Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1.
2.
AGRIMETA
3.
4.
5.
6.
7.
SELAMATKAN
BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN
TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
AGRIMETA
Vol. 01
No. 01
Hal. 1 -101
Denpasar
Oktober 2011
ISSN
2088-2521
?
VOLUME 1
?
NOMOR 2
?
OKTOBER
AGRIMETA
?
2011
ISSN 2088-2521
AGRIMETA
Suatu jurnal ilmiah bidang pertanian dalam arti luas yang mempublikasikan hasil penelitian atau kajian
review pada semua aspek agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya pertanian (baik yang menyangkut
fisik maupun metafisik), baik secara alami maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah
lingkungan /organik.
Pemimpin Redaksi
Ir. Cening Kardi, MMA
Sekretaris Redaksi
Ir. Made Budiasa, MAgb
Mitra Bebestari (Dewan Redaksi)
1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS
Program Magister Bioteknologi Pertanian, Universitas Udayana
2.
3.
Redaksi Pelaksana
1. Ir. I Dewa Nyoman Raka, MP
2. Prof Dr. Ir. IGN Alit Wiswasta, MP
3. Ir. Ketut Widnyana, MSi
4. Ir. I Made Tamba, MP
5. Drs. I Gusti Gede Jelantik Arya
Agrimeta adalah jurnal ilmiah bidang pertanian yang berbasis keseimbangan ekosistem yang diterbitkan
oleh Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar. Jurnal diterbitkan 2 kali dalam setahun
(April, Oktober) dengan 1 volume dan 2 nomor penerbitan.
Makalah dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Makalah yang dikirimkan oleh penulis
kepada redaksi akan dievaluasi awal untuk subyek materi dan kualitas teknik penulisan secara umum oleh
pemimpin redaksi, selanjutnya akan dikirimkan kepada minimal 1 mitra bebestari di bidangnya untuk
evaluasi substansi materi sedangkan tahap akhir akan ada saran penyempurnaan dari pelaksana redaksi.
Makalah yang dinyatakan diterima serta telah diperbaiki sesuai saran redaksi akan diterbitkan dalam Jurnal
Agrimeta.
Petunjuk Format Penulisan Makalah terlampir di halaman terakhir dari jurnal ini.
Redaksi Agrimeta
Sekretariat Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar
Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail:ceningkrd@gmail.com
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan telah
banyak dilakukan, seperti: Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan program-program bergulir lainnya. Namun, sebagian
besar program tersebut bersifat top-down. Disamping itu, ada beberapa program
yang tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena penentuan sasaran secara
langsung tanpa melalui proses perencanaan dan tidak melihat kondisi langsung di
masyarakat. Beberapa program memiliki prosedur yang sangat rumit sehingga
tidak tepat waktu, tidak efektif dan tidak efesien.
Usman (1998) menyatakan perlunya pendekatan khusus dalam upaya
penguatan perekonomian masyarakat terutama kelompok nelayan kecil seperti: 1)
pendekatan teknokratis yaitu pendekatan yang diawali dengan terlebih dahulu
menetapkan program-program dan kelompok-kelompok sasaran (target),
kemudian dilanjutkan dengan membakukan sistem penyaluran (delivery system)
bagi kelompok-kelompok sasaran, mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis, serta mengeluarkan anggaran pendukung pelaksanaan teknis, 2)
pendekatan partisipatif yaitu dengan memperkuat kemandirian (community selfreliance). Masyarakat dibantu, didampingi dan difasilitasi untuk melakukan
analisis terhadap masalah keuangan yang dihadapi, diberikan peluang
memutuskan yang dikehendaki dan inisiatif mereka menjadi basis kegiatan. Peran
Agrimeta,
Program
Program
Program
Program
TATARAN
PENGELOLA
PROGRAM
Program
Program
Program
Program
PROSEDUR
YG. RIBET
KEBANYAKAN
MEDIATOR
KOORDINASI
LAPANGAN
?
BANTUAN SALAH
SASARAN
??
??
TATARAN
MASY.
TUMPANG TINDIH
DNG PROG LAIN
??
??
??
??
??
??
TERLUPAKAN?
Agrimeta,
Agrimeta,
2. LANDASAN TEORI
2.1. Analisis Model
Analisis Model adalah identifikasi bagian-bagian dalam gambaran suatu
sistem yang bertujuan untuk menjelaskan apa yang diinginkan, membangun dasar
untuk model baru, dan menetapkan persyaratan dari model yang akan dibangun.
Analisis Model membantu mengindentifikasi hal-hal perbaikan penting
yang akan dilakukan, serta memberikan strategi positif untuk mengevaluasi diri
untuk memahami struktur dan efektifitas dari suatu sistem. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa analisis model dapat dipakai sebagai alat untuk pembinaan
peningkatan pembangunan. 1
2.2. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
2.2.1. Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan
laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik kering maupun yang terendam air
laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak,
dan gelombang serta perembesan laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian
perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah,
perluasan pemukiman serta intensifikasi pertanian. 2
Wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1) wilayah
pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan darat,
sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari
proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2)
berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk
tempat pembesaran, pemijahan dan mencari ikan; 3) wilayahnya sempit, tetapi
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam
rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4) memiliki gradien perubahan sifat
ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi
yang berlainan; dan 5) tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan,
baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi
internasional. 3
2.2.2.. Permasalahan Masyarakat Pesisir
Saad (2006) mengatakan bahwa isu dan permasalahan pokok pengelolaan
wilayah pesisir adalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang
di wilayah pesisir dan laut, penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan,
potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dimanfaatkan secara optimal,
pengelolaan konservasi laut belum optimal, kepastian hukum belum terjamin serta
1
Agrimeta,
4
5
Agrimeta,
Fasilitator
Refleksi kemiskinan:
Identifikasi kemiskinan
Merumuskan persoalan
kemiskinan yang dihadapi
Merumuskan penyebabnya
Identifikasi potensi untuk
menanggulanginya
Pengorganisasian Masyarakat:
Lembaga masyarakat dibentuk/
ditetapkan, dimiliki, dan dikelola
untuk memenuhi kebutuhan bersama
Penyusunan Rencana:
Identifikasi dan Prioritisasi
Penyusunan Rencana/
Program Penanggulangan
Kemiskinan
Pertemuan Masyarakat:
Pelaksanaan Kegiatan:
Pembentukan/Penetapan
kelompok swadaya
masyarakat pelaksana
kegiatan
Media bersama untuk
menyelesaikan masalah
secara mandiri
Sosialisasi
di Masyarakat:
Pemetaan sosial
Sosialisasi
program
Penerima Manfaat:
Kelompok swadaya masyarakat
dan masyarakat miskin lainnya
Agrimeta,
Teori Kebijakan,
Pemberdayaan &
Partisipasi
P
E
M
E
R
I
N
T
A
H
K
E
B
I
J
A
K
A
N
MASYARAKAT
PESISIR
PNPMMKP mewujudkan
masyarakat pesisir
yang sejahtera
Fakta :
keterbela
kangan
dan
kemiskinan
Permasalahan
1).Bagaimana
pelaksanaan
PNPM-MKP.
2).Bagaimana
dukungan
masyarakat
pesisir thd
PNPM-MKP
3) Faktor apa
yang berhubungan dgn
PNPM-MKP
M
A
S
A
L
A
H
Penyem
purnaan
pola
PNPMMKP
Pendekatan
Deskriptif Kualitatif
INFORMASI
Agrimeta,
Agrimeta,
Agrimeta,
Agrimeta,
11
Gambar 5.
Gambar 6.
Agrimeta,
Agrimeta,
13
Aspek
Perencanaan
Pelaksanaan
Pemanfaatan
Monev
Kumulatif
sangat
rendah sedang tinggi
tinggi
12,12
67,68
16,16
4,04
1,01
52,53
40,4
6,06
2,02
53,54
40,4
4,04
2,02
43,43
46,47
8,08
3,03
40,4
55,56
1,01
14
Agrimeta,
Tabel 3.
15
Agrimeta,
pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek
monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara
kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan
dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan
Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan
dari pekerjaan utama.
5.2. Saran
Dari hasil dan pembahasan dapat diberikan saran sebagai berikut : 1)
program PNPM-MKP tetap dapat dilanjutkan oleh pemerintah; 2) Pemerintah
hendaknya lebih melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring program sehingga program tersebut
benar-benar sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat (bottom up). Dalam
pedoman teknis PNPM-MKP semestinya tidak ada pembatasan desa/kecamatan
calon penerima dan pembatasan menu dari barang-barang yang boleh dibiayai dari
program tersebut; dan 3) Untuk meningkatkan tingkat dukungan masyarakat dari
kategori sedang ke kategori yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP
baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring dan
evaluasi program, hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan
dengan dukungan masyarakat seperti kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap dan jumlah pendapatan
dari pekerjaan utama dari calon penerima program.
5.3. Implikasi
Peningkatan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan
pola PNPM-MKP dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat pada kelompok
umur muda (usia produktif), meningkatkan pendidikan peserta, meningkatkan
pendapatan masyarakat, serta mengupayakan peningkatan kepemilikan alat
tangkap nelayan.
Oleh karena program PNPM-MKP benar-benar dapat dilaksanakan dan
bermanfaat bagi masyarakat, maka pemerintah maupun stake holder terkait dapat
menggunakan program tersebut untuk dipakai sebagai salah satu model program
pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam mengentaskan kemiskinan di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi Program
Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan, Jakarta :
Bumi Aksara.
Alistair, Cockburn. 2000. OO Analysis Model (Online).(http://training.fws.gov/
deo/pdfs/The%20Interpretive%20Development%20Model.pdf). Diakses 28
Maret 2010.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Proses Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir. Jakarta: Tim Design.
Agrimeta,
17
Agrimeta,
Agrimeta,
19
1. PENDAHULUAN
Kabupaten Karangasem dengan luas wilayah 83.954 Ha. Hanya memiliki
lahan sawah beririgasi teknis seluas 7.059 Ha. (8,41 %) dan lahan kering paling
luas di daerah Bali bagian timur yaitu seluas 76.868 Ha. (91,56 %). Kabupaten
Karangasem terdiri dari 8 kecamatan dan dari 8 kecamatan yang ada tersebut,
kecamatan Kubu dan kecamatan Abang memiliki lahan kering terluas yaitu
masing-masing seluas 23.472 Ha. dan 12.658 Ha., selanjutnya disusul dengan
kecamatan Rendang seluas 9.987 Ha., kecamatan Karangasem seluas 7.817 Ha.,
kecamatan Selat seluas 7.200 Ha., kecamatan Bebandem seluas 7.127 Ha.,
kecamatan Manggis seluas 6.395 Ha., dan kecamatan Sidemen seluas 2.2123 Ha.
Lahan kering bermasalah (marginal) dari segi kesuburan dan curah hujan yang
rendah sebagian besar ditemukan di kecamatan Kubu, Abang, dan Karangasem
(Bappeda Karangasem dan Puslit Teknologi dan Seni UNUD, 2003). Secara
agroekosistem lahan kering mempunyai karakter lebih labil dibandingkan lahan
sawah. Secara umum beberapa karakteristik lahan kering adalah topografi
umumnya tidak datar, rentan terhadap erosi, system usahatani beragam sehingga
agak sulit dalam pengelolaan lahan, ketergantungan terhadap iklim sangat besar,
unsure hara terbatas.
Sumber daya alam di lahan kering dapat pulih dengan beberapa teknologi
dan teknik pengelolaan yang benar dan konsisten dari pengelolanya, walaupun
memang memerlukan waktu yang relatif agak lama. Disamping itu kondisi
penduduk terutama petani yang relatif miskin harus digarap juga dengan cara
memberikan pembinaan dan bimbingan secara terus menerus untuk mengelola
lahannya dengan baik agar dapat memberikan menfaat yang lebih untuk
kehidupan mereka.
Salah satu usaha yang dapat dilaksanakan adalah peningkatan kesuburan
tanah dengan pemberian pupuk yang mudah tersedia dan berkadar tinggi Akan
tetapi pemberian pupuk kimia atau anorganik untuk mempercepat proses
peningkatan kesuburan tanah hanya akan meningkatkan kesuburan kimia tanah
saja, sedangkan kesuburan fisik tanah akan tetap rendah dan bahkan kesuburan
biologi tanah akan tertekan atau aktivitas mikroorganisme tanah yang membantu
peningkatan kesuburan tanah akan terhenti dengan adanya pupuk kimia
(anorganik) yang tinggi (Food and Fertilizer Technology Center, 2003). Seperti
diketahui bahwa lahan marginal adalah lahan yang rendah potensi dan
produktivitasnya dari semua segi kesuburan tanahnya baik dari segi kimia,fisik
maupun biologi tanah dan disamping itu juga pada keterbatasan tersedianya air
20
Agrimeta,
(Suprapto, dkk, 2000), sehingga untuk menangani kesuburan lahan marginal agar
potensi kesuburannya meningkat, maka perlu diambil langkah langkah yang
bijak untuk mengatasi kendala kendala yang ada. Langkah langkah yang bijak
untuk mengatasi ketiga kendala aspek kesuburan tanah lahan marginal tersebut
adalah dengan pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang dan kascing serta
pupuk hayati mikoriza
Paket rekayasa bioteknologi biofertilisasi antara mikoriza dengan pupuk
kandang dan kascing untuk meningkatkan potensi kesuburan tanah lahan marginal
cukup ideal dapat dilaksanakan karena akan mendukung ketiga aspek kesuburan
tanah yaitu kesuburan kimia, fisik dan biologi tanah. Aplikasi miko-riza, pupuk
kandang dan kascing ke dalam tanah lahan marginal akan berpengaruh terhadap
(Parr et al., 2003; Herman dan Goenadi, 2003; Pujiyanto, 2001; Wiswasta, 2001):
1. Aspek fisik tanah yang meliputi struktur dan tekstur tanah, tanah akan
menjadi gembur. Adanya bahan organik yang cukup dari pupuk
kandang dan kascing maka pada tanah yang berkadar pasir tinggi. Air
tidak akan mudah hilang meresap karena ditahan oleh bahan organik
tersebut dan pada tanah berkadar liat tinggi, air tidak mudah
tergenang karena tanah menjadi penuh dengan adanya bahan organik
tersebut. Mikoriza juga mempunyai sifat menyimpan air pada musim
kemarau.
2. Aspek biologi tanah, tersedianya bahan organik yang cukup di dalam
tanah akan meningkatkan aktivitas dan perkembangbiakan
mikroorganisme tanah yang menguntungkan yang membantu
meningkatkan kesuburan tanah.
3. Aspek kimia tanah, aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme
akan membantu mendegradasi molekul molekul bahan organik
menjadi unsur unsur yang dapat meningkatkan kesuburan tanah
sehingga tersedia bagi tanaman.
Paket bioteknologi biofertilisasi ini telah banyak diteliti dan dicoba baik di
luar maupun di dalam negeri untuk mengembalikan kesuburan tanah lahan kering
(marginal) seperti lahan lahan transmigrasi yang telah lama terbuka agar berdaya
guna dan berhasil guna. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kesuburan tanah lahan marginal yang selanjutnya akan
meningkatkan pendapatan petani dengan pemanfaatan limbah peternakan (
kotoran ternak ) atau kascing ( hasil degradasi sampah bahan organik oleh cacing
tanah ) dan dengan inokulasi mikoriza melalui penerapan paket bioteknologi
biofertilisasi
2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas lahan kering di
Kubu, Karangasem.
Setelah diketahui tingkat kesuburan, potensi dan
produktivitas lahan kemudian dilakukan perlakuan pemupukan pupuk organik
dikombinasi dengan mikoriza untuk meningkatkan kesuburan tanah lahan
marginal sehingga potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Dari
penelitian ini juga diharapkan diperoleh peningkatan potensi kesuburan tanah
lahan marginal yang memperoleh perlakuan bioteknologi biofertilisasi mikoriza
dengan pupuk kandang dan kascing. Dengan diketahuinya potensi tanah lahan
marginal melalui studi rekayasa bioteknologi biofertilisasi tersebut maka dapat
Agrimeta,
21
22
Agrimeta,
Mth
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
Rsq
,198
,229
,000
,183
,321
,629
,047
,067
d.f.
F
8
1,97
7
1,04
8 3,0E-03
7
,79
8
3,79
7
5,94
8
,39
7
,25
Sigf
,198
,402
,957
,492
,088
,031
,549
,783
b0
b1
34,8000 -1,0375
32,0143
,3554
27,1000
,0250
30,8143 -1,8321
21,9000 1,2625
13,5429 5,4411
24,2000
,3625
25,8429 -,4589
b2
-,0871
,1161
-,2612
,0513
Dari Tabel 4 Tabel 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan mikoriza dengan
pupuk organik terhadap parameter jumlah biji dan berat kering oven biji kacang
tanah menunjukkan pengaruh tidak nyata Hal ini juga dipertegas dengan
kecenderungan Grafik 1 sampai dengan Grafik 4, dimana pada kedua parameter
kecenderungan masih linier. Walaupun pada perlakuan tunggal baik pupuk
maupun mikoriza ada beberapa yang menunjukkan pengaruh nyata. Misalnya
seperti perlakuan pupuk kandang babi (P3) dan mikoriza menunjukkan pengaruh
yang nyata
(Tabel 4).
JBJKCTP3
50
40
30
20
Observed
10
Linear
0
Quadratic
-10
10
20
DOSISPPK
23
Pada Tabel 5 terlihat bahwa tanpa perlakuan mikoriza maka pemberian pupuk
kascing menunjukkan pengaruh yang nyata, walaupun kecenderungannya masih
linier.
Tabel 5. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah Biji Kacang Tanah
Dependent Mth
Rsq d.f.
JBJKCTP1 LIN ,320
JBJKCTP1 QUA ,382
JBJKCTP2 LIN ,527
JBJKCTP2 QUA ,564
JBJKCTP3 LIN ,029
JBJKCTP3 QUA ,029
JBJKCTP4 LIN ,002
JBJKCTP4 QUA ,022
8
7
8
7
8
7
8
7
F Sigf
3,76 ,089
2,17 ,185
8,92 ,017
4,52 ,055
,24 ,641
,10 ,903
,02 ,903
,08 ,924
b0
b1
47,3000 -1,5250
42,7286
,7607
39,7000 -1,8125
36,4857 -,2054
34,6000 -,3750
34,4571 -,3036
28,6000
,0625
27,2429
,7411
b2
-,1429
-,1004
-,0045
-,0424
JBJKCTP2
50
40
30
20
Observed
10
Linear
0
Quadratic
-10
10
20
DOSISPPK
Jumlah
Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji
Kacang Tanah
Dependent Mth
Rsq d.f.
BKOBJKP1 LIN ,224
BKOBJKP1 QUA ,322
BKOBJKP2 LIN ,324
BKOBJKP2 QUA ,428
BKOBJKP3 LIN ,114
BKOBJKP3 QUA ,148
BKOBJKP4 LIN ,007
BKOBJKP4 QUA ,171
24
Agrimeta,
8
7
8
7
8
7
8
7
F Sigf
2,31 ,167
1,66 ,256
3,83 ,086
2,62 ,141
1,03 ,340
,61 ,572
,06 ,813
,72 ,520
b0
17,5800
15,8300
17,1000
15,1143
16,7100
15,5600
13,9400
12,3900
b1
-,3912
,4837
-,5175
,4754
-,3137
,2612
-,0487
,7262
b2
-,0547
-,0621
-,0359
-,0484
BKOBJKP2
20
18
16
14
12
10
8
Observed
Linear
Quadratic
-10
10
20
DOSISPPK
Mth
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
Rsq
,240
,256
,006
,195
,134
,512
,049
,239
d.f.
8
7
8
7
8
7
8
7
F
2,53
1,20
,05
,85
1,24
3,67
,41
1,10
Sigf
,150
,355
,836
,468
,298
,081
,539
,384
b0
b1
16,4100 -,3512
15,8029 -,0477
12,8400
,0625
15,2829 -1,1589
14,0600
,3713
9,8529 2,4748
17,4800 -,3338
13,0300 1,8912
b2
-,0190
,0763
-,1315
-,1391
BKOBJKP3
30
20
10
Observed
Linear
0
Quadratic
-10
10
20
DOSISPPK
25
yang nyata, tetapi perlakuan tanpa mikoriza menunjukkan pengaruh nyata pada
perlakuan kascing (P4). Interaksi tidak menunjukkan pengaruh nyata, dapat
dilihat pada grafik kecenderungan yang masih linier (Grafik 3 dan 4).
Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap Jumlah Biji
Jagung
Dependent
JMBJJGP1
JMBJJGP1
JMBJJGP2
JMBJJGP2
JMBJJGP3
JMBJJGP3
JMBJJGP4
JMBJJGP4
Mth
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
Rsq
,480
,548
,003
,067
,031
,047
,060
,221
d.f.
8
7
8
7
8
7
8
7
F
7,38
4,23
,03
,25
,26
,17
,51
,99
Sigf
,026
,062
,877
,784
,626
,845
,496
,417
b0
98,0000
66,6429
250,700
224,629
211,300
227,943
307,100
348,886
b1
12,3375
28,0161
-,8625
12,1732
3,4625
-4,8589
-3,7625
-24,655
b2
-,9799
-,8147
,5201
1,3058
300
200
100
Observed
Linear
Quadratic
-10
10
20
DOSISPPK
Agrimeta,
8
7
8
7
8
7
8
7
F Sigf
2,79 ,133
1,67 ,256
,17 ,687
,17 ,846
,06 ,809
,32 ,733
,24 ,636
,74 ,510
b0
b1
24,8700 1,6713
19,2629 4,4748
45,6700 -,3575
43,0271
,9639
45,4500
,2725
51,2500 -2,6275
53,4000 -,4075
59,5429 -3,4789
b2
-,1752
-,0826
,1812
,1920
BPKBJP1
70
60
50
40
30
Observed
20
Linear
10
Quadratic
-10
10
20
DOSISPPK
Grafik 6. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat
Pipilan Kering Jagung
Tabel 10. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat
Kering Oven Jagung
Dependent Mth
Rsq d.f.
BKOBJP1 LIN ,462
BKOBJP1 QUA ,490
BKOBJP2 LIN ,026
BKOBJP2 QUA ,027
BKOBJP3 LIN ,000
BKOBJP3 QUA ,086
BKOBJP4 LIN ,021
BKOBJP4 QUA ,021
F Sigf
8
6,87 ,031
7
3,36 ,095
8
,21 ,657
7
,10 ,908
8 1,2E-03 ,974
7
,33 ,731
8
,17 ,689
7
,08 ,928
b0
b1
10,2000 1,7225
7,3429 3,1511
35,6900 -,3687
35,1257 -,0866
35,5100
,0300
40,4529 -2,4414
33,5900
,2550
33,6471
,2264
b2
-,0893
-,0176
,1545
,0018
BKOBJP1
50
40
30
20
Observed
10
Linear
0
Quadratic
-10
10
20
DOSISPPK
Dari hasil analisis terhadap parameter vegetatif, hanya terhadap panjang akar dan
berat kering oven akar terjadi pengaruh yang signifikan, (lihat Tabel 8 dan 9).
Panjang akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (84 cm), dan berat
kering oven akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (35,5 g).
Agrimeta,
27
Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Akar Tanaman Jagung (cm)
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
81
76
72
64
D1
63
68
69
56
D2
78
61
74
73
D3
77
70
79
84
D4
Keterangan:
D
= perlakuan dosis pupuk
P
= perlakuan jenis pupuk
Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Kering Oven Akar (g
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
23,7
27
22,1
21,2
D1
16,7
23,1
14,5
18,4
D2
21,1
24,2
25,6
20,1
D3
24,9
27,7
21,5
35,5
D4
Keterangan:
D
= perlakuan dosis pupuk
P
= perlakuan jenis pupuk
4.3 Pembahasan
Tabel 13. Signifikansi Pengaruh perlakuan Mikoriza (M), Dosis (D) dan Jenis
pupuk (P) terhadap parameter yang diamati
No Parameter
M D
P
MxDx P
1
Jumlah biji kacang tanah
* ns *
ns
2
Berat Kering Oven Biji Kacang tanah
* ns *
ns
3
Jumlah biji jagung
* ns *
ns
4
Berat pipilan kering jagung
* ns *
ns
5
Berat kering oven jagung
* ns *
ns
6
Berat basah akar kacang tanah
* ns *
ns
7
Berat kering oven akar kacang tanah
* ns *
ns
8
Berat basah akar jagung
* ns *
ns
9
Berat kering oven akar jagung
* ns *
ns
Keterangan:
*
= berpengaruh nyata
ns
= non significant (tidak berpengaruh)
Dari data signifikansi dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan mikoriza
dan pupuk berjalan sendiri-sendiri, baik pada tanaman jagung maupun pada
tanaman kacang tanah. Pada perlakuan tunggal mikoriza maka semua parameter
yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun masih menunjukkan
kecenderungan linier, yang berarti bahwa pemberian mikoriza untuk selanjutnya
bisa ditingkatkan dari dosis yang digunakan saat ini. Pada perlakuan pupuk
terlihat dari Tabel 4 Tabel 10 ternyata jenis pupuk menunjukkan pengaruh yang
berbeda pada masing-masing parameter, hal ini diduga disebabkan karena pupuk
28
Agrimeta,
29
DAFTAR PUSTAKA
Ahiabor, B.D and H.Hirata. 1995. Influence of Growth Stage on The Assocation
Between Some Tropical Legumes and Two variant species of Glomus in
an Andosol. Sil Sci. Plant Nurt. 41 (3): 481-496.
Astiari, A. 2003. Efek Dosis Inokulan Mikoriza terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di lahan Kering
Desa Kubu, Karangasem. Thesi Magister Pertanian Lahan Kering.
Universitas Udayana Denpasar.
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, 2003. Bali Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Propinsi Bali
Bappeda Kabupaten Karangasem dan Pusat Penelitian Teknologi dan Seni, 2003.
Kajian Teknis Potensi dan Pemanfaatan Lahan Kering Di Kabupaten
Karangasem. Bappeda Kabupaten Karangasem.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Bali. 2007. . Makalah disampaikan pada
Semi Loka nasional Model produksi Beras di Bali. Sindhu Beach Hotel,
21 Nopember 2007
Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 2002.
Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Edisi VI. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Food and Fertilizer Technology Center, 2003. Microbial and Organic Fertilizers in
Asia. An International Information Center for Farmers in the Asia
Pasific Region. http://www.agnet.org/library/html 1/17/03.
Gemma, J.N. and R.E. Koske, 2003. Use of Mycorrhizae in Restoration of
Hawaiian Habitats. Departement of Biological Sciences, University of
Rhode Island, Kingston. http://www.hawaii.edu/scb/scinativ_mycor.html
1/22/03.
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian.
Terjemahan. E. Samsuddin dan J.S. Baharsyah. UI press, Jakarta.
Herman dan D.H. Goenadi, 2003. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri
Pupuk Hayati Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/html/jp183993.html 1/8/03.
Kasno, A. 2003. Profil dan Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah di
Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman pangan, Bogor, 26 Mei
2003
Muin, A., 2003. Penggunaan Mikoriza untuk Menunjang Pembangunan Hutan
pada Lahan Kritis atau Marginal. Mutualisme antara Cendawan dan
Tanaman.
http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/PPs702/ABDURRANI.htm 1/3/03.
Munir, M., 2001. Tanah-Tanah Utama Indonesia : Karakteristik, Klasifikasi, dan
Pemanfaatannya. Pustaka Jaya, Jakarta.
30
Agrimeta,
Parr, J.F., S.B. Hornick, and D.D. Kaufman, 2003. Use of Microbial Inoculants
and Organic Fertilizers in Agricultural Production. An International
Information Center for Farmers in Asia Pasific Region . Food and
Fertilizer
Technology
Center.
http://www.agnet.org/library/article/eb394.html 1/29/03.
Pujiyanto, 2003. Pemanfaatan Jasad Mikro Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam
Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia : Tinjauan dari Perpektif
Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB. http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/ indiv2001/pujiyanto.htm 1/28/03.
Setiawati, M.R.,B.N. Fitratin dan P. Suryatmana. 2000. Pengaruh Mikoriza dan
Pupuk Fosfat terhadap Derajat Infeksi Mikoriza dan Komponen
Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah. Prosiding Seminar Nasional
Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan PAU Bioteknologi IPB. Hal
92 99.
Suarna, I W., 2001. Pengaruh Pupuk Organik Kascing terhadap Pertumbuhan,
Hasil, dan Kualitas Hijauan dalam Sistem Asosiasi RumputLegum serta
Dampak-nya terhadap Prestasi Kambing Peranakan Etawah Jantan.
Disertasi Program Pascasarjana UNPAD., Bandung.
Suprapto, I N. Adijaya, I K. Mahaputra, dan I M. RaiYasa, 2000. Penelitian
Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Wiswasta, I G.N.A., 2001. Pertumbuhan dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput
Setaria (Setaria splendida Stapf.) yang Dipengaruhi Nitrogen, Fosfor,
Mikoriza, dan Azospirillum. Disertasi Program Pascasarjana UNPAD.,
Bandung.
Yadi Setiadi. 2000. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza
Arbuskular dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi.
Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan
PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Hal 11-23.
Agrimeta,
31
1. PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting bagi
masyarakat. Pertumbuhan permintaan kedelai cukup pesat selama beberapa tahun
terakhir, terutama untuk konsumsi, bahan baku industri, seperti industri tahu,
tempe, kecap, tauco, dan susu, serta meningkatnya permintaan terhadap pakan
ternak sebagai akibat berkembangnya industri perunggasan. Walaupun selama dua
warsa terakhir telah terjadi peningkatan produksi dalam negeri, namun belum
mampu memenuhi permintaannya. Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini
telah mencapai 2,3 juta ton tahun -1 , sementara produksi kedelai dalam
negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40 persen sehingga
kekurangannya dipenuhi dari impor.
Harga kedelai impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga kedelai
lokal sangat merugikan petani. Karena biaya produksi tidak seimbang dengan nilai
hasil yang didapatkan, sehingga minat petani menanam kedelai hanya sekedar
melanjutkan kebiasaan pola tanam saja. Hal ini diperparah lagi dengan situasi
pemasaran kedelai yang kurang menguntungkan petani, pemasaran kedelai
dikuasai oleh pedagang besar dan industri (Sudaryanto,dkk.,1992;
Zulham,dkk.1993; Zulham dan Yumm,1996).
Berdasarkan data statisitik
Kementrian Pertanian, (2010) harga kedelai di tingkat petani pada Desember
2009 Rp 4.900 kg -1 , dan harga di tingkat konsumen Rp 6.500 kg -1 . Ini
berarti ada perbedaan harga atau marjin pemasaran sebesar Rp 1.600/kg
atau 32,65 persen
Oleh karena itu pemerintah memprogramkan dan menetapkan jajaran
areal tanam yang diharapkan mempunyai produksi yang dapat mencukupi
kebutuhan pangan, namun kenyataannya kepastian tersebut selalu mendapat
tantangan dari kondisi alam, kondisi praktis seperti penerapan teknologi, dari
pelaksana/petani dan hambatan lain seperti perlakuan pasar, kebijakan
pemerintah, sehingga pencapaian produksi atau penawaran kedelai sulit
diperkirakan secara pasti.
32
Agrimeta,
33
Q / Q Q P
.(3)
.
P / P P Q
Dimana :
s = Elastisitas penawaran komoditas kedelai
P = Harga komoditas kedelai
Q = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan
Q = Q2 Q1 (Q1 dan Q2 adalah komoditas kedelai yang ditawarkan pada
periode 1 dan 2)
Elastisitas penawaran kedelai dapat bersifat; elastisitas sempurna, elastis,
elastis uniter, tidak elastis dan tidak elastis sempurna. Dikatakan elastis sempurna
apabila para penjual/produsen hanya mau menjual semua kedelainya pada suatu
harga tertentu, dan kurve penawaran kedelai sejajar dengan sumbu horizontal (S o).
Tidak elastis sempurna apabila penjual sama sekali tidak dapat menambah
penawaran kedelai walaupun harga bertambah, dan kurve penawarannya sejajar
dengan sumbu vertical (S1) sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 1a.
Sedangkan kurve penawaran yang tidak elastis, elastis uniter dan elastis
ditunjukkan pada Gambar 1b. Elastis uniter ditunjukkan oleh garis penawaran
(S3) yang membentuk sudut 45o .Kurve penawaran tidak elastis (S2) adalah setiap
perubahan harga kedelai menimbulkan perubahan jumlah komoditas kedelai yang
ditawarkan lebih kecil, dan kurve elastis (S4) apabila terjadi perubahan harga
kedelai menyebabkan perubahan yang lebih besar terhadap jumlah komoditas
kedelai yang ditawarkan
S2
S1
P
P
S3
S4
S2
(a)
(b)
Gambar 1. Jenis-Jenis Elastisitas Penawaran Kedelai
(Diadaptasi dari Sukirno, 2002)
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara porpusive sampling di provinsi Jawa
Timur dengan dasar pertimbangan Jawa Timur merupakan daerah penghasil
utama kedelai nasional. Data yang digunakan adalah data statistik Time series
(1989-2008) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian dan
instansi terkait. Data diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least
Square). Sebelum data diestimasi, setiap variabel diuji kondisi stationary-nya
dengan menggunakan Uji ADF (Augmented Dickey-Fuller Test).
3.2
Analisis Data
Penawaran kedelai responsif terhadap harga. Harga pertanian lain juga
mempengaruhi penawaran kedelai pada level petani. Pada level pedagang besar,
penawaran pasar ini merespon pada tingkat harga pedagang besar.
34
Agrimeta,
Agrimeta,
35
Agrimeta,
37
Miller, Roger Le Roy dan Roger E Meiners. 1993. Teori Ekonomi Mikro
Intermediate. Penterjemah Haris Munandar, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Manwan, I, Sumarno, A.S. Karama, dan A.M. Fagi. 1996. Teknologi Peningkatan
Produksi Kedelai di Indonesia. Laporan Khusus Pus/02/89, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Maddala, GS. 2001. Introduction to Economitrics. Jhon Wiley & Sons. Ltd
Purwoko, A dan Sayaka, B. 1992. Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Rogers, G. 1986. Penetapan Harga Hasil Pertanian. (Penyunting Makaliwe)
Gramedia. Jakarta
Schroeter, Jhon R. 1988. Estimating the Degree of Market Power in the Beef
Packing Industry. The Review of Economics and Statistics. 70 (1): 158162.
Salvatore, D., 1989. Ekonomi Internasional. Gelora Aksara. Jakarta.
Sudaryanto, T., 1992. Gambaran Agegat Ekonomi Kedelai di Indonesia.
Agribisnis Kedelai (Buku I). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.
Schroeter, Jhon R and Azzam, A. 1991.Marketing Margin, Market Power And
Price Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics.73 (4):
990-999
Sukirno, Sadono.,2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Statistik Kementrian Pertanian Indonesia, 2010. Perkembangan Harga Kedelai di
Sentra Produksi Kedelai di Indonesia.
Zulham,A.,Syafaat, Y Marisa, B. Hutabarat, dan T.B. Purwantini, 1993. Pola
Perdagangan Wilayah Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Zulham, A dan Yumm, M. 1996. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Ekonomi
Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi kedelai di Indonesia disunting oleh
Amang, B; Sawit. H dan MR. Anas. IPB Press. Bogor
38
Agrimeta,
INSTITUTIONAL FRAMEWORK
FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL :
An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province
Nyoman Utari Vipriyanti
Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstract
The basic premise of this research is that social capital is a productive
factor, which impact the regional development, economic growth and poverty
differently depend on individual and community characteristics. The aims of this
research are (1) generating social capital data especially on dominant component
such as trust, network density and collecctive norm of traditional agriculture
(subak) community, tourism (HPI, Asita and PHRI) community and desa
pakraman community. (2) How to make social capital indicator more strengthen
in diferent region and communities. The data is analyzed with Structural
Equation Model (SEM). Research shows that norm is the most important
indicator to build social capital in underdeveloped region. The other side, the most
important indicator for social capital in developed region is trust. Network density
is the most important endogenous variable that gives the most contribution to
subaks and desa pakraman's social capital but not in tourism community.
Keywords: Economic Development, Social capital, Trust, Norm, Network.
1. INTRODUCTION
Social capital concept stated that there is a close relationship between
social capital and human resources. Social capital will be established if every
person in the group have own contribution. The relationship between social
capital and human resources is not a simple one (Glaeser, Laibson and Sacerdote,
2001). Social capital is similar with knowledge that always develops to be
productive if used intensively. Therefore the capital should be keep productively.
Without spend a lot of time, energy and others resources on the social capital,
relationship among individual tend to reduce by the time.
Social capital is resulted from changing on relationship among individual
that facilitate an action. Therefore, social capital is intangible, different with
physical capital. However, together with human capital and physical capital,
social capital facilitates productive activities.
From the last 20 century to the beginning of 21 century, a large body of
social capital research has been carried out particularly in relationship with
economic growth of a region. The first research on relationship between social
capital and regional economic performance was conducted by Putnam (1993). He
suggests that social capital is not only found at micro level, in the form of
personal relationship among individual, but also at macro level. He also stated that
level of community welfare in north Italy is higher than south Italy due to
different social structure. In North Italy, there is a horizontal structure while the
south is hierarchy. Putnam measure social capital based on newspaper readership,
availability of sport and culture association, institution performance and citizen
Agrimeta,
39
satisfaction. The social capital size is used to explain distinction economic growth
for the two regions while difference from others variable is assumed not large
enough. Furthermore, Helliwell and Putnam (2000) also shows that social capital
will facilitate local government ability to achieve higher economic growth. The
research showed that convergence is faster and income equality will be happened
on higher level that is in regions with stronger social capital.
Even a positive correlation between social capital and growth is proved,
social capitals key components has not identified yet. Different social capital
research has used different social capital indicator that meet with researchers
definition. As so far, there is no agreement on social capital determinant although
some theories suggest that trust is moral basis for the establishment of social
capital. This paper is trying to analyze dominant social capital component in a
community, particularly community in Bali. The objectives is to describe in detail
concerning about dominant social capital component to make effective
establishment of social capital in a community by considering the dominant
component.
2. SUOURCE OF SOCIAL CAPITAL
Trust
Whole human relationship based on trust as moral aspect where the social
capital is established. Morality gives a direction for social cooperation and
coordination. Trust building is an integral part of caring process that established
since the beginning of a family. Trust each other in family relationship, will
develop reciprocity and exchange.
Trust reduces transaction cost that is cost as result of exchange process
including contact, contract and control cost. The existing sense of trust each other
will reduce cost for monitoring activities on other person behavior therefore they
have behavior as expected. Trust means that ready to take risk and uncertainty.
Casson and Godley (2000) have defined trust as accepting and ignoring any
possibility that something will not true. Trust will simplify cooperation. More
trust to other person will make strong cooperation among person.
Trust each other can be established or destroyed. Sustainable trust, can not
build without truth. Trust can be build by the existence of repeated personal
interaction (personalized trust), knowledge on population or accepted incentive
(generalized trust). Bounded human rationality will effect on efforts to build the
trust each other. Therefore, human rationality boundaries should be extended by
communication and information that trustable. Many researches show that trust
has significant and positive relationship with success achievement of economic
growth indicator by more efficient of production process. In other hand,
government success to realize better economic development will strengthen social
trust on community.
Norms (Share Value)
Traditional theory on group stated that organization and group are
characterized by ubiquitous that resulting from human tendency to joint and build
association. Mosca in Olson (1977) stated that human has felling to herding
40
Agrimeta,
together and fighting with other herds. The feeling will increase in certain
community by means of moral reason.
As so far, there is a general conception that individual group with
collective interest, at least including economic goals, will trying to develop
collective goals. Individual group is expected tend to stand on the collective
interest than individual interest. The opinion is assumed that individual in a group
will act beyond the personal interest. In fact, individual in a group will trying to
achieve collective goals only if the individual also get benefit, in other words, act
to achieve the collective goals is not voluntary. Norms is needed to manage
individual in a group therefore benefit for the members is proportional with the
efforts in the group.
Norms is share values that regulate individual behavior in a community or
group. Fukuyama (1999) stated that social capital is instant informal norms that
able to develop cooperation among two individual or more. Norm is social capital
that constructed from reciprocity among person. Social norms that determine
collective behavior in an individual group is known as equity principles that
directed the actor to have behavior belonging the own interest.
Network
Dasgupta (2002) assumed that any person have ability to interact with the
others without opportunites to chosen. However in fact, everybody have certain
interaction pattern, have an opportunity to select the person with whom to interact
and with certain reason. Initially, network is system of communication channel to
protect and develop interpersonal relationship. There is a cost to build the
communication channel that known as transaction cost. Desire to join with other
person, partly is caused by share values. Network is also play to build coalition
and coordination. In general, decision to make investment in certain channel is
caused by the channel contribution on individual economic welfare.
Network is emphasizing on importance of vertical and horizontal
organization among people and the intra-organization. Granovetter (1973) stated
that strong ties among community are needed to give identity on family,
community and collective goals. The idea is also suggest that without community
ties (weak ties) that connecting among social organization, the horizontal strong
ties will be basis to realize bounded group desire.
Social capital is a condition where are the individuals using the
membership on a group to obtaining benefit. Social capital is can not evaluated
without knowledge about where the individual exist, because social interaction is
depends on network and community structures. Coleman (1988) is having notion
that Social network density will increase efficiency to strengthen cooperation
behavior in an organization.
According to him, social capital is sums of
"relational capital of some individual and established on reciprocity norms
basis. Social relationship that established in a closure social structure is not only
important to build effective norms but also to build trust because the network
closure will produce positive economic externality by means facilitation process
on collective action. Woolcock (2001) make clear distinction between bonding,
bridging and linking social capital. According to him, generally bonding social
capital is come from family relationship, neighbor living and friend. Members of
the group generally have intensive interaction, face-to-face and support each
Agrimeta,
41
others. Bridging social capital is build from interaction among group in a region
with relative lower frequency, such as religion group, ethnic, or certain income
level. In general, linking social capital is build from formal relationship between
many parties such as bank, health clinic, school, farming, tourism, etc.
The previous research is believed that strong social capital is one of
supporting factor to achieve higher welfare and reduce gap among area or group
in a region (Putnam, 1993; Christoforu, 2003; Grootaert 2001). Measurement of
social capital is carried out with differently methods and proxy with variable that
meet with the researchs goals, however in general including one of trust, network
community and reciprocity norms component. Strong social capital will be
reflected by a condition where is a region having high security level, high
organization activities and adequate public facilities.
This research is trying to test social capital components that has been
conducted for others region. Generally, the objective is to study existing
difference between social capital level and the component that has largest
contribution on social capital in Balis community. In detail, the aim of the
research are : (1) to study level of trust, network density and community norms in
developed region, underdeveloped region and community organization such as
subak, banjar/desa pakraman and tourism, (2) to study social capital component
in individual level (micro) and group (medium) and finally (3) to analyze each
component contribution on establishment of social capital.
Measurement of social capital index in Bali is based on regional
development and micro, medium and macro level. Social capital at micro and
medium level is measured by individual network, helping each other norms and
trust where as for macro level is measured by regional network and availability of
public facilities.
Measurement unit for social capital index in Bali is differentiated on social
capital at individual, group and region level. Individual social capital is
established from network, norms and trust. Social capital of community group is
measured using network group, individual trust on certain group, cooperation
activities and benefit that accepted by the group member. Finally, region social
capital is measured by availability of public school facilities, community health
centre (puskesmas) and number of organization.
3. SOCIAL CAPITAL IN DIFFERENT COMMUNITY IN BALI
Individual social capital is measured by means trust to person, each
individual network and norms that setting cooperation among the individual.
Trust, readiness to make network and obeying the existing norms are responding
on conditioned social stimulate. Most of social capital component is person or
group attitude on people or certain object such as trust; help each other, courtesy
to friend, secure feeling, and network. Therefore, measurement of individual and
group social capital is following human attitude measurement method. A
measurement method for attitude is carried out by means structured direct
interview. For the purpose, many items have drawn up therefore each answer of a
question will strengthen other answer in the same social capital component. Two
others closure methods for attitude are behavior observation and direct closure
particularly to strengthen general answer.
42
Agrimeta,
Definition
Notation
Variable
Trust
Trust to other
people or public
and private
institution
Network
Network density in
formal an informal,
local and regional
organization
Norm
Altruism behaviour
43
culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion
influence broadness of network and trust level to people.
Table 2 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital
at Mezo Level
Variabel
Trust
Network
Definition
Notation
DN
LEADSHP
Bonding1
Bonding2
Bridg1
Bridg2
DANAKEL
DANAWL
Agrimeta,
apply moral sanction. The existence of custom institution (desa adat and banjar
adat) is sustain concerning the function has close relationship with religion
activities. The higher frequency activities, the higher interaction intensity among
individual from the same ethic ad lower interaction intensity among individual
from other ethnic. Azwar (2005) confirm this result by statement that personal
attitude has close relationship with many factors such as interaction intensity,
culture, experience and institution. Independent two sample difference test shows
that thick trust in underdevelop region is stronger than developed region.
However, thin trust is show not significant difference.
However, low trust of community on other ethnic (thin trust) should be
taken alert due to the impact on reconciliation among ethnic, group and class that
heterogeneous progressively in Bali. As tourist destination that widely known in
foreign countries, Bali is also to be migration target for people that searching for
better job opportunity. Low thin trust of community will affect on interaction
between local community group with migrant community group (both tourist and
job seeker) that resulting from high suspicion feeling and finally will reduce
openness behavior even though openness community is one of important
component in underdevelop Balis tourism.
The significant difference also showed by trust on regency government
and security officer. Individual that settled in developed region have higher trust
on residential government performance but lower for security officer performance
than in underdevelop region.
Figure 1.
Relationship between individual trust from the same (Thick trust) and
different ethnic (Thin trust) in Bali, 2007
Agrimeta,
45
Region Developed
underdevelop
Total
Total
Trustable
8.91
42.53
51.44
7.47
41.09
48.56
16.38
83.62
100.00
Agrimeta,
extended family (batih family) but also neighbor and other banjar members.
Menyamabraya means help each other in face of problem of having the character
of material and also non material..
The norms power should be based on trust attitude and reciprocally. Trust
is not only keep sustainability of norms that contain wisdom value but also as
basis for individual decision to joint into a group or loose from group which has
been followed previously. Therefore, trust has critical effect on organization
density in a region.
It can be said that a group or community whom the member has high trust
level is rich with social capital. Sociologist, anthropologist and politician stated
that trust has significant role for implementation of collective action. Strong
(weakness) of social capital in a community is measured by high (low) trust level
among community which indicated by participation of each member in collective
activities and the activities intensity. Therefore, it can be said that trust or social
capital is a public good, each member has opportunity to take benefit but often
feel having no responsibility to maintain. One effort to keep the social capital is
through help each other attitude among community member. On trust community
category basis in Bali, it can be stated that community which has high trust is
ready to help however only 23.53 percent that always help, 29.11 percent stated
usually help and the rest stated almost help. The same situation will occur in
community with low trust or community group with carefulness attitude. Most of
person stated ready to help and only a few of them (2.26 percent) that stated even
not helping other people. This is show that efforts to maintain social capital still
performed by each individual in Bali. The carefulness attitude is not reducing help
each other attitude or in other words help each other attitude for Balis community
is tend to altruism than reciprocal. Any support that giving to other individual or
group is caused by trust on karma law.
Besides the trust, social capital also indicates by community organization
density. Grootaert (1999) has defined organization density as number of existing
organization in a community where someone involves in it. The highest average
of community organization density is in Regency of Gianyar while the lowest in
Regency of Jembrana. At least 2 organizations that followed by community in
Regency of Jembrana and Karangasem (banjar adat and subak) while in Regency
of Badung and Gianyar there are some member of community which only
following in one organization namely banjar adat.
Trust community is not shows the same tendency on level community
organization density in Bali. Community decision to be organized is not result of
owned social trust but from other factors. On researchs result basis, it was shows
that the most important organization for most community is banjar adat. The two
results is support each other because banjar adat is a organization that should be
followed by whole community in Bali as Hindu follower. This imply that
readiness to organize is not needed trust establishment however by sanction that
should be accounted if not involved in banjar adat.
According to the result, trust is not shows relationship with community
participation level in decision making on the most dominant organization.
Community which has low or high trust level is still participating on every
decision making that related to the group. This is shown by number of community
that actively participates in every group activities, weather on low trust level or
Agrimeta,
47
high. Adherences at norms going into effect in banjar adat organization push
every member to give contribution according to agreed decision. Norms having
the character of reciprocal become other reason which pushes community to
participate in every activity of banjar adat.
Any expenses for social activities are one social capital indicator that used
in this research. There is a significant correlation between social cost with
organization density, participation and number of free rider. In underdevelop
region, higher social cost is positive correlated with organization density, negative
with participation and number of free rider. The logics are the higher organization
density of an individual the higher cost should be paid. In the underdevelop
region, generally much of community member is inactive because having job or
house in developed region therefore they should pay more social expenses.
However participation both in activities and decision making is very low. The
Individuals is known as free rider.
In developed region, social expenditure also have significant correlation
with organization density, free rider and participation but the correlation have
positive sign for participation, negative for rider free and density organization.
The two result indicate that there is a understanding difference between
underdevelop region and developed region in participation. Physical Participation
more emphasized at underdevelop region while developed region tend to
esteeming nominal participation.
Generally it can be stated that each indicator and variable of latent trust
have positive correlation. This matter indicates that the stronger social trust will
strengthen thick trust, trust to organizer of governance, organizer of security and
education. Indicators of latent norm variable are readiness to help and readiness
takes care of child by neighbor, and also the amount of child which go to school.
Most of network indicator is showed negativity except the organization density. It
means that better network with the lower amount of individual which behave as
free rider, smaller expenditure required for social activity and lower amount of
person who work in family. Goodness of model indicator (Gof) indicate that the
established model have value of AGFI above 0.8 that is 0.897 although has
significant value of chi-square but the RMSE smaller than 0.08. The two
indicators of goodness is sufficient to indicate that the model is valid.
On aggregate, the analysis result concerning about effect of trust
endogenous variable, network and norms on social capital show that only trust
that have significant and positive impact, it means that the higher trust, the
stronger social capital in Bali.
4. SOCIAL CAPITAL COMPONENT: Individual Social capital in
developed region and Underdeveloped region
As stated earlier, the province of Bali is grouped on regency basis that is
Developed Region and underdeveloped region. Indicator that used to differentiate
are level growth of PDRB, PAD and also income per capita. According to the
indicator, it can be stated that regency of Badung, Gianyar and Denpasar City are
classify as developed region while other regency is underdevelop region. In this
research, selected purposively, Regency of Badung, Gianyar and also Regency of
48
Agrimeta,
49
-0.081
A WA RE
0.993
GN TRUST
0.946
DT
0.969
PA RTSP
0.452
CC
0.841
FR
0.859
BN TFSK
0.930
NW
0.913
SEXP
0.931
FRI EN D
0.907
0.233
TRUST
-0.176
-0.741
0.402
1.000
SC
0.454
NORMA
0.399
-0.376
0.431
0.264
NETWORK
0.295
0.263
0.306
TRUST
0.839
NORMA
0.794
0.402
1.000
SC
0.426
0.454
0.431
0.180
NETWORK
Ch i- Sq ua re =3 8.2 6,
1.209
d f= 29 ,
0.815
P-v al ue =0 .1 16 71,
R MS EA =0 .0 44
Figure 2 Diagram Path of Social capital structural model for underdevelop region
in Bali
There are various indicators to determine goodness fit of a model, among
others Goodness of Fit (GoF) values, Chi-Square, RMSE, AGFI and others. The
obtained model is fulfill all indicator Goodness fit of model as well as AGFI value
50
Agrimeta,
(0.821) that larger than 0.8 therefore the model is assumed sufficient fit to figure
relationship between latent variable and observed variable indicator. P-Value is
0.11671 larger than 0.05 RMSE and smaller than 0.08.
The three latent variables give significant positive contribution on
establishment of capital social in underdeveloped region. The result indicate that
to develop, build or strengthen capital social specially in underdeveloped region
cannot be conducted only by improve one of component because the three
variable shows equal significant and large contribution. Development and
reinforcement of capital social can be carried out by improving trust ,
participation, reducing opportunity of individual to behave as free rider, maintain
norm to reciprocate physical aid, extending network (organization living)
Table 4 Latent Variable and Significance of each Indicator on latent Variable of
Social capital in underdeveloped region in Bali
Latent
Indicator
Coefficient
t-hit
Variable
Trust* (0.402) 1. Aware to carefulness
-0.081
-1.128
2. General trust
3. Dynamic of trust
4. Participation
Norm* (0.454) 1. Entrusting child
2. Amount of free rider
3. Physical aid
Network*
1 . Organization density
(0.431)
2. Social expenditure
3. Amount of friend
Source : Analysis result of primary data
0.2330
-0.176
-0.741
0.399
-0.376
0.264
0.295
0.263
0.306
3.015*
-2.371*
-3.640*
3.018*
-2.497*
3.353*
2.918*
2.295*
3.353*
51
0.448
A WA RE
0.800
GN TRUST
0.772
DT
0.940
PA RTSP
0.936
CC
0.999
FR
0.699
BN TF SK
0.462
NW
0.868
SEXP
0.717
F RI EN D
0.935
0.477
TRUST
0.245
-0.253
0.453
1.000
SC
0.104
NORMA
0.027
-0.549
-0.101
0.733
NETWORK
0.363
-0.532
-0.254
1.000
0.508
1.000
SC
0.104
-0.287
NORMA
1.000
-0.101
0.914
-0.901
NETWORK
1.000
52
Agrimeta,
1 . Entrust Child
2. Number of free rider
3. Physical aid
Network
1 . Organization density
(-0.101)
2. social expenditure
3. Amount of friend
Sources : Analysis result of primary data
5. SOCIAL
CAPITAL
ORGANIZATION
IN
0.027
-0.549
0.733
0.363
-0.532
-0.254
TRADITIONAL
0.403
-7.238*
6.248*
5.160*
-5.409*
-4.001*
AND
MODERN
For social capital at group level, it is known bridging social capital tern.
On management system basis, community organization that developed in Bali is
divided into traditional organization and modern while on establishment process
classify as formal and informal organization. Generally, informal organization is
established by relationship among family and extended family. On contrary with
formal organization, generally membership of formal organization is consisted of
specific profession on livelihood basis.
In Bali, social organization which coordinates all public administrative
activities is recognized by the name of banjar. Especially for Hindu follower have
social organization which coordinate all activities related to religious activities
that known as banjar adat. Each community which believes in Hindu have the
same obligation in banjar adat. Rural Community in Bali, tied in formal
traditional organization and also informal like sekaa, dadia, village and subak /
banjar adat. Dadia and Sekaa represent informal traditional organization because
do not have written awig-awig while subak and banjar adat are formal traditional
organization which have written and unwritten awig-awig. Generally, member of
Sekaa characterized by temporal membership and have strong consanguinity and
formed in line with its activity like sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa gong, sekaa
suling and others. Dadia is extended family that owning patrilineal relation.
Amount of sekaa member is smaller than dadia and village or subak/banjar adat.
The established bound among member of subak, sekaa and dadia is based on
togetherness feeling and reciprocity. Each member in traditional group will not
have hesitating attitude to give aid for other member because existing trust that at
the time needed, other member surely will raise a hand to assist them (karma law).
As so far, mutually assisting norm that aimed to finish collective activities
is still fasten each member of existing traditional social organization. The Norm
can be maintained because sanction that applied to each collision member is not in
the form of physical sanction and nominal money but in the form of moral like
Agrimeta,
53
Agrimeta,
organization which have different goal in a region and other region, appreciation
to funding group and also initial fund. The latent variable is consisted of trust
variable, network (norm and network)
According to goodness fit of model (AGFI value), the social capital model
of subak community can be used to figure relationship between latent variable and
observed variable due to AGFI value 0.914 is higher that Segars and Grover
(1993) criterion although the chi-square values is significant and RMSE higher
than 0.08. Result of SEM analysis shows that indicator for latent trust variable has
positive sign, indicate that the higher organization density and more democracy
process to choose group leader, the larger community trust. The large contribution
of leadership indicator means that efforts to build trust in subak community can be
initiated by democratic decision making process to choose group leader or
decision making that affected whole member.
DN
0.943
LEA DERSH
0.523
BONDI NG1
0.987
BONDI NG2
-5.352
BRI DG1
0.991
BRI DG2
0.998
DA NA K EL
0.679
DA NA A W
-0.177
0.239
TRUST
0.691
0.078
-0.113
SC
1.000
0.580
NETWORK
-2.520
-0.094
0.216
0.046
NORMA
0.567
-1.085
0.994
0.078
1.000
SC
0.580
-0.037
NETWORK
0.663
0.216
-0.764
-0.094
NORMA
0.953
Figure 4 Diagram Path of Social Capital Structural Model for Subak inBali
On the contrary, most of network indicator has negative sign except for
subak organization linkage indicator with other organization which have different
goal in other region. Network in this research is defined as binding that facilitate
cooperation among subak. The researchs results indicate that subak network will
strengthen when interaction with subak or other organization in one region
progressively lower however interaction with other organization in different
Agrimeta,
55
Agrimeta,
Agrimeta,
57
DN
-6.140
LEA DSHP
0.993
BONDI NG1
0.975
BONDI NG2
0.747
BRI DG1
0.160
BRI DG2
0.930
DA NA K EL
0.808
DA NA WL
0.966
2.672
TRUST
0.081
0.522
0.158
SC
1.000
0.291
NETWORK
0.503
0.917
0.479
0.265
NORMA
0.438
-0.183
0.727
0.522
1.000
SC
0.291
-0.178
NETWORK
0.915
0.479
-0.390
1.099
NORMA
0.770
Figure 5 Diagram Path of Social capital structural model for tourism in Bali
Table 7 Latent variable and significance of each Indicator on
social capital in tourism community in Bali
Latent variable
Indicator
Coefficient
Trust*
1. Organization density
2.672
(DN)
2. Leadership
0.081
Network
1. Bonding (1)
0.158
2. Bonding(2)
0.503
3. Bridging(l)
0.917
4. Bridging (2)
0.265
Norm
1 . Group Funding
0.438
2. Initial Funding
-0.183
Sources: analysis result of primary data
latent variable of
t-hit
12.732*
1.369
1.215
3.026*
3.398*
1 .992*
1.250
-1.183
Agrimeta,
-0.212
LEA DERSH
0.947
BONDI NG1
0.249
BONDI NG2
0.929
BRI DG1
0.640
BRI DG2
0.913
DA NA K EL
0.946
DA NA A W
0.485
1.101
TRUST
0.230
0.380
1.000
0.867
SC
0.391
NETWORK
0.267
0.600
0.073
0.294
NORMA
0.232
-0.717
0.856
0.380
1.000
SC
0.172
0.391
NETWORK
0.847
0.073
-0.545
NORMA
Ch i- Sq ua re =4 .24 ,
-0.348
df =1 4,
P -va lu e= 0. 99 38 3,
0.995
RM SE A= 0. 00 0
Figure 6 Diagram Path of Social capital structural model for Desa Pakraman in
Bali
Result of SEM analysis indicates that indicator of latent trust variable is
leadership and organization density, but the two indicators is not significant.
Latent network variable consist of interaction indicator between desa adat in one
region (bonding 1) and also other region (bonding 2) and also interaction between
different goal organization in the same region (bridging 1) and the difference one
(bridging 2). Indicator of norm variable has significant effect on confidence level
90 %.
Result of two phases analysis shows that social capital is significantly
affected by variable of trust and network. For the reason, trust should be
developed by means improving organization density and building interaction with
various organization but interaction with adat village in one region is effort that
Agrimeta,
59
Norm
2.
1.
Leadership
Bonding (1)
0.230
0.867
1.368
4.233*
2.
Bonding(2)
0.267
2.608*
3.
Bridging(l)
0.600
3.492*
4. Bridging (2)
1 . Group Funding
0.294
0.232
2.454*
1.745*
-0.717
-1.794*
2. Initial Funding
Sources: Analysis result of primary data
6. CONCLUSION
1.
2.
3.
7. RECOMMENDATION
Component of capital social builder is different each other pursuant to the
type of organization or regional development level. Therefore, effort to conduct
revitalization cannot be formulated generally but should be adapted with regional
and/or group characteristic.
REFERENCES
Artadi IK. 1993. Manusia Bali. Bali Post Press. Denpasar.
Casson M, A Godley. 2000. Cultural Factors in Economic Growth. Germany.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Coleman J S. 1990. Foundations of social theory. Cambridge MA : Belknap.
60
Agrimeta,
Collier P. 1998. Social capital and poverty. World Bank SCI Working Paper no
4, November. (www.iris.umd.edu/adass/proj/soccap.asp).
Cristoforou A. 2003. Social Capital and Economic Growth: The Case of Greece.
London School of Economic : Paper for The 1 st PhD Symposium on
Social Science Research in Greece of the Hellenic Observatory.
European Institute. asimina@aueb.gr.
Dasgupta P, Serageldin I. 2002. Social Capital: A Multi Faceted Perspective.
World Bank, Washington, DC.
Dasgupta P. 2005. A Measured Approach: Special Issue. September 2005.
ISSN 0036-8733. Scientific American, Inc, 415 Madison Avenue, New
York.
Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity.
The Free Press, New York.
Fukuyama F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Institute of Public
Policy. George Mason University. International Monetary Fund.
Granovetter MS. 1973. The Strength of Weak Ties. American Journal of
Sociology, 78, 1360 80.
Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia.
World Bank Working Paper, unpublished.
Grootaert C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings
from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and
Indonesia. Local Level Institutions Working Paper No. 10, Social
Development Department, World Bank, Washington, D.C.
Grootaert C, T van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social
Capital. A Multidisciplinary tool for practitioners. The World Bank
Washington, D.C.
Iyer S, M Kitson, B Toh. 2005. Social Capital, Economic Growth and Rgional
Development. Regional Studies, Vol 39.8, pp.1011040, November
2005.
Olson M. 1982. The Rise and Decline of Nation. New Haven. Yale University
Press.
Putnam R D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy.
Princeton: Princeton University Press.
Putnam R D. 2000. Bowling alone: The Collapse and Revival of American
Community. Simon and Schuster, New York, NY.
Agrimeta,
61
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Desa Petiga yang berada di Kecamatan Marga, Tabanan, merupakan
penghasil tanaman hias, seperti puring, soka, rumput-rumputan dan pucuk. Warga
tani di desa ini dulunya menanam rambutan, cengkeh dan vanili. Namun panen
tak pernah lebih dari dua kali setahun. Ahkirnya banyak warga tani yang memilih
menekuni tanaman hias. Sebagian besar warga mempunyai usaha tanaman hias,
ini merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan selain bidang
pertanian tanaman pangan. Bahkan ada warga yang memanfaatkan sawahnya
untuk lahan tanaman hias karena air yang mengairi sawah sudah berkurang.
Soka (Ixora coccinea L.) merupakan salah satu tanaman hias yang
berbatang perdu dengan percabangan yang banyak. Sebagai tanaman hias, soka
memang mempunyai keistimewaan yaitu bunganya yang elok dan warnanyapun
ada yang bermacam-macam seperti merah, kuning, kuning pucat, orange, merah
jambu, merah muda, putih dan salem (Anon., 1992).
Soka sebenarnya mempunyai nilai estetika yang cukup tinggi, ini terlihat
dari peranannya yang cukup menonjol sebagai tanaman hias pagar pada gedunggedung perkantoran, menghiasi taman pada hotel-hotel, menghiasi pertamanan
kota. Soka yang ditanam di tanah atau ditanam di dalam pot dapat direkayasa
menjadi soka bonsai dan soka kombi. Baik soka bonsai dan soka kombi dapat
62
Agrimeta,
Rumusan Masalah
Masalah utama yang sering muncul pada pembiakan dengan setek adalah
sukar terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila masalah ini bisa diatasi,
maka perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik,
praktis dan ekonomis, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang
pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat
pengatur tumbuh.
Urine sapi merupakan salah satu zat perangsang tumbuh alternative yang
murah dan mudah diperoleh serta ramah lingkungan. Dengan demikian urine sapi
yang dulunya terbuang begitu saja akan dapat bermanfaat atau mempunyai nilai
ekonomis khususnya bagi usaha pengembangbiakan tanaman dengan cara setek.
1.3 Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi urine sapi dan lama
perendaman serta interaksinya terhadap pertumbuhan setek soka.
Agrimeta,
63
Agrimeta,
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan analisis varian (sidik ragam) sesuai
dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat pengaruh interaksi yang
nyata terdapat variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan 5% dan jika hanya pengaruh faktor tunggal, dilanjutkan dengan uji BNT
5%. Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi urine sapi dengan lama
perendaman terhadap berat kering oven tunas per setek dilakukan dengan analisis
regresi (Gomez dan Gomez, 1995).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi urine
sapi dan lama perendaman serta interaksinya berpengaruh nyata sampai sangat
nyata (p <0,01) terhadap hampir semua parameter yang diamati kecuali terhadap
persentase setek hidup, jumlah tunas dan persentase setek bertunas dan berakar
(Tabel 1).
Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersamasama berpengaruh sangat nyata dapat meningkatkan berat kering oven tunas setek
tanaman soka. Rata-rata berat kering oven tunas tertinggi diperoleh pada
perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dengan lama perendaman 15 menit (P 1U4)
yaitu sebesar 0,715 g per setek, berarti terjadi peningkatakan sebesar 81,01% bila
dibandingkan dengan perlakuan tanpa urine sapi dengan lama perendaman 60
menit (P4U0) yang menghasilkan berat kering oven tunas terendah yaitu sebesar
0,395 g per setek (Tabel 14). Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan bahwa
antara konsentrasi urine sapi dengan lama perendaman memberikan pengaruh
secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas dengan persamaan garis
regresi : Y = 0,35532539 + 0,070643426U + 0,00083333P 0,00301326U2
0,00082267 UP , dengan koefisien determinasi (R 2) = 90%. Maka dari persamaan
tersebut dapat diduga berat kering oven tunas maksimum sebesar 0,65 g per setek,
diperoleh pada konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit.
Tabel 1. Signifikansi pengaruh konsentrasi urine sapi (U) dan lama
perendaman (P) terhadap parameter yang diamati dalam
pembibitan setek soka
No.
Perlakuan
1.
Persentase setek segar (%)
2.
Saat tumbuh tunas (hst)
3.
Jumlah tunas (buah)
4.
Panjang tunas (cm)
5.
Jumlah daun tunas ( (helai)
6.
Jumlah akar primer (buah)
7.
Panjang akar primer (cm)
8.
Persentase setek bertunas dan berakar (%)
9.
Berat basah akar per setek (g)
10.
BKO akar per setek (g)
11.
Berat basah tunas per setek (g)
12.
BKO tunas per setek (g)
Keterangan :
Agrimeta,
ns
**
ns
**
**
**
**
ns
**
**
**
**
P
*
*
ns
**
**
**
**
ns
**
**
**
**
UxP
ns
*
ns
**
**
**
**
ns
**
**
**
**
65
Agrimeta,
setek, karena pembelahan sel dan kalus berlebihan sehingga dapat menghambat
tumbuhnya tunas dan akar. Lamanya setek direndam dalam larutan urine sapi
menyebabkan serapan zat tumbuh oleh sel tanaman melebihi jumlah optimum
sehingga dapat menghambat pertumbuhan setek soka.
Meningkatnya pemberian konsentrasi urine sapi pada lama perendaman 15
menit (P1) menyebabkan makin meningkatnya berat kering oven tunas setek. Dan
apabila waktu perendaman ditingkatkan sampai 60 menit (P 4) sesuai perlakuan
ternyata terjadi penurunan hasil berat kering oven tunas per setek (Gambar 4). Hal
tersebut diduga karena makin lama setek direndam dalam larutan urine sapi, setek
akan mengabsobsi zat tumbuh maupun unsur-unsur yang terkandung dalam
larutan urine itu telah melebihi jumlah optimum yang dibutuhkan setek untuk
pertmbuhan akar dan tunas. Sehingga sifat zat tumbuh yang mendorong
pertumbuhan tanaman berubah menghambat pertumbuhan tanaman. Disamping
itu pula unsur-unsur yang terkandung dalam urine sapi (Lampiran 13) dalam
jumlah yang relatif banyak diserap oleh setek dapat berbahaya atau meracuni
tanaman yang sudah tentu menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal
ini ditegaskan oleh Prawiranata (1981 dalam Tjokrosudarmo, 1989) amoniak
bebas (NH3) dan urea dalam jumlah yang banyak dapat bersifat racun (toksin)
untuk kebanyakan tumbuhan. Hanya tumbuhan yang mempunyai cairan vakuola
bersifat asam dapat menyimpan ion amoniak sebagai garam amonium dalam
jumlah yang relatif besar tanpa menimbulkan gangguan pada tumbuhan.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan dapat ditarik simpulan
sebagai berikut :
1. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap segian besar parameter yang diamati
kecuali terhadap persentase setek segar, jumlah tunas, dan persentase setek
bertunas dan berakar.
2. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman memberikan
pengaruh secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas per setek
dengan persamaan regresi : Y = 0,35532539 + 0,07064326U +
0,00083333P 0,00301326U2 0,00082267UP, dengan koefisien
determinasi (R2) = 99%. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh berat
kering oven tunas per setek maksimum sebesar 0,65 g per setek, pada
konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, untuk mendapatkan
pertumbuhan setek tanaman soka yang baik pada pembibitan disarankan
menggunakan zat tumbuh alami yaitu urine sapi dengan konsentrasi 9,67% (10%)
dengan lama perendaman setek dalam larutan sapi tersebut 15 menit.
Agrimeta,
67
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus (1992). Budidaya Tanaman Soka. Liptan. Balai Informasi Pertanian
Bali.
Rochiman, K. dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen
Pertanian. IPB. Bogor.
Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa sebagai Zat Tumbuh
Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana
Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Tjokrosudarmo, C. (1989) Pengaruh posisi ruas bahan setek dan urine sapi
terhadap pertumbuhan setek kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex
Froehner). Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor
Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,
dan Suroyo L., (1980) Tanaman Hias Penting di Indonesia. Balali Pustaka.
Jakarta.
Francisca R. (1991). Pengaruh Populasi Tanaman Soka Jepang (Ixora chinensis
var. aurantiaca) dengan Berbagai Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Sebagai Tanaman Massal. Jurusan Budidaya Pertanian.
IPB. Bogor
Adriance, G.O. and F.R. Brison, (1955). Propagation of horticultura Plant. Mc.
Graw Hill Book Co. Inc., New York.
Rismunandar, 1988 Hormon tanaman dan ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Adriance, G.O. and F.R. Brison (1955).Propagation of horticultural plant. Mc.
Graw Hill Book Co. Inc., New York. 289 p.
Audus, L. J. (1963). Plant Growth Substance. Interscience Publisher. Inc., New
York. 553 p.
Crockett, J.U. (1978). Plowering House Plants. Time Hill Books. 160 p.
Dwidjoseputro, D. (1989). Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia.Jakarta.
225 hal.
Ida Dwiwarni (1990). Pemanfaatan Urine Sapi pada Setek Lada. Bull. Tan.
Industri. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah danObat Natar (5) : 19
10 hal.
Leopold, A.C. (1963). Auksin and Plant Growth. Univ. California Press. Barkley
and Los Angeles. 354 p.
Mahlstede, J.P. and E.S. Haber (1957). Plant Propagation John Wiley & Sons Inc.
New York. 413 p.
Nurhayati Hakim, Nyakpa M.Y., Lubis A.M., Nugroho S.Gh., Soul M.R., Diha
M.A., Hong G.B., dan Bailey H.H. (1986). Dasar-dasar Ilmu Tanah.
Universitas Lampung. 488 hal.
Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa Sebagai Zat Tumbuh
Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana
Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian IPB.Bogor (tidak dipublikasikan). 68 hal.
Rencana. K. (1988). Pengaruh Panjang Setek dan Konsentrasi Zat Pengatur
Tumbuh IBA terhadap Pertumbuhan Bibit Anggur (Vitis vinivera).
Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas Pertanian Univ.
Mahasaraswati Denpasar. 53 hal.
68
Agrimeta,
Agrimeta,
69
1. INTRODUCTION
Transformation and dynamism are very essential characteristic of
community and culture. It is irrefutable fact that transformation denotes
phenomenon which always features the passage of community and its culture.
There isnt a statics community in absolutly. Every community always gains
70
Agrimeta,
71
Agrimeta,
Bali. In every desa adat was taken respondents which consist of 5 men from the
board of desa adat, 10 men from the board of subak, 25 men members of subak
and 10 men members of desa adat but not members of subak.
The variables those were examined can be described briefly as presented
in Table 1. The strength of every element of variables was scored as very low (1),
low (2), medium (3), high (4) and very high (5). Percentage the total score of a
variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level
of the variable on that subak. So, the interval scale of variable could be
categorized: 20-36% was very low; 37-52 % was low; 53-68% was medium; 6984% was high; and 85-100% was very high. Regression analysis was used to
estimate the effect of factors of subaks to the success of metaphysical agriculture.
Table 1. Variables description
No
Variable
(1)
(2)
1
The success of
metaphysical
agriculture
Descripton
(3)
On ritual aspect (Seven
elements): 1)
understanding to the viewpoint (tattwa) of the
ritual; 2) coordination in ritual implementation; 3)
solidarity among the followers of ritual; 4) freedom
in partaking ritual; 5) orderliness of ritual
processing; 6) completeness of facilities for ritual;
and 7) creativity in achieving ritual.
On the aspect of practicing agriculture based on
local genius of Rwa Bhineda (seven elements): 1)
intensity of pesticide treatment; 2) intensity of
chemical fertilizer treatment; 3) wholeness to follow
the planting season; 4) intensity of plant rotation; 5)
intensity to process waste of livestocks and harvest
to be fine compost; 6) intensity to plant greeneries
with high level Nitrogen for fertilizer; and 7) quality
of integrated crop-livestock system.
Authority of
Four elements: 1) percentage of land conversion from
subak to
agricultural to non agricultural; 2) intensity of watter
determine their
sources for irrigation were changed to be non
own life
agricultural purpose; 3) Intensity of blockading subaks
groud athway and watter canal by outer force of
subak; and 4) intensity of conflict between subak and
industry/government.
Effectiveness of
Four elements: 1) clearness of awig-awig; 2)
awig-awig
democratic system in establishing awig-awig; 3) awig(subaks
awig socialization; and 4) firmness in executing
customary rule)
punishment to transgressors of awig-awig.
Effectiveness of
Six elements: 1) Sangkepan routine; 2) follow-up of
sangkepan (social- sangkepans decisions; 3) atmosphere in sangkepan; 4)
religious
percentage of members of subak to attend sangkepan;
gathering)
5) sovereignty for giving comments in sangkepan; and
6) sanction for members of subak who absent in
sangkepan.
Social relation of
Three elements: 1) coordination between the board of
Agrimeta,
73
3.
Agrimeta,
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Agrimeta,
75
Factor of Subak
Coeficient
Constant
-8.039
Authority of subak to determine their own life
0.297
Effectiveness of awig-awig (subaks customary rule)
0.335
Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering)
0.227
Social relation of subak to desa adat
0.106
Intensity of discussion Weda script in subak
0.131
R Square = 0.9938
F = 1201.5*
Informations:
= significantly;
ns
t-ratio
-7.731
6.074
4.632
3.731
2.240
1.480
Sig.
0.000*
0.000*
0.000*
0.001*
0.031*
0.147ns
= non significantly
4. CLOSURE
4.1 Conclusions
Based on the previous descriptions, it could be concluded as follows.
1. The level of success of metaphysical agriculture was categorized into
medium.
2. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness
of awig-awig; and Effectiveness of sangkepan were strongly affected the
success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to
desa adat was quitely affected the success of metaphysical agriculture, but
Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the
success of metaphysical agriculture.
4.2 POLICY IMPLICATION
Based on the findings in this research, it could be formulated policy
implications as follows.
1. It needs an assistance process at subak to revitalize metaphysical
agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with
sophisticated technology. First before this program, disseminating
explanation regarding: implementation of meaningful ritual for agriculture
and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda.
2. More adroitly to decipher sangkepan and awig-awig, and more
aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig.
3. It requires pilot project activity, namely by performing assistance for the
formation of farmer cooperative at some subaks.
REFERENCES
Geriya, W., Yudha Triguna, dan I Nyoman Dhana, 2006. Pola Kehidupan
Petani Subak Di Bali. Javanologi: Denpasar.
Haferkamp, H. and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity.
The University of California Press: Berkeley.
Namayudha, I.B., 1999. Upacara Ngusaba Nini. Parisada Hindu: Denpasar.
Narayana, S.S. 1996. Discourses on Bhagawad Gita. Sri sathya Sai Book and
Publication Trust: Bangalore-India.
76
Agrimeta,
Popper, K.R. 1983. Realism and The Aim of Science. Rowman and Littlefied:
New Jersey.
Windia, W., Ketut Suamba and Wayan Sudarta. 2010. The Development of
Food Security Model Based on Subak System In Bali. Jurnal SOCA.
Vol. 10. No.1. Februari 2010: 8-14.
Agrimeta,
77
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Klungkung mempunyai luas wilayah 315 km yang terletak di
antara 1152128 - 1153743BT dan 8 4900 LS, dengan panjang pantai
keseluruhan 144 km. Potensi perikanan laut di Kabupaten Klungkung cukup
tinggi terutama perikanan tangkap. Potensi tersebut diperkirakan sebesar 4.140,7
ton per tahun yang terdiri atas ikan pelagis 2.898,2 ton dan ikan demersal 1.242,5
ton.
Program pembangunan perikanan laut di Kabupaten Klungkung terutama
diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas melalui pemberdayaan SDM
78
Agrimeta,
79
80
Agrimeta,
2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba
Kabupaten Klungkung dengan pertimbangan Sentra Pengolahan Pemindangan
Desa Kusamba Kabupaten Klungkung merupakan salah satu pengembangan
sentra pengolahan hasil perikanan di Provinsi Bali. Penelitian dilakukan pada
bulan Desember 2011
2.2
Penentuan Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku usaha pengolah hasil
perikanan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba, Kabupaten
Klungkung yang berjumlah 50 unit usaha. Pada setiap unit usaha diambil masingmasing satu orang responden dari unsur pemilik, dan satu orang dari unsur
pekerja. Sehinga seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.
Khusus untuk pemberian rating atau peringkat untuk masing-masing faktor
internal maupun eksternal, diajukan kepada beberapa responden yang
berkompeten dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, yaitu:
para pemilik usaha pemindangan yang paling maju (10 rang), Kepala Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Klungkung, dan dua orang pakar agribisnis
perikanan di Bali.
2.3
81
82
Agrimeta,
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0
(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
Tabel 1. Contoh Matriks evaluasi faktor internal
No
Kekuatan
Bobot Rating Skor
1
SDM yang terampil, disiplin dan ulet
..
..
..
2
Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
Kelemahan
.. Tidak aktif dalam kelompok usaha yang ada
..
..
..
.. Tidak melakukan promosi
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
Pemberian nilai rating peluang pada matriks EFE dengan skala yang digunakan,
yaitu: 1 = rendah (respon kurang); 2 = sedang (respon sama dengan rata-rata); 3 =
tinggi (respon di atas rata-rata); dan 4 = sangat tinggi (respon jauh di atas ratarata). Sedangkan untuk faktor yang menjadi ancaman pemberian nilai rating
dilakukan sebaliknya (seperti contoh matriks evaluasi faktor eksternal pada Tabel
2). Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk
memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0
(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
Tabel 2. Contoh Matriks evaluasi faktor eksternal
No
Peluang
Bobot Rating Skor
1
Permintaan terhadap pindang yang tinggi
..
..
..
2
Kepercayaan dari pihak Bank
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
Ancaman
.. Mahalnya harga ikan dan bahan bakar
..
..
..
.. Banyaknya pesaing
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
Agrimeta,
83
84
Agrimeta,
Kode
A
B
C
D
E
F
G
H
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
K
L
M
N
O
Kekuatan
SDM yang terampil, disiplin dan ulet
Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik
Teknologi pemindangan yang mudah dikuasai
Dekat dengan tempat pendaratan ikan
Memiliki mobil operasional
Sistem pemasaran (jalur distribusi) yang jelas
Modal cukup besar
Lahan usaha yang cukup luas
Kelemahan
Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha
pemindangan masih rendah
Letak sentra pengolahan hasil perikanan dekat dengan
pemukiman penduduk
Tata letak bangunan dan jalan/gang antar unit pengolahan
Produk mudah rusak/tidak tahan lama
Masih menggunakan modal pribadi
Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif
Tidak melakukan promosi
Agrimeta,
85
Agrimeta,
Agrimeta,
87
Agrimeta,
perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi
yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang
menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan
lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan
kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta
memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk.
Tinggi
Rata-rata
Lemah
1,0
4,0
2,0
3,0
I
II
III
Tinggi
3,0
IV
VI
V
Sedang
2,0
1,0
VII
VIII
IX
Rendah
Gambar 2. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Berdasarkan posisi sel V, maka tipe strategi utama yang dapat diterapkan adalah
strategi intensif dalam bentuk penetrasi pasar, pengembangan produk dan pasar,
perbaikan kelayakan unit pengolahan serta peningkatan kapasitas kelembagaan
dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan.
Penetrasi pasar atau pertumbuhan terkosentrasi dapat dilakukan dengan:
1. Menambah tingkat penggunaan pelanggan lama melalui: menambah
jumlah pembelian, mengiklankan penggunaan lain, dan memberi
insentif harga untuk penggunaan lebih banyak.
2. Memikat pelanggan pesaing melalui mempertajam diferensiasi merk,
meningkatkan promosi dan menurunkan harga.
3. Memikat bukan pengguna untuk membeli produk melalui: merangsang
keinginan mencoba produk contoh (sampling), insentif harga dan
mengiklankan penggunaan baru.
Strategi pengembangan pasar yang dapat dilakukan yakni dengan
menambah daerah pasar sasaran. Selama ini produk sentra pengolahan ikan di
Kusamba hanya dipasarkan di wilayah Klungkung, Denpasar dan Badung. Perlu
dilakukan ekspansi pasar dengan menembus seluruh wilayah Bali serta Lombok
Barat.
Strategi pengembangan produk berkaitan erat dengan pencitraan produk.
Tidak sulit bagi perusahaan sentra pengolahan perikanan untuk melakukan
pengembangan produk dalam bentuk selain pindang, seperti pepes, otak-otak atau
produk setengah jadi untuk dipasarkan ke restoran dan super market. Selain itu
yang harus dipertahankan adalah adanya perlakuan sebelum produk dipasarkan,
yaitu dengan seleksi, standarisasi atau grading. Sehingga didapatkan produk
pengolahan ikan yang berkualitas tinggi. Penggunaan merk yang selama ini tidak
dilakukan, sebaiknya dibrikan merk untuk membangun citra produk dan
memudahkan pelanggan untuk mengingat produk sentra pengolahan perikanan
yang telah beredar.
Perbaikan kelayakan unit pengolahan dapat dilakukan dengan membangun
layout/tata letak bangunan unit pengolahan sedemikian rupa agar efisien, murah,
praktis, memudahkan dalam bekerja, memudahkan dalam pengelolaan limbah dan
tampak indah. Peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dicapai dengan
pemberdayaan kelompok pekerja dan pelaku usaha pengolahan ikan, yaitu melalui
restrukturisasi kepengurusan, penguatan modal kelompok serta pola pembinaan
Agrimeta,
89
dan pengembangan dapat dilakukan dengan kombinasi Pola Empu dan Pola
Pemasaran Bapak Angkat.
Hal ini dapat diupayakan dengan membuat
kesepakatan dan kerja sama dengan pihak terkait berdasar MoU. Pola Empu
dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dengan menempatkan seorang pakar,
di mana secara berencana dan berkesinambungan melaksanakan pembinaan dan
membantu pengembangan. Pola Bapak Angkat lebih ditekankan pada bantuan
modal kerja dan penjaminan resiko usaha serta membantu dalam pendekatan
akses pasar untuk menjual produk dalam hal ini dilakukan dengan mengundang
pengusaha mitra, badan atau LSM.
Peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan adalah melalui
memberi bantuan dana pembangunan IPAL dan bahan penetralisir limbah.
Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap unit-unit usaha pengolahan
ikan pada sentra pengolahan perikanan dalam hal pengelolaan lingkungan masih
sangat perlu ditingkatkan. Di antaranya dengan menjadi agensia teknologi dan
fasilitas pengelolaan limbah cair hasil kegiatan pengolahan ikan, serta dengan
memberikan kontrol, pengawasan dan sanksi yang lebih ketat terhadap pelaku
usaha yang melakukan pencemaran lingkungan.
Agrimeta,
4.2 Saran
Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini dapat disarankan
sebagai berikut. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus menjaga dan
mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta
melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi,
pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya
kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable)
sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam
pengembangan produk.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan untuk
Kesejahteraan Rakyat. Penerbit LISPI, Jakarta.
David, FR., 2001. Manajemen Strategik. Prenhallindo, Jakarta.
Downey, W.D. dan S.P. Erickson, 1992. Manajemen Agribisnis. Diterjemahkan
oleh Ganda S. dan A. Sirait dari Agribusiness Management.
Erlangga, Jakarta.
Hadiwiyoto,S., 1993. Teknik pengolahan Hasil Perikanan. Liberty, Yogyakarta.
Kinnear, TL. dan Taylor, 1996. Marketing Research An Aplied Approach
5th Edition. Mc Graw Hill, New York.
Kotler, P., 1991. Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan
Jaka Warsana. Airlangga, Jakarta.
Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT TehNPK Membedah Kasus Bisnis.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Resssohadiprojo, S., 1992. Manajemen Strategik . BPFE UGM, Yoyakarta.
Rustam, 2002. Pendapatan Menurut Standar Akutansi Keuangan. Digilib Usu,
Medan.
Suparta, N., 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. CV Bali Media
Adhikarsa, Denpasar.
Suwarsono, M., 2005. Manajemen Strategik. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Agrimeta,
91