsial karbondioksida
(pCO2). Oleh sebab itu, muncullah konsep standard bikarbonat dan standard base excess (BE) untuk membantu
menghitung efek metabolik terhadap perubahan pH. Standard bikarbonat adalah jumlah bikarbonat yang
seharusnya ada pada PCO2 = 40 mmHg, sehingga dapat menyingkirkan efek respirasi pada suatu perubahan pH.
Sementara standard BE melihat jumlah asam (dalam mmol/l) yang harus ditambahkan atau dikurangkan pada
sampel darah yang sama dengan Hb 5,5 g/dl untuk mencapai pH normal pada PCO2 40 mmHg. Semakin negatif
BE menunjukkan sampel darah tersebut semakin asam.
Metode Stewart
Pada tahun 1983, Stewart memperkenalkan metode pendekatan asam basa yang diakui secara luas. Metode ini
menggunakan pendekatan matematis dan menyimpulkan bahwa jika hukum keseimbangan muatan terjadi pada
suatu larutan, maka pH atau konsentrasi ion H+ akan ditentukan terutama oleh derajat disosiasi air. Terdapat tiga
variabel yang masing-masing dapat mempengaruhi derajat disosiasi air, yaitu PCO2, strong ion difference
(SID), dan konsentrasi total asam lemah (Atot). Ion bikarbonat dan asam lemah merupakan variabel yang terikat
dan tidak mempengaruhi pH secara langsung.

Diagram1. Pendekatan Asam Basa Metode Stewart


Pengaruh PCO2 sudah dijelaskan melalui persamaan H H, bahwa perubahan pada CO2 hasil respirasi secara
langsung juga akan mengubah konsentrasi ion H+.
Ion-ion kuat adalah ion yang dalam jumlah besar terdapat dalam bentuk terdisosiasi atau ion bebas dalam
plasma. Pada manusia, SID adalah selisih antara kation kuat (Na+, K+, Mg2+, dan Ca2+) dengan anion kuat
(Cl- dan laktat) yang nilai normalnya adalah 42 mmol/l. SID memiliki pengaruh kuat terhadap disosiasi air,
peningkatan kation total akan menurunkan konsentrasi H+ dan menurunkan pH. Begitu pula sebaliknya,
peningkatan jumlah anion total akan menurunkan pH. Pada dasarnya plasma tidak bisa bermuatan, sehingga
dibutuhkan muatan negatif untuk menetralkan kelebihan muatan (SIDe). SIDe terutama dibentuk oleh ion yang
sulit berdisosiasi seperti HCO3- dan asam lemah yang terdisosiasi seperti albumin, fosfat, dan sulfat. Strong ion

gap (SIG) adalah selisih antara SID dan SIDe, menggambarkan ion-ion yang tidak terukur seperti keton, sulfat,
atau asam yang berasal dari luar. Perhitungan ini mirip dengan anion gap, namun memiliki kelebihan karena
memperhitungkan albumin dan fosfat. SIG juga dapat menjadi prediktor yang sensitif bagi kegawatan pada
pasien-pasien kritis. Atot adalah konsentrasi total asam-asam lemah non-volatil dalam plasma, fosfat inorganik,
protein serum dan albumin.

Gambar1. Keseimbangan Ion-ion Dalam Plasma


Pendekatan Stewart tidak merubah klasifikasi kelainan asam basa sebelumnya, begitu pula dengan BE tetap
dapat digunakan untuk menghitung jumlah perubahan SID yang telah terjadi dibandingkan dengan nilai normal.
Namun dengan pendekatan ini, kita dapat melihat peran ion-ion dalam mengembalikan pH darah. Contoh kasus
adalah, untuk merubah BE dari -20 menjadi -10 mEq/l adalah dengan memberikan NaHCO3, dimana terjadi
peningkatan konsentrasi Na+ dalam serum sebesar 10 mEq/l.
Implikasi lain yang penting dari pendekatan Stewart adalah peran ion klorida dalam homeostasis asam basa.
Ion-ion yang terutama mempengaruhi SID adalah Na+ dan Cl-. Peningkatan Cl- relatif terhadap Na+ akan
menurunkan SID dan begitu pula pH. Peran Cl- menjadi lebih penting dalam mengatur pH, karena Na+
dikontrol secara lebih ketat untuk mengatur tonus plasma. Contoh kasus adalah pada muntah yang terus menerus
sering menyebabkan alkalosis. Pendekatan lama menganggap hal ini disebabkan karena kehilangan ion H+
melalui HCl. Namun, hipotesis Stewart menganggap hal ini terjadi akibat Cl- (anion kuat) berkurang tanpa
diimbangi oleh berkurangnya kation kuat, sehingga terjadi peningkatan SID. Pada akhirnya hal ini akan
menghambat disosiasi air dan ion H+ berkurang. Penatalaksanaan kasus ini adalah dengan pemberian normal
saline sehingga ion klorida tergantikan. Kasus lain adalah asidosis hiperkloremik yang juga sering terjadi akibat
pemberian infus normal saline berlebihan. Normal saline mengandung ion sodium dan klorida sebanyak 150
mEq/l dibandingkan dengan konsentrasi plasma 135 dan 100 mEq/l. Hal ini menyebabkan penurunan SID dan
pH.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kedua metode sebenarnya dapat digunakan. Metode pendekatan
Handerson-Hasselbach lebih mudah diterapkan, terutama untuk mengklasifikasikan jenis kelainan asam basa
yang terjadi. Sedangkan, pendekatan Stewart lebih berguna dalam menghitung kelainan asam basa secara
kualitatif dan juga untuk menyusun hipotesis mekanisme yang menyebabkan timbulnya kelainan asam basa
pada pasien.
Gangguan Keseimbangan Asam Basa Pada Pasien Kritis

Beberapa kelainan pada AGD dapat digunakan sebagai marker resiko kematian pada pasien-pasien kritis.
Diantaranya adalah terjadinya asidosis laktat, BE yang tinggi, asidosis hiperkloremik, efek asidosis terhadap
sistem imun, dan SIG yang tinggi.
Sebagian besar pasien-pasien trauma menderita asidosis laktat akibat hovolemia atau hipoperfusi. Perbaikan
asidosis laktat berkorelasi dengan survival pasien berdasarkan hubungan waktu. Keadaan asidosis laktat yang
persisten, meskipun telah terjadi perbaikan tanda vital, berhubungan dengan resiko infeksi dan kematian.
Kadar BE yang tinggi dapat menjadi prognosis yang buruk bagi pasien-pasien, namun hal tersebut tergantung
pada jenis penyakit atau trauma pasien. BE lebih memiliki nilai prognostik pada pasien-pasien dengan cedera
kepala. Selain itu, jumlah SIG juga memiliki nilai prognostik pada pasien-pasien kritis. Dikatakan nilai SIG >5
pada pasien yang membutuhkan resusitasi atau >2 pada pasien asidosis metabolik adalah prediktif untuk
mortalitas.
Kondisi hiperkloremik diketahui dapat menyebabkan disfungsi renal dan gangguan pembekuan darah. Asidosis
diduga dapat menstimulasi sel T-protein kinase sehingga memperparah reaksi peradangan pada pasien kritis.
Cara membaca Foto Rontgen Thorak (Chest X-Ray) Dewasa

1. Perhatikan terlebih dahulu identitas pasien dan nomer rekam medis apakah sesuai atau tidak.
2. Perhatikan tanda R (right) dan L (left) apakah posisi foto rontgen sudah benar.
3. Apakah eksposure sinar X-ray cukup atau berlebih atau kurang. Eksposure yang cukup ditandai dengan os
vertebralis thorakalis tampak terlihat sampai thorakalis ke-5. Eksposure yang berlebih akan menyebabkan
hulangnya gambaran dari paru sehingga tidak bisa terbaca. eksposure yang kurang akan menyebabkan paru
tampak putih (radiolusen) sehingga tidak bisa dibaca atau misdiagnosis.
4. Perhatikan posisi foto rontgen apakah berdiri atau berbaring. Bisa dilihat dari letak os scapula.Jika os scapula
di lateral maka posisi pasien berdiri. Posisi berdiri biasanya dengan proyeksi posterior-anterior (PA). Posisi
berbaring dengan proyeksi anterior-posterior (AP)
5. Perhatikan apakah foto thorak cukup inspirasi atau tidak. Inspirasi yang cukup bisa dilihat dari batas
diafragma di antara sela iga 5 dan 6.
5. Perhatikan jalan napas. Trakea tampak sebagai radioopage diantara os vertebralis. Normal berada di tengah os
vertebralis.
6. Perhatikan tulang-tulang clavicula, scapula, sternum dan iga. Apakah terdapat fraktur. Juga lihat sela iga
apakah simetris atau mengalami penyempitan atau pelebaran. sela iga yang menyempit bisa disebabkan
ateletaksis. Sela iga yang melebar bisa menggambarkan adanya pneumothorak atau emfisema.
7. Lihat posisi diafragma apakah simetris. lihat sudut diafragma dengan sela iga (sudut costophrenicus) kanan
dan kiri. Normalnya kedua sudut costophrenicus tampak tajam. Jika tumpul mungkin terdapat efusi pleura.
8. Lihat udara di lambung. Normal terdapat di sebelah kiri bawah foto rontgen thorak.
9. Perhatikan gambaran paru apakah terdapat radio opaque atau radio lusen. Gambaran radio lusen dengan air
fluid level bisa merupakan efusi plura atau kista paru. gambaran radio opaque tanpa gambaran corakan

pembuluh darah bisa merupakan pneumothorak. konfirmasi dengan pemeriksaan fisik dan kalau perlu foto
thorak lateral atau dekubitus.
Cara menilai Jantung pada Chest X-ray
1. Tentukan terlebih dahulu batas jantung kanan dan kiri. Batas jantung kanan normal sejajar dengan garis
parasternal kanan. batas jantung kiri normal kira-kira sejajar dengan garis mid clavicula kiri

Menentukan Cardiac-Thorasic Ratio


2. Tentukan rasio cardiac-thorasic (Cardiac Thoracic Ratio). Normal pada posisi berdiri < 50% dan pada posisi
berbaring < 55%. Jika lebih dari itu dikatakan kardiomegali. Jika terdapat kardiomegali, lihat batas kiri bawah
jantung dengan diafragma. Jika tampak tertanam (grounded) dengan sudut yang tumpul dapat dikatakan
pembesaran ventrikel kiri. Jika tampak membulat (rounded) dengan sudut yang tajam dapat dikatakan
pembesaran ventrikel kanan. Kardiomegali berbentuk sepatu boot (Boot shape) merupakan gambaran khas
penyakit jantung hipertensi, kardiomegali berbentuk tabung enlemeyer bisa jadi gambaran kardiomiopati atau
efusi perikard masif

1. aortic knuckle; 2. main pulmonal artery; 3. left appendage atrium 4. left ventricle; 5. right atrium; 6.
ascending aorta; 7. superior vein cava; 8. left atrium under carina; 9. right ventricle; 10. arcus aorta; 11.
bifurcation pulmonal artery; 12. left atrium; 13. left ventricle

A.ascenden aorta, AA. arcus aorta, Az. azigous vein, LB. left border pulmonal arteri, PA. main pulmonal artery,
LA. left atrium, LV. left ventricle, RA. right atrium, S. superior vein cava, SC. subclavia artery

3. Nilai struktur jantung, dari batas kiri jantung kita bisa tentukan dari atas ke bawah : arcus Aorta-conus
Pulmonalis-Atrium kiri-Left Ventrikel (disingkat APAL). Aorta yang menonjol / prominen bisa jadi mengalami
elongatio aorta. juga sering ditemukan kalsifikasi aorta. biasanya pada pasien hipertensi kronik. Conus
pulmonalis merupakan gambaran dari main arteri pulmonal yang jika menonjol bisa jadi terdapat hipertensi
arteri pulmonal seperti pada pasien mitral stenosis, Atrial Septal Defect (ASD) dan Primary Pulmonal

Hypertension (PPH). Atrium kiri jika membesar akan tampak gambaran double contour yang terlihat di batas
jantung kanan. Double contour terbentuk dari gambaran atrium kanan dan atrium kiri yang membesar.
Gambaran mitral heart configuration merupakan perpaduan gambaran kardiomegali rounded dengan double
contour yang merupakan ciri khas dari mitral stenosis. Dari batas kanan jantung, kita bisa tentukan vena kava
superior, aorta ascendens dan atrium kanan.
4. Selain struktur jantung, kita juga harus menilai pembuluh darah yang terdapat di paru. Kardiomegali
berbentuk grounded dengan gambaran paru cefalisasi atau bat wing bisa jadi gagal jantung kiri disertai edema
paru. Kardiomegali berbentuk tabung enlemeyer dengan gambaran paru yang bersih merupakan gambaran efusi
perikard massif atau tamponade jantung.

ELEKTROKARDIOGRAFI
A.
DEFINISI
Elektrokardiografi (EKG) adalah pencatatan potensial bioelektrik yang dipancarkan jantung melalui
elektroda-elektroda yang diletakan pada posisi di permukaan tubuh (Mansjoer, 2007).
Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan potensial atau perubahan voltage
yang terdapat dalam jantung (Ruhyanudin, 2007).
Elektrokardiogram adalah grafik yang merekam peubahan potensial listrik jantung yang dhubungkan dengan
waktu (Ruhyanudin, 2007).
Electrocardiogram (ECG atau EKG) merupakan alat diagnose yang digunakan untuk mengukur dan
merekam aktivitas listrik jantung yang sangat detail. Mervin J Goldman mendefinisikan elektrokardiogram
(ECG) adalah grafik yang merekam potensial listrik yang dihasilkan denyutan jantung. EKG diperoleh dengan
menempatkan elektrode pada posisi tertentu (sesuai standar) pada dada dan ekstremitas.

B.
SISTEM KONDUKSI JANTUNG
Konduktor adalah bagian yang memiliki sifat penghantar listrik dan merupakan jalur listrik jantung mengalir.
Menurut Faqih Ruhyanudin (2007), dalam EKG perlu diketahui tentang system konduksi yang terdiri atas:

1.

SA Node (Sino-Atriale Node): Terletak di batas atrium kanan (RA) dan vena cava superior (VCS). Sel-sel

dalam SA node ini secara otomatis dan teratur mengeluarkan impuls (rangsangan listrik) dengan frekuensi 60100 kali permenit. Kemudian menjalar ke atrium, sehingga menyebabkan seluruh atrium terangsang. Iramanya
adalah sinus (sinus rhythm)
2. Jalur internodus (traktus internodus) : jalur listrik antara nodus sinoatrial dan nodus arterioventrikuler.
3.
AV Node (Atrio-ventricular node): Terletak di septum internodal bagian sebelah kanan, di atas katup
tricuspid. Sel-sel dalam AV Node mengeluarkan impuls dengan frekuensi 40-60 kali permenit. Oleh karena AV
Node mengeluarkan impuls lebih rendah, maka dikuasai oleh SA Node yang mempunyai impuls lebih tinggi.
Kalau SA Node rusak, maka impuls akan dikeluarkan oleh AV Node. Iramanya disebut junctional rhythm/ nodal
rhytm.
4.
Berkas HIS (HIS Bundle): Terletak di dalam interventrikular dan bercabang 2 yaitu:
a.
Cabang berkas kiri
b.
Cabang berkas kanan
Setelah melewati kedua cabang ini, impuls akan diteruskan lagi ke cabang-cabang yang lebih kecil yaitu serabut
purkinje.
5.

Serat / Serabut Purkinje: Serabut purkinje ini akan mengadakan kontak dengan sel-sel ventrikel. Dari sel-

sel ventrikel impuls dialirkan ke sel-sel yang terdekat sehingga seluruh sel akan terangsang. Di ventrikel juga
tersebar sel-sel pacemaker yang secar otomatis mengeluarkan impuls dengan frekuensi 20-40 kali permenit.
Iramanya idioventricular rhytm. Oleh karena frekuensinya lebih rendah dari AV Node, maka dalam keadaan
normal sel-sel ventrikel tidak mengeluarkan impuls.

C.
ELEKTROFISIOLOGI SEL OTOT JANTUNG
Sel jantung, dalam keadaan istirahat, adalah dalam keadaan polarisasi, yakni sisi di dalam lebih bermuatan
negatif daripada sisi luar. Polaritas listrik ini dijaga oleh pompa-pompa membrane sehingga ada jaminan
pembagian ion yang tepat (khususnya ion kalium, natrium, klorida, dan kalsium) yang perlu untuk menjaga sisi
dalam sel itu agar tetap relatif elektronegatif. Sel jantung dapat kehilangan muatan negatif di sisi dalam tersebut
dalam sebuah proses yang disebut depolarisasi. Depolarisasi merupakan peristiwa listrik jantung yang amat
penting. Gelombang depolarisasi ini dijalarkan dari sel ke sel yang merupakan aliran listrik dan dapat dideteksi
dengan elektrode-elektrode yang ditempatkan di permukaan tubuh. Setelah depolarisasi selesai, melalui proses
yang disebut repolarisasi, sel jantung itu akan memulihkan polaritasnya ke polaritas istirahat. Ini juga dapat
direkam oleh elektrode perekam. Dari sudut pandang elektrokardiografi, jantung terdiri atas 3 jenis sel:
sel perintis (pacemaker cells) sumber daya listrik jantung
sel konduksi listrik kabel jantung
sel miokardium mesin kontraktil jantung
Sel perintis dominan dalam jantung terletak di bagian atas atrium kanan, yaitu nodus sinoatrial (SA) yang
terangsang dengan kecepatan 60-100x/menit. Jalur konduksi listrik jantung setelah dihasilkan impuls listrik dari
nodus sinus (SA) adalah melewati nodus AV, kemudian serabut his , lalu bundle branch kanan dan kiri,
kemudian serabut purkinje.
D.
ELEKTROKARDIOGRAM
Mesin EKG merekam aktivitas jantung dari beberapa sudut pandang yang disebut dengan lead. Untuk
mendukung interpretasi EKG, diperlukan pencatatan data umur pasien, jenis kelamin, tekanan darah (TD), BB,
TB, gejala dan obat-obatan (khususnya digitalis dan antiaritmia).
Dalam mesin EKG yang banyak digunakan di Indonesia, terdapat 12 lead: I, II, III, aVR, aVL, aVF, V1, V2,
V3, V4, V5, V6. Artinya jantung dilihat dari 12 sudut pandang.
Lead I, II, III adalah lead bipolar. Maksudnya, ia terdiri dari dua elektroda yang memiliki potensi muatan
yang berbeda (positif dan negatif).
Lead aVR, aVL, aVF adalah lead unipolar, yang terdiri dari satu elektroda positif dan satu titik referensi
(yang bermuatan nol) yang terletak di pusat medan jantung
Lead V1-V6 adalah lead unipolar, terdiri dari sebuah elektroda positif dan sebuah titik referensi yang
terletak di pusat listrik jantung
Pengenalan Gelombang
1.

Gelombang P

Ialah defleksi pertama siklus jantung yang menunjukkan aktivasi atrium (menggambarkan depolarisasi atrium).
Gelombang P dari sinus normal durasinya 0,8-0,12 detik dan amplitudonya kurang dari 2,5 mV.
2.

Gelombang Q

Merupakan defleksi negatif pertama setelah gelombang P, normalnya berdurasi < 0,04 detik, dan amplitudonya
kurang dari 25% gelombang R.
3.

Segmen PR

Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang menghubungkan gelombang P dan gelombang QRS (diukur mulai
dari permulaan gelombang P sampai permulaan gelombang Q atau R dan menggambarkan waktu yang
diperlukan untuk depolarisasi atrium dan perlambatan impuls di nodus AV sebelum depolarisasi ventrikel).
Interval normalnya bernilai 0,12-0,22 detik.
4.

Gelombang kompleks QRS

Ialah suatu kompleks gelombang yang merupakan hasil dari depolarisasi ventrikel kanan dan kiri. Bagianbagian gelombang QRS antara lain: 1) Gelombang Q yaitu defleksi negatif pertama; 2) Gelombang R yaitu
defleksi positif pertama. Defeleksi berikutnya disebut gelombang R, R; dst; 3) Gelombang S yaitu defleksi
negatif pertama setelah R. Gelombang S berikutnya disebut S, S, dst. Komplek QRS mempunyai durasi 0,060,10 detik (<0,12).
5.

Segmen ST

Segmen ini merupakan garis isoelektrik yang menghubungkan kompleks QRS dan gelombang T.
6.

Gelombang T

Merupakan potensial repolarisasi ventrikel kanan dan kiri. Pada orang dewasa, gelombang T tegak di semua
sadapan kecuali di aVR dan V1. Durasi normalnya 0,12 0,18 detik, dan amplitudonya kurang dari 10 mV di
chest lead dan kurang dari 5 mV di limb lead.
7.

Gelombang U

Adalah gelombang kecil yang mengikuti gelombang T yang asalnya tidak jelas.
8.

Interval QT

Menggambarkan waktu total repolarisasi dan depolarisasi ventrikel. Durasi normalnya 0,3-0,4 detik.

Pembacaan Dasar (Interpretasi Dasar) Terdiri Atas:


1.

Rate

Frekuensi jantung normal adalah 60-100 x/menit.


Bila lebih dari 100 x/menit: (sinus) takikardi
kurang dari 60 x/menit: (sinus) bradikardi
Antara 140 250 x/menit: abnormal takikardi
Antara 250 350 x/menit: flutter
Lebih besar dari 350 x/menit: fibrilasi
Frekuensi jantung dapat dihitung dengan ; 300 dibagi jarak puncak gelombang R ke R berikutnya.
Contohnya, bila jarak R-R adalah 4 kotak sedang, berarti 300/4 = 75 x/menit.
Atau dengan cara menghitung interval R-R dalam 30 kotak besar (30 kotak besar = 6 detik), kemudian
hasilnya dikalikan 10.
2.
Irama
Irama jantung yang normal ialah irama yang ditentukan oleh SA node atau disebut irama sinus (= reguler sinus
rhytm = normal sinus rhytm), dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Frekuensi antara 60-100 x/menit


Teratur
Gelombang P negatif di aVR dan positif di lead II
Tiap gelombang P diikuti oleh kompleks QRS-T

Penyimpangan ciri-ciri di atas disebut aritmia (arrhythmia). Secara garis besar, aritmia dapat disebabkan oleh:

Gangguan pembentukan impuls yang meliputi:


a.
ekstrasistole (premature contraction)
b.
abnormal takikardi
c.
flutter
d.
fibrillasi
e.
escaped beat
f.
arrest
g.
wandering pace-maker
Gangguan penghantaran impuls, yang meliputi:
a.
Blok, yaitu: SA blok, AV blok, dan Intra ventrikular blok/ BBB
b. Accelerated conduction, misalnya sindroma WPW (Wolf Parkinson White)
3.
Posisi
Untuk menentukan posisi, silakan sudara lihat pada lead aVL dan aVF, kemudian cocokkan dengan tabel di
bawah ini.

4.

aVL
+

aVF
+

Posisi
Intermediate

0
+
+
-

+
0
+

Semi vertikal
Semi horisontal
Horisontal
Vertikal

Axis

Aksis listrik jantung adalah sudut yang dibentuk oleh vector listrik.

5.

aVL
+

aVF
+

Posisi
Intermediet

Vertikal

Horizontal

+
0

Semi vertikal
Semi horisontal

0
+
Zona Transisi

Lihat Lead
sama tinggi
lebih tinggi aVF
lebih tinggi aVL
Lead I = 0
Lead I = +
Lead I = Lead II = 0
Lead II = +
Lead II = -

Axis (derajat)
30
40
20
90
80
100
-30
-20
-40
60
0

Zona transisi normalnya ada di V3-V4, yaitu pergeseran gambaran gelombang/kompleks QRS dari negatif ke
positif.
6.
Interval PR dan QT
dapat dilihat pada kertas grafik EKG dan dicocokkan dengan nilai normalnya.

E.
INDIKASI PENGGUNAAN EKG
EKG terutama sangat berguna untuk mengevaluasi kondisi berbeda dibanding fungsi normal :
Gangguan kecepatan dan irama
Gangguan hantaran
Pembesaran kamar-kamar pada jantung
Infrak miokard
Ketidakseimbangan elektrolit.
F.
PROSEDUR
Pemeriksaan EKG
1.
Persiapan alat-alat yang di butuhkan
a.
Elektrokardiografi dengan perlengkapannya :
Elektroda untuk pergelangan tangan dan kaki
Elektroda isap prekordial
Sumber listrik
b.
Kapas dan alcohol
c.
Tempat tidur pasien. Perhatikan bahwa tempat tidur tidak dersentuhan dengan dinding yang mengandung
kabel aliran listrik.
d.
Jeli atau pasta elektrolit.

2.
a.
b.
c.
3.
a.
b.
4.

Persiapan pasien
Pasien berbaring terlentang di atas tempat tidur
Kulit di kedua pergelangan tangan dan kaki dibersihkan dengan kapas alkohol.
Pasien dalam kondisi relaks dan kedua tungkai bawah tidak saling menempel.
Persiapan ruangan
Suasana tempat pemeriksaan sebaiknya sejuk, tenang dan nyaman.
Alat-alat listrik yang ada dalam ruangan dapat menggangu pemeriksaan.
Oleskan keempat elektroda pergelangan anggota gerak dan elektroda prekordial dengan jeli yang

mengandung elektrolit secara merata dan pasanglah elektroda sesuai ketentuan yang berlaku.
5.
Hubungkan kabel penghubung ke pasien dengan elekroda sebagai berikut
a.
Kabel warna merah (RA, right arm) dihubungkan dengan elektroda pergelangan tangan kanan.
b.
Kabel warna kuning (LA, left arm) dihubungkan dengan elektroda pergelangan tangan kiri
c.
Kabel warna hijau (LL, left leg) dihubungkan dengan elektroda pergelangan kaki kiri
d.
Kabel warna hitam (RL, right leg) dihubungkan dengan elektroda pergelangan kaki kanan
e.
Kabel C1-C6 dihubungkan dengan V1-V6
Posisi standar untuk sadapan dada adalah sebagai berikut:
1) V1 ruang intercostal IV, tepikanan sternum
2) V2 ruang intercostal IV, tepi sternum kiri
3)
V4 (Jangan khawatir, bukan kesalahan, tempatkan elektrode keempat sebelum ketiga) Ruang intercostal
kelima di garis midclavicula
4) V3 di pertengahan antara elektrode kedua dan keempat
5) V5 terletak pada iga ke lima di garis aksilaris anterior
6) V6 pada suatu garis horisontal dengan V5 di garis aksilaris media
6.
Sebelum merekam lead, buatlah rekaman kalibrasi.
7.
Setelah selesai merekam, bersihkan lead dan tubuh pasien yang terkena pasta.
8. Tulis tanggal dan jam pembuatan, nama dan umur pasien.
9.
Kembalikan elektrode dan alat perkam EKG pada tempatnya.

Teknik Pemasangan EKG


Hal yang perlu diperhatikan
Kecepatan laju kertas EKG 25 mm/detik atau 50 mm/detik.
Ukuran galvanometer 0,5 mv, 1 mv, dan 2 mv.
Kalibrasi dilakukan dua kali saat sebelum dan sesudah
Dibuat minimal 3 gelombang

Sadapan bipolar
Sadapan ini akan ditandai dengan angka romawi I,II, dan III dimana:
Lead I: Elektrode yang positif dihubungkan dengan lengan kiri dan electrode negatif dengan lengan kanan.
Lead II: Elektrode yang positif dihubungkan dengan kaki kiri dan yang negatif dengan lengan kanan.
Lead III: Elektrode yang positif dihubungkan dengan kaki kiri dan yang negatif dengan lengan kiri.
Sadapan unipolar ekstrimitas
Sadapan ini ditandai dengan aVR, aVL dan aVF
Sadapan aVR memiliki elektrode positif di lengan kanan. Elektrode negatif merupakan gabungan elektrode
lengan kiri dan elektrode kaki kiri.
Sadapan aVL mempunyai elektrode positif hitam di lengan kiri. Elektrode negatif adalah gabungan elektrode
lengan kanan dan elektrode kaki kiri.
Sadapan aVF mempunyai elektrode positif di kaki kiri. Elektrode negatif adalah gabungan elektrode lengan
kanan dan elektrode lengan kiri

Você também pode gostar