Você está na página 1de 14

EFEKTIVITAS DIKLAT CALON KEPALA SEKOLAH

Oleh : Koswara, M.Pd.


Widyaiswara LPMP Banten
Abstrak
Pelatihan calon kepala sekolah ini merupakan pola baru dan memiliki peran
yang sangat strategis, yang diharapkan mampu mencetak calon-calon
kepala sekolah yang unggul dalam pengetahuan, sikap, dan kecakapan
kekepalasekolahan. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh informasi
tentang efektivitas penyelenggaraan pelatihan menurut persepsi calon
kepala sekolah yang telah dilatih, dari sisi penguasaan materi para pengajar,
kualitas materi pelatihan, metode pengajaran/pelatihan, pelatihan ini secara
keseluruhan dan mengetahui seberapa jauh efektivitas program pelatihan
yang dilaksanakan. Model evaluasi untuk mengukur efektivitas pelatihan
menggunakan model evaluasi pelatihan yang dikembangkan pertama kali
oleh Kirkpatrick yaitu The Four Levels Techniques for Evaluating Training
Programs. Simpulan dari penelitian ini adalah penyelenggaraan pelatihan
dapat dinyatakan memiliki efektivitas yang tinggi, menurut persepsi peserta
terhadap kualitas pelatih, kualitas materi ajar, ketepatan pemilihan metode,
pelatihan ini secara keseluruhan dan terjadi proses belajar yang signifikan
pada peserta pelatihan, yang ditunjukkan dengan besarnya effect size, yang
merupakan indikasi perubahan penguasaan materi pelatihan antara sebelum
dan sesudah pelatihan.
Kata kunci : Efektivitas, kepala sekolah, Kirkpatrick.
A. Pendahuluan
Pembaharuan suatu lembaga pendidikan perlu lebih ditekankan pada faktor
budaya yang antara lain berupa kepemimpinan kepala sekolah yang kuat
(strong leadership). Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang
visioner, mampu membangun budaya dan proses orgasisasi yang efektif dan
iklim pembelajaran yang kondusif. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
hubungan yang signifikan antara kepemimpinan pendidikan yang efektif
dengan sekolah yang efektif. Hal ini dapat terwujud manakala kepala sekolah
dipilih dari guru-guru yang potensial, dan secara terstruktur, terencana dan
terprogram dipersiapkan untuk menjadi kepala sekolah.
Sejalan dengan itu, permendiknas no. 28 tahun 2010 secara spesifik
mengatur tentang proses penyiapan guru dengan tugas tambahan sebagai
kepala sekolah, yang meliputi proses rekrutmen, seleksi, pendidikan dan
pelatihan. Dengan proses ini, memungkinkan seorang guru memiliki
pemahaman,

dan

kecakapan

minimal

yang

memadai

tentang

kekepalasekolahan, sebelum menjabat sebagai kepala sekolah. Salah satu


1

tahapan yang akan disajikan pada tulisan ini adalah tahapan pendidikan dan
pelatihan calon kepala sekolah. Diklat calon kepala sekolah dilakukan
dengan pola in-on-in, yang dijelaskan pada pasal 7 ayat (2) Permendiknas
Nomor 28 Tahun 2010 bahwa pendidikan dan pelatihan calon kepala
sekolah/madrasah adalah proses pemberian pengalaman teoretik dan praktik
kepada calon kepala sekolah/madrasah yang telah lulus tahap rekrutmen
dalam kurun waktu yang telah ditentukan, yakni kegiatan tatap muka selama
minimal 100 jam (in service learning 1 dan 2) dan praktik pengalaman
lapangan minimal selama 3 bulan (on the job learning), sedangkan ayat (5)
menyatakan bahwa kegiatan pendidikan dan pelatihan diakhiri dengan
penilaian

untuk

mengetahui

pencapaian

kompetensi

calon

kepala

sekolah/madrasah (in service learning 2). Melalui diklat ini, diharapkan calon
kepala sekolah memiliki pengetahuan, sikap, keterampilan, keahlian dan
kemampuan yang tinggi, yg diharapkan dapat menghasilkan kinerja dan
produktivitas kerja yang tinggi. Menurut Schuler dalam Sudayat (2009) :
melalui pelatihan, pegawai
melaksanakan

akan lebih mampu dan terampil dalam

pekerjaannya,

mengurangi

kesalahan-kesalahan,

meningkatkan fleksibilitas kerja, meningkatkan komitmen pegawai, dan


mengurangi turn over & absensi.
Proses penyelenggaraan program pelatihan kepala sekolah, diawali dengan
melakukan analisis kebutuhan pengembangan keprofesian (AKPK), untuk
mengidentifikasi tingkat penguasaan kompetensi calon kepala sekolah. Dari
analisis hasil AKPK, disusunlah struktur program diklat yang merupakan
agregasi dari hasil AKPK seluruh calon kepala sekolah di suatu
kabupaten/kota. Selanjutnya dilakukan penyusunan kurikulum pelatihan
antara lain penentuan materi pelatihan yang perlu diberikan, metode,
narasumber, penyelenggara, sarana prasarana

dan lain-lain,

sampai

dilaksanakan pelatihan dan evaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana


tingkat keberhasilannya.
Pelatihan ini merupakan pola baru (tahap piloting), namun memiliki peran
yang sangat strategis, yang diharapkan mampu mencetak calon-calon
kepala sekolah yang unggul dalam pengetahuan, sikap, dan kecakapan

kekepalasekolahan, melibatkan para master trainer dan penyelenggara yang


dipersiapkan khusus untuk pelatihan calon kepala sekolah, maka penulis
terdorong untuk mengkaji sejauhmana efektivitas pelaksanaan diklat calon
kepala sekolah ini. Walaupun dalam beberapa literatur dikatakan bahwa
penentuan tingkat keberhasilan suatu program pelatihan seharusnya
dilakukan secara menyeluruh dan lengkap yang meliputi evaluasi tahapan
reaksi,

pembelajaran,

perilaku,

dan

evaluasi

tahapan

akhir/hasil,

sebagaimana dinyatakan oleh Dessler (2009), bahwa dalam mengukur


efektivitas program pelatihan, terdapat empat kategori yang dapat diukur
yaitu : reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil. Mengukur reaksi dilakukan
dengan cara mengevaluasi reaksi terhadap orang yang telah dilatih,
mengukur pembelajaran dilakukan dengan cara menguji orang-orang untuk
menentukan apakah mereka telah mempelajari prinsip, keterampilan dan
fakta yang seharusnya mereka pelajari. Dalam mengukur perilaku dilakukan
dengan cara menanyakan apakah terdapat perbedaan perilaku orang yang
telah dilatih dalam melakukan pekerjaannya dan untuk pengukuran hasil
dilakukan dengan cara mengevaluasi hasil akhir apa yang dicapai dalam
sasaran pelatihan yang telah ditentukan sebelumnya.
Mengukur reaksi dilakukan dengan cara mengevaluasi reaksi peserta diklat
terhadap pelatihan yang diselenggarakan. Dalam pelaksanaan diklat selama
ini, belum dilakukan optimalisasi dan pemanfaatan data yang diperoleh dari
peserta tentang pendapat dan perasaan peserta terhadap pelatihan yang
dilaluinya

melalui

dikumpulkan,

pengisian

namun

tidak

angket
pernah

pelatihan.
diolah

dan

Data-data

tersebut

dimanfaatkan

untuk

ditindaklanjuti dengan langkah-langkah perbaikan, penyempurnaan, serta


peningkatan kualitas layanan. Padahal sangat penting bagi penyelenggara
pelatihan untuk mengetahui :

Bagaimana peserta menilai kesesuaian isi

pelatihan dengan pekerjaannya? Bagaimana peserta menilai penguasaan


materi para pengajar pelatihan? Bagaimana peserta menilai kualitas materi
pelatihan yang disediakan dalam pelatihan ? Bagaimana peserta menilai
metode pengajaran/pelatihan yang digunakan? Bagaimana peserta menilai
pelatihan secara keseluruhan? Bagaimana peserta menilai kesesuaian

pelatihan dengan kemampuan menerapkannya di dalam pekerjaan? Apakah


pelatihan ini bermanfaat? Apakah mereka merasa senang dengan pelatihan
ini? Apakah mereka menikmati topik-topik pelatihan? Apakah presentasi
pelatihan menarik? Apakah tempatnya sesuai?, dan sebagainya.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi permasalahan di atas, maka
permasalahan tersebut dapat dirumuskan sbb:
1. Bagaimana efektivitas penyelenggaraan pelatihan menurut persepsi
peserta diklat mengenai : penguasaan materi para pengajar, kualitas
materi pelatihan, metode pengajaran/pelatihan, pelatihan ini secara
keseluruhan?
2. Seberapa jauh efektivitas program pelatihan calon kepala sekolah yang
telah dilaksanakan oleh LPMP Banten?
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Memperoleh informasi tentang efektivitas penyelenggaraan pelatihan
menurut persepsi calon kepala sekolah yang telah dilatih, mengenai :
penguasaan materi para pengajar, kualitas materi pelatihan, metode
pengajaran/pelatihan, pelatihan ini secara keseluruhan.
2. Mengetahui

seberapa

jauh

efektivitas

program

pelatihan

yang

dilaksanakan.

B. Pembahasan
Pendidikan dan Pelatihan Calon Kepala Sekolah
Pelatihan merupakan suatu kegiatan belajar mengajar dalam waktu yang
relatif singkat dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Dreher (2001) ....training in organizations has been about the
systematic acquisition of skills, rules, concepts, or attitudes that results in
improved performance in another environmental. Demikian juga pada
pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah yang dirancang
berupa kegiatan pemberian pengalaman pembelajaran teoretik maupun
praktik yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial,

kewirausahaan, supervisi, dan sosial, sehingga calon kepala sekolah


disiapkan untuk dapat menerapkan pada situasi nyata ketika sudah menjabat
sebagai kepala sekolah.
Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan
dalam kegiatan tatap muka dalam kurun waktu 70 jam pelajaran (pada in
service learning 1) dan 30 jam pelajaran (pada in service learning 2), serta
dan praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3
bulan setara dengan 200 jam pelajaran (pada on the job learning). Yang
menjadi fokus dalam kajian ini adalah pelatihan pada kurun waktu 70 jam
pelajaran pertama yaitu pada saat diklat in service learning 1.
Pelatihan yang baik, idealnya diawali dengan menganalisis kebutuhan, yang
biasa disebut dengan training need assessment atau TNA. Demikian
diungkapkan oleh Dreher (2001), high-quality training and developement
systems are characterized by some form of systematic needs assessment.
Analisis kebutuhan pada pelatihan calon kepala sekolah ini dirancang dan
dilakukan

dengan

Pengembangan

menggunakan

Keprofesian

instrumen

(AKPK).

Analisis

Butir-butir

Kebutuhan

instrumen

AKPK

dikembangkan dari indikator-indikator kompetensi yang harus dimiliki oleh


seorang kepala sekolah. Hasil AKPK menggambarkan profil kompetensi
guru, dari sisi penguasaan kompetensi kepala sekolah. Analisis hasil AKPK
secara individu, dijadikan bahan peningkatan kapasitas calon, pada saat on
the job learning dengan berpedoman pada Rencana Tindak Kepemimpinan
(RTK) yang disusun pada sessi akhir diklat (in service learning 1). Analisis
hasil AKPK secara agregat seluruh calon se-kabupaten/kota, dijabarkan
menjadi struktur program dan materi diklat calon kepala sekolah.
Pelatih pada diklat ini dipersiapkan secara khusus melalui training of trainer
calon master trainer secara nasional (National Core Trainer) oleh Lembaga
Pengembangan & Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS) Solo.

Uraian di atas menggambarkan bahwa diklat calon kepala sekolah ini


dirancang dengan baik, dari sisi kebutuhan peserta diklat, materi, metode,
pelatih, hingga penyelenggaranya. Untuk memastikan bahwa proses

pelatihan berjalan dengan baik, dirasakan bermanfaat dan relevan

oleh

peserta pelatihan, maka diperlukan cara untuk mengukur efektivitas


pelatihan yang diselenggarakan.

Mengukur Efektivitas Pelatihan


Model evaluasi untuk mengukur efektivitas pelatihan menggunakan model
evaluasi pelatihan yang dikembangkan pertama kali oleh Kirkpatrick pada
tahun 1974, teori tersebut dikenal dengan The Four Levels Techniques for
Evaluating Training Programs. Pada prinsipnya, teori ini menyatakan bahwa
proses evaluasi suatu training terdiri dari empat tingkat/level yaitu level 1
sampai dengan level 4.

Empat level tersebut adalah reaction, learning,

behavior dan results. (Dreher ; 2001)

1. Evaluasi Pelatihan level 1: Reaction


Evaluasi level ini mengukur tingkat kepuasan peserta setelah mengikuti
pelatihan. Selain itu untuk mengetahui opini dari para peserta mengenai
training yang diikutinya. Cara yang biasa dilakukan adalah meminta para
peserta untuk mengisi sebuah kuesioner yang berisi pertanyaanpertanyaan tentang reaksi dan kesan mereka atas penyelenggaraan
pelatihan tersebut.
Dalam banyak hal, penilaian reaksi mengindikasikan besarnya kepuasan
peserta. Banyak evaluator mengkritik penilaian reaksi akibat subjektivitas
ini, akan tetapi peserta pelatihanlah yang mengetahui dan merasakan
seluruh proses pelaksanaan pelatihan yang diikutinya, sehingga untuk
mengetahui

tingkat

kepuasan

penyelenggaraan

pelatihan

harus

mendapatkan informasi dari peserta pelatihan. Kirkpatrick mengatakan


bahwa evaluasi atas reaksi peserta mengenai pelatihan yang diikutinya
merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena menurutnya apabila
seorang peserta bereaksi negatif dan tidak menyukai cara-cara
penyelenggaraan pelatihan maka jangan diharapkan dia mampu
mempelajari dan memahami dengan baik materi yang disampaikan
dalam pelatihan tersebut. Hal-hal yang dievaluasi pada level ini antara

lain mengenai materi pelatihan, instruktur/ trainer, fasilitas yang


disediakan, waktu penyelenggaraan, serta metode yang digunakan.
2. Evaluasi pelatihan level 2: Learning
Tujuan evaluasi tahap ini adalah mengukur sampai sejauh mana materi
yang diberikan selama pelatihan telah dipahami, dihayati, dan diingat
oleh para peserta. Pengukuran biasanya dilaksanakan dalam bentuk
tes yang dilakukan sebelum dan sesudah training.
Tiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes) merupakan
hal-hal yang dapat berikan dalam suatu training. Oleh karenanya,
evaluasi pada level ini juga menekankan pada seberapa jauh
pembelajaran (learning) peserta atas materi pelatihan dalam konteks
meningkatkan kompetensi mereka. Kirkpatrick menekankan pentingnya
dilakukan evaluasi ini karena menurutnya jika seorang peserta tidak
dapat memahami dengan baik materi yang diberikan, maka jangan
berharap akan terjadi perubahan dalam behavior-nya saat dia kembali
ke tempat kerjanya.
Untuk mengetahui apakah seorang peserta telah memahami dengan
baik materi pelatihan yang diikutinya dilakukan pengujian sebelum dan
sesudah training (pre-test dan post-test) dengan materi yang sama atau
tidak jauh berbeda sehingga hasilnya dapat diperbandingkan. Jika
terdapat peningkatan skor hasil post-test dibandingkan pre-test maka
diyakin bahwa peserta tersebut telah memiliki pemahaman yang lebih
baik sebagai dampak mengikuti pelatihan.
3. Evaluasi pelatihan level 3: Behavior
Evaluasi level 3 dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan
yang terjadi pada diri peserta pada saat dia kembali ke lingkungan
pekerjaannya setelah mengikuti training, khususnya perubahan pada
behavior ketiga domain kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes).
Menurut Kirkpatrick, pertanyaan kritis pada evaluasi ini adalah:
perubahanperubahan dalam job behavior apa saja yang terjadi setelah
seorang pegawai mengikuti pelatihan tertentu? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, menurutnya ada tiga hal penting yang harus

diperhatikan yaitu pertama, eks-peserta tidak dapat merubah behaviornya sampai dia memperoleh kesempatan untuk melakukannya. Kedua,
sangat sukar untuk memperkirakan kapan perubahan itu akan terjadi
dan ketiga, bisa jadi eks-peserta tadi menerapkan pengetahuan dan
keterampilan barunya dalam pekerjaanya sehari-hari sekembalinya dari
pelatihan, namun kemudian tidak melakukannya lagi di kemudian hari.
Dengan kata lain,

evaluasi level 3 ini tak cukup hanya sekedar

mengukur perubahan yang terjadi pada behavior eks-peserta, namun


lebih jauh lagi perlu dievaluasi pula sejauhmana perubahan yang terjadi
tersebut dapat diterapkan dalam praktek kerja sehari-harinya. Evaluasi
ini perlu dilakukan karena bisa saja perubahan yang dialami oleh ekspeserta pelatihan berupa meningkatnya pengetahuan, bertambahnya
keterampilan,

atau

berubahnya

perilaku

dalam

kinerja

pada

kenyataanya tidak dapat membawa pengaruh besar ketika dicoba untuk


diterapkan dalam pekerjaannnya, hal mana disebabkan oleh adanya
faktor-faktor non-training yang menjadi penghambat, misalnya sistem
operasional yang kurang handal, lingkungan kerja yang kurang kondusif
dan sebagainya. Memperhatikan pentingnya penerapan perubahan
behavior dalam praktek kerja sehari-hari, Kirkpatrick juga menyarankan
perlunya diberikan bantuan, bimbingan, serta penghargaan bagi ekspeserta pelatihan ketika dia kembali ke tempat kerjanya.
4. Evaluasi pelatihan level 4: Results
Evaluasi level 4 merupakan evaluasi yang paling penting sekaligus
paling sulit dilakukan, yaitu sejauhmana pelatihan yang dilakukan
memberikan dampak/hasil (result) terhadap peningkatan kinerja ekspeserta, unit kerja, maupun lembaga secara keseluruhan.
Kirkpatrick,

Menurut

dampak pelatihan terhadap kinerja tidak mungkin

dievaluasi dalam konteks analisis keuangan. Ada dua hal yang


mendasari keyakinannya tersebut. Pertama, tidak mungkin mengukur
result yang diperoleh dari pelatihan dalam satuan keuangan untuk
kemudian

dibandingkan

dengan

biaya

yang

dikeluarkan

untuk

penyelenggaraan training tersebut. Kedua, jikapun hal pertama dapat

dilakukan, analisis yang diperoleh tidak lalu menyimpulkan bahwa


manfaat yang diperoleh merupakan hasil langsung dari program
pelatihan. Dengan kata lain, masih ada faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi peningkatan kinerja yang terjadi dan tidak semata-mata
merupakan hasil training.
Menurut Kirkpatrick, result yang diperoleh seringkali merupakan
sesuatu yang sangat sulit untuk dikuantifisir, misalnya peningkatan
kualitas kerja, produktivitas yang semakin meningkat, peningkatan
kepuasan kerja, efektivitas komunikasi, penurunan tingkat kesalahan,
peningkatan kerjasama antar pegawai, dan sebagainya. Di sisi lain,
biaya penyelenggaraan program juga terlalu sukar untuk ditentukan dan
diisolasi dari biaya-biaya lainnya. Dengan kata lain, terlalu banyak
faktor yang mempengaruhi perhitungan manfaat maupun biaya suatu
pelatihan.
Sesuai paparan di atas, maka kerangka berfikir kajian ini adalah bahwa
guru potensial yang direkomendasikan sebagai calon kepala sekolah,
dilatih

melalui

mekanisme

diklat

calon

kepala

sekolah,

yang

diselenggarakan oleh lembaga diklat yang ditunjuk, dilatih oleh pelatih


yang disiapkan khusus, dengan metode dan materi pelatihan yang
disiapkan khusus sesuai dengan analisis kebutuhan pengembangan
keprofesian, maka pelaksanaan pelatihan dapat berjalan dengan
efektif, berkesan dan berdampak, menurut persepsi peserta pelatihan.

TEMUAN & PEMBAHASAN


Kegiatan diklat calon kepala sekolah dalam durasi 70 jam pelajaran, dan dari
4 (empat) tahap model Kirk Patrick, penulis hanya akan mengkaji sampai
dengan tahap ke-2, yaitu tahap reaction dan learning. Sementara untuk
tahap ke-3 dan ke-4 (behavior dan result), akan dilakukan tindak lanjut kajian
setelah peserta pelatihan menjabat kepala sekolah.
1. Reaksi
Evaluasi level ini mengukur tingkat kepuasan peserta setelah mengikuti
pelatihan. Selain itu untuk mengetahui opini dari para peserta mengenai

pelatihan yang diikutinya. Cara yang dilakukan adalah meminta para


peserta untuk mengisi sebuah kuesioner yang berisi pertanyaanpertanyaan tentang reaksi dan kesan mereka atas penyelenggaraan
pelatihan tersebut.
Kuesioner yang digunakan berupa 6 (enam) butir pertanyaan, yang
jawabannya dipilih salah satu yang paling sesuai dengan perasaan atau
keadaan dirinya sendiri, dari mulai sangat baik, baik, cukup, kurang
dan sangat kurang.
Pertanyaan 1 (Q1) dan 6 (Q6) berisi

pertanyaan yang mengungkap

relevansi, yaitu didapat dari rerata prosentase peserta yang menilai


pertanyaan 1 dan 6 (Q1+Q6) di atas average.
Pertanyaan 2 (Q2) sampai dengan 5 (Q5) mengungkap tentang
efektivitas, yaitu didapat dari rerata prosentase peserta yang menilai
pertanyaan ke-2 sampai ke-5, (Q2-Q5) di atas average. Berikut ini adalah
butir-butir untuk instrumen reaksi.
Berdasarkan hasil pengolahan data, untuk pertanyaan relevansi Q1 yaitu
Bagaimana anda menilai kesesuaian isi pelatihan ini dengan pekerjaan
anda?, terdapat 81% menyatakan bahwa isi atau materi pelatihan ini
sangat sesuai dengan bidang pekerjaannya, dan 14% yang menyatakan
baik atau sesuai serta 1 orang (5%) yang menyatakan bahwa materi
pelatihan ini cukup, biasa saja, sehingga rerata dari Q1 adalah 95%.
Dalam pelatihan ini, substansi materi disusun berdasarkan kebutuhan
pemenuhan kompetensi kepala sekolah, yang meliputi kompetensi
kepribadian, kewirausahaan, manajerial, supervisi, dan sosial. Cakupan
kedalaman dan keluasan materi yang dilatihkan, disesuaikan dengan
kebutuhan peserta yang tercermin dari hasil AKPK. Dengan demikian
hasil dari Q1 ini menunjukkan keselarasan antara perencanaan dengan
pelaksanaan yang berkontribusi pada efektivitas pelaksanaan pelatihan.
Untuk

pertanyaan

relevansi

Q6

yaitu

Bagaimana

anda

menilai

kesesuaian pelatihan ini dengan kemampuan anda menerapkannya di


dalam pekerjaan ?, terdapat 43% menyatakan bahwa pelatihan ini sangat
sesuai dengan kemampuan menerapkannya dalam pekerjaan, dan 52%

10

yang menyatakan sesuai dengan kemampuan menerapkannya pekerjaan


serta 5% yang menyatakan bahwa pelatihan ini cukup sesuai dengan
kemampuan menerapkannya pekerjaan, sehingga rerata dari Q6 adalah
95%.
Kondisi yang tergambar pada hasil Q6 merupakan realitas bahwa pada
posisi sebagai guru saat ini, masih terdapat kendala untuk menerapkan di
tempat kerja, salah satunya adalah kendala otoritas atau kewenangan.
Namun demikian terdapat 43% peserta, yang dengan keyakinan tinggi
mampu mengimplementasikan di tempat kerjanya.
Dengan demikian jika relevansi dihitung dengan rumus (Q1 + Q6)/2
=(95% + 95%)/2 = 95%, dapat dinyatakan bahwa pelatihan ini memiliki
tingkat relevansi 95%, sangat tinggi, menurut persepsi peserta pelatihan.
Untuk pertanyaan efektivitas (Q2) yaitu Bagaimana anda menilai
penguasaan materi para

pengajar pelatihan

ini?, terdapat

48%

menyatakan bahwa pelatih (master trainer) sangat menguasai materi, dan


52%

yang menyatakan pelatih (master trainer) menguasai materi,

sehingga rerata dari Q2 adalah 100%.


Untuk pertanyaan efektivitas (Q3) yaitu Bagaimana anda menilai kualitas
materi pelatihan yang disediakan dalam pelatihan ini ?, terdapat 43%
menyatakan bahwa materi pelatihan sangat baik/berkualitas, dan 52%
yang menyatakan bahwa materi pelatihan berkualitas, dan 5% yang
menyatakan bahwa materi pelatihan cukup berkualitas, sehingga rerata
dari Q3 adalah 95%

Untuk pertanyaan efektivitas (Q4) yaitu Bagaimana anda menilai metode


pengajaran/pelatihan yang digunakan?, terdapat 33% menyatakan bahwa
metode pelatihan sangat baik, dan 67% yang menyatakan bahwa metode
pelatihan sangat baik, sehingga rerata dari Q4 adalah 100%

Untuk pertanyaan efektivitas (Q5) yaitu Bagaimana anda menilai


pelatihan ini secara keseluruhan?, terdapat 43% menyatakan bahwa
pelatihan terselenggara dengan sangat baik, dan 52% yang menyatakan

11

bahwa pelatihan terselenggara dengan baik, dan 5% yang menyatakan


bahwa pelatihan terselenggara dengan cukup baik, sehingga rerata dari
Q5 adalah 95%
Dengan

demikian

jika

efektivitas

dihitung

dengan

rumus

(Q2

+Q3+Q4+Q5)/4 =(100%+ 95% + 100%+ 95%)/4 = 98%, dapat dinyatakan


bahwa pelatihan ini memiliki tingkat efektivitas 98%, menurut persepsi
peserta pelatihan.
2. Learning
Untuk mengetahui apakah seorang peserta telah memahami dengan baik
materi pelatihan yang diikutinya dilakukan pengujian sebelum dan
sesudah training (pre-test dan post-test) dengan materi yang sama atau
tidak jauh berbeda sehingga hasilnya dapat diperbandingkan. Jika
terdapat peningkatan skor hasil post-test dibandingkan pre-test maka
diyakin bahwa peserta tersebut telah memiliki pemahaman yang lebih baik
sebagai dampak mengikuti pelatihan.
Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil effect size sebesar 0,9 atau
dalam rentang > 0,8. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan
yang besar dalam penguasaan materi pelatihan antara sebelum dan
sesudah pelatihan. Demikian juga terjadi pada kelompok peserta laki-laki
dan perempuan, terdapat perubahan yang besar dalam penguasaan
materi pelatihan antara sebelum dan sesudah pelatihan, dan kelompok
laki-laki (effect size =1,12), menunjukkan perubahan yang lebih besar
dibanding dengan kelompok peserta perempuan (effect size = 0,85).

Data tentang persepsi peserta juga didapatkan dari kuisioner

yang

menggambarkan perasaan dan pendapat peserta terhadap pelatihan ini,


yaitu :
Data pada diagram di atas menunjukkan bahwa sebagian besar peserta
pelatihan (57%) lebih menyukai metode yang diterapkan pada setiap sessi
diklat calon kepala sekolah. Hal disebabkan pada pelatihan ini, lebih
banyak menggunakan metode experiential learning, dengan jenisnya
antara lain curah pendapat, studi kasus, refleksi diri, diskusi kelompok dan

12

kelas, simulasi, penugasan individual dan kelompok, bermain peran, dan


sebagainya. Dengan kemasan profesional dari para master trainer yang
telah dilatih pada ToT sebelumnya, maka kemasan metode-metode ini
telah mampu membangkitkan semangat belajar dan cukup berkesan bagi
peserta diklat.
Namun demikian, terdapat pula beberapa hal yang menurut peserta
sebaiknya diadakan perubahan, agar pelatihan ini menjadi lebih baik.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa sebagian besar peserta
(86%) mengusulkan ide

perubahan tentang manajemen waktu, yang

semestinya diselaraskan dengan muatan materi pada setiap mata diklat,


sehingga cukup waktu bagi peserta untuk menginternalisasi substansi
materi, melalui proses membaca, merenungkan, mendiskusikan, bahkan
dengan simulasi. Hal ini memerlukan strategi dalam merencanakan
muatan materi ajar, tentang batas-batas mana yang harus disajikan dan
dipelajari dalam setiap sessi pelatihan, dari seluruh bahan ajar yang
disediakan oleh LPPKS, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
kompetensi pada AKPK peserta pelatihan.
Sebagian besar (57%) peserta merencanakan untuk mengaplikasikan halhal yang diperoleh dari pelatihan ini, di tempat kerja atau sekolah masingmasing. Dengan diperolehnya wawasan baru dari pelatihan ini, maka 29%
peserta termotivasi untuk semakin meningkatkan kinerjanya.
Terdapat 43% peserta menilai bahwa pelatihan ini sudah sangat bagus,
dan memberikan kepuasan serta cukup memberikan inspirasi dan
motivasi bagi peserta pelatihan ini. Namun demikian terdapat 33% peserta
yang berpendapat bahwa alokasi waktu pelatihan ini perlu ditambah,
dengan mempertimbangkan cakupan materi yang sangat banyak, dan
penerapan

teknik

diskusi,

sharing,

presentasi,

simulasi,

serta

penyelesaian tugas-tugas yang harus diselesaikan secara manual


maupun menggunakan komputer, yang tentunya membutuhkan alokasi
waktu yang relatif panjang.

13

Simpulan
Pelaksanaan diklat calon kepala sekolah, khususnya in service learning 1,
dirancang sedemikian rupa agar calon kepala sekolah mendapatkan wahana
yang kondusif, untuk menyerap berbagai pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang diperlukan sebagai kepala sekolah. Keberhasilan suatu kegiatan
pelatihan banyak ditentukan oleh pondasi perencanaan yang baik, dukungan
sumberdaya yang memadai, baik sumber daya manusia, biaya, hingga
sarana prasarana. Di dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan ini banyak
melibatkan unsur-unsur lain, yang memungkinkan pelaksanaan pelatihan
menjadi efektif atau bahkan sebaliknya.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai

berikut :
a. Penyelenggaraan pelatihan dapat dinyatakan memiliki efektivitas yang
tinggi, menurut persepsi peserta terhadap kualitas pelatih, kualitas
materi ajar, ketepatan pemilihan metode, pelatihan ini secara
keseluruhan.
b. Terjadi proses belajar yang signifikan pada peserta pelatihan, yang
ditunjukkan dengan besarnya effect size, yang merupakan indikasi
perubahan penguasaan materi pelatihan antara sebelum dan sesudah
pelatihan.
Daftar Pustaka
Dessler, Garry, 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia, Index, Jakarta
Dreher, George F, 2001, Human Resource Strategy, McGraw-Hill Companies
Inc, Singapore
Sudayat, Ridhwan Iskandar, 2009. Pengembangan Sumber Daya manusia.
Diunduh dari :http//ridwaniskandar.files.wordpress.com.

14

Você também pode gostar