Você está na página 1de 93

Daftar Isi (Content)

1.

ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM


PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI
KARANGASEM, BALI
I Made Tamba dan I Wayan Cipta..................................................................... 1

2.

AGRIMETA

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN


MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI
BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG
DAN KASCING
I Ketut Widnyana............................................................................................... 20

3.

ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI
I Ketut Arnawa................................................................................................... 32

4.

INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL


CAPITAL: An Empirical Approach at Different Communities in Bali
Province
Nyoman Utari Vipriyanti.................................................................................. 39

5.

PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.)


DENGAN PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI
I Made Sukerta................................................................................................... 62

6.

REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE FOR


PROMOTING SUSTAINABLE FARMING AND COMMUNITY-BASED
TOURISM
Cening Kardi.......................................................................................................70

7.

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN

SELAMATKAN
BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN
TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN


KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan
Ni Made Muriati dan Wayan Guwet Hadiwijaya...............................................78

AGRIMETA

Vol. 01

No. 01

Hal. 1 -101

Denpasar
Oktober 2011

ISSN
2088-2521

?
VOLUME 1

?
NOMOR 2

?
OKTOBER

AGRIMETA

?
2011

ISSN 2088-2521

AGRIMETA
Suatu jurnal ilmiah bidang pertanian dalam arti luas yang mempublikasikan hasil penelitian atau kajian
review pada semua aspek agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya pertanian (baik yang menyangkut
fisik maupun metafisik), baik secara alami maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah
lingkungan /organik.
Pemimpin Redaksi
Ir. Cening Kardi, MMA
Sekretaris Redaksi
Ir. Made Budiasa, MAgb
Mitra Bebestari (Dewan Redaksi)
1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS
Program Magister Bioteknologi Pertanian, Universitas Udayana
2.

Prof. Ir. Ratya Anindita, MS, P.hD


Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Brawijaya

3.

Dr. Ir. Ni Luh Kartini, MS


Program Magister Pertanian Lahan Kering, Universitas Udayana

Redaksi Pelaksana
1. Ir. I Dewa Nyoman Raka, MP
2. Prof Dr. Ir. IGN Alit Wiswasta, MP
3. Ir. Ketut Widnyana, MSi
4. Ir. I Made Tamba, MP
5. Drs. I Gusti Gede Jelantik Arya
Agrimeta adalah jurnal ilmiah bidang pertanian yang berbasis keseimbangan ekosistem yang diterbitkan
oleh Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar. Jurnal diterbitkan 2 kali dalam setahun
(April, Oktober) dengan 1 volume dan 2 nomor penerbitan.
Makalah dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Makalah yang dikirimkan oleh penulis
kepada redaksi akan dievaluasi awal untuk subyek materi dan kualitas teknik penulisan secara umum oleh
pemimpin redaksi, selanjutnya akan dikirimkan kepada minimal 1 mitra bebestari di bidangnya untuk
evaluasi substansi materi sedangkan tahap akhir akan ada saran penyempurnaan dari pelaksana redaksi.
Makalah yang dinyatakan diterima serta telah diperbaiki sesuai saran redaksi akan diterbitkan dalam Jurnal
Agrimeta.
Petunjuk Format Penulisan Makalah terlampir di halaman terakhir dari jurnal ini.
Redaksi Agrimeta
Sekretariat Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar
Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail:ceningkrd@gmail.com

PETUNJUK PENULISAN NASKAH


Agrimeta adalah jurnal suntingan ilmiah yang secara spesifik difokuskan pada publikasi karya-karya inovatif dari
penelitian murni atau terapan yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas , review dan analisis tentang semua aspek
agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya pertanian (baik yang menyangkut fisik dan metafisik), baik secara alami
maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan/organik.
Penyerahan naskah
Naskah yang tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan di redaksi lain dapat diserahkan rangkap 2 (1
asli dan 1 copy) kepada:
REDAKSI AGRIMETA
Sekretariat Fakultas Pertanian UNMAS
Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail: ceningkrd@gmail.com
Naskah yang dinyatakan diterima untuk dipublikasikan, pada penyerahan draft koreksi akhir harus disertakan
sebuah disket 3,5(bebas virus) yang berisi file naskah akhir yang sesuai denga cetakan naskah asli. Naskah diketik dengan
menggunakan Microsoft Word for Windows dalam doc format sementara grafik disimpan dalam Microsoft Excel.
Surat pernyataan yang ditandatangani oleh penulis utama, yang menyatakan bahwa naskah artikel yang
diserahkan belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan di redaksi lain harus
disertakan pada penyerahan naskah. Hak cetak bagi naskah yang diterima dan semua bahan terbitan lainnya menjadi hak
milik redaksi.
Kebijakan Redaksi
Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah yang diserahkan pada awalnya
akan dinilai berdasarkan kesesuaian materi ruang lingkup jurnal dan mutu tulisan secara umum oleh pemimpin redaksi.
Makalah yang ditulis dengan jelas dan disusun rapi dan baik sesuai dengan pedoman redaksi lebih dipertimbangkan.
Naskah yang dipandang tidak tepat dapat dikembalikan kepada penulis tanpa pengkoreksian lebih lanjut. Bagi penulis
naskah berbahasa Inggris sangat dianjurkan untuk memintak bantuan kepada seseorang yang mahir dalam penyusunan
naskah bahasa Inggris dengan gaya dan tatabahasa yang baik. Redaksi tidak menerima naskah yang dikirim lewat email.
Persiapan Nasakah
Naskah berupa ketikan asli (halaman judul hingga lampiran diharapkan tidak melebihi 17 halaman), spasi ganda,
batas bingkai penulisan 3 cm dari sisi tepi kertas ukuran A4 dan dengan huruf Times Roman 11 (Program MS Word for
Windows). Halam pertama naskah memuat judul artikel, nama dan alamat penulis. Absrak yang ditulis pada lembar ke-2
berisi ringkasan hasil penelitian dan kesimpulan (maksimum 250 kata dan spasi tunggal) dengan diberi maksimum 5 kata
kunci. Abstrak harus ditulis dalam dua versi bahasa Inggris dan Indonesia. Isi naskah dimulai pada lembar ke-3 dengan
Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah dan tujuan studi yang hendak dicapai. Bagian naskah berikutnya adalah
Metode, Hasil dan Pembahasan, Simpulan dan Saran dan Daftar Pustaka. Tabel dan Gambar ditempatkan pada
lembaran terpisah dari teks dan berada pada halaman terakhir. Naskah harus diberi nomor halaman secara berurutan.
Penggunaan penulisan dengan sistem satuan S1 (misal ml, l, g, kg, mg/l bukan ppm dsb).
Penulisan Sumber Pustaka
Sitiran sumber pustaka dalam teks dapat ditulis: Panda (2005) atau (Panda, 2005), mensitir 2 penulis sebagai
Sujana dan Panda (2005), sedangkan mensitir 3 atau lebih penulis yang ditulis hanya penulis utama ditambah dengan et
al. Dalam penulisan daftar pustaka, diurutkan berdasar alfabet, jika nama penulis sama diurut berdasarkan tahun
penerbitan. Nama /judul jurnal harus ditulis lengkap. Menghindari sitiran pustaka dari jurnal tanpa dewan penyunting,
laporan proyek, dan artiklel majalah popular.

ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM


PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR
DI KARANGASEM, BALI
I Made Tamba dan I Wayan Cipta
Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstract
National program on community self-relience empowerement or PNPM has been
introduced by central government as national policy to reduce poverty as well as
to achieve MDGs goals. Nevertheless, assessment on effectiveness such a
program is lacking. This research is aimed to assess PNPM program on coastal
communities in Kubu district Karangasem regency, Bali. Using census and snow
ball methods, the community participation was chosen as assessment indicater
along with other socio-econoic variables. The results show that PNPM-MKP is
performing well judging from community participation with average response of
medium level participation, while monitoring and evaluation show higher scores.
Overall total score of participation is relatively high. Some factors which
correlate with community participation are group of age, education level, number
of family members, number of fishing tools owned, and income
Keywords: coastal community, empowerment, PNPM-MKP model, community
participation.

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan telah
banyak dilakukan, seperti: Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan program-program bergulir lainnya. Namun, sebagian
besar program tersebut bersifat top-down. Disamping itu, ada beberapa program
yang tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena penentuan sasaran secara
langsung tanpa melalui proses perencanaan dan tidak melihat kondisi langsung di
masyarakat. Beberapa program memiliki prosedur yang sangat rumit sehingga
tidak tepat waktu, tidak efektif dan tidak efesien.
Usman (1998) menyatakan perlunya pendekatan khusus dalam upaya
penguatan perekonomian masyarakat terutama kelompok nelayan kecil seperti: 1)
pendekatan teknokratis yaitu pendekatan yang diawali dengan terlebih dahulu
menetapkan program-program dan kelompok-kelompok sasaran (target),
kemudian dilanjutkan dengan membakukan sistem penyaluran (delivery system)
bagi kelompok-kelompok sasaran, mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis, serta mengeluarkan anggaran pendukung pelaksanaan teknis, 2)
pendekatan partisipatif yaitu dengan memperkuat kemandirian (community selfreliance). Masyarakat dibantu, didampingi dan difasilitasi untuk melakukan
analisis terhadap masalah keuangan yang dihadapi, diberikan peluang
memutuskan yang dikehendaki dan inisiatif mereka menjadi basis kegiatan. Peran

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

pemerintah sebagai fasilitator dan memberikan dukungan inisiatif kepada


masyarakat.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) adalah
program nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pemberdayaan
masyarakat. Program PNPM Mandiri adalah program untuk mencapai salah satu
sasaran dalam Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan.
Kerangka pemikiran PNPM Mandiri adalah: 1) penanggulangan
kemiskinan hanya akan efektif bila dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan
melalui sinergi dan kemitraan masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok
peduli (LSM, swasta, dan lain-lain); 2) kemandirian yang berkelanjutan akan
diwujudkan dalam tiga pilar yaitu masyarakat dengan tingkat keberdayaan dan
kemandirian yang tinggi, pemerintah dan legislatif yang pro poor, dan dunia
usaha dan organisasi masyarakat yang peduli (the caring society); 3) PNPM
Mandiri bukan proyek bagi-bagi uang, namun harus dilandasi dengan
pembinaan karakter masyarakat yang baik dan beradab seperti: mempunyai citacita dan impian (the power of dream), mempunyai perilaku memberi daripada
meminta (the power to give), mempunyai kemantapan mental berpikir positif,
selalu mengutamakan dialog dan menghindari kekerasan (democracy at the grass
root), dan selalu berusaha dan bekerja bersama kelompok (kegotongroyongan
sosial, ekonomi dan budaya).
PENYALURAN PROGRAM -PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN
PRA PNPM MANDIRI

Program
Program

Program
Program

TATARAN
PENGELOLA
PROGRAM

Program
Program

Program
Program

PROSEDUR
YG. RIBET

KEBANYAKAN
MEDIATOR

KOORDINASI
LAPANGAN

?
BANTUAN SALAH
SASARAN

??
??
TATARAN
MASY.

TUMPANG TINDIH
DNG PROG LAIN

??
??

??
??

??
??

TERLUPAKAN?

Gambar 1. Program-Program Pengentasan Kemiskinan Sebelum Pola PNPM


Mandiri (Sumber: Royat, 2009)
Kabupaten Karangasem merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang
termasuk dalam kategori kabupaten tertinggal atau kabupaten miskin. Salah satu
kecamatan yang mewilayahi pesisir dan tergolong miskin adalah kecamatan
Kubu. Kecamatan Kubu yang memiliki luas wilayah 234,72 km2, terbagi dalam 9
desa yaitu Ban, Dukuh, Kubu, Tulamben, Baturinggit, Sukadana, Tianyar Timur,
Tianyar Tengah dan Tianyar Barat. Dari 9 desa tersebut, 7 desa diantaranya
(kecuali Ban dan Dukuh) merupakan desa pantai dengan panjang pantai sekitar
24,4 km. Jumlah penduduk di kecamatan Kubu tercatat 67.559 jiwa dengan
rincian penduduk laki-laki 33.731 jiwa dan perempuan 33.828 jiwa. Dari jumlah
penduduk tersebut kecamatan Kubu memiliki jumlah Rumah Tangga Miskin
2

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

(RTM) sebesar 7.833 KK atau 27.762 jiwa. Jumlah RTM di kabupaten


Karangasem kalau dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh
kepala rumah tangganya adalah SD/MI, dan kecamatan Kubu menempati
peringkat paling tinggi yaitu sebesar 7.646 RTM (20,71%).
Disamping faktor internal yang menjadi penyebab kemiskinan pada
masyarakat pesisir, faktor ekternal juga sangat berpengaruh. Selama lebih dari 3
dekade perhatian pemerintah relatif kurang terhadap pembangunan sektor
kelautan dan perikanan. Masyarakat di bidang kelautan dan perikanan sering kali
termajinalkan karena kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah dalam upaya
pengentasan kemiskinan dan pembangunan secara menyeluruh bagi masyarakat di
wilayah tersebut. Permasalahan dan pemanfaatan potensi yang belum optimal
pada nelayan meliputi aspek penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran,
pengawasan serta sumber daya manusia. Hal ini akan menambah kondisi
masyarakat kelautan dan perikanan yang cenderung miskin dan terbelakang.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini ini adalah: 1) bagaimanakah
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; 2) bagaimanakah dukungan
masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola
PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; dan 3) faktor-faktor
apakah yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan
PNPM- MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model pemberdayaan
masyarakat pesisir dengan pola PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, sehingga
nantinya dapat dijadikan model perbaikan pelaksanaan program bagi pemerintah
pusat dan perbaikan-perbaikan yang mesti dilakukan oleh Pemda Kabupaten
Karangasem khusunya Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Karangasem, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)untuk
mengetahui pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPMMKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; 2) untuk mengetahui
dukungan masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan
Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; dan 3) untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat
terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis yang diharapkan adalah sebagai bahan masukan bagi
akademisi dan stake holder di dalam memperkaya teori-teori mengenai
pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan masyarakat pesisir,
sedangkan manfaat praktisnya adalah untuk dipakai model/acuan untuk proses
pemberdayaan oleh pemerintah, dan stake holder yang bergerak pada bidang
pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam menentukan arah dan kebijakannya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

2. LANDASAN TEORI
2.1. Analisis Model
Analisis Model adalah identifikasi bagian-bagian dalam gambaran suatu
sistem yang bertujuan untuk menjelaskan apa yang diinginkan, membangun dasar
untuk model baru, dan menetapkan persyaratan dari model yang akan dibangun.
Analisis Model membantu mengindentifikasi hal-hal perbaikan penting
yang akan dilakukan, serta memberikan strategi positif untuk mengevaluasi diri
untuk memahami struktur dan efektifitas dari suatu sistem. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa analisis model dapat dipakai sebagai alat untuk pembinaan
peningkatan pembangunan. 1
2.2. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
2.2.1. Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan
laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik kering maupun yang terendam air
laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak,
dan gelombang serta perembesan laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian
perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah,
perluasan pemukiman serta intensifikasi pertanian. 2
Wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1) wilayah
pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan darat,
sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari
proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2)
berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk
tempat pembesaran, pemijahan dan mencari ikan; 3) wilayahnya sempit, tetapi
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam
rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4) memiliki gradien perubahan sifat
ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi
yang berlainan; dan 5) tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan,
baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi
internasional. 3
2.2.2.. Permasalahan Masyarakat Pesisir
Saad (2006) mengatakan bahwa isu dan permasalahan pokok pengelolaan
wilayah pesisir adalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang
di wilayah pesisir dan laut, penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan,
potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dimanfaatkan secara optimal,
pengelolaan konservasi laut belum optimal, kepastian hukum belum terjamin serta
1

Alistair Cockburn. OO Analisis Model. (Online) http:/training.fws.gov/deo/pdfs/The%20


Interpretive% 20Development%20Model.pdf).diakses 30 Mei 2010
Dahuri, dkk. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta.
Pradnya Paramita, 2001
Soedarma, D. Karakateristik Ekosistem Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
Pemanfaataanya. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga
Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Durjen KP3K DKP di
Cipayung Bogor, 22-25 Agustus 2006

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

belum maksimalnya peranan lembaga kemasyarakatan di dalam pengelolaan dan


pemanfaatan pesisir dan laut. Lebih lanjut dijelaskan penyebab kemiskinan
masyarakat pesisir adalah lemahnya akses kepada lembaga keuangan resmi
(terlilit utang dengan rentenir), belum adanya keberpihakan lembaga keuangan
(persyaratan ketat dan tingkat kepercayaan rendah), lemahnya sistem dan
manajemen usaha, dan lemahnya akses informasi iptek dan pasar.
2.2.3.. Pengertian dan Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya untuk membantu
masyarakat dalam mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan
mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri.
Definisi pemberdayaan (empower) menurut Merriam Webster and Oxford English
Dictionary mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or
authority atau sebagai memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Pengertian kedua, to give ability to or
enable, diartikan sebagai upaya memberikan kemampuan atau keberdayaan. 4
Kurniawan, (2006) mengatakan pemberdayaan adalah suatu proses
perubahan dengan menempatkan kata kreatif dan prakarsa masyarakat yang sadar
diri dan terbina sebagai titik tolak. Lebih lanjut dikatakan pemberdayaan
mengandung dua unsur pokok yaitu kemandirian dan partisipasi. Kemandirian
adalah proses kebangkitan kembali dan pengembangan kekuatan pada diri
manusia yang mungkin sudah hilang karena ketergantungan, eksploitasi dan sub
ordinasi yang mencakup kemandirian material, intelektual dan manajemen.
Sedangkan partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh masyarakat
sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)
dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara selektif. Partisipasi masyarakat
dapat berupa partisipasi pasif, yaitu masyarakat dilibatkan dalam tindakan dalam
kegiatan yang telah dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain, serta
partisipasi aktif, yaitu proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah
mereka sendiri dengan cara merefleksikan atas tindakan mereka sebagai subjek
yang sadar untuk mengambil keputusan untuk bertindak sendiri.
Upaya untuk mengentaskan kemiskinan yang diharapkan mampu untuk
mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin tentunya perlu dikaji dengan
mempertimbangkan berbagai aspek seperti pelibatan aktif masyarakat sebagai
penerima kebijakan dalam suatu kerangka participatory rural apparaisal (PRA).
Penumbuhan partisipasi ini sangat penting mengingat masyarakatlah yang secara
langsung melaksanakan dan merasakan hasil program yang digulirkan. Partisipasi
ini dapat dikembangkan melalui berbagai institusi lokal yang kuat dan benarbenar mampu mewakili kepentingan masyarakat desa. 5
Pembangunan di Indonesia semestinya dituntaskan dengan pemberdayaan
masyarakat karena, 1) demokratisasi proses pembangunan (dengan melibatkan
setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi); 2) penguatan peran organisasi masyarakat
lokal; 3) penguatan modal sosial; 4) penguatan kapasitas birokrasi lokal; dan 5)

4
5

Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta. Aditya Media. 2004


Soetrisno, R. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Yogyakarta.
Pholosophy Press. 2001

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

mempercepat penanggulangan kemiskinan yang dapat memberikan peluang


pekerjaan yang dapat menambah/memberikan penghasilan. 6
Pemetaan Swadaya:

Fasilitator

Merumuskan kebutuhan dan


potensi yang ada.
Memecahkan persoalan dengan
potensi yg dimiliki

Refleksi kemiskinan:
Identifikasi kemiskinan
Merumuskan persoalan
kemiskinan yang dihadapi
Merumuskan penyebabnya
Identifikasi potensi untuk
menanggulanginya

Pengorganisasian Masyarakat:
Lembaga masyarakat dibentuk/
ditetapkan, dimiliki, dan dikelola
untuk memenuhi kebutuhan bersama

Penyusunan Rencana:
Identifikasi dan Prioritisasi
Penyusunan Rencana/
Program Penanggulangan
Kemiskinan

Pertemuan Masyarakat:

Pelaksanaan Kegiatan:

Tahap belajar awal


menggali kebersamaan
Berdemokrasi
Kesadaran akan eksistensi
diri

Pembentukan/Penetapan
kelompok swadaya
masyarakat pelaksana
kegiatan
Media bersama untuk
menyelesaikan masalah
secara mandiri

Sosialisasi
di Masyarakat:
Pemetaan sosial
Sosialisasi
program

Penerima Manfaat:
Kelompok swadaya masyarakat
dan masyarakat miskin lainnya

(Sumber : Tim Design PNPM Mandiri Bappenas, 2009)


Gambar 2. Proses Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir adalah: 1) tersedianya dan
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan,
kesehatan dan pendidikan; 2) tersedianya prasarana dan sarana produksi secara
lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah
dan kualitas baik; 3) meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah
aksi kolektif; dan 4) terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah
yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resources based), memiliki
pasar yang jelas (markert based), dilakukan dengan cara berkelanjutan dengan
memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental based), dimiliki dan
dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat (local social based), dan dengan
menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan
penelitian (scientific based).7
2.3. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan
Perikanan (PNPM-MKP)
Kegiatan-kegiatan yang dirancang dalam PNPM-MKP bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat kelautan dan
perikanan miskin. Seluruh tahapan pelaksanaan PNPM-MKP berbasis
pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan dari, oleh dan untuk
masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek bukan sebagai
obyek pembangunan. 8
Tujuan Program PNPM-MKP adalah untuk mendukung pengembangan
usaha kelautan dan perikanan serta membangun infrastruktur pembentuk struktur
ruang di wilayah desa dan pengurangan degradasi lingkungan.
6

Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowinoto, Riant Nugroho. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah


Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Elex Media Komputindo.
2007. hlm. 37-41.
7
Pratikno, Widi Agus, op cit. hlm. 9
8
Departemen Kelautan dan Perikanan. Pedoman Teknis Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta.Dirjen KP3K. 2009
6

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Sasaran Program PNPM-MKP adalah nelayan, pembudidaya ikan,


pengolah, pemasar serta masyarakat pesisir lainnya yang terkait dengan tujuan
PNPM-MKP dan tergabung dalam kelompok masyarakat, seperti Kelompok
Pembudidaya Ikan (Pokdakan), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok
Pengolah dan/atau Pemasar Hasil Perikanan (KP2HP), Kelompok Masyarakat
Pengawas (Pokmaswas), dan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP).
3. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan
Pendekatan penelitian ini didasarkan pada evaluasi kebijakan tentang
PNPM kelautan dan perikanan. Kebijakan ini kemudian di kontraskan dengan
kondisi masyarakat atau realitas. Dengan kata lain dilakukan gap analysis
sehingga dapat diketahui masalah yang terjadi. Hasil ini kemudian menjadi bahan
kajian deskriptif kualitatif yang kemudian di uji melalui kajian non-parametrik
dengan uji beda nyata. Secara keseluruhan alur pendekatan ini dapat dilihat pada
Gambar 3 berikut ini.

Teori Kebijakan,
Pemberdayaan &
Partisipasi

P
E
M
E
R
I
N
T
A
H

K
E
B
I
J
A
K
A
N

MASYARAKAT
PESISIR

PNPMMKP mewujudkan
masyarakat pesisir
yang sejahtera

Fakta :
keterbela
kangan
dan
kemiskinan

Permasalahan
1).Bagaimana
pelaksanaan
PNPM-MKP.
2).Bagaimana
dukungan
masyarakat
pesisir thd
PNPM-MKP
3) Faktor apa
yang berhubungan dgn
PNPM-MKP

M
A
S
A
L
A
H

Pengkajian terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir


pola PNPMMKP :
1) Pelaksanaan
program
2) Dukungan
masyarakat
pada tahap
perencanaan,
pelaksanaan,
pemanfaatan,
dan monev
program
3) Faktor-faktor
yang berhubungan
dgn PNPMMKP

Penyem
purnaan
pola
PNPMMKP

Pendekatan
Deskriptif Kualitatif
INFORMASI

Gambar 3. Bagan Alir Penelitian

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

3.2. Populasi dan Sampel


Penelitian ini dilaksanakan pada anggota kelompok nelayan penerima
PNPM-MKP Tahun 2009 di 3 (tiga) desa yang kelompok nelayannya ditetapkan
sebagai penerima PNPM-MKP yaitu : Desa Tianyar Timur, Baturinggit, dan Kubu
di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem selama 2 (dua) bulan kalender yaitu
pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010.
Populasinya adalah anggota dari 10 kelompok nelayan penerima PNPMMKP (99 orang) menggunakan metode sensus. Untuk mengetahui pelaksanaan
PNPM-MKP dari pihak eksternal diambil informan dengan metode snow ball.
3.3. Instrumen Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah: 1) pelaksanaan PNPM-MKP; 2)
tingkat dukungan masyarakat pesisir; dan 3) faktor-faktor yang berhubungan
dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, sedangkan
indikator tingkat dukungan masyarakat meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan dan monev program.
Variabel pelaksanaan program PNPM-MKP akan diuraikan dengan
deskriptif kualitatif. Sedangkan variabel-variabel tingkat dukungan masyarakat
dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat akan diukur
dengan kuisioner.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan program, dan
tingkat dukungan masyarakat berbentuk kuisioner dan pedoman wawancara,
dengan menggunakan Skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yang
bergradasi (5 kategori) dan diberi skor 1-5 (satu sampai lima).
3.4. Jenis dan Bentuk Data
Data kualitatif mencakup deskripsi pelaksanaan PNPM-MKP, persepsi
masyarakat terhadap PNPM-MKP, dukungan masyarakat pesisir terhadap PNPMMKP, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masayarakat
terhadap PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, sedangkan
data kuantitatif berupa jumlah kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Kubu,
jumlah penduduk miskin/RTM di masing masing desa kelompok penerima
PNPM, jumlah pendapatan per anggota kelompok, penilaian responden tentang
pemberdayaan masyarakat pesisir dengan PNPM-MKP.
Data primer bersumber dari hasil observasi langsung peneliti ke kelompok
penerima PNPM-MKP di Desa Kubu, Baturinggit dan Tianyar Timur, dan hasil
sensus dari kelompok nelayan penerima PNPM-MK, sedangkan data sekunder
bersumber dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Karangasem tentang jumlah kelompok nelayan di Kecamatan Kubu dengan
jumlah anggotanya, jumlah dana PNPM-MKP yang disalurkan kepada kelompok
penerima, jumlah dan jenis barang yang dibelanjakan dari BLM PNPM-MKP,
serta data monografi dari masing-masing desa tempat kelompok penerima.
Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan metode observasi
(pengamatan langsung ke lapangan), kuesioner (dengan daftar pertanyaan dan
pedoman wawancara) dan dokumentasi (arsip data, foto-foto, dsb).

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

3.5. Analisis Data


Pelaksanaan program PNPM MKP dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Sedang tingkat dukungan masyarakat dianalisis dengan menggunakan analisis
kuantitatif dengan memberikan skor menggunakan Skala Likert (5 kategori)
sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Skala Likert untuk evaluasi PNPM-MKP
Kategori dukungan masyarakat terhadap
No
Rentang Skor
program PNPM-MKP
1
20% - 36%
Sangat Rendah
2
>36%- 52%
Rendah
3
>52% - 68%
Sedang
4
>68% - 84%
Tinggi
5
>84% - 100%
Sangat Tinggi
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP dianalisis dengan Chi-Square,
dengan persyaratan jika X hitung X (1- ) (1) , terima H0 dan jika X hitung
X (1- ) (1), tolak H0
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Pola PNPMMKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Pelaksanaan program PNPM-MKP di Kecamaan Kubu pada tahun 2009
dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan
tersebut adalah adalah: 1) Sosialisasi Program; 2) Penentuan Lokasi Sasaran; 3)
Perencanaan Pembangunan Wilayah; 4) Peningkatan kapasitas dan sumber daya
masyarakat; 5) Peningkatan kapasitas aparatur daerah; 6) Peningkatan akses kredit
mikro; 7) Pendampingan masyarakat; 8) Publikasi kegiatan; 9) Proses pencairan
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada kelompok masyarakat; 10)
Lokakarya PNPM-MKP; 11) Monitoring dan Evaluasi; 12) Realisasi Anggaran;
dan 13) Pelaporan
Dari jawaban masyarakat penerima BLM dan pendapat pihak eksternal
(konsultan dan tenaga pendamping) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mendukung pelaksanaan PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009
adalah:1)kemampuan pengelolaan program yang dilakukan oleh satuan kerja; 2)
kondisi dan kemampuan kelompok penerima; 3)kondisi wilayah, sosial dan
ekonomi dari desa tempat kelompok penerima; 4)tim teknis dan tim pendamping
program; 5)proses pencairan dana dan penggunaan dana; dan 6)pelaksanaan,
pemanfaatan dan monev program melibatkan kelompok penerima. Sedangkan
faktor-faktor yang dianggap menghambat pelaksanaan program adalah: 1)lokasi
sasaran yang menyasar hanya 1 kecamatan 3 desa; dan 2)menu dari barang-barang
yang boleh diadakan sangat mengikat sesuai dengan petunjuk teknis yang ada.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

4.2. Dukungan Masyarakat Pesisir Terhadap Model Pemberdayaan


Masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu
a. Karakteristik Responden
Dari hasil tabulasi data menujukkan semua responden (100%) berjenis
kelamin laki-laki, dengan karakteristik responden sebagai berikut :1) Umur
Responden, menujukkan bahwa 44,45% berumur 21-37 tahun, 42,42% berumur
38-54 tahun, dan 13,13% berumur 55-70 tahun (sasarannya adalah usia muda
produktif); 2) Status Perkawinan menunjukkan bahwa 15,15 % lajang (belum
kawin), 80,81% kawin dan 4,04 % bersatus duda; 3) Tingkat Pendidikan
menunjukkan bahwa 5,05% buta huruf, 32,32% tidak tamat SD, 27,27% tamat
SD, 19,19% tamat SMP, 13,13% tamat SMA, dan 3,03 % tamat Perguruan
Tinggi. Dengan demikian hampir 64,64% sasaran PNPM-MKP di kecamatan
Kubu hanya berpendidikan dasar, 32,32% berpendidikan menengah dan hanya
3,03% berpendidikan tinggi; 4) Pekerjaan Sampingan Responden,
menunjukkan 18,18% tidak memiliki pekerjaan sampingan; 51,52% petani; 6,06%
peternak, 13,13% buruh (karyawan pariwisata, tukang bangunan dan sopir);
11,11% pekerjaan lainnya (PNS, pegawai asuransi, dan sebagainya); 5)
Tanggungan Keluarga Responden, menunjukkan bahwa 39,39 % memiliki
tanggungan 0-2 orang, 54,55% memiliki tanggungan 3-4 orang, dan 6,06%
memiliki tanggungan 5-6 orang; 6) Penguasaan Tanah, menunjukkan bahwa
untuk penguasaan tanah tegalan; 84,85% memiliki tanah 0-50 are, 12,12 %
memiliki tanah 51-100 are, 0% memiliki tanah 101-150 are, dan 3,03% memiliki
tanah 151-200 are. Untuk penguasaan tanah pekarangan; 65,66% memiliki 0-3
are, 31,31% memiliki 4-7 are, dan 3,03% memiliki 8-10 are. Sedangkan untuk
status hak tanah tegalan: 50,51% tidak memiliki tanah tegalan, 43,43% merupakan
hak milik, dan 6,06% merupakan sebagai penggarap (nyakap); 7) Sarana Usaha
Nelayan, menunjukkan bahwa untuk kepemilikan jukung : 2,02% tidak memiliki
jukung, 90,91% memiliki jukung 1 unit, 5,05% memiliki jukung 2 unit dan 2,02%
memiliki jukung sebanyak 3 unit. Untuk kepemilikan mesin (mesin motor tempel
maupun mesin ketinting) menunjukkan bahwa 2,02% tidak memiliki, 84,85%
memiliki mesin sebanyak 1 unit, 11,11% memiliki mesin sebanyak 2 unit dan
2,02% memiliki mesin sebanyak 3 unit. Sedangkan untuk kepemilikan sarana alat
tangkap seperti jaring, pancing dan sebagainya: 72,73% memiliki 0-2 set, 17,17%
memiliki 3-4 set, dan 10,10 % memiliki 5-6 set; 8) Pendapatan Nelayan,
menunjukkan bahwa pendapatan nelayan dari pekerjaan utama (sebagai nelayan)
menunjukkan bahwa 12,12% pendapatannya 200.000 900.000 per bulan,
44.44% pendapatannya 901.000-1.600.000 per bulan, 28,28% pendapatannya
1.601.000-2.300.000 per bulan, 6,06% pendapatannya 2.301.000-3.000.000 per
bulan. Sedangkan pendapatan dari pekerjaan sampingan menunjukkan 75,76%
pendapatan sampingannya 0-500.000 per bulan, 19,19% pendapatan
sampingannya 501.000-1.000.000 per bulan, 1,01% pendapatan sampingannya
1.001.000-1.500.000 per bulan, dan 4,04% pendapatan sampingannya 1.501.000
2.000.000 per bulan. Dengan demikian jumlah pendapatan nelayan secara
keseluruhan menunjukkan bahwa 55,56% pendapatannya 800.000-1.850.000 per
bulan, 35,35% pendapatannya 1.851.000 2.900.000 per bulan, 8,08%
pendapatnnya 2.901.000 3.950.000 per bulan, dan 1,01% pendapatannya
10

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

3.951.000-5.000.000 per bulan; 9) Pengeluaran Nelayan, menujukkan bahwa


pngeluaran nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok (konsumsi) per bulannya,
13,13% pengeluarannya 200.000-450.000, 39,39% pendapatannya 451.000700.000, 26,26% pengeluarannya 701.000-950.000, 21,21% pengeluarannya
951.000-1.200.000.
Untuk pengeluaran non konsumsi (per bulannya)
menunjukkan bahwa 95,96% pengeluarannya 100.000-825.000, 3,03%
pengeluarannya 826.000-1.550.000, 0% pengeluarannya 1.551.000-2.275.000,
dan 1,01% pengeluarannya 2.276.000-3.000.000, untuk pengeluaran operasional
usaha nelayan (per bulannya) menunjukkan bahwa 52,53% pengeluarannya
100.000-450.000, 42,42%
pengeluarannya 451.000-800.000, 2,02%
pengeluarannya 801.000-1.150.000, dan 3,03% pengeluarannya 1.151.0001.500.000. Dengan demikian kalau dilihat secara keseluruhannya, total
pengeluaran nelayan (dalam rupiah per bulan) menunjukkan bahwa 50,55% total
pengeluarannya 800.000-1.725.000,
43,43% pengeluarannya 1.726.0002.650.000, 5,05% pengeluarannya 2.651.000-3.575.000, dan 1,01%
pengeluarannya 3.576.000-4.500.000; 10) Kepemilikan Rumah Nelayan,
menunjukkan 74,75% milik sendiri, 24,24% milik orang tua, dan 1,01% dengan
menyewa. Sedangkan jenis rumah yang dimiliki menunjukkan 32,32% rumah
permanen, 68,68 % rumah semi permanen; 11) Kepemilikan Tabungan,
menunjukkan bahwa 77,78% tidak memiliki tabungan, sedangkan 32,32%
memiliki tabungan; 12) Organisasi yang Diikuti dan Kedudukan Dalam
Organisasi, menunjukkan bahwa 62,63% ikut dalam 1-3 organisasi, 28,28% ikut
dalam 4-5 organisasi, dan 9,09% ikut dalam 6-7 organisasi, sedangkan
kedudukannya dalam organisasi menunjukkan 37,37% sebagai pengurus, 61,62 %
sebagai anggota, dan 1,01% sebagai keanggotaan lainnya (penasehat); dan 13)
Partisipasi Terhadap Kegiatan Kelompok, menunjukkan, 0,0% tidak pernah
hadir, 2,02% kadang-kadang hadir, 15,15% sering dan 82,83% menyatakan selalu
hadir.
b. Tingkat Dukungan Masyarakat terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP.
1) Aspek Perencanaan Program, menunjukkan bahwa 12,12 % dukungannya
rendah, 67,68% dukungannya sedang, 16,16% dukungannya tinggi dan 4,04%
dukungannya sangat tinggi. Tingkat dukungan masyarakat terhadap aspek
perencanaan dalam kategori sedang, disebabkan karena masyarakat di dalam
merencanakan suatu program masih perlu dituntun oleh pembina (pengelola
program) atau program bersifat luncuran dari pemerintah (top-bottom), sehingga
peranan masyarakat di dalam merencanakan kegiatan PNPM-MKP perlu
ditingkatkan.

Gambar 4. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya


Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

11

Terhadap PNPM-MKP pada Aspek Perencanaan Program


2) Aspek Pelaksanaan Program, menunjukkan bahwa 1,01 % dukungannya
rendah, 52,53% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 6,06%
dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek
pelaksanaan program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP)
benar-benar dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Pelaksanaan program dapat
berjalan dengan baik juga disebabkan karena responden mengikuti arahan dari
pembina teknis di lapangan.

Gambar 5.

Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap


PNPM-MKP pada Aspek Pelaksanaan Program

3) Aspek Pemanfaatan Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya


rendah, 53,54% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 4,04%
dukungannya sangat tinggi. Sumbangan pemikiran dan tenaga pada aspek ini
sudah lumayan tinggi, tetapi dukungan berupa sumbangan materi terhadap
pelaksanaaan program masih sedang. Tingginya dukungan pada aspek
pemanfaatan program menunjukkan bahwa ada kecendrungan bahwa program
tersebut benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok,
dan program tersebut mudah untuk diadaptasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Gambar 6.

Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap


PNPM-MKP pada Apek Pemanfaatan Program

4) Aspek Monitoring dan Evaluasi Program, menunjukkan bahwa 2,02 %


dukungannya rendah, 43,43% dukungannya sedang, 46,47% dukungannya tinggi
dan 8,08% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada
aspek monev program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP
melakukan pengawasan secara ketat, dengan aturan dalam awig-awig kelompok
(Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Pengawasan secara internal
kelompok dan pihak antar kelompok dalam wadah Kelompok Pengawas
Masyarakat (Pokmaswas) Bayu Segara yang ada di Kecamatan Kubu.
12

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Gambar 7. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap


PNPM-MKP pada Aspek Monev Program
5). Aspek Dukungan Masyarakat Secara Kumulatif, menunjukkan bahwa 3,03
% dukungannya rendah, 40,40% dukungannya sedang, 55,56% dukungannya
tinggi, dan 1,01% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat
secara kumulatif menunjukkan bahwa PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem
Tahun 2009 mendapat respon dan dukungan yang tinggi oleh kelompok
masyarakat. Masyarakat penerima program sudah mampu untuk melakukan
perencanaan, melaksanakan, memanfaatkan, dan melakukan monitoring dan
evaluasi program secara baik. Tingginya dukungan secara kumulatif ini juga
disebabkan karena modal sosial (terutama tingkat kepercayaan dan partisipasi)
pada kelompok-kelompok nelayan di kecamatan Kubu relatif masih tinggi.

Gambar 8. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap


PNPM-MKP pada Aspek Secara Kumulatif

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

13

Secara keseluruhan respon masyarakat terhadap beberapa aspek di atas dapat


dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9 berikut ini.
Tabel 2. Respon masyarakat terhadap aspek penilaian.
Respon (%)

Aspek
Perencanaan
Pelaksanaan
Pemanfaatan
Monev
Kumulatif

sangat
rendah sedang tinggi
tinggi
12,12
67,68
16,16
4,04
1,01
52,53
40,4
6,06
2,02
53,54
40,4
4,04
2,02
43,43
46,47
8,08
3,03
40,4
55,56
1,01

Gambar 9. Respon Masyarakat terhadap PNPM

4.3. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan


Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM - MKP
di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan dukungan
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP yaitu kelompok umur, tingkat
pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dari pekerjaan utama dan
jumlah kepemilikan alat tangkap.

14

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Tabel 3.

Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang


Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan
PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009
No
Jenis Faktor
X2-hitung
X2-tabel (=5%)
1. Kelompok Umur
60,48*
9,49
2. Tingkat Pendidikan
42,46*
9,49
3. Jumlah Tanggungan Keluarga
33,88*
9,49
4. Pendapatan dari Pekerjaan Utama
40,53*
9,49
5. Jumlah Kepemilikan Alat Tangkap
23,86*
9,49
Keterangan : ns) = non signifikan, *) = siginifikan
Sumber : Data Primer (diolah).
4.3.1 Kelompok umur
Kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok umur 21-37
tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai hubungan
yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada
suatu kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki
dukungan yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang
lebih tua memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP.
Kenyataan ini memberi makna bahwa ada
kecenderungan semakin muda responden semakin tinggi dukungannnya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor umur mempengaruhi
kemampuan sesorang untuk beraktivitas dan berproduktivitas.
4.3.2 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pendidikan tinggi,
pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Tingkat pendidikan mempunyai
hubungan yang signifikan dengan dukungan responden terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan
bahwa ada suatu kecenderungan responden pada tingkat pendidikan yang lebih
tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP
atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan yang lebih rendah
memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan
PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin
tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih
rasional;
4.3.3 Jumlah tanggungan keluarga
Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu 5-6
anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2 anggota keluarga. Jumlah
tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya
terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki
tanggungan keluarga yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi
terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki jumlah
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

15

tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih


rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena anggota keluarga
dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan melaksanakan PNPM-MKP.
4.3.4. Pendapatan dari pekerjaan utama
Pendapatan dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp.
2.300.000-3.000.000 per bulan, Rp. 1.600.000-<2.300.000 per bulan dan Rp.
<1.600.000 per bulan. Pendapatan dari pekerjaan utama mempunyai hubungan
yang signifikan dengan dukunganya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di
Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
Hal ini menunjukkan bahwa
responden yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi memiliki kecendrungan
dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden
yang memiliki pendapatan yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan
yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi
makna bahwa ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendapatan responden
semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi
karena tingkat pendapatan akan mempengaruhi jumlah pengeluaran yang dapat
dibiayai di dalam meningkatkan taraf hidupnya nelayan. Pendapatan juga akan
berpengaruh terhadap kemampuan nelayan untuk lebih berpartisipasi di dalam
memberikan sumbangan dalam bentuk material (dana) terhadap suatu program;
dan
4.3.5. Kepemilikan alat tangkap
Kepemilikan alat tangkap dibagi menjadi tiga kategori yaitu kepemilikan
alat tangkap 5-6 set, 3-4 set, dan 0-2 set. Kepemilikan alat tangkap mempunyai
hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPMMKP di Kecamatan Kubu. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan
responden yang memiliki alat tangkap yang lebih banyak memiliki dukungan
yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang
memiliki alat tangkap yang lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang
lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Jadi ada kecenderungan bahwa
semakin banyak kepemilikan alat tangkap semakin tinggi dukungannya terhadap
pelaksanaan PNPM-MKP. Hal ini terjadi karena kepemilikan alat tangkap akan
berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan nelayan yang nantinya akan
berpengaruh dengan tingkat pendapatan nelayan yang merupakan faktor
pendukung dalam pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem.

5. KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI


5.1. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu,
Kabupaten Karangasem Tahun 2009 sudah berjalan sesuai dengan pedoman teknis
dan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (bottom up); 2) Tingkat dukungan
masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP pada aspek perencanaan program
masuk kategori sedang, pada aspek pelaksanaan program masuk kategori sedang,
16

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek
monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara
kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan
dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan
Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan
dari pekerjaan utama.

5.2. Saran
Dari hasil dan pembahasan dapat diberikan saran sebagai berikut : 1)
program PNPM-MKP tetap dapat dilanjutkan oleh pemerintah; 2) Pemerintah
hendaknya lebih melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring program sehingga program tersebut
benar-benar sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat (bottom up). Dalam
pedoman teknis PNPM-MKP semestinya tidak ada pembatasan desa/kecamatan
calon penerima dan pembatasan menu dari barang-barang yang boleh dibiayai dari
program tersebut; dan 3) Untuk meningkatkan tingkat dukungan masyarakat dari
kategori sedang ke kategori yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP
baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring dan
evaluasi program, hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan
dengan dukungan masyarakat seperti kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap dan jumlah pendapatan
dari pekerjaan utama dari calon penerima program.
5.3. Implikasi
Peningkatan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan
pola PNPM-MKP dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat pada kelompok
umur muda (usia produktif), meningkatkan pendidikan peserta, meningkatkan
pendapatan masyarakat, serta mengupayakan peningkatan kepemilikan alat
tangkap nelayan.
Oleh karena program PNPM-MKP benar-benar dapat dilaksanakan dan
bermanfaat bagi masyarakat, maka pemerintah maupun stake holder terkait dapat
menggunakan program tersebut untuk dipakai sebagai salah satu model program
pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam mengentaskan kemiskinan di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi Program
Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan, Jakarta :
Bumi Aksara.
Alistair, Cockburn. 2000. OO Analysis Model (Online).(http://training.fws.gov/
deo/pdfs/The%20Interpretive%20Development%20Model.pdf). Diakses 28
Maret 2010.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Proses Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir. Jakarta: Tim Design.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

17

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2008. Karangasem Dalam Angka.


Amlapura:BPS
Candiasa. 2004. Statistik Multivariat, Singaraja : Unit Penerbitan IKIP Negeri
Singaraja.
Dahuri R. J. Rais , S.P. Ginting, dan M.J Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Petunjuk Operasional Kegiatan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan
Tahun 2009. Jakarta :Dirjen KP3K
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Teknis Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta :
Dirjen KP3K
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2008. Potensi
Pesisir Kabupaten Karangasem Tahun 2008 : Karangasem.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2007.
Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.
Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.
Laporan Akhir PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.
Laporan Tim Pendamping PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.
Laporan Akhir RTRW Pesisir Kabupaten Karangasem. Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.
Laporan Akhir Konsultan Perencanaan Wilayah PNPM-MKP Kabupaten
Karangasem. Amlapura : DPKP.
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009.
Laporan Tahunan Sistem Akuntansi Instansi (SAK-SIMAK BMN) Tugas
Pembantuan Lingkup KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun
2009. Amlapura : DPKP.
Dinas Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Karangasem.
2007. Laporan Pelaksanaan Pemutakhiran Data Rumah Tangga Miskin
Kabupaten Karangasem. Kerjasama dengan Badan Pusat Statistik
Kabupaten Karangasem.
Fernandes. 1984. Evaluation of Education Programs. Jakarta: Educational and
Curriculum Development.
Gregory, Robert J. 2000. Psichologycal Testing History, Principles, and
Applications. Boston : Allyn and Bacon.
Kay R and Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. London: E &FN
Spon an imprint of Roulledge.
Kurniawan, A. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Makalah yang disampaikan
dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh
Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di
Cipayung-Bogor: 22-25 Agustus.
Lestari P. 2009. Sosialisasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.
Mandiri Kelautan dan Perikanan, Makalah disampaikan dalam Sosialisasi
Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret
18

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Martasuganda, S., R. Drajat., Nelwan D., Christianto D.S., Daulay, HG.,


Nugroho, A.S., Setyaningsih, N., 2006. Teknologi Untuk Masyarakat Pesisir
Seri Alat Tangkap. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.
Meriam-Webster. 2010. Meriam Webster Dictionairy (Online). (http://www.
merim-webster.com/ictionairy/analysis). Diakses 30 Maret 2010
Moleong J, Lexi. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nien-Lien Hsueh. 2002. Analysis Model. (Online). (http://publib.boulder.
ibm.com/infocenter/rsmhelp/v7r0m0/topic/analysis model.html). Diakses 30
Maret 2010.
Pratikto, W.A. 2006 Arah dan Kebijakan Pembangunan Sumberdaya Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan
Peningkatan Peran Serta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor
22-25 Agustus.
Royat. S. 2009. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran
Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMMandiri). Makalah yang disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang
Penanggulangan Kemiskinan/Ketua Tim Pelaksana Pengendali PNPM
Mandiri pada Launching Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret
Saad, S. 2006. Peran Lembaga Keagamaan/Adat dalam Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan
Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor
22-25 Agustus.
Soetrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebebasan
Kemiskinan, Yogyakarta: Philosophy Press.
Sudrajat Sutawijaya. 1999. Statistik Non Parametrik. Bandung: Program Pasca
Sarjana Unpad.
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Tarsito.
Suharsimi, Arikunto dan Cepri Safrudin Abdul Jalal. Evaluasi Program
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta : Aditya
Media.
Tasrif, Muhammad. 2005. Analisis Kebijakan Menggunakan Model System
Dynamic. Bandung : Program Magister Studi Pembangunan. Institut
Teknologi Bandung.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Pustaka
Pelajar.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

19

UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH


LAHAN MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR
MELALUI BIOTEKNOLOGI BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA
DENGAN PUPUK KANDANG DAN KASCING
I Ketut Widnyana
Email : ketutwidnyana@yahoo.com
Jurusan Agroteknologi Universitas Mahasaraswati Denpasar

1. PENDAHULUAN
Kabupaten Karangasem dengan luas wilayah 83.954 Ha. Hanya memiliki
lahan sawah beririgasi teknis seluas 7.059 Ha. (8,41 %) dan lahan kering paling
luas di daerah Bali bagian timur yaitu seluas 76.868 Ha. (91,56 %). Kabupaten
Karangasem terdiri dari 8 kecamatan dan dari 8 kecamatan yang ada tersebut,
kecamatan Kubu dan kecamatan Abang memiliki lahan kering terluas yaitu
masing-masing seluas 23.472 Ha. dan 12.658 Ha., selanjutnya disusul dengan
kecamatan Rendang seluas 9.987 Ha., kecamatan Karangasem seluas 7.817 Ha.,
kecamatan Selat seluas 7.200 Ha., kecamatan Bebandem seluas 7.127 Ha.,
kecamatan Manggis seluas 6.395 Ha., dan kecamatan Sidemen seluas 2.2123 Ha.
Lahan kering bermasalah (marginal) dari segi kesuburan dan curah hujan yang
rendah sebagian besar ditemukan di kecamatan Kubu, Abang, dan Karangasem
(Bappeda Karangasem dan Puslit Teknologi dan Seni UNUD, 2003). Secara
agroekosistem lahan kering mempunyai karakter lebih labil dibandingkan lahan
sawah. Secara umum beberapa karakteristik lahan kering adalah topografi
umumnya tidak datar, rentan terhadap erosi, system usahatani beragam sehingga
agak sulit dalam pengelolaan lahan, ketergantungan terhadap iklim sangat besar,
unsure hara terbatas.
Sumber daya alam di lahan kering dapat pulih dengan beberapa teknologi
dan teknik pengelolaan yang benar dan konsisten dari pengelolanya, walaupun
memang memerlukan waktu yang relatif agak lama. Disamping itu kondisi
penduduk terutama petani yang relatif miskin harus digarap juga dengan cara
memberikan pembinaan dan bimbingan secara terus menerus untuk mengelola
lahannya dengan baik agar dapat memberikan menfaat yang lebih untuk
kehidupan mereka.
Salah satu usaha yang dapat dilaksanakan adalah peningkatan kesuburan
tanah dengan pemberian pupuk yang mudah tersedia dan berkadar tinggi Akan
tetapi pemberian pupuk kimia atau anorganik untuk mempercepat proses
peningkatan kesuburan tanah hanya akan meningkatkan kesuburan kimia tanah
saja, sedangkan kesuburan fisik tanah akan tetap rendah dan bahkan kesuburan
biologi tanah akan tertekan atau aktivitas mikroorganisme tanah yang membantu
peningkatan kesuburan tanah akan terhenti dengan adanya pupuk kimia
(anorganik) yang tinggi (Food and Fertilizer Technology Center, 2003). Seperti
diketahui bahwa lahan marginal adalah lahan yang rendah potensi dan
produktivitasnya dari semua segi kesuburan tanahnya baik dari segi kimia,fisik
maupun biologi tanah dan disamping itu juga pada keterbatasan tersedianya air
20

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

(Suprapto, dkk, 2000), sehingga untuk menangani kesuburan lahan marginal agar
potensi kesuburannya meningkat, maka perlu diambil langkah langkah yang
bijak untuk mengatasi kendala kendala yang ada. Langkah langkah yang bijak
untuk mengatasi ketiga kendala aspek kesuburan tanah lahan marginal tersebut
adalah dengan pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang dan kascing serta
pupuk hayati mikoriza
Paket rekayasa bioteknologi biofertilisasi antara mikoriza dengan pupuk
kandang dan kascing untuk meningkatkan potensi kesuburan tanah lahan marginal
cukup ideal dapat dilaksanakan karena akan mendukung ketiga aspek kesuburan
tanah yaitu kesuburan kimia, fisik dan biologi tanah. Aplikasi miko-riza, pupuk
kandang dan kascing ke dalam tanah lahan marginal akan berpengaruh terhadap
(Parr et al., 2003; Herman dan Goenadi, 2003; Pujiyanto, 2001; Wiswasta, 2001):
1. Aspek fisik tanah yang meliputi struktur dan tekstur tanah, tanah akan
menjadi gembur. Adanya bahan organik yang cukup dari pupuk
kandang dan kascing maka pada tanah yang berkadar pasir tinggi. Air
tidak akan mudah hilang meresap karena ditahan oleh bahan organik
tersebut dan pada tanah berkadar liat tinggi, air tidak mudah
tergenang karena tanah menjadi penuh dengan adanya bahan organik
tersebut. Mikoriza juga mempunyai sifat menyimpan air pada musim
kemarau.
2. Aspek biologi tanah, tersedianya bahan organik yang cukup di dalam
tanah akan meningkatkan aktivitas dan perkembangbiakan
mikroorganisme tanah yang menguntungkan yang membantu
meningkatkan kesuburan tanah.
3. Aspek kimia tanah, aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme
akan membantu mendegradasi molekul molekul bahan organik
menjadi unsur unsur yang dapat meningkatkan kesuburan tanah
sehingga tersedia bagi tanaman.
Paket bioteknologi biofertilisasi ini telah banyak diteliti dan dicoba baik di
luar maupun di dalam negeri untuk mengembalikan kesuburan tanah lahan kering
(marginal) seperti lahan lahan transmigrasi yang telah lama terbuka agar berdaya
guna dan berhasil guna. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kesuburan tanah lahan marginal yang selanjutnya akan
meningkatkan pendapatan petani dengan pemanfaatan limbah peternakan (
kotoran ternak ) atau kascing ( hasil degradasi sampah bahan organik oleh cacing
tanah ) dan dengan inokulasi mikoriza melalui penerapan paket bioteknologi
biofertilisasi
2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas lahan kering di
Kubu, Karangasem.
Setelah diketahui tingkat kesuburan, potensi dan
produktivitas lahan kemudian dilakukan perlakuan pemupukan pupuk organik
dikombinasi dengan mikoriza untuk meningkatkan kesuburan tanah lahan
marginal sehingga potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Dari
penelitian ini juga diharapkan diperoleh peningkatan potensi kesuburan tanah
lahan marginal yang memperoleh perlakuan bioteknologi biofertilisasi mikoriza
dengan pupuk kandang dan kascing. Dengan diketahuinya potensi tanah lahan
marginal melalui studi rekayasa bioteknologi biofertilisasi tersebut maka dapat
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

21

diperoleh informasi dalam penyediaan bahan organik/pupuk kandang dan kascing


baik jenis maupun jumlah (dosis) pupuk organik tersebut yang dikombinasi
dengan pupuk hayati mikoriza. Hal ini akan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan bahan organik (pupuk kandang) baik jenis maupun jumlahnya. Dari
segi jenis mudah diperoleh, dari segi jumlah ( dosis ) diperoleh dosis yang tepat,
sehingga akan mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Keadaan ini akan
dapat meningkatkan pendapatan petani, selanjutnya meningkatkan taraf hidup
petani.
Sesuai data dan informasi (Badan Pusat Statistik/BPS Propinsi Bali, 2005),
di Pulau Bali terdapat lebih kurang 2.181.19 Ha lahan kering yang sebagian besar
kurang produktif yang dikatagorikan sebagai lahan marginal karena keterbatasan
dari segi kesuburan dan ketersediaan air yang memerlukan penanganan dengan
baik dan bijak untuk ditingkatkan potensi dan produktivitasnya. Sumberdaya
lahan kering merupakan sumber daya alam yang dapat pulih, tetapi proses
pemulihannya memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar.
Dari karakteristik lahan kering , maka arah pengelolaan lahan kering unutk bidang
pertanian adalah pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable management)
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan,
tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lahan.
Pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada intinya diarahkan pada
beberapa maksud yaitu 1) meningkatkan produktivitas lahan kering, 2)
mengurangi resiko kegagalan, 3) melindungi sumber daya alam, menekan
terjadinya gradasi tanah dan air, 4) meningkatkan pendapatan petani, 5)
memenuhi kebutuhan sosial.
3. METODE PENELITIAN
Percobaan pot (rumah kaca)
Percobaan pot (rumah kaca) dilakukan untuk mengetahui perubahan
tingkat kesuburan tanah lahan marginal yang diberi berbagai perlakuan sehingga
potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Percobaan berpola faktorial
dengan Rancangan Acak Kelompok /RAK (Gomez and Gomez, 1995). Adapun
faktor faktor perlakuan yang dicoba adalah sebagai berkut :
(1) Faktor I Inokulasi mikoriza ( M ).
m0 = tanpa inokulan mikoriza
m1 = dengan inokulan mikoriza
(2) Faktor II pupuk kandang dan kascing ( P )
p0 = Tanpa pupuk
p1 = pupuk kandang sapi
p2 = pupuk kandang ayam
p3 = pupuk kandang babi
p4 = pupuk kascing
(3) Faktor III dosis pupuk kandang dan kascing ( D )
d0 = 0 ton per ha
d1 = 4 ton per ha
d2 = 8 ton per ha
d3 = 12 ton per ha
d4 = 16 ton per ha

22

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Berdasarkan ketiga faktor perlakuan tersebut akan diperoleh 32 kombinasi


perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 96 pot percobaan.
Tanaman yang ditanam untuk menguji perlakuan tersebut adalah tanaman jagung
dan kacang tanah , sehingga jumlah keseluruhan pot yang diperlukan untuk
percobaan ini adalah 192 pot .
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Percobaan Pot Kacang Tanah
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pengaruh
kombinasi
perlakuan mikoriza, dosis pupuk dan jenis pupukterhadap beberapa parameter
hasil seperti jumlah biji, berat kering oven (BKO), pada tanaman kacang tanah
menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi semua perlakuan masih belum
menunjukkan adanya interaksi. Hal ini dapat dilihat dari grafik kecenderungan
hasil yang masih linier. Beberapa perlakuan tunggal (pupuk dan mikoriza)
menunjukkankan kecenderungan yang meningkat walaupun masih linier. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel dan Grafik berikut:
Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap
Jumlah Biji Kacang Tanah
Dependent
JBJKCTP1
JBJKCTP1
JBJKCTP2
JBJKCTP2
JBJKCTP3
JBJKCTP3
JBJKCTP4
JBJKCTP4

Mth
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA

Rsq
,198
,229
,000
,183
,321
,629
,047
,067

d.f.
F
8
1,97
7
1,04
8 3,0E-03
7
,79
8
3,79
7
5,94
8
,39
7
,25

Sigf
,198
,402
,957
,492
,088
,031
,549
,783

b0
b1
34,8000 -1,0375
32,0143
,3554
27,1000
,0250
30,8143 -1,8321
21,9000 1,2625
13,5429 5,4411
24,2000
,3625
25,8429 -,4589

b2
-,0871
,1161
-,2612
,0513

Dari Tabel 4 Tabel 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan mikoriza dengan
pupuk organik terhadap parameter jumlah biji dan berat kering oven biji kacang
tanah menunjukkan pengaruh tidak nyata Hal ini juga dipertegas dengan
kecenderungan Grafik 1 sampai dengan Grafik 4, dimana pada kedua parameter
kecenderungan masih linier. Walaupun pada perlakuan tunggal baik pupuk
maupun mikoriza ada beberapa yang menunjukkan pengaruh nyata. Misalnya
seperti perlakuan pupuk kandang babi (P3) dan mikoriza menunjukkan pengaruh
yang nyata
(Tabel 4).
JBJKCTP3
50

40

30

20

Observed

10

Linear
0

Quadratic

-10

10

20

DOSISPPK

Grafik 1. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap


Jumlah Biji Kacang Tanah
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

23

Pada Tabel 5 terlihat bahwa tanpa perlakuan mikoriza maka pemberian pupuk
kascing menunjukkan pengaruh yang nyata, walaupun kecenderungannya masih
linier.
Tabel 5. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah Biji Kacang Tanah
Dependent Mth
Rsq d.f.
JBJKCTP1 LIN ,320
JBJKCTP1 QUA ,382
JBJKCTP2 LIN ,527
JBJKCTP2 QUA ,564
JBJKCTP3 LIN ,029
JBJKCTP3 QUA ,029
JBJKCTP4 LIN ,002
JBJKCTP4 QUA ,022

8
7
8
7
8
7
8
7

F Sigf
3,76 ,089
2,17 ,185
8,92 ,017
4,52 ,055
,24 ,641
,10 ,903
,02 ,903
,08 ,924

b0
b1
47,3000 -1,5250
42,7286
,7607
39,7000 -1,8125
36,4857 -,2054
34,6000 -,3750
34,4571 -,3036
28,6000
,0625
27,2429
,7411

b2
-,1429
-,1004
-,0045
-,0424

JBJKCTP2
50

40

30

20

Observed

10

Linear
0

Quadratic

-10

10

20

DOSISPPK

Grafik 2. Trend Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap

Jumlah

Biji Kacang Tanah

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji
Kacang Tanah
Dependent Mth
Rsq d.f.
BKOBJKP1 LIN ,224
BKOBJKP1 QUA ,322
BKOBJKP2 LIN ,324
BKOBJKP2 QUA ,428
BKOBJKP3 LIN ,114
BKOBJKP3 QUA ,148
BKOBJKP4 LIN ,007
BKOBJKP4 QUA ,171

24

Agrimeta,

8
7
8
7
8
7
8
7

F Sigf
2,31 ,167
1,66 ,256
3,83 ,086
2,62 ,141
1,03 ,340
,61 ,572
,06 ,813
,72 ,520

b0
17,5800
15,8300
17,1000
15,1143
16,7100
15,5600
13,9400
12,3900

b1
-,3912
,4837
-,5175
,4754
-,3137
,2612
-,0487
,7262

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

b2
-,0547
-,0621
-,0359
-,0484

BKOBJKP2
20
18
16
14
12
10
8

Observed

Linear

Quadratic

-10

10

20

DOSISPPK

Grafik 3. Trend Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat


Kering Oven Biji Kacang Tanah

Tabel 7. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat


Kering Oven Biji Kacang Tanah
Dependent
BKOBJKP1
BKOBJKP1
BKOBJKP2
BKOBJKP2
BKOBJKP3
BKOBJKP3
BKOBJKP4
BKOBJKP4

Mth
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA

Rsq
,240
,256
,006
,195
,134
,512
,049
,239

d.f.
8
7
8
7
8
7
8
7

F
2,53
1,20
,05
,85
1,24
3,67
,41
1,10

Sigf
,150
,355
,836
,468
,298
,081
,539
,384

b0
b1
16,4100 -,3512
15,8029 -,0477
12,8400
,0625
15,2829 -1,1589
14,0600
,3713
9,8529 2,4748
17,4800 -,3338
13,0300 1,8912

b2
-,0190
,0763
-,1315
-,1391

BKOBJKP3
30

20

10
Observed
Linear
0

Quadratic

-10

10

20

DOSISPPK

Grafik 4. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap


Berat Kering Oven Biji Kacang Tanah
Demikian juga apabila dilihat dari parameter berat kering oven biji kacang tanah
maka perlakuan mikoriza dan pupuk kandang ayam (P2) menunjukkan pengaruh
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

25

yang nyata, tetapi perlakuan tanpa mikoriza menunjukkan pengaruh nyata pada
perlakuan kascing (P4). Interaksi tidak menunjukkan pengaruh nyata, dapat
dilihat pada grafik kecenderungan yang masih linier (Grafik 3 dan 4).
Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap Jumlah Biji
Jagung
Dependent
JMBJJGP1
JMBJJGP1
JMBJJGP2
JMBJJGP2
JMBJJGP3
JMBJJGP3
JMBJJGP4
JMBJJGP4

Mth
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA
LIN
QUA

Rsq
,480
,548
,003
,067
,031
,047
,060
,221

d.f.
8
7
8
7
8
7
8
7

F
7,38
4,23
,03
,25
,26
,17
,51
,99

Sigf
,026
,062
,877
,784
,626
,845
,496
,417

b0
98,0000
66,6429
250,700
224,629
211,300
227,943
307,100
348,886

b1
12,3375
28,0161
-,8625
12,1732
3,4625
-4,8589
-3,7625
-24,655

b2
-,9799
-,8147
,5201
1,3058

4.2 Hasil Percobaan Pot Jagung


Interaksi perlakuan mikoriza dan pupuk pada parameter jumlah biji, berat
pipilan kering, berat kering oven jagung menunjukkan pengaruh yang tidak nyata.
Pengaruh pupuk kandang sapi (P1) menunjukkan pengaruh nyata, walaupun
masih menunjukkan kecenderungan yang linier.(Tabel 8 dan Grafik 5). Pada
parameter berat biji pipilan kering perlakuan pupuk kandang sapi (P1)
menunjukkan pengaruh yang nyata, tetapi tidak menunjukkan adanya
kecenderungan kuadratik (Tabel 9 dan Grafik 6). Pada parameter berat kering
oven biji jagung maka pengaruh nyata ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kandang
sapi (P1), tetapi kecenderungan masih linier (Tabel 10 dan Grafik 7).
JMBJJGP1
400

300

200

100

Observed
Linear

Quadratic

-10

10

20

DOSISPPK

Grafik 5. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap


Jumlah Biji Jagung
Tabel 9. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat
Pipilan Kering Jagung
Dependent Mth
Rsq d.f.
BPKBJP1 LIN ,259
BPKBJP1 QUA ,323
BPKBJP2 LIN ,021
BPKBJP2 QUA ,047
BPKBJP3 LIN ,008
BPKBJP3 QUA ,085
BPKBJP4 LIN ,029
BPKBJP4 QUA ,175
26

Agrimeta,

8
7
8
7
8
7
8
7

F Sigf
2,79 ,133
1,67 ,256
,17 ,687
,17 ,846
,06 ,809
,32 ,733
,24 ,636
,74 ,510

b0
b1
24,8700 1,6713
19,2629 4,4748
45,6700 -,3575
43,0271
,9639
45,4500
,2725
51,2500 -2,6275
53,4000 -,4075
59,5429 -3,4789

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

b2
-,1752
-,0826
,1812
,1920

BPKBJP1
70

60

50

40

30
Observed
20
Linear
10

Quadratic

-10

10

20

DOSISPPK

Grafik 6. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat
Pipilan Kering Jagung
Tabel 10. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat
Kering Oven Jagung
Dependent Mth
Rsq d.f.
BKOBJP1 LIN ,462
BKOBJP1 QUA ,490
BKOBJP2 LIN ,026
BKOBJP2 QUA ,027
BKOBJP3 LIN ,000
BKOBJP3 QUA ,086
BKOBJP4 LIN ,021
BKOBJP4 QUA ,021

F Sigf
8
6,87 ,031
7
3,36 ,095
8
,21 ,657
7
,10 ,908
8 1,2E-03 ,974
7
,33 ,731
8
,17 ,689
7
,08 ,928

b0
b1
10,2000 1,7225
7,3429 3,1511
35,6900 -,3687
35,1257 -,0866
35,5100
,0300
40,4529 -2,4414
33,5900
,2550
33,6471
,2264

b2
-,0893
-,0176
,1545
,0018

BKOBJP1
50

40

30

20

Observed

10

Linear
0

Quadratic

-10

10

20

DOSISPPK

Grafik 7. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik


terhadap Berat Kering Oven Jagung

Dari hasil analisis terhadap parameter vegetatif, hanya terhadap panjang akar dan
berat kering oven akar terjadi pengaruh yang signifikan, (lihat Tabel 8 dan 9).
Panjang akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (84 cm), dan berat
kering oven akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (35,5 g).
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

27

Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Akar Tanaman Jagung (cm)
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
81
76
72
64
D1
63
68
69
56
D2
78
61
74
73
D3
77
70
79
84
D4
Keterangan:
D
= perlakuan dosis pupuk
P
= perlakuan jenis pupuk
Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Kering Oven Akar (g
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
23,7
27
22,1
21,2
D1
16,7
23,1
14,5
18,4
D2
21,1
24,2
25,6
20,1
D3
24,9
27,7
21,5
35,5
D4
Keterangan:
D
= perlakuan dosis pupuk
P
= perlakuan jenis pupuk

4.3 Pembahasan
Tabel 13. Signifikansi Pengaruh perlakuan Mikoriza (M), Dosis (D) dan Jenis
pupuk (P) terhadap parameter yang diamati
No Parameter
M D
P
MxDx P
1
Jumlah biji kacang tanah
* ns *
ns
2
Berat Kering Oven Biji Kacang tanah
* ns *
ns
3
Jumlah biji jagung
* ns *
ns
4
Berat pipilan kering jagung
* ns *
ns
5
Berat kering oven jagung
* ns *
ns
6
Berat basah akar kacang tanah
* ns *
ns
7
Berat kering oven akar kacang tanah
* ns *
ns
8
Berat basah akar jagung
* ns *
ns
9
Berat kering oven akar jagung
* ns *
ns
Keterangan:
*
= berpengaruh nyata
ns
= non significant (tidak berpengaruh)
Dari data signifikansi dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan mikoriza
dan pupuk berjalan sendiri-sendiri, baik pada tanaman jagung maupun pada
tanaman kacang tanah. Pada perlakuan tunggal mikoriza maka semua parameter
yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun masih menunjukkan
kecenderungan linier, yang berarti bahwa pemberian mikoriza untuk selanjutnya
bisa ditingkatkan dari dosis yang digunakan saat ini. Pada perlakuan pupuk
terlihat dari Tabel 4 Tabel 10 ternyata jenis pupuk menunjukkan pengaruh yang
berbeda pada masing-masing parameter, hal ini diduga disebabkan karena pupuk
28

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

organik memang ketersediaannya dalam jangka waktu panjang, sehingga pada


percobaan ini pengaruh pupuk masih belum nyata. Dari nilai rata-rata parameter
hasil yaitu jumlah biji, berat pipilan kering dan berat kering oven biji jagung maka
hasil tertinggi diperoleh berturut-turut pada pelakuan M1D4P3, M1D4P4, dan
M1D3P4
Dari data panjang akar dan berat kering oven akar tanaman jagung
perlakuan M1D4P4 menunjukkan hasil tetinggi, hal ini disebabkan karena
perlakuan mikoriza menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar dan
berat kering oven akar baik kacang tanah maupun jagung. Hal ini sesuai dengan
fungsi mikoriza yaitu meningkatkan permukaan serapan terhadap hara sehingga
tanaman dapat lebih banyak menyerap unsur hara yang tersedia dalam tanah.
Pendapat (Guissou et al., 1998; Cuenca et al. 1998 dan Matsubara et al.,2000)
bahwa mikoriza dapat memperbesar penyerapan P dan unsur-unsur hara lainnya
walaupun dalam jumlah yang lebih kecil seperti N,K,S,Ca,Mg,Cu dan Zn melalui
perpanjangan micelia yang berkembang sangat luas di luar struktur akar tanaman.
Lebih lanjut dinyatakan oleh Yadi setiadi (2000) bahwa adanya hubungan
simiosis mutualisme antara tanaman inang dengan mikoriza sangat membantu
dalam penyerapan P. Hifa dari mikoriza yang berperan sebagai sistem perakaran
tanaman sehingga jangkauan penyerapan dapat mencapai + 80 mm dibandingkan
dengan tanpa mikoriza jangkauan hanya 1-2 mm. Hasil penelitian Setiawati dkk.
(2000) juga mendapatkan bahwa inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman
kacang tanah meningkatkan serapan P tanaman secara nyata 57,14 %
dibandingkan tanapa mikoriza.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan
diperbaikinya status nutrisi tanaman terutama P maka dapat meningkatkan
pertumbuhan di bawah tanah (terutama akar), apalagi kalau diakitkan dengan
kondisi tanah di lahan kering, maka perkembangan akar harus semaksimal
mungkin agar dapat menyerap kara pada kedalaman tanah yang lebih dalam
(Ahiabor dan Hirata, 1995).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengaruh interaksi antara perlakuan mikoriza (M), Dosis (D) dan jenis
pupuk (P) pada semua parameter yang diamati tidak berpengaruh nyata.
2) Pada semua parameter yang diamati, pengaruh perlakuan mikoriza nyata
tetapi masih menunjukkan kecenderungan yang linier.
3) Pengaruh dosis dan jenis pupuk kandang menunjukkan pengaruh nyata
tetapi kecenderungan masih linier.
5.2 Saran
Beberapa hal dapat disarankan:
1). Karena percobaan masih dilakukan di pot maka akan dilakukan percobaan
lapangan dengan menggunakan kombinasi terbaik dari hasil penelitian
ini, sehingga di lapangan akan diperoleh data yang lebih akurat untuk
memperoleh rekomendasi perlakuan terbaik.
2) Untuk mikoriza yang digunakan sebaiknya digunakan mikoriza lokal,
karena masing-masing mikoriza sebenarnya bersifat khas untuk masingAgrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

29

masing daerah. Dengan menginokulasi sendiri dari sumber di daerah


penelitian maka keefektifan fungsi mikoriza lebih akurat.
3) Perlu dilakukan analisis serapan unsur P oleh tanaman dan analisis Ptersedia dalam tanah.

DAFTAR PUSTAKA
Ahiabor, B.D and H.Hirata. 1995. Influence of Growth Stage on The Assocation
Between Some Tropical Legumes and Two variant species of Glomus in
an Andosol. Sil Sci. Plant Nurt. 41 (3): 481-496.
Astiari, A. 2003. Efek Dosis Inokulan Mikoriza terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di lahan Kering
Desa Kubu, Karangasem. Thesi Magister Pertanian Lahan Kering.
Universitas Udayana Denpasar.
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, 2003. Bali Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Propinsi Bali
Bappeda Kabupaten Karangasem dan Pusat Penelitian Teknologi dan Seni, 2003.
Kajian Teknis Potensi dan Pemanfaatan Lahan Kering Di Kabupaten
Karangasem. Bappeda Kabupaten Karangasem.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Bali. 2007. . Makalah disampaikan pada
Semi Loka nasional Model produksi Beras di Bali. Sindhu Beach Hotel,
21 Nopember 2007
Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 2002.
Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Edisi VI. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Food and Fertilizer Technology Center, 2003. Microbial and Organic Fertilizers in
Asia. An International Information Center for Farmers in the Asia
Pasific Region. http://www.agnet.org/library/html 1/17/03.
Gemma, J.N. and R.E. Koske, 2003. Use of Mycorrhizae in Restoration of
Hawaiian Habitats. Departement of Biological Sciences, University of
Rhode Island, Kingston. http://www.hawaii.edu/scb/scinativ_mycor.html
1/22/03.
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian.
Terjemahan. E. Samsuddin dan J.S. Baharsyah. UI press, Jakarta.
Herman dan D.H. Goenadi, 2003. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri
Pupuk Hayati Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/html/jp183993.html 1/8/03.
Kasno, A. 2003. Profil dan Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah di
Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman pangan, Bogor, 26 Mei
2003
Muin, A., 2003. Penggunaan Mikoriza untuk Menunjang Pembangunan Hutan
pada Lahan Kritis atau Marginal. Mutualisme antara Cendawan dan
Tanaman.
http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/PPs702/ABDURRANI.htm 1/3/03.
Munir, M., 2001. Tanah-Tanah Utama Indonesia : Karakteristik, Klasifikasi, dan
Pemanfaatannya. Pustaka Jaya, Jakarta.

30

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Parr, J.F., S.B. Hornick, and D.D. Kaufman, 2003. Use of Microbial Inoculants
and Organic Fertilizers in Agricultural Production. An International
Information Center for Farmers in Asia Pasific Region . Food and
Fertilizer
Technology
Center.
http://www.agnet.org/library/article/eb394.html 1/29/03.
Pujiyanto, 2003. Pemanfaatan Jasad Mikro Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam
Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia : Tinjauan dari Perpektif
Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB. http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/ indiv2001/pujiyanto.htm 1/28/03.
Setiawati, M.R.,B.N. Fitratin dan P. Suryatmana. 2000. Pengaruh Mikoriza dan
Pupuk Fosfat terhadap Derajat Infeksi Mikoriza dan Komponen
Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah. Prosiding Seminar Nasional
Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan PAU Bioteknologi IPB. Hal
92 99.
Suarna, I W., 2001. Pengaruh Pupuk Organik Kascing terhadap Pertumbuhan,
Hasil, dan Kualitas Hijauan dalam Sistem Asosiasi RumputLegum serta
Dampak-nya terhadap Prestasi Kambing Peranakan Etawah Jantan.
Disertasi Program Pascasarjana UNPAD., Bandung.
Suprapto, I N. Adijaya, I K. Mahaputra, dan I M. RaiYasa, 2000. Penelitian
Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Wiswasta, I G.N.A., 2001. Pertumbuhan dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput
Setaria (Setaria splendida Stapf.) yang Dipengaruhi Nitrogen, Fosfor,
Mikoriza, dan Azospirillum. Disertasi Program Pascasarjana UNPAD.,
Bandung.
Yadi Setiadi. 2000. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza
Arbuskular dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi.
Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan
PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Hal 11-23.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

31

ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI
I Ketut Arnawa
Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
The main objective of this study was to determine the elasticity and the
factors that affect soybean supply in the industry. Study determined the location of
sampling porpusive in East Java province. The data used are time series data
(1989-2008). The study found the price elasticity of soybean supply is inelastic in
the industry, offering soy at the industry level is strongly influenced by the price
of soybeans, and time trends. Policy implications that can be recommended in
order to support self-sufficiency in soybean prices is the need to
establish
policies that favor soybean farmers by improving its marketing.
Key words: Soybean, markets, elasticity

1. PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting bagi
masyarakat. Pertumbuhan permintaan kedelai cukup pesat selama beberapa tahun
terakhir, terutama untuk konsumsi, bahan baku industri, seperti industri tahu,
tempe, kecap, tauco, dan susu, serta meningkatnya permintaan terhadap pakan
ternak sebagai akibat berkembangnya industri perunggasan. Walaupun selama dua
warsa terakhir telah terjadi peningkatan produksi dalam negeri, namun belum
mampu memenuhi permintaannya. Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini
telah mencapai 2,3 juta ton tahun -1 , sementara produksi kedelai dalam
negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40 persen sehingga
kekurangannya dipenuhi dari impor.
Harga kedelai impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga kedelai
lokal sangat merugikan petani. Karena biaya produksi tidak seimbang dengan nilai
hasil yang didapatkan, sehingga minat petani menanam kedelai hanya sekedar
melanjutkan kebiasaan pola tanam saja. Hal ini diperparah lagi dengan situasi
pemasaran kedelai yang kurang menguntungkan petani, pemasaran kedelai
dikuasai oleh pedagang besar dan industri (Sudaryanto,dkk.,1992;
Zulham,dkk.1993; Zulham dan Yumm,1996).
Berdasarkan data statisitik
Kementrian Pertanian, (2010) harga kedelai di tingkat petani pada Desember
2009 Rp 4.900 kg -1 , dan harga di tingkat konsumen Rp 6.500 kg -1 . Ini
berarti ada perbedaan harga atau marjin pemasaran sebesar Rp 1.600/kg
atau 32,65 persen
Oleh karena itu pemerintah memprogramkan dan menetapkan jajaran
areal tanam yang diharapkan mempunyai produksi yang dapat mencukupi
kebutuhan pangan, namun kenyataannya kepastian tersebut selalu mendapat
tantangan dari kondisi alam, kondisi praktis seperti penerapan teknologi, dari
pelaksana/petani dan hambatan lain seperti perlakuan pasar, kebijakan
pemerintah, sehingga pencapaian produksi atau penawaran kedelai sulit
diperkirakan secara pasti.
32

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Menyadari bahwa kedelai merupakan komoditas pangan penting bagi


masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan penawaran
kedelai khususnya yang berasal produksi kedelai petani, dengan mengambil
berbagai kebijakan baik di bidang produksi, stabilitas harga maupun investasi,
penelitian, penyuluhan dan teknologi. Berdasarkan urain di atas dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini adalah seberapa besar elastisitas dan faktorfaktor yang mempengaruhi penawaran komoditas kedelai, sehingga tujuan utama
penelitian ini adalah untuk mengetahui elastisitas dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran komoditas kedelai.
2. KERANGKA TEORI
Fungsi Penawaran Kedelai
Penawaran kedelai adalah jumlah kedelai yang ditawarkan
penjual/produsen ke pasar pada berbagai tingkat harga, penawaran kedelai dapat
juga dijelaskan dengan daftar, grafik atau persamaan yang menunjukkan
komoditas kedelai dimana produsen/petani ingin dapat menjual pada berbagai
tingkat harga dalam suatu pasar, pada periode waktu tertentu, cateris paribus.
Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi penawaran kedelai adalah
hubungan antara jumlah produksi atau jumlah kedelai yang dijual disesuaikan
dengan perubahan harga. Sehingga untuk membuat persamaan dari fungsi
penawaran kedelai dapat dituliskan sebagai berikut :
Qs = f(P) ..(1)
Dimana :
Qs = jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan
P = Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan
Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan bukanlah satu-satunya yang
berpengaruh terhadap jumlah kedelai yang ditawarkan. Selain harga dari kedelai
yang ditawarkan, juga dipengaruhi oleh teknologi, harga komoditas alternatifnya,
pajak dan subsidi, iklim, dan lain-lainnya yang selanjutnya disebut sebagai supply
relation dan dapat dituliskan sebagai berikut :
Qs = f(P,T,Pi,Pa,Tx,I)...(2)
Dimana :
Qs = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan
P = Harga komoditas kedelai yang ditawarkan
T = Teknologi
Pi = Harga input
Pa = Harga komoditas alternatifnya
Tx = Pajak dan subsidi
I = Iklim
Salah satu karakteristik yang penting di dalam kurva penawaran adalah
derajat kepekaan jumlah penawaran terhadap perubahan salah satu factor yang
mempengaruhinya. Derajat kepekaan tersebut adalah elastisitas penawaran,
dimana sangat berguna untuk pengetahuan respon penawaran terhadap perubahan
harga. Koefisien elastisitas harga dari penawaran (s) mengukur persentase
perubahan jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan per unit waktu (Q/Q)
sebagai akibat adanya persentase perubahan harga komoditas kedelai (P/P)
(Salvatore, 1994). Untuk mengetahui tingkat koefisien elastisitas penawaran
komoditas kedelai dapat dihitung sebagai berikut :
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

33

Q / Q Q P
.(3)

.
P / P P Q

Dimana :
s = Elastisitas penawaran komoditas kedelai
P = Harga komoditas kedelai
Q = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan
Q = Q2 Q1 (Q1 dan Q2 adalah komoditas kedelai yang ditawarkan pada
periode 1 dan 2)
Elastisitas penawaran kedelai dapat bersifat; elastisitas sempurna, elastis,
elastis uniter, tidak elastis dan tidak elastis sempurna. Dikatakan elastis sempurna
apabila para penjual/produsen hanya mau menjual semua kedelainya pada suatu
harga tertentu, dan kurve penawaran kedelai sejajar dengan sumbu horizontal (S o).
Tidak elastis sempurna apabila penjual sama sekali tidak dapat menambah
penawaran kedelai walaupun harga bertambah, dan kurve penawarannya sejajar
dengan sumbu vertical (S1) sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 1a.
Sedangkan kurve penawaran yang tidak elastis, elastis uniter dan elastis
ditunjukkan pada Gambar 1b. Elastis uniter ditunjukkan oleh garis penawaran
(S3) yang membentuk sudut 45o .Kurve penawaran tidak elastis (S2) adalah setiap
perubahan harga kedelai menimbulkan perubahan jumlah komoditas kedelai yang
ditawarkan lebih kecil, dan kurve elastis (S4) apabila terjadi perubahan harga
kedelai menyebabkan perubahan yang lebih besar terhadap jumlah komoditas
kedelai yang ditawarkan
S2
S1
P
P
S3
S4

S2

(a)
(b)
Gambar 1. Jenis-Jenis Elastisitas Penawaran Kedelai
(Diadaptasi dari Sukirno, 2002)
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara porpusive sampling di provinsi Jawa
Timur dengan dasar pertimbangan Jawa Timur merupakan daerah penghasil
utama kedelai nasional. Data yang digunakan adalah data statistik Time series
(1989-2008) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian dan
instansi terkait. Data diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least
Square). Sebelum data diestimasi, setiap variabel diuji kondisi stationary-nya
dengan menggunakan Uji ADF (Augmented Dickey-Fuller Test).
3.2

Analisis Data
Penawaran kedelai responsif terhadap harga. Harga pertanian lain juga
mempengaruhi penawaran kedelai pada level petani. Pada level pedagang besar,
penawaran pasar ini merespon pada tingkat harga pedagang besar.
34

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Logikanya, jumlah impor kedelai meningkatkan penawaran yang tersedia


bagi perusahaan. Karena data untuk kedelai yang digunakan oleh industri
termasuk kedelai impor, maka perusahaan adalah penentu juga dalam penawaran
kedelai. Fungsi penawaran kedelai yang dihadapi oleh industri pengolahan kedelai
dapat dinyatakan pada(4) :
R = f(Wr, Rimp, Pf .F,T.e) ................................................... (4)
dimana :
R = penawaran kedelai di tingkat industri
Wr = harga kedelai grosiran
Rimp = jumlah kedelai yang diimpor
Pf = harga eceran pupuk Urea.
F
= jumlah curah hujan tahunan
T
= tren waktu
e
= error term
Bentuk suplai fungsional yang terkenal dengan elastisitas harga konstan
adalah tipe Cobb-Douglas. Penelitian ini mengadopsi bentuk fungsional ini untuk
kaitan fungsi penawaran. Persamaan (5) secara eksplisit menunjukkan penawaran
pasar biji kedelai di tingkat industri.
R ar .wr1.R1mp2 .Pf 3 .F 4 .T 5 .e6 (5)
Dimana:
ar = konstanta
1 = parameter yang terkait dengan penentu penawaran
Untuk memudahkan dalam analisis persamaan (5) dimodifikasi menjadi
persamaan (6)
In(R) = In(ar) + 1.In(Wr) + 2.In(R1mp) + 3In(pf) + 4.In(F) + 5.In (T+e)+e... (6)
Hipotesis parameter dugaan: 1, 2, 4, 5 > 0; 3 < 0
Elastisitas harga penawaran diperoleh dengan mengalikan bentukan (6) yang
berkaitan dengan harga kedelai (Wr) dengan harga itu sendiri. Persamaan (7)
menunjukkan elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri
er = 1 .(7)
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Elastisitas harga terhadap penawaran kedelai diestimasi dari fungsi
penawaran kedelai. Hasil estimasi memperoleh F-hitung 15,6871 berbeda nyata
pada taraf nyata 1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8485, berarti 84,85
persen penawaran kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model.
Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Kedelai (R)
Variabel
Koefisien
Prob (t-statistik)
Konstanta
1291,2880
0,0016
Harga kedelai grosiran (LnWr)
0,4333
0,0758
Jumlah impor kedelai (LnRimp)
-0,0899
0,1231
Harga eceran pupuk urea (LnPf)
0,1259
0,5808
Jumlah curah hujan tahunan (LnF)
-0,1595
0,2726
Tren waktu (T)
-168,7059
0,0018

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

35

Penawaran kedelai di tingkat industri sangat dipengaruhi oleh harga


kedelai, dan tren waktu, sedangkan jumlah kedelai impor, harga eceran pupuk
urea dan jumlah curah hujan tidak menunjukan pengaruh yang nyata. Variabel
harga kedelai berpengaruh nyata terhadap penawaran kedelai, hal ini menunjukan
bahwa petani kedelai responsif terhadap kenaikan harga kedelai. Koefisien regresi
atau elastisitas harga terhadap penawaran kedelai bertanda positif 0,4333 artinya
bahwa peningkatan harga kedelai sebesar Rp 100 akan meningkatkan rataan total
penawaran kedelai 0,43 ton. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga
kedelai diharapkan
dapat memberikan dampak positif pada peningkatan
penawaran kedelai. Koefisien elastisitas harga terhadap penawaran kedelai
mempunyai tanda positif e1 = 1 = 0,4333 < 1 bersifat inelastis, artinya persentase
perubahan jumlah yang ditawarkan lebih kecil dari persentase perubahan harga.
Elastistas harga penawaran kedelai yang inelastis, menunjukkan kekuatan pasar
industri mempunyai pengaruh cukup besar terhadap harga kedelai di pasar.
Appelbaum Schroter, (1982) menjelaskan bahwa, elastisitas harga terhadap
penawaran
berbanding terbalik dengan kekuatan pasar industri dalam
menentukan harga, semakin kecil elastisitas harga semakin besar kekuatan pasar
industri dalam mempengaruhi harga.
Variabel jumlah impor kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap
penawaran kedelai, tetapi koefisien bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada
kecendrungan impor berdampak terhadap penurunan penawaran kedelai, ini ada
hubungannya dengan produksi kedelai lokal, kalau pemerintah tidak melakukan
pembatasan impor, petani kedelai di dalam negeri tidak termotivasi meningkatkan
produksinya, harga kedelai impor lebih murah sehingga cendrung menurunkan
harga kedelai di dalam negeri, dampaknya usaha pemerintah untuk meningkatkan
produksi kedelai di dalam negeri akan sulit dicapai.
Harga eceran pupuk urea tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
penawaran kedelai. Sebagai tanaman alternatif yang dipilih petani pada musim
kemarau dan pada daerah-daerah tegalan dengan pengairan terbatas, pemberian
pupuk diduga bukan merupakan prioritas bagi petani kedelai, tidak seperti
pemupukan pada tanaman padi. Memperkuat pendapatnya Megel dkk., (1978),
meskipun kedelai menunjukkan respon terhadap pemupukan dan tanah subur,
namum pemupukan pada kedelai belum diterima secara luas.
Jumlah curah hujan tahunan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
penawaran kedelai, koefisien regresi bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada
kecendrungan semakin tinggi curah hujan produksi kedelai menurun sehingga
penawaran kedelai juga menurun. Tanaman kedelai sering dihadapkan pada
lingkungan yang berdrainase buruk, sehingga pada curah hujan yang tinggi,
pertanaman kedelai tergenang dengan air, berdampak pada pertumbuhan tanaman
kerdil dan produktivitas rendah. Pembuatan saluran drainase pada lahan sawah
dianjurkan sebagai komponen teknologi (Manwan dkk.,1996). Pembuatan saluran
drainase juga penting pada kedelai dalam musim kemarau (Juli-Oktober) yang
berfungsi untuk merembeskan air irigasi ke petakan tanaman sehingga
pemanfaatan air irigasi menjadi lebih efisien.
Variabel tren waktu memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran
kedelai, koefisien regresi bertanda negatif tidak sesuai dengan parameter dugaan.
Penawaran kedelai dari tahun ketahun menurun, produksi kedelai terus menurun
lebih besar dibandingkan dengan jumlah kenaikan impor kedelai yang dilakukan
36

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

pemerintah. Permintaan kedelai terus meningkat, sehingga sering menimbulkan


gejolak kelangkaan kedelai, harga kedelai mahal merugikan industri kedelai.
Pemerintah sudah selayaknya berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai.
Beberapa hasil penelitian tentang kedelai telah menghasilkan berbagai pilihan
teknologi produksi yang dapat meningkatkan produksi kedelai
pada
agroekosistem tertentu. Berbagai komponen teknologi dan sistem usahatani
kedelai yang dimaksud meliputi varietas unggul, budidaya, pengendalian hama,
penyakit dan gulma, pemupukan dan pengelolaan hara, pengairan dan pengelolaan
air, pasca panen dan penyedian benih serta distribusi.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri bersifat inelastis,
dengan nilai elastisitas sebesar 0,4333. Penawaran kedelai di tingkat industri
sangat dipengaruhi oleh harga kedelai, dan tren waktu. Untuk meningkatkan
produksi atau penawaran kedelai, maka implikasi kebijakan yang dapat
disarankan dalam rangka mendukung swasembada kedelai adalah perlu
menetapkan kebijakan harga yang berpihak kepada petani kedelai dengan
melakukan perbaikan pemasarannya.
DAFTAR PUETAKA
Amang, B dan Sawit. H. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi
Kedelai di Indonesia Disunting oleh Amang, B, Sawit. H dan M R. Anas.
IPB Press
Appelbaum, E. 1982. The Estimate of the degree of oligopoly Power. Journal of
Econometrics,19: 287-299
Bain, J.S. 1968. Industrial Organization 2nd Edition, John Wiley & Sons Inc.
New York
BPS. 1996. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta
BPS. 2006. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta
BPS. 2006. Perkembangan Luas Penen, Produktivitas dan Produksi Kedelei di
Indonesia (1992-2005), BPS, Jakarta
Carlton, DW dan Perloff, JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third
Edition. Addison-Wesley Publishing Company
Gujarati, DN. 1998. Basic Economitrics. McGraw Hill Inc. Third Edition
Henderson, James M. and Richard E Quant. 1980. Microeconomic Theory, A
Mathematical Approach. McGraw Hil International Book Company,
Singapore
Koutsoyianis, A. 1982. Theory of Econometrics, McGraw-Hil, Singapore
Kasryno, Faisal, Delima H. Darmawan, I Wayan Rusastra, Erwidodo, dan Charil
A Rasahan. Pemasaran Kedelai di Indonesia. Kedelai, Penyunting:
Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, Mahyuddin Syam, S.O.
Manurung Yuswadi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
Megel, B.B., William Segars, and George W.Rehn. 1978. Soil Fertility and
Liming Soybean. Wilcox J.R. (Ed.), American Society of Agronomi, M
Anindita, Ratya. 2005. Pemasaran Hasil Pertanian, Penerbit Papyrus
Surabaya
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

37

Miller, Roger Le Roy dan Roger E Meiners. 1993. Teori Ekonomi Mikro
Intermediate. Penterjemah Haris Munandar, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Manwan, I, Sumarno, A.S. Karama, dan A.M. Fagi. 1996. Teknologi Peningkatan
Produksi Kedelai di Indonesia. Laporan Khusus Pus/02/89, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Maddala, GS. 2001. Introduction to Economitrics. Jhon Wiley & Sons. Ltd
Purwoko, A dan Sayaka, B. 1992. Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Rogers, G. 1986. Penetapan Harga Hasil Pertanian. (Penyunting Makaliwe)
Gramedia. Jakarta
Schroeter, Jhon R. 1988. Estimating the Degree of Market Power in the Beef
Packing Industry. The Review of Economics and Statistics. 70 (1): 158162.
Salvatore, D., 1989. Ekonomi Internasional. Gelora Aksara. Jakarta.
Sudaryanto, T., 1992. Gambaran Agegat Ekonomi Kedelai di Indonesia.
Agribisnis Kedelai (Buku I). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.
Schroeter, Jhon R and Azzam, A. 1991.Marketing Margin, Market Power And
Price Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics.73 (4):
990-999
Sukirno, Sadono.,2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Statistik Kementrian Pertanian Indonesia, 2010. Perkembangan Harga Kedelai di
Sentra Produksi Kedelai di Indonesia.
Zulham,A.,Syafaat, Y Marisa, B. Hutabarat, dan T.B. Purwantini, 1993. Pola
Perdagangan Wilayah Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Zulham, A dan Yumm, M. 1996. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Ekonomi
Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi kedelai di Indonesia disunting oleh
Amang, B; Sawit. H dan MR. Anas. IPB Press. Bogor

38

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

INSTITUTIONAL FRAMEWORK
FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL :
An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province
Nyoman Utari Vipriyanti
Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstract
The basic premise of this research is that social capital is a productive
factor, which impact the regional development, economic growth and poverty
differently depend on individual and community characteristics. The aims of this
research are (1) generating social capital data especially on dominant component
such as trust, network density and collecctive norm of traditional agriculture
(subak) community, tourism (HPI, Asita and PHRI) community and desa
pakraman community. (2) How to make social capital indicator more strengthen
in diferent region and communities. The data is analyzed with Structural
Equation Model (SEM). Research shows that norm is the most important
indicator to build social capital in underdeveloped region. The other side, the most
important indicator for social capital in developed region is trust. Network density
is the most important endogenous variable that gives the most contribution to
subaks and desa pakraman's social capital but not in tourism community.
Keywords: Economic Development, Social capital, Trust, Norm, Network.
1. INTRODUCTION
Social capital concept stated that there is a close relationship between
social capital and human resources. Social capital will be established if every
person in the group have own contribution. The relationship between social
capital and human resources is not a simple one (Glaeser, Laibson and Sacerdote,
2001). Social capital is similar with knowledge that always develops to be
productive if used intensively. Therefore the capital should be keep productively.
Without spend a lot of time, energy and others resources on the social capital,
relationship among individual tend to reduce by the time.
Social capital is resulted from changing on relationship among individual
that facilitate an action. Therefore, social capital is intangible, different with
physical capital. However, together with human capital and physical capital,
social capital facilitates productive activities.
From the last 20 century to the beginning of 21 century, a large body of
social capital research has been carried out particularly in relationship with
economic growth of a region. The first research on relationship between social
capital and regional economic performance was conducted by Putnam (1993). He
suggests that social capital is not only found at micro level, in the form of
personal relationship among individual, but also at macro level. He also stated that
level of community welfare in north Italy is higher than south Italy due to
different social structure. In North Italy, there is a horizontal structure while the
south is hierarchy. Putnam measure social capital based on newspaper readership,
availability of sport and culture association, institution performance and citizen
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

39

satisfaction. The social capital size is used to explain distinction economic growth
for the two regions while difference from others variable is assumed not large
enough. Furthermore, Helliwell and Putnam (2000) also shows that social capital
will facilitate local government ability to achieve higher economic growth. The
research showed that convergence is faster and income equality will be happened
on higher level that is in regions with stronger social capital.
Even a positive correlation between social capital and growth is proved,
social capitals key components has not identified yet. Different social capital
research has used different social capital indicator that meet with researchers
definition. As so far, there is no agreement on social capital determinant although
some theories suggest that trust is moral basis for the establishment of social
capital. This paper is trying to analyze dominant social capital component in a
community, particularly community in Bali. The objectives is to describe in detail
concerning about dominant social capital component to make effective
establishment of social capital in a community by considering the dominant
component.
2. SUOURCE OF SOCIAL CAPITAL
Trust
Whole human relationship based on trust as moral aspect where the social
capital is established. Morality gives a direction for social cooperation and
coordination. Trust building is an integral part of caring process that established
since the beginning of a family. Trust each other in family relationship, will
develop reciprocity and exchange.
Trust reduces transaction cost that is cost as result of exchange process
including contact, contract and control cost. The existing sense of trust each other
will reduce cost for monitoring activities on other person behavior therefore they
have behavior as expected. Trust means that ready to take risk and uncertainty.
Casson and Godley (2000) have defined trust as accepting and ignoring any
possibility that something will not true. Trust will simplify cooperation. More
trust to other person will make strong cooperation among person.
Trust each other can be established or destroyed. Sustainable trust, can not
build without truth. Trust can be build by the existence of repeated personal
interaction (personalized trust), knowledge on population or accepted incentive
(generalized trust). Bounded human rationality will effect on efforts to build the
trust each other. Therefore, human rationality boundaries should be extended by
communication and information that trustable. Many researches show that trust
has significant and positive relationship with success achievement of economic
growth indicator by more efficient of production process. In other hand,
government success to realize better economic development will strengthen social
trust on community.
Norms (Share Value)
Traditional theory on group stated that organization and group are
characterized by ubiquitous that resulting from human tendency to joint and build
association. Mosca in Olson (1977) stated that human has felling to herding

40

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

together and fighting with other herds. The feeling will increase in certain
community by means of moral reason.
As so far, there is a general conception that individual group with
collective interest, at least including economic goals, will trying to develop
collective goals. Individual group is expected tend to stand on the collective
interest than individual interest. The opinion is assumed that individual in a group
will act beyond the personal interest. In fact, individual in a group will trying to
achieve collective goals only if the individual also get benefit, in other words, act
to achieve the collective goals is not voluntary. Norms is needed to manage
individual in a group therefore benefit for the members is proportional with the
efforts in the group.
Norms is share values that regulate individual behavior in a community or
group. Fukuyama (1999) stated that social capital is instant informal norms that
able to develop cooperation among two individual or more. Norm is social capital
that constructed from reciprocity among person. Social norms that determine
collective behavior in an individual group is known as equity principles that
directed the actor to have behavior belonging the own interest.
Network
Dasgupta (2002) assumed that any person have ability to interact with the
others without opportunites to chosen. However in fact, everybody have certain
interaction pattern, have an opportunity to select the person with whom to interact
and with certain reason. Initially, network is system of communication channel to
protect and develop interpersonal relationship. There is a cost to build the
communication channel that known as transaction cost. Desire to join with other
person, partly is caused by share values. Network is also play to build coalition
and coordination. In general, decision to make investment in certain channel is
caused by the channel contribution on individual economic welfare.
Network is emphasizing on importance of vertical and horizontal
organization among people and the intra-organization. Granovetter (1973) stated
that strong ties among community are needed to give identity on family,
community and collective goals. The idea is also suggest that without community
ties (weak ties) that connecting among social organization, the horizontal strong
ties will be basis to realize bounded group desire.
Social capital is a condition where are the individuals using the
membership on a group to obtaining benefit. Social capital is can not evaluated
without knowledge about where the individual exist, because social interaction is
depends on network and community structures. Coleman (1988) is having notion
that Social network density will increase efficiency to strengthen cooperation
behavior in an organization.
According to him, social capital is sums of
"relational capital of some individual and established on reciprocity norms
basis. Social relationship that established in a closure social structure is not only
important to build effective norms but also to build trust because the network
closure will produce positive economic externality by means facilitation process
on collective action. Woolcock (2001) make clear distinction between bonding,
bridging and linking social capital. According to him, generally bonding social
capital is come from family relationship, neighbor living and friend. Members of
the group generally have intensive interaction, face-to-face and support each
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

41

others. Bridging social capital is build from interaction among group in a region
with relative lower frequency, such as religion group, ethnic, or certain income
level. In general, linking social capital is build from formal relationship between
many parties such as bank, health clinic, school, farming, tourism, etc.
The previous research is believed that strong social capital is one of
supporting factor to achieve higher welfare and reduce gap among area or group
in a region (Putnam, 1993; Christoforu, 2003; Grootaert 2001). Measurement of
social capital is carried out with differently methods and proxy with variable that
meet with the researchs goals, however in general including one of trust, network
community and reciprocity norms component. Strong social capital will be
reflected by a condition where is a region having high security level, high
organization activities and adequate public facilities.
This research is trying to test social capital components that has been
conducted for others region. Generally, the objective is to study existing
difference between social capital level and the component that has largest
contribution on social capital in Balis community. In detail, the aim of the
research are : (1) to study level of trust, network density and community norms in
developed region, underdeveloped region and community organization such as
subak, banjar/desa pakraman and tourism, (2) to study social capital component
in individual level (micro) and group (medium) and finally (3) to analyze each
component contribution on establishment of social capital.
Measurement of social capital index in Bali is based on regional
development and micro, medium and macro level. Social capital at micro and
medium level is measured by individual network, helping each other norms and
trust where as for macro level is measured by regional network and availability of
public facilities.
Measurement unit for social capital index in Bali is differentiated on social
capital at individual, group and region level. Individual social capital is
established from network, norms and trust. Social capital of community group is
measured using network group, individual trust on certain group, cooperation
activities and benefit that accepted by the group member. Finally, region social
capital is measured by availability of public school facilities, community health
centre (puskesmas) and number of organization.
3. SOCIAL CAPITAL IN DIFFERENT COMMUNITY IN BALI
Individual social capital is measured by means trust to person, each
individual network and norms that setting cooperation among the individual.
Trust, readiness to make network and obeying the existing norms are responding
on conditioned social stimulate. Most of social capital component is person or
group attitude on people or certain object such as trust; help each other, courtesy
to friend, secure feeling, and network. Therefore, measurement of individual and
group social capital is following human attitude measurement method. A
measurement method for attitude is carried out by means structured direct
interview. For the purpose, many items have drawn up therefore each answer of a
question will strengthen other answer in the same social capital component. Two
others closure methods for attitude are behavior observation and direct closure
particularly to strengthen general answer.

42

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Measurement of individual social capital is divided into two groups. The


first group is individual that living in underdeveloped region (Jembrana and
Karangasem Regency) and developed region (Badung and Gianyar regency), The
second group is individual community having livelihood in agriculture sector and
tourism sector and also traditional community of banjar pakraman. Individual
with agriculture sector livelihood is member of subak organization while
individual from tourism sector is member of tourism organization. The
differentiation is carried out to sharpen analysis on former component of social
capital in relationship with efforts to improve welfare for individual level.
Table 1 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital
at Micro Level
Latent

Definition

Notation

Variable
Trust

Trust to other
people or public
and private
institution

Aware (carefulness behavior)


GN Trust (General trust)
DT (Dynamic of trust)
TAE (Thick Trust or trust to Balinese)
TBE (Thin Trust or trust to non Balinese)
PEMKAB (Trust to regency government)
PEMPROP (Trust to provincial government)
POLISI (Trust to police institution or security
officer )
GURU (Trust to teaching and learning
institution)

Network

Network density in
formal an informal,
local and regional
organization

DN (Kepadatan jaringan kerja)


SEXP(Pengeluaran sosial)
EMPL (Jumlah anggota keluarga yang
bekerja)
FRIEND (Jumlah teman)

Norm

Altruism behaviour

HN (Kesediaan saling Bantu)


BNTFSK (Bantuan Fisik)
CC (Kemudahan menitipkan anak)
CHL (Jumlah anak yang sekolah)
FR (Jumlah free rider)

Agriculture community represent resident of rural side which have long


living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be
compared to community that living in tourism sector which most of them
represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency
to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility
among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not
existing strong social network will lessen even negate trust as well as social
capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

43

culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion
influence broadness of network and trust level to people.
Table 2 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital
at Mezo Level
Variabel
Trust

Network

Definition

Notation

Trust to other organization

DN

Trust to their leader

LEADSHP

Relationship with similar organization in


the region

Bonding1

Relationship with similar organization in


different region

Bonding2

Relationship with different organization in


the region

Bridg1
Bridg2

Relationship with different organization in


different region
Norm

Willingness to pay the monthly


organizations fee

DANAKEL
DANAWL

Willingness to pay for the first


organizations fee

Agriculture community represent resident of rural side which have long


living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be
compared to community that living in tourism sector which most of them
represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency
to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility
among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not
existing strong social network will lessen even negate trust as well as social
capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are
culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion
influence broadness of network and trust level to people.
Level of community trust is divided into thick trust and thin trust or that
widely known as bonding and bridging. The first category is related to trust on
known people that established by existing interaction. The second is trust to
unknown people which in this research stated as question "how much as person
trust to other person from the same ethnic (thick trust) and different ethnics (thin
trust). Some researchers have classified this as racial trust as lyer S, Kitson M,
and Toh B (2005).
The result shows that there is a significant negative relation between thick
trust and thin trust where individual thick trust is is higher than thin trust. High
thick trust that followed by low thin trust for community in Bali is tends to be
caused by culture and institution. In Bali there is a custom institution with
significant role to maintain Bali culture and strong ties the member by means
44

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

apply moral sanction. The existence of custom institution (desa adat and banjar
adat) is sustain concerning the function has close relationship with religion
activities. The higher frequency activities, the higher interaction intensity among
individual from the same ethic ad lower interaction intensity among individual
from other ethnic. Azwar (2005) confirm this result by statement that personal
attitude has close relationship with many factors such as interaction intensity,
culture, experience and institution. Independent two sample difference test shows
that thick trust in underdevelop region is stronger than developed region.
However, thin trust is show not significant difference.
However, low trust of community on other ethnic (thin trust) should be
taken alert due to the impact on reconciliation among ethnic, group and class that
heterogeneous progressively in Bali. As tourist destination that widely known in
foreign countries, Bali is also to be migration target for people that searching for
better job opportunity. Low thin trust of community will affect on interaction
between local community group with migrant community group (both tourist and
job seeker) that resulting from high suspicion feeling and finally will reduce
openness behavior even though openness community is one of important
component in underdevelop Balis tourism.
The significant difference also showed by trust on regency government
and security officer. Individual that settled in developed region have higher trust
on residential government performance but lower for security officer performance
than in underdevelop region.

Figure 1.

Relationship between individual trust from the same (Thick trust) and
different ethnic (Thin trust) in Bali, 2007

Generally, community respond on question about carefulness attitude is


strengthen the previous analysis where is 83.62 percent of community stated that
they should taking a care on other people or in other words they can not trust all of
people in their living activities. The attitude statement is not only showed by
community in developed region (Badung and Gianyar) but also in underdevelop
region (Jembrana and Karangasem). Carefulness attitude is showed by some
activities that aimed to strengthen monitoring on new comer (migrant) and as
result is increasing monitoring cost.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

45

Table 3 Community Trust (Social Trust) in Bali


Trust* (%)

Region Developed
underdevelop
Total

Total

Trustable

Always take care

8.91

42.53

51.44

7.47

41.09

48.56

16.38

83.62

100.00

Source : Primary Data, 2007


* Percent of respondent that answer "most people can be trusted" for
question" in general, do most people can be trusted or you need not
too taking a care to others.?"'
Basically, trust is built by repeated positive interaction. In underdevelop
region, the frequency of interaction with stranger people more lower than people
in develope region. So that weakneses of trust. Generally individual-individual
who settled in developed region has higher trust for every one. One alternative for
this situation is the kind of individual activities. In developed region such as
Regency of Badung and Gianyar as two tourism center area in Bali, is very
depended on tourist arrival and intensively interacted with the tourist. Therefore,
the attitude on other people is more openness. However, indication of reducing
interaction is indicated by lower density of organization.
Trust is resulting from some factors including norm, experiences, and
interaction intensity. Since the last five years, community in Bali confessing has
experiences individual trust dynamics. About 59.41 percent of community in
developed region stated that trust has changing with detail 30 percent stated
changing to better condition and 29.41 percent feel that trust among the
community is progressively weaken. Contrary with underdevelop region, most of
community (63.01 percent) stated that trust is not changing among community;
19.18 percent stated that the trust is changing to better direction and the rest
(17.81 percent) stated that trust is worse. Large number of community in
developed region that feel trust changing is related to their experiences. Generally,
socio-economic activities in developed region is relative larger therefore give
more experiences. This experience affect on trust that has established in the past.
Beside the past experiences, difference of trust between developed region
and underdevelop region happened because in developed region there is high
interaction intensity between the communities with other ethnics. This interaction
intensity give positive or negative impact on trust that has been developed in the
past. According to Artadi (1993), Balis community is a tolerant community, easy
to adapt and having openness system therefore interaction intensity among
community is easy to change. Interview result shows that changing tendency is
not the same among community. This is supported by data that indicate number of
community that feeling trust changing is equal with number of community that
feel weakness of trust.
In underdevelop region, collective norms are still strongly bound and act
as shield for new values which do not desire. Different with community in
developed region, generally, in Bali, it is known menyamabraya concept that
deeply rooted in community living. The concept implies that family is not only
46

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

extended family (batih family) but also neighbor and other banjar members.
Menyamabraya means help each other in face of problem of having the character
of material and also non material..
The norms power should be based on trust attitude and reciprocally. Trust
is not only keep sustainability of norms that contain wisdom value but also as
basis for individual decision to joint into a group or loose from group which has
been followed previously. Therefore, trust has critical effect on organization
density in a region.
It can be said that a group or community whom the member has high trust
level is rich with social capital. Sociologist, anthropologist and politician stated
that trust has significant role for implementation of collective action. Strong
(weakness) of social capital in a community is measured by high (low) trust level
among community which indicated by participation of each member in collective
activities and the activities intensity. Therefore, it can be said that trust or social
capital is a public good, each member has opportunity to take benefit but often
feel having no responsibility to maintain. One effort to keep the social capital is
through help each other attitude among community member. On trust community
category basis in Bali, it can be stated that community which has high trust is
ready to help however only 23.53 percent that always help, 29.11 percent stated
usually help and the rest stated almost help. The same situation will occur in
community with low trust or community group with carefulness attitude. Most of
person stated ready to help and only a few of them (2.26 percent) that stated even
not helping other people. This is show that efforts to maintain social capital still
performed by each individual in Bali. The carefulness attitude is not reducing help
each other attitude or in other words help each other attitude for Balis community
is tend to altruism than reciprocal. Any support that giving to other individual or
group is caused by trust on karma law.
Besides the trust, social capital also indicates by community organization
density. Grootaert (1999) has defined organization density as number of existing
organization in a community where someone involves in it. The highest average
of community organization density is in Regency of Gianyar while the lowest in
Regency of Jembrana. At least 2 organizations that followed by community in
Regency of Jembrana and Karangasem (banjar adat and subak) while in Regency
of Badung and Gianyar there are some member of community which only
following in one organization namely banjar adat.
Trust community is not shows the same tendency on level community
organization density in Bali. Community decision to be organized is not result of
owned social trust but from other factors. On researchs result basis, it was shows
that the most important organization for most community is banjar adat. The two
results is support each other because banjar adat is a organization that should be
followed by whole community in Bali as Hindu follower. This imply that
readiness to organize is not needed trust establishment however by sanction that
should be accounted if not involved in banjar adat.
According to the result, trust is not shows relationship with community
participation level in decision making on the most dominant organization.
Community which has low or high trust level is still participating on every
decision making that related to the group. This is shown by number of community
that actively participates in every group activities, weather on low trust level or
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

47

high. Adherences at norms going into effect in banjar adat organization push
every member to give contribution according to agreed decision. Norms having
the character of reciprocal become other reason which pushes community to
participate in every activity of banjar adat.
Any expenses for social activities are one social capital indicator that used
in this research. There is a significant correlation between social cost with
organization density, participation and number of free rider. In underdevelop
region, higher social cost is positive correlated with organization density, negative
with participation and number of free rider. The logics are the higher organization
density of an individual the higher cost should be paid. In the underdevelop
region, generally much of community member is inactive because having job or
house in developed region therefore they should pay more social expenses.
However participation both in activities and decision making is very low. The
Individuals is known as free rider.
In developed region, social expenditure also have significant correlation
with organization density, free rider and participation but the correlation have
positive sign for participation, negative for rider free and density organization.
The two result indicate that there is a understanding difference between
underdevelop region and developed region in participation. Physical Participation
more emphasized at underdevelop region while developed region tend to
esteeming nominal participation.
Generally it can be stated that each indicator and variable of latent trust
have positive correlation. This matter indicates that the stronger social trust will
strengthen thick trust, trust to organizer of governance, organizer of security and
education. Indicators of latent norm variable are readiness to help and readiness
takes care of child by neighbor, and also the amount of child which go to school.
Most of network indicator is showed negativity except the organization density. It
means that better network with the lower amount of individual which behave as
free rider, smaller expenditure required for social activity and lower amount of
person who work in family. Goodness of model indicator (Gof) indicate that the
established model have value of AGFI above 0.8 that is 0.897 although has
significant value of chi-square but the RMSE smaller than 0.08. The two
indicators of goodness is sufficient to indicate that the model is valid.
On aggregate, the analysis result concerning about effect of trust
endogenous variable, network and norms on social capital show that only trust
that have significant and positive impact, it means that the higher trust, the
stronger social capital in Bali.
4. SOCIAL CAPITAL COMPONENT: Individual Social capital in
developed region and Underdeveloped region
As stated earlier, the province of Bali is grouped on regency basis that is
Developed Region and underdeveloped region. Indicator that used to differentiate
are level growth of PDRB, PAD and also income per capita. According to the
indicator, it can be stated that regency of Badung, Gianyar and Denpasar City are
classify as developed region while other regency is underdevelop region. In this
research, selected purposively, Regency of Badung, Gianyar and also Regency of

48

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Jembrana Karangasem as 2 developed regencies (WM) and two regencies as


underdeveloped (WBB).
Social capital indicator is used to measure latent variable of trust,
carefulness attitude, custom trust, dynamics of trust, and participation. Latent
variable of norm is consisted of possibility indicator to entrust child at neighbor,
existing individual free rider, and also giving physical aid. Norm defined as
readiness to share, to do collective action with and without intending to take
benefit from others. Network Indicator is consisted of closeness of network,
expenditure for social activity and amount of friend bellying ache. Reason in
using latent variable indicator that different with general social capital analysis is
significance of each indicator with residence location.
Determination of social capital component for each region and also in each
community is conducted by using analysis of structural equation model that
available in Lisrel program. The analysis is carried out in two phases that is
indicator determination phase that determine latent trust variable, norm and
network; following determine latent variable which have largest contribution to
strengthening social capital.
4.1 Individual social capital in underdeveloped region
Criterion for underdeveloped region in this research is more emphasized at
economics growth indicator such as lowering of PDRB, PDRB per capita, and
also PAD level. Other Indicator which also becomes consideration is the amount
of poor household but do not include income distribution. Generally,
underdeveloped region reside in location which relative far from governance
center as Regency of Jembrana Karangasem. The two regencies located in tip of
west and east of Bali province.
Result of research also shows that there is significant and positive
correlation between amount of friend and organization density; it means that more
organization followed, more and more friend invited to discuss any matters.
Significant and positive correlation also showed between variable of organization
density with trust to others (general trust). Thereby, in other words, the higher
personal interaction intensity that showed by amount of friend variable, the higher
organization density and finally improving trust to others.
Differ from Grootaert ( 2001), result of this analysis indicate that there is
no significant correlation between personal density organization, trust, and norm
to the income level. Income level has significant correlation with social
expenditure and individual participation in organization. The higher income, the
larger social expenditure but the lower participation in individual decision
making.
This research also show tendency that carefulness attitude of community
have positive and significant relation with amount of individual free rider and
physical aid readying to be given but do not relate to participation and network on
organization. According to correlation analysis, it is also indicated that carefulness
attitude have correlation with social cost that should be paid.
Result of SEM analysis indicate that latent trust variable can be measured
by indicator of trust [common/ public], dynamics of trust, and participation . the
Highest contribution for trust latent variable is come from participation. It means
that the higher trust, the higher individual participation in organization. Negative
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

49

sign of trust dynamics indicator and participation is caused by applying inversed


scale at expected answer. Reason to entering participation on latent trust variable
is refer to Azwar (2005) expressing that research concerning attitude is better
carried out by direct asking and behavior observation. This research assumes
participation as strengthen behavior of a person trust statement. Individual which
have high trust should have active participation. Result of analysis give
implication that high trust level in underdevelop region is shown by trust to any
people (general trust) and high participation. Indicator of latent norm variable is
amount of free rider (-), taking care a child by neighbor and readiness to give
physical aid and for latent network variable is network density, expenditure for
social activities and amount of friend.

-0.081

A WA RE

0.993

GN TRUST

0.946

DT

0.969

PA RTSP

0.452

CC

0.841

FR

0.859

BN TFSK

0.930

NW

0.913

SEXP

0.931

FRI EN D

0.907

0.233

TRUST

-0.176
-0.741

0.402
1.000

SC

0.454

NORMA

0.399
-0.376

0.431

0.264

NETWORK
0.295
0.263
0.306

Chi-Square=38.26, df=29, P-value=0.11671, RMSEA=0.044

TRUST

0.839

NORMA

0.794

0.402
1.000

SC

0.426

0.454

0.431

0.180

NETWORK

Ch i- Sq ua re =3 8.2 6,

1.209

d f= 29 ,

0.815

P-v al ue =0 .1 16 71,

R MS EA =0 .0 44

Figure 2 Diagram Path of Social capital structural model for underdevelop region
in Bali
There are various indicators to determine goodness fit of a model, among
others Goodness of Fit (GoF) values, Chi-Square, RMSE, AGFI and others. The
obtained model is fulfill all indicator Goodness fit of model as well as AGFI value
50

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

(0.821) that larger than 0.8 therefore the model is assumed sufficient fit to figure
relationship between latent variable and observed variable indicator. P-Value is
0.11671 larger than 0.05 RMSE and smaller than 0.08.
The three latent variables give significant positive contribution on
establishment of capital social in underdeveloped region. The result indicate that
to develop, build or strengthen capital social specially in underdeveloped region
cannot be conducted only by improve one of component because the three
variable shows equal significant and large contribution. Development and
reinforcement of capital social can be carried out by improving trust ,
participation, reducing opportunity of individual to behave as free rider, maintain
norm to reciprocate physical aid, extending network (organization living)
Table 4 Latent Variable and Significance of each Indicator on latent Variable of
Social capital in underdeveloped region in Bali
Latent
Indicator
Coefficient
t-hit
Variable
Trust* (0.402) 1. Aware to carefulness
-0.081
-1.128
2. General trust
3. Dynamic of trust
4. Participation
Norm* (0.454) 1. Entrusting child
2. Amount of free rider
3. Physical aid
Network*
1 . Organization density
(0.431)
2. Social expenditure
3. Amount of friend
Source : Analysis result of primary data

0.2330
-0.176
-0.741
0.399
-0.376
0.264
0.295
0.263
0.306

3.015*
-2.371*
-3.640*
3.018*
-2.497*
3.353*
2.918*
2.295*
3.353*

4.2 Social capital in developed region


Definition of developed region in this research is a region with high
PDRB, PAD and relative large of income gap. According to the definition, in
province of Bali that classify as developed region are Regency of Badung and
Gianyar. There is a significant difference of general trust, participation and thick
trust among individual that settled in underdeveloped region and developed
region.
Correlation analysis of spearman indicates that there are no significant
correlation between organization density (network) with carefulness attitude and
also general trust. This is contrary with amount of friend variable invited to belly
ache. Trust and helping each other norm show significant relationship especially
between carefulness attitude with observation of child by neighbor or between
general trust with individual that behave as free rider.
The significant correlation is also showed by social expenditure variable as
proxy of income with network, trust, carefulness attitude, amount of friend and
number of free rider. The higher social expenditure has positive correlation with
trust and amount of owned friend, having negative correlation with carefulness
attitude, Number of free rider and organization density.
Result of structural equation analysis with Lisrel indicate that trust is
figured by carefulness indicator, general trust, dynamics of trust, and
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

51

participation. The trust indicator shows the largest contribution. Variable of


latent network is shown by closeness network indicator, social expenditure and
amount of friend with largest contribution and social expenditure while norm
variable is indicated by number of free rider indicator and physical aid.

0.448

A WA RE

0.800

GN TRUST

0.772

DT

0.940

PA RTSP

0.936

CC

0.999

FR

0.699

BN TF SK

0.462

NW

0.868

SEXP

0.717

F RI EN D

0.935

0.477

TRUST

0.245
-0.253

0.453
1.000

SC

0.104

NORMA

0.027
-0.549

-0.101

0.733

NETWORK
0.363
-0.532
-0.254

Chi-Square=17.81, df=29, P-value=0.94797, RMSEA=0.000


TRUST

1.000

0.508
1.000

SC

0.104

-0.287

NORMA

1.000

-0.101

0.914

-0.901

NETWORK

1.000

Ch i- Sq ua re =1 7.8 1, d f= 29 , P-v al ue =0 .9 47 97, R MS EA =0 .0 00

Figure 3 Diagram Path of Social capital structural model in developed region in


Bali
Result of SEM analysis show that model can be accepted because fulfilling
goodness of fit indicator that is RMSE value smaller than 0.08 and p-value larger
than 0.05. In other hand, AGFI value 0.942 is larger than 0.8 thereby the obtained
structural equation model have high validity.
Differ to underdeveloped region, to develop social capital or strengthen are
not must be done by strengthening the three components of social capital because
only trust variable which have significant contribution on social capital. Because
of general trust indicator has the largest contribution on trust therefore to develop
or strengthen social capital can be conducted by activities which can improve
individual trust to other individual.

52

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Table 5 Latent variable and significance of each indicator on latent variable of


Social capital in developed region in Bali
Latent Variable
Indicator
Coefficient
t-hit
Trust*
1. Aware to act carefulness 0.448
4.383*
(0.453)
2. General trust
0.477
4.509*
3. Dynamics of trust
0.245
3.024*
4. Participation
-0.253
-2.997*
Norm
(0.104)

1 . Entrust Child
2. Number of free rider
3. Physical aid
Network
1 . Organization density
(-0.101)
2. social expenditure
3. Amount of friend
Sources : Analysis result of primary data
5. SOCIAL
CAPITAL
ORGANIZATION

IN

0.027
-0.549
0.733
0.363
-0.532
-0.254

TRADITIONAL

0.403
-7.238*
6.248*
5.160*
-5.409*
-4.001*

AND

MODERN

For social capital at group level, it is known bridging social capital tern.
On management system basis, community organization that developed in Bali is
divided into traditional organization and modern while on establishment process
classify as formal and informal organization. Generally, informal organization is
established by relationship among family and extended family. On contrary with
formal organization, generally membership of formal organization is consisted of
specific profession on livelihood basis.
In Bali, social organization which coordinates all public administrative
activities is recognized by the name of banjar. Especially for Hindu follower have
social organization which coordinate all activities related to religious activities
that known as banjar adat. Each community which believes in Hindu have the
same obligation in banjar adat. Rural Community in Bali, tied in formal
traditional organization and also informal like sekaa, dadia, village and subak /
banjar adat. Dadia and Sekaa represent informal traditional organization because
do not have written awig-awig while subak and banjar adat are formal traditional
organization which have written and unwritten awig-awig. Generally, member of
Sekaa characterized by temporal membership and have strong consanguinity and
formed in line with its activity like sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa gong, sekaa
suling and others. Dadia is extended family that owning patrilineal relation.
Amount of sekaa member is smaller than dadia and village or subak/banjar adat.
The established bound among member of subak, sekaa and dadia is based on
togetherness feeling and reciprocity. Each member in traditional group will not
have hesitating attitude to give aid for other member because existing trust that at
the time needed, other member surely will raise a hand to assist them (karma law).
As so far, mutually assisting norm that aimed to finish collective activities
is still fasten each member of existing traditional social organization. The Norm
can be maintained because sanction that applied to each collision member is not in
the form of physical sanction and nominal money but in the form of moral like
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

53

excommunication of someone and prohibition order to use public facilities include


praying place (Pura) and grave. It is differ from modern formal organization that
not knowing moral sanction. Establishment process of modern formal
organization is caused by pressure demand of economic factor. Because of
economic oriented, modern organization often unable to tied the member
emotionally but more individual interest.
5.1 Social capital in Subak
Community structure of Bali experienced drastic change. Agrarian
community has changing and migrates to urban area to be tourism community.
Ethnic composition of resident also become to change, caste of and the resident to
be appliance to reach political target. The changes reduce social function of
traditional institution. Cooperation and security as product of traditional
institution become scarce goods and need high cost to obtain.
Tourism sector is weakening because of internal and external factor,
Community start to consider again role of agricultural sector. However,
development bias during this time tend to side tourism sector that cause land
function conversion for large area and automatically negate subak organization
which the existence interconnected with availability of agriculture farm.
Subak is agriculture irrigation organizer that has been established since a
long time ago and until now still play important role in efficacy of agriculture
effort in] Bali. During the time, there is no formal contract system which
conducted by each member of subak. Division of water carried out based on
attitude of trust among member of subak as according to regulation as agreed. The
specified norms is recognized by the name of awig-awig, agreed and adhered by
all members. The Awig-awig is in the form of written and unwritten order. Even
though, the two forms have equal power. Membership of Subak is not based on
residence location but rice field location. Therefore, oftentimes member of subak
is not neighborhood each other or reside in one administrative rural region and
also desa adat.
The result indicate that different residence location is not causing the
subak member having low trust on others. Thick trust of the subaks member on
other is higher than the thin trust. General trust has positive relation with
participation on organization. This implies that improvement of subaks member
participation can be conducted by improving trust among individual in the
organization. Dynamics of participation of the subaks member shows that there is
a significant relationship between participation dynamics and thick trust of the
member.
At lower trust level (80%), it can be concluded that there is negative and
significant relation between trust and amount of free rider. It means that higher
amount of member behaving as free rider, the lower trust among member. In other
side, high trust level (99%) indicated that there is significant and negative relation
between amount of member behaving as free rider free with readiness of member
ti give physical aid on others ; it means that the higher amount of rider free, the
smaller member that readying to give physical aid.
Social capital of subak group is described by observed variable including
organization density, leadership, relationship with other organization which have
the ] same goal in one region and other region, relationship with other
54

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

organization which have different goal in a region and other region, appreciation
to funding group and also initial fund. The latent variable is consisted of trust
variable, network (norm and network)
According to goodness fit of model (AGFI value), the social capital model
of subak community can be used to figure relationship between latent variable and
observed variable due to AGFI value 0.914 is higher that Segars and Grover
(1993) criterion although the chi-square values is significant and RMSE higher
than 0.08. Result of SEM analysis shows that indicator for latent trust variable has
positive sign, indicate that the higher organization density and more democracy
process to choose group leader, the larger community trust. The large contribution
of leadership indicator means that efforts to build trust in subak community can be
initiated by democratic decision making process to choose group leader or
decision making that affected whole member.
DN

0.943

LEA DERSH

0.523

BONDI NG1

0.987

BONDI NG2

-5.352

BRI DG1

0.991

BRI DG2

0.998

DA NA K EL

0.679

DA NA A W

-0.177

0.239

TRUST

0.691

0.078
-0.113

SC

1.000

0.580

NETWORK

-2.520
-0.094

0.216
0.046

NORMA
0.567
-1.085

Chi-Square=21.64, df=14, P-value=0.08630, RMSEA=0.083


TRUST

0.994

0.078
1.000

SC

0.580

-0.037

NETWORK

0.663

0.216

-0.764

-0.094

NORMA

0.953

Ch i- Sq ua re =2 1.6 4, d f= 14 , P-v al ue =0 .0 86 30, R MS EA =0 .0 83

Figure 4 Diagram Path of Social Capital Structural Model for Subak inBali
On the contrary, most of network indicator has negative sign except for
subak organization linkage indicator with other organization which have different
goal in other region. Network in this research is defined as binding that facilitate
cooperation among subak. The researchs results indicate that subak network will
strengthen when interaction with subak or other organization in one region
progressively lower however interaction with other organization in different
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

55

region is higher. Result of this research represents logical consequence on reason


that agriculture production process does not need delay. Delay of each phase will
affect on quality of yielded agriculture product. Because of limited time for
farmer, high interaction frequency with other organization will lessen cooperation
tying in the subak. Other fact is strong moral sanction in banjar adat organization
that causing farmer sacrifices activities in farm.
In this case, a norm is defined as readiness of group member to share
burden of group donation. Result of analysis indicates that norm indicator that
consisted of readiness to pay fund for group activities have positive sign, different
with initial fund indicator. Subak is an organization that has been established since
Majapahit monarchic era. The Organization do not economic oriented however on
collective basis. The stronger norms binding the member, more and more
activities that should be done related to upakara to keep safety and efficacy of
agriculture effort. This is will increase expense for member. However, member
conducted by voluntary basis. Differ from initial funding that in they perspectives
should be subsidized by government.
In community of subak, effort to build social capital can be conducted by
norm and network strengthening because of the latent variable has significant
contribution while network has larger value. Development of social capital in
subak group can be carried out by improving sense of belonging of subak member
as expressed by increasing member contribution in every activity. Larger
government interference especially in every activity will lessen member sense of
belonging, finally limiting social control of subak member to the existence of
subak.
Table 6 Latent Variable and Significance of each Indicator on Latent Variable in
Subak Community in Bali
Latent Variable Indicator
Coefficient t-hit
Trust
1. Organization density (DN)
0.346
4.534*
2. Leadership
0.893
7.768*
Network*
1. Bonding (1)
-0. 109
-4.162*
2. Bonding(2)
-3.881
-44.596*
3. Bridging(l)
-0.075
-2.861*
4. Bridging (2)
0.044
1.705
Norm
I . Group donation
0.827
8.430*
2. Initial funding
-1.187
-8.871*
Source : Analysis Result of primary data
Result of this analysis is possible to explain why agriculture in Regency of
Badung (developed region) do not expanding though have available potential
market in region of South Badung. High regional income (PAD) pushes the
government to give aid in large number for farmer by agriculture program. This
condition will weaken effort to overcome or avoid failure risk because the crop
failure do not cause unprofitable for farmer. The subsidize that given to farmer
should do not cause farmer losing of sense of belonging.
5.2 Social capital in Tourism Organization
Tourism community consist of some group that differentiated on work
field basis that is pramuwisata group (HPI), hotel and restaurant owner (PHRI)
and owner of bureau tourism journey (Asita). But the three groups have the
56

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

similar characteristic that represent modern organization with formally character.


All its member works in tourism sector as human resources with relative higher
quality than subak.
Correlation analysis of spearman indicates that there are significant
correlation between thin trust and thick trust. The correlation have positive sign,
its means the higher trust to known person the higher trust to unknown person.
The result is assuring result of previous research that trust is specific component
to expanding tourism activity.
Mutually assisting norm and readiness to give physical aid have negative
and significant relation with amount of rider free. The higher individual which
behave as free rider the weaken norm mutually assisting that lessen individual
readiness give physical aid to other individual.
Income has significant and positive correlation on social expenditure and
carefulness attitude, negative correlation to thin and thick trust. The stronger
carefulness attitude will progressively lower thin and thick trust with the larger
income. The result seems irrational but the reason that income in tourism sector is
having business character with trust capital therefore more careful of a person, the
higher income will obtain.
Pursuant to goodness fit of model criterion, capital social structural model
for the tourism community represent valid model because most of goodness
criterion fulfill by not significant for Chi-square value (P>0.05), AGFI 0.804and
RMSE < 0.08 although AGFI 0.68 (< 0.8). Differ to community of subak, almost
all of indicator for capital social of tourism community have positive sign except
initial fund for the latent variable of norm. Latent trust variable only consisting of
organization density because leadership is not significant. Indicator of network
latent variable of consisted of linkage with other existing organization in one
region and other and also has linkage with organization with the same goal but on
other region.
Density Organization is the single indicator giving significant contribution
to trust latent variable while variable that significant for latent network and giving
largest contribution is interaction indicator among organization with different goal
but reside in the same region. Interaction among the same organization in the
same region is not significant because Bali only have one organization which
centering in Denpasar City. There is no indicator that significantly describe latent
norm.
According to two phases analysis, social capital is influenced significantly
by trust variable but norm and network is not significant. Therefore, in order to
underdevelop or strengthening capital social in tourism community is only can be
carried out by improving trust among individual and group that involved in
tourism activities. Furthermore to develop trust is only carried out by improving
organization density for each member. Through higher organization density, it
was expected that trusting each other or eliminate suspect feeling will be
developed.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

57

DN

-6.140

LEA DSHP

0.993

BONDI NG1

0.975

BONDI NG2

0.747

BRI DG1

0.160

BRI DG2

0.930

DA NA K EL

0.808

DA NA WL

0.966

2.672

TRUST

0.081

0.522
0.158

SC

1.000

0.291

NETWORK

0.503
0.917

0.479
0.265

NORMA
0.438
-0.183

Chi-Square=10.63, df=14, P-value=0.71446, RMSEA=0.000


TRUST

0.727

0.522
1.000

SC

0.291

-0.178

NETWORK

0.915

0.479

-0.390

1.099

NORMA

0.770

Ch i- Sq ua re =1 0.6 3, d f= 14 , P-v al ue =0 .7 14 46, R MS EA =0 .0 00

Figure 5 Diagram Path of Social capital structural model for tourism in Bali
Table 7 Latent variable and significance of each Indicator on
social capital in tourism community in Bali
Latent variable
Indicator
Coefficient
Trust*
1. Organization density
2.672
(DN)
2. Leadership
0.081
Network
1. Bonding (1)
0.158
2. Bonding(2)
0.503
3. Bridging(l)
0.917
4. Bridging (2)
0.265
Norm
1 . Group Funding
0.438
2. Initial Funding
-0.183
Sources: analysis result of primary data

latent variable of
t-hit
12.732*
1.369
1.215
3.026*
3.398*
1 .992*
1.250
-1.183

5.3 Social capital in Banjar/ Desa Pakraman


Process modernization has happened everywhere except in Bali. But in
this rapid modernization streams, Balis community remain have strong religion
faith although living and traditional values in progressively changing. Balis
community is more and more heterogeneous, not only in the case of traditional
trust system but also in religion and cultural which have an effect on way of
thinking and the behavior (Surata, 1990). Bali, as destination target of
58

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

international tourism, facing various challenge and temptation, internally and


externally, represents logical consequence of expanding tourism and global
process. One of effort to face external threat is by empowering desa adat.
Desa adat or pakraman village are village institution in social filed,
culture and religion. It is very difficult to differentiate between culture and
religious activities in Bali because have integrated like cloth with the motifs. Jean
Couteau ( 1995) stated that rural community in Bali that integrated in course of
modernization will experience of threat in social solidarity and sustainability of
custom institution as result of moneterization.
DN

-0.212

LEA DERSH

0.947

BONDI NG1

0.249

BONDI NG2

0.929

BRI DG1

0.640

BRI DG2

0.913

DA NA K EL

0.946

DA NA A W

0.485

1.101

TRUST

0.230

0.380
1.000

0.867

SC

0.391

NETWORK

0.267
0.600

0.073
0.294

NORMA
0.232
-0.717

Chi-Square=4.24, df=14, P-value=0.99383, RMSEA=0.000


TRUST

0.856

0.380
1.000

SC

0.172

0.391

NETWORK

0.847

0.073

-0.545

NORMA

Ch i- Sq ua re =4 .24 ,

-0.348

df =1 4,

P -va lu e= 0. 99 38 3,

0.995

RM SE A= 0. 00 0

Figure 6 Diagram Path of Social capital structural model for Desa Pakraman in
Bali
Result of SEM analysis indicates that indicator of latent trust variable is
leadership and organization density, but the two indicators is not significant.
Latent network variable consist of interaction indicator between desa adat in one
region (bonding 1) and also other region (bonding 2) and also interaction between
different goal organization in the same region (bridging 1) and the difference one
(bridging 2). Indicator of norm variable has significant effect on confidence level
90 %.
Result of two phases analysis shows that social capital is significantly
affected by variable of trust and network. For the reason, trust should be
developed by means improving organization density and building interaction with
various organization but interaction with adat village in one region is effort that
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

59

should be prioritized because giving the largest contribution. Structural equation


model of capital social in adat village community have some criterion of goodness
fit of model that is chi-square value is not significant (>0.5), RMSE lower than
0.08 and AGFI value higher than 0.8.
Table 8 Latent Variable and significance of each Indicator on latent Variable of
Social capital in Banjar/Desa Pakraman community in Bali
Variable laten
Indicator
Coefisien
t-hit
Trust*
1 . Organization density (DN) 1.101
1.586
Network*

Norm

2.
1.

Leadership
Bonding (1)

0.230
0.867

1.368
4.233*

2.

Bonding(2)

0.267

2.608*

3.

Bridging(l)

0.600

3.492*

4. Bridging (2)
1 . Group Funding

0.294
0.232

2.454*
1.745*

-0.717

-1.794*

2. Initial Funding
Sources: Analysis result of primary data
6. CONCLUSION
1.
2.

3.

Result of quantitatively and qualitatively data processing shows that :


Thick trust (trust to the same ethnics) is higher than thin trust (trust on
other ethnics thin trust). The two trust tend to have negative linkage.
Strengthening of social capital in developing region can be implemented
by strengthening three component of social capital because give significant
and positive contribution. Strengthening of social capital in developed
region could be implemented just by improving trust.
Strengthening of social capital in subak community could be implemented
by means extended group network and norm, strengthening of social
capital in banjar could be carried out by trust and network while for
tourism community is by improving trust only.

7. RECOMMENDATION
Component of capital social builder is different each other pursuant to the
type of organization or regional development level. Therefore, effort to conduct
revitalization cannot be formulated generally but should be adapted with regional
and/or group characteristic.
REFERENCES
Artadi IK. 1993. Manusia Bali. Bali Post Press. Denpasar.
Casson M, A Godley. 2000. Cultural Factors in Economic Growth. Germany.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Coleman J S. 1990. Foundations of social theory. Cambridge MA : Belknap.

60

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Collier P. 1998. Social capital and poverty. World Bank SCI Working Paper no
4, November. (www.iris.umd.edu/adass/proj/soccap.asp).
Cristoforou A. 2003. Social Capital and Economic Growth: The Case of Greece.
London School of Economic : Paper for The 1 st PhD Symposium on
Social Science Research in Greece of the Hellenic Observatory.
European Institute. asimina@aueb.gr.
Dasgupta P, Serageldin I. 2002. Social Capital: A Multi Faceted Perspective.
World Bank, Washington, DC.
Dasgupta P. 2005. A Measured Approach: Special Issue. September 2005.
ISSN 0036-8733. Scientific American, Inc, 415 Madison Avenue, New
York.
Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity.
The Free Press, New York.
Fukuyama F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Institute of Public
Policy. George Mason University. International Monetary Fund.
Granovetter MS. 1973. The Strength of Weak Ties. American Journal of
Sociology, 78, 1360 80.
Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia.
World Bank Working Paper, unpublished.
Grootaert C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings
from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and
Indonesia. Local Level Institutions Working Paper No. 10, Social
Development Department, World Bank, Washington, D.C.
Grootaert C, T van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social
Capital. A Multidisciplinary tool for practitioners. The World Bank
Washington, D.C.
Iyer S, M Kitson, B Toh. 2005. Social Capital, Economic Growth and Rgional
Development. Regional Studies, Vol 39.8, pp.1011040, November
2005.
Olson M. 1982. The Rise and Decline of Nation. New Haven. Yale University
Press.
Putnam R D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy.
Princeton: Princeton University Press.
Putnam R D. 2000. Bowling alone: The Collapse and Revival of American
Community. Simon and Schuster, New York, NY.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

61

PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.) DENGAN


PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI
I Made Sukerta
Jurusan Agreteknologi Universitas Maharaswati Denpasar
ABSTRACT
The cow urine concentration and soaking duration of the growth of cutting
Soka (Ixora coccinea L.)" aims to find out the influence of the concentration of
cow urine and soaking duration and the interaction of the growth of Soka slip.
Concentration of cow urine treatment and soaking time and the interaction effect
is significantly for most of the parameters observed, except for cutting the
percentage of fresh, the number and percentage of shoot bud and roots.
Concentration of cow urine treatment and duration soaking together signifinatly
effect on the oven dry weight of shoots per cutting. Oven dry weight of shoots is
the highest of 0.715 g per cutting obtained in the treatment of concentration 10%
cow urine and soaking time 15 minutes (P1U4), an increase of 81.01% compared
with treatment without the concentration of cow urine with soaking time 60
minutes (P4U0) which weighed 0.395 g per cutting. Based on the regression
equation can be suspected: Y = 0.35532539 + 0.07064362 + U P 0.00083333 0.00301326 U2 - 0.00082267 UP, with determination coefficients (R2) = 99%
obtained by the oven dry weight of shoot a maximum of 0.65 g per cutting in the
concentration of cow urine with a 9.67% long soaking 15 minutes
Key word : Soka (Ixora coccinea l.), cow urine, soaking

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Desa Petiga yang berada di Kecamatan Marga, Tabanan, merupakan
penghasil tanaman hias, seperti puring, soka, rumput-rumputan dan pucuk. Warga
tani di desa ini dulunya menanam rambutan, cengkeh dan vanili. Namun panen
tak pernah lebih dari dua kali setahun. Ahkirnya banyak warga tani yang memilih
menekuni tanaman hias. Sebagian besar warga mempunyai usaha tanaman hias,
ini merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan selain bidang
pertanian tanaman pangan. Bahkan ada warga yang memanfaatkan sawahnya
untuk lahan tanaman hias karena air yang mengairi sawah sudah berkurang.
Soka (Ixora coccinea L.) merupakan salah satu tanaman hias yang
berbatang perdu dengan percabangan yang banyak. Sebagai tanaman hias, soka
memang mempunyai keistimewaan yaitu bunganya yang elok dan warnanyapun
ada yang bermacam-macam seperti merah, kuning, kuning pucat, orange, merah
jambu, merah muda, putih dan salem (Anon., 1992).
Soka sebenarnya mempunyai nilai estetika yang cukup tinggi, ini terlihat
dari peranannya yang cukup menonjol sebagai tanaman hias pagar pada gedunggedung perkantoran, menghiasi taman pada hotel-hotel, menghiasi pertamanan
kota. Soka yang ditanam di tanah atau ditanam di dalam pot dapat direkayasa
menjadi soka bonsai dan soka kombi. Baik soka bonsai dan soka kombi dapat
62

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

dimanfaatkan sebagai bunga potong, yang banyak diminati orang, sehingga


prospek ekonominya cukup cerah (Anon., 1992).
Soka dapat dikembangbiakkan secara generatif maupun vegetatif.
Perbanyakan soka secara generatif menggunakan bijinya, namun cara ini jarang
dilakukan dan hanya terbatas untuk keperluan pemuliaan. Perbanyakan secara
vegetatif yaitu dengan menggunakan setek batang atau cabang, tanaman yang
dihasilkan dari setek biasanya mempunyai persamaan dalam umur, ukuran tinggi,
ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan tanaman yang diperoleh akan
sempurna yaitu telah mempunyai akar, batang dan daun dalam waktu yang
relative singkat.
Pembiakan tanaman dengan setek sering dihadang kendala yaitu sukar
terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila hal ini bisa diatasi, maka
perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik, praktis
dan ekonomi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang
pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat
pengatur tumbuh.
Zat pengatur tumbuh yang digunakan dapat berupa zat pengatur tumbuh
sintetis maupun zat pengatur tumbuh alami. Untuk mempercepat perakaran setek
dapat menggunakan zat tumbuh Rootone F. Begitu pula berbagai jenis zat tumbuh
buatan seperti IBA, NAA, IAA dan sejenisnya telah diketahui pengaruhnya
sebagai perangsang perakaran setek tanaman. Terlepas dari zat pengatur tumbuh
buatan perangsang perakaran, ternyata salah satu zat tumbuh alami yang banyak
terdapat di sekitar kita yaitu urine sapi telah pula dicoba pemanfaatannya untuk
merangsang perakaran setek tanaman. Prayuginingsih (1986) mengatakan bahwa
urine sapi merupakan zat tumbuh alternative yang murah dan mudah diperoleh.
Urine sapi mengandung auksin a dan auksin b serta IAA. Sebagai herbivora, sapi
memakan jaringan tumbuhan yang banyak mengandung auksin. Auksin yang
termakan tidak dapat dicerna dalam tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine.
BPP Jember telah membuktikan bahwa urine sapi 5% sebagai zat pengatur
tumbuh mempunyai pengaruh yang sama dengan IBA 3000 ppm dalam
merangsang pembentukan akar pada setek kopi (Suprijadji, 1985 dalam
Tjokrosudarmo, 1989).
1.2

Rumusan Masalah
Masalah utama yang sering muncul pada pembiakan dengan setek adalah
sukar terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila masalah ini bisa diatasi,
maka perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik,
praktis dan ekonomis, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang
pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat
pengatur tumbuh.
Urine sapi merupakan salah satu zat perangsang tumbuh alternative yang
murah dan mudah diperoleh serta ramah lingkungan. Dengan demikian urine sapi
yang dulunya terbuang begitu saja akan dapat bermanfaat atau mempunyai nilai
ekonomis khususnya bagi usaha pengembangbiakan tanaman dengan cara setek.
1.3 Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi urine sapi dan lama
perendaman serta interaksinya terhadap pertumbuhan setek soka.
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

63

2. Untuk memperoleh konsentrasi urine sapi dan lama perendaman


optimum bagi pertumbuhan setek soka.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang budidaya tanaman hias bahwa dengan
teknologi pemanfaatan urine sapi sebagai zat perangsang tumbuh
mampu meningkatkan keberhasilan setek tanaman hias soka.
2. Petani mampu menyediakan bibit secara berkesinambungan sehingga
masyarakat tani dapat meningkatkan pendapatan khususnya di desa
Petiga, Marga, Tabanan.
2. METODE PENELITIAN
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
susunan faktorial. Terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama perendaman dalam
larutan urine sapi (P) dan faktor ke dua konsentrasi urine sapi (U), dengan ulangan
dua kali. Adapun perlakuan-perlakuan yang diberikan dalam percobaan ini adalah:
1. Faktor lama perendaman setek dalam larutan urine sapi (P) yang terdiri dari 4
taraf yaitu :
P1 = direndam selama 15 menit
P2 = direndam selama 30 menit
P3 = direndam selama 45 menit
P4 = direndam selama 60 menit
2. Faktor konsentrasi urine sapi (U) yang terdiri dari 5 taraf yaitu :
U0 = tanpa konsentrasi urine sapi
U1 = konsentrasi urine sapi 2,5%
U2 = konsentrasi urine 5,0%
U3 = konsentrasi urine 7,5%
U4 = konsentrasi urine sapi 10,0%
Jumlah perlakuan kombinasi yaitu 20 perlakuan sebagai berikut : P 1U0,
P1U1, P1U2, P1U3, P1U4, P2U0, P2U1, P2U2, P2U3, P2U4, P3U0, P3U1, P3U2, P3U3,
P3U4, P4U0, P4U1, P4U2, P4U3, P4U4.
Masing-masing kombinasi diulang 2 kali, sehingga terdapat 40 satuan
percobaan dan setiap satuan percobaan digunakan 10 setek. Percobaan dilakukan
di Desa Petiga, Marga Tabanan dari bulan Juni sampai bulan September 2009.
Pengamatan dimulai setelah setek berumur 4 minggu dan dilakukan setiap
1 minggu sampai tanaman berumur 12 minggu. Untuk pengamatan ditentukan
tanaman contoh sebanyak 6 setek. Peubah yang diamati meliputi :
(1) persentase setek segar (%), (2) saat tumbuh tunas (hst), (3) jumlah tunas
(buah), (4) panjang tunas (cm), (5) jumlah daun tunas (helai), (6) jumlah akar
primer (buah), (7) panjang akar primer (cm), (8) persentase setek bertunas dan
berakar (%), (9) berat basah akar per setek (g), (10) berat kering oven akar per
setek (g), (11) berat basah tunas per setek (g), (12) berat kering oven tunas per
setek (g).
Pengamatan jumlah dan panjang akar primer, persentase setek bertunas dan
berakar, berat basah akar dan tunas, berat kering oven akar dan tunas dilakukan
pada akhir percobaan, dengan jumlah setek setiap peubah sebanyak 3 setek.
64

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan analisis varian (sidik ragam) sesuai
dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat pengaruh interaksi yang
nyata terdapat variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan 5% dan jika hanya pengaruh faktor tunggal, dilanjutkan dengan uji BNT
5%. Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi urine sapi dengan lama
perendaman terhadap berat kering oven tunas per setek dilakukan dengan analisis
regresi (Gomez dan Gomez, 1995).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi urine
sapi dan lama perendaman serta interaksinya berpengaruh nyata sampai sangat
nyata (p <0,01) terhadap hampir semua parameter yang diamati kecuali terhadap
persentase setek hidup, jumlah tunas dan persentase setek bertunas dan berakar
(Tabel 1).
Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersamasama berpengaruh sangat nyata dapat meningkatkan berat kering oven tunas setek
tanaman soka. Rata-rata berat kering oven tunas tertinggi diperoleh pada
perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dengan lama perendaman 15 menit (P 1U4)
yaitu sebesar 0,715 g per setek, berarti terjadi peningkatakan sebesar 81,01% bila
dibandingkan dengan perlakuan tanpa urine sapi dengan lama perendaman 60
menit (P4U0) yang menghasilkan berat kering oven tunas terendah yaitu sebesar
0,395 g per setek (Tabel 14). Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan bahwa
antara konsentrasi urine sapi dengan lama perendaman memberikan pengaruh
secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas dengan persamaan garis
regresi : Y = 0,35532539 + 0,070643426U + 0,00083333P 0,00301326U2
0,00082267 UP , dengan koefisien determinasi (R 2) = 90%. Maka dari persamaan
tersebut dapat diduga berat kering oven tunas maksimum sebesar 0,65 g per setek,
diperoleh pada konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit.
Tabel 1. Signifikansi pengaruh konsentrasi urine sapi (U) dan lama
perendaman (P) terhadap parameter yang diamati dalam
pembibitan setek soka
No.

Perlakuan

Parameter yang diamati


U

1.
Persentase setek segar (%)
2.
Saat tumbuh tunas (hst)
3.
Jumlah tunas (buah)
4.
Panjang tunas (cm)
5.
Jumlah daun tunas ( (helai)
6.
Jumlah akar primer (buah)
7.
Panjang akar primer (cm)
8.
Persentase setek bertunas dan berakar (%)
9.
Berat basah akar per setek (g)
10.
BKO akar per setek (g)
11.
Berat basah tunas per setek (g)
12.
BKO tunas per setek (g)
Keterangan :
Agrimeta,

ns
**
ns
**
**
**
**
ns
**
**
**
**

P
*
*
ns
**
**
**
**
ns
**
**
**
**

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

UxP
ns
*
ns
**
**
**
**
ns
**
**
**
**

65

ns = tidak berbeda nyata pada taraf 5%


* = berbeda nyata pada taraf 5%
** = berbeda sangat nyata pada taraf 1%
Meningkatnya berat kering oven tunas disebabkan karena meningkatnya
pertumbuhan tunas seperti meningkatnya berat basah tunas, panjang tunas dan
jumlah daun tunas. Hal tersebut didukung oleh adanya hubungan yang nyata
antara berat kering oven tunas dengan berat basah tunas, panjang tunas dan jumlah
daun tunas dengan nilai r masing-masing sebesar +0,9668**, +0,8483**, dan
+0,7113**.
Tingginya berat kering oven akar setek soka disebabkan karena pada
perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dan lama perendaman 15 menit (P 1U4)
menghasilkan berat basah akar yang tinggi, jumlah akar primer yang banyak dan
mempunyai akar primer yang panjang. Hal tersebut juga tercermin oleh adanya
hubungan yang nyata antara berat kering oven akar dengan berat basah akar,
jumlah akar primer dan panjang akar primer dengan nilai r masing-mmasing :
+0,8917**, +0,9092** dan +0,9498** (Tabel 15).
Dengan terbentuknya sistim perakaran yang lebih baik akan menjamin
pertumbuhan tanaman yang lebih baik pula, karena akar mempunyai fungsi yang
sangat penting yaitu selain sebagai penyerap air dan mineral dalam tanah, juga
sebagai alat untuk bernafas bagi tanaman (Audus, 1963). Dimana air, unsur hara
atau mineral merupakan bahan baku dalam pembentukan fotosintat.
Untuk memacu pertumbuhan akar tanaman pada pembiakan setek, dapat
dibantu dengan pemberian zat tumbuh dalam jumlah tertentu (Rochiman dan
Harjadi, 1973). Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian
konsentrasi urine sapi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan akar setek tanaman
soka. Hal ini terlihat dari data jumlah akar primer, panjang akar primer, berat
basah akar dan berat kering oven akar per setek (Tabel 2, 8, 9, 11 dan 12). Hal
tersebut diduga karena adanya auksin yang terkandung di dalam urine sapi
mempunyai efek fisiologis terhadap tanaman, yaitu mendorong pertumbuhan akar.
Hasil penyelidikan Kogl et al., (1931 dalam Dwidjoseputro, 1989) menyatakan
bahwa urine manusia maupun hewan terutama sehabis makan zat-zat yang berasal
dari tumbuhan mengandung auksin a, aksin b dan heteroauksin. Auksin ini
sebagian tidak dapat dicerna oleh tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine.
Lebih lanjut lagi Hartmann dan Kester (1983 dalam Suparman et al., 1990)
mengemukakan pendapat para ahli terdahulu yang menyatakan adanya suatu zat
spesifik yang bersifat merangsang perakaran yang dihasilkan di daun. Zat yang
menyerupai hormon ini mereka sebut rhizocaline. Rhizocaline yang terkandung
di dalam daun-daunan yang dimakan sapi juga dapat terbawa bersama urine.
Perendaman setek dalam konsentrasi urine sapi 10% dengan lama
perendaman 15 menit (P1U4) memberikan pengaruh paling baik terhadap
pertumbuhan akar, daripada perlakuan konsentrasi yang lebih rendah pada
perendaman 15 menit (P1U1, P1U2 danP1U3). Sebaliknya ditingkatkannya waktu
perendaman (P2, P3 dan P4) pada perlakuan urine sapi ternyata menurunkan
pertumbuhan akar (baik jumlah akar primer, panjang akar primer, berat basah akar
dan berat kering oven akar per setek) (Tabel 8, 9, 11 dan 12). Hal ini sesuai
dengan pendapat Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa zat tumbuh yang diberikan
terlalu sedikit kurang efektif untuk memacu pertumbuhan tanaman namun
sebaliknya apabila zat tumbuh yang diperlukan maka akan dapat merusak dasar
66

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

setek, karena pembelahan sel dan kalus berlebihan sehingga dapat menghambat
tumbuhnya tunas dan akar. Lamanya setek direndam dalam larutan urine sapi
menyebabkan serapan zat tumbuh oleh sel tanaman melebihi jumlah optimum
sehingga dapat menghambat pertumbuhan setek soka.
Meningkatnya pemberian konsentrasi urine sapi pada lama perendaman 15
menit (P1) menyebabkan makin meningkatnya berat kering oven tunas setek. Dan
apabila waktu perendaman ditingkatkan sampai 60 menit (P 4) sesuai perlakuan
ternyata terjadi penurunan hasil berat kering oven tunas per setek (Gambar 4). Hal
tersebut diduga karena makin lama setek direndam dalam larutan urine sapi, setek
akan mengabsobsi zat tumbuh maupun unsur-unsur yang terkandung dalam
larutan urine itu telah melebihi jumlah optimum yang dibutuhkan setek untuk
pertmbuhan akar dan tunas. Sehingga sifat zat tumbuh yang mendorong
pertumbuhan tanaman berubah menghambat pertumbuhan tanaman. Disamping
itu pula unsur-unsur yang terkandung dalam urine sapi (Lampiran 13) dalam
jumlah yang relatif banyak diserap oleh setek dapat berbahaya atau meracuni
tanaman yang sudah tentu menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal
ini ditegaskan oleh Prawiranata (1981 dalam Tjokrosudarmo, 1989) amoniak
bebas (NH3) dan urea dalam jumlah yang banyak dapat bersifat racun (toksin)
untuk kebanyakan tumbuhan. Hanya tumbuhan yang mempunyai cairan vakuola
bersifat asam dapat menyimpan ion amoniak sebagai garam amonium dalam
jumlah yang relatif besar tanpa menimbulkan gangguan pada tumbuhan.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan dapat ditarik simpulan
sebagai berikut :
1. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap segian besar parameter yang diamati
kecuali terhadap persentase setek segar, jumlah tunas, dan persentase setek
bertunas dan berakar.
2. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman memberikan
pengaruh secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas per setek
dengan persamaan regresi : Y = 0,35532539 + 0,07064326U +
0,00083333P 0,00301326U2 0,00082267UP, dengan koefisien
determinasi (R2) = 99%. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh berat
kering oven tunas per setek maksimum sebesar 0,65 g per setek, pada
konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, untuk mendapatkan
pertumbuhan setek tanaman soka yang baik pada pembibitan disarankan
menggunakan zat tumbuh alami yaitu urine sapi dengan konsentrasi 9,67% (10%)
dengan lama perendaman setek dalam larutan sapi tersebut 15 menit.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

67

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus (1992). Budidaya Tanaman Soka. Liptan. Balai Informasi Pertanian
Bali.
Rochiman, K. dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen
Pertanian. IPB. Bogor.
Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa sebagai Zat Tumbuh
Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana
Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Tjokrosudarmo, C. (1989) Pengaruh posisi ruas bahan setek dan urine sapi
terhadap pertumbuhan setek kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex
Froehner). Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor
Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,
dan Suroyo L., (1980) Tanaman Hias Penting di Indonesia. Balali Pustaka.
Jakarta.
Francisca R. (1991). Pengaruh Populasi Tanaman Soka Jepang (Ixora chinensis
var. aurantiaca) dengan Berbagai Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Sebagai Tanaman Massal. Jurusan Budidaya Pertanian.
IPB. Bogor
Adriance, G.O. and F.R. Brison, (1955). Propagation of horticultura Plant. Mc.
Graw Hill Book Co. Inc., New York.
Rismunandar, 1988 Hormon tanaman dan ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Adriance, G.O. and F.R. Brison (1955).Propagation of horticultural plant. Mc.
Graw Hill Book Co. Inc., New York. 289 p.
Audus, L. J. (1963). Plant Growth Substance. Interscience Publisher. Inc., New
York. 553 p.
Crockett, J.U. (1978). Plowering House Plants. Time Hill Books. 160 p.
Dwidjoseputro, D. (1989). Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia.Jakarta.
225 hal.
Ida Dwiwarni (1990). Pemanfaatan Urine Sapi pada Setek Lada. Bull. Tan.
Industri. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah danObat Natar (5) : 19
10 hal.
Leopold, A.C. (1963). Auksin and Plant Growth. Univ. California Press. Barkley
and Los Angeles. 354 p.
Mahlstede, J.P. and E.S. Haber (1957). Plant Propagation John Wiley & Sons Inc.
New York. 413 p.
Nurhayati Hakim, Nyakpa M.Y., Lubis A.M., Nugroho S.Gh., Soul M.R., Diha
M.A., Hong G.B., dan Bailey H.H. (1986). Dasar-dasar Ilmu Tanah.
Universitas Lampung. 488 hal.
Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa Sebagai Zat Tumbuh
Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana
Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas
Pertanian IPB.Bogor (tidak dipublikasikan). 68 hal.
Rencana. K. (1988). Pengaruh Panjang Setek dan Konsentrasi Zat Pengatur
Tumbuh IBA terhadap Pertumbuhan Bibit Anggur (Vitis vinivera).
Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas Pertanian Univ.
Mahasaraswati Denpasar. 53 hal.
68

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Rismunandar (1988). Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta,


58 hal.
Rochiman, K. Dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen
Pertanian. IPB. 70 hal.
Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S.,
dan Suroyo L., (1980). Tanaman Hias Penting di Indonesia. PN. Balai
Pustaka. Jakarta.
Stoutemyer, V.T. (1954). Enccuragement of Roots Plant Regulators in : Plant
Regulators in Agriculture. H.B. Tukey. Editor. John Wiley and Sons Inc.
New York. 245 p.
Sukerta (1989). Pengaruh Dosis Pupuk NPK 15.15.15 dan Dosis Dekamon 22,43
L terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabe Besar (Capsicum
annuum L.). Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas
Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar. 111 hal.
Suparmanm Sunaryo dan Sumarko, (1990) Kemungkinan Penggunaan Kemih
Sapi Untuk Merangsang Perakaran Setek Lada (Piper ningrum L.) Bul,
Litro Vol. V No.1. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Natar.
23 26 hal.
Steenis, C.G.G.J. (1981). Flora. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 400 hal.
Syarief, B.S. (1985). Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.
Bandung. 182 hal.
Timan, K.V. (1969). Auxin in : Fisiologi Tanaman. M.B. Wilkins (ed). (edisi
bahasa Indonesia). PT. Bina Aksara, Jakarta. 454 hal.
Tjokrosudarmo, C. (1989). Pengaruh Posisi Ruas Bahan Setek dan Urine Sapi
terhadap Pertumbuhna Setek Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex
Froehner) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya IPB. Bogor. 62 hal.
Widianto (1988). Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. PT. Penebar Swadaya.
Jakarta. 68 hal.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

69

REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE


FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING
AND COMMUNITY-BASED TOURISM
Cening Kardi
Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is agricultural ritual and practicing
agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. It is carried out by subak (institution
for water-control-system in Bali). In this case using organic inputs towards sustainable
farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda. The values of traditionreligion-aspiration-culture in subaks were weakened and rather meaningless as the
impacts of: neglect to metaphysical agriculture; and capital based tourism development.
Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich and to
beautify objects of tourism in villages, likewise their income generating for the
population. Subaks were rather not powerful and not authoritative in performing
agricultural ritual effectively and meaningfuly, neither in signifying organic techniques in
farming. Therefore, a study on revitalization of metaphysical agriculture should be
conducted, with aims: (1) to determine the level of success of metaphysical agriculture;
and (2) to analyze factors of subaks which affecting the success of metaphysical
agriculture. A survey method through questionnaire was used to collect data from 42
subaks in 42 different desa adats (customary villages) which were selected using
purposive sampling. The all questionnaires used Likert scale. Percentage the total score of
a variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level of
the variable on that subak. Regression analysis was used to estimate the effect of factors
of subaks to the success of metaphysical agriculture. Result of the research indicated that
the level of success of metaphysical agriculture was medium. The factors Authority of
subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig (subaks customary rule);
and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were strongly affected the
success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was
quitely affected, but Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly
affected the success of metaphysical agriculture.
Based on the findings in this research, it could be suggested as follows. It needs an
assistance process at subaks to revitalize metaphysical agriculture by counseling and
demonstrating plots of organic farming with sophisticated technology. First before this
program, disseminating explanation regarding: implementation of meaningful agricultural
rituals and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda. More adroitly
to decipher sangkepan and awig-awig, and more aggressively to execute punishment to
transgressors of awig-awig. It requires pilot project activity, namely by performing
assistance for the formation of farmer cooperative at some subaks.
Key words : metaphysical, subak, revitalization, Rwa Bhineda.

1. INTRODUCTION
Transformation and dynamism are very essential characteristic of
community and culture. It is irrefutable fact that transformation denotes
phenomenon which always features the passage of community and its culture.
There isnt a statics community in absolutly. Every community always gains
70

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

transformation on time function, so there isnt a community has same portraits on


different periods, neither traditional nor modern community, although they
change with varied rapidity (Haferkamp dan Smelser, 1992).
The communities with their cultures in Bali are not exception in this case.
In other words, Bali always changes from age to age and even from day to day.
Something has been worried isnt Bali spoiled? due to the effect of global
population dynamism that has caused intensive and extensive capital-based tourism
development as the policy and program for economic improvement of the
government, to catch the trend of the world.
The capital-based tourism development brought about great batterer
energy that caused very structural changes in Baliness society and culture.
Tourism in Bali much changed from cultural-based tourism (in the era before
1975) to be competitive and commercial tourism.
Unfortunately, these
competitive and commercial attitudes and behaviours spreaded to the nearly all of
social-traditional-religious institutions in Bali, especially Subaks (institutions for
agricultural water-control-system in Bali) and desa adats (customary villages).
Actually, subak denotes a technology developing and synergizing with
community culture. On that account, subak is known as an institution having
socio-cultural characteristic. It is reflected by the activities of subak predominated
by mutual assistance and ritual ceremonies (Windia et al., 2010). So much local
genius and local wisdoms as the part of subaks and desa adats sermons which
they are neglected, mainly in the concepts and implementations of metaphysical
agriculture. Finaly the values of tradition-religion-aspiration-culture in subaks are
weakened and rather becoming meaningless, whereas tourism sector apparently
has been taking benefits from the assets which rooted in tradition-religionaspiration-culture of subaks and desa adats.
The agricultural activities in Bali are not only in physical study but also in
metaphysical. The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is as follows.
1. Agricultural ritual and customary ceremonies. There are two biggest ritual:
Nyapah which take place in center village temple (Bale Agung temple)
twice in every year; and Usaba in a hill temple of subak (Bedugul temple).
These two rituals are very facilitated by desa adat. Various medium and
small rituals which are arranged by members (krama) of subak in each
their farm fields.
2. Practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. These
activities of agriculture concern to keep on the balance of ecosystem in
farming land. In this case using organic inputs towards sustainable
farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda.
The rituals were established and developed as the corollary of sincere
characteristics of farmers in subak to possess devotion and sacred deed/karma
through giving sacred offering to Goddess Sri (the omnipresent Deity in farming
area), after they got crops and exploited some resources for plants farming. it was
karma of take and give (Namayudha 1999).
Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich
and to beautify objects of tourism in the villages of Bali, likewise their income
generating for population in the villages. But nowadays subaks and desa adats
are rather not powerful and not authoritative in performing rituals agriculture
effectively and meaningfuly, neither in signifying techniques for organic farming.
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

71

Concerning with the weakness owned by subaks, a study on revitalization of


metaphysical agriculture should be conducted. The aims of this study were: (1) to
determine the level of success of metaphysical agriculture; and (2) to analyze
factors of subaks which affecting the success of metaphysical agriculture. These
factors were: authority of subak to determine their own life; effectiveness of awigawig (subaks customary rule); effectiveness of sangkepan (social-religious
gathering); social relation of subak to desa adat; and intensity of discussion Weda
script in subak.
2. RESEARCH METHODS
2.1 Theoretical Frame of Metaphysical Agriculture Urgency
Popper, 1983 explained that every form is natural objective, and every idea
is subjective. There is objective truth that unrestricted by space and time, it is in
the higher level than both objective forms and subjective ideas and it has
metaphysical quality.
Orderliness of the cosmos is objective and metaphysical truth, it is in
transcendent level and ordered by the God as creator. The steadiness of universe,
like there are: noon vs night, prey vs predator; natality vs mortality, and
plentifully others are coming into sight the omnipotence of the God. These pairs
of two qualities in one (dichotomies) which appear in contrary are some
exsamples of Rwa Bhineda. The forms of Rwa Bhineda must be controled to be
stable and balance in anyhow, anyplace and particularly in agricultural activities
(producing food) which have kept on population to be alive.
The universe is pervading by conciousness. The conciousness can be
classified to be partial/limited conciousness and super conciousness. When the
conciousness takes embodiment through a birth, it becomes partial/limited
conciousness. Since the conciousness to be restricted by its body. Sadness,
happiness, anger, love, etc., are some impressions/feelings emerged by body. The
super conciousness standing firmly and never be dissolved in feeling is named
Paramaatma. Paramaatma denotes source of Atma, this Atma dwells within
body. The merging of Atma to body performs soul, the efforts of soul continuesly
to achieve Paramaatma makes happen metaphysical activities, while
Paramaatma permanently in transcendent level (Sri Sathya Narayana, 1996).
Tattwamasi (you are essentially me), and Advesta Sarwa Bhutanam (love
all creatures) were some sacred directions of Weda script. They were strong
believed and done by farmers of subak. Because of revolution on agriculture
latter, introduced pesticides that were adopted by farmers. Actually, pesticides
gave more dangers to all creatures, those were poison residue in food, damaged
ecosystem, resistance and resurgence of plant pests and diseases. Therefore,
Tattwamasi and Advesta Sarwa Bhutanam denoted metaphysical practicality
should be believed and done. For the present days, practicing organic farming is
indicator for metaphysical practicality in agriculture (Geriya et al., 2006).
2.2 Data and Analytical Methods
A survey method through questionnaire was used to collect data from 42
subaks in 42 different desa adats (customary villages), which were selected using
purposive sampling (in the year 2010). In the region of south Bali were selected
20 desa adats, and the rest 22 desa adats were selected in the region of north
72

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Bali. In every desa adat was taken respondents which consist of 5 men from the
board of desa adat, 10 men from the board of subak, 25 men members of subak
and 10 men members of desa adat but not members of subak.
The variables those were examined can be described briefly as presented
in Table 1. The strength of every element of variables was scored as very low (1),
low (2), medium (3), high (4) and very high (5). Percentage the total score of a
variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level
of the variable on that subak. So, the interval scale of variable could be
categorized: 20-36% was very low; 37-52 % was low; 53-68% was medium; 6984% was high; and 85-100% was very high. Regression analysis was used to
estimate the effect of factors of subaks to the success of metaphysical agriculture.
Table 1. Variables description
No
Variable
(1)
(2)
1
The success of
metaphysical
agriculture

Descripton
(3)
On ritual aspect (Seven
elements): 1)
understanding to the viewpoint (tattwa) of the
ritual; 2) coordination in ritual implementation; 3)
solidarity among the followers of ritual; 4) freedom
in partaking ritual; 5) orderliness of ritual
processing; 6) completeness of facilities for ritual;
and 7) creativity in achieving ritual.
On the aspect of practicing agriculture based on
local genius of Rwa Bhineda (seven elements): 1)
intensity of pesticide treatment; 2) intensity of
chemical fertilizer treatment; 3) wholeness to follow
the planting season; 4) intensity of plant rotation; 5)
intensity to process waste of livestocks and harvest
to be fine compost; 6) intensity to plant greeneries
with high level Nitrogen for fertilizer; and 7) quality
of integrated crop-livestock system.
Authority of
Four elements: 1) percentage of land conversion from
subak to
agricultural to non agricultural; 2) intensity of watter
determine their
sources for irrigation were changed to be non
own life
agricultural purpose; 3) Intensity of blockading subaks
groud athway and watter canal by outer force of
subak; and 4) intensity of conflict between subak and
industry/government.
Effectiveness of
Four elements: 1) clearness of awig-awig; 2)
awig-awig
democratic system in establishing awig-awig; 3) awig(subaks
awig socialization; and 4) firmness in executing
customary rule)
punishment to transgressors of awig-awig.
Effectiveness of
Six elements: 1) Sangkepan routine; 2) follow-up of
sangkepan (social- sangkepans decisions; 3) atmosphere in sangkepan; 4)
religious
percentage of members of subak to attend sangkepan;
gathering)
5) sovereignty for giving comments in sangkepan; and
6) sanction for members of subak who absent in
sangkepan.
Social relation of
Three elements: 1) coordination between the board of
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

73

subak to desa adat

3.

desa adat and subak in holding ritual; 2) participation


of seke-seke (small grups for special duty in desa adat)
in ritual; and participation of desa adat members but
not members of subak to attend agricultural ritual.

RESULTS AND DISCUSSION

3.1 The Level of Success of Metaphysical Agriculture


The level of success of metaphysical agriculture was assessd from two
aspects, ritual aspect and aspect of practicing agriculture based on local genius of
Rwa Bhineda. From the ritual aspect, the result was decribed as follows.
The understanding to the viewpoint (tattwa) of the ritual was low, since most of
the people especially in traditional institutions (like subak and desa adat) had no
interest to read or to learn manuscripts regarding tattwa of the ritual or religion.
They prefered to follow the expressions of tattwa like to make some complicated
offerings/sacrifices. Grup dynamism in the most of subaks were becoming weak
due to the decreasing productivity and profitability of rice farming, hence
coordinations in ritual implementation were not good and subaks had no enough
funding to complete facilities and to be creative in achieving ritual. Finally, The
level of success of metaphysical agriculture from ritual aspect became low.
The success of of metaphysical agriculture from aspect practicing
agriculture based on local genius of Rwa Bhineda was as follows. The level of its
success was categorized as medium, it implied that the farmers and their subaks
had adopted slightly organic farming methods. Chemical fertilizers (like UREA,
TSP, KCl, Ponska, NPK) were still very intensively to be applicated by the
farmers and even they were very dependently on these chemical fertilizers, on the
other hand, they were lack of treatments towards producing fine compost from
waste of livestocks and harvest. The farmers of subaks were very averse to follow
the planting season in the area of subak. It was very potentially to cause pests and
diseases continuesly spreaded and attacked the growing plants everywhere, and
difficultly to be cut down. All of these poured in decreasing productivity and
profitability of rice farming. From the all of these explanations, it could be
assessed that the success of metaphysical agriculture was in medium level.
Table 2. Description for the elements of ritual aspect
Element
Min
Max Average Category level
(%)
(%)
(%)
of success
1) Understanding to the
viewpoint (tattwa) of the ritual
21.6
70.4
41.6 Low
2) Coordination in ritual
implementation
47.2
88.8
49.6 Low
3) Solidarity among the followers
of ritual
52.0
87.2
56.0 medium
4) Freedom in partaking ritual
54.4
97.6
87.2 very high
5) Orderliness of ritual processing
49.6
91.2
80.8 High
6) Completeness of facilities for
ritual
24.0
73.6
51.2 Low
7) Creativity in achieving ritual
23.2
72.0
56.8 medium
Average
60.4 medium
74

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

1)
2)
3)
4)
5)

6)
7)

Table 3. Description for the elements of practicing agriculture based


on local genius of Rwa Bhineda
Element
Min Max Average Category level
(%) (%)
(%)
of success
intensity of pesticide treatment
34.5 90.0
56.0 medium
intensity of chemical fertilizer
treatment
23.5 93.0
44.0 Low
wholeness to follow the planting
season in the area of subak
27.0 77.0
46.5 Low
intensity of plant rotation
42.0 91.5
72.0 High
intensity to process waste of
livestocks and harvest to be fine
compost
29.0 91.5
54.0 medium
intensity to plant greeneries with
high level Nitrogen for fertilizer
30.0 84.0
61.0 medium
quality of integrated croplivestock system
47.0 88.5
58.0 medium
Average
55.9 medium

3.2 Factors of Subak Affecting The Success of Metaphysical Agriculture


The level of factors: Authority of subak to determine their own life;
Effectiveness of awig-awig (subaks customary rule); and Intensity of discussion
Weda script in subak were medium. The level of factors: Social relation of subak
to desa adat; and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were
rather high. The result of regression analysis on the factors of subak affecting the
success of metaphysical agriculture was as follows (Table 4). The factors
Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig; and
Effectiveness of sangkepan were strongly affected the success of methaphysical
agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was quitely affected the
success of metaphysical agriculture, but Intensity of discussion Weda script in subak
was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture.
As an institution having socio-cultural characteristics, subak has a power
or wisdom and weakness. Some of those indigenous wisdoms are organization
having good governance, flexibility, having capability of absorbing or adopting
tecgnology developing around them and having capability of absorbing the culture
developing in surrouding community. If the all of factors of subak are vigorous
and effectively, actually the force in subak can be an indigenous wisdom and
social asset that can shore up some government programs, especially the food
security program and community-based tourism development. Meanwhile, the
weakness of subak as an institution having socio-cultural characteristic is that it
could not resist the intervention from external parties. This incapability is
reflected in the large number of land undergoing transfer of function to sectors
beyond agriculture like to building for hotel and building for hausing complex. In
addition, there is relatively a large amount of withdrawing of irrigation water and
blockading subaks groud pathawy by other sectors such as Municipal Waterwork,
hotels and other tourism components.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

75

Table 4. The result of regression analysis on factors of subak affecting


the success of metaphysical agriculture
No
1
2
3
4
5
6

Factor of Subak

Coeficient
Constant
-8.039
Authority of subak to determine their own life
0.297
Effectiveness of awig-awig (subaks customary rule)
0.335
Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering)
0.227
Social relation of subak to desa adat
0.106
Intensity of discussion Weda script in subak
0.131
R Square = 0.9938
F = 1201.5*
Informations:

= significantly;

ns

t-ratio
-7.731
6.074
4.632
3.731
2.240
1.480

Sig.
0.000*
0.000*
0.000*
0.001*
0.031*
0.147ns

= non significantly

4. CLOSURE
4.1 Conclusions
Based on the previous descriptions, it could be concluded as follows.
1. The level of success of metaphysical agriculture was categorized into
medium.
2. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness
of awig-awig; and Effectiveness of sangkepan were strongly affected the
success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to
desa adat was quitely affected the success of metaphysical agriculture, but
Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the
success of metaphysical agriculture.
4.2 POLICY IMPLICATION
Based on the findings in this research, it could be formulated policy
implications as follows.
1. It needs an assistance process at subak to revitalize metaphysical
agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with
sophisticated technology. First before this program, disseminating
explanation regarding: implementation of meaningful ritual for agriculture
and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda.
2. More adroitly to decipher sangkepan and awig-awig, and more
aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig.
3. It requires pilot project activity, namely by performing assistance for the
formation of farmer cooperative at some subaks.

REFERENCES
Geriya, W., Yudha Triguna, dan I Nyoman Dhana, 2006. Pola Kehidupan
Petani Subak Di Bali. Javanologi: Denpasar.
Haferkamp, H. and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity.
The University of California Press: Berkeley.
Namayudha, I.B., 1999. Upacara Ngusaba Nini. Parisada Hindu: Denpasar.
Narayana, S.S. 1996. Discourses on Bhagawad Gita. Sri sathya Sai Book and
Publication Trust: Bangalore-India.
76

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Popper, K.R. 1983. Realism and The Aim of Science. Rowman and Littlefied:
New Jersey.
Windia, W., Ketut Suamba and Wayan Sudarta. 2010. The Development of
Food Security Model Based on Subak System In Bali. Jurnal SOCA.
Vol. 10. No.1. Februari 2010: 8-14.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

77

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN


HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN
KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan
Ni Made Muriati1) dan Wayan Guwet Hadiwijaya2)
1)
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali
2)
Jurusan Agroteknologi Universitas mahasaraswati Denpasar
Abstrak
Tujuan penelitian yaitu: (1) mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang
menentukan kelangsungan hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa
Kusamba; (2) mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan;
dan (3) merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra
pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak
terhadap lingkungan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang (50
orang dari unsur pemilik usaha dan 50 orang dari unsur pekerja). Analisis data
yang digunakan adalah pendekatan konsep manajemen strategis yang dilakukan
secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu
memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada. Posisi
ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-strategi untuk
memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang dihadapi.
Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan sebaiknya menerapkan strategi
pertahankan dan pelihara. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus
menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik
serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang
produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi
tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup
(sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan
kompetitif dalam pengembangan produk.
Kata kunci: Hasil perikanan, Pindang, Strategi, Internal dan Eksternal

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Klungkung mempunyai luas wilayah 315 km yang terletak di
antara 1152128 - 1153743BT dan 8 4900 LS, dengan panjang pantai
keseluruhan 144 km. Potensi perikanan laut di Kabupaten Klungkung cukup
tinggi terutama perikanan tangkap. Potensi tersebut diperkirakan sebesar 4.140,7
ton per tahun yang terdiri atas ikan pelagis 2.898,2 ton dan ikan demersal 1.242,5
ton.
Program pembangunan perikanan laut di Kabupaten Klungkung terutama
diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas melalui pemberdayaan SDM
78

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

nelayan, pembudidaya pengolah, masyarakat pesisir lainnya, peningkatan nilai


tambah dan mutu produk serta pemasaran, menciptakan iklim usaha yang
kondusif, peningkatan dan pengembangan kemitraan usaha dan peningkatan
kapasitas kelembagaan, meningkatkan dan daya dukung serta kualitas lingkungan
perairan. Produk hasil perikanan merupakan sumber protein hewani yang
bermutu dan sangat bermanfaat bagi tubuh manusia dan merupakan komoditas
ekspor hasil perikanan yang telah menyumbangkan devisa. Namun di pihak lain
kerugian atau kerusakan produk hasil perikanan (losses) mencapai 20 % akibat
penanganan yang kurang baik. Penanganan ikan segar merupakan salah satu
bagian penting dari mata rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi
mutu yang dihasilkan.
Pada sektor kelautan dan perikanan usaha pengolahan hasil perikanan pada
umumnya masih didominasi oleh pengolahan ikan berskala usaha mikro, kecil dan
menengah. Usaha pengolahan perikanan umumnya masih bersifat tradisional,
cendrung dikelola oleh anggota turun-temurun dengan kapasitas produksi yang
terbatas, dengan kegiatan usaha bersifat rutinitas. Usaha pengolahan hasil
perikanan berskala miro kecil biasanya lemah dalam berbagai dimensinya, lemah
dalam aspek permodalan, teknologi dan informasi, lemah dalam manjemen dan
pemasaran, umumnya tersebar parsial, sehingga pada umumnya belum memenuhi
standar sesuai ketentuan, sehingga hasilnya belum mampu bersaing dengan
produk lainya. Mereka juga dihadapkan pada kesulitan melakukan penguatan
internal, seperti peningkatan produktivitas, riset pengembangan produk, pelatihan
dan bimbingan SDM serta promosi usaha.
Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, yaitu
meningkatkan kapasitas usaha bersekala ekonomi dengan kelembagaan yang kuat
serta dikelola secara profesional dengan akses dan penetrasi pasar yang kuat dan
berdaya saing, serta mampu berproduksi lebih efisien dalam kawasan
pengembangan, dan dalam rangka meningkatkan percepatan pemberdayaan dan
pembinaan unit-unit pengolahan ikan (UPI) dan revitalisasi industri pengolahan,
maka diperlukan penerapan konsep pengembangan sentra pengolahan hasil
perikanan melalui pendekatan pengembangan sentra-sentra pengolahan dan
strukturisasi UKM Pengolahan Hasil Perikanan. Upaya ini dilakukan dengan
memberikan dukungan kebijakan dan program penyediaan lembaga layanan
pengembangan bisnis yang dilakukan secara terpadu di lokasi kawasan produksi
perikanan.
Salah satu usaha pengolahan ikan yang sudah berkembang di kabupaten
Klungkung adalah pengolahan pindang. Usaha pengolahan pindang tersebut
berada di Desa Kusamba yang terletak di wilayah Kecamatan Dawan. Usaha ini
sudah ada sejak lama dan merupakan salah satu bentuk aktivitas ekonomi
masyarakat Desa Kusamba yang berbasis rumah tangga. Pada awalnya kegiatan
pengolahan pindang dilakukan di rumah-rumah penduduk, bahan baku hanya
diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan setempat, proses pengolahan masih
dilakukan secara tradisional. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan, karena
tercampurnya aktivitas rumah tangga dan aktivitas produksi sehingga lingkungan
di rumah menjadi kumuh, kotor dan berbau, produksinya terbatas karena
kekurangan bahan baku dan mutu produk belum terjamin.
Untuk memudahkan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan
pengolahan pindang di Desa Kusamba, maka pada tahun 1998 pemerintah
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

79

membangun bangsal pemindangan dengan tujuan untuk penataan kegiatan


pengolahan pindang dari lingkungan perumahan ke lokasi khusus pemindangan
dan menjadikan lokasi tersebut sebagai Sentra Pemindangan .
Pada tahun 2007, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor: KEP.01/MEN/2007, tentang Lokasi Pengembangan
Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Sentra Pengolahan Pindang di Desa
Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung ditetapkan sebagai lokasi
Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan. Akan tetapi dalam
perkembangannya, fasilitas yang disediakan meliputi penyediaan sarana prasarana
yang ada tidak berfungsi sesuai dengan harapan, misalnya proses pengolahan ikan
belum dilakukan dengan baik, drainase yang penuh dengan sampah dan sisa-sisa
pengolahan yang menyebabkan aliran air tidak lancar sehingga menimbulkan bau.
Di samping itu konstruksi bangunan belum memenuhi standar karena dari segi
sanitasi dan hygienitas kurang memenuhi syarat, sehingga berdampak pada
kualitas dan mutu produk.
Melihat permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu strategi untuk
mengembangkan sentra pemindangan di Desa Kusamba. Upaya tersebut
bertujuan menjadikan sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi
persyaratan kelayakan unit pengolahan dan kelayakan pengolahan sehingga
menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk di konsumsi seta sehat dan
nyaman bagi para pelaku usaha.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan
beberapa permasalahan, yaitu.
1. bagaimanakah kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan
hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba?
2. bagaimanakah kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal
yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di
Desa Kusamba?
3. bagaimana strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra
pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak
terhadap lingkungan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan umum penelitian ini
adalah untuk mengembangkan sentra pengolahan pindang di Desa Kusamba
menjadi sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi persyaratan unit
pengolahan dan dapat menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk
dikonsumsi serta menguasai pasar. Sedangakan tujuan khususnya adalah sebagai
berikut.
1. Mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan
hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba.
2. Mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di Desa
Kusamba.

80

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

3. Merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra


pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak
terhadap lingkungan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut;
1. Memberikan informasi dan masukan pada bidang kajian perencanaan dan
pengembangan wilayah khususnya yang berkaitan dengan pembangunan atau
pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
2. Memberikan masukan kepada Pemerintah atau pengambil kebijakan, sebagai
kebijakan dalam upaya pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan

2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba
Kabupaten Klungkung dengan pertimbangan Sentra Pengolahan Pemindangan
Desa Kusamba Kabupaten Klungkung merupakan salah satu pengembangan
sentra pengolahan hasil perikanan di Provinsi Bali. Penelitian dilakukan pada
bulan Desember 2011
2.2

Penentuan Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku usaha pengolah hasil
perikanan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba, Kabupaten
Klungkung yang berjumlah 50 unit usaha. Pada setiap unit usaha diambil masingmasing satu orang responden dari unsur pemilik, dan satu orang dari unsur
pekerja. Sehinga seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.
Khusus untuk pemberian rating atau peringkat untuk masing-masing faktor
internal maupun eksternal, diajukan kepada beberapa responden yang
berkompeten dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, yaitu:
para pemilik usaha pemindangan yang paling maju (10 rang), Kepala Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Klungkung, dan dua orang pakar agribisnis
perikanan di Bali.
2.3

Metode Pengumpulan Data


Jenis data yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian adalah data
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berwujud kuantitas
atau angka yang merupakan hasil membilang atau mengukur, seperti luas lahan
usaha, kapasitas produksi, jumlah produksi, biaya produksi dan besarnya
pendapatan usaha. Data kualitatif yaitu berupa keterangan atau uraian yang
berkaitan dengan objek penelitian dan tidak dapat dihitung atau tidak berupa
angka melainkan keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1) Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta keterangan
langsung kepada responden melalui daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

81

2) Wawancara mendalam, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta


keterangan langsung kepada para informan melalui pedoman wawancara yang
telah dipersiapkan sebelumnya.
3) Observasi, yaitu suatu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di
lapangan untuk menguji dan melengkapi data lainnya.
4) Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dan informasi yang telah tercatat pada
berbagai dokumen tentang berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian.
2.4

Metode Analisis Data


Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah pendekatan
konsep manajemen strategis. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan
disajikan dalam bentuk uraian.
2.4.1 Analisis lingkungan internal dan eksternal
Langkah ringkas untuk mengidentifikasi faktor internal adalah dengan
menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) yang meringkas dan
mengevaluasi faktor internal yakni kekuatan dan kelemahan perusahaan di
bidang-bidang fungsional (David, 2001). Tujuan dari penilaian faktor eksternal
adalah mengembangkan daftar terbatas peluang yang dapat dimanfaatkan
perusahaan dan ancaman yang harus dihindari. Langkah yang ringkas dalam
melakukan penilaian faktor eksternal adalah dengan menggunakan matriks EFE
(Eksternal Faktor Evaluation). Matriks ini mengarahkan perumus strategi untuk
mengevaluasi informasi dari luar perusahaan.
Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap varibel
terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus (Kinnear,
1996) :
Xi
i =
n
Xi
1
Dimana:
i = bobot variabel ke-i
Xi = nilai variabel ke-i
i = 1,2,3n
n = jumlah variabel
Penilaian setiap variabel baik yang merupakan faktor internal maupun eksternal
perusahaan menggunakan skor skala empat, di mana kekuatan masing-masing
variabel tersebut dinilai sebagai sangat lemah (skor 1), lemah (skor 2), kuat (skor
3) dan sangat kuat (skor 4).
Berikan rating atau peringkat (dalam kolom 4) untuk masing-masing
faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1
(poor), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan
yang bersangkutan (seperti contoh matriks evaluasi faktor internal pada Tabel 1).
Pemberian nilai rating kekuatan pada matriks IFE dengan skala yang digunakan,
yaitu: 1 = sangat lemah; 2 = lemah; 3 = kuat; dan 4 = sangat kuat. Sedangkan
faktor yang menjadi kelemahan pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya.
Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk
memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor

82

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0
(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
Tabel 1. Contoh Matriks evaluasi faktor internal
No
Kekuatan
Bobot Rating Skor
1
SDM yang terampil, disiplin dan ulet
..
..
..
2
Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
Kelemahan
.. Tidak aktif dalam kelompok usaha yang ada
..
..
..
.. Tidak melakukan promosi
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
Pemberian nilai rating peluang pada matriks EFE dengan skala yang digunakan,
yaitu: 1 = rendah (respon kurang); 2 = sedang (respon sama dengan rata-rata); 3 =
tinggi (respon di atas rata-rata); dan 4 = sangat tinggi (respon jauh di atas ratarata). Sedangkan untuk faktor yang menjadi ancaman pemberian nilai rating
dilakukan sebaliknya (seperti contoh matriks evaluasi faktor eksternal pada Tabel
2). Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk
memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0
(outstanding) sampai dengan 1,0 (poor).
Tabel 2. Contoh Matriks evaluasi faktor eksternal
No
Peluang
Bobot Rating Skor
1
Permintaan terhadap pindang yang tinggi
..
..
..
2
Kepercayaan dari pihak Bank
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
Ancaman
.. Mahalnya harga ikan dan bahan bakar
..
..
..
.. Banyaknya pesaing
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..
.. ..
..
..
..

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

83

2.4.2 Matriks i-e (internal-eksternal)


Sumbu horizontal pada matriks IE menunjukkan skor total IFE, sedangkan
pada sumbu vertical menunjukkan skor total EFE. Pada sumbu horizontal skor
antara 1,00 1,99 menunjukkan posisi internal lemah. Skor 2,00 2,99
menunjukkan posisi internal rata-rata, dan skor 3,00 4,00 menunjukkan posisi
internal kuat. Begitu pula pada sumbu vertikal yang menunjukkan pengaruh
eksternal (lihat Gambar 1)
Tinggi Rata-rata Lemah
4,0
1,0
3,0
2,0
4,0
I
II
III
Tinggi
3,0
IV
V
VI
Sedang
2,0
VII
VIII
IX
Rendah
1,0
Gambar 1. Matriks Internal-Eksternal (IE)
Diagram tersebut dapat mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan
perusahaan, tetapi pada prinsipnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan
menjadi tiga strategi utama, yaitu
a. Sel I, II dan IV disebut strategi tumbuh dan bina. Strategi yang cocok
adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan
pengembangan produk) atau strategi integratif (integrasi ke belakang,
kedepan dan horizontal).
b. Sel III, V dan VII disebut strategi pertahankan dan pelihara. Penetrasi
pasar dan pengembangan produk merupakan dua strategi yang banyak
dilakukan apabila perusahaan berada di dalam sel ini.
c. Sel VI, VII dan IX disebut strategi panen dan diversifikasi.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan serta Peluang dan Ancaman
Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Faktor-faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan serta peluang dan ancaman perusahaan pada Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan berasal dari identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang
telah digunakan di atas. Hasil identifikasi ini kemudian digunakan untuk
menyusun matriks IFE dan EFE .
1. Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan
Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan
Identifikasi faktor internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden. Hasil ringkasan
faktor strategis internal disajikan pada Tabel 3

84

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Tabel 3. Faktor Strategis Internal Sentra pengolahan hasil perikanan


No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kode
A
B
C
D
E
F
G
H

9.

10.

11.
12.
13.
14.
15.

K
L
M
N
O

Kekuatan
SDM yang terampil, disiplin dan ulet
Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik
Teknologi pemindangan yang mudah dikuasai
Dekat dengan tempat pendaratan ikan
Memiliki mobil operasional
Sistem pemasaran (jalur distribusi) yang jelas
Modal cukup besar
Lahan usaha yang cukup luas
Kelemahan
Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha
pemindangan masih rendah
Letak sentra pengolahan hasil perikanan dekat dengan
pemukiman penduduk
Tata letak bangunan dan jalan/gang antar unit pengolahan
Produk mudah rusak/tidak tahan lama
Masih menggunakan modal pribadi
Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif
Tidak melakukan promosi

2. Identifikasi Peluang dan Ancaman Sentra Pengolahan Hasil Perikanan


Sejumlah peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan pada sentra
pengolahan hasil perikanan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden
masyarakat pengolah pindang, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Hasil
ringkasan faktor strategis eksternal disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Fakator Strategis Eksternal Sentra pengolahan hasil perikanan
No Kode Peluang
1.
A
Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi
2.
B
Kepercayaan dari pihak Bank
3.
C
Infrastruktur jalan yang baik
4.
D
Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan
merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung
5.
E
Pangsa pasar untuk Bali cukup prospektif
6.
F
Kondisi ekonomi masyarakat Bali yang sangat baik
7.
G
Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang
cukup tinggi dan mumpuni
Ancaman
8.
H
Cuaca yang tidak menentu sehingga dapat mengurangi
ketersedian bahan baku
9.
I
Mahalnya harga ikan dan bahan bakar
10. J
Banyaknya pesaing
11. K
Gangguan kesehatan para pengolah
12. L
Keamanan lingkungan dari gangguan luar

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

85

3. Tahap Masukan Skala Besar dan Kecil


1) Matriks Evaluasi Faktor Internal
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap faktor-faktor internal,
selanjutnya dilakukan pembobotan untuk melihat derajat kepentingan atau
pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap perusahaan sentra
pengolahan hasil perikanan serta pemberian rating untuk mengetahui kemampuan
perusahaan menjalankan usahanya.
Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama
bagi perusahaan, yaitu:
a) SDM yang terampil, disiplin dan ulet
b) Memiliki mobil operasional
c) Lahan usaha yang cukup luas
Sedangakan faktor internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra
pengolahan hasil perikanan, yaitu:
a) Sanitasi yang buruk
b) Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha
pemindangan masih rendah
c) Kelayakan unit pengolahan hasil perikanan
d) Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif
e) Tidak melakukan promosi
Jumlah skor 2,67 menunjukkan bahwa sentra pengolahan hasil perikanan
berada sedikit di atas rata-rata (2,50) dalam kekuatan internal keseluruhannya.
Hal ini menunjukkan posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan
cukup mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan
yang ada.
Tabel 5. Matriks Evaluasi Faktor Internal Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
No
Kode
Bobot
Rating
Skor
1.
A
0.08
4
0.33
2.
B
0.06
3
0.17
3.
C
0.06
3
0.17
4.
D
0.08
4
0.33
5.
E
0.05
4
0.20
6.
F
0.06
4
0.23
7.
G
0.08
4
0.32
8.
H
0.08
2
0.16
9.
I
0.08
2
0.15
10.
J
0.05
1
0.05
11.
K
0.08
2
0.16
12.
L
0.05
1
0.05
13.
M
0.05
1
0.05
14.
N
0.07
2
0.15
15.
O
0.08
2
0.15
Total
2.67
2) Matriks Evaluasi Faktor Eksternal
Hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 6 diperoleh total skor 2,58
(sedikit di atas rata-rata 2,50). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sentra
86

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

pengolahan hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan


strategi-strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi
ancaman yang dihadapi.
Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan
berpengaruh terhadap perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu:
a) Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi
b) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan
merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung
c) Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup
tinggi dan mumpuni.
Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan, yaitu:
a) Mahalnya harga ikan dan bahan bakar
b) Gangguan kesehatan para pengolah
c) Keamanan lingkungan dari gangguan luar.
Tabel 6. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Sentra Pengolahan Hasil
Perikanan
No
Kode
Bobot
Rating
Skor
1.
A
0.10
4
0.40
2.
B
0.06
2
0.13
3.
C
0.07
3
0.20
4.
D
0.10
4
0.40
5.
E
0.10
3
0.31
6.
F
0.07
3
0.21
7.
G
0.09
3
0.26
8.
H
0.07
1
0.07
9.
I
0.09
2
0.17
10.
J
0.08
1
0.08
11.
K
0.09
2
0.18
12.
L
0.09
2
0.17
Total
2.58
3.2 Strategi Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Setelah proses pengumpulan informasi internal dan eksternal yang
dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE, selanjutnya informasi-informasi ini
menjadi input untuk perumusan strategi pengembangan yang dapat diwujudkan
dalam bentuk matriks I-E dari analisis SWOT. Dalam tahap perumusan strategi
pengembangan ini, perencana strategi dapat melakukan perpaduan antara
sumberdaya dan keterampilan internal dengan peluang dan ancaman yang
diciptakan oleh faktor-faktor eksternal.
Beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan para pelaku usaha pada
sentra pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dilakukan seperti berikut.
1. Biaya input ikan hasil tangkapan dan bahan bakar yang mahal
sementara harga jual pindang itu rendah, maka diimbangi dengan
meningkatkan efisiensi produksi. Lebih mengaktifkan dan
meningkatkan efektifitas kelembagaan kelompok pengolahan hasil

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

87

perikanan dalam menetapkan harga produk serta penanganan input dan


promosi produk.
2. Diperlukan perencanaan usaha dengan pertimbangan faktor waktu
mengingat sifat produk yang tidak tahan lama, termsuk dibutuhkannya
teknologi preservasi.
3. Diperlukan kerja sama antar unit usaha pengolahan perikanan berskala
besar dan kecil untuk bersama-sama maju dan berkembang, misalnya
untuk memenuhi tingginya permintaan akan produk hasil pengolahan
perikanan.
4. Lebih membangun sistem agribisnis perikanan yang secara terintegrasi
dari hulu sampai hilir dan membangun jaringan distribusi yang mantap
serta meningkatkan kualitas produk pengolahan perikanan untuk
menghadapi persaingan dengan produk pengolahan perikanan dari
daerah lain atau luar Bali.
5. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para pelaku usaha
pengolahan perikanan dalam mengelola limbah hasil kegiatan produksi
yang kini terlihat masih sangat lemah dan kurang. Termasuk
didalamnya mengenakan sanksi-sanksi yang tegas kepada unit-unit
usaha pengolahan perikanan yang mengabaikan upaya pengelolaan
limbah yang dapat mencemari lingkungan.
6. Menetapkan standar kelayakan unit pengolahan hasil perikanan yang
tepat yang dapat memperbaiki sanitasi, kenyamanan kerja serta
mencegah mewabahnya penyakit yang mengancam kesehatan para
pengolah hasil perikanan.
7. Meningkatkan dukungan Bank dan atau lembaga keuangan lainnya
dalam memberikan kredit ringan untuk meningkatkan produksi dan
kualitas pengelolaan limbah, yang dilakukan baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama. Termasuk dukungan pemerintah
daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan.
Focus strategi yang tepat untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan
dengan menggunakan matriks I-E dapat dijelaskan seperti pada uraian berikut ini.
1. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Matriks I-E digunakan untuk melihat strategi mana yang tepat diterapkan
untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan. Matriks I-E melibatkan
semua komponen unit-unit usaha dalam sentra pengolahan hasil perikanan ke
dalam diagram skematis sehingga disebut matriks portofolio.
Setelah
mendapatkan nilai total skor bobot dari faktor internal (IFE) dan faktor eksternal
(EFE) sentra pengolahan hasil perikanan, nilai-nilai tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam matriks Internal-Eksternal (I-E).
Berdasarkan hasil analisis faktor internal menggunakan IFE diperoleh skor
2,67 dan hasil analisis faktor eksternal menggunakan EFE diperoleh skor 2,58
yang menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada sel V
(lihat Gambar 2).
Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra
pengolahan hasil perikanan memiliki kondisi internal pada level rata-rata dan
kondisi eksternal pada level sedang, sehingga sebaiknya menerapkan strategi
pertahankan dan pelihara. Artinya perusahaan sentra pengolahan hasil
88

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi
yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang
menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan
lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan
kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta
memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk.
Tinggi
Rata-rata
Lemah
1,0
4,0
2,0
3,0
I
II
III
Tinggi
3,0
IV
VI
V
Sedang
2,0
1,0
VII
VIII
IX
Rendah
Gambar 2. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
Berdasarkan posisi sel V, maka tipe strategi utama yang dapat diterapkan adalah
strategi intensif dalam bentuk penetrasi pasar, pengembangan produk dan pasar,
perbaikan kelayakan unit pengolahan serta peningkatan kapasitas kelembagaan
dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan.
Penetrasi pasar atau pertumbuhan terkosentrasi dapat dilakukan dengan:
1. Menambah tingkat penggunaan pelanggan lama melalui: menambah
jumlah pembelian, mengiklankan penggunaan lain, dan memberi
insentif harga untuk penggunaan lebih banyak.
2. Memikat pelanggan pesaing melalui mempertajam diferensiasi merk,
meningkatkan promosi dan menurunkan harga.
3. Memikat bukan pengguna untuk membeli produk melalui: merangsang
keinginan mencoba produk contoh (sampling), insentif harga dan
mengiklankan penggunaan baru.
Strategi pengembangan pasar yang dapat dilakukan yakni dengan
menambah daerah pasar sasaran. Selama ini produk sentra pengolahan ikan di
Kusamba hanya dipasarkan di wilayah Klungkung, Denpasar dan Badung. Perlu
dilakukan ekspansi pasar dengan menembus seluruh wilayah Bali serta Lombok
Barat.
Strategi pengembangan produk berkaitan erat dengan pencitraan produk.
Tidak sulit bagi perusahaan sentra pengolahan perikanan untuk melakukan
pengembangan produk dalam bentuk selain pindang, seperti pepes, otak-otak atau
produk setengah jadi untuk dipasarkan ke restoran dan super market. Selain itu
yang harus dipertahankan adalah adanya perlakuan sebelum produk dipasarkan,
yaitu dengan seleksi, standarisasi atau grading. Sehingga didapatkan produk
pengolahan ikan yang berkualitas tinggi. Penggunaan merk yang selama ini tidak
dilakukan, sebaiknya dibrikan merk untuk membangun citra produk dan
memudahkan pelanggan untuk mengingat produk sentra pengolahan perikanan
yang telah beredar.
Perbaikan kelayakan unit pengolahan dapat dilakukan dengan membangun
layout/tata letak bangunan unit pengolahan sedemikian rupa agar efisien, murah,
praktis, memudahkan dalam bekerja, memudahkan dalam pengelolaan limbah dan
tampak indah. Peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dicapai dengan
pemberdayaan kelompok pekerja dan pelaku usaha pengolahan ikan, yaitu melalui
restrukturisasi kepengurusan, penguatan modal kelompok serta pola pembinaan
Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

89

dan pengembangan dapat dilakukan dengan kombinasi Pola Empu dan Pola
Pemasaran Bapak Angkat.
Hal ini dapat diupayakan dengan membuat
kesepakatan dan kerja sama dengan pihak terkait berdasar MoU. Pola Empu
dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dengan menempatkan seorang pakar,
di mana secara berencana dan berkesinambungan melaksanakan pembinaan dan
membantu pengembangan. Pola Bapak Angkat lebih ditekankan pada bantuan
modal kerja dan penjaminan resiko usaha serta membantu dalam pendekatan
akses pasar untuk menjual produk dalam hal ini dilakukan dengan mengundang
pengusaha mitra, badan atau LSM.
Peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan adalah melalui
memberi bantuan dana pembangunan IPAL dan bahan penetralisir limbah.
Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap unit-unit usaha pengolahan
ikan pada sentra pengolahan perikanan dalam hal pengelolaan lingkungan masih
sangat perlu ditingkatkan. Di antaranya dengan menjadi agensia teknologi dan
fasilitas pengelolaan limbah cair hasil kegiatan pengolahan ikan, serta dengan
memberikan kontrol, pengawasan dan sanksi yang lebih ketat terhadap pelaku
usaha yang melakukan pencemaran lingkungan.

4. SIMPULAN DAN SARAN


4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan:
1) Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama bagi
perusahaan, yaitu: (1) SDM yang terampil, disiplin dan ulet; (2) Memiliki
mobil operasional; dan (3) Lahan usaha yang cukup luas. Sedangakan faktor
internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra pengolahan
hasil perikanan, yaitu: (1) Sanitasi yang buruk; (2) Pengetahuan dan sikap
terhadap pengelolaan limbah usaha pemindangan masih rendah; (3) Kelayakan
unit pengolahan hasil perikanan; (4) Kelembagaan kelompok pengolahan
perikanan kurang aktif; dan (5) Tidak melakukan promosi. Posisi internal
perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu memanfaatkan
kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada.
2) Posisi ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan
hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategistrategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang
dihadapi. Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan
berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu: (1) Permintaan terhadap pindang ikan
yang cukup tinggi; (2) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan
perikanan merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung; (3)
Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup tinggi dan
mumpuni. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan, yaitu: (1) Mahalnya
harga ikan dan bahan bakar; (2) Gangguan kesehatan para pengolah; dan (3)
Keamanan lingkungan dari gangguan luar.
3) Matriks I-E menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada
sel V. Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil
perikanan sebaiknya menerapkan strategi pertahankan dan pelihara.
90

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

4.2 Saran
Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini dapat disarankan
sebagai berikut. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus menjaga dan
mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta
melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi,
pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya
kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable)
sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam
pengembangan produk.

DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan untuk
Kesejahteraan Rakyat. Penerbit LISPI, Jakarta.
David, FR., 2001. Manajemen Strategik. Prenhallindo, Jakarta.
Downey, W.D. dan S.P. Erickson, 1992. Manajemen Agribisnis. Diterjemahkan
oleh Ganda S. dan A. Sirait dari Agribusiness Management.
Erlangga, Jakarta.
Hadiwiyoto,S., 1993. Teknik pengolahan Hasil Perikanan. Liberty, Yogyakarta.
Kinnear, TL. dan Taylor, 1996. Marketing Research An Aplied Approach
5th Edition. Mc Graw Hill, New York.
Kotler, P., 1991. Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan
Jaka Warsana. Airlangga, Jakarta.
Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT TehNPK Membedah Kasus Bisnis.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Resssohadiprojo, S., 1992. Manajemen Strategik . BPFE UGM, Yoyakarta.
Rustam, 2002. Pendapatan Menurut Standar Akutansi Keuangan. Digilib Usu,
Medan.
Suparta, N., 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. CV Bali Media
Adhikarsa, Denpasar.
Suwarsono, M., 2005. Manajemen Strategik. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Agrimeta,

JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM

91

Você também pode gostar