Você está na página 1de 61

KARYA TULIS ILMIAH

AUTOPSI VIRTUAL UNTUK KEPENTINGAN PERADILAN

OLEH:
Surya Hadiwijaya
Anis Purwanti
Saesar Revita Prahadiani
M. Orto WitraWahab
Andi Amalia Nefyanti
Aviciena Bin Iskandar
Alif Via Saltika Putri

0910015002/1410029025
0910015026/1410029026
0910015048/1410029027
1010015002/1410029022
1010015030/1410029033
1010015036/1410029018
1010015024/1410029031

PEMBIMBING:
dr. Cort Darby Tombokan, Sp. F, SH
Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda, 2015

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya penulis
dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul Autopsi Virtual Untuk Kepentingan
Peradilan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si, selaku Rektor Universitas Mulawarman
2. dr. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman
1

3. dr. Sukartini, Sp. A, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
4. dr. Cort Darby Tombokan, Sp. F, SH. selaku Dosen Pembimbing di Laboratorium
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman yang telah membimbing selama proses penyelesaian Karya Tulis Ilmiah
ini dan selama proses belajar di Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal
5. dr. Daniel Umar, Sp. F, SH selaku Dosen Pembimbing Laboratorium Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman yang telah
membimbing selama proses belajar di Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal
6. Erlina Dewi Yuanda selaku Sekretaris Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman yang membantu dalam
penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
7. Seluruh staff Forensik yang turut membatu penulis selama proses belajar di
Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam
penulisan skripsi ini.
Peneliti,
Oktober 2015

ABSTRAK
Nama

: Surya Hadiwijaya, Anis Purwanti, Saesar Revita Prahadiani, Orto Witra


Wahab, Andi Amalia Nefyanti, Aviciena Bin Iskandar, Alif Via Saltika

Putri.
Program Studi : Pendidikan Profesi Dokter
Judul

: Autopsi Virtual Untuk Kepentingan Peradilan


Autopsi adalah pemeriksaan medis pada mayat, pemeriksaan tersebut dapat berupa

pemeriksaan luar maupun bagian dalam tubuh mayat yang bertujuan untuk menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi penemuan-penemuan
tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari sebab akibat antara kelainan-kelainan
yang ditemukan dengan penyebab kematian. Autopsi konvensional banyak mengalami
2

hambatan dalam pelaksanaannya, yang paling sering terjadi adalah penolakan dari pihak
keluarga. Berbeda dengan autopsi konvensional, autopsi virtual tidak memerlukan
pemotongan jaringan tubuh, tetapi menggunakan alat-alat diagnostik untuk melihat kelainan
yang terjadi pada organ-organ dalam. Alat-alat yang digunakan yaitu, Ultrasound, CT, dan
MRI. Autopsi virtual ini memiliki kelebihan dan kekurangnnya sendiri dibandingkan dengan
autopsi konvensional. Pada autopsi virtual memiliki kemampuan untuk menghentikan temuan
pada saat pemeriksaan, tanpa menimbulkan kerusakan dan memungkinkan penyelidik untuk
mengumpulkan data serta dapat mendeteksi adanya fraktur iga atau efusi perikardium, dan
pneumothoraks, sedangkan kekurangannya virtual autopsi tidak dapat mendeteksi diagnosis
penting contohnya, infark miokard, emboli paru, kanker, dan deep vein thrombosis.

Kata Kunci : Ilmu Kedokteran Forensik, Autopsi Virtual, Radiologi Forensik, Autopsi
Konvensional

ABSTRACT
Name

: Surya Hadiwijaya, Anis Purwanti, Saesar Revita Prahadiani, Orto


Witra Wahab, Andi Amalia Nefyanti, Aviciena Bin Iskandar, Alif Via

Study Program
Title

Saltika Putri.
: Pendidikan Profesi Dokter
: Virtual autopsy for Justice Interest

Autopsy is medical examination for corpse, the examination contain outside or inside
examination of bodies that aims to find disease or injury, make interpretation of findings,
explain and looking for effect of the dead cause. Konventional autopsy have many obstacle in
implementation, the most common is a rejection from victims family. Its different with
conventional autopsy, virtual autopsy doesnt require dissection of body tissue, but using
diagnostic machine such as, ultrasound, CT, or MRI to search any abnormalities in the body.
This autopsy have its own advantages and disadvantages compared to conventional autopsy.
Virtual autopsy have an abillity for freeze the findings at the moment of the investigation
without causing damage and allowing the investigator to collect the data later on. Autopsy
virtual can diagnoses, such as rib fractures, pericardial effusions and pneumothoraxes, and the
disadvantages of virtual autopsy is missed some important diagnoses such as, myocardial
infarcts, pulmonary embolism, cancer, and deep venous thrombosis.

Key Word : Legal medicine, Virtual Autopsy, Forensik Radiology, Conventional Autopsy

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................... ii
ABSTRAK............................................................................................................... iii
ABSTRACT............................................................................................................. iv
DAFTAR ISI.............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL....................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. vii
DAFTAR SINGKATAN............................................................................................. viii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1.

Latar Belakang.............................................................................................. 1

1.2.

Rumusan Masalah.......................................................................................... 2

1.3.

Tujuan......................................................................................................... 3

1.3.1.

Tujuan Umum......................................................................................... 3

1.3.2.

Tujuan Khusus........................................................................................ 3

1.4.

Manfaat....................................................................................................... 3

1.4.1.

Bagi Penulis........................................................................................... 3

1.4.2.

Bagi Mahasiswa Kedokteran dan Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik..............3

1.4.3.

Bagi Masyarakat...................................................................................... 3

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR SINGKATAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Ilmu kedokteran forensik adalah cabang spesiaistik ilmu kedokteran yang

memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan hukum dan masalahmasalah di bidang hukum (Sampurna, Samsu, & Siswaja, 2008). Dalam kepentingan
peradilan, ilmu kedokteran forensik dapat digunakan untuk membuat terangnya perkara
pidana yang menimbulkan korban manusia, baik korban hidup maupun korban mati.
Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter, diharapkan dokter dapat memberikan
keterangan tentang luka atau cedera serta penyebabnya, memperkirakan cara kematian
dan faktor-faktor penyebab kematian korban (Afandi D. , Otopsi virtual, 2009). Dalam
hal pemeriksaan pada korban mati, dilakukan pemeriksaan autopsi, yaitu pemeriksaan
medis terhadap mayat baik bagian luar maupun bagian dalam tubuh mayat, yang
bertujuan untuk menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan
interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta
mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan
penyebab kematian (Kedokteran Forensik FK UI, 2000).
Istilah autopsi berasal dari bahasa Yunani yaitu self (autos) dan I will see
(opsomei), yang berarti to see with ones own eyes. Metode ini digunakan sejak
jaman kuno. Yang pertama kali menggunakan metode ini adalah bangsa Cina, mereka
menggunakan metode ini untuk melakukan pemeriksaan organ dalam pada binatang.
Sedangkan bangsa mesir kuno menggunakan metode ini pada manusia (PerjuDumbrava, Anitan, Siserman, fulga, & Opincaru, 2010).
Di Indonesia, berdasarkan tujuannya autopsi dibagi menjadi dua, yaitu autopsi
klinik dan autopsi forensik/ autopsi medikolegal. Autopsi klinik dilakukan terhadap
mayat yang awalnya menderita penyakit, dirawat dirumah sakit tetapi kemudian
meninggal, sedangkan autopsi forensik/ autopsi medikolegal dilakukan terhadap mayat
berdasarkan undang-undang (Kedokteran Forensik FK UI, 2000). Autopsi forensik
bukan merupakan suatu keharusan untuk semua kematian, namun sekali penyidik
memutuskan

diperlukan

autopsi

maka

tidak

ada

yang

boleh

menghalangi

pelaksanaannya (pasal 134 KUHAP dan pasal 222 KUHP), dan tidak mebutuhkan
persetujuan keluarga terdekatnya. Pemeriksaan autopsi ini mendapat istilah baru, yaitu
autopsi konvensional (Afandi D. , Otopsi virtual, 2009).
1

Penatalaksanaa autopsi konvensional mengalami banyak hambatan, yang paling


sering terjadi adalah adanya penolakan dari pihak keluarga dengan berbagai alasan
seperti, alasan agama atau kepercayaannya, alasan kemanusiaan, organ atau jaringan
organ diambil atau dijual, atau organ dan jenazahnya dipakai praktikum oleh mahasiswa
kedokteran, disamping itu biaya dan proses administratif juga menjadi salah satu alasan
penolakan pemeriksaan autopsi. Berbeda halnya dengan autopsi konvensional, autopsi
virtual tidak memerlukan pemotongan jaringan tubuh, tetapi hanya menggunakan alatalat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi pada organ-organ dalam
(Afandi D. , Otopsi virtual, 2009).
Alat-alat diagnostik canggih yang digunakan dalan autopsi virtual dapat berupa,
Ultrasound, CT (Computed Tomography), dan MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Penggunaan alat-alat canggih ini sebagai pengganti autopsi konvensional telah
digunakan sekitar tahun 1990. Teknik penggabungan CT dan MRI dalam pemeriksaan
seluruh tubuh digunakan untuk mendapatkan gambaran data 2 dimensi dan 3 dimensi.
Virtual autopsi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari autopsi virtual ini
adalah kemampuan untuk menghentikan temuan pada saat pemeriksaan, tanpa
menimbulkan kerusakan dan memungkin penyelidik untuk mengumpulkan data
(Kahana & Hiss, 2005). Selain itu virtual otopsi juga dapat mendeteksi adanya fraktur
iga, efusi perikardium, dan pneumothoraks. Kekurangan dari autopsi virtual adalah
tidak dapat mendeteksi adanya infark miokard, emboli paru, kanker, dan deep vein
thrombosis (Saldiva, 2014).

1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis menemukan rumusan masalah sebagai

berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan autopsi virtual?
2. Bagaimana tekhnik dari autopsi virtual?
3. Bagaimana akurasi dari autopsi virtual?
4. Bagaimana autopsi virtual jika dibandingkan dengan autopsi konvensional?
5. Bagaimana peranan autopsi virtual untuk kepentingan peradilan?

1.3.

Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum


Mengetahui bagaimana peranan autopsi virtual dalam peradilan.

1.3.2. Tujuan Khusus


Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian dari autopsi virtual.
2. Mengetahui tekhnik dari autopsi virtual.
3. Mengetahui akurasi dari autopsi virtual.
4. Mengetahui perbandingan autopsi virtual dan autopsi konvensional.
5. Mengetahui peranan autopsi virtual untuk kepentingan peradilan.

1.4.

Manfaat
Dari penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan diperoleh manfaat sebagai berikut :

1.4.1. Bagi Penulis


Penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan menjadi sarana untuk memperluas
wawasan penulis mengenai ilmu kedokteran forensik khususnya mengenai peranan
autopsi virtual dan peranannya untuk kepentingan peradilan.
1.4.2. Bagi Mahasiswa Kedokteran dan Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik
Bagi mahasiswa kedokteran dan laboratorium kodokteran forensik, karya tulis
ilmiah ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan untuk
meningkatkan wawasan dan sebagai acuan dalam praktek kedokteran forensik terutama
dalam hal autopsi virtual dan peranannya untuk kepentingan peradilan.
1.4.3. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat secara umum karya tulis ini dapat memberi pengertian mengenai
autopsi virtual dan peranannya untuk kepentingan peradilan. Mendorong aparat
kepolisian untuk memanfaatkan ilmu kedokteran forensik dalam pembuktian di
pengadilan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Autopsi (FKUI, 2000)


Autopsi merupakan pemeriksaaan terhadap tubuh mayat, meliputi pemeriksaan
terhadap bagian luar maupun bagian dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit
dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut,
menerangkan penyebabnya serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainankelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.
Autopsi (bedah mayat) terbagi menjadi dua jenis, yaitu autopsi medikolegal dan
autopsi klinik. Autopsi medikolegal adalah autopsi yang dilakukan dalam rangka
penyidikan pihak kepolisian untuk mencari penyebab kematian serta mencari segala
informasi mengenai hal-hal yang terjadi pada korban di sekitar waktu kematian,
misalnya untuk memastikan apakah korban meninggal karena kecelakaan, bunuh diri,
dianiaya atau dibunuh. Jadi meskipun ada dugaan overdosis, kepastian baru diperoleh
setelah autopsi dan pemeriksaan toksikologi (mendeteksi adanya racun atau obat-obatan
dalam tubuh), serta harus ditentukan apakah overdosis terjadi akibat tindakan korban
sendiri atau ada orang lain yang melakukannya. Pemeriksaan luar saja, tanpa bedah
mayat, biasanya tidak cukup untuk memperoleh informasi yang lengkap (Bhaskara,
2014).
Dokter forensik yang menerima permintaan dari kepolisian untuk melakukan
pemeriksaan dan menjadi saksi ahli dalam perkara. Kesaksian ahli diberikan dalam
bentuk laporan hasil autopsi (Laporan Visum et Repertum) dan jika perlu kesaksian ahli
di pengadilan. Hasil autopsi akan diserahkan oleh dokter atau rumah sakit kepada pihak
kepolisian. Jika penyidikan masih berlangsung biasanya masih berstatus rahasia, namun
jika perkara sudah sampai ke pengadilan maka informasi tersebut bisa diakses oleh pihak
lain, termasuk pihak tersangka (jika ada) atau keluarga (Bhaskara, 2014).

Berdasarkan tujuannya, autopsi dibagi menjadi :


1. Autopsi klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang sebelumnya menderita suatu
penyakit, dirawat dirumah sakit tetapi kemudian meninggal. Untuk autopsi ini
mutlak diperlukan izin keluarga terdekat. Tujuan dilakukan autopsi klinik adalah :
Menentukan sebab kematian yang pasti

Menentukan apakah diagnosis klinis yang dibuat selama perawatan sesuai dengan
diagnosa post mortem
Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan diagnosis klinis, dan
gejala-gejala klinik
Menentukan efektifitas pengobatan
Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit
Pendidikan
Autopsi forensik, dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarkan peraturan
undang-undang dengan tujuan :
o
Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
o
Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan

saat

kematian,

memperkirakan cara kematian


Mengumpulkan serta mengenali benda-benda bukti untuk penentuan identitas

benda penyebab serta identitas pelaku kejahatan


Membuat laporan tertulis yang onyektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum

et repertum
Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu orang dalam penentuan
identitas serta penuntutan terhadap orang yang bersalah.
Untuk menentukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu surat permintaan visum dari
yang berwenang, dalam hal ini adalah penyidik. Izin keluarga tidak diperlukan,
bahkan apabila ada seseorang yang menghalang-halangi dapat ditindak sesuai
undang-undang yang berlaku.(FKUI, 2000)

2.1.1. Autopsi pada Kasus Kematian akibat Kekerasan


Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas
kekerasan yang bersifat:
1. Mekanik
Kekerasan oleh benda tajam
Kekerasan oleh benda tumpul
Tembakan senjata api
2. Fisika
Suhu
Listrik dan petir
Perubahan tekanan udara
Akustik
Radiasi
3. Kimia
Asam atau basa kuat
Pada kematian akibat kekerasan, pemeriksaan terhadap luka harus dapat
mengungkapkan berbagai hal tersebut di bawah ini.
1. Penyebab luka.
5

Dengan memperhatikan morfologi luka, kekerasan penyebab luka dapat


ditentukan. Pada kasus tertentu, gambaran luka seringkali dapat memberi
petunjuk mengenai bentuk benda yang mengenai tubuh, misalnya luka yang
disebabkan oleh benda tumpul berbentuk bulat panjang akan meninggalkan
negative imprint oleh timbulnya marginal haemorrhage. Luka lecet jenis
tekan memberikan gambaran bentuk benda penyebab luka.
2. Arah kekerasan.
Pada luka lecet jenis geser dan luka robek, arah kekerasan dapat
ditentukan. Hal ini sangat membantu pihak yang berwajib dalam melakukan
rekonstruksi terjadinya perkara.
3. Cara terjadinya luka.
Yang dimaksudkan dengan cara terjadinya luka adalah apakah luka
yang ditemukan terjadi sebagai akibat kecelakaan, pembunuhan atau bunuh
diri.
Luka-luka akibat kecelakaan biasanya terdapat pada bagian tubuh yang
terbuka. Bagian tubuh yang biasanya terlindung jarang mendapat luka pada
suatu kecelakaan. Daerah terlindung ini misalnya adalah daerah sisi depan
leher, daerah lipat siku, dan sebagainya.
Luka akibat pembunuhan dapat ditemukan tersebar pada seluruh bagian
tubuh. Pada korban pembunuhan yang sempat mengadakan perlawanan,
dapat ditemukan luka tangkis yang biasanya terdapat pada daerah ekstensor
lengan bawah atau telapak tangan.
Pada korban bunuh diri, luka biasanya menunjukkan sifat luka
percobaan (tentative wounds) yang mengelompok dan berjalan kurang lebih
sejajar.
4. Hubungan antara luka yang ditemukan dengan sebab mati.
Harus dapat dibuktikan bahwa terjadinya kematian semata-mata
disebabkan oleh kekerasan yang menyebabkan luka. Untuk itu pertama-tama
harus dapat dibuktikan bahwa luka yang ditemukan adalah benar-benar luka
yang terjadi semasa korban masih hidup (luka intravital). Untuk ini, tanda
intravitalitas luka berupa reaksi jaringan terhadap luka perlu mendapat
perhatian. Tanda intravitalitas luka dapat bervariasi dari ditemukannya
resapan darah, terdapatnya proses penyembuhan luka, sebukan sel radang,
pemeriksaan histo-enzimatik, sampai pemeriksaan kadar histamin bebas dan
serotonin jaringan. (Budiyanto , et al., 1997)

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)


Pasal 133-134, pihak kepolisian adalah yang berwenang menentukan jenis
pemeriksaan apa yang harus dilakukan terhadap mayat dan meminta dokter
forensik untuk melaksanakannya melalui Surat Permintaan Visum et Repertum.
Oleh karena itu dokter forensik dan rumah sakit tidak dapat menolak permintaan
dari kepolisian hanya berdasarkan keberatan dari pihak keluarga. Kepolisian
memang memiliki kewajiban untuk memberitahukan perlunya autopsi dan
memberi penjelasan sejelas-jelasnya kepada keluarga. Jika keluarga merasa
keberatan dan kepolisian menganggap autopsi tidak diperlukan maka akan dibuat
Surat Pencabutan Permintaan Visum et Repertum. Namun demikian, jika
kepolisian menganggap perlu dan tidak dapat dihindari lagi, autopsi tetap
dilakukan meskipun ada keberatan dari keluarga (Bhaskara, 2014).

2.2.

Medikolegal
Medikolegal adalah bidang interdisipliner yang meliputi disiplin kedokteran dan
disiplin hokum. Bidang ini membahas bagaimana ilmu kedokteran dapat membantu
menyelesaikan masalah hukum di satu pihak, dan bagaimana hukum mengatur bidang
kedokteran di lain pihak. Masalah ini mencuat pada kasus-kasus forensik, misalnya
dalam menentukan penyebab kematian yang rumit. Pembuktian atas kasus forensik,
dugaan kasus kelalaian medik, atau kasus asuransi yang mengakibatkan kecederaan atau
kematian membutuhkan analisis kausal medikolegal yang cermat (Herkutanto, 2010)
Prosedur medikolegal merupakan tatacara atau prosedur penatalaksanaan dan
berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara
garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan peundangundangan yang
berlaku di Indonesia dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan
etika kedokteran. Adapun lingkup prosedur medikolegal yaitu: pengadaan visum et
repertum, pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka, pemberian keterangan ahli pada
masa sebelum persidangan dan pemberianketerangan ahli dalam persidangan, kaitan
visum et repertum dengan rahasiakedokteran, tentang penerbitan surat keterangan
kematian dan suraat keteranganmedis, tentang fitness/kompetensi pasien untuk
menghadapi pemeriksaan penyidik (Kambey, Tomuka, & Mallo, 2013).

2.2.1.

Proses Peradilan
Berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok
Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa di Indonesia ini dikenal 4 jenis
peradilan, yaitu(Sampurna & Samsu, 2008):
1. Peradilan umum. Disebut umum oleh karena mengadili baik perkara
pidana mau pun perkara perdata.
2. Peradilan Militer. Peradilan ini hanya mengadili perkara pidana (militer)
yang dilakukan oleh oknum anggota TNI, yang kadang-kadang disertai
dengan pelanggaran disiplin.
3. Peradilan Agama. Peradilan ini hanya mengadili perkara-perkara cerai,
rujuk dan waris bagi penduduk beragama Islam.
4. Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan ini mengadili perkara dugaan
atas pelanggaran ketata-usahaan Negara yang dilakukan oleh pejabat tata
usaha Negara.
Sebagaimana Negara demokrasi lainnya, peradilan di Indonesia
merupakan peradilan yang akuntabel, yang bebas dan terbuka. Indonesia
menganut paham eropa continental yang menggunakan sistem hakim majelis
dan bukan sistem juri sebagai penentu benar atau salahnya terdakwa.
Pemeriksaan di persidangan pidana dilakukan secara aktif oleh hakim
(inkuisitorial), meskipun memberikan peluang bagi jaksa penuntut umum dan
penasehat hukum terdakwa untuk turut memeriksa (Sampurna & Samsu,
2008).
Di dalam perkaran pidana, yang bersengketa adalah antara Negara
(public) dengan individu tersangka pelaku tindak pidana. Negara diwakili
penyidik polisi dan PNS dalam masa penyidikan, dan diwakili oleh jaksa
penuntut umum dalam masa penuntutan atau persidangan. Peraturan
perundang-undangan yang diguankan adalah terutama KUHP sebagai
ketentuan norma substantif dan KUHAP yang mengatur tentang prosedur atau
tata cara bersidang pidana (Sampurna & Samsu, 2008).
Pembuktian dibebankan kepada jaksa penuntut umum dibantu oleh
penyidik, sedangkan terdakwa pelaku tidak dibebani pembuktia. Mereka
seringkali membutuhkan ahli dalam membuat terang suatu perkara.
Pembuktian dilakukan dengan mencari kebenaran yang mendekati kebenaran
materiel. Kebenaran materiel ini dicari dengan mencari alasan dilakukannya
tindakan tersebut, apakah sengaja ataukah tidak sengaja.

Cara mencapai
8

kebenaran materiel ini dilakukan melalui pembuktian beyond reasonable


doubt. Keputusan diambil setelah semua keragu-raguan yang beralasan dapat
disingkirkan (Sampurna & Samsu, 2008).
Perkara perdata yang bersengketa adalah antara dua pihak atau lebih
individu. Individu dapat brupa orang atau korporasi atau badan hukum.
Masing-masing dapat menggunakan penasehat hukum atau pengacaranya di
persidangan untuk membuktikan dalilnya masing-masing, atau dapat pula
dilakukan sendiri. Penengahnya adalah hakim yang bersifat netral dan pasif.
Pembuktian

dilakukan

oleh

masing-masing

pihak,

hakim

hanya

menimbangnya dan menilainya dan kemudian menentukan putusannya


(Sampurna & Samsu, 2008).
Alat bukti sah diperlukan dalam membuat putusan hakim. Hakim dapat
mengambil keputusan apabila sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti sah
yang membuat hakim yakin bahwa telah terjadi tindak pidana dan bahwa
terdakwalah yang melakukan tindak pidana tersebut (ps 183 KUHAP sistem
pembuktian negatif). Adil peradilan itu benar-benar adil, maka bukti yang
diajukan di pengadilan harus bukti yang sah secara hukum, yaitu yang
memenuhi prinsip admissibility (dapat diterima). Menurut pasal 184 KUHAP
menyebutkan bahwa alat bukti sah terdiri dari 5 jenis, yaitu (Sampurna &
Samsu, 2008):
1.
2.
3.
4.
5.

Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa
Menurut pasal 1 butir 28 KUHAP yang dimaksud dengan keterangan
ahli adalah keterangan yang dinyatakan oleh seorang ahli atau yang dianggap
ahli yang membuat terang suatu perkara. Untuk dapat diterima di pengadilan,
keterangan ini harus dikemas di dalam bentuk alta bukti sah, yaitu berupa alat
bukti sah keterangan ahli (pasal 186 KUHAP) atau bentuk surat (pasal 187
KUAHP) (Sampurna & Samsu, 2008).
Suatu bukti disebut bukti langsung atau direct evidence apabila bukti
tersebut telah menunjukkan bahwa benar-benar telah terjadi tindak pidana atau
bahwa pidana tersebut dilakukan oleh si terdakwa. Bukti-bukti yang tidak
dapat menunjukkan hal itu disebut sebagai bukti tidak langsung atau

circumstantial evidences. Bukti ini harus diinferensi terlebih dahulu untuk


dapat dipakai sebagai bukti (Sampurna & Samsu, 2008).
Keterangan saksi adalah keterangan yang merupakan hal-hal yang
dialami atau didengar atau dilihat sendiri oleh saksi. Keterangan saksi
dianggap sah apabila diajukan oleh sedikitnya dua orang saksi, sedangkan bila
berasal dari satu orang saja harus didiukung oleh alat bukti sah lain (Sampurna
& Samsu, 2008).
Keterangan ahli harus diberikan oleh seorang ahli yang memenuhi
persyaratan kualifikasi dan berisikan keterangan yang berada dalam lingkup
keahliannya (bukan keterangan yang bersifat awam). Ahli tidak perlu melihat,
memeriksa atau mengalami sendiri, melainkan dapat pula hanya memberikan
pendapatnya berdasarkan kelimuannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa
keterangan ahli dapat diterima apabila (Sampurna & Samsu, 2008):
1. Relevansi dan material
2. Tidak ada sanggahan atau keberatan, baik terhadap ahlinya mau pun
terahadap keterangannya
3. Bila berupa surat atau dokumen haruslah otentik
4. Sahih dan reliable. Dalam hal ini metodologi atau pun penalaran yang
digunakannya harus memenuhi aturan kesahihan dan reliabilitas
ilmiah.
5. Diperoleh dengan cara yang tidak melanggat hukum. Bukti yang
diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang sah (penyitaan, berita
acara, chain of custody, dll) dianggap tidak sah untuk diajukan ke
pengadilan.
Kualifikasi seorang ahli dapat dilihat dari almamaternya, spesialisasinya,
kesetaan dan aktivitasnya di organisasi profesinya, pengalamannya, jabatan
formalnya serta publikasinya (Sampurna & Samsu, 2008).
Ketentuan tentang surat diatur di dalam pasal 187 KUHAP. Surat harus
dibuat berdasarkan sumpah atau dikuatkan dengan sumpah. Surat dapat berupa
berita acara pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, surat
yang dibuat berdasarkan tata laksana atau prosedur yang berlaku, surat
keterangan ahli yang dibuat atas permintaab resmi, atau surat-surat lain bila
ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Rekam medic
dapat pula dijadikan alat bukti surat, terutama dalam kasus dugaan adanya
malpraktek medic (Sampurna & Samsu, 2008).

10

Saksi ahli haruslah bersikap jujur, obyektif, menyeluruh, ilmiah dan


tidak

memihak

(imparsial).

Saksi

ahli

tidak

boleh

melakukan

misrepresentasikan keahliannya maupun datanya, dalam arti bahwa data atau


fakta yang akan digunakan sebagai dasar pembuatan pendapatnya harus secara
teknis diketahui benar. Ia juga harus tetap mengikuti perkembangan ilmunya
dengan

mengikuti

pendidikan

berkelanjutan.

Sikap

imparsial

juga

menyebabkan ia tidak boleh menerima honorarium dengan cara contingency


(sesuai dengan hasil, bila menang maka honornya berlebih, atau sistem
persentase). Bila ia seorang dokter maka ia memiliki kebebasan profesi
sebagaimana dokter-dokter lain, namun tetap terikat dengan prinsip-prinsip
ilmu kedokteran, etika kedokteran, dan hukum kedokteran. Ia juga diharapkan
untuk menghindari berbicara terlalu banyak, berbicara terlalu dini, dan
berbicara dengan orang yang tidak berhak mendengar (Sampurna & Samsu,
2008).
Dokter harus bisa membedakan kausa yang menjadi tugasnya (sebab
kematian) dan kausa yang menjadi tugas hakim di pengadilan (cara kematian)
untuk menentukannya, serta dapat memberi masukan yang berharga bagi
hakim untuk dapat membuat putusan secara adil (Sampurna & Samsu, 2008).
Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi
temuannya kepada majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia
dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini
sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya
sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya
maupun korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan
diuraikan di bawah (Afandi, 2010).
Pemanggilan atau pemberitahuan oleh pihak berwenang kepada saksi
ahli, dalam hal ini dokter, disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum
tanggal hadir yang ditentukan oleh hakim di tempat tinggal saksi ahli dan
disampaikan secara langsung. Kemudian petugas membuat catatan bahwa
panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan
tanggal serta tandatangan petugas dan saksi ahli beserta alasan apabila saksi
ahli tersebut tidak mau menandatangani catatan tersebut. Surat pemanggilan
ini juga dapat disampaikan melalui kepala desa apabila yang bersangkutan
11

tidak ada di tempat tinggalnya dan melalui perwakilan Republik Indonesia


tempatnya berada apabila sedang di luar negeri (pasal 227 KUHAP).
(Budiyanto , et al., 1997)
Dokter yang dipanggil untuk menjadi saksi ahli kemudian memeriksa
surat panggilan tersebut dan dapat menghubungi jaksa yang berwenang dalam
kasus ini untuk meminta penjelasan mengenai kasus dan korban yang akan
dibahas di persidangan. Dokter kemudian dianjurkan memperkirakan
pertanyaan yang akan diajukan agar lebih siap dalam menjawabnya.
(Budiyanto , et al., 1997)
Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter
diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh korban,
bagaimana kelainan tersebut timbul, apa penyebabnya serta akibat yang timbul
terhadap kesehatan korban. Dalam hal korban meninggal, dokter diharapkan
dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan, bagaimana
mekanisme terjadinya kematian tersebut, serta membantu dalam perkiraan saat
kematian dan perkiraan cara kematian. Dokter sebagai saksi ahli memberikan
penilaian atau penghargaan tentang hasil akhir, bukan prosesnya sehingga
perlu diingat bahwa dokter itu bertindak sebagai saksi ahli bukan saksi mata
(Idries, 2009).
Sebagai saksi yang akan diajukan dalam persidangan, terlebih dahulu
harus menyampaikan curriculum vitae kepada kepaniteraan mahkamah
sebelum pelaksanaan sidang. Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang
sama yang diajukan oleh pihak-pihak dilakukan dalam waktu yang bersamaan
(AMA, 2011).
Dokter sebagai saksi ahli di pengadilan wajib mengenakan pakaian rapi
dan sopan. Dokter juga harus berpenampilan yang tidak melecehkan dirinya
sendiri ataupun lawan bicaranya. Ia harus hadir tepat waktu, berpakaian rapi,
sikap yang santun, menyiapkan data kasusnya, bersikap tegas dan yakin,
mengutarakan sesuatu yang benar dan obyektif serta menyeluruh (Sampurna,
et al., 2008).
Dokter sebagai saksi ahli yang hadir untuk mengikuti persidangan wajib
mengisi daftar hadir, menempati tempat duduk yang telah disediakan, duduk
tertib dan sopan selama persidangan serta menunjukkan sikap hormat kepada
Majelis Hakim. Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan
12

tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal
terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar
dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat
keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa
meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya (pasal 160
KUHAP butir 2). Menyangkut hal ini saksi atau ahli wajib membawa KTP,
Kartu Keluarga, Surat Nikah, Ijazah dan dokumen lainnya yang menyangkut
data dirinya karena hakim dapat saja meminta saksi atau ahli untuk
menunjukkannya di awal persidangan. Sebelum memberikan keterangan, saksi
atau ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masingmasing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya (pasal 160 KUHAP butir 3) (Budiyanto , et al.,
1997)
Di dalam berbagai dasar hukum dikatakan bahwa segala sesuatu yang
diketahui dokter dalam melakukan pekerjaannya adalah rahasia kedokteran
dan setiap dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran secara khusus
dibebankan kewajiban hukum untuk menyimpan rahasia kedokteran (pasal 1
PP no. 10 tahun 1966, pasal 170 KUHAP, pasal 53 undang-undang no. 23
tahun 1992, pasal 48 undang-undang no. 29 tahun 2004). Namun, rahasia
kedokteran tidak bersifat absolut dan dapat dibuka tanpa dianggap melanggar
etika maupun hukum, salah satunya pada keadaan memenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum. Dalam hal ini
dokter terpaksa membuka rahasia tanpa izin pasien karena adanya dasar
penghapusan pidana (straifuitsluitingsgroden) yang diatur dalam pasal 48
KUHP, pasal 50 KUHP, dan pasal 51 KUHP. Penyampaian rahasia ini dapat
dilakukan di persidangan, di depan hakim (Kristanto, et al., 2008).
Penyampaian pendapat oleh saksi dan ahli terlebih dahulu harus meminta
dan/atau mendapat izin Ketua Sidang dan setelah diberikan kesempatan oleh
Ketua Sidang. Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya (pasal 7 KODEKI). Saksi ahli
haruslah bersikap jujur, obyektif, menyeluruh, ilmiah dan tidak memihak
(imparsial). Ia juga diharapkan untuk menghindari berbicara terlalu banyak,
13

berbicara terlalu dini, dan berbicara dengan orang yang tidak berhak
mendengar. Penyerahan alat bukti atau berkas perkara lainnya melalui panitera
pengganti/petugas persidangan yang ditugaskan untuk itu (Ingeten, 2008).
Dalam pelaksanaan persidangan, dokter berhak tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya apabila pertanyaan tersebut dianggap
tidak sesuai ataupun tidak berada dalam ruang lingkup (wewenang) ilmu
kedokteran. Jawaban dari pertanyaan yang tidak sesuai tersebut disampaikan
dalam bahasa yang sopan dan tegas. Sebagai contoh: Maaf Pak hakim, saya
bukan tidak bisa menjawab, namun pertanyaan tersebut untuk saksi mata,
bukan untuk dokter (Idries, 2009).
Setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim
ketua sidang member izin untuk meninggalkannya (pasal 167 KUHAP butir
1). Sebagai saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, dokter berhak
mendapat penggantian biaya menurut perundang-undangan yang berlaku. Hak
ini disampaikan oleh pejabat yang melakukan pemanggilan kepada dokter
(pasal 229 KUHAP). (Budiyanto , et al., 1997)
Peranan medikolegal sendiri pada kasus kematian yang membutuhkan
autopsi adalah:(Shepherd, 2003)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

2.3.

Identifikasi tubuh jenazah


Memperkirakan waktu kematian
Identifikasi proses dan jumlah luka
Interpretasi pengaruh dan signifikansi luka
Identifikasi adanya penyakit alami
Interprerasi pengaruh dan signifikasi penyakit alami
Identifikasi adanya racun
8. Interpretasi pengaruh dari obat-obatan dan pembedahan

Autopsi Virtual

2.3.1. Sejarah Autopsi Virtual


Autopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat terhadap
autopsi konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam bidangmedical
imaging.Autopsi konvensional kini sering ditolak oleh anggota keluarga atautidak
ditoleransi oleh agama dalam masyarakat multikultural, hal ini yang mencetuskan
bahwa autopsi konvensionaldapat digantikan dengan pencitraan non-invasif dan jika
14

diperlukanpengambilan

sampel

jaringan

yang

dipandu

dengan

pencitraan

minimalinvasif dan olehangiografi untuk cedera pembuluh darah.Dunia kedokteran


khususnya ilmu kedokteran forensik senantiasa mengikuti perkembangan dalam
konteks keilmuannya.Autopsi virtual dengan teknik pemindaian canggih sebenarnya
sudahmulai digunakan dalam proses melakukan autopsi sejak tahun1977. Hal ini terus
berkembang sampai sekarang, pada tahun1990 sudah mulai digunakan radiografi 3
dimensi dalampemeriksaan post mortem (Afandi, 2009; Dirnhofer, Jackowski, Vock,
Potter, & Thali, 2006).
Penerapancomputed tomography(CT) pertama pada forensik adalah penjelasan
pola luka tembak pada kepala oleh Wullenweber dkk pada 1977. Karena terbatasnya
kualitas gambar dan resolusi dan output yang tidak memuaskan pada dulunya, hanya
beberapa penelitian yang dihubungkan dengan temuan patologis. Studi perbandingan
dari autopsi konvensional dan post-mortem CT dilakukan oleh Flodmark dkk pada
tahun 1980.Kemudian diperkenalkan spiral CT oleh Kalender dkk pada 1989, yang
membuka jalan menuju penghasilan dan pengolahan data radiografi 3 dimensi (3D),
namun hal ini tidak meningkatkan daya tarik ilmuan forensik dalam modalitas baru
ini.Penelitian mengenai autopsi virtual diselesaikan oleh University of Berne pada
tahun 1990, yang dikembangkan oleh Richard Dirnhofer yang merupakan mantan
Direktur Kedokteran Forensik University of Berne, yang kemudian dilanjutkan oleh
Michael Thali.Michael Thali mengatakan, Jika anda melakukan autopsi, anda akan
merusak geometri 3 dimensi dari jasad.Dengan cara non-invasif menggunakan teknik
pencitraan cross-section dapat sama-sama mendokumentasikannya.(Mahesh &
Kumar, 2015; Patowary, 2008; Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
.
Konsep dari dokumentasi objektif dan non-invasif terhadap permukaan
tubuh untuk kepentingan forensik muncul pada awal tahun 1990-an dengan
perkembangan fotografi forensik. Sebagaimana biasanya dalam ilmu forensik, ide ini
lahir dari dan dipacu oleh kebutuhan, dalam hal ini karena tingginya angka bunuh diri
di Switzerland.Pada kasus yang membutuhkan perbandingan senjata pembunuh dengan
impresi pada tengkorak korban untuk mengidentifikasi kemungkinan senjata.Pada
tahun 2000, disarankan bahwa dokumentasi permukaan tubuh dikombinasikan dengan
dokumentasi internal tubuh (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali,
2006).Michael

Thali

memperkenalkanistilahvirtopsy

atauautopsi

virtual

yang
15

membantu menentukan penyebab kematiantanpa membelah mayat. Metodeini telah


digunakansejak tahun 2006 untuk menemukan penyebab kematian mendadak
diibukota Swiss (Soltanzadeh, Imanzadeh, & Keshvari, Application of robotic assisted
technology and imaging devices in autopsy and virtual autopsy, 2014).
Tidak dapat dipungkiri bahwa autopsi virtual telah membawa angin segar
terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Pada satu sisi autopsi virtual lebih
baik jika dibandingkan autopsi konvensional dalam menegakkan diagnosisuntuk
kepentingan klinis, seperti emboli udara, pneumotoraks, dan patah tulang,akan tetapi
tidak untuk kepentingan medikolegal. Sejak berkembangnya autopsi virtual yang
dimotori olehRichard Dirnhofer, banyak para peneliti melakukan penelitianpenelitianyang berkaitan dengan autopsi virtual ini.Titikperhatian utama para peneliti
adalah

seberapa

akurat

autopsi

virtual

dibandingkan

dengan

autopsi

konvensional.Penelitian demi penelitian terus berlangsung sampai saat ini untuk


mencoba mengatasi kekurangan-kekurangan dalam autopsi virtual(Alves, Bige, Maury,
& Arrive, 2014; Afandi, 2009).
2.3.2.

Definisi
Autopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka rongga

kepala, leher, dada, perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai
dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya, baik secara fisik maupun
dengan dukungan pemeriksaan laboratorium (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).
Autopsi virtual disebut juga dengan virtopsy.Istilah virtopsy berasal dari kata
virtual dan autopsy.Kata virtual berasal dari terminologi Latin, virtus yang berarti
berguna, efisien, dan baik. Kata autopsi berasal dari terminologi Yunani, auto yang
berarti sendiri dan opsomie, melihat sehingga autopsi berarti melihat dengan mata
sendiri. Karena bertujuan untuk menghilangkan subjektivitas yang dimaksud dalam
kata autos, maka kata autos dihapus untuk menciptakan istilah virtopsyyang
merupakan gabungan darivirtual dan autopsy.Autopsi virtual adalah penerapan dari
teknik pencitraan 3 dimensi non-invasif untuk mendokumentasikan permukaan tubuh
dan organ-organ interna dari mayat untuk menentukan penyebab dan cara kematiannya
(Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006; Ibrahim, Zuki, & Noordin, 2012;
Stawicki, Aggrawal, Anil, Dean, & Bahner, 2012).

16

2.3.3. Teknik Autopsi Virtual


Berbeda halnya dengan autopsi konvensional, pada autopsi virtual tidak
memerlukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat
diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam.
Teknik pemindaian canggih sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses
melakukan autopsi sejak tahun 1977. Hal ini terus berkembang sampai sekarang, pada
tahun 1990 sudah mulai menggunakan radiografi 3 dimensi dalam pemeriksaan
postmortem (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Pada autopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan
maupun pemotongan jaringan tubuh.Dengan menggunakan teknik pemindaian yang
memungkinkan melihat secara utuh keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi
yang penting seperti posis dan ukuran luka maupun kedaan patologis lainnya dapat
diketahui dan didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan invasif.Teknik ini
diyakini menjadi alasan menghindari alasan-alasan penolakan autopsi konvensional
(Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Dalam autopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih
yang saling melengkapi yaitu:
a. Pemindaian permukaan 3-D yang di desain untuk pemetaan tubuh bagian luar.
Pengunaan alat ini dapat memberikan informasi dan menyimpan gambaran area
permukaan secara detail
b. Multi-slice computed tomography (MSCT) dan
c. Magnetic resonance imaging (MRI), yang akan dapat memvisualisasikan tubuh
bagian dalam, sehingga dapat diperiksa secara detail setiap potongan tubuh.
Selain itu dengan menggunakan MRI spectroscopy, perkiraan saat kematian dapat
diperkirakan melalui pengukuran kadar metabolit dalam otak, dan untuk sampel
pemeriksaan histopatologi forensik juga dapat diambil melalui CT guided needle
biopsy. Visualisasi sistem sirkulasi digunakan postmortem angiography
(Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

2.3.4. Keuntungan Autopsi Virtual


Penerimaan autopsi virtual sebagai pengganti autopsi konvensional tidaklah serta
merta dapat diterimadi Indonesia. Dengan adat ketimuran, masyarakat yang religius
seperti autopsi virtual merupakan angin segar untuk mengatasi permasalahan
17

penolakan autopsi konvensional. Autopsi virtual efektif dalam studimengenai luka


terutama akibat tembakan senjata api,karena dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa
merusakstruktur tubuh. Mayat tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh
pihak keluarga karena tidak dibutuhkan pisau bedah serta tidak harus memotong
tubuh (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).

Sangat efektif dalam menilai luka termasuk menyocokkan dengan senjata yang

memungkinkan. Luka dapat dinilai tanpa merusak bentuk jasad.


Tidak menggunakan metode dengan pisau bedah, sehingga tidak mengakibatkan

adanya infeksi dari darah atau cairan tubuh lainnya.


Tidak memotong bagian-bagian tubuh, sehingga dapat diperiksa ulang tanpa adanya

bekas akibat autopsisebelumnya.


Data dapat disimpan dalam bentuk digital, sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu
dengan mudah. Data digital yang diperoleh dapat dikonsultasikan kembali setiap kali
pertanyaan baru muncul atau bisa dikirim ke para ahli lain untuk meminta pendapat

kedua.
Lebih menghemat waktu dan jasad dapat segera diurus setelah proses pencitraan.
Lebih dapat diterima untuk yang berkaitan dengan suatu penyakit dan oleh
kepercayaan yang tidak menginginkan pembedahan mayat (Patowary, 2008;

Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).


Dapat menentukan posisi organ in situ yang berbeda serta menjaga keutuhan tubuh

manusia (Regger, et al., 2014).


Beberapa penelitian telah menyelidiki akurasi diagnostik post-mortem MRI
dibandingkan otopsi konvensional. Sebagian besar menunjukkan hasil yang baik
dalam mendeteksi kelainan sistem saraf pusat, tetapi relatif hasil buruk untuk deteksi
anomali jantung (Regger, et al., 2014).

Data yang disediakan 1 : 1 cocok dengan tubuh dan geometri 3D yang benar dalam sumbu
xyz atau dokumentasi spasial, yang dapat digunakan sebagai dasar ilmiah 3Drekonstruksi.

Pendekatan ini memberikan pemeriksaan alternatif atau tambahan yang "melihat"aspek yang
berbeda dari tubuh, seperti CT "melihat" dengan sinar X dan MRI "melihat" distribusikimia.

Teknik ini dapat dipertimbangkan dalam budaya dan situasi di mana autopsi tidak ditoleransi
oleh agama atau ditolak oleh anggota keluarga (misalnya, alasan psikologis).

Jasad terkontaminasi oleh infeksi, zat beracun, radionuklida, atau bio-hazard lainnya (yaitu,
bioterorisme) dapat dilakukan pemeriksaantanpa menyentuh jasad.

Sebuah pilihan strategi baru, pememeriksaandengan langkah yang bijaksana. Hal ini dicapai
dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan eksternal, kemudian mungkin pemindaian
18

CT, kemudian membaca data, kemudian mungkin MRI, dan mengevaluasi ulang data,dan
akhirnya memutuskan apakah dilakukan atau tidak untuk autopsi konvensional. Dengan
demikian, suatu kasusdapat diperiksa dengan cara yang mengoptimalkan kualitas dan biaya
(Schweitzer, Thali, Breitbeck, & Ampanozi, 2014).

2.3.5. Penerapan Autopsi Virtual


2.3.5.1.

Autopsi Virtual pada Kekerasan Kepala dan Leher


Temuan khas pada radiologis klinis sama pada pencitraan postmoretm.
Peningkatan tekanan intrakranial akibat trauma atau iskemik bermanifestasi pada
autposi sebagai herniasi tentorium pada lobus temporal atau herniasi cerebelum ke
foramen magnum, dengan penekanan pada dasar cerebelum sesuai dengan foramen
magnum temuan lain disertai dengan jika ditemukan peningkatan tekanan intrakranial.
Pencitraan postmortem memberikan visualiasi merinci. Keadaan tersebut sangat
membantu khususnya

ketika tahap pembusukan menyebabkan tidak dapat

dilaksanakannya investigasi autopsi terhadap otak yang tersisa dan memungkinan


menyingkirkan penyebab lain selain otak (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, &
Thali, 2006).

Gambar 1.Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan kematian. (kiri) Gambaran


MR yang menunjukan herniasi bagian basal cerebelum ke dalam foramen magnum. (kanan)
Foto autopsi menunjukan cerebelum, dengan pembengkakan pada tonjolan dan tanda tekanan
yang disebabkan oleh foramen magnum(Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

19

Gambar 2.Pendarahan intrakranial akibat trauma. (kiri) Gambar potongan axial pada
pencitraan memberikan gambaran hipointense pada lobus temporal kiri yang mencapai ruang
subarachnoid. (kanan) Foto autposi tehadap potongan melewati lobus temporal pada otak
yang telah difiksir dengan formalin menunjukan perdarahan yang diakibatkan trauma,
dominasi di korteks dan subkorteks (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Avhayev et al membuktikan bahwa


denganmenggunakan MSCT MRI, terjadi herniasi tonsil pada 3 pasien yang
meninggal karena kekerasan pada kepala, dan hasil yang mereka temukan kemudian
dikonfirmasi dengan autopsi konvensional. Baik hasil pemeriksaan MSCT, MRI
maupun autopsi konvensional didapatkan hasil sama. dalam penelitian ini mereka
merekomendasikan penggunaan kombinasi antara keduanya (Aghayev, et al., 2004).
2.3.5.2.

Autopsi Virtual pada Kasus Sudden Death in Infant and Children


Penelitian di Jepang, Menunjukan bahwa pemeriksaan postmortem computer
tomography (PMCT) dengan menggunakan MSCT dan MRI berperan penting dalam
mendiagnosis kasus-kasus kematian mendadak pada bayi dan anak-anak .penyebab
pasti dari kematian mendadak yang terjadi pada anak-anak sebaiknnya dilakukan
pemeriksaan PMCT dan pemeriksaan lainnya seperti riwayat penyakit, laboratorium
dan kultur bakteri (Aghayev, et al., 2004).

2.3.5.3.

Autopsi Virtual pada Jantung


Penyebab kematian paling banyak adalah insufisiensi jantung.Penyakit jantung
kronik atau iskemik akut dapat mencetus (a) pengurangan jumlah serat kontraksi
secara akut atau (b) aritmia.Sebagai tambahan, jantung sering menjadi target
perlukaan pada bunuh diri atau pada pembunuhan.Perlukaan pada jantung
memberikan manifestasi khas padapencitraan perikardial berupa tamponade jantung
dam hematothorak.Lebih jauh, kegagalan ventrikel kanan akibat emboli udara pada
cedera kranial (akibat luka tembak, luka pada kepala, luka tusuk pada leher)
merupakan penyebab paling umum kematian yang berhubungan dengan jantung.Pada
pencitraan kontras hingga teknik autopsi tradisional, gambaran CT postmortem
memungkinkan untuk pencitraan 3D terhadap struktur emboli, dengan memberikan
gambaran emboli udara (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

20

Gambar 3.Trauma jantung (luka tusuk pada jantung). (kiri) Pencitraan jantung menggunakan
MRI 2T melalui apex jantung menunjukan cedera mikard.Diikuti dengan tamponade yang
bermanifestasi sebagai endapan komponen seluler. (kanan) Fotografi terhadapspesime
menunjukan laserasi transmural dari ventrikel kiri di bagian apical (Dirnhofer, Jackowski,
Vock, Potter, & Thali, 2006).

Penelitian autopsi virtual juga dilakukan untuk medeteksi ada tidaknya infak
miokard.Penelitian dilakukan di Switzerland dengan MRI yang hasilnya kemudian
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologi.Dari hasil penelitian itu didapatkan bahwa
baik MRI maupun pemeriksaan histologi tidak mampu mendiagnosis peracute infarct
myocard. Sementara itu untuk keadaan subacute, acute dan chronic dapat dideteksi
dengan baik oleh MRI dan hasilnya sesuai denganhasil histopatologi sesuai dengan
fase infark yang terjadi (Aghayev, et al., 2004).

2.3.5.4.

Autopsi Virtual pada Paru-paru


Pemeriksaan postmortem dapat digunakan untuk menentukan penyebab
kematian.Sebagai contoh, pneumothorak dapat dengan mudah ditemukan melalui
pencitraan postmortem. Udem paru, yang mana sering terlihat pada kematian akibat
jantung atau racun, dapat diperiksa melalui pencitraan seperti peningkatan
peningkatan gambaran ground-glass pada CT atau peningkatan kepadatan pada
gambaran MR. Perlukaan paru pada potongan axial dapat ditandai dengan adanya
gambaran endapan darah.Khas pada kasus tengelam, paru bermanifestasi dengan
emphysema aquosum dan overlaping retrosternal pada lobus atas (Afandi D. , Otopsi
Virtual, 2009).

21

Gambar 4.Udem paru. (kiri) Pencitraan MR dengan 2T melalui potongan coronal


menunjukan penigkatan kepadatan paru akibat peningkatan jumlah bagian air dalam paru.
(kanan) Foto autpsi menunjukan hilangnya jaringan air setelah suction.Catatan akumulasi
edema pada paru sebagai temuan patologi forensik (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).

2.3.5.5.

Autopsi Virtual pada Hanging


Untuk menyingkirkan kasus pembunuhan yang dikuti dengan gantung diri
seolah-olah bunuh diri, ahli forensik mencari tanda-tanda vital.Pendarahan ada tempat
perlekatan otot sternokleidomastoideus atau struktur jaringan lunak membuktikan
bahwa sirkulasi masih terjadi ketika terjadi kejadian penjeratan, dan asumsi kuat
bahwa masih ada upaya bernafas melawan oklusi jalan nafas menyebabkan terjadinya
ruptur alveorlar yang tampak sebagai pneumomediastinum ada emfisema jaringan
lunak sepanjang leher (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).

Gambar 5.Tanda vital pada kasus gantung diri. (kiri) Pencitraan MR 2T pada potongan sagital
menunjukan area hiperintense pada sekitar strenoklavikula pada daerah insersi otot
sternokleidomastodeius. (kanan) foto autopsi yang menunjukan daerah pendarahan pada
daerah sekitar insersi otot sternokleiomastodeus, temuan yang yang menandakan masih
berlangsungnya sirkulasi pada saat penjeratan (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).

2.3.5.6.

Autopsi Virtual pada Kasus Tenggelam


Temuan autopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir atau
cairan tempat di mana korban tenggal dalam saluran nafas atau paru, paru-paru yang
menggembung dan kongesti, cairan dalam sinus paranasal, lambung dan dilatasi paruparu kanan dan pembuluh darah vena.Tanda-tanda tersebut merupakan variabelvariabel yang diteliti dengan menggunakan MRI dan dikonfirmasi dengan temuan
autopsi. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa adanya sendimentasi pada
22

trakea dan percabangan bronkus utama (93%), cairan di dalam sel mastoid (100%),
cairan dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru dengan gambaran groundglass. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian di Switzerland, meskipun pada
penelitian tersebut menggunakan MSCT. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan
bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang didapat tidak jauh
berbeda dengan hasil temuan autopsi dan histopatologi (Dirnhofer, Jackowski, Vock,
Potter, & Thali, 2006).
Pada

korban

tenggelam,

dari

CT

dapat

dikumpulkaninformasi

mengenaitentang volume, kepadatan, ukuran paru-paru dan jumlah cairan di


dalamnya membantu dalam mendiagnosis penyebab kematian (Junior A. F., Souza,
Coudyzer, Thevissen, Willems, & Jacobs, 2012).
Plattner (2003) melaporkan laporan kasus mengenai autopsi virtual pada kasus
tenggelam, yang ditemukan adalah massive vital decompression dengan barotrauma
pulmonal dan emboli gas mematikan berdasarkan gambaran radiologi. Dalam hal ini,
MSCT dan MRI dapat memberi gambaran perluasan dan penyebaran dari akumulasi
gas pada pembuluh darah intraparenkim dari organ-organ interna sama baiknya pada
area tubuh yang tidak dapat dijangkau oleh autopsi konvensional (Bakri & Jaudin,
Virtual Autopsy, 2005).
2.3.5.7.

Autopsi Virtual pada Kasus Penembakan


Radiografi sangat berharga dalam penyelidikan forensik dari luka tembak dan
secara umum digunakan untuk menemukan peluru, mengidentifikasi jenis amunisi
dan senjata yang digunakan, mendokumentasikan jalan peluru, dan untuk membantu
dalam pengambilan peluru.Pola distribusi fragmen logam di sepanjang jalan peluru
merupakan indikasi dari jenis amunisi yang digunakan.Selain itu, pemulihan jaket
peluru sangat penting dalam penyelidikan forensik karena jaket mengandung
karakteristik unik riflingyang memungkinkan para ahli balistik untuk mengidentifikasi
senjata dari mana peluru itu ditembakkan.Jaket peluru biasanya terbuat dari tembaga
atau paduan tembaga dan mudah dibedakan dari inti utama dari peluru pada
radiografi.Penetrator, potongan kerucut kecil logam yang terletak di ujung peluru,
dirancang untuk kaku peluru menembus sasaran.Penembus mungkin fragmen dari sisa
peluru dan memiliki penampilan yang khas di radiografi dan ketika pulih di
autopsi.Thali et al telah menunjukkan bahwa autopsi virtual dalam korban luka
tembak berguna untuk melokalisir peluru dalam tiga dimensi, mendokumentasikan
23

jalan peluru, memvisualisasikan pola fraktur yang berhubungan dengan luka tembak,
dan mengevaluasi cedera organ sebelum autopsy (Levy, et al., 2006).
Delapan korban jiwa dari kasus penembakan diperiksa pencitraan dengan
MSCT dan MRI.CT dan MRI juga mampu mendokumentasikan reaksi vital terhadap
tembakan oleh adanya emboli udara dalam jantung dan pembuluh darah dan
membentuk pola klasik akibat aspirasi darah ke paru.Dilakukan percobaan
penembakan

pada

model

tengkorak

dengan

kecepatan

tinggi,

kemudian

membandingkan pencitraan dengan hasil dari autopsi konvensional didapatkan hasil


yang sangat mirip (Bakri & Jaudin, Virtual Autopsy, 2005).
2.3.5.8.

Autopsi Virtual pada Kasus Trauma


Trauma tumpul merupakan jenis trauma yang paling sering menyebabkan
kematian.Tulang yang paling sering terkena berturut-turut adalah tulang iga, kepala,
wajah, tibia, dan pelvis.Sementara itu organ dalam yang paling sering mengalami
laserasi akibat kekerasan tumul adalah hati, paru, jantung, dan lien.Dari penelitian
didapatkan bahwa PMCT memiliki kelemahan dalam mendeteksi adanya gas dalam
rongga tubuh (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Aghayev (2004) mendokumentasikan tiga laporan kasus mengenai trauma
tumpul kepala yang fatal menggunakan post-mortem MSCT dan MRI yang
menunjukkan gambaran jejas masif pada tulang dan jaringan lunak dari kepala dan
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dengan herniasi dari tonsil serebelar.
Penemuan yang sama pada autopsi konvensional yang dilakukan setelah autopsi
virtual.Suatu laporan kasus dengan objek mendemonstrasikan new 3D real data
berdasarkan pendekatan teknologi geometrik.Aghayev (2004) mendukung pencitraan
post-mortem baik untuk alat visualiasasi yang potensial untuk mendokumentasi dan
memeriksa jejas pada tubuh (Bakri & Jaudin, Virtual Autopsy, 2005).

2.3.5.9.

Peranan Autopsi Virtual dalam Proses Identifikasi


Identifikasi pada manusia hidup maupun mayat merupakan salah satu
permintaan penyidik yang dapat digunakan untuk membantu investigasi. Indentifikasi
adalah proses perbandingan. Latar belakang informasi diperlukan dalam proses
perbandingan yang mengarahkan pada keberhasila identifikasi, radiologi memerlukan
data rekaman radiologi sebelumnya, data klinis sebelumnya, atau gambaran ciri-ciri
khas yang didapatkan dari seseorang yang dekat dengan korban. Tanda khas yang
sesuai dengan temuan pada pemeriksaan radiologi contohnya adalah, adanya prostetik
24

ortopedi atau material osteosintetik, formasi kalus pada tulang pada fraktur
sebelumnya dan adanya variasi anatomis (Loaiza, Daza, & Archila, 2013).
1. Penentuan Usia
Usia adalah karakteristik penting pada seseorang, estimasi usia pada orang
hidup atau mayat lebih akurat setelah ditemukan karakteristik sex sekunder dan
pengukuran anthropometric.
Terdapat beberapa cara untuk menentukan usia secara radiologi, yang
paling penting adalah dengan penilaian pada tulang carpal dan karakteristik gigi.
Karakteristik radiologis lain yang dapat digunakan untuk menentukan usia adalah
adanya pusat ossifikasi dan penutupan sutura kranial (Loaiza, Daza, & Archila,
2013).
Umur tulang dapat dievauasi dengan pembentukan dan gabungan dari
epifisis pada tulang panjang, dan pembentukan pada bagian tengah ossifikasi
pada tulang kecil. Umur gigi dapat dinilai dari kombinasi observasi derajat
mineralisasi bud gigi, timbulnya erupsi pada gigi, dan luasnya formasi akar gigi
(Kahana & Hiss, 2005).
2. Penentuan Jenis Kelamin
Penentuan jenis kelamin melalui pemeriksaan fisik sangat sederhana,
khususnya pada mayat, penilaian anatomi dalam dapat dilakukakan dengan
identifikasi organ genital. Pada seseorang yang pernah melakukan operasi
kelamin

pada

masa

hidupnya,

membuat

pemeriksa

bingung

dalam

mengidentifikasinya. Dalam hal ini pemeriksaan radiologis digunakan, yaitu


dengan penilaian pada morfologi kranial dan pelvis. Pengukuran area foramen
magnum dan diameter panggul.
Radiologi konvensional bukan satu-satunya pendekatan yang digunakan,
dengan kekurangan pada pemeriksaan fisik, dapat digunakan computerized axial
tomography untuk kepentingan forensik. Teknik ini dapat digunakan sebagai
pemeriksaan virtual pada genitalia dalam untuk menentukan jenis kelamin pada
seseorang (Loaiza, Daza, & Archila, 2013).
3. Identifikasi Pada Korban Bencana
Apabila terjadi bencana, yang menjadi prioritas utama saat autopsi adalah
identifikasi korban. Pada kasus dimana korban bencana mengalami multiple
fraktur atau mutilasi yang tidak memungkinkan diidentifikasi, serta pada
beberapa korban yang tidak memiliki sidik jari atau struktur gigi, sehingga teknik
radiografi sangat dibutukan (Loaiza, Daza, & Archila, 2013).

25

Identifikasi secara radiologis pada korban bencana biasa didapatkan


dengan membandingkan beberapa tanda yang ada pada antemortem dan
postmortem, contohnya tanda adanya intervensi medis contohnya, bekas operasi
atau prosedur ortopedi (Kahana & Hiss, 2005).

2.3.6. Teknik Autopsi Virtual


Virtual autopsi merupakan teknik autopsi tanpa melakukan diseksi
(pemotongan) jaringan tubuh melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih
untuk melihat kelainan yang terjadi pada organ-organ dalam (Patowary, 2008;
Apitzsch, et al., 2010). Teknik pemindaian canggih sebenarnya sudah mulai
digunakan dalam proses melakukan autopsi sejak tahun 1977 dan terus berkembang
sampai sekarang. Pada tahun 1990 sudah mulai digunakan radiografi 3 dimensi dalam
pemeriksaan post mortem (Stawicki, et al., Postmortem use of advanced imaging
techniques : Is autopsy going digital?, 2008).
Pada autopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan
maupun pemotongan jaringan tubuh.Dengan menggunaan teknik pemindaian yang
memungkinkan melihat secara komplet keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua
informasi yang penting seperti posisi dan ukuran luka maupunkeadaan patologis
lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan
invasif.Teknik ini diyakini menjadi alasan untuk menghindari alasan-alasan penolakan
autopsi konvensional (Patowary A. , 2008).Di Swedia penggunaan virtual autopsi
dapat menunjukkan visualisasi tubuh secara utuh dengan resolusi yang tinggi yang
dapat memberikan petunjuk yang kuat dalam investigasi kriminal (Ljung, Winskog,
Persson, Lundstorm, & Ynnerman).
Pada autopsi virtual digunakan kombinasi dari teknologi teknik pencitraan
yaitu:
(a) Pemindaan permukaan 3-D yang didesain untuk pemetaan tubuh bagian luar.
Penggunaan alat ini dapat memberikan informasi dan menyimpan gambaran tiga
dimensi area permukaan tubuh secaradetil.
(b) Multi-slice computed tomography (MSCT) yang memberikan informasi mengenai
keadaan patologi tubuh dan memberikan informasi yang detil mengenai cedera
traumatik. Selain itu, rekonstruksi hasil dari pencitraan CT akan berguna ketika
terdapat benda asing, misalnya proyektil atau bagian pisau (Lundstorm, et al.,
26

2012). Hasil CT bergantung pada irisan tipis dan volume yang akan ditemukan,
benda ini lebih baik untuk dokumentasi 2D dan 3D dan untuk analisa sistem
fraktur, kumpulan gas patologis (emboli udara, emfisema subkutan, trauma
hiperbarik, atau efek pembusukan), dan memberikan gambaran jaringan secara
kasar (Bewi & Suryadi, 2010).
(c) Magnetic resonance imaging (MRI), yang dapat memvisualisasikan tubuh bagian
dalam, sehingga dapat diperiksa secara detil setiap potongan bagian tubuh
(Patowary A. , 2008).MRI digunakan untuk fokus pada daerah tubuh yang
spesifik, memberikan informasi yang lengkap mengenai jaringan lunak, otot dan
organ.Dibandingkan dengan CT, MRI memberikan gambaran yang lebih baik dari
otak, thoraks, regio gaster dan jaringan lunak lainnya. (Bakri & Jaudin ,
Technology Review, 2006).Selain itu MRI jelas lebih dalam hal sensitivitas,
spesifitas, dan akurasi (Thali, Jackowski, Oesterhelweg, Ross, & Dirnhofer,
2007).
Selain itu, perkiraan saat kematian dapat diperkirakan dengan mengukur kadar
metabolit dalam otak yang muncul selama dekomposisi post mortem dengan
menggunakan MRI spectroscopy. Sampel pemeriksan histopatologi forensik juga
dapat diambil melalui CT guided needle biopsy (Patowary A. , 2008).Postmortem
biopsi masih perlu dilakukan karena resolusi pemindaian modern masih terbatas
(Thali, et al., 2007).Postmortem angiographydengan menggunakan kontras intravena
maupun arteridapat digunakan untuk visualisasi sistem sirkulasi sehingga dapat
diketahui apabila terjadi kebocoran vaskular maupun stenosis dan pada kasus-kasus
tertentu dapat membantu menentukan penyebab kematian. (Mahesh & Kumar ,
2015).Ultrasonografi juga dapat digunakan dalam autopsi virtual. Penggunaannya
bukan hanya dikarenakan ini merupakan pemeriksaan yang murah jika CT dan MRI
tidak ada, tetapi juga dapat membatu proses biopsi pada autopsi virtual (SieswerdaHoogendoorn & van Rijn, 2009).
Virtual autopsi juga dapat memberikan gambaran perubahan post mortem
misalnya, internal livores, pembusukan, pembekuan darah post mortem dan
membedakannya

dari penemuan forensik pada jantung seperti kalsifikasi,

endokarditis, infark miokardium, cedera dan kelainan morfologi yang lain. Dengan

27

menggabungkan data dan animasi, dapat dilakukan rekonstruksi gambaran cedera dan
menentukan kemungkinan penyebab (Bakri & Jaudin , Technology Review, 2006).
Peneliti Swedia telah mengembangkan software pada layar sentuh
The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table yang memungkinkan pemeriksa untuk
merepresentasikan tubuh jenazah secara virtual dengan sangat rinci dari berbagai
sudut pandang. Dari data scan tubuh jenazah yang tersedia yang dimasukkan ke
dalam program pada The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table, pemeriksa dapat
menghapus lapisan demi lapisan tubuh seperti kulit dan otot, menambah atau
menghapus jaringan dan sistem peredaran darah, memperbesar dan memperkecil dan
memotong bagian-bagian tubuh menggunakan pisau virtual (Soltanzadeh, Imanzadeh,
& Keshvari, Application of robotic assisted technology and imaging devices in
autopsy and virtual autopsy, 2014).

Gambar 6. The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table (Soltanzadeh, Imanzadeh, &
Keshvari, Application of robotic assisted technology and imaging devices in autopsy
and virtual autopsy, 2014)
2.3.7. Aplikasi Autopsi Virtual
Autopsi virtual dapat digunakan untuk berbagai situasi forensik, seperti
investigasi tanatologi, identifikasi tubuh yang busuk, kasus bencana besar, perkiraan
usia, pemeriksaan antropologi, identifikasi benda asing seperti proyektil, atau pisau,
identifikasi cedera, rekonstruksi forensik, edukasi dan penelitian (Stawicki, et al.,
Postmortem use of advanced imaging techniques : Is autopsy going digital?,
2008).Autopsi virtual dapat digunakan untuk membantu mencari penyebab kematian
28

dan dapat meningkatkan proses kerja pada suatu lembaga forensik yang memiliki
banyak kasus (Douglas, Fenton-Mulr, Kewana, & Ngema, 2012).Autopsi virtual dapat
digunakan pada kasus kematian yang wajar dan tidak wajar (Swift & Rutty,
2006).Autopsi virtual lebih diterima di masyarakat karena prosedurnya yang non
invasif.Di Amerika serikat dan Negara-negara di eropa, autopsi virtual mulai banyak
digunakan sebagai alternatif dari autopsi konvensional (Ahmad & FN, 2013).
Pada kasus tenggelam informasi yang bisa didapatkan antara lain volume,
densitas, dan ukuran paru dan jumlah cairan yang bisa membantu untuk menentukan
penyebab kematian (Junior A. d., Souza, Coudyzer, Thevissen, Willems, & Jacobs,
2012).Pada kasus cedera akibat proyektil senjata api susah untuk diperiksa karena
biasanya peluru tidak di dalam badan, atau dialihkan oleh struktur anatomi atau bisa
di bagian tubuh yang tidak diketahui. Oleh karena itu, mengetahui lokasi proyektil
sebelum autopsi dapat mendukung pemeriksaan (Junior A. d., Souza, Coudyzer,
Thevissen, Willems, & Jacobs, 2012).Gambaran pada autopsi virtual dapat
memberikan gambaran yang menyerupai keadaan-keadaan antemortem pada beberapa
kasus tertentu, sebagaimana tercantum dalam tabel 1 dan tabel 2.
Non trauma
Pada penelitian, post mortem computed tomographic (PMCT) dari paru-paru
dilakukan pada 150 kasus kematian nontrauma dengan henti jantung paru (gagal
jantung akut). Pemeriksaan CT dilakukan 2 jam setelah kematian dan gambaran yang
ditemukan antara lain perbedaan densitas, ground glass attenuation (GGA),
konsolidasi, efusi pleura dan defek udara endotrakeal. Autopsi konvensional yang
dilakukan pada 16 kasus, menemukan bahwa adanya GGA dalam CT scan pada gagal
jantung akut berhubungan dengan edema paru. Pada penelitian ini ditemukan bahwa
ketika CT Scan paru tidak menunjukkan adanya perbedaan densitas sehingga
diperlukan analisis lebih lanjut mengenai penyebab kematian (Bakri & Jaudin ,
Technology Review, 2006).
Infeksi
Laporan kasus oleh Jackowski (2005) menunjukkan bahwa autopsi pada
kasus infeksi bisa didapatkan dan divisualisasikan dengan pencitraan post mortem dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologi dan mikrobiologi untuk mendukung
teknik autopsi dengan invasi minimal (Bakri & Jaudin , Technology Review, 2006).
29

Jantung
Penyebab kematian paling banyak adalah insufisiensi jantung.Penyakit jantung
kronik atau iskemik akut dapat mencetus (a) pengurangan jumlah serat kontraksi
secara akut atau (b) aritmia.Sebagai tambahan, jantung sering menjadi target
perlukaan pada bunuh diri atau pada pembunuhan.Perlukaan pada jantung
memberikan manifestasi khas pada pencitraan perikardial berupa tamponade jantung
dam hematothoraks.Lebih jauh, kegagalan ventrikel kanan akibat emboli udara pada
cedera kranial (akibat luka tembak, luka pada kepala, luka tusuk pada leher)
merupakan penyebab paling umum kematian yang berhubungan dengan jantung.Pada
pencitraan kontras hingga teknik autopsi tradisional, gambaran PMCT memungkinkan
untuk pencitraan 3D terhadap struktur emboli, dengan memberikan gambaran emboli
udara (Dirnhofer, Christian, Vock, Potter, & Thaili, 2006).
Infark miokard dapat dideteksi dengan autopsi virtual.Penelitian yang
dilakukan di Switzerland dengan MRI dan selanjutnya di konfirmasi dengan
histopatologi

menunjukkan

bahwa

tidak

dapat

dilakukan

penegakan

diagnosispreacute infarct myocard.Sedangkan keadaan subacute, acute dan chronic


dapat dideteksi dengan baik oleh MRI dan hasil yang didapatkan sesuai dengan hasil
histopatologi sesuai dengan fase infark yang terjadi (Afandi D. , Otopsi Virtual,
2009).Keadaan penurunan fraksi ejeksi yang menyebabkan insufisiensi jantung akut
atau oleh letal ventrikular takikardi dapat dilihat pada gambar 7 Keadaan ini
merupakan keadaan yang penting bagi forensik sebagai penyebab kematian (Afandi
D. , Otopsi Virtual, 2009).

30

Gambar 7. Acute Myocardial Infarction, (A) MRI, (B) Histologi: Nekrosis Sentral pada Lesi dengan Serat-Serat
Eoshinophilik tanpa Inti dan terdapat Contraction Band Necrosis.H$E x400 II.Chronic Myocardial Infarction,
(A,B,C) MRI, (D) Makropatologi, (E&F) (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009)

Paru-paru
Pemeriksaan postmortem dapat digunakan untuk menentukan penyebab
kematian.Sebagai contoh, pneumothoraks dapat dengan mudah ditemukan melalui
pencitraan postmortem. Udem paru, yang mana sering terlihat pada kematian akibat
jantung atau racun, dapat diperiksa melalui pencitraan seperti peningkatan
peningkatan gambaran ground-glass pada CT atau peningkatan kepadatan pada
gambaran MR. Perlukaan paru pada potongan axial dapat ditandai dengan adanya
gambaran endapan darah (Dirnhofer, Christian, Vock, Potter, & Thaili, 2006).
Khas pada kasus tengelam, paru bermanifestasi dengan emphysema aquosum
dan overlaping retrosternal pada lobus atas (Dirnhofer, Christian, Vock, Potter, &
Thaili, 2006).

31

Gambar 8. Udem paru. (kiri) Pencitraan MR dengan 2T melalui potongan coronal


menunjukan peningkatan kepadatan paru akibat peningkatan jumlah bagian air dalam
paru. (kanan) Foto autopsi menunjukan hilangnya jaringan air setelah suction.Catatan
akumulasi edema pada paru sebagai temuan patologis forensik (Dirnhofer, Christian,
Vock, Potter, & Thaili, 2006).
Burn
Thali,

melaporkan

sebuah

kasus

korban

terbakar.Metode

radiologi

menggunakan MSCT dan MRI memungkinkan ditemukannya penyebab trauma


adalah kebakaran sebaik autopsikonvensional (metabolisme udara dan aspirasi
darah).Dia menyimpulkan bahwa pencitraan post mortem merupakan alat visualisasi
forensik dengan kemampuan yang baik pemeriksaan korban terbakar.
Laporan

kasus

lain

dari

Thali

yang

bertujuan

untuk

menilai

penggunaanmagnetic resonance microscopy(MRM) dari sampel jaringan (kulit


dengan gambaran luka listrik) dibandingkan dengan pemeriksaan histologi rutin, dan
didapatkan hasil bahwa gambaran 3D MRM menunjukkan gambaran histologi yang
lengkap dari daerah yang mengalami perlukaan sebaik daerah normal disekitarnya,
dan temuan ini sesuai dengan gambaran histologi (Bakri & Jaudin , Technology
Review, 2006).
Sudden Death in Infant and Children
Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan
MRI dan MSCT berperanan penting dalam mendiagnosis kasus-kasus kematian
mendadak pada bayi dan anak-anak. Penyebab pasti dari kematian mendadak yang
32

terjadi pada anak-anak sebaiknya dilakukan pemeriksaan PMCT dan pemeriksaan


lainnya seperti riwayat penyakit, laboratorium dan kultur bakteri. Dari 15 pasien yang
meninggal secara mendadak, 2 kasus dilakukan autopsi konvensional dan hasil
autopsi sesuai dengan hasil PMCT sebelum dilakukan autopsi (Noda, et al., 2013).
Tabel 1 Tanda-tanda radiologi post-mortem non spesifik menyerupai patologi antemortem (Adeney, 2012)
Gambaran Radiografi

Penyebab

Patologi ante mortem

Hilangnya diferensiasi antara

Hipoksia post mortem

Kematian otak/ stroke berat

korteks otak dan medulla;

menyebabkan edema otak

pembengkakan otak
Hiperdensitas sinus sagittal

Lividitas (sedimentasi darah)

Trombosis sinus venosus

Gelembung gas di pembuluh

Pembusukan bakteri. Onset

Emboli udara, trauma

darah, sistem empedu dan

cepat berarti tidak ada bukti

penetrasi, infeksi

sepanjang perbatasan organ,.

eksternal dari pembusukan

ground-glass opacitylokal di

livor mortis internal dari paru-

Aspirasi, kontusi paru,

paru-paru

paru

pneumonia

Hiperdensitas dinding aorta

Kontraksi dinding aorta

Aterosklerosis

posterior dan vena serebral

dengan lividity
Kaliber aorta berkurang atau

Relaksasi tekanan darah

Exsanguination

Lividitas

Tromboemboli paru

Maggot infestation

Tumor, abses, benda asing

Vanishing aorta
Pembekuan intra vaskular
hiperdensitas pada arteri
pulmonalis
Distorsi jaringan lunak di
struktur luar misalnya mata,
hidung dan alat kelamin,
dengan area radio opasitas
campuran.

33

Tabel 2 Tanda-tanda radiologi post-mortem spesifik menyerupai patologi ante-mortem


(Adeney, 2012)
Gambaran radiografi

Penyebab

Patologi Antemortem

Hipodens didalam permukaan

Heat epidural, akibat

Epidural atau subdural

tulang tengkorak

bocornya darah dari

hematoma

diploe tulang tengkorak dari


paparan panas misalnya
korban terbakar
Dilatasi jantung kanan

Kongesti darah selama

Kardiomegali, stenosis katup

kematian

trikuspid

Sekali jantung terhenti.


Mungkin juga menunjukkan
emboli paru.
Hipodens pada sinus paranasal

Sisa air akibat tenggelam

Fluid level indikasi infeksi

Gas intrahepatik

Emboli gas sistemik dari

Riwayat endoscopic

trauma terbuka, sering ke

retrograde

kepala. Bisa juga disebabkan


oleh tenggelam.

cholangio-pancreatography,
Formasi fistula pada fleksura
hepatik dari kolon, Kolangitis,
emboli udara

2.3.8. Kerugian Virtual Autopsi


Belum cukupnya data yang membuktikan bahwa autopsi virtual lebih unggul dari
autopsi konvensional

Teknik autopsi virtual membutuhkan biaya yang lebih besar


Tidak mungkin dapat melihat dengan jelas kelainan patologi yang ada dengan

autopsi virtual
Tidak dapat memberikan data status infeksi
Tidak dapat membedakan antara luka antemortem dengan luka postmortem
34

Sulit membedakan perubahan warna organ


Sulit membedakan artefak postmortem
Jaringan kecil ataupun penemuan yang penting mungkin saja terlewatkan
Teknik autopsi radiografi tidak mendeteksi semua penyebab dari kematian.
Termasuk di daerah ini adalah kenyataan bahwa autopsi virtual tidak memiliki
kemampuan untuk menunjukkan ekstravasasi kontras aktif atau proses lainnya
yang membutuhkan metabolisme dan/atau peredaran darah untuk divisualisasikan.
(Mahesh & Kumar, 2015; Stawicki,et al., 2008; Patowary, 2008)

2.4. Autopsi Konvensional vs Autopsi Virtual


Otopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat akan otopsi
konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam medical imaging. Dunia
kedokteran khususnya ilmu kedokteran forensik senantiasa mengikuti perkembangan
dalam konteks keilmuannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa otopsi virtual telah
membawa angin segar terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Pada satu
sisi otopsi virtual lebih baik jika dibandingkan otopsi konvensional dalam menegakkan
diagnosis untuk kepentingan klinis, akan tetapi tidak untuk kepentingan medikolegal.
Penelitian demi penelitian terus berlangsungsampai saat ini untuk mencoba mengatasi
kekurangan- kekurangan dalam otopsi virtual.Untuk Indonesia, penerimaan otopsi
virtual sebagai pengganti otopsi konvensional tidaklah serta merta dapat diterima.
Dengan adat ketimuran, masyarakat yang religious seperti otopsi virtual merupakan
angin segar untuk mengatsi permasalahan penolakan otopsi konvensional. (Afandi D. ,
2009; Weustink, Hunink, van Dijke, Renken, & Krestin, 2009)
Namun harus diingat bahwa banyak hal yang harus kita bahas menyakut
penerimaan otopsi virtual di Indonesia. Hal-hal yang harus kita pertimbangkan antara
lain adalah:
a.

Cost and benefit dari otopsi virtual juga harus mendapat pertimbangan.
Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan
senjata api, karena dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh.
Mayat tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga karena
tidak dibutuhkan pisau bedah serta tidak harus memotong tubuh. Belum cukupnya
data yang membuktikan bahwa otopsi virtual lebih unggul dari otopsi konvensional,
tidak mungkin dapat melihat dengan jelas kelainan patologi yang ada dengan otopsi

35

virtual, tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara
luka antemortem dengan luka postmortem, sulit membedakan artefak postmortem,
sulit membedakan perubahan warna organ, jaringan kecil mungkin saja terlewatkan.
(Afandi D. , 2009; Bolliger & Thali, 2015)
b.

Masalah biaya.
Bila kita memperhatikan teknik otopsi virtual, maka akan dibutuhkan biaya yang
amat besar dan alat-alat untuk melakukan otopsi virtual tidak tersedia pada setiap
rumah sakit di Indonesia.
c. Otopsi virtual juga memiliki bias dalam mendiagnosis
d. Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal-hal yang
berhubungan dengan penyalahgunaan obat, hal yang paling baik adalah otopsi virtual
cukup mengambil posisi sebagai tes penyaring saja.
e . Jepang sebuah negara maju dan sudah lama menekuni otopsi virtual ini tetap hatihati dengan PMCT, ada 3 peraturan yang mereka laksanakan hingga saat ini yaitu
1. PMCT sebagai skrining untuk penyebab kematian,
2. skrining kandidat untuk dilakukan otopsi dan
3. komplementer untuk otopsi konvensional.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah aspek medikolegal otopsi virtual sebagai
alat bukti yang sah dalam system peradilan di Indonesia, untuk ini memerlukan kajian
yang lebih lanjut. Terlebih lagi mengingat bahwa interest based otopsi virtual adalah
untuk mendiagnosa penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep otopsi forensik yang lebih
mengedepankan untuk proses penegakan hukum dan peradilan. (Afandi D. , 2009)
Autopsi konvensional telah menjadi gold standard selama berabad-abad, tetapi
terdapat 15 % kesalahan diagnosis walaupun teknik yang telah ditemukan sudah
maju.Pada penelitian yang dilakukan oleh Roberts, terdapat perbedaan diagnosis antara
autopsi konvensional dan autopsi virtual. (Roberts, et al., 2014)Kerabat yang menolak
permintaan autopsy dan adanya teknik diagnostic modern berkontribusi dalam
penurunan jumlah autopsy selama decade terakhir.Autopsi virtual menggunakan
pencitraan modern adalah inovasi terbaru yang bisa mengatasi masalah ini. (Wichmann,
Heinemann, Weinberg, & Vogel, 2014)
36

Penelitian mengenai autopsy virtual di departemen kegawatdaruratan atau


perawatan intensif menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam berbagai kondisi
dibandingkan dengan autopsy konvensional.Walaupun begitu, beberapa keterbatasan
telah ditemukan seperti dalam mengidentifikasi penyakit kardiovaskular karena tidak
adanya sirkulasi darah setelah kematian. Pada penelitian yang dilakukan Wichmann
dkk, pemeriksaan terhadap pasien yang mati secara tidak terduga, metode angiografi
PMCT(post mortem computed tomography) meningkatkan kemampuan autopsy virtual
dalam menyesuaikan diagnosis post mortem dengan dugaan antemortem dan juga untuk
mengidentifikasi diagnosis tambahan yang baru. Terdapat 73 diagnosis tambahan yang
terdeteksi, 51 diagnosis merupakan kondisi vascular, termasuk 4 infark miokard
diklasifikasikan sebagai diagnosis mayor, yang merupakan keuntungan terbesar dari
teknik ini. (Wichmann, et al., 2014; Wichmann, etal., 2012)
Pencitraan post mortem memiliki satu keuntungan dan satu kerugian besar
dibandingkan dengan pencitraan klinis.Tidak adanya artefak gerak menyebabkan
dihasilkannya data yang optimal, dimana tidak adanya sirkulasi sehingga sulit untuk
menggunakan kontras. (Thali M. , et al., 2003; zer, Yldrm, & Enginyurt, 2012;
Ross, Bolliger, Ampanozi, Oesterhelweg, Thali, & Flach, 2014)
Autopsi virtual dan autopsi konvensional mencapai hasil yang sama-sama
memuaskan dalam mengkonfirmasi diagnosis penyakit respiratorik dan perdarahan.
Selain penyakit kardiovaskular, autopsi konvensional menghasilkan hasil yang lebih
baik untuk penyakit neoplasma, sementara autopsi virtual menunjukkan hasil yang
memuaskan dalam mendeteksi pasien trauma (Wichmann, Heinemann, Weinberg, &
Vogel, 2014; Levy, et al., 2007)
Terdapat beberapa kekurangan dari autopsy virtual.Pertama, tidak baiknya
pencampuran darah dan medium kontras di lumen vascular dan adanya pembekuan
darah postmortem menyebabkan seringnya terjadi diagnosis yang salah.Kedua, deteksi
dari tumor ganas oleh PMCT angiografi sulit, terutama dalam mendeteksi metastasis
kecil dari tumor tersebut.Sehingga, autopsi konvensional masih menjadi gold standard
dalam penyakit hematologi dan onkologi. Ketiga, PMCT angiografi membutuhkan dana
yang besar dan kemampuan teknis yang tinggi dalam menyiapkan jenazah dalam
mendiseksi pembuluh darah, mengoperasikan medium kontras, dan CT scan.
(Wichmann, Heinemann, Weinberg, & Vogel, 2014)
37

Autopsi konvensional juga lebih baik dalam menilai suatu cedera eksternal
dibandingkan dengan autopsy virtual.Dari penelitian yang dilakukan oleh Zerbini dkk,
hanya dua dari tiga lesi yang dapat digambarkan dalam autopsy virtual. (Zerbini, et al.,
2014)

Tabel 3. Perbandingan antara metode autopsi. (Zerbini, et al., 2014)


Kekuatan Autopsi Virtual
a. Identifikasi
Salah satu dari pertanyaan besar dari kasus forensik adalah identitas dari
jenazah. Bukan hanya untuk membuat surat kematian dan bukan hanya untuk
membantu keluarga menemukan kerabat yang hilang, identifikasi juga digunakan
untuk melengkapi biografi, yang datanya akan digunakan dalam pemeriksaan
selanjutnya.
Metode identifikasi yang dilakukan sekarang adalah perbandingan data gigi
geligi, sidik jari, dan DNA dari jenazah dengan data antemortem atau DNA dari
anggota keluarganya.
Dengan menggunakan CT postmortem, beberapa sifat yang diwariskan dapat
diidentifikasi.Misalnya secara anatomi, seperti struktur dari sinus frontalis, perubahan
degenerative dari tulang seperti tulang belakang, fraktur yang sudah sembuh, dan
kalsifikasi tertentu. Adanya implant surgical, seperti plat, wires, scruw, pacemaker,
prostesa sendi dapat digunakan dapat mengidentifikasi jenazah tidak dikenal. CT
adalah pemeriksaan yang cepat, hanya beberapa menit untuk melakukannya, sehingga
CT sangat berguna dalam mengidentifikasi jumlah jenazah yang banyak, seperti pada
kasus bencana besar.
b.

Pelengkap dari autopsy konvensional. Autopsi virtual tidak banyak


membutuhkan kontak fiisik dan banyak merusak jaringan. Contohnya pada saat
memeriksa otak, struktur anatomis, contohnya tulang tengkorak dan pelapis vertebra
38

dibiarkan intak, sehingga jaringan serebral tetap dalam kondisi anatomis. Metode ini
lebih unggul dibandingkan dengan autopsi konvensional, dimana pada otak sering
terjadi pengeluaran cairan serebrospinal setelah tulang tengkorak dibuka.
Autopsi virtual tidak merusak struktur jenazah sehingga sangat membantu dalam
menentukan lesi dalam beberapa kasus, contohnya pada fraktur kominutif multipel pada
tulang tengkorak setelah terkena pukulan dan tembakan. Pada autopsy konvensional
harus dilakukan pengangkatan scalp yang akan menyebabkan fragmen tulang tengkorak
saling terlepas dan membutuhkan waktu untuk melakukan rekonstruksi. Dengan CT,
pola fraktur lebih mudah diamati dan bahkan dapat menentukan trauma yang terjadi
lebih dulu, trauma tumpul atau tembakan.
Contoh lainnya emboli udara.Emboli udara sulit didiagnosis pada autopsi.Metode
konvensional tidak akurat, hanya untuk emastikan adanya udara di dalam jantung, dan
tidak bisa memastikan apakah udara tersebut sudah masuk ke dalam system vascular
membentuk emboli atau seberapa banyak udara yang ada.CT tidak hanya bisa
menunjukkan adanya udara namun juga menunjukkan jumlah dan distribusi udara
dengan akurat.
Beberapa bagian dari tubuh juga sulit untuk diperiksa, contohnya korda spinalis
yang biasanya rusak secara umum ketika melakukan ekstraksi otak saat autopsy.CT dan
MRI dapat memberikan informasi mengenai korda spinalis.
Wajah juga salah satu bagian tubuh yang biasanya diperiksa menggunakan
pencitraan. Dengan teknologi pencitraan forensik, jaringan lunak dan tulang dari wajah
dapat diperiksa dengan cara yang tidak destruktif sehingga kerabat bisa melihat jenazah
dengan kerusakan minimal di wajah bahkan setelah autopsi.
c. Demonstrasi di pengadilan
Presentasi yang jelas dan mudah dimengerti sangat penting untuk meja
peradilan.Pencitraan forensik dapat membantu situasi ini dengan menghadirkan
gambaran yang jelas dan mudah dimengerti dibandingkan foto jenazah yang hanya bisa
dimengerti dan disimpulkan oleh dokter.
Lebih penting lagi, data yang didapatkan dapat disimpan dan bisa digunakan lagi
setelah jenazah dikubur atau dikremasi atau setelah terjadi penyembuhan luka pada
korban hidup, dan memungkinkan untuk diperiksa ulang.Selain itu data yang dihasilkan
disimpan dalam bentuk digital, sehingga bisa dengan mudah dikirim ke mana saja
(Patowary A. , 2008; Bolliger & Thali, 2015)
d. Risiko Infeksi

39

Tidak ada metode pembedahan, sehingga tidak berisiko terinfeksi dari darah atau
cairan tubuh jenazah (Patowary A. , 2008)
e. Waktu
Tidak membutuhkan waktu lama dan jenazah dapat diberikan kepada keluarga
sesaat setelah selesai diperiksa (Patowary A. , 2008)
Kelemahan (Bolliger & Thali, 2015):
a. Autopsi virtual memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan metode
konvensional. Salah satunya adalah warna. Warna, begitu juga dengan tekstur dan
bau dari suatu organ adalah alat diagnostic yang penting dan tidak dapat
ditunjukkan dengan pencitraan forensik.
b. Pembusukan yang sudah lama atau adanya laserasi ekstensif juga dapat menjadi
keterbatasan dari beberapa metode seperti angiografi yang tidak bisa dilakukan
karena kesulitan di dalam memasukkan medium kontras.
c. Kurangnya sumber daya juga menjadi kelemahan dari autopsy virtual. Bidang
radiologi forensik adalah bidang yang baru, sehingga sedikit orang yang
berpengalaman dalam menginterpretasikan hasilnya. Selain itu, tidak semua rumah
sakit besar memiliki unit CT dan MR. Walaupun ada, unit ini khusus digunakan
untuk memeriksa pasien hidup, tidak di prioritaskan untuk memeriksa jenazah.
Kurangnya biaya juga menghambat perkembangan autopsi virtual.

40

BAB III
PEMBAHASAN
Di Inggris, ilmu kedokteran forensik pertama kali digunakan pada akhir 1700an untuk
menentukan apakah kematian disebabkan oleh bunuh diri. Apa yang bermula dari inspeksi
sederhana terhadap jenazah manusia telah berkembang menjadi cabang ekstensif ilmu
kedokteran yang kita kenal sekarang sebagai autopsi. Saat ini, ilmu kedokteran forensik
sekarang mengharuskan ketepatan dan akurasi. Teknik-teknik modern seperti MRI dan CT
scan digunakan pada pemeriksaan kematian, dan autopsi virtual secara perlahan mulai
menggantikan teknik diseksi anatomical konvensional dari jenazah. (Samarasekara)
Penggunaan pencitraan radiografi untuk keperluan pengadilan sudah dimulai sejak
lama. Fotoradiologi, pertama kali diterima sebagai bukti di pengadilan terjadi di Denver
tahun 1896, walaupun kasus tersebut sudah dimulai sejak 15 Juni 1895. James Smith jatuh
dari tangga saat memangkas pohon dan mengalami cedera panggul. Awalnya tidak ditemukan
adanya tanda patah tulang. Bagaimanapun juga, gugatan perdata telah dilakukan, dan pada
Smith dilakukan empat kali foto polos radiologi. Akhirnya gambaran tulang yang patah dapat
diidentifikasi. Muncul perdebatan penggunaan foto polos ini sebagai bukti di pengadilan.
Beberapa menolak menggunakannya dengan alasan bila ini terjadi pada orang meninggal,
makahal ini sama dengan menggunakan foto hantu sebagai bukti. Namun pada akhirnya foto
polos ini diterima sebagai bukti pada tahun 1896 oleh hakim Le Fevre. Ini merupakan awal
penggunaan foto polos sebagai bukti diperadilan. (NHS Implementation Sub-Group of the
Department of Health Post Mortem, Forensic and Disaster Imaging Group, 2012).
Radiografi forensik adalah lebih dari pencitraan potongan tubuh manusia atau
fragmen peluru, melainkan aplikasi dari teknologi pencitraan diagnostic dan pemeriksaan
terhadap berbagai pertanyaan hukum. Teknologi radiologi bukan hanya telah memaparkan
bukti yang legal bagi penanganan kasus-kasus hukum, tetapi juga telah mengarahkan pada
perkembangan teoretis dan praktis legal baru tentang bukti visual (Kudlas, M.Ed, Odle,
Kisner, ELS, & B.A, 2010)
Pencitraan postmortem dalam bentuk foto polos telah digunakan selama beberapa
tahun sebagai tambahan maupun pengganti autopsi. Namun dalam 2 dekade terakhir terjadi
peningkatan ketertarikan dan investigasi dalam penggunaan teknik yang lebihlanjut, missal
Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), dalam investigasi
kematian. Pencitraan CT memiliki beberapa keuntungan dibanding autopsi itu sendiri, karena
memberikan gambaran detil dari tubuh yang susah dilihat oleh jaksa dan memberikan
41

dokumentasi dari kelainan atau cedera tanpa merusak jaringan. (Bryce, 2013). Pencitraan CT
juga digunakan dalam menetukan/mendeteksi benda asing, kasus pada tulang, dan adanya gas
patologi (Persson, Falk, Berge, & Jaclowski, 2013). Kematian akibat kelainan bawaan juga
dapat dideteksi dengan CT Angiografi (Votino, et al., 2012).Walaupun autopsi virtual tidak
memberikan gambaran histology dan metabolic seperti autopsi konvensional namun virtual
lebihunggul. (Kaur, Chaudhary, Gupta, & Singh, 2014). Sohail et al, mengatakan bahwa
virtual autopsi sama baiknya dengan autopsi konvensional dalam mengidentifikasi infeksi
paru dan penyebab kematian yang wajar, bahkan lebih baik dalam mengidentifikasi fraktur
vertebra (Sohail, Mirza, & Khan, 2010). Sedangkan Levy menyebutkan MSCT berguna
dalam membantu untuk menentukan penyebab kematian oleh karena kejadian traumatic dan
MRI akan sangat berguna untuk melihat adanya kerusakan jaringan lunak. Ia menambahkan
bahwa MSCT dapat pula digunakan sebagai alat pre-triase autopsi untuk mengarahkan pada
kasus-kasus korban missal sebagai contoh bencana badai Katrina. (Mitka, 2007)
Saatini, autopsi virtual belum dapat menggantikan posisi dari autopsi konvensional,
melainkan sebagai pelengkap yang memberikan informasi tambahan (Stawicki, et al.,
Postmortem use of advanced imaging techniques : Is autopsy going digital?, 2008).Institusi
forensik di Bern, Swiss, merupakansatu-satuny ainstitusi yang memiliki 3D surface scan,
CTScan, MRI, CT angio dan alat biopsy khusus yang digunakan untuk kepentingan forensik.
Seluruh alat di atas digunakan untuk tujuan

pendidikan dan investigasi kematian pada

beberapa kasus. Contohpenggunaanalat-alat tersebut untuk kepentingan forensik adalah


sepertiga dari seluruh kasus kematian yang diaporkan dilakukan pencitraan CT sebagai
tambahan dalam autopsi, yang berarti pencitraan ini dilakukan setelah terdapat permintaan
dari penyidik untuk dilakukan autopsi. Penggunaan virtual autopsi sebagai tambahan untuk
autopsi juga dapat ditemukan di lembaga institusi forensik lain di Swiss, misalnya the
Institute of Forensik Medicine Zurich menggunakan CT Scan untuk setiap kasus kematian
dan MRI untuk kasus tertentu. Selanjutnya, pencitraan forensik dapat digunakan bukti dalam
kasus pembunuhan serta dalam kasus percobaan pembunuhan, penyerangan atau
membahayakan di persidangan pidana Swiss. Di negara-negara Eropa lainnya juga
menggunakan praktek serupa, virtopsy / pm pencitraan forensik dalam "peradilan" sistem
investigasi kematian (Zimmermann, 2011).
CT scan dan MRI dapat dipergunakan untuk mendiagnosis fraktur berat, arah masuk
peluru dalam kasus luka tembak, pembusukan, kerusakan kardiovaskuler, kasus tenggelam,
bekuan ddarah, benda asing, kerusakan otak dan paru, mendokumentasikan kerusakan,
perencanaan autopsi, dan autopsi terbatas. Gambaran digital yang dihasilkan memiliki
42

aplikasi yang dipertimbangkan dalam dunia medis untuk tujuan penegakan diagnosis,
pendidikan dan penelitian. Beberapa teknik dapat menghadirkan barang bukti forensik yang
kuat untuk digunakan pada kasus-kasus hukum legal. (Soltanzadeh, Imanzadeh, & Keshvari,
2014)

Di Denmark, Aarhus, Kopenhagen dan Odense, menggunakan pmCT sebagai


tambahan untuk autopsi dalam semua kasus kecuali tubuh tidak sesuai dengan pemindai.
Kopenhagen adalah hanya salah satu dari tiga lembaga forensik di Eropa (selain Bern dan
Zurich) memiliki pemindai MRI khusus forensik untuk kasus-kasus tertentu (dan tujuan
ilmiah). Pada semua kasus (dugaan) pembunuhan, hal yang tidak diketahui dari kematian,
kasus narkoba dan kematian mendadak yang tidak terduga di penjara dan rumah sakit
dilakukan autopsi dan pmCT (atau pmMRI) sebagai tambahan (Zimmermann, 2011).
DiSwedia, Linkping, lembaga forensik menggunakan pmCT yang ditempatkan di
pusat penelitian sebagai tambahan untuka utopsi. Departemen kepolisian memutuskan
tentang metode pemeriksaan, yang dalam hampir semua kasus diperlukan autopsi, termasuk
autopsi virtual. Lima lembaga forensik Swedialainnya di Stockholm, Uppsala, Stockholm,
Gothenburg, Umea dan Lund mengikuti praktek yang sama, tetapi menggunakan CT di
rumah sakit (Zimmermann, 2011). CT dapat dipergunakan sebelum pemeriksaan medikolegal
untuk perluasan dasar keputusan autopsi, atau dapat pula digunakan sebagai tambahan pada
autopsi untuk semua kasus atau pada kasus-kasus tertentu. Bila tersedia, CT harus dilakukan
untuk kasus-kasus trauma, termasuk trauma tembak, kasus kekerasan anak dan pada proses
identifikasi (Leth P. m., 2013)
Fasilitas forensik di negara-negara Eropa lainnya menggunakan CT (atau MRI) di
rumah sakit sebagai tambahan untuk autopsi, seperti misalnya lembaga forensik Perancis di
Toulouse, Marseille, Grenoble, Rouen, Rennes, Lyon. Di luar Eropa, dua departemen forensik
Australia di Newcastle (NSW) dan Brisbane (QLD), satu lembaga forensik di Singapura,
kementerian kesehatan Israel (yang memiliki MRI scanner tambahan), satu lembaga forensik
di Malaysia, fasilitas forensik di Arab Saudi, tiga lembaga Amerika (Kantor kepala pemeriksa
medis di Baltimore / Maryland, Kantor Pemeriksa Medis di Albuquerque / New Mexico,
yang memasang juga scanner MRI, dan Pangkalan Angkatan Udara AS di Dover / Delaware
hanya untuk kematian militer) dan 19 lembaga forensik di Universitas Jepang menggunakan
CT scanner mereka sendiri untuk melakukan pmCT sebagai tambahan untuk autopsi forensik
dalam kasus-kasus mencurigakan. Dua dari 19 departemen kedokteran hukum di Jepang ini,
Fukui dan Tohuku, memiliki pemindai MRI hanya untuk tujuan forensik (Zimmermann,
43

2011).MSCT adalah metode radiologis yang sangat baik dalam mendokumentasikan cedera
tulang dan emboli udara di seluruh tubuh. Dikarenakan memiliki ontras jaringan yang lebih
baik, MRI lebih cocok. Telah diketahui bahwa penggunaan rutin dari PMCT sebelum autopsi
sangatlah berguna. PMCT menyuguhkan gambaran 3D tubuh secara cepat, termasuk bagianbagian yang tidak secara rutin dapat terinvetigasi, memberikan patologis kesempatan untuk
mempersiapkan dan menyesuaikan prosedur autopsi akan dilakukan. PMCT menyuguhkan
gambaran dari pola cedera yang sulit didapatkan melalui autopsi, membuat identifikasi
karakteristik pola cedera yang spesifik pada kasus-kasus seperti kecelakaan lalu lintas lebih
mudah dilakukan (Leth P. M., 2015). Pencitraan post-mortem adalah alat visualisasi forensik yang
baik dengan potensi yang besar untuk dokumentasi dan pemeriksaan (Thali M. , et al., 2002)

Selainitu, virtual autopsi juga digunakan sebagai skrining pre-autopsi yang digunakan
sebagai alternatif autopsi konvensional (Stawicki, et al., Postmortem use of advanced
imaging techniques : Is autopsy going digital?, 2008). Di Victoria Institute of Forensik
Medicine (VIFM), Melbourne, Australia, sebagai salah satu

lembagaterkemuka adalah

pencitraan forensik, pada tahun 2005 telah memiliki CT scanner yang dipasang di kamar
mayat VIFM dan semua orang yang meninggal

dilakukan pencitraan CT, kecuali tubuh

jenazah tidak cocok dengan scanner, misalnya karena berat badan mereka>150 kg. Pencitraan
CT digunakan untuk memberikan informasi bagi ahli forensik, misalnya mengenai penyebab
kematian, serta untuk keperluan identifikasi. Autopsi virtual juga digunakan sebagai alat trias
kepentingn untuk membantu memutuskan apakah autopsi konvensional diperlukan atau tidak.
Dengan adanya autopsi virtual, jumlah autopsi konvensional telah mengalami penurunan, di
sisi lain jumlah pemeriksaan termasuk investigasi toksikologi, pemeriksaan luar dan
pencitraan CT selama pemeriksaan pendahuluan telah secara signifikan meningkat.
Pencitraan CT di VIFM yang digunakan selama pemeriksaan awal yang menentukan perlu
tidaknya autopsi lanjutan (Zimmermann, 2011).
Kebanyakan lembaga forensik Jerman menggunakan peralatan CT (ataujarang MRI)
di rumah sakit untuk tujuan postmortem. Untuk pengadilan pidana Jerman, autopsi harus
dilakukan dan pencitraan CT (atau jarang MRI) dapat berfungsi sebagai tambahan autopsi
dalam kasus pidana tersebut. Namun, di Kode Acara Pidana Jerman, pencitraan CT (atau
MRI) digunakan sebagai skrining untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan autopsi
(Zimmermann, 2011).
Di institut forensik di Hamburg, pencitraan CT bahkan rutin dilakukan, dan telah
menjadi standar dalam pemeriksaan forensik yang memberikan data tambahan bila
diperlukan autopsi lanjutan (Vogel, et al., 2013). Pemeriksaan ini juga digunakan sebagai
44

triase selama pemeriksaan, untuk memutuskan apakah sebuah autopsi harus dilakukan atau
tidak. Oleh karena itu, pencitraan CT telah digunakan misalnya di Bremen untuk menghindari
autopsi forensik (Zimmermann, 2011).
Di Jepang, autopsi virtual menggunakan CT (atau MRI) yang ada di rumah sakit. Tak
satu pun dari bagian forensik ini memiliki sebuah CT atau MRI scanner khusus dalam sebuah
kasus digunakan autopsi virtual dengan pemeriksaan luar dan pencitraan CT. Namun, apabila
selama proses peradilan autopsi konvensional perlu dilakukan untuk mendapatkan data lebih
lanjut, maka autopsi konvensional dapat dilakukan oleh ahli forensik. Selama proses
peradilan, jenazah disimpan di departemen hukum obat apabila sewaktu-waktu perlu
dilakukan autopsi (Zimmermann, 2011).
Di Oxford, Inggris, autopsi virtual, baik CT maupun MRI, digunakan untuk
menghindari autopsi konvensional pada kasus risiko tinggi, seperti HIV. Namun, dalam kasus
kematian mencurigakan atau (diduga) kasus pembunuhan, pencitraan CT (atauMRI)
umumnya digunakan sebagai tambahan untuk autopsi di Inggris (Zimmermann, 2011). Di
Italia, lembaga forensik di Foggia, Milan, Padua, Bari dan Messina, pencitraan CT atau MRI
dilakukan di rumah sakit sebagai rutinitas. Secara umum, ahli forensik di Italia dapat secara
sah menggunakan CT Scan atau MRI sebagai tambahan autopsi. Namun, dalam kasus
bencana alam, seperti misalnya gempa bumi, dengan lebih dari 10 korban, pencitraan CT atau
MRI sudah diganti autopsi forensik tradisional (Zimmermann, 2011).
Di Indonesia autopsi forensik tidak merupakan keharusan bagi semua kematian,
namun sekali diputuskan oleh penyidik perlunya autopsi maka tidak ada lagi yang boleh
menghalangi pelaksanaannya (pasal 134 KUHAP dan pasal 222 KUHP), dan tidak
membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya (Sampuna, Samsu, & Siswaja, 2008).
Penerimaan autopsi virtual di Indonesia sebagai pengganti autopsi konvensional tidaklah
serta merta dapat diterima. Dengan adat, ketimuran, masyarakat yang religious seperti autopsi
virtual

merupakan

angin

segar

untuk

mengatasi

permasalahan

penolakan

autopsikonvensional. Namun harus diingat bahwa banyak hal yang harus kita bahas
menyangkut penerimaan autopsi virtual di Indonesia. Tidak kalah pentingnya adalah aspek
medikolegal autopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan di Indonesia,
untuk ini memerlukan kajian yang lebih lanjut. Terlebih lagi mengingat bahwa interest based
autopi virtual adalah untuk mendiagnosa penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep autopsi
forensik yang lebih mengedepankan untuk proses penegakan hukum dan peradilan (Afandi d.
, 2009).

45

Pencitraan CT atau MRI pre-autopsi mulai banyak digunakan di bidang


forensik.Walaupun gold standar tuntuk pemeriksaan forensik masih autopsi konvensional,
tetapi autopsi virtual mulai memiliki peranan penting dalam kasus forensik dalam beberapa
decade terakhir (Simons, Sassenberg, Schlemmer, & Yen, 2014). Autopsi virtual/ pencitraan
forensik seharusnya digunakan dalam investigasi kematian modern, sebagai tambahan dalam
pemeriksaan autopsi konvensional maupun sebagai pemeriksaan awal untuk menentukan
perlu atau tidaknya dilakukan autopsi lebih lanjut. Autopsi virtual digunakan di negara
dimana autopsi konvensional tidak diterima secara cultural. Tidak ada masalah maupun
kendala dalam menentukan apakah autopsi virtual digunakan sebagai bukti peradilan maupun
sebagai pemeriksaan/investigasi/pembelajaran lebih lanjut untuk kepentingan medis atau
pendidikan. Teknik ini secara cepat mendapatkan popularitasnya diranah medikolegal dan
dapat dijadikan alternative prosedur autopsi standart dikarenakan memiliki berbagai
keuntungan, diantaranya arsipnya dapat dengan mudah didapatkan untuk kepentingan
medikolegal dan jenazah yang toxic dapat dengan mudah diperiksa tanpa adanya
kontaminasi, memakan lebih sedikit waktu, membantu dalam menegakkan diagnosis lebih
baik dan memberikan kenyamanan pada beberapa penganut agama maupun kepercayaan
tertentu (Zimmermann, 2011) (K.B. & Periya, 2013) (Thali, Jackowaski, Oeterhelweg, Ross,
& Dirnhofer, 2007)

46

BAB IV
PENUTUP
4.1.

Kesimpulan
Penerimaan autopsi virtual di Indonesia sebagai pengganti autopsi konvensional

tidaklah serta merta dapat diterima. Dengan adat, ketimuran, masyarakat yang religious
seperti autopsi virtual merupakan angin segar untuk mengatasi permasalahan penolakan
autopsi konvensional. Namun harus diingat bahwa banyak hal yang harus kita bahas
menyangkut penerimaan autopsi virtual di Indonesia. Tidak kalah pentingnya adalah aspek
medikolegal autopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan di Indonesia,
untuk ini memerlukan kajian yang lebih lanjut. Autopsi virtual/ pencitraan forensik
seharusnya digunakan dalam investigasi kematian modern, sebagai tambahan dalam
pemeriksaan autopsi konvensional maupun sebagai pemeriksaan awal untuk menentukan
perlu atau tidaknya dilakukan autopsi lebih lanjut. Autopsi virtual digunakan di negara
dimana autopsi konvensional tidak diterima secara cultural. Tidak ada masalah maupun
kendala dalam menentukan apakah autopsi virtual digunakan sebagai bukti peradilan maupun
sebagai pemeriksaan/investigasi/pembelajaran lebih lanjut untuk kepentingan medis atau
pendidikan.
4.2.

Saran
Berdasarkan penulisan karya tulisan ilmiah ini penulis memberi saran:

1.

Dilakukan peningkatkan peran dokter dan dokter forensik dalam penggunaan autopsi

2.

virtual sebagai pelengkap autopsi konvensional.


Dilakukan kajian lebih lanjut mengenai aspek medikolegal autopsi virtual di Indonesia.

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Adeney, L. (2012). Virtopsy : post-mortem examination - could soon be


less of a messy business. 12-15.
2. Afandi, d. (2009, Juli). Otopsi Virtual. Maj. Kedok Indon , 59.
3. Aghayev, E., Yen, K., Sonnenschein, M., Ozdoba, Christof, Thaili, M. J., et al.
(2004). Virtopsy Post-mortem Multi-slice Computed Tomography (MSCT)
and Magnetic Resonance Imaging (MRI) Demonstrating Desending Tonsillar
Herniation: Comparation to Clinical Studies. Neuroradiology , 46-64.
4. Ahmad, M., & FN, R. (2013). Virtual autopsy : a new trend in forensic
investigation. JAFMC Bangladesh , 100-106.
5. Bakri, R., & Jaudin , R. (2006, February). Technology Review. Virtual
Autopsy , pp. 1-13.
6. Bakri, R., & Jaudin, R. (2005). Virtual Autopsy. Technology Review , 1-13.
7. Bewi, S. M., & Suryadi, T. (2010). Penentuan sebab kematian virtual
autopsi. 1-10.
8. Bolliger, S., & Thali, M. (2015). Imaging and virtual autopsy: looking back.
Philosophical Transactions B .
9. Bryce, C. (2013). The Impact of Advances in Post-Mortem Imaging on
Forensic Practice. Journal of Forensic Science & Criminology .
10.Dirnhofer, R., Christian, J., Vock, P., Potter, K., & Thaili, M. J. (2006).
Virtopsy : minimally invansive, imaging guided virtual autopsy.
RadioGraphics , 1305-1333.
11.Dirnhofer, R., Jackowski, C., Vock, P., Potter, K., & Thali, M. (2006).
VIRTOPSY: Minimally Invasive, Imaging guided Virtual Autopsy.
RadioGraphics , 1305-1333.
12.Douglas, T. S., Fenton-Mulr, N., Kewana, K., & Ngema, Y. (2012).
Radiological findings at a South African forensic pathology laboratory in
cases of sudden unexpected death in infants. SA JOURNAL OF
RADIOLOGY , 4-6.
13.Junior, A. d., Souza, P. C., Coudyzer, W., Thevissen, P., Willems, G., &
Jacobs, R. (2012). Virtual autopsy in forensic sciences and its applications
in the forensic odontology. Rev Odonto Cienc , 5-9.

48

14.Junior, A. F., Souza, P. H., Coudyzer, W., Thevissen, P., Willems, G., &
Jacobs, R. (2012). Virtual autopsy in forensic sciences and its applications
in the forensic odontology. Rev Odonto Cienc , 5-9.
15.K. T., & Periya, E. A. (2013, Jul-Dec). Virtopsy (virtual autopsy): A new
phasse in forensic investigation. J. Forensic Dent Sci , 146-148.
16.Kahana, T., & Hiss, J. (2005). Forensic Radiology. Forensic Pathology
Reviews vol.3 , 443-459.
17.Kaur, N., Chaudhary, R., Gupta, P., & Singh, B. (2014). Digital Autopsy:
Moving From Fiction to Reality. J Indian Acad Forensic Med , 195-198.
18.Kedokteran Forensik FK UI. (2000). Teknik Autopsi Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
19.Kudlas, M., M.Ed, Odle, T., Kisner, L., ELS, & B.A. (2010). The State of
Forensic Radiography in the United States.
20.Leth, P. M. (2015). Computed Tomography in Forenic Medicine. Danish
Medical Journal , 1-26.
21.Leth, P. m. (2013). CT Scanning in Forensic Medicine.
22.Levy, A. D., Abbott, R. M., Mallak, C. T., Getz, J. M., Harke, H. T., Champion,
H. R., et al. (2006). Virtual Autopsy: Preliminary Experience in High-Velocity
Gunshot Wound Victims. Radiology .
23.Levy, A., Harcke, H., Getz, J., Mallak, C., Caruso, J., Pearse, L., et al. (2007).
Virtual Autopsy: Two- and Threedimensional Multidetector CT Findings in
Drowning with Autopsy Comparison. Radiology .
24.Ljung, P., Winskog, C., Persson, A., Lundstorm, C., & Ynnerman, A. Full body
virtual autopsies using a state of the art volume rendering pipeline. IEEE
VGTC, (pp. 1-7). Swedia.
25.Loaiza, G. A., Daza, A. F., & Archila, G. A. (2013). Applications Of
Conventional Radiology In The Medical Forensic Field. Rev Colomb Radiol ,
3805-3817.
26.Lundstorm, C., Persson, A., Ross, S., Ljung, P., Lindholm, S., Gyllensward, F.,
et al. (2012). State of the art of visualization in post mortem imaging.
APMIS Volume 120 , 316-326.
27.Mahesh, S., & Kumar , S. R. (2015). Critical Evaluation and Contribution of
Virtopsy to Solved Crime. Research Journal of Forensic Sciences , 1-9.
28.Mitka, M. (2007). CT, MRI Scan Offer New Tools For Autopsy. Medical News
& Persepctive , 298.
29.NHS Implementation Sub-Group of the Department of Health Post Mortem,
Forensic and Disaster Imaging Group. (2012). Can Cross-Sectional Imaging
49

as an Adjunct and/or Alternative to the Invasive Autopsy be


ImplementedCan Cross-Sectional Imaging as an Adjunct and/or Alternative
to the Invasive Autopsy be Implemented within The NHS? Leicester:
National Health Service.
30.Noda, Y., Yoshimura , K., Tsuji, S., Ohashi, A., Kawasaki, H., Kaneko, K., et
al. (2013). Postmortem computed tomography imaging in the investigation
of nontraumatic death in infants and children. BioMed Research
International , 1-5.
31.zer, E., Yldrm, A., & Enginyurt, O. (2012). Virtopsy - Penetrating Head
Trauma Caused by a Shovel Handle : A Case Presentation. Cumhuriyet
Medical Journal , 360-364.
32.Patowary, A. (2008). Virtopsy one step forward in the field of forensuc
medicine- A review. J Indian Acad Forensic Med , 32-36.
33.Patowary, A. (2008). Virtopsy: One Step Forward In The Field Of Forensic
Medicine - A Review. J Indian Acad Forensic Med , 32-36.
34.Perju-Dumbrava, D., Anitan, S., Siserman, C., fulga, I., & Opincaru, I.
(2010). Virtopsy - an alternative to the conventional autopsy. Romanian
Journal of Legal Medicine vol. XVIII No.1 , 75-78.
35.Persson, A., Falk, J., Berge, J., & Jaclowski, C. (2013). Atlanto-Axial Rotatory
Subluxations in Postmortem CT. Forensic Science International .
36.Roberts, I., Benamore, R., Benbow, E., Lee, S., Harris, J., Jackson, A., et al.
(2014). Postmortem Imaging as an Alternative to Autopsy in the Diagnosis
of Adult Deaths: a Validation Study. Lancet , 136-142.
37.Ross, S., Bolliger, S., Ampanozi, G., Oesterhelweg, L., Thali, M., & Flach, P.
(2014). Postmortem CT Angiography: Capabilities and Limitations in
Traumatic and Natural Causes of Death. RadioGraphics , 830-846.
38.Regger, C. M., Bartsch, C., Martinez, R. M., Ross, S., Bolliger, S. A., Koller,
B., et al. (2014). Minimally invasive, imaging guided virtual autopsy
compared to conventional autopsy in foetal, newborn and infant cases:
study protocol for the paediatric virtual autopsy trial. BMC Pediatrics , 1-5.
39.Saldiva, P. H. (2014). Minimally invasive autopsies : a promise to revive the
procedure. Autopsy and Case Repost , 1-3.
40.Samarasekara, A. Forensic Medicine. 29.
41.Sampuna, B., Samsu, Z., & Siswaja, T. D. (2008). Peranan Ilmu Forensik
dalam Penegakan Hukum. Jakarta.
42.Sampurna, B., Samsu, Z., & Siswaja, T. D. (2008). Peranan Ilmu Forensik
Dalam Penegakan Hukum. Jakarta.

50

43.Schweitzer, W., Thali, M., Breitbeck, R., & Ampanozi, G. (2014). Virtopsy.
Institute of Forensic Medicine , 1-13.
44.Sieswerda-Hoogendoorn, T., & van Rijn, R. R. (2009). Current techniques in
postmortem imaging with specific attention to paediatric applications.
Pediatr Radiol , 141-152.
45.Simons, D., Sassenberg, A., Schlemmer, H.-P., & Yen, K. (2014). Forensic
Imaging for Causal Investigation of Death. Korean J Radiol , 205-209.
46.Sohail, S., Mirza, F. H., & Khan, Q. S. (2010). Postmortem computed
tomography for diagnosis of cause of death in male prisoner. J Pak Med
Assoc , 4-8.
47.Soltanzadeh, L., Imanzadeh, M., & Keshvari, H. (2014). Application of
robotic assisted technology and imaging devices in autopsy and virtual
autopsy. International Journal of Computer Sciences Issues , 104-109.
48.Soltanzadeh, L., Imanzadeh, M., & Keshvari, H. (2014). Application of
robotic assisted technology and imaging devices in autopsy and virtual
autopsy. International Journal of Computer Science Issues , 104-109.
49.Soltanzadeh, L., Imanzadeh, M., & Keshvari, H. (2014, July). Application of
robotic assistedtechnology and imaging devices inautopsy and virtual
autopsy. International Journal of Computer aciences Issue .
50.Stawicki, S. P., Aggrawal, A., Dean, A. J., Bahner, D. A., Steinberg, S. M.,
Stehly, C. D., et al. (2008). Postmortem use of advanced imaging
techniques : Is autopsy going digital? 17-26.
51.Stawicki, S. P., Aggrawal, A., Dean, A. J., Bahner, D. A., Steinberg, S. M.,
Stehly, C. D., et al. (2008). Postmortem use of advanced imaging
techniques : Is autopsy going digital? OPUS 12 Scientist , 17-26.
52.Swift, B., & Rutty, G. N. (2006). Recent Advances in Postmortem Forensic
Radiology. Forensic Pathology Reviews , 355-404.
53.Thali, M. J., Jackowaski, C., Oeterhelweg, L., Ross, S. G., & Dirnhofer, R.
(2007). The Swiss virtual autopsy approach. Leg Med , 9, 100-104.
54.Thali, M. J., Jackowski, C., Oesterhelweg, L., Ross, S. G., & Dirnhofer, R.
(2007). Virtopsy - the swiss virtual autopsy approach. Legal medicine ,
100-104.
55.Thali, M. J., Ross, S., Oesterhelweg, L., Grabherr, S., Buck, U., Nather, S., et
al. (2007). Virtopsy - Working on the future of forensic medicine.
Rechtsmedizin , 7-12.
56.Thali, M., Yen, K., Plattner, T., Schweitzer, W., Vock, P., Ozdoba, C., et al.
(2002). Charred Body: Virtual Autopsy with Multi-slice Computer
Tomography and Magnetic Resonance Imaging. forencis Science , 47.
51

57.Thali, M., Yen, K., Schweitzer, W., Vock, P., Boesch, C., Ozdoba, C., et al.
(2003). Virtopsy, a New Imaging Horizon in Forensic Pathology: Virtual
Autopsy by Postmortem Multislice Computed Tomography (MSCT) and
Magnetic Resonance Imaging (MRI)a Feasibility Study. J Forensic Sci .
58.Vogel, B., Heinemann, A., Tzikas, A., Poodendaen, C., Gulbins, H.,
Reichenspurner, H., et al. (2013). Post-mortem computed tomography
(PMCT) and PMCT-angiography after cardiac surgery. Possibilities and
limits. ARCH. MED. SD. KRYMINOL , 155-171.
59.Votino, C., Cannie, M., Segers, V., Dobrescu, O., Dessy, H., Gallo, V., et al.
(2012). Virtual autopsy by computed tomographic angiography of the fetal
heart: a feasibility study. Ultrasound Obstet Gynecol , 679684.
60.Weustink, A., Hunink, M., van Dijke, C., Renken, N., & Krestin, G. (2009).
Minimally Invasive Autopsy: An Alternative to Conventional Autopsy?
Radiology .
61.Wichmann, D., Heinemann, A., Weinberg, C., & Vogel, H. (2014). Virtual
Autopsy With Multiphase Postmortem Computed Tomographic. Annals of
Internal Medicine , 534-541.
62.Zerbini, T., Ferraz da Silva, L., Gonc, I., Ferro, Kay, F., Junior, E., et al.
(2014). Differences Between Postmortem Computed Tomography and
Conventional Autopsy in a Stabbing Murder Case. Clinics , 683 - 687.
63.Zimmermann, D. (2011). Virtopsy & forensic imaging: legal parameters
and impact. AsiaPacific Coroners Society Conference, (pp. 1-22).
Queensland.

52

53

Você também pode gostar