Você está na página 1de 6

Aspek psikiatri sebelum terinfeksi HIV

a. Faktor Internal
Kepribadian : kepribadian yang labil, serta mudah terpengaruh oleh
orang lain, gangguan kepribadian depresif. Teori psikologis melibatkan
kehilangan diri, pengasuhan orang tua yang buruk, dan superego yang
menghukum.
Keluarga : Ketidakharmonisan hubungan keluarga (broken home) dan
matinya hubungan komunikasi antar mereka. Ketidakharmonisan yang terus
berlanjut sering berakibat perceraian. Maka seseorang yang berhadapan dengan
situasi demikian akan mudah merasa putus asa, frustasi, bingung, dan ketiadaan
pegangan dalam hidupnya. Mereka akan mencari kompensasi diluar rumah
sehingga mudah terjerumus ke dalam narkotika.
b. Faktor eksternal
Faktor tekanan kelompok teman sebaya yakni Pergaulan dengan teman
sebaya memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam masa remaja. Pada masa ini,
remaja tidak hanya mendefinisikan dirinya dengan menggunakan standar yang ada
pada dirinya, namun juga standar luar yang dibentuk oleh teman-temannya. Dunia
teman sebaya sebagai ajang pembanding dan eksplorasi untuk memperoleh
informasi pembentuk identitas mereka. Jadi positif dan negative pergaulan teman
sebaya akan sangat mempengaruhi. Tekanan negatif dari teman sebaya dapat
menjadi risiko tersendiri.

Aspek Psikiatri Pada ODHA


a. Demensia Terkait HIV
Diagnosis demensia akibat penyakit HIV apabila terdapat demensia yang
dianggap merupakan konsekuensi patofisiologi langsung penyakit HIV. Meski
demensia yang disebabkan HIV ditemukan pada sebagian besar pasien yang
terinfeksi HIV harus dipertimbangkan pula kausa lain demensia pada pasien ini.
Kausa tersebut meliputi infeksi SSP atau neoplasma SSP. Munculnya demensia,
1

merupakan tanda prognostik buruk dan 50 sampai 75 persen pasien dengan


demensia meninggal dunia dalam waktu 6 bulan.
Istilah demensia terkait HIV (HIV associated dementia HAD)
mencakup spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV
pada SSP. HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motorik, dan perilaku.
Pada bagian akhir spektrum yang parah ini terdapat Aids Demensia Complex, satu
kondisi yang dapat mengakibatkan kerusakan SSP secara bermakna dan ini
merupakan suatu penyulit yang didefinisikan AIDS. ADC adalah demensia
subkortikal, dan perkembangannya terjadi secara tersembunyi.
Sebagai demensia subkortikal, biasanya tidak disertai gejala kognitif fokal,
seperti afasia, apraksia, dan agnosia. Gejala motorik biasanya menyeluruh. ADC
mempunyai tahapan dari 0 sampai 4, dengan tahap 0 adalah fungsi mental dan
motor yang normal, dan tahap 4 merupakan tahap akhir, dengan kekurangan
kognitif dan motorik yang parah Secara khas, pasien yang menderita HAD mulamula mengeluhkan terjadinya penurunan kognitif yang ringan, seperti mental
yang lamban dan sulit untuk berkonsentrasi, mengingat, dan menyelesaikan tugas.
Pada titik ini, hasil pemeriksaan sederhana untuk mengetahui keadaan
mental biasanya normal, tetapi beberapa kemunduran psikomotor mungkin
terlihat. Gejala motorik dapat mencakup mudah kikuk atau gaya berjalan seperti
sempoyongan serta refleks-refleks primitif dari hidung (snout), genggaman
(grasp), telapak tangan (palmomental), serta pergerakan jari yang melambat dan
kesulitan untuk mengatur gerakan mata. Dalam perilaku, menarik diri dari
pergaulan, apatis, atau berkurangnya perhatian kepada teman atau kegemaran
mungkin terjadi.
b. Gangguan Kognitif Ringan.
Bentuk keterlibatan otak yang lain yang tidak terlalu parah disebut
gangguan neurokognitif oleh karena HIV, dikenal juga sebagai ensefalopati.
Gangguan ini ditandai dengan hendaya fungsi kognitif dan penurunan aktivitas
sosial. Tidak ada temuan laboratorium yang spesifik untuk gangguan ini dan hal
ini terjadi terlepas dari depresi dan ansietas.

c. Delirium
Delirium dapat timbul akibat kausa yang sama dengan yang menyebabkan
demensia pada pasien terinfeksi HIV. Pasien AIDS yangndirawat inap berisiko
lebih tinggi untuk mengalami delirium dengan kejadian 30% sampai 40%.
Delirium ditandai dengan adanya gangguan pada ketajaman dan kesadaran, dan
ketidakmampuan untuk menghadapi rangsangan luar atau berkonsentrasi. Ini
bertambah besar dan melemah, tetapi semua gejala mungkin tidak berubah-ubah
secara serempak. Pasien sering kali memperlihatkan gerak-gerik psikomotor
kegiatan motor berulang tanpa arti seperti mengumpat pada seprai atau baju atau
memainkan peranan atau menanggapi gangguan persepsi. Halusinasi visual dan
paranoid, karena disorientasi dan gangguan siklus tidur-bangun.
d. Gangguan Ansietas
Pasien terinfeksi HIV mungkin mengalami gangguan ansietas jenis apapun
namun, yang paling sering adalah gangguan ansietas menyeluruh, gangguan stress
pasca trauma, dan gangguan obsesif kompulsif. Reaksi ansietas pada ODHA
sering kali mencakup rasa khawatir yang mendalam, ketakutan, dan prihatin
terhadap kesehatan, masalah somatik, kematian, dan ketidakpastian mengenai
penyakitnya. Reaksi ini kerap kali mengarah kepada sulit tidur dan berkonsentrasi
dan meningkatnya keluhan somatik. Lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan
selama pengobatan baru atau penyakit akut. Penanganan tergantung pada luas dan
sifat penyakit tertentu dan gejala yang diperlihatkan. Psikoterapi sering kali cukup
membantu,

khususnya

dalam

keadaan

hubungan

konseling.

Intervensi

farmakologi sebaiknya di bawah pengawasan psikiater.


e. Gangguan Depresi
Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan
penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk
menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian
depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari
yang ada di dalam masyarakat umum. Diagnosis depresi juga bisa menjadi sulit
pada Odha, seperti pada sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi

berbagai cara tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya
mengetahui perwujudan psikiatri dan somatik tertentu dari penyakit tersebut.
Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan
sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma (cap buruk), yang mungkin
mempengaruhi seseorang menjadi depresi. Depresi pada Odha juga dikaitkan
dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan
daya ingat serta konsentrasi.
f. Mania
Perwujudan mania mencakup suasana hati yang meningkat, meluap, atau
lekas marah; grandiosity; peningkatan tenaga dan berkurangnya kebutuhan akan
tidur; kemampuan bicara tertekan; pikiran cepat; bertindak sesuai kata hati; dan
kemungkinan berkhayal, berhalusinasi, dan gejala psikosis lain yang jelas. Mania
sebagai gejala yang tampak atau sebagai akibat dari HIV tercatat mengalami
peningkatan secara bermakna pada pasien dengan AIDS.
g. Bunuh diri
Ide dan percobaan bunuh diri dapat meningkat pada pasien terinfeksi HIV
dan AIDS. Faktor resiko bunuh diri pada orang Infeksi HIV adalah memiliki
teman yang meninggal akibat AIDS, baru diberitahu HIV seropositif, relaps,
masalah sosial besar karena homoseksualitas, dukungan sosial dan finansial tidak
mencukupi.
h. Worried Well
Keadaan yang dimaksud worried well adalah mereka yang berada pada
kelompok risiko tinggi yang meski seronegatif dan bebas penyakit, cemas tertular
virus tersebut, Beberapa dapat diyakinkan dengan hasil uji serum ulang negatif,
namun yang lain tidak dapat diyakinkan. Status worried well mereka berlanjut
menjadi ansietas menyeluruh, serangan panik, gangguan obsesi kompulsif, dan
hipokondriasis.

Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Suatu daftar yang terus berkembang berisi agen yang bekerja dengan cara
yang berbeda dalam replikasi virus untuk pertama kalinya menumbuhkan harapan
bahwa HIV dapat disupresi secara permanen atau benar-benar dieriadikasi oleh
tubuh. Rekomendasi terkini menganjurkan bahwa pengobatan sebaiknya dimulai
dengan terapi tripel yaitu kombinasi dua penghambat transkriprase terbalik
ditambah satu penghambat protease. Terapi tripel dapat digunakan untuk orang
yang telah mengalami kontak seksual tak terduga dengan pasangan dengan
pasangan yang berpotensi terinfeksi. Terapi tripel dimulai segera setelah kejadian
dan biasanya dilanjutkan selama tiga bulan.
Agen retroviral memiliki banyak efek samping, yang paling penting bagi
psikiater adalah bahwa penghambat protease dimetabolisasi oleh sistem oksidase
sitokrom P450 hepatik dan oleh karena itu dapat meningkatkan kadar beberapa
obat psikotropik yang dimetabolisme dengan cara serupa. Obat tersebut mencakup
bupropion (wellbutrin) , meperidin (demerol), berbagai jenis benzodiazepin, dan
serotonin spesific reuptake inibitor (SSRI). Oleh karena itu harus berhati-hati
meresepkan psikotropik kepada orang yang mengonsumsi penghambat protease.
Jika terdapat kerusakan neurologis, maka diindikasikan penilaian suportif
yang biasa dilakukan untuk orang yang secara neurokognitif terganggu. Hal ini
meliputi penekanan upaya untuk mempertahankan orientasi yang baik,
penghindaran obat yang dapat membahayakan fungsi kognitif lebih jauh, terutama
golongan benzodiazepin. Bila harus digunakan maka sebaiknya obat tersebut
diberikan dalam dosis yang rendah dari biasa. Obat antidepresan dan antipsikotik
bila diindikasikan, mungkin juga harus meresepkan dalam dosis yang jauh lebih
rendah (contoh 25 persen dosis yang biasa direkomendasikan).
b. Psikoterapi
Psikoterapi ialah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional
seorang pasien yang dilakukan oleh seorang terlatih dalam hubungan profesional

secara sukarela dengan maksud hendak menghilngkan, mengubah, atau


menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan
mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif.
Tema psikodinamik pasien terinfeksi HIV mencakup menyalahkan diri
sendiri, harga diri, dan masalah tentang kematian. Psikiater dapat membantu
pasien mengatasi perasaan bersalah seputar perilaku yang menyebabkan dirinya
terkena infeksi atau AIDS. Beberapa pasien HIV dan AIDS merasa bahwa dirinya
dihukum. Seluruh kisaran pendekatan psikoterapetik mungkin mungkin sesuai
untuk pasien dengan gangguan terkait HIV. Baik terapi individu maupun
kelompok menjadi efektif. Terapi individu dapat bersifat jangka pendek dan
jangka panjang dan dapat berupa suportif, kognitif, perilaku, atau psikodinamik.
Psikoterapi supportif pada pasien HIV bertujuan untuk menguatkan daya
mental yang ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan yang lebih
baikuntuk mempertahankan kontrol diri, mengembalikan keseimbangan adaptif
(dapat menyesuaikan diri). Seperi berupa bujukan, sugesti, bimbingan,
penyuluhan, hipnoterapi. Psikoterapi kelompok

berguna untuk membebaskan

individu dari stress membantu para anggota kelompok agar dapat mengerti lebih
jelas sebab musabab kesukaran mereka; membantu terbentuknya mekanisme
pembelaan yang lebih baik, yang dapat diterima dan yang lebih memuaskan. Agar
proses kelompok berjalan lancar maka, individu harus diterima sebaik-baiknya
sebagaimana adanya dan pembatasan yang tidak perlu dihindarkan dan
diskriminasi.
Sumber
Maramis, Willy dan Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
Barry Guze MD. 2005. The Handbook of Psychiatry. Jakarta EGC

Você também pode gostar