Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
OLEH:
Surya Hadiwijaya
Anis Purwanti
Saesar Revita Prahadiani
M. Orto WitraWahab
Andi Amalia Nefyanti
Aviciena Bin Iskandar
Alif Via Saltika Putri
0910015002/1410029025
0910015026/1410029026
0910015048/1410029027
1010015002/1410029022
1010015030/1410029033
1010015036/1410029018
1010015024/1410029031
PEMBIMBING:
dr. Cort Darby Tombokan, Sp. F, SH
Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda, 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya penulis
dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul Autopsi Virtual Untuk Kepentingan
Peradilan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si, selaku Rektor Universitas Mulawarman
2. dr. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman
1
3. dr. Sukartini, Sp. A, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
4. dr. Cort Darby Tombokan, Sp. F, SH. selaku Dosen Pembimbing di Laboratorium
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman yang telah membimbing selama proses penyelesaian Karya Tulis Ilmiah
ini dan selama proses belajar di Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal
5. dr. Daniel Umar, Sp. F, SH selaku Dosen Pembimbing Laboratorium Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman yang telah
membimbing selama proses belajar di Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal
6. Erlina Dewi Yuanda selaku Sekretaris Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman yang membantu dalam
penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
7. Seluruh staff Forensik yang turut membatu penulis selama proses belajar di
Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam
penulisan skripsi ini.
Peneliti,
Oktober 2015
ABSTRAK
Nama
Putri.
Program Studi : Pendidikan Profesi Dokter
Judul
pemeriksaan luar maupun bagian dalam tubuh mayat yang bertujuan untuk menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi penemuan-penemuan
tersebut, menerangkan penyebabnya serta mencari sebab akibat antara kelainan-kelainan
yang ditemukan dengan penyebab kematian. Autopsi konvensional banyak mengalami
2
hambatan dalam pelaksanaannya, yang paling sering terjadi adalah penolakan dari pihak
keluarga. Berbeda dengan autopsi konvensional, autopsi virtual tidak memerlukan
pemotongan jaringan tubuh, tetapi menggunakan alat-alat diagnostik untuk melihat kelainan
yang terjadi pada organ-organ dalam. Alat-alat yang digunakan yaitu, Ultrasound, CT, dan
MRI. Autopsi virtual ini memiliki kelebihan dan kekurangnnya sendiri dibandingkan dengan
autopsi konvensional. Pada autopsi virtual memiliki kemampuan untuk menghentikan temuan
pada saat pemeriksaan, tanpa menimbulkan kerusakan dan memungkinkan penyelidik untuk
mengumpulkan data serta dapat mendeteksi adanya fraktur iga atau efusi perikardium, dan
pneumothoraks, sedangkan kekurangannya virtual autopsi tidak dapat mendeteksi diagnosis
penting contohnya, infark miokard, emboli paru, kanker, dan deep vein thrombosis.
Kata Kunci : Ilmu Kedokteran Forensik, Autopsi Virtual, Radiologi Forensik, Autopsi
Konvensional
ABSTRACT
Name
Study Program
Title
Saltika Putri.
: Pendidikan Profesi Dokter
: Virtual autopsy for Justice Interest
Autopsy is medical examination for corpse, the examination contain outside or inside
examination of bodies that aims to find disease or injury, make interpretation of findings,
explain and looking for effect of the dead cause. Konventional autopsy have many obstacle in
implementation, the most common is a rejection from victims family. Its different with
conventional autopsy, virtual autopsy doesnt require dissection of body tissue, but using
diagnostic machine such as, ultrasound, CT, or MRI to search any abnormalities in the body.
This autopsy have its own advantages and disadvantages compared to conventional autopsy.
Virtual autopsy have an abillity for freeze the findings at the moment of the investigation
without causing damage and allowing the investigator to collect the data later on. Autopsy
virtual can diagnoses, such as rib fractures, pericardial effusions and pneumothoraxes, and the
disadvantages of virtual autopsy is missed some important diagnoses such as, myocardial
infarcts, pulmonary embolism, cancer, and deep venous thrombosis.
Key Word : Legal medicine, Virtual Autopsy, Forensik Radiology, Conventional Autopsy
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................... ii
ABSTRAK............................................................................................................... iii
ABSTRACT............................................................................................................. iv
DAFTAR ISI.............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL....................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. vii
DAFTAR SINGKATAN............................................................................................. viii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1.
Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2.
Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3.
Tujuan......................................................................................................... 3
1.3.1.
Tujuan Umum......................................................................................... 3
1.3.2.
Tujuan Khusus........................................................................................ 3
1.4.
Manfaat....................................................................................................... 3
1.4.1.
Bagi Penulis........................................................................................... 3
1.4.2.
1.4.3.
Bagi Masyarakat...................................................................................... 3
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ilmu kedokteran forensik adalah cabang spesiaistik ilmu kedokteran yang
memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu penegakan hukum dan masalahmasalah di bidang hukum (Sampurna, Samsu, & Siswaja, 2008). Dalam kepentingan
peradilan, ilmu kedokteran forensik dapat digunakan untuk membuat terangnya perkara
pidana yang menimbulkan korban manusia, baik korban hidup maupun korban mati.
Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter, diharapkan dokter dapat memberikan
keterangan tentang luka atau cedera serta penyebabnya, memperkirakan cara kematian
dan faktor-faktor penyebab kematian korban (Afandi D. , Otopsi virtual, 2009). Dalam
hal pemeriksaan pada korban mati, dilakukan pemeriksaan autopsi, yaitu pemeriksaan
medis terhadap mayat baik bagian luar maupun bagian dalam tubuh mayat, yang
bertujuan untuk menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan
interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya serta
mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan
penyebab kematian (Kedokteran Forensik FK UI, 2000).
Istilah autopsi berasal dari bahasa Yunani yaitu self (autos) dan I will see
(opsomei), yang berarti to see with ones own eyes. Metode ini digunakan sejak
jaman kuno. Yang pertama kali menggunakan metode ini adalah bangsa Cina, mereka
menggunakan metode ini untuk melakukan pemeriksaan organ dalam pada binatang.
Sedangkan bangsa mesir kuno menggunakan metode ini pada manusia (PerjuDumbrava, Anitan, Siserman, fulga, & Opincaru, 2010).
Di Indonesia, berdasarkan tujuannya autopsi dibagi menjadi dua, yaitu autopsi
klinik dan autopsi forensik/ autopsi medikolegal. Autopsi klinik dilakukan terhadap
mayat yang awalnya menderita penyakit, dirawat dirumah sakit tetapi kemudian
meninggal, sedangkan autopsi forensik/ autopsi medikolegal dilakukan terhadap mayat
berdasarkan undang-undang (Kedokteran Forensik FK UI, 2000). Autopsi forensik
bukan merupakan suatu keharusan untuk semua kematian, namun sekali penyidik
memutuskan
diperlukan
autopsi
maka
tidak
ada
yang
boleh
menghalangi
pelaksanaannya (pasal 134 KUHAP dan pasal 222 KUHP), dan tidak mebutuhkan
persetujuan keluarga terdekatnya. Pemeriksaan autopsi ini mendapat istilah baru, yaitu
autopsi konvensional (Afandi D. , Otopsi virtual, 2009).
1
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis menemukan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan autopsi virtual?
2. Bagaimana tekhnik dari autopsi virtual?
3. Bagaimana akurasi dari autopsi virtual?
4. Bagaimana autopsi virtual jika dibandingkan dengan autopsi konvensional?
5. Bagaimana peranan autopsi virtual untuk kepentingan peradilan?
1.3.
Tujuan
1.4.
Manfaat
Dari penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan diperoleh manfaat sebagai berikut :
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Menentukan apakah diagnosis klinis yang dibuat selama perawatan sesuai dengan
diagnosa post mortem
Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan diagnosis klinis, dan
gejala-gejala klinik
Menentukan efektifitas pengobatan
Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit
Pendidikan
Autopsi forensik, dilakukan terhadap mayat seseorang berdasarkan peraturan
undang-undang dengan tujuan :
o
Membantu dalam hal penentuan identitas mayat
o
Menentukan sebab pasti kematian, memperkirakan
saat
kematian,
et repertum
Melindungi orang yang tidak bersalah dan membantu orang dalam penentuan
identitas serta penuntutan terhadap orang yang bersalah.
Untuk menentukan autopsi forensik ini, diperlukan suatu surat permintaan visum dari
yang berwenang, dalam hal ini adalah penyidik. Izin keluarga tidak diperlukan,
bahkan apabila ada seseorang yang menghalang-halangi dapat ditindak sesuai
undang-undang yang berlaku.(FKUI, 2000)
2.2.
Medikolegal
Medikolegal adalah bidang interdisipliner yang meliputi disiplin kedokteran dan
disiplin hokum. Bidang ini membahas bagaimana ilmu kedokteran dapat membantu
menyelesaikan masalah hukum di satu pihak, dan bagaimana hukum mengatur bidang
kedokteran di lain pihak. Masalah ini mencuat pada kasus-kasus forensik, misalnya
dalam menentukan penyebab kematian yang rumit. Pembuktian atas kasus forensik,
dugaan kasus kelalaian medik, atau kasus asuransi yang mengakibatkan kecederaan atau
kematian membutuhkan analisis kausal medikolegal yang cermat (Herkutanto, 2010)
Prosedur medikolegal merupakan tatacara atau prosedur penatalaksanaan dan
berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara
garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan peundangundangan yang
berlaku di Indonesia dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan
etika kedokteran. Adapun lingkup prosedur medikolegal yaitu: pengadaan visum et
repertum, pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka, pemberian keterangan ahli pada
masa sebelum persidangan dan pemberianketerangan ahli dalam persidangan, kaitan
visum et repertum dengan rahasiakedokteran, tentang penerbitan surat keterangan
kematian dan suraat keteranganmedis, tentang fitness/kompetensi pasien untuk
menghadapi pemeriksaan penyidik (Kambey, Tomuka, & Mallo, 2013).
2.2.1.
Proses Peradilan
Berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok
Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa di Indonesia ini dikenal 4 jenis
peradilan, yaitu(Sampurna & Samsu, 2008):
1. Peradilan umum. Disebut umum oleh karena mengadili baik perkara
pidana mau pun perkara perdata.
2. Peradilan Militer. Peradilan ini hanya mengadili perkara pidana (militer)
yang dilakukan oleh oknum anggota TNI, yang kadang-kadang disertai
dengan pelanggaran disiplin.
3. Peradilan Agama. Peradilan ini hanya mengadili perkara-perkara cerai,
rujuk dan waris bagi penduduk beragama Islam.
4. Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan ini mengadili perkara dugaan
atas pelanggaran ketata-usahaan Negara yang dilakukan oleh pejabat tata
usaha Negara.
Sebagaimana Negara demokrasi lainnya, peradilan di Indonesia
merupakan peradilan yang akuntabel, yang bebas dan terbuka. Indonesia
menganut paham eropa continental yang menggunakan sistem hakim majelis
dan bukan sistem juri sebagai penentu benar atau salahnya terdakwa.
Pemeriksaan di persidangan pidana dilakukan secara aktif oleh hakim
(inkuisitorial), meskipun memberikan peluang bagi jaksa penuntut umum dan
penasehat hukum terdakwa untuk turut memeriksa (Sampurna & Samsu,
2008).
Di dalam perkaran pidana, yang bersengketa adalah antara Negara
(public) dengan individu tersangka pelaku tindak pidana. Negara diwakili
penyidik polisi dan PNS dalam masa penyidikan, dan diwakili oleh jaksa
penuntut umum dalam masa penuntutan atau persidangan. Peraturan
perundang-undangan yang diguankan adalah terutama KUHP sebagai
ketentuan norma substantif dan KUHAP yang mengatur tentang prosedur atau
tata cara bersidang pidana (Sampurna & Samsu, 2008).
Pembuktian dibebankan kepada jaksa penuntut umum dibantu oleh
penyidik, sedangkan terdakwa pelaku tidak dibebani pembuktia. Mereka
seringkali membutuhkan ahli dalam membuat terang suatu perkara.
Pembuktian dilakukan dengan mencari kebenaran yang mendekati kebenaran
materiel. Kebenaran materiel ini dicari dengan mencari alasan dilakukannya
tindakan tersebut, apakah sengaja ataukah tidak sengaja.
Cara mencapai
8
dilakukan
oleh
masing-masing
pihak,
hakim
hanya
Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan terdakwa
Menurut pasal 1 butir 28 KUHAP yang dimaksud dengan keterangan
ahli adalah keterangan yang dinyatakan oleh seorang ahli atau yang dianggap
ahli yang membuat terang suatu perkara. Untuk dapat diterima di pengadilan,
keterangan ini harus dikemas di dalam bentuk alta bukti sah, yaitu berupa alat
bukti sah keterangan ahli (pasal 186 KUHAP) atau bentuk surat (pasal 187
KUAHP) (Sampurna & Samsu, 2008).
Suatu bukti disebut bukti langsung atau direct evidence apabila bukti
tersebut telah menunjukkan bahwa benar-benar telah terjadi tindak pidana atau
bahwa pidana tersebut dilakukan oleh si terdakwa. Bukti-bukti yang tidak
dapat menunjukkan hal itu disebut sebagai bukti tidak langsung atau
10
memihak
(imparsial).
Saksi
ahli
tidak
boleh
melakukan
mengikuti
pendidikan
berkelanjutan.
Sikap
imparsial
juga
tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal
terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar
dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat
keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa
meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya (pasal 160
KUHAP butir 2). Menyangkut hal ini saksi atau ahli wajib membawa KTP,
Kartu Keluarga, Surat Nikah, Ijazah dan dokumen lainnya yang menyangkut
data dirinya karena hakim dapat saja meminta saksi atau ahli untuk
menunjukkannya di awal persidangan. Sebelum memberikan keterangan, saksi
atau ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masingmasing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya (pasal 160 KUHAP butir 3) (Budiyanto , et al.,
1997)
Di dalam berbagai dasar hukum dikatakan bahwa segala sesuatu yang
diketahui dokter dalam melakukan pekerjaannya adalah rahasia kedokteran
dan setiap dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran secara khusus
dibebankan kewajiban hukum untuk menyimpan rahasia kedokteran (pasal 1
PP no. 10 tahun 1966, pasal 170 KUHAP, pasal 53 undang-undang no. 23
tahun 1992, pasal 48 undang-undang no. 29 tahun 2004). Namun, rahasia
kedokteran tidak bersifat absolut dan dapat dibuka tanpa dianggap melanggar
etika maupun hukum, salah satunya pada keadaan memenuhi permintaan
aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum. Dalam hal ini
dokter terpaksa membuka rahasia tanpa izin pasien karena adanya dasar
penghapusan pidana (straifuitsluitingsgroden) yang diatur dalam pasal 48
KUHP, pasal 50 KUHP, dan pasal 51 KUHP. Penyampaian rahasia ini dapat
dilakukan di persidangan, di depan hakim (Kristanto, et al., 2008).
Penyampaian pendapat oleh saksi dan ahli terlebih dahulu harus meminta
dan/atau mendapat izin Ketua Sidang dan setelah diberikan kesempatan oleh
Ketua Sidang. Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya (pasal 7 KODEKI). Saksi ahli
haruslah bersikap jujur, obyektif, menyeluruh, ilmiah dan tidak memihak
(imparsial). Ia juga diharapkan untuk menghindari berbicara terlalu banyak,
13
berbicara terlalu dini, dan berbicara dengan orang yang tidak berhak
mendengar. Penyerahan alat bukti atau berkas perkara lainnya melalui panitera
pengganti/petugas persidangan yang ditugaskan untuk itu (Ingeten, 2008).
Dalam pelaksanaan persidangan, dokter berhak tidak menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya apabila pertanyaan tersebut dianggap
tidak sesuai ataupun tidak berada dalam ruang lingkup (wewenang) ilmu
kedokteran. Jawaban dari pertanyaan yang tidak sesuai tersebut disampaikan
dalam bahasa yang sopan dan tegas. Sebagai contoh: Maaf Pak hakim, saya
bukan tidak bisa menjawab, namun pertanyaan tersebut untuk saksi mata,
bukan untuk dokter (Idries, 2009).
Setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim
ketua sidang member izin untuk meninggalkannya (pasal 167 KUHAP butir
1). Sebagai saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, dokter berhak
mendapat penggantian biaya menurut perundang-undangan yang berlaku. Hak
ini disampaikan oleh pejabat yang melakukan pemanggilan kepada dokter
(pasal 229 KUHAP). (Budiyanto , et al., 1997)
Peranan medikolegal sendiri pada kasus kematian yang membutuhkan
autopsi adalah:(Shepherd, 2003)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2.3.
Autopsi Virtual
diperlukanpengambilan
sampel
jaringan
yang
dipandu
dengan
pencitraan
Thali
memperkenalkanistilahvirtopsy
atauautopsi
virtual
yang
15
seberapa
akurat
autopsi
virtual
dibandingkan
dengan
autopsi
Definisi
Autopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka rongga
kepala, leher, dada, perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai
dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya, baik secara fisik maupun
dengan dukungan pemeriksaan laboratorium (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).
Autopsi virtual disebut juga dengan virtopsy.Istilah virtopsy berasal dari kata
virtual dan autopsy.Kata virtual berasal dari terminologi Latin, virtus yang berarti
berguna, efisien, dan baik. Kata autopsi berasal dari terminologi Yunani, auto yang
berarti sendiri dan opsomie, melihat sehingga autopsi berarti melihat dengan mata
sendiri. Karena bertujuan untuk menghilangkan subjektivitas yang dimaksud dalam
kata autos, maka kata autos dihapus untuk menciptakan istilah virtopsyyang
merupakan gabungan darivirtual dan autopsy.Autopsi virtual adalah penerapan dari
teknik pencitraan 3 dimensi non-invasif untuk mendokumentasikan permukaan tubuh
dan organ-organ interna dari mayat untuk menentukan penyebab dan cara kematiannya
(Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006; Ibrahim, Zuki, & Noordin, 2012;
Stawicki, Aggrawal, Anil, Dean, & Bahner, 2012).
16
Sangat efektif dalam menilai luka termasuk menyocokkan dengan senjata yang
kedua.
Lebih menghemat waktu dan jasad dapat segera diurus setelah proses pencitraan.
Lebih dapat diterima untuk yang berkaitan dengan suatu penyakit dan oleh
kepercayaan yang tidak menginginkan pembedahan mayat (Patowary, 2008;
Data yang disediakan 1 : 1 cocok dengan tubuh dan geometri 3D yang benar dalam sumbu
xyz atau dokumentasi spasial, yang dapat digunakan sebagai dasar ilmiah 3Drekonstruksi.
Pendekatan ini memberikan pemeriksaan alternatif atau tambahan yang "melihat"aspek yang
berbeda dari tubuh, seperti CT "melihat" dengan sinar X dan MRI "melihat" distribusikimia.
Teknik ini dapat dipertimbangkan dalam budaya dan situasi di mana autopsi tidak ditoleransi
oleh agama atau ditolak oleh anggota keluarga (misalnya, alasan psikologis).
Jasad terkontaminasi oleh infeksi, zat beracun, radionuklida, atau bio-hazard lainnya (yaitu,
bioterorisme) dapat dilakukan pemeriksaantanpa menyentuh jasad.
Sebuah pilihan strategi baru, pememeriksaandengan langkah yang bijaksana. Hal ini dicapai
dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan eksternal, kemudian mungkin pemindaian
18
CT, kemudian membaca data, kemudian mungkin MRI, dan mengevaluasi ulang data,dan
akhirnya memutuskan apakah dilakukan atau tidak untuk autopsi konvensional. Dengan
demikian, suatu kasusdapat diperiksa dengan cara yang mengoptimalkan kualitas dan biaya
(Schweitzer, Thali, Breitbeck, & Ampanozi, 2014).
19
Gambar 2.Pendarahan intrakranial akibat trauma. (kiri) Gambar potongan axial pada
pencitraan memberikan gambaran hipointense pada lobus temporal kiri yang mencapai ruang
subarachnoid. (kanan) Foto autposi tehadap potongan melewati lobus temporal pada otak
yang telah difiksir dengan formalin menunjukan perdarahan yang diakibatkan trauma,
dominasi di korteks dan subkorteks (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).
2.3.5.3.
20
Gambar 3.Trauma jantung (luka tusuk pada jantung). (kiri) Pencitraan jantung menggunakan
MRI 2T melalui apex jantung menunjukan cedera mikard.Diikuti dengan tamponade yang
bermanifestasi sebagai endapan komponen seluler. (kanan) Fotografi terhadapspesime
menunjukan laserasi transmural dari ventrikel kiri di bagian apical (Dirnhofer, Jackowski,
Vock, Potter, & Thali, 2006).
Penelitian autopsi virtual juga dilakukan untuk medeteksi ada tidaknya infak
miokard.Penelitian dilakukan di Switzerland dengan MRI yang hasilnya kemudian
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologi.Dari hasil penelitian itu didapatkan bahwa
baik MRI maupun pemeriksaan histologi tidak mampu mendiagnosis peracute infarct
myocard. Sementara itu untuk keadaan subacute, acute dan chronic dapat dideteksi
dengan baik oleh MRI dan hasilnya sesuai denganhasil histopatologi sesuai dengan
fase infark yang terjadi (Aghayev, et al., 2004).
2.3.5.4.
21
2.3.5.5.
Gambar 5.Tanda vital pada kasus gantung diri. (kiri) Pencitraan MR 2T pada potongan sagital
menunjukan area hiperintense pada sekitar strenoklavikula pada daerah insersi otot
sternokleidomastodeius. (kanan) foto autopsi yang menunjukan daerah pendarahan pada
daerah sekitar insersi otot sternokleiomastodeus, temuan yang yang menandakan masih
berlangsungnya sirkulasi pada saat penjeratan (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009).
2.3.5.6.
trakea dan percabangan bronkus utama (93%), cairan di dalam sel mastoid (100%),
cairan dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru dengan gambaran groundglass. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian di Switzerland, meskipun pada
penelitian tersebut menggunakan MSCT. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan
bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang didapat tidak jauh
berbeda dengan hasil temuan autopsi dan histopatologi (Dirnhofer, Jackowski, Vock,
Potter, & Thali, 2006).
Pada
korban
tenggelam,
dari
CT
dapat
dikumpulkaninformasi
jalan peluru, memvisualisasikan pola fraktur yang berhubungan dengan luka tembak,
dan mengevaluasi cedera organ sebelum autopsy (Levy, et al., 2006).
Delapan korban jiwa dari kasus penembakan diperiksa pencitraan dengan
MSCT dan MRI.CT dan MRI juga mampu mendokumentasikan reaksi vital terhadap
tembakan oleh adanya emboli udara dalam jantung dan pembuluh darah dan
membentuk pola klasik akibat aspirasi darah ke paru.Dilakukan percobaan
penembakan
pada
model
tengkorak
dengan
kecepatan
tinggi,
kemudian
2.3.5.9.
ortopedi atau material osteosintetik, formasi kalus pada tulang pada fraktur
sebelumnya dan adanya variasi anatomis (Loaiza, Daza, & Archila, 2013).
1. Penentuan Usia
Usia adalah karakteristik penting pada seseorang, estimasi usia pada orang
hidup atau mayat lebih akurat setelah ditemukan karakteristik sex sekunder dan
pengukuran anthropometric.
Terdapat beberapa cara untuk menentukan usia secara radiologi, yang
paling penting adalah dengan penilaian pada tulang carpal dan karakteristik gigi.
Karakteristik radiologis lain yang dapat digunakan untuk menentukan usia adalah
adanya pusat ossifikasi dan penutupan sutura kranial (Loaiza, Daza, & Archila,
2013).
Umur tulang dapat dievauasi dengan pembentukan dan gabungan dari
epifisis pada tulang panjang, dan pembentukan pada bagian tengah ossifikasi
pada tulang kecil. Umur gigi dapat dinilai dari kombinasi observasi derajat
mineralisasi bud gigi, timbulnya erupsi pada gigi, dan luasnya formasi akar gigi
(Kahana & Hiss, 2005).
2. Penentuan Jenis Kelamin
Penentuan jenis kelamin melalui pemeriksaan fisik sangat sederhana,
khususnya pada mayat, penilaian anatomi dalam dapat dilakukakan dengan
identifikasi organ genital. Pada seseorang yang pernah melakukan operasi
kelamin
pada
masa
hidupnya,
membuat
pemeriksa
bingung
dalam
25
2012). Hasil CT bergantung pada irisan tipis dan volume yang akan ditemukan,
benda ini lebih baik untuk dokumentasi 2D dan 3D dan untuk analisa sistem
fraktur, kumpulan gas patologis (emboli udara, emfisema subkutan, trauma
hiperbarik, atau efek pembusukan), dan memberikan gambaran jaringan secara
kasar (Bewi & Suryadi, 2010).
(c) Magnetic resonance imaging (MRI), yang dapat memvisualisasikan tubuh bagian
dalam, sehingga dapat diperiksa secara detil setiap potongan bagian tubuh
(Patowary A. , 2008).MRI digunakan untuk fokus pada daerah tubuh yang
spesifik, memberikan informasi yang lengkap mengenai jaringan lunak, otot dan
organ.Dibandingkan dengan CT, MRI memberikan gambaran yang lebih baik dari
otak, thoraks, regio gaster dan jaringan lunak lainnya. (Bakri & Jaudin ,
Technology Review, 2006).Selain itu MRI jelas lebih dalam hal sensitivitas,
spesifitas, dan akurasi (Thali, Jackowski, Oesterhelweg, Ross, & Dirnhofer,
2007).
Selain itu, perkiraan saat kematian dapat diperkirakan dengan mengukur kadar
metabolit dalam otak yang muncul selama dekomposisi post mortem dengan
menggunakan MRI spectroscopy. Sampel pemeriksan histopatologi forensik juga
dapat diambil melalui CT guided needle biopsy (Patowary A. , 2008).Postmortem
biopsi masih perlu dilakukan karena resolusi pemindaian modern masih terbatas
(Thali, et al., 2007).Postmortem angiographydengan menggunakan kontras intravena
maupun arteridapat digunakan untuk visualisasi sistem sirkulasi sehingga dapat
diketahui apabila terjadi kebocoran vaskular maupun stenosis dan pada kasus-kasus
tertentu dapat membantu menentukan penyebab kematian. (Mahesh & Kumar ,
2015).Ultrasonografi juga dapat digunakan dalam autopsi virtual. Penggunaannya
bukan hanya dikarenakan ini merupakan pemeriksaan yang murah jika CT dan MRI
tidak ada, tetapi juga dapat membatu proses biopsi pada autopsi virtual (SieswerdaHoogendoorn & van Rijn, 2009).
Virtual autopsi juga dapat memberikan gambaran perubahan post mortem
misalnya, internal livores, pembusukan, pembekuan darah post mortem dan
membedakannya
endokarditis, infark miokardium, cedera dan kelainan morfologi yang lain. Dengan
27
menggabungkan data dan animasi, dapat dilakukan rekonstruksi gambaran cedera dan
menentukan kemungkinan penyebab (Bakri & Jaudin , Technology Review, 2006).
Peneliti Swedia telah mengembangkan software pada layar sentuh
The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table yang memungkinkan pemeriksa untuk
merepresentasikan tubuh jenazah secara virtual dengan sangat rinci dari berbagai
sudut pandang. Dari data scan tubuh jenazah yang tersedia yang dimasukkan ke
dalam program pada The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table, pemeriksa dapat
menghapus lapisan demi lapisan tubuh seperti kulit dan otot, menambah atau
menghapus jaringan dan sistem peredaran darah, memperbesar dan memperkecil dan
memotong bagian-bagian tubuh menggunakan pisau virtual (Soltanzadeh, Imanzadeh,
& Keshvari, Application of robotic assisted technology and imaging devices in
autopsy and virtual autopsy, 2014).
Gambar 6. The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table (Soltanzadeh, Imanzadeh, &
Keshvari, Application of robotic assisted technology and imaging devices in autopsy
and virtual autopsy, 2014)
2.3.7. Aplikasi Autopsi Virtual
Autopsi virtual dapat digunakan untuk berbagai situasi forensik, seperti
investigasi tanatologi, identifikasi tubuh yang busuk, kasus bencana besar, perkiraan
usia, pemeriksaan antropologi, identifikasi benda asing seperti proyektil, atau pisau,
identifikasi cedera, rekonstruksi forensik, edukasi dan penelitian (Stawicki, et al.,
Postmortem use of advanced imaging techniques : Is autopsy going digital?,
2008).Autopsi virtual dapat digunakan untuk membantu mencari penyebab kematian
28
dan dapat meningkatkan proses kerja pada suatu lembaga forensik yang memiliki
banyak kasus (Douglas, Fenton-Mulr, Kewana, & Ngema, 2012).Autopsi virtual dapat
digunakan pada kasus kematian yang wajar dan tidak wajar (Swift & Rutty,
2006).Autopsi virtual lebih diterima di masyarakat karena prosedurnya yang non
invasif.Di Amerika serikat dan Negara-negara di eropa, autopsi virtual mulai banyak
digunakan sebagai alternatif dari autopsi konvensional (Ahmad & FN, 2013).
Pada kasus tenggelam informasi yang bisa didapatkan antara lain volume,
densitas, dan ukuran paru dan jumlah cairan yang bisa membantu untuk menentukan
penyebab kematian (Junior A. d., Souza, Coudyzer, Thevissen, Willems, & Jacobs,
2012).Pada kasus cedera akibat proyektil senjata api susah untuk diperiksa karena
biasanya peluru tidak di dalam badan, atau dialihkan oleh struktur anatomi atau bisa
di bagian tubuh yang tidak diketahui. Oleh karena itu, mengetahui lokasi proyektil
sebelum autopsi dapat mendukung pemeriksaan (Junior A. d., Souza, Coudyzer,
Thevissen, Willems, & Jacobs, 2012).Gambaran pada autopsi virtual dapat
memberikan gambaran yang menyerupai keadaan-keadaan antemortem pada beberapa
kasus tertentu, sebagaimana tercantum dalam tabel 1 dan tabel 2.
Non trauma
Pada penelitian, post mortem computed tomographic (PMCT) dari paru-paru
dilakukan pada 150 kasus kematian nontrauma dengan henti jantung paru (gagal
jantung akut). Pemeriksaan CT dilakukan 2 jam setelah kematian dan gambaran yang
ditemukan antara lain perbedaan densitas, ground glass attenuation (GGA),
konsolidasi, efusi pleura dan defek udara endotrakeal. Autopsi konvensional yang
dilakukan pada 16 kasus, menemukan bahwa adanya GGA dalam CT scan pada gagal
jantung akut berhubungan dengan edema paru. Pada penelitian ini ditemukan bahwa
ketika CT Scan paru tidak menunjukkan adanya perbedaan densitas sehingga
diperlukan analisis lebih lanjut mengenai penyebab kematian (Bakri & Jaudin ,
Technology Review, 2006).
Infeksi
Laporan kasus oleh Jackowski (2005) menunjukkan bahwa autopsi pada
kasus infeksi bisa didapatkan dan divisualisasikan dengan pencitraan post mortem dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologi dan mikrobiologi untuk mendukung
teknik autopsi dengan invasi minimal (Bakri & Jaudin , Technology Review, 2006).
29
Jantung
Penyebab kematian paling banyak adalah insufisiensi jantung.Penyakit jantung
kronik atau iskemik akut dapat mencetus (a) pengurangan jumlah serat kontraksi
secara akut atau (b) aritmia.Sebagai tambahan, jantung sering menjadi target
perlukaan pada bunuh diri atau pada pembunuhan.Perlukaan pada jantung
memberikan manifestasi khas pada pencitraan perikardial berupa tamponade jantung
dam hematothoraks.Lebih jauh, kegagalan ventrikel kanan akibat emboli udara pada
cedera kranial (akibat luka tembak, luka pada kepala, luka tusuk pada leher)
merupakan penyebab paling umum kematian yang berhubungan dengan jantung.Pada
pencitraan kontras hingga teknik autopsi tradisional, gambaran PMCT memungkinkan
untuk pencitraan 3D terhadap struktur emboli, dengan memberikan gambaran emboli
udara (Dirnhofer, Christian, Vock, Potter, & Thaili, 2006).
Infark miokard dapat dideteksi dengan autopsi virtual.Penelitian yang
dilakukan di Switzerland dengan MRI dan selanjutnya di konfirmasi dengan
histopatologi
menunjukkan
bahwa
tidak
dapat
dilakukan
penegakan
30
Gambar 7. Acute Myocardial Infarction, (A) MRI, (B) Histologi: Nekrosis Sentral pada Lesi dengan Serat-Serat
Eoshinophilik tanpa Inti dan terdapat Contraction Band Necrosis.H$E x400 II.Chronic Myocardial Infarction,
(A,B,C) MRI, (D) Makropatologi, (E&F) (Afandi D. , Otopsi Virtual, 2009)
Paru-paru
Pemeriksaan postmortem dapat digunakan untuk menentukan penyebab
kematian.Sebagai contoh, pneumothoraks dapat dengan mudah ditemukan melalui
pencitraan postmortem. Udem paru, yang mana sering terlihat pada kematian akibat
jantung atau racun, dapat diperiksa melalui pencitraan seperti peningkatan
peningkatan gambaran ground-glass pada CT atau peningkatan kepadatan pada
gambaran MR. Perlukaan paru pada potongan axial dapat ditandai dengan adanya
gambaran endapan darah (Dirnhofer, Christian, Vock, Potter, & Thaili, 2006).
Khas pada kasus tengelam, paru bermanifestasi dengan emphysema aquosum
dan overlaping retrosternal pada lobus atas (Dirnhofer, Christian, Vock, Potter, &
Thaili, 2006).
31
melaporkan
sebuah
kasus
korban
terbakar.Metode
radiologi
kasus
lain
dari
Thali
yang
bertujuan
untuk
menilai
Penyebab
pembengkakan otak
Hiperdensitas sinus sagittal
penetrasi, infeksi
ground-glass opacitylokal di
paru-paru
paru
pneumonia
Aterosklerosis
dengan lividity
Kaliber aorta berkurang atau
Exsanguination
Lividitas
Tromboemboli paru
Maggot infestation
Vanishing aorta
Pembekuan intra vaskular
hiperdensitas pada arteri
pulmonalis
Distorsi jaringan lunak di
struktur luar misalnya mata,
hidung dan alat kelamin,
dengan area radio opasitas
campuran.
33
Penyebab
Patologi Antemortem
tulang tengkorak
hematoma
kematian
trikuspid
Gas intrahepatik
Riwayat endoscopic
retrograde
cholangio-pancreatography,
Formasi fistula pada fleksura
hepatik dari kolon, Kolangitis,
emboli udara
autopsi virtual
Tidak dapat memberikan data status infeksi
Tidak dapat membedakan antara luka antemortem dengan luka postmortem
34
Cost and benefit dari otopsi virtual juga harus mendapat pertimbangan.
Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan
senjata api, karena dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh.
Mayat tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga karena
tidak dibutuhkan pisau bedah serta tidak harus memotong tubuh. Belum cukupnya
data yang membuktikan bahwa otopsi virtual lebih unggul dari otopsi konvensional,
tidak mungkin dapat melihat dengan jelas kelainan patologi yang ada dengan otopsi
35
virtual, tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara
luka antemortem dengan luka postmortem, sulit membedakan artefak postmortem,
sulit membedakan perubahan warna organ, jaringan kecil mungkin saja terlewatkan.
(Afandi D. , 2009; Bolliger & Thali, 2015)
b.
Masalah biaya.
Bila kita memperhatikan teknik otopsi virtual, maka akan dibutuhkan biaya yang
amat besar dan alat-alat untuk melakukan otopsi virtual tidak tersedia pada setiap
rumah sakit di Indonesia.
c. Otopsi virtual juga memiliki bias dalam mendiagnosis
d. Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal-hal yang
berhubungan dengan penyalahgunaan obat, hal yang paling baik adalah otopsi virtual
cukup mengambil posisi sebagai tes penyaring saja.
e . Jepang sebuah negara maju dan sudah lama menekuni otopsi virtual ini tetap hatihati dengan PMCT, ada 3 peraturan yang mereka laksanakan hingga saat ini yaitu
1. PMCT sebagai skrining untuk penyebab kematian,
2. skrining kandidat untuk dilakukan otopsi dan
3. komplementer untuk otopsi konvensional.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah aspek medikolegal otopsi virtual sebagai
alat bukti yang sah dalam system peradilan di Indonesia, untuk ini memerlukan kajian
yang lebih lanjut. Terlebih lagi mengingat bahwa interest based otopsi virtual adalah
untuk mendiagnosa penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep otopsi forensik yang lebih
mengedepankan untuk proses penegakan hukum dan peradilan. (Afandi D. , 2009)
Autopsi konvensional telah menjadi gold standard selama berabad-abad, tetapi
terdapat 15 % kesalahan diagnosis walaupun teknik yang telah ditemukan sudah
maju.Pada penelitian yang dilakukan oleh Roberts, terdapat perbedaan diagnosis antara
autopsi konvensional dan autopsi virtual. (Roberts, et al., 2014)Kerabat yang menolak
permintaan autopsy dan adanya teknik diagnostic modern berkontribusi dalam
penurunan jumlah autopsy selama decade terakhir.Autopsi virtual menggunakan
pencitraan modern adalah inovasi terbaru yang bisa mengatasi masalah ini. (Wichmann,
Heinemann, Weinberg, & Vogel, 2014)
36
Autopsi konvensional juga lebih baik dalam menilai suatu cedera eksternal
dibandingkan dengan autopsy virtual.Dari penelitian yang dilakukan oleh Zerbini dkk,
hanya dua dari tiga lesi yang dapat digambarkan dalam autopsy virtual. (Zerbini, et al.,
2014)
dibiarkan intak, sehingga jaringan serebral tetap dalam kondisi anatomis. Metode ini
lebih unggul dibandingkan dengan autopsi konvensional, dimana pada otak sering
terjadi pengeluaran cairan serebrospinal setelah tulang tengkorak dibuka.
Autopsi virtual tidak merusak struktur jenazah sehingga sangat membantu dalam
menentukan lesi dalam beberapa kasus, contohnya pada fraktur kominutif multipel pada
tulang tengkorak setelah terkena pukulan dan tembakan. Pada autopsy konvensional
harus dilakukan pengangkatan scalp yang akan menyebabkan fragmen tulang tengkorak
saling terlepas dan membutuhkan waktu untuk melakukan rekonstruksi. Dengan CT,
pola fraktur lebih mudah diamati dan bahkan dapat menentukan trauma yang terjadi
lebih dulu, trauma tumpul atau tembakan.
Contoh lainnya emboli udara.Emboli udara sulit didiagnosis pada autopsi.Metode
konvensional tidak akurat, hanya untuk emastikan adanya udara di dalam jantung, dan
tidak bisa memastikan apakah udara tersebut sudah masuk ke dalam system vascular
membentuk emboli atau seberapa banyak udara yang ada.CT tidak hanya bisa
menunjukkan adanya udara namun juga menunjukkan jumlah dan distribusi udara
dengan akurat.
Beberapa bagian dari tubuh juga sulit untuk diperiksa, contohnya korda spinalis
yang biasanya rusak secara umum ketika melakukan ekstraksi otak saat autopsy.CT dan
MRI dapat memberikan informasi mengenai korda spinalis.
Wajah juga salah satu bagian tubuh yang biasanya diperiksa menggunakan
pencitraan. Dengan teknologi pencitraan forensik, jaringan lunak dan tulang dari wajah
dapat diperiksa dengan cara yang tidak destruktif sehingga kerabat bisa melihat jenazah
dengan kerusakan minimal di wajah bahkan setelah autopsi.
c. Demonstrasi di pengadilan
Presentasi yang jelas dan mudah dimengerti sangat penting untuk meja
peradilan.Pencitraan forensik dapat membantu situasi ini dengan menghadirkan
gambaran yang jelas dan mudah dimengerti dibandingkan foto jenazah yang hanya bisa
dimengerti dan disimpulkan oleh dokter.
Lebih penting lagi, data yang didapatkan dapat disimpan dan bisa digunakan lagi
setelah jenazah dikubur atau dikremasi atau setelah terjadi penyembuhan luka pada
korban hidup, dan memungkinkan untuk diperiksa ulang.Selain itu data yang dihasilkan
disimpan dalam bentuk digital, sehingga bisa dengan mudah dikirim ke mana saja
(Patowary A. , 2008; Bolliger & Thali, 2015)
d. Risiko Infeksi
39
Tidak ada metode pembedahan, sehingga tidak berisiko terinfeksi dari darah atau
cairan tubuh jenazah (Patowary A. , 2008)
e. Waktu
Tidak membutuhkan waktu lama dan jenazah dapat diberikan kepada keluarga
sesaat setelah selesai diperiksa (Patowary A. , 2008)
Kelemahan (Bolliger & Thali, 2015):
a. Autopsi virtual memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan metode
konvensional. Salah satunya adalah warna. Warna, begitu juga dengan tekstur dan
bau dari suatu organ adalah alat diagnostic yang penting dan tidak dapat
ditunjukkan dengan pencitraan forensik.
b. Pembusukan yang sudah lama atau adanya laserasi ekstensif juga dapat menjadi
keterbatasan dari beberapa metode seperti angiografi yang tidak bisa dilakukan
karena kesulitan di dalam memasukkan medium kontras.
c. Kurangnya sumber daya juga menjadi kelemahan dari autopsy virtual. Bidang
radiologi forensik adalah bidang yang baru, sehingga sedikit orang yang
berpengalaman dalam menginterpretasikan hasilnya. Selain itu, tidak semua rumah
sakit besar memiliki unit CT dan MR. Walaupun ada, unit ini khusus digunakan
untuk memeriksa pasien hidup, tidak di prioritaskan untuk memeriksa jenazah.
Kurangnya biaya juga menghambat perkembangan autopsi virtual.
40
BAB III
PEMBAHASAN
Di Inggris, ilmu kedokteran forensik pertama kali digunakan pada akhir 1700an untuk
menentukan apakah kematian disebabkan oleh bunuh diri. Apa yang bermula dari inspeksi
sederhana terhadap jenazah manusia telah berkembang menjadi cabang ekstensif ilmu
kedokteran yang kita kenal sekarang sebagai autopsi. Saat ini, ilmu kedokteran forensik
sekarang mengharuskan ketepatan dan akurasi. Teknik-teknik modern seperti MRI dan CT
scan digunakan pada pemeriksaan kematian, dan autopsi virtual secara perlahan mulai
menggantikan teknik diseksi anatomical konvensional dari jenazah. (Samarasekara)
Penggunaan pencitraan radiografi untuk keperluan pengadilan sudah dimulai sejak
lama. Fotoradiologi, pertama kali diterima sebagai bukti di pengadilan terjadi di Denver
tahun 1896, walaupun kasus tersebut sudah dimulai sejak 15 Juni 1895. James Smith jatuh
dari tangga saat memangkas pohon dan mengalami cedera panggul. Awalnya tidak ditemukan
adanya tanda patah tulang. Bagaimanapun juga, gugatan perdata telah dilakukan, dan pada
Smith dilakukan empat kali foto polos radiologi. Akhirnya gambaran tulang yang patah dapat
diidentifikasi. Muncul perdebatan penggunaan foto polos ini sebagai bukti di pengadilan.
Beberapa menolak menggunakannya dengan alasan bila ini terjadi pada orang meninggal,
makahal ini sama dengan menggunakan foto hantu sebagai bukti. Namun pada akhirnya foto
polos ini diterima sebagai bukti pada tahun 1896 oleh hakim Le Fevre. Ini merupakan awal
penggunaan foto polos sebagai bukti diperadilan. (NHS Implementation Sub-Group of the
Department of Health Post Mortem, Forensic and Disaster Imaging Group, 2012).
Radiografi forensik adalah lebih dari pencitraan potongan tubuh manusia atau
fragmen peluru, melainkan aplikasi dari teknologi pencitraan diagnostic dan pemeriksaan
terhadap berbagai pertanyaan hukum. Teknologi radiologi bukan hanya telah memaparkan
bukti yang legal bagi penanganan kasus-kasus hukum, tetapi juga telah mengarahkan pada
perkembangan teoretis dan praktis legal baru tentang bukti visual (Kudlas, M.Ed, Odle,
Kisner, ELS, & B.A, 2010)
Pencitraan postmortem dalam bentuk foto polos telah digunakan selama beberapa
tahun sebagai tambahan maupun pengganti autopsi. Namun dalam 2 dekade terakhir terjadi
peningkatan ketertarikan dan investigasi dalam penggunaan teknik yang lebihlanjut, missal
Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), dalam investigasi
kematian. Pencitraan CT memiliki beberapa keuntungan dibanding autopsi itu sendiri, karena
memberikan gambaran detil dari tubuh yang susah dilihat oleh jaksa dan memberikan
41
dokumentasi dari kelainan atau cedera tanpa merusak jaringan. (Bryce, 2013). Pencitraan CT
juga digunakan dalam menetukan/mendeteksi benda asing, kasus pada tulang, dan adanya gas
patologi (Persson, Falk, Berge, & Jaclowski, 2013). Kematian akibat kelainan bawaan juga
dapat dideteksi dengan CT Angiografi (Votino, et al., 2012).Walaupun autopsi virtual tidak
memberikan gambaran histology dan metabolic seperti autopsi konvensional namun virtual
lebihunggul. (Kaur, Chaudhary, Gupta, & Singh, 2014). Sohail et al, mengatakan bahwa
virtual autopsi sama baiknya dengan autopsi konvensional dalam mengidentifikasi infeksi
paru dan penyebab kematian yang wajar, bahkan lebih baik dalam mengidentifikasi fraktur
vertebra (Sohail, Mirza, & Khan, 2010). Sedangkan Levy menyebutkan MSCT berguna
dalam membantu untuk menentukan penyebab kematian oleh karena kejadian traumatic dan
MRI akan sangat berguna untuk melihat adanya kerusakan jaringan lunak. Ia menambahkan
bahwa MSCT dapat pula digunakan sebagai alat pre-triase autopsi untuk mengarahkan pada
kasus-kasus korban missal sebagai contoh bencana badai Katrina. (Mitka, 2007)
Saatini, autopsi virtual belum dapat menggantikan posisi dari autopsi konvensional,
melainkan sebagai pelengkap yang memberikan informasi tambahan (Stawicki, et al.,
Postmortem use of advanced imaging techniques : Is autopsy going digital?, 2008).Institusi
forensik di Bern, Swiss, merupakansatu-satuny ainstitusi yang memiliki 3D surface scan,
CTScan, MRI, CT angio dan alat biopsy khusus yang digunakan untuk kepentingan forensik.
Seluruh alat di atas digunakan untuk tujuan
aplikasi yang dipertimbangkan dalam dunia medis untuk tujuan penegakan diagnosis,
pendidikan dan penelitian. Beberapa teknik dapat menghadirkan barang bukti forensik yang
kuat untuk digunakan pada kasus-kasus hukum legal. (Soltanzadeh, Imanzadeh, & Keshvari,
2014)
2011).MSCT adalah metode radiologis yang sangat baik dalam mendokumentasikan cedera
tulang dan emboli udara di seluruh tubuh. Dikarenakan memiliki ontras jaringan yang lebih
baik, MRI lebih cocok. Telah diketahui bahwa penggunaan rutin dari PMCT sebelum autopsi
sangatlah berguna. PMCT menyuguhkan gambaran 3D tubuh secara cepat, termasuk bagianbagian yang tidak secara rutin dapat terinvetigasi, memberikan patologis kesempatan untuk
mempersiapkan dan menyesuaikan prosedur autopsi akan dilakukan. PMCT menyuguhkan
gambaran dari pola cedera yang sulit didapatkan melalui autopsi, membuat identifikasi
karakteristik pola cedera yang spesifik pada kasus-kasus seperti kecelakaan lalu lintas lebih
mudah dilakukan (Leth P. M., 2015). Pencitraan post-mortem adalah alat visualisasi forensik yang
baik dengan potensi yang besar untuk dokumentasi dan pemeriksaan (Thali M. , et al., 2002)
Selainitu, virtual autopsi juga digunakan sebagai skrining pre-autopsi yang digunakan
sebagai alternatif autopsi konvensional (Stawicki, et al., Postmortem use of advanced
imaging techniques : Is autopsy going digital?, 2008). Di Victoria Institute of Forensik
Medicine (VIFM), Melbourne, Australia, sebagai salah satu
lembagaterkemuka adalah
pencitraan forensik, pada tahun 2005 telah memiliki CT scanner yang dipasang di kamar
mayat VIFM dan semua orang yang meninggal
jenazah tidak cocok dengan scanner, misalnya karena berat badan mereka>150 kg. Pencitraan
CT digunakan untuk memberikan informasi bagi ahli forensik, misalnya mengenai penyebab
kematian, serta untuk keperluan identifikasi. Autopsi virtual juga digunakan sebagai alat trias
kepentingn untuk membantu memutuskan apakah autopsi konvensional diperlukan atau tidak.
Dengan adanya autopsi virtual, jumlah autopsi konvensional telah mengalami penurunan, di
sisi lain jumlah pemeriksaan termasuk investigasi toksikologi, pemeriksaan luar dan
pencitraan CT selama pemeriksaan pendahuluan telah secara signifikan meningkat.
Pencitraan CT di VIFM yang digunakan selama pemeriksaan awal yang menentukan perlu
tidaknya autopsi lanjutan (Zimmermann, 2011).
Kebanyakan lembaga forensik Jerman menggunakan peralatan CT (ataujarang MRI)
di rumah sakit untuk tujuan postmortem. Untuk pengadilan pidana Jerman, autopsi harus
dilakukan dan pencitraan CT (atau jarang MRI) dapat berfungsi sebagai tambahan autopsi
dalam kasus pidana tersebut. Namun, di Kode Acara Pidana Jerman, pencitraan CT (atau
MRI) digunakan sebagai skrining untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan autopsi
(Zimmermann, 2011).
Di institut forensik di Hamburg, pencitraan CT bahkan rutin dilakukan, dan telah
menjadi standar dalam pemeriksaan forensik yang memberikan data tambahan bila
diperlukan autopsi lanjutan (Vogel, et al., 2013). Pemeriksaan ini juga digunakan sebagai
44
triase selama pemeriksaan, untuk memutuskan apakah sebuah autopsi harus dilakukan atau
tidak. Oleh karena itu, pencitraan CT telah digunakan misalnya di Bremen untuk menghindari
autopsi forensik (Zimmermann, 2011).
Di Jepang, autopsi virtual menggunakan CT (atau MRI) yang ada di rumah sakit. Tak
satu pun dari bagian forensik ini memiliki sebuah CT atau MRI scanner khusus dalam sebuah
kasus digunakan autopsi virtual dengan pemeriksaan luar dan pencitraan CT. Namun, apabila
selama proses peradilan autopsi konvensional perlu dilakukan untuk mendapatkan data lebih
lanjut, maka autopsi konvensional dapat dilakukan oleh ahli forensik. Selama proses
peradilan, jenazah disimpan di departemen hukum obat apabila sewaktu-waktu perlu
dilakukan autopsi (Zimmermann, 2011).
Di Oxford, Inggris, autopsi virtual, baik CT maupun MRI, digunakan untuk
menghindari autopsi konvensional pada kasus risiko tinggi, seperti HIV. Namun, dalam kasus
kematian mencurigakan atau (diduga) kasus pembunuhan, pencitraan CT (atauMRI)
umumnya digunakan sebagai tambahan untuk autopsi di Inggris (Zimmermann, 2011). Di
Italia, lembaga forensik di Foggia, Milan, Padua, Bari dan Messina, pencitraan CT atau MRI
dilakukan di rumah sakit sebagai rutinitas. Secara umum, ahli forensik di Italia dapat secara
sah menggunakan CT Scan atau MRI sebagai tambahan autopsi. Namun, dalam kasus
bencana alam, seperti misalnya gempa bumi, dengan lebih dari 10 korban, pencitraan CT atau
MRI sudah diganti autopsi forensik tradisional (Zimmermann, 2011).
Di Indonesia autopsi forensik tidak merupakan keharusan bagi semua kematian,
namun sekali diputuskan oleh penyidik perlunya autopsi maka tidak ada lagi yang boleh
menghalangi pelaksanaannya (pasal 134 KUHAP dan pasal 222 KUHP), dan tidak
membutuhkan persetujuan keluarga terdekatnya (Sampuna, Samsu, & Siswaja, 2008).
Penerimaan autopsi virtual di Indonesia sebagai pengganti autopsi konvensional tidaklah
serta merta dapat diterima. Dengan adat, ketimuran, masyarakat yang religious seperti autopsi
virtual
merupakan
angin
segar
untuk
mengatasi
permasalahan
penolakan
autopsikonvensional. Namun harus diingat bahwa banyak hal yang harus kita bahas
menyangkut penerimaan autopsi virtual di Indonesia. Tidak kalah pentingnya adalah aspek
medikolegal autopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan di Indonesia,
untuk ini memerlukan kajian yang lebih lanjut. Terlebih lagi mengingat bahwa interest based
autopi virtual adalah untuk mendiagnosa penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep autopsi
forensik yang lebih mengedepankan untuk proses penegakan hukum dan peradilan (Afandi d.
, 2009).
45
46
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Penerimaan autopsi virtual di Indonesia sebagai pengganti autopsi konvensional
tidaklah serta merta dapat diterima. Dengan adat, ketimuran, masyarakat yang religious
seperti autopsi virtual merupakan angin segar untuk mengatasi permasalahan penolakan
autopsi konvensional. Namun harus diingat bahwa banyak hal yang harus kita bahas
menyangkut penerimaan autopsi virtual di Indonesia. Tidak kalah pentingnya adalah aspek
medikolegal autopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan di Indonesia,
untuk ini memerlukan kajian yang lebih lanjut. Autopsi virtual/ pencitraan forensik
seharusnya digunakan dalam investigasi kematian modern, sebagai tambahan dalam
pemeriksaan autopsi konvensional maupun sebagai pemeriksaan awal untuk menentukan
perlu atau tidaknya dilakukan autopsi lebih lanjut. Autopsi virtual digunakan di negara
dimana autopsi konvensional tidak diterima secara cultural. Tidak ada masalah maupun
kendala dalam menentukan apakah autopsi virtual digunakan sebagai bukti peradilan maupun
sebagai pemeriksaan/investigasi/pembelajaran lebih lanjut untuk kepentingan medis atau
pendidikan.
4.2.
Saran
Berdasarkan penulisan karya tulisan ilmiah ini penulis memberi saran:
1.
Dilakukan peningkatkan peran dokter dan dokter forensik dalam penggunaan autopsi
2.
47
DAFTAR PUSTAKA
48
14.Junior, A. F., Souza, P. H., Coudyzer, W., Thevissen, P., Willems, G., &
Jacobs, R. (2012). Virtual autopsy in forensic sciences and its applications
in the forensic odontology. Rev Odonto Cienc , 5-9.
15.K. T., & Periya, E. A. (2013, Jul-Dec). Virtopsy (virtual autopsy): A new
phasse in forensic investigation. J. Forensic Dent Sci , 146-148.
16.Kahana, T., & Hiss, J. (2005). Forensic Radiology. Forensic Pathology
Reviews vol.3 , 443-459.
17.Kaur, N., Chaudhary, R., Gupta, P., & Singh, B. (2014). Digital Autopsy:
Moving From Fiction to Reality. J Indian Acad Forensic Med , 195-198.
18.Kedokteran Forensik FK UI. (2000). Teknik Autopsi Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
19.Kudlas, M., M.Ed, Odle, T., Kisner, L., ELS, & B.A. (2010). The State of
Forensic Radiography in the United States.
20.Leth, P. M. (2015). Computed Tomography in Forenic Medicine. Danish
Medical Journal , 1-26.
21.Leth, P. m. (2013). CT Scanning in Forensic Medicine.
22.Levy, A. D., Abbott, R. M., Mallak, C. T., Getz, J. M., Harke, H. T., Champion,
H. R., et al. (2006). Virtual Autopsy: Preliminary Experience in High-Velocity
Gunshot Wound Victims. Radiology .
23.Levy, A., Harcke, H., Getz, J., Mallak, C., Caruso, J., Pearse, L., et al. (2007).
Virtual Autopsy: Two- and Threedimensional Multidetector CT Findings in
Drowning with Autopsy Comparison. Radiology .
24.Ljung, P., Winskog, C., Persson, A., Lundstorm, C., & Ynnerman, A. Full body
virtual autopsies using a state of the art volume rendering pipeline. IEEE
VGTC, (pp. 1-7). Swedia.
25.Loaiza, G. A., Daza, A. F., & Archila, G. A. (2013). Applications Of
Conventional Radiology In The Medical Forensic Field. Rev Colomb Radiol ,
3805-3817.
26.Lundstorm, C., Persson, A., Ross, S., Ljung, P., Lindholm, S., Gyllensward, F.,
et al. (2012). State of the art of visualization in post mortem imaging.
APMIS Volume 120 , 316-326.
27.Mahesh, S., & Kumar , S. R. (2015). Critical Evaluation and Contribution of
Virtopsy to Solved Crime. Research Journal of Forensic Sciences , 1-9.
28.Mitka, M. (2007). CT, MRI Scan Offer New Tools For Autopsy. Medical News
& Persepctive , 298.
29.NHS Implementation Sub-Group of the Department of Health Post Mortem,
Forensic and Disaster Imaging Group. (2012). Can Cross-Sectional Imaging
49
50
43.Schweitzer, W., Thali, M., Breitbeck, R., & Ampanozi, G. (2014). Virtopsy.
Institute of Forensic Medicine , 1-13.
44.Sieswerda-Hoogendoorn, T., & van Rijn, R. R. (2009). Current techniques in
postmortem imaging with specific attention to paediatric applications.
Pediatr Radiol , 141-152.
45.Simons, D., Sassenberg, A., Schlemmer, H.-P., & Yen, K. (2014). Forensic
Imaging for Causal Investigation of Death. Korean J Radiol , 205-209.
46.Sohail, S., Mirza, F. H., & Khan, Q. S. (2010). Postmortem computed
tomography for diagnosis of cause of death in male prisoner. J Pak Med
Assoc , 4-8.
47.Soltanzadeh, L., Imanzadeh, M., & Keshvari, H. (2014). Application of
robotic assisted technology and imaging devices in autopsy and virtual
autopsy. International Journal of Computer Sciences Issues , 104-109.
48.Soltanzadeh, L., Imanzadeh, M., & Keshvari, H. (2014). Application of
robotic assisted technology and imaging devices in autopsy and virtual
autopsy. International Journal of Computer Science Issues , 104-109.
49.Soltanzadeh, L., Imanzadeh, M., & Keshvari, H. (2014, July). Application of
robotic assistedtechnology and imaging devices inautopsy and virtual
autopsy. International Journal of Computer aciences Issue .
50.Stawicki, S. P., Aggrawal, A., Dean, A. J., Bahner, D. A., Steinberg, S. M.,
Stehly, C. D., et al. (2008). Postmortem use of advanced imaging
techniques : Is autopsy going digital? 17-26.
51.Stawicki, S. P., Aggrawal, A., Dean, A. J., Bahner, D. A., Steinberg, S. M.,
Stehly, C. D., et al. (2008). Postmortem use of advanced imaging
techniques : Is autopsy going digital? OPUS 12 Scientist , 17-26.
52.Swift, B., & Rutty, G. N. (2006). Recent Advances in Postmortem Forensic
Radiology. Forensic Pathology Reviews , 355-404.
53.Thali, M. J., Jackowaski, C., Oeterhelweg, L., Ross, S. G., & Dirnhofer, R.
(2007). The Swiss virtual autopsy approach. Leg Med , 9, 100-104.
54.Thali, M. J., Jackowski, C., Oesterhelweg, L., Ross, S. G., & Dirnhofer, R.
(2007). Virtopsy - the swiss virtual autopsy approach. Legal medicine ,
100-104.
55.Thali, M. J., Ross, S., Oesterhelweg, L., Grabherr, S., Buck, U., Nather, S., et
al. (2007). Virtopsy - Working on the future of forensic medicine.
Rechtsmedizin , 7-12.
56.Thali, M., Yen, K., Plattner, T., Schweitzer, W., Vock, P., Ozdoba, C., et al.
(2002). Charred Body: Virtual Autopsy with Multi-slice Computer
Tomography and Magnetic Resonance Imaging. forencis Science , 47.
51
57.Thali, M., Yen, K., Schweitzer, W., Vock, P., Boesch, C., Ozdoba, C., et al.
(2003). Virtopsy, a New Imaging Horizon in Forensic Pathology: Virtual
Autopsy by Postmortem Multislice Computed Tomography (MSCT) and
Magnetic Resonance Imaging (MRI)a Feasibility Study. J Forensic Sci .
58.Vogel, B., Heinemann, A., Tzikas, A., Poodendaen, C., Gulbins, H.,
Reichenspurner, H., et al. (2013). Post-mortem computed tomography
(PMCT) and PMCT-angiography after cardiac surgery. Possibilities and
limits. ARCH. MED. SD. KRYMINOL , 155-171.
59.Votino, C., Cannie, M., Segers, V., Dobrescu, O., Dessy, H., Gallo, V., et al.
(2012). Virtual autopsy by computed tomographic angiography of the fetal
heart: a feasibility study. Ultrasound Obstet Gynecol , 679684.
60.Weustink, A., Hunink, M., van Dijke, C., Renken, N., & Krestin, G. (2009).
Minimally Invasive Autopsy: An Alternative to Conventional Autopsy?
Radiology .
61.Wichmann, D., Heinemann, A., Weinberg, C., & Vogel, H. (2014). Virtual
Autopsy With Multiphase Postmortem Computed Tomographic. Annals of
Internal Medicine , 534-541.
62.Zerbini, T., Ferraz da Silva, L., Gonc, I., Ferro, Kay, F., Junior, E., et al.
(2014). Differences Between Postmortem Computed Tomography and
Conventional Autopsy in a Stabbing Murder Case. Clinics , 683 - 687.
63.Zimmermann, D. (2011). Virtopsy & forensic imaging: legal parameters
and impact. AsiaPacific Coroners Society Conference, (pp. 1-22).
Queensland.
52
53