Você está na página 1de 82

A.

KONSEP MEDIS
1. Definisi GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh
menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam
hitungan minggu, bulan atau tahun.
Guillain Barre Syndrom (GBS) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak
diketahui yang mengyangkut saraf perifer dan kranial.
GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barr
(baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang
mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis.
Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di
semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada
manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak
dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang
mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus
atau tenggorokan.
2. Etiologi GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya
infeksi, 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik. Pada
beberapa keadaan. Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat
terjadi dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula
spinalis dan beberapa proses lain atau sebuah kombinasi proses.
Penyakit

ini

timbul

dari

pembengkakan

syaraf

peripheral,

sehingga

mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang
Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka
sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan
menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak
diinginkan.
Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang
syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya.

3. Patofisiologi GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)


GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan
beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan
polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik
asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah
gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common
pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat.
Usaha

untuk

memisahkan

agen

penyebab

infeksi

tidak

berhasil

dan

penyebabnya tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit
herediter atau menular. Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus,
anamnesis pasien yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus
biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis
penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut adalah infeksi pernapasan ringan
atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, atau limfoma lain, dan
lupus

eritomatosus.

Keadaan

yang

paling

sering

dilaporkan

adalah

infeksi

Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna yang


ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam.
Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus
(virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun
mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang
tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi
limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu daris
selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000).
Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu
konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda
MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola
yang tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan
dengan saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi mielin.
Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif.
Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls
abnormal dalam serat sensoris atau cross-talk listrik antara akson abnormal yang
rusak. Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks
tendon, dan menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan

oleh kerusakan akson motorik; yagn terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut
sensorik.
Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri,
geli, mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati
merupakan motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari
kelemahan otot hingga paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan
ventilator. Kelemahan otot rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi
atrofi otot, namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan
biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat dan pemerasan pada otot. Lengan
dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot
tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak
kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan menyerang
otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan.
Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan
kesulitan menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus
untuk peralisis rahang, faring, dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf
kranial IX, X, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan biasa disebut bulb.
4. Manifestasi klinik GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh
dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang
lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang mennjukan paralisis pada
okular, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara,
mengunyah dan menelan. Disfungi autonom yang serign terjadi dan sering
memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf
simapatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi
jantung dan ritme, perubahan tekanan darah ( hepertensi transien, hipotensi
ortostatik), dan gangguan fasomotor lainnya yang berfariasi. Keadaan ini juga
menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Sering kali
pasien menunjukan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti
keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi
dengan bentuk parestesia.
Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu
tahun, tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan.

Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki
atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku
atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam
erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll)
Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu,
penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada
tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang
pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya: kaki
susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan
syaraf refleks lengan telah hilang fungsi.
Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut :
1. kelumpuhan
manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe lower
motor newron. Pada sebagian besar kellumphan di mulai dari kedua eksremitas
bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak atas dan saraf
kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota di kenai secara anggota
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
2 gangguan sensibilitas
parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa di
kenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya minimal. Rasa
nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas fisik
3. saraf kranilis
yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai pada satu
sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan berat antara
kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa
terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkab
pernapasan karena paralis dan laringeus
4. gangguan fungsi otonom
gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah ( facial
flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya keringat atau

episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin jarang di jumpai.


Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau dua minnggu.
5. kegagalan pernapasan
kegagalan pernapasan merupakan koomplikasi utam yang dapat berakibat fatal bila
tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis
pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33%
penderita
6. papiledema
kadang-kadang di jumpai papiledem, penyebabnya belum di ketahui dengan pasti di
duga karena penindian kadar protein dalam otot yang menyebabkan penyumbatan
arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang
5. pemeriksaan diagnostik GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
Pungsi lumbal berurutan : memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal
dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam
4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5
hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang
untuk dalam beberapa hari).
Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahat dan perkembangan sinrdom
yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang
berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
Fotorontgen

dapat

memperlihatkan

berkembangnya

tanda-tanda

dari

gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.


Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas vital,
volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
6. Penatalaksanaan GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
Guillain Barre Syndrom (GBS) dipertimbangkan sebagai kearuratan medis dan
pasien diatasi di unit perwatan intensif. Pasien yang mengalami masalah
pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama.
Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam
sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan dimielinasi. Diperlukan
pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme
jantung. Distrimia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang di

obati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat
diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan endotrakheal
dan terapi fisik.

api GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)


Sampai saat ini belum ada pengotan spesifik untuk GBS, pengobatan terutama
secara simtomatis, tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan
memperbaiki prognosisnya.
a. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan
sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan
saluaran kencing harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang
menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan
pernapasan maka penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika
pernapasan buatan di perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di
kerjakan fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru.

Gerakan

pasti

pada

kaki

lumpuh

mencegah

deep

voin

trombosis

spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi anggota gerak yang


lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati
dan meningkatkan kekuatan otot.
b. pertukaran plasma
pertukaran plasma ( plasma excange) bermanfaat bila di kerjakan dalam waktu 3
minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang di keluarkan per excange
adalah 40-50 ml/kg. dalam waktu 7-14 hari x excahange
c. kortikostiroid
walaupun telah melewati 4 dekade pemakaian kortikostiroid pada GBS masih di
ragukan manfaatnya. Namun demikian bahwa pemakaian kortikostiroid pada vase
dini penyakit mungkin bermanfaat

ognosis GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)


Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang penderita meninggal oleh
karena kegagalan pernasan. Sekarang ini berkisar antara 2-10%,deangan penyebab
kematian, oleh karena kegagalan pernasan, ganggan fungsi otonom, infeksi paru
dan emboli paru. Sebagian besar penderita 60-80% sembuh secara sempurna

dalam waktu 6 bulan. Sebagian kecil 7-22% sembuh dalam waktu 21 bulan dengan
motorik ringan dan atrofi otot kecil di tangan dan di kaki. Kira- kira 3-5% penderita
mengalami relaps
B. KONSEP KEPERAWATAN GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN
Aktifitas dan istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris, yang biasanya
dimulai pada ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat
kearah atas.
Hilangnya kontrol motorik halus tangan
Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksit (simetris)
Cara berjalan tidak mantap
Sirkulasi
Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi)
Distrimia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
Integritras ago
Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi
Tanda : tampak takut dan bingung
Eliminasi
Gejala : adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter
Makanan/cairan
Gejala : kesilitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : gangguan pada refleks menelan
Neurosensori
Gejala : kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya
terius naik (distribusi stoking atau sarung tangan)
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, fibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan
Tanda : hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam

Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan


Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata (keterlibatan
saraf kranial),
kehilangan kemampuan untuk berbicara
Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada bahu, pelvis,
pinggang, punggung dan bokong). Hipersensitif terhadap sentuhan.
Pernapasan
Gejala : kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, apnea. Penurunan atau
hilangnya bunyi napas
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
Keamanan
Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran pernapasan atas) kira-kira
dua minggu sebelum munculnya tanda serangan
Adanya riwayat terkena herpezoster, sitomegalo virus
Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu lingkungan)
Penurunan kekuatan/tonus otot paralisis atau parestesia
Interaksi sosial
Tanda : kehilangan kemampuan untk berbicara atau komunikasi
Penyuluhan pembelajaran
Gejala : penyakit sebelumnya (infeksi saluran napas atas, gastroentritis) vaksinasi
( campak. Polio); keadaan kronis ( lupus erotematosus ), penyakit hodgkin/proses
keganasan. Pembedahan/anestesia umum, trauma
Pertimbangan
DRG menunjukan berapa lama perawatan : 6 hari

emu

langan : mungkin pasien memerlukan bantuan menganai transportasi,


penyiapan makanan, perawatan diri, dan kewajiban pekerjaan rumah. Mungkin
perlu memerlukan perubahan pada teteruan dan bentuk rumah, pemindahan pusat
rehabilitasi.

TUJ

UAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN. GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis


otot pernapasan
Tujuan/kriteria hasil :
Mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan,
dan pola napas efektif
Intervensi
Mandiri
a. Pantau frekuensi, kedalaman daln kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja
napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
R/ : peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot
pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi
mekanik
b. Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon
R/ : penurunan sensasi sering kali (walau tidak selalu ) mengarah pada kelemahan
motorik
c. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara kalau pasien masih dapat
berbicara.
R/

merupakan

inikator

yang

baik

terhadap

gangguan

fungsi

pernapasan/menurunnya kapasitas paru


d. Auskultasi bunyi napas, cata tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronchi
R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan megganggu
proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti
pneumonia)
e. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakan pasien pada posisi duduk bersandar
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan
dan membatasi terjadinya resiko aspirasi sekret
Kolaborasi
f. Lakukan pemantaan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur
R/

menentukan

keefektifan

dari

ventilasi

sekarang

dan

kebutuhan

untuk/keefektifan dari intervensi


g. Lakukan tinjau ulang terhadap foto rontgen
R/ : adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan atau atelektasis
h. Berikan obat ata bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan
pernapasan, perkusi dada, fibrasi, dan drainase postural

au

R/ : memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisai sekret


dan meningkatkan ekspansi alveoili paru.
2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi dan
transmisi
Tujuan/kriteria hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori, mempertahankan mental atau
orentasi umumdan mengidentifikasi intervensi meminimalkan kerusakan/ komlikasi
sensori.
Intervensi
Mandiri
status neurologis secara periodik seperti kemampuan berespon terhadap perintah
yang sederhana dan berspon terhadap stimulasi nyeri
R/ : perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat
bervariasi. Perkembangan tersebut seringcukup cepat dan mungkin memuncak
dalam beberapa hari/minggu.proses penyembuhan di mulai 2-4 minggu setelah
proses perkembangan penyakit dan berakhir dan kebanyakan secara perlahan.
b. berikan lingkungan yang aman( penghalang tempat tidur proteksi terhadap trauma
termal)
R/ : kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari
pemberi asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah
trauma.
c. berikan kesempatan untuk istrahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan
dan berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan pasien.
R/ : menurunkan stimulus berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan besar dan
meminimalkan kemampuan koping
d. orientasikan kembali pasien pada lingkungan sesuai kebutuhan
R/ : membantu menurunkan kecemasan dan terutama sangat bermanfaat jika terjadi
gangguan penglihatan.
e. berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut,
televisi( berita atau pertunjukan )
R/ : pasien (biasanya sadar ) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan
selama fase penyembuhan
f. sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien dan
untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada keluarga

R/ : membantu orang terdekat, merasakan mask di dalam hidup pasien


( menurunkan perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan) dan menurunkan
kecemasan pasien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut
kolaborasi
g. rujuk keberbagai sumber untuk membantu terapi wicara
R/ : meningkatkan proses penyembuhan/meminimalkan gejala sisa penurunan
neurologis
i. bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan
R/ : penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, vibrinogen dan protein
fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi pernapasan pada
pasien
j. berikan obat sesuai kebutuhan, seperti : gammma globin dosis tinggi melalui intra
vena.
R/ : hal ini dapat meningkatkan respon antibodi dalam keadaan penyakit yang berat
3. perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi sistem saraf
autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan
aliran balik vena
Tujuan/kriteria hasil :
mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol
atau tidak ada.
Intervensi
Mandiri
a. ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi.
R/ : perubahan pada tekanan darah ( hipertensi berat/hipotensi) teerjadi sebagai
akibat kehilangan alur dasri saraf simpati untuk mempertahankan tonus vaskuler
perifer.
b.pantau frekuensi jantung dan iramanya
R/ : sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan
saraf otonom simpatis autonom atau tidak ada hambatasn terhadap refleks yang
menyebabkab henti jantung.
c. pantau suhu tubuh.
R/; perubahan pola tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu
( seperti ketidakmampuan berkeringat).
d. ubah posisi pasien secara teratur

R/ perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler yang meningkatkan resiko iskemia


Kolaborasi
e. berikan pengobatan :

airan IV dengan hati-hati sesuai indikasi


R/ mungkin di perlukan untuk mengoreksi/mencegah hipovolemia/hipertensi,tetapi
harus di gunakan secara berhati-hati karena pasien dengan gangguan tonus
vaskuler mungkin sensitif pada adanya peningkatan kecil dalam volume sirkulasi.
eri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek
R/: kadang-kadang di gunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap atau
gangguan mediasi outo
- heparing
R/: di gunakan untuk menurunkan resiko tromboflebilitis.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
Tujuan/kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur, dekubitus)
Intervensi
Mandiri
a. kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5
R/ : menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat
tercapainya tujuan/harapan pasien
b. berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman
R/ : menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya
iskemia/ kerusakan pada kulit.
c. sokong eksremitas dan persendian dengan bantal
R/ : mempertahankan eksremitas dalam posisi fisilogis, mencegah kontraktur dan
kehilangan fungsi sendi
d. lakukan latihan rentang gerak pasif
R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi
sendi.
Kolaborasi
e. konfirmasikan dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kerusakan neuromuskuler yang mempenagaruhi reflek menelan dan fungsi
GI

Tujuan/kriteria hasil :
Mendomensterasikan berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan
tidak tanda malnutrisi
Intervensi
Mandiri
a. kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur
R/ : kelemahan otot dan refleks yang hiperaktif/ hipoaktif dapat mengindikasikan
kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NG dan
sebagainya
b. auskultasi bising usus, e4valuasi adanya distensi abdomen
R/ : perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis/imobilisasi
c. catat masukan kalori setiap hari
R/ : mengidentifikasi kekurangan makanan dan keutuhannya
d. catat makanan yang di sukai/ tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam
pilihan diet yang di kehendakinya. Berikan makanan setengah padat/cair
R/ :meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk
makan. Makanan lunak/ setengah padat mkmenurunkan resiko terjadinya aspirasi
e. anjurkan untuk makan sendiri jika memunkinkan
R/ : derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan
sendiri
f. timbang berat badan setiap hari
R/ : mengkaji keefektifan aturan diet
Kolaborasi
g. berikan diet tinggi kalori atau protein nabati
R/ : makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.
f. pasang /pertahankan selang NG.
R/ dapat di berikan jika pasien tidak mampu untuk menelan( jika refleks menelan
mengalami gangguan untuk pemasukan makanan, kalori , elektrolit dan mineral.
6. ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Tujuan/kriteria hasil :
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi
Intervensi
Mandiri
a. tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur.

R/ : memberikan keyakianan bahwa bantuan segera dapat di lakukan jika pasien


secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
b. berikan perawatan primer/ hubunagan perwat yang konsisten
R/ : meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan
kecemasan
c. berikan bentuk komunikasi alternatef jika di perlukan
R/ : menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi
d. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan
yang menetap, kehilanagn fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan
penyebuhan /perbaikan
Kolaborasi
e. berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien
termasuk orang terdekat
R./ : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam
kebutuhan akan melakkan aktivitas dan perlibatan pasien dan juga orang terdekat
dalam perencenaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan
kontrol terhadap didri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan
harga diri.
7.

nyeri

berhubungan

dengan

kerusakan

neuromuskuler

(parestesia,

disestesia)
Tujuan/kriteria hasil :
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
Intervensi
Mandiri
a. evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman denagan menggunakan skala 0-10
R/ : meenganjurkan pasien untuk melakolisasi/ mengetahui kuantitas nyeri yang
menunjukan adanya perubahan
b. anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang di rasakan
R/ : menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan
nyeri tersebut
c. lakukan perubahan posisi secara teratur
R/ : membantu menghilangkan kelelahan dan ketegangan otot
d. berikan latihan rentang gerak secara pasif
R/ : menurunkan kekuan pada sendi

e. anjurkan untuk menggunakan tehnik relaksasi, seperti visualisasi( menonton),


latiahan relaksasi yang berkembang dan bimbingan imajinasi
f. R/ : memfokskan kemali secara langsung dari perhatian/ persepsi dan meningkatkan
koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.
Kolaborasi
g. berikan obat analgetik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotik
R/ : untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah di coba tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik( kecuali kodein yang memiliki efek
yang lebih keci) harus di hindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut
dapat menekan pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran
pencernaan
8.

kurang

pengetahuan

berhubungan

dengan

kurang

mengingat,

keterbatasan kognitif
Tujuan/kriteria hasil :
Pasien tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya
Intervensi
Mandiri
a. tentukan pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses
rehabilitasi
R/ : mempengaruhi pilihan terhadp intervensi yang akan di lakukan
b. tinjau kemmali pengetahuan pasien tentang penyakit dan prognosisnya
R/ : pengetahuan dasar merupakan suatu hal yang penting untuk membuat pilihan
informasi dan berpatisipasi dalam upya rehabilitasi
c. anjurka untuk mengungkapkan apa yang di alami, bersosialisasi dan meningkatkan
kemandiriannya
R/ : meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan hidupnya
pada situasi yang ada
d. identifikasi tindakan yang aman untuk menemukan defeswit sensori-motorik secara
individual
R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma/ menurukan resiko komplikasi yang
sebenarnya masih dapat di cegah
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta

kit?

Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.
Vol.3 Edisi 8. EGC :Jakarta

MAKALAH ASKEP PERSARAFAN '' Guillain Barre Syndrome '' GBS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh
awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya
tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa
peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus
yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada
kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia
16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari
korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris
biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan?
- Pengertian

- Pengkajian

- ETIOLOGI

- Diagnosa keperawatan

- PATOFISIOLOGI

- Intervensi

- Insiden
- Manifestasi Klinis
- Pemeriksaan Diagnostik

- Diagnosa Banding
- Komplikasi
- Penatalaksanaan medis
1.3 Tujuan
Tujuan dan maksud dari pembutan makalah ini, adalah: kami bermaksud membahas dan
berbagi pengetahuan tentang GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS seperti yang tertera
pada rumusan masalah di atas. Kami bertujuan & berharap semoga makalah ini dapat menjadi
referensi dan berguna bagi para pembaca dan khususnya bagi mahasiswa FIK Unmuh
Ponorogo, serta kalangan medis lainya. Sehingga kita mengerti, memahami, serta menambah
pengetahuan kita tentang GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS Serta penanganannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
2.1 Pengertian
Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut
dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup
demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan kranial yang Etiologinya tidak
diketahui. ( Hudak & Gallo: 287)
Guillain Bare Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi yang sifatnya dapat akut
atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini mempunyai kaitan dengan mekanisme
autoimun sel dan humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran pernapasan
atas ringan. (Lynda Juall C: 298)
Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk
secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis
sementara. ( Doenges:369)
2.2 Etiologi
Etiologi / Penyebab Guillain Bare Syndrom tidak jelas/ tidak diketahui. Sebagian besar pasienpasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi
(pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada
beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh

infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparapa proses lain atau sebuah kombinasi suatu
proses. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi
tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini.
2.3 Patofisiologi
Pada GBS, Selaput myelin yang
mengelilingi

akson

hilang.

Selaput myelin cukup rentan


terhadap cidera karena banyak
agen

dan

kondisi,

termasik

trauma fisik, hipoksemia, toksik


kimia, insufisiensi vascular, dan
reaksi

imunologi.

adalah

respon

Demielinasi
umum

dari

jaringan saraf terhadap banyak


kondisi

yang

merudikan

ini.

Akson bermielin mengkonduksi


impuls saraf lebih cepat di banding akson tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin
terganggu dalam selaput ( Nodus Ranvier ) tempat kontak- langsung antara membran sel akson
dengan cairan eksraseluler.Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga
konduksi menjadi baik.
Gerakan-gerakan masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus
ranvier ( Gbr. 31-9) sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari
satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin
pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi, dan trasnmisi impuls saraf
dibatalkan.
Temuan patofisiologis pada gangguan ini multipel dan bervariasi meliputi imflamasi, demielinasi
dari saraf perifer, kehilangan badan granular, dan degenarasi membaran basalis sel Swhann,
mengakibatkan paralisis flaksid simetrik asenden dan kehilangan funsi saraf kranial.
( Murray,1993)
2.4 Insiden
Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada
semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien

akan meninggal karena komplikasi pernapasan-kardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia


distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit
residual.
2.5 Manifestasi Klinis
Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja
terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan
hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan tendon dalam dapat hilang.
Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat.
Ada pasien yang mengalami nyeri tekan dan nyeri pada tekanan dalam atau gerakan beberapa
otot. Gejala-gajala parastesia termasuk semutan jarum dan peniti dan kebas dapat terjadi
secra sementara, jika saraf kranial terkena, maka maka saraf fasial ( VII) lebih sering terserang.
Tanda dan gejala disfungsi saraf fasial termasuk ketidak mampuan dalam tersenyum , bersiul,
atau cemberut. GBS tidak mengenai LOC ( tingkat kesadaran ), tanda tanda pupil, atau fugsi
serebral. Gejala-gejala biasanya memuncak dalam satu minngu, tatapi dapat berkembnag
selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja terhenti setiap saat. Fugsi motorik
kembali dalam gaya desending. Demielinasi terjadi dengan cepat, tetapi kecepatan remielinasi
sekitar 1 sampai 2 mm perhari.
2.6 Pemeriksaan dan Diagnostik
1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus
- perjalanan penyakitnya (nyeri radikuler kemudian diikuti kelumpuhan progresif, > 1

tungkai,

simetris, menjalar ke lengan (asenderen)


2. Pemeriksaan Neurologis :
- kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal
- simetris
- gejala motorik lebih nyata daripada sensorik
3. Pada Lumbal Pungsi :
- didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi sitoalbumin) pada minggu
II
4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :
- penurunan kecepatan hantar saraf /lambatnya laju konduksi saraf
5. Darah Lengkap
- Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.

6. Foto ronsen
- Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan ,

seperti

atelektasis, pneumonia.
7. Pemeriksaan fungsi paru
- Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi
2.7 Diagnosa Banding
1. Polineuropathy karena defisiensi

3. Myasthenia Gravis

2. Hipokalemi
2.8 Komplikasi
-

Gagal pernapasan

Penyimpangan Kardiovaskuler

Komplikasi Plasmafaresis

2.9 Penatalaksanaan Medis


Tujuan utama dalam merawat pasien dengn GBS adalah untuk memberikan pemeliharaan
fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah
infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan
keluarga.
-

Dukungan Pernapasan
Jika vaskulatur pernapasan terkena, maka mngkin di butuhkan ventilasi mekanik. Mungkin
Perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat di sapih dari ventilator dalam beberapa
minngu. Gagal pernapasan harus di antisipasi sampai kemajuan gangguan merata, karena
tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi.

Dukungan Kardiovaskuler
Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan
darah ( hipotensi dan hipertensi ) serta frekwensi jantung akan terjadi dan pasien harus
dipantau dengan ketat. Identifikasi adanya disritmia dan diobati dengan cepat. Gangguan saraf
otonom dapat dipicu oleh valsava manuver, batuk, sucsioning, dan perubahan posisi, sehingga
aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan secara hati-hati.

Plasmafaresis

Untuk menyingkirkan antibidi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan
secara selektif dari darah lengkap, dan bhan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma
digantikan dengan yang normal atau dengan pengantri koloidal.
-

IVIg = Intra Venous Immunoglobulin dosis tinggi (0,4 mg/kg BB / hari selama
5-7 hari

CSFF = Cerebro Spinal Fluid Filtration

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas bagian
bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.Hilangnya kontrol motorik halus
tangan
Tanda :

Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris)


Cara berjalan tidak mantap

SIRKULASI
Tanda : Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi )
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
INTEGRITAS/EGO
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan binggung
ELIMINASI
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan otot-otot abomen.
Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau berkemih dan refleks sfingter.
MAKANAN DAN CAIRAN
Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan

NEUROSENSORI
Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya

terus naik

Perubhan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan.
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata-

( keterlibatan

saraf kranial)
Kehilangan kemampuan untuk berbicara

NYERI/KENYAMANAN
Gejala : Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu, pelvis, pinggang ,
punggung dan bokong ) Hipersensitif terhadap sentuhan.
PERNAPASAN
Gejala : Kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/ hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
KEAMANAN
Gejala : Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas ) kira-kira 2 minggu sebelum
munculnya tanda seangan.
Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus.
Tanda : Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan ).
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parastesia.
INTERAKSI SOSIAL
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.
II. PRIORITAS KEPERAWATAN
1.

Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan.

2.

Meminimalkan/mencegah komplikasi.

3.

Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya.

4.

Mengendalikan/menghilangkan nyeri.

5.

Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.


III. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.

2.

Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot
skeletal dan diafragma.

3.

Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik,
Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )

4.

Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak
mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.

5.

Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.

6.

Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia,


disestisia )

7.
8.

Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.


Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.

9.

Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
IV. INTERVENSI
Diagnosa 1
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri Tujuan /
Kriteria Hasil :
Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah mis; (

kontraktur,

kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD.


Intervensi:
1.

Pertahankan ROM sendi.

2.

Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur.

3.

Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi.

4.

Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam.

5.

Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik.

6.

Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin dapat menigkatkan
demielinasi.

7.

Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter.

8.

Mulai ajarkan pada keluarga latihan untuk ROM.


Diagnosa 2
Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot
skeletal dan diafragma.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.

Intervensi:
1.

Auskultasi bunya napas dengan teratur.

2.

Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri.

3.

Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas.

4.

Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak.

5.

sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas.

6.

Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas.

7.

Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas )

8.

Catat AGD dan perhatikan kecenderungan.

9.

Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal tersebut akan
diperlukan.

10. Pasang alrm ventilator.


Diagnosa 3
Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik,
Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol/takada.
Intervensi:
1.

Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural, Berikan
latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.

2.

Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.

3.

Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman.

4.

Catat masukan dan haluaran.

5.

Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur.

6.

kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi.

7.

Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum.

8.

Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal dengan interval
tertentu.

Diagnosa 4
Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak
mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori
Mempertahankan mental/orientasi umum.
Mengidentifilkasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan komplikasi sensori.
Intervensi:
1.

Pantau status neurologis secara periodik

2.

Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara.

3.

Berikan lingkungan yang aman ( penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma termal )

4.

Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan, dan berikan
aktivitas lain sesuai dengan kemampuan.

5.

Berikan stimulasi sensori yang sesua, meliputi suara misik yang lembut; televisi
( berita/pertujukkan ) bercakap-cakap santai.

6.

Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien untuk
memlihara keterikatan.
Diagnosa 5
Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Rutinitas BAB pasien dipertahankan sama seperti sebelum dirawat, dan konstipasi tidak terjadi
Intervensi:

1.

Pastikan hidrasi adekuat; catat masukan dan haluaran.

2.

Berikan pelunak feses atau suppositoria sesuai indikasi.

3.

Waktu melakukan gragam usus untuk menghasilkan penggunaan refleks gastrokolik setelah
makanan.

4.

Baringkan pasien dalam posisi tegak untuk melakukan eliminasi.

Diagnosa 6
Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia,
disestesia )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri berkurang /terkontrol
Mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri.
Mendemostrasikan pengguanaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi:
1.
2.

Ukur derajat nyeri/ rasa tidak nyaman dengan mengunakan skala nyeri 0-10
Observasi tanda-tanda nonverbal dari nyeri mis ( wajah tampak menahan skit, menarik
diri/menangis.

3.

Anjurkan kilen untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan.

4.

Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhn
sesuai toleransi pasien.

5.

Lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal, busa atrau
selimut.

6.

Berikan latihan rentang gerak pasif

7.

Instruksikan/anjurkan untuk mengunakan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing.

8.

kolaborasi obat analgesik sesuai kebutuhan.


Diagnosa 7
Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan pengosongan kendung kemih adekuat/tepat waktu tanpa retensi atau infeksi
urinarius.
Intervensi:

1.

Ctat frekuensi dan jumlah berkemih.

2.

Lakukan palpasi abdomen ( di atas supra pubik ) untuk mengetahui adanya distensi kandung
kemih.

3.

Anjurkan pasien intuk minum paling tidak 2000ml/dalam batas toleransi jantung.

4.

Lakukan menuver Crede.

5.

Kolaborasi kateterisasi pada residu urine sesuai kebutuhan.

6.

Pasang/pertahankan kateter indweling sesuai kebutuhan.


Diagnosa 8
Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda
malnutrisi.
Intervensi:

1.

Kaji kemmpuan untuk mengunyah, menlan, batuk, pada keadaan teratur.

2.

Auskultasi bising usus evaluasi adanya distensi abdoman.

3.

Cata masukan kalori setiap hari.

4.

Berikan makan setengah padat/cair usahakan yang disukai pasien.

5.

Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan, dan berikan bantuan bila pasien
membutuhkan

6.

Anjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi

7.

Timbang berat badan setiap hari.

8.

Kolaborasi pemberian diet TKTP

9.

Pasang/pertahankan selan NGT berikan makanan enteral/parenteral.


Diagnosa 9
Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dan keluarga akan mengungkapkan pengetahuan yang sesuai dengan keadaannya.
Menerima dan mendiskusikan rasa takut.
Mendemostrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.
Intervensi:

1.

Biarkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya.

2.

Dorong pasien untuk mengajukan pertanyaan dan bersiaplah untuk memberikan penjelasan.

3.

Buat jadwal sehinnga pasien mengetahui perawat akan memeriksanya secara teratur sesuai
kebutuhan.

4.

Kurangi gangguan sensori dengan berbicara pada pasien dan melibatkan keluarga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh
awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya
tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa
peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus
yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada
kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia
16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari
korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris
biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
Insiden
Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada
semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien
akan meninggal karena komplikasi pernapasan-kardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia
distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit
residual.
Manifestasi Klinis
Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja
terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan
hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan tendon dalam dapat hilang.
Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan dan Diagnostik
1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus
2. Pemeriksaan Neurologis

6. Foto ronsen
7. Pemeriksaan fungsi paru

3. Pada Lumbal Pungsi :


4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi)
5. Darah Lengkap
Komplikasi

Gagal pernapasan

Penyimpangan Kardiovaskuler

- Komplikasi Plasmafaresis

Penatalaksanaan Medis
-

Dukungan Pernapasan

Dukungan Kardiovaskuler

Plasmafaresis
-

IVIg
CSFF

PRIORITAS KEPERAWATAN
1.

Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan.

2.

Meminimalkan/mencegah komplikasi.

3.

Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya.

4.

Mengendalikan/menghilangkan nyeri.

5.

Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.


DIAGNOSA KEPERAWATAN

usakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
2.

Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot
skeletal dan diafragma.

3.

Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik,
Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )

4.

Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak
mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.

5.
6.

Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.
Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
( parastesia, disestisia )

7.

Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.

8.

Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.

9.

Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Ed,VI.
Vol 1. Jakarta: EGC
2. Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan
dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
3. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta: EGC
4. Robin, dan Kumar. 1995. Patologi 2. Ed 4. Jakarta: EGC
5. Http//www.Perawatpsikiatri.blogspot.com

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SINDROM GUILLAIN BARE

MAKALAH
KEPERAWATAN NEUROBEHAVIOR II
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
SINDROM GUILLAIN BARE

Disusun Oleh :
I Gede putrayasa

S-1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
2010

KATA PENGANTAR
Puji syukur, kami haturkan ke Hadirat Allah SWT karena atas nikmat dan berkah
yang

telah

diberikan_Nya

kepada

kami

sehingga

Makalah

Keperawatan

Neurobehavior II tentang Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Guillain Bare ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih
kepada temanteman dan pihakpihak yang telah mendukung kami dalam menyusun
tugas ini.
Kami menyadari bahwa penulisan laporan ini tidak jauh dari kesalahan serta
kekurangan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang yang membangun
guna memperbaiki kekurangan yang ada dan dapat menyusun makalah-makalah
selanjutnya dengan lebih baik.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah yang kami susun ini,
dapat bermanfaat bagi pembaca yang budiman.

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut
(AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens
Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem
saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam
kelompok penyakit neuropati perifer.
GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negaranegara berkembang dan merupakan penyebab
tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat pada
kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki laki dari pada perempuan. Puncak yang
agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap
golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3 minggu sebelum
awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50%
kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Tiga puluh persen% penderita ini
membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan meninggal,
meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya
menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan
atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius
dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.
B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk mendukung kegiatan belajarmengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata kuliah keperawatan Neurobehavior II tentang
asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi system saraf pusat.
2. TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penulis dalam menyusun makalah ini agar mahasiswa mengetahui bagaimana
asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi system saraf pusat: Sindrom Guillain Bare,
mengetahui penyebab, patofisiologi, tanda dan gejala, komplikasi yang mungkin terjadi, serta
penatalaksanaan dari klien yang mengalami sindrom Guillain Bare.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari sindrom guillain bare.
2. Bagaimana penyebab terjadinya sindrom guillain bare.
3. Bagaimana patofisiologi sindrom guillain bare.
4. Apa saja tanda dan gejala dari sindrom guillain bare.
5. Bagaimana penatalaksanaan medis untuk klien guillain bare.
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang mengalami sindrom guillain bare.

BAB II

ISI
KONSEP DASAR PENYAKIT
I.

DESKRIPSI
- Sindrom Guillain-Bare (Guillain-Bare Syndrome-GBS) merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan oleh
onset (awitan) akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf tepi dan kranial. Proses penyakit mencakup
demielinisasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf tepi dan kranial (Sylvia A. Price dan Lorraine M.
Wilson, 1995).
- GBS merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang menyangkut saraf tepi dan
kranial (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda, G., 2002).
- Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 ).
- SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
polineuritis akut pasca infeksi
polineuritis akut toksik
polineuritis febril

poliradikulopati,dan
acute ascending paralysis.

II.

ETIOLOGI
Etiologinya tidak diketahui, tetapi respons alergi atau respons autoimun sangat mungkin sekali.
Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa sindrom tersebut berasal dari virus. Tetapi tidak ada virus yang
dapat diisolasi sejauh ini. GBS paling banyak ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau
gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologis. Pada beberapa keadaan,
dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus, primer,
reaksi imun dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis menyatakan
bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang saraf tepi.
Bagian proksimal saraf cenderung paling sering terserang dan akar saraf dalam ruang
subarakhnoid biasanya terpengaruh. Otopsi yang didapat memperlihatkan beberapa infiltrasi limfositik
yang secara khusus menetap dalam akar saraf spinal.
Priguna Sidharta (1985) mendefinisikan bahwa GBS atau jenis idiopatik dengan karakteristik jenis
infeksi yang bertanggungjawab tidak dapat ditentukan, biasanya dikenal sebagai infeksi traktus
respiratorius bagian atas saja atau infeksi gastrointestinal. Manisfestasi polineuropatia tersebut mulai
timbul 1-3 minggu setelah penderita sembuh dari penyakit primernya. Pemeriksaan liquor serebrospinalis
mengungkapkan adanya disosiasi antara jumlah sel dan protein, yakni jumlah protein tinggi sedangkan
jumlah sel normal. Ini merupakan ciri khas bagi polineuropatia subakut yang disebabkan oleh proses
imunologis karena infeksi yang tidak dikenal (idiopatik).

III.

PATOFISIOLOGI/PATHWAY
Akson bermielin mengonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermielin. Sepanjang
perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung
anara membran sel akson dengan cairan ekstraselular. Membran sangat permeabel pada nodus tersebut
sehingga konduksi menjadi baik.
Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak pada nodus Ranvier
sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain
(konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin pada GBS membuat konduksi saltatori
tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf batalkan.

IV.

MANIFESTASI KLINIS

1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada
sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara
asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota
gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat
kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.

2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan
distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola
kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.

3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai
pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi.
Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau
N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada
kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.

4. Gangguan fungsi otonom


Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus
takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia
urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani
dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot
pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita
.
6. Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena
peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga
absorbsi cairan otak berkurang .

V.

KOMPLIKASI

a.

Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.

b.

Tetraparese oleh karena penyebab lain.

c.

Hipokalemia.

d.

Kelumpuhan otot pernafasan

e.

Dekubitus.

f.

Paralisis otot persisten

g.

Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik

h.

Aspirasi

i.

Retensi urin

j.

Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas

k.
l.

Nefropati, pada penderita anak


Tromboemboli, pneumonia, ulkus

m. Aritmia jantung
n.

VI.

Ileus

PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan utama merawat klien dengan GBS adalah memberikan pemeliharaan fungsi system tubuh,
dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa. Mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas
serta memberikan dukungan psikologis untuk klien dan keluarga.

TERAPI
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit
intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang
dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan
yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai
nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang
beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis
yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih
pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

3. Pengobatan imunosupresan:
- Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis
karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari
dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
- Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap ancaman
gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung,
yang terlihat melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda
dan emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Anamnesis
- Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama, pendidikan, dsb.
- Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah berhubungan
dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot
pernapasan.
- Riwayat Penyakit, meliputi:
1. Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling
berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini
berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul,
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan
klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang
mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan
disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal,
dan tindakan bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

- Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah

(gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan
klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini
yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status
ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat
juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang
akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah,
yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial
klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem
dukungan individu.

b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah
dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan
dan adanya akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD
meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

- B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering
didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.

- B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi yang berhubungan
dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat
( hipertensi transien ) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

- B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien mengalami penurunan
tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk
monitoring pemberian asuhan keperawatan.

b. Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan
observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan
tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalam perubahan.

c. Pemeriksaan saraf kranial


Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralis ocular.
Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan
kurang baik sehngga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

d. System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut
mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga menggaganggu
moblitas fisik .

e. Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum derajat reflexs dalam
respons normal.

f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.

g. System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstrimtas
atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba,
nyeri, dan suhu.

- B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.

- B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang terpenuhi.

- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas pasien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak dibantu orang lain.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada :

Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.


Lumbal pungs dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan pada mnggu
ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan
menghitung jumlah sel normal.

Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujan
elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus atau virus
Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respons imun pada antigen saraf tepi menunjang
perkembangan gangguan.
Uj fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai dasar untuk
perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan
akan ventilasi mekanik.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :
o Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan
ancaman gagal pernapasan
o Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan
konduksi listrik jantung.
o Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan
mengunyah dan menelan makanan.
o Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan otot,
dan penurunan kesadaran.
o Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otototot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak menggunakan otot
bantu pernapasan, gerakan dada normal

Intervensi

Rasional

Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas


tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot bantu pernapasan

Menjadi parameter monitoring serangan


gagal napas dan menjadi data dasar
intervensi selanjutnya

Evaluasi keluhan sesak napas bak secara


verbal maupun nonverbal

Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran


bernapas saat bicara, pernapasan dangkal
dan ireguler,takikardia dan perubahan pola
napas.

Beri ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian


sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
perkembangan kearah kemunduran, yang
mengndikasikan
kearah
memburuknya
kekuatan otot pernapasan

Lakukan
pemeriksaan
pernapasan

kapasitas

vital

Kolaborasi :
Pemberian humidifikasi oksigen 3L/Menit

Penurunan kapasitas vital dhubungkan


dengan kelemahan otot-otot pernapasan saat
menelan,sehingga hal ini menyebabkan
kesukaran saat batuk dan menelan, dan
adanya
indikasi
memburuknya
fungsi
pernapasan.
Membantu pemenuhan oksigen yang sangat
dperlukan tubuh dengan kondisi laju
metabolism sedang meningkat

Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan


frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Criteria hasil : stabilitas hemodinamik baik
Intervensi
Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, ukur
dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri
bila memungkinkan

Rasional
Hipotensi dapat terjadi sampai dengan
disfungsi
ventrikel,
hipertensi
juga
fenomena umum karena nyeri cemas

pengeluaran katekolamin.
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi

Penurunan curah jantung mengakibatkan


menurunnya kekuatan nadi.

Catat murmur

Menunjukkan gangguan aliran darah dalam


jantung,
(kelainan
katup,
kerusakan
septum, atau fibrasi otot papilar).

Pantau frekuensi jantung dan irama

Perubahan frekuensi dan irama jantung


menunjukkan komplikasi disritma.

Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi

Dapat meningkatkan
dalam darah

saturasi

oksgean

Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan asupan
nutrisi
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang
nutrisi klien oral
adekuat dan pencegahan kelemahan otot
karena kurang makanan.
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat
insufisisensi aktivitas parasimpatis

Ilius paralisis dapat disebabkan oleh


insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam
kejadian ini, makanan melalui intravena
dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan
perawat mementau bising usus sampai
terdengar

Berikan nutrisi via NGT

Indikasi jika klien tidak mampu menelan


melalui oral
Bila klien dapat menelan, makanan melalui
oral diberikan perlahan-lahan dan sangat
hati-hati

Berikan nutrisi via oral bila paralis menelan


berkurang

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,


penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien meningkat atau
teradaptasi
Criteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena profunda dan
emboli paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak mampu menggerakkan
ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
Intervensi
Rasional

Kaji tingkat kemampuan


melakukan mobilitas fisik

klien

dalam

Merupakan data dasar untuk melakukan


intervensi selanjutnya

Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan


klien dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari

Bila pemulihan mulai untuk dlakukan, klien


dapat hipotensi ortostatik ( dari disfungsi
otonom ) dan kemungkinan membutuhkan
meja tempat tidur untuk menolong mereka
mengambil posisi duduk tegak

Hindari factor-faktor yang memungkinkan


terjadinya trauma pada saat klien melakukan
mobilisasi

Individu paralisis mempunyai kemungkinan


mengalalmi kompresi neuropati, paling
sering saraf ulnar dan peritonial

Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis

Ekstremitas paralisis disokong dengan


posisi fungsional dan memberikan latihan
rentang gerak secara pasif paling sedikit
dua kali sehari

Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik

Deteksi awal thrombosis vena profunda dan


dekubitus sehingga dengan penemuan
yang cepat penanganan lebih mudah
dilaksanakan.

Kolaborasi dengan tim fisisoterapis

Mencegah deformities kontraktur dengan


menggunakan pengubahan posisi yang
hati-hati dean lathan rentang gerak

Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau
berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang
mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi
Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan Cemas berkelanjutan dapat memberikan
marah, kehilangan, dan takut

dampak serangan jantung selanjutnya

Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan,

Reaksi

dampingi klien, dan lakukan tundakan bila

menunjukkan

menunjukkan perilaku merusak

gelisah

Hindari konfrantasi

Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,

verbal

menurunkan

atau

rasa

kerja

nonverbal

agitasi,

sama,

memperlambat penyembuhan

dapat

marah

dan

dan

mungkin

Mulai

melakukan

mengurangi

tindakkan

kecemasan.

Beri

untuk

lingkungan

yang tenang dan suasana penuh istirahat


Orientasikan klien terhadap prosedur rutin

Mengurangi

rangsangan

eksternal

yang

tidak perlu
Orientasi dapat menurunkan kecemasan

dan aktivitas yang diharapkan

Home asuhan keperawatan askep GBS (Guillain Bare Syndrom)


asuhan keperawatan

askep GBS (Guillain Bare Syndrom)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Guillain Bare Syndrom ( GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh
awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses
penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan
kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun
sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut
menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini.
Guillain Bare terjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan
pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun,
tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari
korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan,
infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1

Definisi Guillain Barre Syndrom

Guillain Barre Syndrom (GBS) didefinisikan sebagai sebuah penyakit


demyelinisasi neurologist. Terjadi secara akut, berkembang dengan cepat. Biasanya
mengikuti pola ascending (merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan
perifer. Terkadang mengenai saraf-saraf cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan
variabel yang tinggi. (Symposium Guillain BarreSyndrom, di Brussel, 1937).

Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang


memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi
biasanya paralisis sementara ( Doenges:369).

2.2

Etiologi Guillain Barre Syndrom

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
a.

Infeksi

b.

Vaksinasi

c.

Pembedahan

d.

Penyakit sistematik

e.

Keganasan

f.

Systemic lupus erythematosus

g.

Tiroiditis

h.

Penyakit addison

i.

2.3

Kehamilan atau dalam masa nifas

Manifestasi klinis Guillain Barre Syndrom

Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa flu, demam, headache,
pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala lemah. Selang 1-4 minggu, sering
muncul gejala berupa :
a.

Paraestasia (rasa baal, kesemutan)

b.

Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)

c.
Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg ganguan gerak bola mata,
mimik wajah, bicara, d. Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi)
e.
f.

Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis)


Gangguan frekuensi jantung

g.

Ganggua irama jantung

h.

Gangguan tekanan darah

i. Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada
bagian punggung dan daerah lainnya.

2.4 Klasifikasi Guillain Barre Syndrom


a. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang
paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh
respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang
biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias
gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b
dalam 90% kasus.
c.
Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina;
menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini
disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer.
Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati
antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada
AMAN.
d.
Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan
kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.

e.
Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.
f.
Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski
(menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik
ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang
otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun
prognosis BBE cukup baik.

2.5

Fase Guillain Barre Syndrom

Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase,yaitu:


a.

Fase progresif

Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.
b.

Fase plateau.

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
c.

Fase penyembuhan

Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan


penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase
infeksi.

2.6

Patofisiologi Guillain Barre Syndrom.

Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat
mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah
responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua
saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan
menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan
target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system
sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi
oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu
setyelah proses keradangan terjadi

2.7

Pathway Guillain Barre Syndrom

Terlampir

2.8

Komplikasi Guillain Barre Syndrom

a.

Kegagalan jantung

b.

Kegagalan pernapasan

c.

Infeksi dan sepsis

d.

Trombosis vena

e.

Emboli paru

2.9

Pemeriksaan Diagnostik

a.

Cairan serebrospinalis: meningkatnya kadar protein, limposit normal

b.

Elektromyografi: menurunnya konduksi saraf

c.

Test fungsi paru: menurunya kapasitas vital, perubahan peningkatan pH.

2.10
a.

Pemeriksaan Penunjang Guillain Barre Syndrom.

serebrospinal (CSS)

Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah
protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung
sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala
klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi.
Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan
dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
a.

Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)

Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal
saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS
yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal
dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo
CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang
pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna.
Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.
b.

Pemeriksaan darah

Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran


ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif
penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju
endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah
salah satu gejala.
b.

Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat

Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf
pada kultur jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus,
menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya
jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
c.

Elektrokardiografi (EKG)

Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T


akan mendatar atauinverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang
dijumpai, namun tidak sering.
d.

Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)

Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).

2.11
a.
a).

Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom

Penatalaksanaan Keperawatan ( Perawatan Supportif)


Respirasi

Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor oksimetri dan AGD. Pernafasan
mekanik, perawatan pasien dengan ventilator mekanik.
b). Kardiovaskuler : monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR )
dan tekanan darah (blood pressure ).
c).

Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi.

d).

Perawatan secara umum :

- physioterapi
- perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
- pertahankan ROM sendi
- pertahankan fungsi paru
- kultur urine dan sputum tiap 2 minggu

- pencegahan terhadap tromboemboli


- pemberian antidepressant jika pasien depresi

b.
a).

Penatalaksanaan Medis
Pengobatan Spesifik

Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya


serangan / gejala. Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa
ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan
media dari system imun) yang menyerang dan merusak lapisan myelin dan sarafsaraf perifer. Tak ada pedoman yang pasti dalam melakukan tindakan ini,namun
umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan pada
waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari setelah
terapi selesai, pasien diberi 4-5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk
menggantikan factor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian
plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3-5 hari dan biasanya berhasil
dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini sampai
hari ke lima maka terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan penggantian plasma
ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau
mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator.Masalah yang timbul dengan
tindakan penggantian plasma antara lain :
o

Biayanya mahal.

o Dapat menyebabkan hipotensi, arythmia, haematoma, thrombus dan komplikasi


yang mengarah terjadinya sepsis.
o

Membutuhkan perawat yang trampil.

b). Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4
g/kg selama 5 hari berturut turut.
c).

Cairan , elektrolit dan nutrisi.

d).

Sedative dan analgetik.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1

Pengkajian

1.

Pengkajian

Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status


Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya
kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
2.

kondisi

Pemeriksaan Fisik

B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas
vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan
ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara
turun), fluktuasi suhu badan.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun,
konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.

Pemeriksaan FT

Anamnesis
Keluhan utama pasien
Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri

Paraestasia jari kaki s/d tungkai

Progresive weakness > 1 Ekstremitas

Hilangnya refleks tendon

Pendukung

Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu

Gangguan sensory Ringan

Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak

Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil

Tidak ada demam

Inspeksi

Tampak kelelahan pada wajah

Otot-otot bibir terkesan bengkak

Kemungkinan adanya atropi

Kemungkinan adanya tropic change

Palpasi
Nyeri tekan pada otot
Auskultasi
Breathsound terdengar cepat
Vital Sign
Blood Preasure
Labil (selalu berubah-ubah)
Heart Rate

Tachicardy

Cardiac arythmia

Respiratory Rate

Hyperventilasi

Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Aktif
Kekuatan otot
Pasif
Lingkup Gerak Sendi, endfeel

Tes Isometrik Melawan Tahanan

Pada ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adany kelemahan.

Gangguan sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama

Prinsip Penanganan

Pemeliharaan sistem pernapasan

Mencegah kontraktur

Pemeliharaan ROM

Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated

Re-edukasi otot

Dilakukan sedini mungkin

Deep breathing Exercise

Mobilisasi ROM

Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai

Change position untuk mencegah terjadinya decubitus

Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untukmencegah


kontraktur

Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah

Edukasi terhadap keluarga

3.2

Diagnosa keperawatan

1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas


2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal

4. Rencana keperawatan

1. Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek
menelan dan peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak
terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau
SpO2 < 95 %
- Monitor status hidrasi
- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab

2. Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru
sebagai efek adanya atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %

Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
Analisa hasil BGA
3. Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter
dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
Suhu tubuh 36,5-37 oC
Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
Penggantian insersi surflo dengan vanocath
Pemeriksaan leuko
Pemeriksaan albumin
Lab UL
Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg

4.
Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek
perjalanan penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
Alinamin F 3 X 1 ampul

BAB 1V
PENUTUP

4.1

Kesimpulan

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus
yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf
kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari
SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot
ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka

4.2

Saran

Penulis menghimbau kepada semua pembaca agar selalu menjaga kebersihan


kesehatan , sebaliknya apabila seorang terkena Sindroma Guillain Barre (SGB)
harus diobati secara tuntas agar tidak terjadi infeksi pada prosesus mastoiditis yang
dapat komplikasi yang lebih parah.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
2.12
Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan
Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC
2.13 Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
2.14 Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immunomediated
polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:
EGC
2.15 Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan
Gerak, hal 173-179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.
2.16 Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal
307-310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

2.17 Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu
Kesehatan Anak, Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta

Rabu, 21 Desember 2011


ASUHAN KEPERAWATAN KUEN DENGAN SINDROMA GUILLAN BARRE (GBS)
ASUHAN KEPERAWATAN
KUEN DENGAN SINDROMA GUILLAN BARRE (GBS)
1.1. Landasan Teori
1) Pengertian
(1) Sindroma Guillan Barre adalah gangguan kelemahan neuromuskuler akut yang
memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total tetapi
biasanya poralisis sementara. (Marylin Dongoes, 2000. Mursing Care Plants,
Philadelphia: MF A. Davis Company).
(2) Sindroma Guillan Barre adalah penyakit yang akut atau lebih tetap akut sub akut
yang lambat laun menjadi poralik dengan penyebab, namun kecenderungan mulai
terarah pada proses imunologik (FK, Unair, Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Syaraf, Surabaya 1997).
2) Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui, tetapi bisa disebabkan oleh berbagai hal :
(1) Dahulu sindroma ini diduga disebabkan virus, tetapi akhir-akhir ini dikarenakan
kelainan imunologik.
(2) Dua pertiga klien berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut.
(3) Interval antara penyakit yang mendahului sekitar 1 3 minggu. Biasanya sering
didahului oleh influensa, ISPA dan saluran pencernaan.
(4) Dapat pula oleh infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anastesi
dan lain-lain (Prof. Dokter Syamsir, M.S. Ahli Syaraf UGM, 1997).
3) Patofisiologi
Penyakit GBS disebabkan oleh virus atau imunologik. Infeksi virus atau bakteri yang
mempengaruhi respon imun pada badan penderita terutama limpositnya dan
makrofagmanya dan akan migrasi ke dalam susunan saraf perifer terjadi perubahan

patologis (Infiltrat dan Oedema).


4) Gejala klinis
(1) Gangguan syaraf otonom
Retensi kemih
Hipotensi postural
Techicardi
Hipertensi
Aritmia
(2) Gangguan syaraf somatis
Parastesia tungkai dan kaki (gejala awal) menyebar ke kelenjar serta otot
pernafasan.
Nyeri (iritasi radius syaraf).
Tonus otot menurun.
Reflek tendon menghilang.
(3) Gangguan syaraf kranial
Pada nerves vii : Fasialis (ekspresi wajah)
Pada nerves ix : Glosofaringelis (menelan, muntah)
Pada nerves x : Vagus
Virus / bakteri

Gangguan imun terutama limposit & marofag


(terjadi sentilisasi limposit dan makrofag)
Migrasi
Saraf perifer (terjadi patologis, infiltrat
dan edema)

Gangguan syaraf Gangguan syaraf Gangguan syaraf


Otonom Somatis Kranial
5) Penatalaksanaan Medis
(1) Berikan pengobatan dengan kortison dengan skema sebagai berikut :
Hari I, II dan III : 3 x 100 mg
Hari IV dan V : 3 x 75 mg
Hari VI : 3 x 50 mg
Hari VII sampai VIII : 2 x 50 mg
Hari XIV : 1 x 50 mg
(2) Di samping pengobatan ini diberikan juga terapi vitamin B complek.
(3) Diet rendah garam dan diberikan KCL 3 x 500 mg
(4) Fisioterapi
(5) Penggunaan ventilator mekanik

(Kapita Selekta Kedokteran, Edisi II. 1982)


6) Pengkajian
(1) Biodata
Sering terjadi pada wanita usia muda
(2) Keluhan utama
(3) Riwayat penyakit sekarang
Kelemahan neuromuskuler dan paralisis sementara
(4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit influenza, ISPA, saluran pencernaan, gangguan endokrin, tindakan
operasi, anastesi.
(5) RPK
(6) RPSS
Perasaan cemas, tampak takut dan bingung, kehilangan kemampuan untuk
komunikasi.
(7) Activity Daily Life (ADL)
Nutrisi
Kesulitan dalam mengunyah dan menelan karena gangguan syaraf kranial pada
nerves ix.
Aktivitas/istirahat
Adanya kelemahan dan paralisis simetris biasanya dimulai dari extremitas bagian
bawah dan selanjutnya berkembang ke atas, hilangnya kontrol motorik halus
tangan, cara berjalan tidak mantap.
Eliminasi
Kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensori anus/berkemih dan reflek
spingter.
7) Pemeriksaan
(1) Pemeriksaan fisik
Terdapat kesulitan dalam bernafas, nafas pendek, pernafasan perut, menggunakan
alat bantu nafas (ventilator), opnea pusat/stenosis batuk, nyeri tekan otot.
(2) Pemeriksaan diagnostik
Pungsi lumbal berurutan, peningkatan protein nyata dalam 4 6 mg (s/d 1000
mg) karena infiltrasi yang luas.
Elektromiografi : Fibritasi terjadi pada fase akhir.
DL : adanya leukositosis pada fase awal.
Foto Rontgen : dapat terlihat pada atelektasis/pneumonia.
Fungsi paru : CV, VT dan kemampuan aspirasi.
8) Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul (Donges, 1999 : 359)
(1) Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan sekret.
(2) Perubahan Nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler reflek menelan.

(3) Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.


(4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
kelemahan atau paralisis.
9) Rencana Tindakan Keperawatan
Dx I Bersihann jalan nafas tak efektif berhubungan dengan sekret
Tujuan : tidak ada gangguan pada nafas/bersihan jalan nafas.
Kriteria hasil :
(1) Tidak ada distress pernafasan
(2) Bunyi nafas bersih
(3) GDA dalam batas normal
Intervensi :
Pantau frekuensi kedalaman dan kesempitan pernafasan, catat peningkatan kerja
nafas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
R/ Peningkatan distress pernafasan menandakannya kelelahan pada otot
pernafasan/paralisis.
Auskultasi bunyi nafas dan catat bila ada abnormal.
R/ Peningkatan resistensi jalan nafas akan mengganggu proses difusi gas dan akan
menjadi pneumonia.
Evaluasi reflek batuk secara periodik, lakukan penghisapan sekret, catat warna
dan jumlah dari sekret (sputum).
R/ Untuk mencegah aspirasi infeksi pulmonal dan gangguan nafas, kehilangan
kekuatan dan fungsi otot mungkin mengakibatkan ketidakmampuan untuk
mempertahankan atau membersihkan jalan nafas.
Pantau kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernafasan sesuai kebutuhan.
R/ Mendeteksi perubahan dari pedisis otot dan penurunan upaya pernafasan.
Kolaborasi dengan tim medis.
Lakukan pemantauan GDA, foto rontgen
Berikan terapi O2 sesuai indikasi
Berikan obat/bantu dengan tindakan pembersihan pernafasan, seperti latihan
pernafasan, perkusi dada, vibrasi dan diagnosa postural.
Berikan perawatan trakeostomi jika ada.
D x II Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler reflek menelan.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
(1) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
(2) BB stabil
(3) Normalisasi nilai-nilai laboratorium albumin
Intervensi
Kaji kemampuan untuk menelan
R/ Kelemahan otot untuk reflek yang hipoaktif dapat menjadi indikasi kebutuhan

akan metode amakan alternatif. Seperti melalui selang sonde.


Auskultasi bising usus, evaluasi adanya distensi abdomen
R/ Perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis/imbilisasi.
Catat masukan kalori setiap hari.
R/ Mengidentifikasi kekurangan makanan dan kebutuhannya.
Catat makanan yang disukai/tidak disukai oleh klien termasuk dalam diet yang
dikehendaki. Berikan makanan setengah padat/cair.
R/ Dapat melakukan usaha untuk makan.
Berikan makanna perparental sesuai advis dokter
R/ Dapat diberikan jika klien tidak mampu untuk menelan (atau jika reflek
menelan/mengalami gangguan kerusakan) untuk pemasukan makanan, kalori,
elektrolit dan mineral.
Berikan makanan dalam porsi kecil frekuensi sering
R/ Porsi kecil akan lebih efektif karena adanya ascites akan mempengaruhi
kapasitas lambung, sehingga penyerapan lebih adekuat.
Dx III Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan kelumpuhan ekstremitas,
kerusakan neuromuskuler
Tujuan : klien bebas dari komplikasi mobilisasi
Kriteria hasil :
(1) Meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang stabil/kompensasi
(2) Dekubitus tak terjadi
Intervensi
Kaji rasa nyeri kemerahan, bengak, ketegangan otot jari.
R/ Banyak sekali pasien dengan trauma neuromuskuler mengalami kelumpuhan.
Anjurkan pasien untuk melakukan/menggunakan teknik relaksasi
R/ Mengurangi ketegangan otot/kelelahan dapat membantu mengurangi nyeri,
spasme otot, spastistias/kejang.
Gantilah posisi secara periodik
R/ Mengurangi tekanan pada salah satu area dan meningkatkan sirkulasi perifer.
Bantu/lakukan latihan pada semua ekstremitas dan sendi, pakailah gerakan
perlahan dan lembut.
R/ Meningkatkan sirkulasi, mempertahankan tonus otot dan mobilisasi sendi,
meningkatkan mobilisasi sendi dan mencegah kontraktur dan atrofi otot.
Inspeksi kulit setiap hari observasi adanya daerah yang tertekan dan lakukan
perawatan kulit dengan benar.
R/ Gangguan sirkulasi, hilangnya sensasi atau kelumpuhan merupakan resiko tinggi
terjadinya luka karena tekanan.

DAFTAR PUSTAKA

Marylin Dongoes, 2000, Nursing Care Plants. Philadelphia: MFA Davis Company.
Perkumpulan Dokter Ahli Syaraf, (1997), Ilmu Neurologi, UGM : Yogyakarta.
FK. Unair, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Syaraf : Surabaya.
Diposkan oleh akperlamongan di Rabu, Desember 21, 2011

Asuhan Keperawatan dan Laporan


Pendahuluan Sindrom Guillain Barre
Posted on April 23, 2014 by giarjovian
Standar

2 Votes

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang
belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik.

Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
o polineuritis akut pasca infeksi
o polineuritis akut toksik
o polineuritis febril
o poliradikulopati,dan
o acute ascending paralysis.
2. Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang
penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler
menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916,
Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian
protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut
sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian.
Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat
membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
3. Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan
frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus
influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada
setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi
antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian
mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia
dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95
tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83%
penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras
yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35
tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di
Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5
tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.

4. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a. Infeksi
o Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya
o Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections
mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
o Vaksin : rabies, swine flu
o Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter
jejuni
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Penyakit sistematik:
o keganasan, Hodgkinsdisease, carcinoma,lymphoma
o systemic lupus erythematosus
o tiroiditis
o penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala
neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang
menyerang mielin saraf perifer.
Tabel 1. Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMVEBV HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox InfluenzaMeaslesMumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri CampylobacterJejeniMycoplasma
Pneumonia Typhoid Borrelia BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
5. Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi

terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi
pada sindroma ini adalah:
a. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
b. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
c. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah
saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas
humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi
virus.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran
makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang
mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada
limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi
marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial
akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
6. Patofisiologi
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit
medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga,
mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran
implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan
myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya
terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena
axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai
beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.

7. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan
mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang
terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan
makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada
myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit
yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti
demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi
Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan
melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
8. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fishers syndrome
6. Acute pandysautonomia
9.Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau
saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah
suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur,
penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya
gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari
(4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas
atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada
keempat anggota gerak.
a. Gejala Klinis
1.Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone.
Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian

menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang
juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat
kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama
beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2.Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan
distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi
seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada
sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas
fisik.
3.Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering
dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat
antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi
akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan
berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan
karena paralisis n. laringeus.
4.Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus
takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau
hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin
atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari
satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga
karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi
arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
7. Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset
penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase
ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu .
Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai
maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi
jarang yang melebihi 7 minggu .

Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung
selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang
kurang dari 6 bulan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : >
0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi
sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari
onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10
sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar
protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik
Hormone).
c .Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
o Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
o Distal motor retensi memanjang
o Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen
proksimal dan radiks saraf.
o Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk
menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa
penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
10. Penatalaksanaan
a.Terapi
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit
intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadangkadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik.
Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan
yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai
nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang
beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan
klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14
hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

Pengobatan imunosupresan:
o Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.
o Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
o 6 merkaptopurin (6-MP)
o Azathioprine
o cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
b. Perawatan
Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel), pernapasan
(breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan (nutrition and fluid
balance)
Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan
kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit.
Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang
terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan
ritme : cheyne-stoke
11. Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita
dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam
waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:
o pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
o mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
o progresifitas penyakit lambat dan pendek
o pada penderita berusia 30-60 tahun
12. Komplikasi
a. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic
b. Tetraparese oleh karena penyebab lain
c. Hipokalemia
d Miastenia Gravis
e. Adhoc commite of GBS
f. Tick Paralysis
g. Kelumpuhan otot pernafasan
h. Dekubitus

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesa
o Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
o Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
o Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang
dilakukan selama menderita penyakit.
b. Pemeriksaan Fisik
o B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek
batuk turun, resiko akumulasi secret.
o B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
o B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman
penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu
badan.
o B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
o B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi
sampai hilangnya sensasi anal.
o B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
c. Pengelompokan data
Data subjektif:
o Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
o Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
o Tidak mampu menelan air liurnya
o Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai
kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
o Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
o Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan
(ventilator)
o Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat,
leukositosis
d. Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS:

Tidak mampu menelan air liurnya


DO:
Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler
Bunyi paru wheezing +/+
Pengembangan dada tidak maksimal
GDA kurang dari normal
menggunakan ventilator Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif Kelemahan otot-otot
bantu pernapasan
DS:
Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
DO:
Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya
Kekuatan otot imobilisasi Paralisis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
c. Ketidakefektifan pola nafas
d. Ggn komunikasi verbal
e. Resiko tinggi terjadi infeksi
f. Resiko terjadi trauma
g. Resiko terjadi disuse syndrome
h. Kecemasan pada orang tua
3. Rencana keperawatan
a. Dx 1. Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan
peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
o Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
o Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
o Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %
o Monitor status hidrasi
o Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
o Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
b. Dx 2 Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek
adanya atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
o BGA dalam batas normal

o Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+


o Cyanosis (-), SpO2 > 95 %
Tindakan:
o Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
o Monitor SpO2 setiap jam
o Monitor respirasi dan cyanosis
o Kolaborasi :
seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
SAnalisa hasil BGA
c. Dx : Resiko tinggi terjado infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
Tanda-tanda infeksi (-)
leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
Suhu tubuh 36,5-37 oC
Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan
o Rawat ETT setiap hari
o Lakukan prinsip steril pada saat suction
o Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
o Ganti kateter setiap 72 jam
o Kolaborasi :
Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
Penggantian insersi surflo dengan vanocath
Pemeriksaan leuko
Pemeriksaan albumin
Lab UL
Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg
d. Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit
GBS
Tujuan : Setelah dirawat
o Kontraktur (-)
o Nutrisi terpenuhi
o Bab dan bak terbantu
o Personal hygiene baik
Tindakan:
o Bantu Bab dab Bak
o Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam

o Mandikan klien setiap hari


o Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
o Berikan latihan pasif 2 kali sehari
o Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
o Monitor status neurologi setiap 8 jam
o Kolaborasi:
Alinamin F 3 X 1 ampul
Sonde pediasuer 6 X 50 cc
Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis

e. Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lama
Tujuan :
Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan
dilakukan
Tindakan :
o He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.
o He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses
perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath
o Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh
petugas
Kepustakaan
1. Brunner and suddart, Medical practical nursing, 1st edition, 2002
2, Dr. dr. Eddy Raharjo,Sp.An . Manual practical of anastesia, Airlangga unerversity,1999.
3. Husni tanra, prof.dr,Sp.An(K), neurofisiologi of brain for Guillan barre sindroma, Hasanuddin
unerversity,2003

Tipe

Neutrofil

Eosinofil

Basofil

Limfosit

Gambar

% dalam
Diagram
tubuh
manusia

Keterangan

65%

Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh


terhadap infeksi bakteri serta proses peradangan
kecil lainnya, serta biasanya juga yang
memberikan tanggapan pertama terhadap infeksi
bakteri; aktivitas dan matinya neutrofil dalam
jumlah yang banyak menyebabkan adanya nanah.

4%

Eosinofil terutama berhubungan dengan infeksi


parasit, dengan demikian meningkatnya eosinofil
menandakan banyaknya parasit.

<1%

25%

Basofil terutama bertanggung jawab untuk


memberi reaksi alergi dan antigen dengan jalan
mengeluarkan histamin kimia yang menyebabkan
peradangan.
Limfositlebih umum dalam sistem limfa. Darah
mempunyai tiga jenis limfosit:

Sel B: Sel B membuat antibodi yang


mengikat patogen lalu menghancurkannya.
(Sel B tidak hanya membuat antibodi yang
dapat mengikat patogen, tapi setelah
adanya serangan, beberapa sel B akan
mempertahankan kemampuannya dalam
menghasilkan antibodi sebagai layanan
sistem memori.)

Sel T: CD4+ (pembantu) Sel T


mengkoordinir tanggapan ketahanan (yang
bertahan dalam infeksi HIV) sarta penting
untuk menahan bakteri intraseluler. CD8+
(sitotoksik) dapat membunuh sel yang
terinfeksi virus.

Sel natural killer: Sel pembunuh alami


(natural killer, NK) dapat membunuh sel
tubuh yang tidak menunjukkan sinyal
bahwa dia tidak boleh dibunuh karena
telah terinfeksi virus atau telah menjadi
kanker.

Monosit

6%

Monosit membagi fungsi pembersih vakum


(fagositosis) dari neutrofil, tetapi lebih jauh dia
hidup dengan tugas tambahan: memberikan
potongan patogen kepada sel T sehingga patogen
tersebut dapat dihafal dan dibunuh, atau dapat
membuat tanggapan antibodi untuk menjaga.

Makrofag

(lihat di
atas)

Monosit dikenal juga sebagai makrofag setelah


dia meninggalkan aliran darah serta masuk ke
dalam jaringan.

Você também pode gostar