Você está na página 1de 11

ISLAM DAN KATHOLIK SEBAGAI POLITIK TRANSNASIONAL :

PERBANDINGAN KEDUANYA
Oleh : Dudin Samsudin1

Pendahuluan
Tidak bisa disangkal lagi, agama mempunyai peran dalam kehidupan
politik historis maupun kontemporer. Ted dan Mehran dalam tulisannya
Islam and Roman Catholicism as Transnational Political Phenomena: Notes
for a Comparative Research Agenda mengatakan :
We begin by noting the political importance of religion. Today, few
analysts of comparative politics would dispute that religion is often a
central focus in national and international politics. Although many
analysts had earlier suggested that religious politics simply constituted
vestiges of pre-modern systems it cannot be gainsaid that religion is of
vital importance in contemporary political life. Whether one is
concerned with the Palestinian-Israeli conflict, ongoing religio-political
conflict in Lebanon, sectarian violence in Iraq, political cleavages in
Northern Ireland or Afghanistan, and the contemporary desert politics
of the Sudan, or the Christian Right in the United States, the fact that
religion is the center of many contemporary national political
cleavages and international politics conflicts appears to be beyond
controversy.
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan mencoba memberikan
komparasi antara agama dalam hal ini Islam dan Katolik dengan politik.
Agar lebih terarah,

maka diawal tulisan ini terlebih dahulu akan dibahas

tentang Fenomena Gerakan Politik Transnasional, kemudian Hubungan


Agama dan Politik, Islam dan Katholik : Persamaan dan Perbedaannya, dan
diakhiri dengan melihat peran Islam dan Katolik dalam politik Indonesia.
Fenomena Gerakan Politik Transnasional
1 Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Jurusan Sejarah Kebudayaan
Islam Semester III.
1 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

Transnasional merupakan kosakata yang belakangan semakin populer


dan diperbincangkan dengan sangat serius, tidak hanya di Indonesia, tetapi
di

seluruh

bagian

negara

lain.

Hampir

beberapa

tahun

ini

dunia

diguncangkan dengan teror yang mengatasnamakan ISIS. Kelompok yang


menghipnotis banyak orang awam, mengibarkan simbol-simbol agama dan
meneriakkan kalimat-kalimat suci ketuhanan. Mengenai ISIS ini mantan
ketua umum

NU, KH. Hasyim Muzadi 2 menyatakan dengan tegas bahwa

kelompok ini merupakan Gerakan Transnasional Politik Agama yang perlu


diwaspadai. Selain ISIS, keadaan Politik di Sudan yang sampai saat ini terus
dikuasai oleh Amerika dan Inggris merupakan contoh real bahwa politik
transnasional terus terjadi. Lain lagi dengan Irlandia Utara, konflik yang
terjadi sejak tahun 1969 itu terus berlangsung hingga saat ini, dan orang
mengenalnya dengan konflik The Troubles 3.
Yang terbaru, serangan bersenjata di Paris. Kejadian ini disinyalir
merupakan gerakan Politik Transnasional suatu kelompok yang melibatkan
negara-negara lain. Kejadian-kejadian tersebut menjadi bukti bahwa Politk
Transnasional seolah menjadi trend pada era ini.
Secara

literal

transnasional

berarti

lintas

nasional

atau

lintas

kebangsaan. Ideologi transnasional bukan semata sebuah istilah tanpa


makna yang penting. Ia kini dipahami sebagai sebuah istilah bagi gerakan
politik internasional yang berusaha mengubah tatanan dunia berdasarkan
ideologi keagamaan fundamentalistik, radikal dan sangat puritan.
Di

Indonesia

sendiri

begitu

banyak

gerakan-gerakan

Islam

Transnasional yang terjadi, diantaranya Gerakan Ikhwanul Muslimin yang


masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an, HTI, gerakan Salafi Dakwah buatan
Wahabi, dan lain sebagainya.
2 http://www.muslimedianews.com/2014/08/kh-hasyim-muzadi-isis-gerakan.html?
m=1 diakses pada tanggal 17 November 2015 jam 21.01 Wib.
3 The Troubles merupakan Konflik di Irlandia Utara yang melibatkan kaum loyalis
(umumnya Protestan) yang pro bersatu dengan Inggris melawan kaum nasionalis
(umumnya Katolik) yang pro bersatu dengan Irlandia. Tercatat antara tahun 1969
hingga 2001, jumlah korban yang tewas dalam konflik ini mencapai 3500 jiwa lebih.
2 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

Hubungan Agama dan Politik4


Membicarakan hubungan nilai-nilai agama dengan perilaku politik
rasanya sejalan benar dengan penelitian Weber tentang pengaruh nilai-nilai
agama terhadap perilaku ekonomi. Dalam bukunya yang terkenal, The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber berusaha menjelaskan
mengapa kapitalisme modern berkembang di Eropa Barat dan Amerika, dan
tidak berkembang di wilayah lainnya. Dalam penjelasannya dinyatakan
bahwa suatu kegiatan unik yang bersifat keagamaan, yaitu reformasi
Protestan (Calvinisme), telah melahirkan nilai-nilai baru secara mendasar,
yang

memberikan

pengesahan

kepada

usaha-usaha

yang

bercorak

ekonomi5. Agama diakui telah memperjelas nilai-nilai dan norma-norma


kehidupan daripada aspek apapun dalam masyarakat. Artinya bahwa agama
merupakan salah satu di antara sumber nilai yang penting, yang menunjang
budaya politik masyarakat.
Secara

historis

penciptaan

suatu

identitas

bersama

sebagian

didasarkan pada identitas agama. Sampai abad kesembilan belas, orang


belum membuat pembedaan yang tegas antara yang spiritual dan sekuler,
antara yang suci dan yang fana (profane). Pada umumnya, nilai-nilai sakral
memberikan rasa solidaritas sosial yang kuat. Dengan adanya komunitaskomunitas etnis yang relatif homogen dan munculnya negara-bangsa yang
sekuler, dasar-dasar yang bercorak sakral belum juga hilang6.
Pola-pola suara (pemilih) kelompok keagamaan di Amerika Serikat yang
telah diteliti lebih dari lima dekade juga memperlihatkan adanya hubungan
antara agama yang di anut seseorang dengan kehidupan politik. Ada
kecenderungan di kalangan Protestan untuk lebih memilih Partai Republik,
4 Tulisan ini disadur dari tulisan Agama dan Politik oleh Ajat Sudrajat.
5 Ajat Sudrajat, Etika Protestan dan Kapitalisme Barat: Relevansinya dengan Islam
di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hal. 1-11.
6 Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, terj. Lukman Hakim,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hal. 92
3 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

sedangkan orang-orang Katolik dan Yahudi cenderung memilih Partai


Demokrat. Centres melaporkan suatu korelasi

antara Protestantisme dan

Partai Republik; dan Lenski menunjukkan kemungkinan suara untuk Partai


Republik dari berbagai agama dari yang paling tinggi sampai yang paling
rendah, yaitu: Protestan kulit putih, Katolik kulit putih, Protestan Negro, dan
Yahudi. Pada umumnya studi-studi yang ada menunjukkan bahwa orangorang Protestan memiliki kecenderungan untuk memilih Partai Republik 7.
Pola-pola suara kelompok keagamaan sebagian berkaitan dengan
faktor-faktor sosio-ekonomi, dan terdapat adanya tanda-tanda bahwa polapola suara ini berubah secara perlahan. Kebanyakan hasil studi mengenai
suara (pemilih) dalam kaitannya dengan keanggotaan kelompok keagamaan
menunjukkan bahwa kelompok-kelompok keagamaan minoritas cenderung
untuk mendukung partai politik yang liberal. Hubungan ini tidak didasarkan
pada keyakinan keagamaan atau tingkah laku keagamaan, melainkan
semata-mata karena keberadaannya sebagai kelompok minoritas. Penjelasan
ini terutama diperlakukan kepada Katolik, baik di Amerika maupun di
Inggris8.
Dalam

menjelaskan

hubungan

antara

keanggotaan

kelompok

keagamaan dengan suara (pemilih), Janowitz dan Segal menyatakan bahwa


kedudukan Katolik yang minoritas di Amerika Serikat telah menyebabkan
corak politik mereka bersifat liberal. Faktor-faktor lain adalah karena
kebanyakan orang Katolik merupakan kaum imigran9.
Di Indonesia sendiri, khususnya pada masa-masa awal era reformasi,
banyak pemimpin Muslim terkemuka mendirikan partai politik baru, di antara
mereka adalah: Abdurrahman Wahid, pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) yang
7 Michael Argyle and Benjamin Beit-Hallahmi, The Social Psychology of Religion,
London: Routledge & Kegal Paul, 1975 hal. 101 dalam tulisan Ajat Sudrajat Agama
dan Politik
8 Ibid., hal. 103
9 Janowitz, M. and Segal, D.R., Social Cleavage and Party Affiliation: Germany,
Great Britain, and the United States, American Journal of Sociology, 72, hal. 601618 dalam tulisan Ajat Sudrajat Agama dan Politik
4 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Amien Rais dan para pemimpin
Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), dan Yusril Ihza
Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Pembentukan partai politik
Islam ini sempat menjadi bahan diskusi dan perdebatan di antara para
pemimpin dan intelektual Muslim sendiri serta kalangan pengamat politik
dan politisi. Banyak dari mereka setuju pembentukan partai Islam, karena
menurut Yusril Ihza dalam sistem demokrasi partai agama adalah legal dan
konstitusional jika tujuannya tidak bertentangan dengan dasar negara dan
demokrasi10. Namun Kuntowijoyo tidak setuju dengan pendirian partai Islam,
karena antara lain bisa menghentikan mobilitas umat Islam, menciptakan
disintegrasi di kalangan umat Islam, dan mempersempit pemahaman umat
Islam tentang Islam.
Selanjutnya

mengenai

pentingnya

hubungan

agama

Islam

khususnya- dengan politik, manusia terlahir ke muka bumi sebagai khalifah.


Penulis meyakini bahwa politik merupakan alat yang dapat merealisasikan
fungsi manusia sebagai khalifah tersebut. Dan secara umum bahwa Islam
telah mengatur garis-garis besar haluan untuk menjalankan politik tersebut.
Apabila politik tersebut tanpa didasari dengan garis-garis besar yang telah
diatur dalam Islam, maka cenderung politik akan selalu mengedepankan
kepentingan pribadi pelaksana politik tersebut. Ketika kepentingan pribadi
sudah di kedepankan, maka jelas bahwa tujuan politik sebagai alat untuk
menggapai kemaslahatan bersama tidak akan tercapai.
Islam-Katholik : Kemiripan
Menurut Ted, ada beberapa hal yang menjadi faktor kemiripan antara
Islam dan Katholik. Pertama, bahwa kedua agama tersebut memiliki
kesamaan tradisi kepercayaan monotheistik, yang artinya sama-sama
meyakini bahwa Tuhan adalah tunggal dan berkuasa penuh atas segala
sesuatu.

Ini

merupakan

karakteristik

politik

penting,

karena

tauhid

10 Yusril Ihza Mahendra, Partai Islam yang Rasional, dalam Ummat, No. 50, July 6,
1998 and No. 41, April 1999.
5 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

menyiratkan kemungkinan universalitas. Potensi universal tauhid memiliki


implikasi politik yang penting. Islam dan Katolik memiliki sejarah yang aktif
dalam kegiatan misionaris.
Dalam Islam, keesaan Tuhan juga tercermin dalam kesatuan dan
keutamaan masyarakat. Ekspansi Islam sebagian besar dibenarkan dan
dijelaskan oleh kebutuhan dan kepentingan komunal, mirip dengan Katolik.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa umat Islam telah cukup aktif dalam
menyebarkan iman keluar Arab. Perluasan ini dimulai dengan Muhammad
dan terus berlanjut sepanjang sejarah Islam.
Kedua, mungkin kebetulan bahwa istilah fundamentalisme tampaknya
paling tepat diterapkan untuk doktrinal Kristen dan Islam. Katolik dan Muslim
adalah people of the book,

mereka berasal dari wawasan teologis yang

sentral dan nilai-nilai dari teks-teks suci. Keberadaan Alkitab dan Quran
memungkinkan untuk bisa melakukan pembaharuan teologis dan politik.
Politik Muslim dan Kristen memiliki sumber daya yang aktif mengkritik
tindakan para pemimpin politik sekuler dan agama. Baik Quran maupun
Alkitab

berisi

jawaban

yang

tidak

spesifik

untuk

semua

masalah

kontemporer, dan interpretasi itu perlu.


Selanjutnya perpecahan sektarian di Islam awalnya tidak berakar pada
perselisihan teologis atas otoritas Qur'an dan tradisi Muhammad (Sunnah
dan Hadis). Pembagian antara Sunni dan Syiah hanya atas sifat otoritas
politik. Perselisihan utama tentang teologis muncul dari waktu ke waktu
sebagai berbagai faksi di mana masing-masing sekte diikuti berbagai sumber
dan mengembangkan tradisi yang berbeda. Menggarisbawahi maksud asli
dan mempertanyakan sumber-sumber non-Quran, beberapa menolak setiap
reinterpretasi sebagai bid'ah dan menolak ijithad sebagai mekanisme yang
tidak dapat diterima dalam mencari prinsip-prinsip Islam. Lainnya, terutama
Syiah ulama, mengambil posisi bahwa itu adalah fungsi dari pembentukan
ulama mengandalkan penilaian independen untuk mencari nilai-nilai dan
petunjuk Islam.

6 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

Ketiga, sepintas dari politik Islam dan Katolik menunjukkan bahwa


penganut kedua tradisi iman telah berperilaku sama ketika berada dalam
konteks politik dan teologis yang sebanding. Kedua tradisi telah berada
dalam situasi di mana tradisi iman dominan. Artinya, pada suatu negara
mayoritas Katolik

atau Islam dan memiliki pesaing agama serius. Contoh

mungkin termasuk kontemporer Iran, dengan kuat Syiah mayoritas, serta


Polandia kontemporer, atau negara-negara Iberia Spanyol dan Portugal, dan
beberapa negara Amerika Latin. Dalam kasus selanjutnya, ada kemungkinan
bahwa tradisi keagamaan yang dominan bisa memberikan "sacred canopy"
atau seperangkat nilai-nilai bersama di mana kehidupan sosial dan politik
dilakukan.
Akhirnya, terdapat pengaturan di mana umat Islam dan Katolik terlihat
minoritas. Contoh dari jenis konteks, mungkin termasuk kehadiran Muslim di
Eropa Barat atau Amerika Serikat atau Katolik Roma di Republik Rakyat
China, negara-negara tertentu di Afrika, atau Amerika Serikat pada abad ke19. Dalam hal ini, penganut Islam atau Katolik sebagian besar menanggung
stigma imigran, dan sering menjadi korban diskriminasi hukum dan sosial.
Larangan Perancis terhadap wanita Muslim yang berjilbab di sekolah, dan
inisiatif pemerintah Inggris untuk meminggirkan wanita Muslim yang
mengenakan jilbab adalah beberapa contoh hukum, sosial dan politik inisiatif
yang dianggap diskriminatif. Memang, pada beberapa tahun pertama abad
21, toleransi terhadap Muslim di negara-negara Eropa Barat dan Amerika
terlihat menurun.
Islam Katolik : Perbedaan
Tentu saja, terdapat perbedaan penting antara tradisi iman Islam dan
Katolik Roma, Mungkin perbedaan politik yang paling penting antara Islam
dan Katolik adalah bahwa Katolik lebih dikembangkan secara institusional.
Maksudnya, secara institusional keagamaan berdiri sendiri-sendiri. Gereja
Katolik sedunia berada pada satu pimpinan yaitu Paus yang berkedudukan di
Vatikan, Paus ini merupakan penerus dari paus pertama yakni Rasul Petrus .
7 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

Sedangkan dalam Islam hal tersebut tidak terjadi, tidak ada ssuatu institusi
apapun sampat saat ini yang mampu menjadi kiblat bagi seluruh muslim di
dunia. Tahta Suci adalah negara-negara yang berdaulat, dengan sebagian
besar

hak

istimewa

dan

tanggung

jawab

petugas.

Vatikan

telah

dinegosiasikan statusnya internal dengan beberapa negara-negara lainnya,


termasuk Konkordat dengan Polandia di pertengahan 1990-an. Lebih umum,
Gereja memiliki struktur kompleks keuskupan dan paroki, masing-masing
dengan seminari, biara-biara, sekolah, dan lembaga lainnya. Semua lembaga
ini beroperasi dalam konteks politik nasional di negara-negara yang berbeda,
dan Gereja harus bernegosiasi statusnya di masing-masing. Dalam beberapa
kasus, seperti Polandia, status Gereja dapat ditentukan melalui hubungan
diplomatik antara negara tuan rumah dan Vatikan. Di negara lain, seperti
Amerika Serikat, Gereja harus beroperasi dalam struktur hukum nasional
yang lebih umum. Sedangkan
diwarnai

oleh

perjanjian

Meksiko, hubungan gereja-negara dapat

informal

antara

gereja-gereja

nasional

dan

pemerintah suatu negara tertentu.


Sebaliknya, organisasi transnasional yang sebanding dalam Islam
tampaknya tidak ada. Mengingat fakta bahwa Islam menolak mediasi antara
kemanusiaan dan Allah, umat Islam tidak pernah berkomitmen untuk
membangun infrastruktur organisasi yang luas mirip dengan Gereja Katolik.
Sunni umumnya menolak jenis klerikalisme yang dominan dalam Syii untuk
inkonsistensi dengan pandangan dunia Islam.
Selanjutnya, tradisi iman berbeda dalam hal peran mereka dalam
politik global. Selama berabad-abad, Gereja Katolik telah beroperasi dekat
pusat politik internasional, dan memiliki sejarah menjadi aktor internasional
berpengaruh dalam dirinya sendiri. Selama periode di mana kekuatan Eropa
yang dominan dalam hubungan internasional (termasuk imperialisme Eropa),
Gereja telah memberikan sumber daya, alasan-alasan, dan legitimasi bagi
negara-negara dan kerajaan.
Dalam politik dunia kontemporer, tentu saja, peran Gereja tetap
penting, tetapi pengaruh Gereja telah menurun. Sekularisasi Eropa, dan fakta
8 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

bahwa umat Katolik tetap menjadi agama minoritas di Amerika Serikat, telah
mengurangi peran politik Gereja di mana bujukan moral adalah kepentingan
utama. Meskipun Paus Benediktus XVI telah mencoba untuk menekankan
karakter Kristen Eropa dan peradaban Barat umumnya, pengaruh politik
Gereja terbatas, dan tentu saja, bervariasi di seluruh negara bangsa.
Pada bagian awal abad ke-20, dunia Islam menyaksikan akhir
kolonialisme dan kematian berbagai sistem monarki. Banyak dari rezim yang
muncul di Mesir, Irak, Suriah, dan sejumlah negara Muslim lainnya semakin
memeluk ideologi Barat yang sekuler dan kebijakan yang diimplementasikan
sering menyimpang secara signifikan dari rezim kuno dan praktek-praktek
tradisional Islam. Di beberapa negara, tren ini mengakibatkan konfrontasi
kekerasan

antara

pasukan

pemerintah

dan

agama

yang

umumnya

memuncak dalam ukuran represif yang terpinggirkan dan terasing.


Meningkatnya ketergantungan Barat pada minyak dan komitmen
mereka untuk menjamin keamanan sumber daya minyak mengakibatkan
pengaruh politik asing dan membuat banyak negara Muslim semakin
tergantung pada Barat. Ketergantungan ini hampir sama dengan komitmen
barat ke Israel, yang sebagian besar mengabaikan tuntutan dan harapan
kaum muslimin, intensif kebencian internal dan friksi dan membahayakan
legitimasi negara-negara sekuler.
Peristiwa 11 September 2001 kembali membawa keluhan Muslim
terhadap para pemimpin mereka dan Barat ke garis depan politik global.
Selanjutnya, Barat menjadi sadar akan ancaman regional dan global potensi
gerakan Islam. Kegagalan Barat di Afghanistan, konflik yang sedang
berlangsung dengan Iran atas ambisi nuklirnya, serangan Israel di Libanon
pada musim panas 2006, mengabaikan penderitaan rakyat Palestina, invasi
ke Irak, dan dukungan untuk konservatif pro-Barat Arab telah meyakinkan
banyak Muslim bahwa Barat benar-benar tertarik dalam menangani masalahmasalah dunia Muslim. Bahkan, kebijakan ini adalah indikasi dari penolakan
Barat Islam dan relevansi politik di dunia Muslim. Banyak Muslim yakin

9 | I s l a m d a n Fe n o m e n a Gl o b a l

bahwa Barat, dan khususnya Amerika Serikat, berniat menghancurkan Islam


dan terus berusaha penaklukan Muslim.

Peran Islam dalam Politik Indonesia


Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam
merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa
hal ini terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia
merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam
sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan.
Menurut Deliar Noer11, sebagai sebuah konsep, bahwa negara Islam
dilandasi oleh (1). Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup
bernegara, (2). Hukum harus dijalankan, (3) Prinsip Syura (Musyawrah)
dijalankan, (4). Kebebasan diberikan tempat, dan (5). Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang
panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka
ragam di tanah air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama
memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat
pembangunan suatu nation Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian
agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit antara
lain

mengawasi

kegiatan

keagamaan

dan

aliran-aliran/paham-paham,

melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali


ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan
peribadatan agama khususnya Islam. Tugas-tugas ini menunjukan bahwa
negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu,
tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat penganut
agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan
Budha.
11 Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo. Hal.53
10 | I s l a m d a n F e n o m e n a G l o b a l

Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui


pemerintah12 sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab
suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling
tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah
beragama di seluruh pelosok; Kedua, Memberagamkan warga masyarakat
yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri
sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama
besar.
Kesimpulan
Sudah menjadi keharusan bahwa politik dijalankan sesuai dengan
agama, ketika hal itu tidak dilakukan, maka hal wajar bila terjadi konflikkonflik yang akan merugikan ummat.
Berkaitan dengan perbandingan Islam dan Katolik dalam hal politik,
setidaknya ada tiga hal yang mirip dari kedua agama tersebut. Pertama,
bahwa kedua agama tersebut memiliki kesamaan tradisi kepercayaan
monotheistik Kedua, mungkin kebetulan bahwa istilah fundamentalisme
tampaknya paling tepat diterapkan untuk doktrinal Kristen dan Islam. Ketiga,
sepintas dari politik Islam dan Katolik menunjukkan bahwa penganut kedua
tradisi iman telah berperilaku sama ketika berada dalam konteks politik dan
teologis yang sebanding.
Selain itu mungkin perbedaan politik yang paling penting antara Islam
dan Katolik adalah bahwa Katolik lebih dikembangkan secara institusional
dan didefinisikan dari Islam. Selanjutnya, tradisi iman berbeda dalam hal
peran mereka dalam politik global.

12 Achmad. F. Saifuddin. Agama dalam Politik Keseragaman. Departemen Agama RI Badan


Penelitian dan Pengembangan Agama. Jakarta Tahun 2000. Hal 11

11 | I s l a m d a n F e n o m e n a G l o b a l

Você também pode gostar