Você está na página 1de 12

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Gizi
IstilahgiziberasaldaribahasaArabgizayangberartizatmakanan,dalambahasa
Inggrisdikenaldenganistilahnutritionyangberartibahanmakananatauzatgiziatau
seringdiartikansebagaiilmugizi.Pengertianlebihluasbahwagizidiartikansebagai
prosesorganismemenggunakanmakananyangdikonsumsisecaranormalmelaluiproses
pencernaan,penyerapan,transportasi,penyimpanan,metabolisme,danpengeluaranzat
gizi untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ tubuh
sertauntukmenghasilkantenaga.(DjokoPekikIrianto,2006:2).
MenurutSunitaAlmatsier,(2009:3)ZatGiziadalahikatankimiayangdiperlukan
tubuhuntukmelakukanfungsinyayaitumenghasilkanenergi,membangun,memelihara
jaringan serta mengatur prosesproses jaringan. Gizi merupakan bagian penting yang
dibutuhkanolehtubuhgunaperkembangandanpertumbuhandalambentukdanuntuk
memperolehenergi,agarmanusiadapatmelaksanakankegiatanfisiknyaseharihari.
Asupan nutrisi yang baik seperti cukupnya vitamin A, vitamin D, kalsium,
vitamin C, fosfor, magnesium, dll dapat membantu pertumbuhan dan pembentukan
tulang yang kuat dan sempurna (Brunner and Suddarth, 2002; Supariasa, 2002; Amitabh,
2007 dalam ).
B. Gizi Bagi Kesehatan Tulang, Sendi Dan Otot Pada Kelompok Usia Dewasa
1. Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Sekitar
99 persen total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras yaitu tulang dan
gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit, hanya sebagian kecil dalam plasma cairan
eskstravaskuler (Syafiq, 2007).
Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh. Sebagian besar
terdapat dalam bentuk kalsium fosfat yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam
tulang dan gigi yang tidak larut. Proses ini diawali dengan kalsium membentuk
hidroksiapatit yang memberikan kekuatan dan kekakuan pada tulang (Waluyo, 2009).
Hasil penelitian Meikawati (2009) yang dilakukan pada remaja membuktikan
bahwa asupan fosfor berhubungan dengan kepadatan tulang. Tubuh memerlukan
kalsium karena setiap hari tubuh kehilangan mineral tersebut melalui pengelupasan
kulit, kuku, rambut, dan juga melalui urine dan feses. Kehilangan kalsium harus
diganti melalui makanan yang dikonsumsi oleh tubuh. Jika jumlah kalsium yang
dibutuhkan oleh tubuh tidak sesuai maka dapat menimbulkan penyakit yang disebut

dengan osteoporesis. Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan tulang
menjadi keropos lalu terkelupas. Karena kekurangan kalsium, tulang menjadi rapuh
(Sumarianto, 1985). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rahmawati (2006), yang
membuktikan pada mahasiswi bahwa ada hubungan bermakna antara intake kalsium
dengan status osteoporosis.
Untuk menunjang kesehatan tulang dan aktivitas tubuh yang lain setiap
individu tidak memiliki kebutuhan yang sama. Usia dan kondisi kesehatan menjadi
faktor yang menentukan (Tagliaferri, 2007). Cara yang paling efektif adalah dengan
menyesuaikan kebutuhan sehari-hari kalsium. Anjuran kalsium bervariasi tergantung
pada umur dan kebutuhan khusus (Pho, 2004). Angka kecukupan kalsium menurut
Angka Kecukupan Gizi tahun 2004 dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1. Angka Kecukupan Konsumsi Kalsium
Kelompok Umur

Jumlah (mg/hari)

10-12 tahun
13-15 tahun
16-28 tahun
19-20 tahun
30-49 tahun
50-64 tahun

1000
1000
1000
800
800
800

10-12 tahun
13-15 tahun
16-28 tahun
19-29 tahun
30-49 tahun
50-64 tahun
60+ tahun
Trimester 1
Trimester 2
Trimester 3
6 bulan pertama
6 buan kedua

1000
1000
1000
800
800
800
800
+150
+150
+150
+150
+150

Laki-laki

Wanita

Hamil (+an)
Menyusui (+an)

Tubuh yang sehat akan selalu mempertahankan kalsium pada batas normal.
Inilah yang disebut homeostatis kalsium. Jika dari pola makan unsur kalsium
tidak mencukupi, maka tubuh mempunyai cara-cara untuk menjaga agar kalsium
darah tidak menurun, yaitu dengan mengandalkan peran hormon kalsitonin,
hormon anak gondok, dan vitamin D (Waluyo, 2009).
Homeostatis kalsium negatif disebabkan oleh kurangnya asupan makanan,
penyerapan yang lemah atau pengeluaran yang berlebihan yang mengakibatkan

kehilangan kalsium dari tulang dan selanjutnya dapat meningkatkan kejadian


patah tulang (Ariswan, 2010).
1) Sumber Kalsium
Sumber kalsium terbagi dua, yaitu hewani dan nabati. Akan tetapi, jika
bahan hewani dikonsumsi berlebihan, bisa menghambat penyerapan kalsium,
karena kadar proteinnya tinggi. Kandungan proteinnya yang tinggi akan
meningkatkan keasaman (pH) darah. Guna menjaga agar keasaman darah tetap
normal, tubuh terpaksa menarik deposit kalsium (yang bersifat basa) dari
tulang, sehingga kepadatan tulang berkurang. Karena itu, sekalipun kaya
kalsium, makanan hewani harus dikonsumsi secukupnya saja. Jika berlebihan,
justru dapat menggerogoti tabungan kalsium dan mempermudah terjadinya
keropos tulang (Ariesi, 2007). Hal ini sejalan dengan penelitian Feskanich
(1997) yang membuktikan pada wanita bahwa protein dapat meningkatkan
pengeluaran kalsium dari urin.
Sekitar 70% kalsium dalam makanan berasal dari susu dan hasilhasilnya terutama keju pada orang dewasa. Hanya sedikit sayuran hijau dan
buah-buahan kering merupakan sumber kalsium yang baik (16% dari asupan)
dan air minum, termasuk air mineral, menyediakan 6% sampai 7% (Gueguen,
2000). Berikut akan disajikan dalam bentuk tabel beberapa jenis makanan
yang mengandung kalsium tinggi.
Tabel 2.1 Daftar Kandungan Kalsium per 100 gr
Kelompok Bahan Makanan
Susu dan produknya

Ikan

Bahan Makanan

Mg Ca / 100

Susu sapi
Susu kambing
ASI
Keju
Yoghurt
Susu pabrik (kalsium)
Teri kering
Rebon
Teri segar

gram bahan
116
129
33
90-1180
150
1450-2000
1200
769
500

Sarden kaleng (dengan tulang)


Sayuran
Daun pepaya
Bayam
Sawi
Brokoli
Kacang-kacangan dan hasil Kacang panjang
Susu kedelai (250 ml)
olahannya
Tempe

354
353
267
220
110
347
250
129

Serealia

Tahu

124

Jali
Havermut

213
53

Tersedianya kalsium di dalam tubuh berasal dari beberapa bahan


makanan yang dikonsumsi yang menjadi sumbernya. Selanjutnya unsur
kalsium ini disimpan dalam jaringan spons tulang. Adapun dalam
penggunaannya diatur oleh kelenjar anak gondok (Kartasapoetra, 1995). Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Rahmawati (2006), yang membuktikan pada
mahasiswi bahwa ada hubungan yang bermakna antara variabel status
osteoporosis dengan pola konsumsi susu, tempe dan telur ayam yang
merupakan bahan makanan sumber kalsium.
Dari tempat penyimpanannya, kalsium dapat diambil dan disimpan
kembali tergantung dari kebutuhan. Kebutuhan kalsium akan meningkat pada
masa pertumbuhan, kehamilan, selama menyusui, dan setelah menopause
(Dalimartha, 2002).
Selain itu, hasil penelitian Suryono dkk (2007) juga menyimpulkan
bahwa pemberian susu kalsium tinggi berpengaruh pada peningkatan
kepadatan tulang pinggang, semakin tinggi volume susu kalsium tinggi
dikonsumsi, maka makin tinggi kepadatan tulang pinggang. Soroko (1994)
dalam penelitiannya pada wanita lansia menyimpulkan bahwa mengonsumsi
susu secara teratur pada remaja dan dewasa berhubungan dengan kepadatan
tulang yang lebih baik pada masa lansia.
2) Absorpsi Kalsium
Absorbsi kalsium dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk umur,
jumlah yang dibutuhkan dan makanan apa saja yang dimakan pada waktu yang
sama. Umumnya, kalsium dari sumber-sumber makanan diabsorbsi lebih baik
daripada yang berasal dari suplemen. Persentase kalsium yang diabsorbsi dan
dicerna anak-anak lebih tinggi daripada dewasa karena kebutuhan mereka
selama dorongan pertumbuhan mungkin dua atau tiga kali lebih besar per berat
badan daripada dewasa (Harding, 2006).
Ada beberapa faktor yang menghambat absorpsi kalsium menurut
Waluyo (2009), konsumsi serat yang berlebihan, hal ini akan mengurangi
penyerapan kalsium dalam usus karena serat menyebabkan waktu transit
makanan di dalam saluran pencernaan menjadi lebih sedikit sehingga waktu
yang tersedia untuk proses penyerapan juga menjadi hanya sebentar

Penggunaan garam yang berlebihan, garam akan memaksa kalsium


keluar dari tubuh, terbuang melalui urine. Konsumsi makanan dan minuman
berkadar tinggi fosfor, kadar fosfor melebihi 1.500 mg per hari akan
berpengaruh buruk terhadap keseimbangan kalsium tubuh. Contoh bahan
makanan berkadar fosfor tinggi dan rendah kalsium : daging merah, ikan tuna,
minuman ringan, dan lain-lain.
Perbandingan kalsium dan fosfor berpengaruh erat dalam proses
absorpsi kalsium. Untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan perbandingan
Ca : P di dalam rongga usus (dalam hidangan) adalah 1 : 1 sampai 1 : 3.
Perbandingan Ca : P yang lebih besar dari 1 : 3 akan menghambat penyerapan
Ca sehingga akan menimbulkan defisiensi kalsium (Syafiq, 2007). J.J Groen
dkk (1970) melakukan pemeriksaan histologist 4 spesimen mayat dan
menyimpulkan bahwa defisiensi kalsium dan kelebihan fosfor yang
menyebabkan resorpsi tulang paling berpengaruh pada tulang rahang, diikuti
tulang rusuk, tulang belakang dan tulang panjang. Bersama-sama dengan
kalsium, fosfor adalah komponen utama dalam tulang. Jika fosfor dalam
makanan melebihi kalsium, massa tulang dapat berkurang. Fosfor dapat
meningkatkan hormon parathyroid (yang mengeluarkan kalsium dari tulang)
dan menyebabkan kalsium dikeluarkan melalui urine (Lane, 1999).
Konsumsi makanan berprotein tinggi, konsumsi berlebihan makanan
berkadar protein yang melebihi kebutuhan tubuh, akan berpengaruh buruk
pada keseimbangan kalsium tubuh. Pola hidup tidak sehat, termasuk kebiasaan
minum kopi berlebihan, kecanduan rokok dan minuman keras. Semua ini akan
mengganggu penyerapan kalsium dalam usus.
Selanjutnya alergi laktosa, ada orang-orang yang ususnya tidak bisa
menyerap makanan yang mengandung laktosa, yaitu sejenis gula yang
terkandung dalam produk-produk olahan susu. Biasanya sudah dimulai sejak
kanak-kanak. Sindrom malabsorpsi yaitu hampir sama dengan alergi laktosa
yang juga disebabkan produk olahan susu, tetapi disebabkan oleh penyakit
seliak atau penyakit usus karena sensitif terhadapa zat gluten.
3) Fungsi Kalsium
Tersedianya kalsium dalam tubuh adalah penting sehubungan dengan
peranan-peranannya menurut Marsetyo (1995) dalam pembentukan tulang dan
gigi, pada berbagai proses fisiologik dan biokimiawi di dalam tubuh (pada
pembekuan darah, eksitabilitas, syaraf otot, kerekatan seluler, transmisi impul-

impul syaraf, memelihara dan meningkatkan fungsi membran sel, dan


mengaktifkan reaksi enzim dan pengeluaran hormon).
Sehubungan dengan peranan-peranannya itu, maka fungsi zat kapur
(Ca) dalam tubuh dapat diringkaskan yaitu bersama fofor membentuk matriks
tulang, pembentukan ini dipengaruhi pula oleh vitamin D, membantu proses
penggumpalan darah dan mempengaruhi penerimaan rangsang pada otot dan
syaraf.
4) Kekurangan Kalsium
Menurut Marsetyo (1995), kekurangan unsur kalsium dalam
persediannya di dalam tubuh dapat menimbulkan karies dentis atau kerusakan
pada gigi, pertumbuhan tulang menjadi tidak sempurna dan dapat
menimbulkan rakhitis, apabila bagian tubuh terluka maka darah akan sukar
membeku sehingga pengeluaran darah bertambah, dan terjadinya kekejangan
pada otot.
a. Vitamin D
Vitamin secara umum merupakan senyawa organik yang selalu dibutuhkan
tubuh yang berfungsi untuk metabolisme sel secara normal, pertumbuhan dan
pemeliharaan jaringan tubuh (Keith 1994). Salah satu vitamin yang terkait dengan
pembentukan jaringan tulang adalah vitamin D.
Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang fungsinya di dalam tubuh
cukup unik karena mirip dengan fungsi hormon. Fungsi biologis utama dari
vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum dalam
kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap
mineral-mineral tersebut dari makanan. Sumber utama vitamin D terutama
diperoleh dari susu serta berbagai produk olahannya (Muhilal dan Sulaeman
2004).
Status vitamin D yang rendah banyak terjadi pada lansia yang kurang
terkena sinar matahari dan vitamin D plasma yang rendah, dihubungkan dengan
peningkatan risiko patah tulang panggul ( Lips 2001). Suatu penelitian di Boston
menunjukkan bahwa keragaman kepadatan tulang terkait dengan perubahan
musim, yang dihubungkan dengan pemaparan dengan sinar matahari dan status
vitamin D (Krall dan Dawson-Hughes,1999).
Suatu penelitian klinis yang mengombinasikan enggunaan vitamin D dan
kalsium menghasilkan penurunan secara nyata kejadian patah tulang dibandingkan
dengan kelompok plasebo (Dawson-Hughes et al. 1997). Penelitian yang
dilakukan pada wanita kelompok Nurses Health Study yang mengonsumsi

vitamin D > 12,5 g memiliki risiko patah tulang panggul 75% lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok yang mengonsumsi < 3,5g per hari (Feskanich
et al. 2003).
b. Vitamin C
Selian vitamin D, vitamin C juga cukup mempunyai peranan dalam
pembentukan tulang. Fungsi vitamin C antara lain adalah sebagai antioksidan
yang larut dalam air dan juga berperan dalam berbagai reaksi hidroksilasi yang
dibutuhkan untuk sintesis kolagen, karnitin dan seronin. Dengan demikian vitamin
C bermanfaat untuk meingkatkan aktivitas tubuh (Keith, 1994). Selain itu, fungsi
vitamin C pada tubuh juga sebagai anti radang gusi (scurvy), antioksidan,
pertahanan tubuh dan penyembuhan luka. Sumber utama dapat diperoleh dari
buah dan sayuran segar (Setiawan dan Rahayu 2004).
Pada proses pembentukan tulang, vitamin C berfungsi untuk stabilitas
kolagen dan pembentukan tulang. Defisiensi vitamin C dihubungkan dengan
terganggunya hubungan antar jaringan tubuh (Peterkofsky 1991). Serum asam
askorbat (vitamin C) pada pria berhubungan nyata dengan kepadatan tulang . Pada
wanita pasca menopause dengan sejarah merokok dan penggunaan esterogen,
peningkatan 1 standar deviasi (SD) kadar serum asam askorbat dapat dihubungkan
dengan penurunan prevalensi patah tulang sebesar 45%. Akan tetapi, pada wanita
dengan sejarah tidak merokok dan tidak menggunakan esterogen, kadar serum
asam askorbat tidak tampak berhubungan dengan rendahnya kepadatan tulang
(Tucker 2003).
c. Fosfor
Sebagai suatu bahan anorganik, jumlah fosfor dalam tubuh manusia
terbanyak kedua setelah kalsium, di mana 85% fosfor ini terikat dalam kerangka.
Fosfor dapat diperoleh dari berbagai bahan pangan, seperti daging, unggas, ikan,
telur, susu dan produk olahannya, kacang-kacangan, biji-bijian dan sayur-sayuran.
Tujuan utama mengonsumsi fosfor adalah untuk menunjang pertumbuhan dan
sebagai pengganti fosfor yang hilang dari tubuh. Konsumsi fosfor telah meningkat
10% hingga 15% lebih dari 20 tahun terakhir karena peningkatan penggunaan
garam fosfat sebagai bahan pangan tambahan (food additives) dan pada minuman
berkarbonat (Ilich dan Kerstetter 2000).

Hal yang perlu dicatat adalah bahwa database zat gizi belum
mencerminkan perubahan ini dan masih di bawah perkiraan asupan fosfor secara
nyata (Calvo dan Park 1996).
Asupan makanan mengandung fosfor pada orang dewasa di Amerika
Serikat berkisar antara 1000 hingga 1500 mg/hari, suatu tingkatan yang berada di
atas asupan yang dianjurkan yaitu sekitar 700 mg/hari (Ilich dan Kerstetter 2000).
Walaupun fosfor adalah zat gizi yang penting, perlu dipertimbangkan
bahwa jumlah yang berlebihan dapat merusak tulang. Sebagai contoh, suatu
peningkatan konsumsi makanan yang mengandung fosfor akan meningkatkan
konsentrasi fosfor serum, akan menghasilkan suatu penurunan sementara kalsium
terionisasi dalam serum mengakibatkan peningkatan sekresi hormon paratiroid
yang potensial menyerap tulang.
Fungsi utama hormon paratiroid adalah untuk mencegah hipokalsemia
dengan meningkatkan penyerapan kalsium pada tulang. Hipotesis bahwa asupan
fosfor yang berlebihan adalah berbahaya pada tulang telah dicobakan pada orang
dewasa yang secara terkontrol mengonsumsi makanan yang mengandung 1660 mg
fosfor dan 420 mg kalsium. Setelah 24 jam, makanan yang dikonsumsi
menghasilkan peningkatan indeks aktivitas hormon paratiroid (Calvo et al. 1988).
Penelitian lain menenemukan bahwa konsumsi pangan yang banyak mengandung
fosfor tinggi seperti minuman berkarbonat mempunyai pengaruh yang tidak
menguntungkan bagi tubuh. Beberapa studi telah menunjukkan adanya penurunan
massa tulang dan peningkatan kejadian patah tulang akibat konsumsi minuman
berkarbonat (Wyshak et al.1989 ; Petridou et al. 1997.) Akan tetapi hasil
penelitian Whitting et al. (2002) menunjukkan tidak terdapat hubungan nyata
antara asupan fosfor dengan kepadatan tulang.
d. Protein
Asupan protein harian seseorang seimbang dengan nitrogen yang
dikeluarkan tubuh untuk menjaga keseimbangan energi pada tingkat aktivitas
sedang. Sumber utama protein adalah susu, ikan, telur, daging dan kacangkacangan (Hardinsyah dan Tampubolon 2004).
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa asupan protein yang tinggi terkait
erat dengan keluarnya kalsium melalui urin. Hal ini karena adanya peningkatan
muatan asam yang bertindak sebagai buffer kalsium tulang, asupan protein yang
lebih tinggi diperkirakan dapat dihubungkan dengan lebih rendahnya kepadatan
tulang. Secara umum juga diasumsikan bahwa kandungan belerang yang relatif

tinggi pada daging menyebabkan adanya muatan asam endogenus yang


menyebabkan berkurangnya kepadatan tulang (Tucker 2003). Heaney (2001)
menyatakan bahwa asam dari protein hewani tidak lebih tinggi daripada protein
nabati. Sebastian et al. (2001) menegaskan bahwa produk asam bikarbonat zat
non-protein dari tumbuhan dapat menetralisir asam belerang, karena sumber
protein tumbuhan lebih banyak dikonsumsi daripada sumber proten hewani. Suatu
penelitian membuktikan bahwa asupan kalsium yang tinggi tidak dapat mencegah
keseimbangan kalsium yang negatif dan berkurangnya kepadatan tulang yang
disebabkan asupan tinggi protein (Allen et al. 1979). Penelitian lain menunjukkan
bahwa tidak terdapat keterkaitan yang nyata antara asupan protein dengan
kepadatan tulang (Whitting et al. 2002).
Pada umumnya penelitian yang memperlihatkan konsumsi protein yang
tinggi berpengaruh negatif pada kepadatan tulang hanya dilakukan pada waktu
yang singkat dan tidak dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pada masyarakat yang hidup bebas, kekurangan
asupan protein berkontribusi pada keseimbangan kalsium yang negatif dan juga
dihubungkan dengan peningkatan risiko patah tulang pada saat usia lanjut
(Patterson et al. 1996 ; Bastow et al. 1983). Penelitian yang dilakukan oleh Iowa
Womens Health Study (Munger et al. 1999) menunjukkan bahwa asupan protein
hewani yang lebih tinggi sebesar 70% berhubungan dengan pengurangan kejadian
patah tulang panggul. Penelitian penggunaan suplementasi protein pada wanita
lansia setelah kejadian patah tulang panggul, menunjukkan adanya pengaruh
menguntungkan pada kepadatan tulang dan kekuatan tubuh. Dari penelitianpenelitian ini menunjukan bahwa kekurangan protein, khususnya saat lansia,
berkontribusi pada terjadinya osteoporosis.
e. Zat Besi
Zat besi merupakan zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Defisiensi zat
besi dapat menyebabkan menurunnya kemampuan untuk beraktivitas, kelelahan,
dan muka pucat. Keberadaan zat besi besi dalam tubuh dapat dilihat dari
keberadaan hemoglobin (Hb), ferritin dan transferin. Menurut Sauberlich (1999),
pengukuran Hb, ferritin dan transferin selain mudah dilakukan, juga lebih dapat
dipercaya untuk menggambarkan status besi dalam darah. Dari hasil penelitian
yang dilakukan, terdapat hubungan antara massa tulang dengan ferritin dalam
percobaan klinis selama empat tahun melalui pemberian suplementasi kalsium

pada wanita remaja. Terdapat suatu kecenderungan hubungan yang positif antara
kepadatan tulang lengan bawah dan ferritin serum awal.
Suatu kecenderungan yang sama terjadi antara kepadatan tulang tubuh total
dan kandungan ferritin serum selama empat tahun studi, tetapi hanya pada
kelompok plasebo (Ilich et al. 1998). Studi-studi berikutnya sangat diperlukan
untuk menjelaskan kecenderungan tersebut, khususnya pada masyarakat yang
menderita defisiensi zat besi (Ilich dan Kerstetter 2000).
Penyerapan zat besi dapat dihambat oleh asupan yang tinggi mineral
lainnya dan trace element, khususnya kalsium. Sejumlah studi telah menunjukkan
adanya pengaruh hambatan dari kalsium pada zat besi dari berbagai suplemen
(garam) atau bahan pangan yang mengandung kalsium (Gleerup et al. 1995 ;
Minihane dan Fairweather-Tait 1998). Akan tetapi, apabila konsumsi kalsium yang
terjadi terpisah dari makanan yang mengandung zat besi, pengaruhnya tidak jelas
(Turnlund et al. 1990 ; Reddy dan Cook 1997).
Terdapat catatan yang berlawanan, bahwa zat besi yang tinggi dapat
menjadi racun pada sel tulang dan berkontribusi pada terjadinya osteoporosis atau
penyakit tulang lainnya pada masyarakat yang metabolisme zat besinya buruk dan
mengonsumsi zat besi berlebihan (Schnitzler et al. 1994). Walaupun pada
umumnya sarapan pagi dengan sereal dan terigu telah difortifikasi dengan zat besi,
akan tetapi bioavailabilitas dari bahan tersebut rendah. Zat besi juga ditemukan
pada sayur-sayuran berwarna hijau gelap (dengan bioavailabilitas yang lebih
rendah). Sumber zat besi yang terbaik adalah dari daging merah, khususnya hati
dan organ daging lainnya (Ilich dan Kerstetter 2000).
1. Sendi

2. Otot
a. Karbohidrat
Menurut William (1991) Karbohidrat adalah sumber energi dasar yang
memungkinkan otot tetap bekerja. Menurut Soekarman (1987) karbohidrat di bagi
mencadi 3 macam yaitu: a) Monosakarida (glukosa dan fruktosa), b) Disakarida
(sukrosa dan maltosa), c) Polysakarida (tepung dan glikogen). Semua macam
karbohidrat sebelum diserap akan dijadkan glukosa.

Beberapa banyak karbohidrat yang dimakan tergantung dari beratnya


latihan. Pada umumnya kebutuhan kalori akan dicukupi oleh makanan dengan
perbandingan sebagi berikut: protein 15%, lemak 30% dan karbohidrat 55%.
b. Lemak
Lemak didalam tubuh berupa triglikerida, asam lemak (fatty acid) dan
kolesterol. Lemak disimpan berujud trigliserid. Lemak merupakan sumber energi
yang paling efisien, semakin terlatih seseorang maka semakin banyak lemak yang
dimanfaatkan sehingga glikogen lebih dihemat. Orang yang terlatih biasanya
banyak menggunakan aerob karena hemoglobinya lebih banyak, kapasitas
pernafasnya lebih besar. Lemak hanya bisa dimetaboliser dengan aerob karena
miskin oksigen. Disel otot ada kandungan lemak tapi yg paling banyak di sel
lemak letaknya dibawah kulit dan disekitar organ-organ dalam (jantung, usus). Sel
lemak bisa bertambah dan menjadi besar kalau sudah terlalu besar maka
kemampuan tubuh utk memenuhinya lebih banyak.
Jumlah lemak dalam makanan yang dibutuhkan seorang atlet berkisar
antara 20 30% dari total energi. Asam lemak esensial harus terdapat di dalam diet,
sementara lemak jenuh harus direstriksi tidak lebih dari 10% intake energi. Lemak
dalam tubuh berperan sebagai sumber energi terutama pada olahraga dengan
intensitas sedang dalam waktu lama, misalnya olahraga endurance
(Soekarman,1987)
c. Protein
Protein tidak memiliki dampak besar terhadap energi, tetapi diet atlet harus
cukup protein yang diperlukan untuk penyembuhan dan pertumbuhan otot, jika
kurang akan merugikan kegiatan otot. Jumlah protein yang dianjurkan pada atlet
untuk membentuk kekuatan otot dan kecepatan sebesar 1,2 1,7 g/kgBB/hari,
untuk endurance/ketahanan dianjurkan 1,2 1,4 g/ kg BB/hari. Pada latihan
intensitas rendah protein diperlukan 1,4 - 2 g /kg BB, latihan berat sebesar 2 g/ kg
bb BB/hari. dan saat latihan intensif diperlukan 2,2 - 2,9 gr/kg BB. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa protein hewani dan nabati harus diberikan dalam
jumlah kurang lebih sama (Yessis dan Trubo, 1993).
Menurut Soekarman (1987) otot terdiri dari banyak protein maka
diperlukan banyak sekali protein apabila ingin memperbesar otot. Kebutuhan

protein untuk seseorang sudah cukup dengan 1 gr/kg berat badan. Jadi kalau
beratnya 60kg cukup dengan protein 60 gr sehari-hainya.

Você também pode gostar