Você está na página 1de 6

Analisis Sejarah Perkembangan Feminisme di Indonesia

dalam Kacamata Teori Habitus Pierre Bourdieu


Fuaziatul Husna
Pendahuluan
Feminisme adalah suatu bentuk gerakan kaum perempuan untuk memperolah persamaan
derajat dengan dan kebebasan dari penindasan lelaki dan aturan-aturan yang mereka buat. Istilah
feminism sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Charles Fourier, seorang sosialis Perancis yang
banyak

mempengaruhi

perkembangan

gerakan

feminisme

di seluruh dunia. Dalam

perkembangan selanjutnya, pendefinisian istilah feminisme menjadi sulit karena kaum feminis
tidak ingin memberikan defenisi yang pasti dan seragam dengan berbagai alasan. Maggie Humm
(1989), menyatakan bahwa pendefinisian yang terlalu precise akan cenderung menyesatkan
karena proses pemaknaan merupakan usaha untuk memperluas dan bukannya mempersempit
alternatif linguistik (Thompson, 2001). Menurut Thompson, feminism merupakan gerakan
konstruksi sosial dan bukannya gerakan persamaan gender karena permasalahan yang diusung
oleh feminism mengacu pada penataan sosial dan bukan biologis.
Gerakan feminisme yang pertama kali muncul di Eropa dari abad ke-17 pada awalnya
merupakan bentuk protes dari kaum perempuan terhadap gereja. Pada masa itu, gereja
merupakan institusi tertinggi yang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada
dasarnya kekuasaan gereja yang terlalu besar dan aturan-aturannya yang bersifat mutlak memang
dianggap sewenang-wenang dan menyusahkan masyarakat pada umumnya. Akan tetpai, kaum
perempuan sebagai kelompok minoritas bahkan menerima perlakuan yang lebih tidak
menyenangkan lagi karena mereka dianggap sebagai makhluk golongan kedua setelah lelaki.
Salah satu tokoh feminis yang paling awal adalah seorang wanita bangsawan Perancis bernama
Simone de Beauvoir yang menyuarakan aspirasinya melalui karya sastra.
Para peneliti dan penulis dalam kajian feminism memiliki versi masing-masing dalam hal
pembagian gerakan feminism dalam gelombang-gelombang yang runut. Dalam makalah ini,
setelah sedikit perkenalan mengenai kemunculan awal feminism di atas, penulis akan langsung
membahas mengenai gerakan feminism modern yang dimulai pada tahun 1960 dan dipelopori
oleh kaum perempuan intelektual di Amerika Serikat. Pada gerakan feminism modern tersebut

kaum perempuan memperjuangkan hak-hak sipil perempuan dalam masyarakat, pendidikan dan
juga politik. Tokoh-tokoh yang paling popular pada saat itu diantaranya Virginia Woolf dan
Charlotte Perkins. Selanjutnya pada tahun 1970-an, masih di Amerika Serikat, muncul suatu
gerakan feminism yang kemudian dikenal sebagai feminism radikal karena memiliki landasan
teori dan tujuan sendiri yang tidak berdasarkan teori Marxis. Para aktifis feminism radikal
memperjuangkan pengembangan epistemology yang berperspektif feminis, sehingga kajian
womens studies dapat diterima oleh kalangan akademisi lain (Lubis, 2012).
Hingga saat ini, feminisme masih tetap berkembang untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman yang secara otomatis juga mempengaruhi pikiran dan harapan-harapan
perempuan sebagai objek yang diperjuangkan oleh kaum feminis. Proses perkembangan yang
melibatkan penyesuaian dengan perubahan zaman yang berarti penyesuaian dengan masalah dan
fenomena yang ada inilah yang nantinya berkaitan dengan teori Habitus yang dikemukakan oleh
Pierre Bourdieu. Dalam makalah ini, pembahasan akan difokuskan pada bagaimana perubahan
misi gerakan feminisme dalam setiap periode waktu tertentu dipengaruhi secara langsung oleh
tantangan yang diterima kaum perempuan dari lingkungan sekitarnya.
Feminisme di Indonesia; Dulu hingga Sekarang
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa gerakan feminism pertama di Indonesia adalah
perjuangan R.A. Kartini agar kaum perempuan diberikan hak untuk menempuh pendidikan
seperti halnya kaum lelaki. Banyak kalangan yang mengkritisi peran Kartini dalam pergerakan
feminism nyata karena memang dalam sejarah diceritakan bahwa sebagian besar ide-ide besar
Kartini untuk mengangkat derajat perempuan di Indonesia hanya tertuang dalam tulisantulisannya untuk temannya di Belanda, sedangkan tindakan nyata yang sempat dilakukan Kartini
hanyalah membuat sekolah kecil khusus perempuan. Peran tersebut dianggap terlalu kecil untuk
dianggap sebagai pelopor gerakan feminism di Indonesia.
Akan tetapi, kobaran semangat Kartini yang begitu kuat untuk menuntut persamaan hak
antara perempuan dan laki-laki tidak dapat dipungkiri merupakan sesuatu yang pada masa itu
memang belum dimiliki perempuan lain manapun di negeri ini. Oleh karena itu, gelasr pelopor
gerakan feminism memang sepantasnya disandang Kartini, setidaknya ia mengawali pemikiran

akan suatu kondisi sosial masyarakat dimana manusia tidak lagi dipandang berdasarkan gender
dan diperlakukan dengan lebih buruk hanya karena mereka terlahir sebagai perempuan.
Faktanya, pada perkembangan selanjutnya di akhir masa penjajahan Belanda di
Indonesia, para tokoh pergerakan perempuan yang mencetuskan diadakannya kongres
perempuan menjadikan Kartini dan pemikiran-pemikirannya sebagai landasan semangat juang
mereka. Bahkan hingga saat ini, hari Kartini diperingati dengan semangat bahwa perempuan
harus mampu mandiri dan bersaing dengan kaum laki-laki dalam setiap aspek kehidupan. Jadi,
tidak dapat dipungkiri bahwa terlepas dari segala kontroversi dan penolakan yang
memojokkannya, Kartini secara de facto merupakan pencetus dan penggagas pertama semangat
emansipasi perempuan di Indonesia.
Jika dibandingkan dengan gerakan feminism di negara-negara lain seperti Amerika
Serikat dan Inggris, gerakan feminism di Indonesia bisa dibilang berjalan dengan lambat dan
tenang. Apabila di Negara-negara tersebut tercatat adanya peristiwa besar dimana perempuan
melakukan demonstrasi menuntut persamaan hak dengan laki-laki, maka di Indonesia kita tidak
pernah maelihat hal-hal seperti demikian bahkan hingga saat ini. Salah satu penyebabnya adalah
fakta bahwa di Indonesia yang budayanya sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Islam,
perempuan cenderung diperlakukan dengan lebih baik dibanding di Negara-negara lain dimana
kaidah-kaidah sosial hanya diatur dan dikuasai oleh kaum laki-laki yang tentunya tidak mewakili
aspirasi kaum perempuan sama sekali.
Selain itu, perbedaan tingkat pendidikan merupakan sebab lain kenapa gerakan feminism
di Indonesia tidak sedinamis di Negara lain. Seperti diketahui, gelombang perlawanan kaum
feminis di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1960-an hingga 1970-an, saat dimana perempuan
mulai meneruskan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Di Indonesia, pendidikan hingga ke
perguruan tinggi belum begitu terlaksana hingga baru-baru ini, sehingga dapat dipahami
mengapa perjuangan mereka cenderung terlihat lebih lambat dan tak tampak dibanding gerakan
feminis di Negara lain.
Dewasa ini, perubahan kecenderungan gerakan feminism yang paling terlihat adalah
meningkatnya usaha-usaha yang dilakukan feminis secara individual. Jika dulu feminism
diperjuangkan dengan membentuk kelompok-kelompok besar yang akan bergerak bersama

dalam mencapai misi feminis tertentu, saat ini banyak tokoh feminis yang berjuang sendiri dalam
bidang masing-masing. Contoh yang mungkin paling populer adalah aktifis perempuan yang
memperjuangkan nilai-nilai feminism melalui buku-buku yang ditulisnya. Dengan cara ini, pesan
yang ingin disampaikan pada masyarakat tentang konsep feminism akan sampai dengan baik
tanpa membuat kehebohan atau konflik nyata dalam masyarakat.
Teori Habitus Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah seorang tokoh post-modern Perancis yang aktif pada 1950 hingga
1960an. Dalam kurun waktu tersebut ia menghasilkan beberapa teori penting yang hingga saat
ini masih diterapkan dan tidak dapat dipisahkan darinya. Dikenal sebagai seorang sosiolog,
sebagian besar teori Bourdieu berakar dari ketertarikan dan pengamatan yang dalam terhadap
kehidupan sosial manusia. Bourdieu mendefinisikan kehidupan sosial sebagai interaksi struktur ,
kecenderungan, dan tindakan saling mempengaruhi antar manusia dalam melaksanakan praktik
sosial masing-masing. Praktik sosial itu sendiri merupakan hasil proses improvisasi yang
distrukturkan oleh orientasi budaya, sejarah perorangan, dan kemampuan untuk berperan dalam
interaksi sosial.
Salah satu teori Bourdieu yang paling dikenal adalah teori habitus. Secara umum habitus
merupakan sistem yang terdiri dari kecenderungan tetap yang berlangsung di dalam diri pelaku
sepanjang hidupnya. Yang dapat mendorong praktik di berbagai arena yang berbeda yang
berfungsi sebagai pembentuk praktik yang terstruktur dan yang secara objektif disatukan.
Habitus mencakup pengetahuan

dan pemahaman

tentang dunia yang membuat

kontribusi terpisah pada realitas dunia.


Pengetahuan seseorang memiliki kekuatan pembentuk yang asli (genuine), dan bukan
semata-mata refleksi dunia nyata
Karena perkembangannya, habitus tidak pernah tetap, baik bagi individu maupun bagi
generasi ke generasi. Karena arena berubah-ubah, maka habitusnya pun berubah.
Terkait pelaku atau agency yang berperan dalam habitus, ada dua macam kendala bagi
pelaku (agency),: yakni habitus dari pelaku yang memasyarakatkannya, dan perubahan yang

relatif cepat dan kondisi objektif lingkungan sosial dan material tidak akan sama bagi generasi
ke generasi.
Menurut Bourdieu, segala sesuatu tidak pernah mapan dan terus menerus dihadapkan
pada hal yang baru, dan kedua, perubahan itu dapat dipolakan karena terdapat hambatan yang
menghadang pelaku.
Sejarah Perkembangan Feminisme di Indonesia dalam Kacamata Teori Habitus Pierre Bourdieu
Sejarah perkembangan feminism di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan
menjadi:
-

Masa colonial
Pada zaman penjajahan, gerakan feminism di Indonesia masih belum menunjukkan
peningkatan yang signifikan karena terbatasnya ruang gerak yang dimiliki perempuan.
Saat itu perempuan lebih fokus pada membantu dan mendorong perjuangan kaum lakilaki dalam merebut kemerdekaan dengan menjadi istri yang baik dan supportif. Dalam
sejarah tercatat bahwa barulah pada awal abad ke XX perempuan membentuk suatu
perkumpulan resmi yang pada awalnya terdiri dari istri para pemuka-pemuka politik dan
golongan pribumi terpandang saat itu.
Perkumpulan ini akhirnya melahirkan suatu bentuk kongres perempuan yang diadakan
pada tahun 1928 di Yogyakarta. Pada akhir kongres tersebut dibentuk lah suatu
perkumpulan resmi yang disebut Gerakan Istri Sedar yang misi utamanya adalah
mendorong kaum perempuan untuk berani menolak poligami. Dalam perkembangan
selanjutnya perkumpulan ini berganti nama menjadi Gerakan Wanita Sosialis (Gernis)
dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Akan tetapi, perubahan nama dan jargon
tersebut tidak merubah misi utama feminis saat itu, yaitunya menolak keras praktik
poligami yang dianggap merugikan pihak perempuan dari semua segi, baik mental
maupun material.

Masa Orde lama

Masa Orde baru

Masa Reformasi

Kesimpulan

Você também pode gostar