Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
tersumbat, gatal hidung, dan Rhinorrhea . Mata, telinga, sinus, dan tenggorokan juga dapat
terlibat. Rhinitis alergi adalah penyebab paling umum dari rhinitis. Ini adalah kondisi yang
sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi. Dan Dexa Medica memproduksi
obat untuk rinitis tersebut, dan diberi label Rhinofed
Meskipun rinitis alergi bukan kondisi yang mengancam jiwa, komplikasi dapat terjadi dan
kondisi secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup, yang mengarah pada sejumlah
biaya tidak langsung.
Komposisi Rhinofed :
Stiap tablet mengandung :
Pseudophedrine HCL ----- 30 mg
Terfenadine ----------------- 40 mg
Farmakologi :
Terfenadine adalah suatu antihistamin baru yang bekerja secara spesifik dan selektif pada
reseptor H1, tanpa menimbulkan aktivitas depresi pada saluran saraf pusat. Pseudophedrine
(d-isoefedrine ) adalah suatu stereo isomer efedrin. Bekerja sebagai "sympathomimemic
agent" secara langsung merangsang reseptor adrenergik. Dalam klinis terfenadine
menghilangkan gejala rinitis alergika seperti : bersin, rinore, rasa gatal disekitar hidung dan
mata, sedangkan gejala hidung tersumbat diatasi oleh pseudoephedrine.
Indikasi :
Rinitis Alegika dan Rinitis Vasomotor.
Kontraindikasi :
Wanita hamil, menyusui dan penderita sedang terapi dengan penghambat monoamin
oksidase (MAO)
Pemberian bersama ketokonazol dan derivat azol yang lain atau obat golongan
makrolid.
Dosis :
Dewasa dan anak diatas 12 tahun : 3 x sehari 1 tablet
Keamanan dan keefektifan pemberian untuk anak dibawah 12 tahun belum ditetapkan.
Kelebihan Dosis ( Over Dosis ) :
Beberapa kasus kelebihan dosis telah dilaporkan, gejalaya bisa berupa aritmia jantung
termasuk takikardi ventrikular atau fibrilasi atau torsade de pointes yang terjadi pada dosis
berlebih pada dosis 360 mg. Pada dosis 300 mg 2 kali sehari selama 7 hari terjadi perubahan
pada EKG yaitu perubahan morfologi gelombang T dan timbulnya gelombang U. Pada kasus
kelebihan dosis monitoring EKG harus dilakukan secara intensif. Hemodialisis tidak efektif
atau tidak mempengaruhi berdihan terfenadine atau metabolitnya dari darah.
Peringan dan Perhatian :
Efek Samping :
Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, sakit perut dan mulut kering.
Efek samping lain yang pernah dilaporkan adalah nyeri abdomen dan dispepsia,
alopesia, reaksi anafilaksis, angioedema, aritmia jantung, bronkospasme, gangguan
mood, konvulsi, depresi, pusing, sakit kepala, insomnia, ikterus, gangguan fungsi hati
termasuk peningkatan transaminasi, gangguan haid, nyeri muskuloskeletal, nightmare,
ruam, keringat dingin, tremor dan gangguan visual.
Interaksi Obat :
Ketokonazol dan derivat azol yang lain serta antibiotik makrolid akan menghambat
metabolisme terfenadine sehingga tidak boleh diberikan bersamaan (kontraindikasi ).
http://compolite.blogspot.com/2013/09/rhinofed-obat-rinitis.html
Faktor
iklim
Penyebab pertama yaitu karena pengaruh iklim di sekitar. Alergi dapat terjadi
contohnya pada musim gugur dan musim semi. Jenis alergi ini terbagi lagi menjadi
alergi tahunan dan musiman.
Faktor
lingkungan
Penyebab kedua adalah faktor dari lingkungan sekitar di mana Anda tinggal. Beberapa
contoh yang termasuk faktor lingkungan yaitu debu yang banyak beterbangan, serbuk
sari, kelembaban, suhu rendah dan suhu yang terlalu tinggi juga mempengaruhi.
Selain itu bau-bauan dengan sifat khusus pun dapat menjadi alasan penyebab
seseorang terserang gangguan hidung Rhinitis.
Alergi
makanan
tertentu
Penyebab ketiga yaitu alergi terhadap makanan. Contoh makanan yang biasanya
menimbulkan efek alergi adalah susu, telur, merica, anggur, makanan laut, dan kubis.
Semuanya berbeda-beda antar individu.
Faktor
genetik
atau
keturunan
Penyebab keempat karena faktor keturunan atau genetik, di mana ini tidak bisa
dicegah oleh Anda. Jika ke 2 orang tua sang anak mengidap Rhinitis, maka anaknya
pun memiliki persentase yang cukup tinggi sekitar 75% akan mengidap penyakit
Rhinitis pula. Namun, jika hanya salah satu orang tuanya yang mengidap Rhinitis,
maka persentase anaknya terserang Rhinitis hanyalah 50% saja.
Infeksi
Penyebab kelima dan terakhir yaitu infeksi. Infeksi pada saluran pernafasan atas bisa
jadi terjadi karena serangan bakteri dan juga virus. Di mana bakteri dan virus dapat
merangsang sel jaringan serta menimbulkan variasi reaksi alergi.
Disebutkan bahwa jika penyakit Rhinitis Anda termasuk ke dalam jenis Rhinitis alergi, maka
Anda harus menggunakan obat dengan rutin, untuk obatnya yang mana, Anda bisa
berkonsultasi dengan dokter THT.
Menghindari
alergen
Kebanyakan Rhinitis disebabkan oleh alergi. Tentunya, jika Anda sudah mengetahui
Anda alergi terhadap apa, maka Anda harus menghindari kontak dengan alergen
tersebut sebisa mungkin.
Obat
anti
alergi
Anda juga dapat menggunakan obat anti alergi, tentunya jika Anda tidak bisa
menghindari sumber alergen tersebut. Namun jika bisa, maka sebaiknya tetap
menggunakan cara menghindari alergen, karena konsumsi obat tidak baik untuk ginjal
dalam jangka panjangnya.
Semprotan
Pengobatan lainnya untuk menyembuhkan Rhinitis yaitu dengan menggunakan
antihistamin yang berupa semprotan. Namun selain itu, Anda juga dapat
menggunakan antihistamin yang berupa tablet. Bentuk lain dari antihistamin adalah
nasal kortikosterid, obat tetes mata, dan juga immunotherapy.
Terapi
alternatif
Selain cara-cara di atas, ada juga cara menggunakan terapi alternatif. Jenis dari terapi
ini bisa dicocokkan dengan tingkat keparahan dari penyakit Rhinitis yang diderita.
Namun, disarankan Anda jangan sembarangan dalam memilih terapi alternatif yang
ingin dilakukan, namun berkonsultasilah terlebih dahulu dengan dokter spesialis THT
langganan Anda. Dokter tentu dapat merekomendasikan mana terapi alternatif yang
terbaik, atau mungkin dokter akan melarang Anda mengikuti terapi alternatif karena
alasan tertentu.
Proses penyembuhan penyakit Rhinitis pada seseorang
Anda jangan mudah menyerah dalam menyembuhkan penyakit Rhinitis, karena penyakit ini
butuh waktu untuk sembuh. Dan Anda membutuhkan kedisiplinan dalam menjalankan
pengobatan hingga akhirnya benar-benar sembuh. Tingkat lama tidaknya tergantung seberapa
parahnya penyakit Rhinitis yang Anda alami.
Sekian informasi mengenai cara menyembuhkan penyakit Rhinitis, semoga lekas sehat.
rhinitis
secara
alami,
silahkan
dibaca
sampai
selesai...
Dulu, saya sering kali bersin-bersin setiap bangun tidur di pagi hari, padahal dulu saya tidak
pernah mengalami hal seperti ini. Bersin-bersin bisa terjadi berkali-kali dan hidung sering
mengeluarkan cairan lendir (meler). Kondisi ini terjadi sejak 2 tahun lalu setelah beberapa
bulan bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta.
Pada mulanya, saya kira saya hanya menderita pilek menahun/flu menahun, tetapi ternyata
saya salah. Setelah mendapatkan dari berbagai informasi, ternyata saya menderita gejala
rhinitis. Kemudian saya pikir saya menderita rhinitis alergi, tetapi setelah membaca ebook
mengatasi bersin, ternyata saya tidak mengalami rhinitis alergi, melainkan saya menderita
rhinitis
vasomotor.
Rhinitis vasomotor ini gejala utamnya yaitu sering bersin-bersin terus di pagi hari (hampir
setiap pagi) dan mengeluarkan lendir/ingus dari hidung. Rhinitis vasomotor ini sering kali
disebabkan oleh perubahan temperatur dan suhu dingin, itulah kenapa penderita rhinitis jenis
ini
sering
kali
bersin-bersin
di
pagi
hari.
Rhinitis vasomotor ini adalah jenis rhinitis yang penyebabnya sering kali berkaitan dengan
kondisi saraf dan otot yang menyebabkan pembuluh darah disekitar hidung melebar.
Sehingga membuat si penderita menjadi sangat sensitif dengan suhu dingin dan akhirnya
sering
bersin-bersin
tiap
pagi
atau
tiap
selesai
mandi.
Saya sendiri dulu sudah pernah pergi ke dokter spesialis telinga hidung dan tenggorokan
(THT) untuk memerikasakan kondisi saya, dan menurut sang dokter saya memang
kemungkinan
menderita
gejala
rhinitis.
Saya pun sudah pernah mengkonsumsi beberapa jenis obat-obatan antihistamin, dekongestan,
nasal spray (obat semprot hidung) yang di resepkan oleh dokter, namun tidak ada satupun
yang
membuat
saya
sembuh
total.
Lalu saya pun baru tahu bahwa rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor itu memang tidak bisa
disembuhkan secara total dengan hanya mengkonsumsi obat-obatan, karena obat hanya untuk
meringankan gejala rhinitis yang muncul saja agar tidak terlalu mengganggu aktivitas.
Sedangkan jika tidak mengkonsumsi obat-obatan tersebut, maka bersin-bersin sering kali
terjadi
lagi
dan
lagi
disetiap
pagi.
Karena saya sadar bahwa ketergantungan obat itu tidak baik, karena pada dasarnya obat
adalah bersifat racun yang tebuat datri bahan sisntetis/kimia. Akhirnya saya memutuskan
untuk mengikuti pengobatan secara alami seperti yang di jelaskan dalam ebook mengatasi
bersin.
Pada umumnya, pengobatan rhinitis bertujuan untuk mengurangi gejala yang disebabkan oleh
peradangan. Untuk kasus rhinitis alergi misalnya, cara paling efektif untuk mengurangi gejala
alergi adalah dengan menghindari, menjauhi atau menyingkirkan alergen penyebabnya, misal
dengan menghindari atau membersihkan ruangan dari debu, jamur atau dari serbuk sari yang
mungkin
masuk
ke
ruangan
Anda.
Sedangkan pada kasus rhinitis vasomotor biasanya cukup sulit dihindari, karena pemicu
gejalanya yaitu udara dingin atau perubahan suhu/cuaca yang mana sulit dikontrol dan
dihindari.
Kondisi rhinitis khususnya rhinitis vasomotor tidak bisa diobati dengan hanya mengkonsumsi
obat-obatan saja, karena termasuk dalam kategori rhinitis non-alergi (non-allergic rhinitis).
Sehingga untuk bisa sembuh dan tidak suka bersin-bersin lagi Anda perlu melakukan
treatment-treatment tertentu yang bisa menstabilkan fungsi saraf, otot, dan sistem kekebalan
tubuh
(sistem
imun).
Untuk mengatasi rhinitis secara efektif, saya sarankan Anda membaca ebook mengatasi
bersin yang bisa anda dapatkan di www.mengatasibersin.com. Didalamnya terdapat
penjelasan lengkap tentang cara mengatasi bersin-bersin akibat rhinitis secara alami dengan
treatment-treatment
tertentu
yang
mudah
diikuti.
Dulu, setelah saya melakukan semua panduan yang ada didalam e-book tersebut, secara
bertahap gejala bersin-bersin jadi mulai berkurang dan jadi sangat jarang. Bahkan kini saya
hampir tidak bersin-bersin lagi di pagi hari. Jika Anda sering bersin-bersin akibat gejala
rhinitis, maka panduan dalam ebook mengatasi bersin ini sangat saya rekomendasikan untuk
Anda baca.
http://www.telingahidungtenggorokan.com/cara-menyembuhkan-penyakit-rhinitis.html
Daftar Lengkap Obat Untuk Terapi Alergi Hidung atau Rinitis Alergi
Diposting pada Oktober 28, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar
Daftar Lengkap Obat Untuk Terapi Alergi Hidung atau Rinitis
Alergi
Pemberian obat alergi untuk penderita rinitis alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik.
Pemberian obat jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari
penyebab.
Banyak kelompok obat yang digunakan untuk Alergi Hidung atau Rinitis alergi,
termasuk antihistamin, kortikosteroid, dekongestan, garam, natrium kromolin, dan
antileukotrienes. Ini dapat dibagi lagi menjadi terapi intranasal dan oral. Pemberian
obat intranasal memiliki keuntungan secara langsung mempengaruhi tindakan, dan
secara umum, intranasal obat memiliki efek samping lebih sedikit dan tidak ada efek
sistemik. Keuntungan utama dari terapi oral adalah kemudahan penggunaan.
Beberapa pasien menolak menggunakan obat intranasal.
(Chlor-Trimeton),
dan
diphenhydramine
(Benadryl),
fexofenadine
(OTC) tanpa resep. Antihistamin generasi kedua termasuk desloratadine (Clarinex), dan
dihidroklorida levocetirizine (XYZAL), yang memerlukan resep.
Cetirizine (Zyrtec) Antihistamin generasi kedua obat dengan efek samping yang
lebih sedikit daripada generasi pertama obat. Selektif menghambat reseptor perifer
histamin H1. Tersedia sebagai syr (5 mg / 5 mL) dan 5 atau 10-mg tab.
Fexofenadine (Allegra) Nonsedating generasi kedua obat dengan efek samping yang
lebih sedikit daripada generasi pertama obat. Bersaing dengan histamin untuk reseptor
H1 di saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernafasan, mengurangi
reaksi hipersensitivitas. Tersedia OTC di qd dan persiapan tender. Juga tersedia OTC
dikombinasikan dengan pseudoefedrin.
Intranasal antihistamin Agen ini merupakan alternatif untuk antihistamin oral untuk
mengobati rhinitis alergi. Saat ini, azelastine dan olopatadine adalah agen hanya tersedia di
Amerika Serikat.
Olopatadine
intranasal
(Patanase)
Beklometason
(Beconase
AQ,
QNASL)
Budesonide
dihirup
(Rhinocort
Aqua)
Ciclesonide
(Omnaris)
Kortikosteroid nasal spray diindikasikan untuk AR. Prodrug yang dihidrolisis secara
enzimatik farmakologis metabolit aktif aplikasi C21-desisobutyryl-ciclesonide
intranasal berikut. Kortikosteroid memiliki berbagai efek pada beberapa jenis sel
(misalnya, sel mast, eosinofil, neutrofil, makrofag, limfosit) dan mediator (misalnya,
histamines, eikosanoid, leukotrien, sitokin) yang terlibat dalam peradangan alergi.
Semprot Masing-masing memberikan 50 mcg.
Flunisolide
(AeroBid)
Flutikason
propionat
(Flonase)
Flutikason
furoate
(Veramyst)
Mometasone
(NASONEX)
Triamcinolone
dihirup
(Nasacort
AQ)
dekongestan
Dekongestan yang efektif untuk jangka pendek kontrol gejala. Mereka menurunkan debit
hidung dan kemacetan dan tersedia tanpa resep. The 2 obat dalam kelompok ini adalah
hidroklorida oxymetazoline (Afrin) dan ipratropium bromide (Atrovent). Hidroklorida
oxymetazoline adalah obat adiktif yang efektif dalam menyusut membran hidung dan tidak
direkomendasikan
untuk
penggunaan
jangka
panjang.
Penggunaan
hidroklorida
oxymetazoline selama lebih dari 7-10 d adalah kebiasaan membentuk. Pasien dapat
kecanduan selama bertahun-tahun pada suatu waktu. Kecanduan disebut medicamentosa
rhinitis. Ipratropium bromida dapat digunakan untuk jangka waktu lama.
Bromida
0,03%
atau
0,06%
ipratropium
(Atrovent)
stabilisator
sel
mast
Ini adalah terapi yang efektif untuk AR pada sekitar 70-80% pasien. Mereka menghasilkan
stabilisasi sel mast dan efek antiallergic oleh degranulasi sel mast menghambat. Mereka tidak
memiliki efek anti-inflamasi atau antihistamin langsung dan efek bronkodilator minimal.
Mereka adalah efektif untuk profilaksis. Mereka juga membersihkan antigen mekanis, mirip
dengan saline. Produk-produk ini sekarang tersedia di atas meja.
Cromolyn
natrium
(Nasalcrom)
Digunakan setiap hari untuk AR musiman atau abadi. Pengaruh yang signifikan tidak
dapat dilihat selama 4-7 d. Administer sebelum paparan pada pasien dengan periode
terisolasi dan dapat diprediksi dari eksposur (misalnya, hewan alergi, alergi kerja).
Umumnya kurang efektif dibandingkan kortikosteroid hidung. Efek perlindungan
berlangsung 4-8 jam, dengan demikian, dosis sering diperlukan. Jika diinginkan,
dapat digunakan dengan obat lain, termasuk obat-obatan alergi lainnya.
Antileukotrienes
Montelukast telah disetujui sebagai monoterapi untuk rhinitis alergi. Telah terbukti paling
efektif pada pasien yang signifikan kemacetan adalah keluhan utama. Ini juga telah terbukti
bekerja sebagai terapi tambahan dengan hadir antihistamin generasi kedua untuk memberikan
bantuan lebih besar dari gejala dibandingkan antihistamin saja. Hal ini bermanfaat pada
pasien dengan gejala pada siapa antihistamin hadir tidak memadai. Sebuah studi telah
menunjukkan kombinasi dengan cetirizine sama efektifnya dengan kortikosteroid intranasal.
Antileukotriene juga dapat ditambahkan ke rencana perawatan pada pasien yang menerima
terapi antihistamin dan intranasal.
Montelukast
(Singulair)
ditemukan di seluruh jalan napas, obat dapat memediasi efek pada saluran napas atas
dan bawah.
Emfisema
Emfisema adalah kondisi di mana kantung udara di paru-paru Anda secara bertahap hancur,
membuat napas Anda lebih pendek. Emfisema adalah salah satu dari beberapa penyakit yang
secara kolektif dikenal sebagai penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Merokok adalah
penyebab utama emfisema.
Emfisema membuat kantung udara yang terdiri dari balon-balon yang bergerombol seperti
tandan buah anggur menjadi kantung udara dengan lubang-lubang menganga di dindingnya.
Hal ini mengurangi luas permukaan paru-paru dan, pada gilirannya, jumlah oksigen yang
mencapai aliran darah Anda.
Emfisema juga perlahan-lahan menghancurkan serat-serat elastis yang membuka saluran
udara kecil yang mengarah ke kantung udara. Hal ini memungkinkan saluran udara tersebut
runtuh ketika Anda mengeluarkan napas, sehingga udara dalam paru-paru Anda tidak dapat
keluar.
Istilah yang mungkin terkait dengan Emfisema :
Asma
Alveoli
Terapi Inhalasi
http://kamuskesehatan.com/arti/emfisema/
missimple novaacho
Jumat, 16 September 2011
KONSEP DASAR PENYAKIT EMFISEMA
KONSEP
1.
DASAR
PENYAKIT
Definisi
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru yang ditandai
dengan pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai dekstruksi jaringan.
Sesuai dengan definisi tersebut, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak
termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai overinflation.
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal paru dengan adanya kondisi klinis
berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai dengan
kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami
kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami
gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible)
yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama
kecacatan.
2.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema. Emfisema
menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat menimbulkan gangguan
aktifitas. Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita.
Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk melakukan penelitian di
poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26 %,
kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru (65 %).Di Indonesia belum ada data mengenai
emfisema paru.
3.
Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi, infeksi,
faktor genetik, obstruksi jalan napas.
a.
Rokok
Secara patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakkan silia pada jalan napas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar
mucus bronkus.Gangguan pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya
perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus
dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan
alveoli pecah.
Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim
protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya .
b.
Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema.Insidensi dan
angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi. Polusi udara
seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia, menghambat fungsi
makrofag alveolar.
c.
Infeksi
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi
saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma bronkiale, dapat mengarah pada
obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
d.
Faktor genetic
e.
Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin dapat menimbulkan emfisema masih belum
jelas.
f.
4.
Manifestasi klinis
a.
Penampilan umum
1.
2.
Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir.
3.
b.
c.
1.
2.
3.
Pada auskultasi terdapat penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam.
4.
5.
6.
Hematocrit <60%.
d.
Pemeriksaan jantung
Tidak terjadi pembesaran jantung.Kor pulmonal timbul pada stadium akhir.
e.
Riwayat merokok
5.
Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada dinding
alveolar.Dapat menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.Perjalanan udara terganggu
akibat dari perubahan ini.kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari
adanya dekstruksi dinding (septum) diantara alveoli, kolaps napas sebagian, dan kehilangan
elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan diantara ruang
alveolar (blebs) dan diantara parenkim paru (bullae). Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilator pada dead space atau aren yang tidak mengalami pertukara gas atau
darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru untuk
melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.Emfisema juga menyababkan destruksi
kapiler paru.Akibat lebih lanjutnya adalah penurunan perfusi oksigen dan penurunan
ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai usia, tetapi hal ini timbul
pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan
merokok.
Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lendir yang berlebihan,
kehilangan recoil elastisitas jalan nafas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi
udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.
Pada paru normal ada keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru
keluar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan
yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru).Keseimbangan tinbul antara kedua
tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai functional residual capacity
(FRC) yang normal.Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan paru dan
menghasilkan FRC yang lebih besar.Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada
orang normal sewaktu terjadiekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paruakan
berkurang, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.
Pada pasien dengan emfisema, saluran-saluran pernpasan tersebut akan lebih cepat
dan lebih banyakyang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun,
semua itu bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi
kurang/tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernapasan maupun
aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada
keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan.Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri
(hiperkapnea) danmenyebabkan asidosis rspiratorik.Karena dinding alveolar terus mengalami
kerusakan, maka jarring-jaring kapiler pulmonal berkurang.Aliran darah pulmonal meningkat
dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area
pulmonal.Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu
komplikasi emfisema.Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan
batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi.Infeksi akut kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema, ini memperberat masalah.Individu dengan emfisemaakan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru.Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan negatif
selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan
dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot
pernapasan yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfiksasai dalam persendiannya
dengan bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP: Transversal
mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena
adanya kecenderungan yang berlanjut pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian
atas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke
depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa
supraklafikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat
inspirasi.Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru.Ekshalasi normal menjadi
lebih sulit dan akhirnya tidak memungkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin
normal, tetapi rasio dari volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital
(FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas alveoli sangat menurun.Oleh karena itu,
dibutuhkan upaya bagi klien untuk menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami
kerusakan dan jalan napas yang menyempit meningkatkan upaya pernapasan (Smeltzer dan
Bare, 2002).
adindadienz
Just another WordPress.com site
Beranda
About
Pencarian..
askep emfisema
1. A.
PENGERTIAN
Emfisema adalah perubahan anatomis paremkim paru yang biasanya ditandai dengan
perbesaran alveolus dan duktus alveolaris serta
destruksi dinding alveolus (Price).
Emfisema adalah penyakit obstruksi kronik akibat berkurangnya
permukaan alveolus (Corwin).
Emfisema kronik adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang
diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan bronchitis
kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronchitis,
antara lain pada perokok. Akan tetapi pada yang hedediter, dimana terjadi kekurangan pada
globulin alfa antitrypsin yang diikuti oleh fibrosis, maka emfisema muncul pada lobus bawah
pada usia muda tanpa harus terdapat bronchitis kronik. (Tabrani Rab, 2006)
Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah lobektomi, yang
disebut emfisema kompensasi dimana tanpa didahului dengan bronchitis kronik dahulu.
Kebanyakan emfisema terjadi pada daerah distal dari bronkus, terutama pada asma bronchial.
Penyempitan bronkus kadang kala menimbulkan perangkap udara (air tapering), dimana
udara dapat masuk tetapi tidak keluar, sehingga menimbulkan emfisema yang akut. Frekuensi
emfisema lebih banyak pada pria daripada wanita. (Tabrani Rab, 2006)
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkiolus terminal yang disertai
dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini meupakan tahap akhir proses yang mengalami
kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami
gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible)
yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama
kecacatan. (Arif Muttaqin, 2008)
Yang menjadi pokok utama pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat
irreversible dengan konsekuensi rongga toraks berubah menjadi gembung atau barrel chest.
Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang kadang-kadang
memberikan gambaran seperti pneumotoraks. (Tabrani Rab, 2006)
1. B.
ETIOLOGI
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara
merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Nowak, 2004).
1. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali
pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim
proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin
adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita
emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat
timbul bila penderita tersebut merokok.
1. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun
menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seseorang penderita bronchitis
kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan
paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi
virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
1. Hipotesis Elastase Antielastase
Di dalam paruterdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar
tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan pada jaringan elastic paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah
emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag
alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh
asap rokok dan infeksi virus menyebabkan elastase virus bertambah banyak. Aktivitas system
antielastase, yaitu system enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin
menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian
emfisema.
1. C.
PATOFISIOLOGI
sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih
banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli yang
rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun semua itu
bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak
ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebarannya udara pernapsan maupun aliran darah ke
alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara
ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama)
Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan. Hal ini
mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan
menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,
maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan
ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk
efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negative selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan
selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan
yang berdampak pada kekuatan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transferal mengalami
peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitasparu karena adanya
kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis di mana tulang belakang bagian atas
secara abnormal bentuknya membulat atau cekung. Beberapa klien membungkuk ke depan
untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang
terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan
1. D.
PATHWAY
1. E.
KLASIFIKASI
Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni:
1. Emfisema asinus distal atau disebut juga dengan emfisema paraseptal
Lesi ini biasanya terjadi di sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh
darah atau di sekitar pleura maka mudah menimbulkan pneumotoraks
pada orang muda.
2. Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau
emfisema bronkiolus respiratorius. Biasanya terjadi bersama-sama dengan
pneumoconiosis atau penyakit-penyakit oleh karena debu lainnya.
Penyakit ini erat hubungannya dengan perokok, bronchitis kronik, dan
infeksi saluran napas distal. Penyakit ini sering didapat bersamaan dengan
obstruksi kronik dan berbahaya bila terdapat pada bagian atas paru.
3. Emfisema parasinar
Biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan erat dengan:
1. Defisiensi alfa antitrypsin
2. Bronkus dan bronkiolus obliterasi (biasanya lebih jarang)
3. Emfisema irregular atau disebut juga dengan emfisema jaringan parut.
Biasanya terlokalisir, bentuknya irregular dan tanpa gejala klinis. Salah
satu bentuk emfisema yang lain adalah emfisema jaringan parut yang
berbentuk irregular. Jaringan parut yang menyebabkan irregular dan
emfisema ini berhubungan dengan tuberkulosa, histoplasmosis, dan
pnemokoniosis. Begitu pula eosinofilik granuloma dalam bentuk irregular
dan limfangileiomiomatosis.
1. F.
Gambaran
AwitanUsia saat
didiagnosisSebab
Emfisematosa
Usia 30-40 tahun60 tahunFaktor-faktor
yang tidak diketahui
Sputum
Predisposisi genetic
Dispnea
Merokok
Rasio V/Q
Polusi udara
Bentuk tubuh
Sedikit
Diameter AP dada
Relatif dini
PA paru
Pola pernapasan
Volume paru-paru
PaCO2
Emfisema panlobular
PaO2
SaO2
FEV1 rendah
Hematokrit
TLC dan RV meningkat
Polisetemia
Normal atau rendah (35-40 mmHg)
Sianosis
65-75 mmHg
Kor pulmoner
Normal
35 sampai 45%
Hb dan Hct normal sampai tahap akhir
Jarang
Jarang kecuali tahap akhir
1. G. PENATALAKSANAAN
Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada awal timbulnya
ranch-ranch infeksi. Organisme yang paling umum menyebabkan infeksi tersebut adalah S.
pneumonia, H.influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan
tetrasiklin, amficilin, amoxicillin, atau trimetoprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya
diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertanda infeksi pernapasan seperti
yang dibuktikan dengan adanya sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid tetap controversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid
digunakan untuk melebarkan bronkhiolus dan membuang sekresi setelah tindakan lain tidak
menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan.
Dosis disesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping
jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Pada
jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal,
miopati steroid, dan pembentukan katarak.
Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien dengan emfisema berat.
Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2
hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jm per
hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien dan
memperbaiki kualitas hidup klien.
1. H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan
serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk
dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan
dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektik dan penggunaan otot-otot bantu
napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada
aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan
sputum purulen disertai demam mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan
1. Palpasi
Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun.
1. 4.
Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif
pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia)
dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada
waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikatkan tali
sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru yang mengalami
emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara
efektif dari sekresi yangf dihasillkan. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi
akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan
hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.
1. a.
Pemeriksaan Diagnostik
2. 1.
Pengukuran fungsi paru biaasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan
volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi
paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang dialami klien dalam mendorong
udara ke luar dari paru.
1. 2.
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan
berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia
ringan dengan hiperkapnea.
1. 3.
Pemeriksaan Radiologis
2)
3)
Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk
efektif.
4)
Rasional:
1)
Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa
bronchial dan spasme muscular.
2)
Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi biasanya
digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi.
3) Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan
jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki.
4)
Evaluasi:
1. Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.
2. Melaporkan penurunan dispnea.
3. Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.
4. Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, dan
infeksi bronkopulmonal.
2)
Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmaik dan batuk.
3)
4)
Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari
sesuai yang diharuskan.
5)
Instruksikan pasien untuk menghindari iritan, seperti asap rokok, aerosol, dan asap
pembakaran.
6)
Rasional :
1)
Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran.
2) Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi
tanpa harus menyebabakan sesak napas dan keletihan.
3) Tindakan ini menambahakan air ke dalam percabangan bronchial dan pada sputum
menurunkan kekentalannya, sehingga memudahkan evakuasi sekresi.
4)
Menggunakan gaya gravitasi untuk membantu membangkitkan sekresi sehingga sekresi
dapat lebih mudah dibatukkan atau diisap.
5)
Iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir,
yang kemudian mengganggu klirens jalan napas.
6)
Evaluasi :
1.
2. Batuk berkurang.
3. Jalan napas kembali efektif.
1. Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek,
lendir, bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.
2)
3)
Rasional :
1)
Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan
bernapas lebih efisien dan efektif.
2)
Memberikan jeda aktivias akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa
distres berlebihan.
3)
Evaluasi :
1. Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta
menggunakannya ketika sesak napas dan saat melakukan aktivitas.
2. Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat
jarak dalam aktivitas.
3. Menggunakan pelatihan otot-otot inspirasi, seperti yang diharuskan.
4. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan sekunder
akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan
oksigenasi.
2)
Berikan pasien dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan.
3)
Rasional :
1)
Akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang
berlebihan atau dispnea selama aktivitas.
2)
Sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak
namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
3)
Evaluasi :
Rasional:
1)
Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak oksigen dan
memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur, kelompok otot
menjadi lebih terkondisi.
Evaluasi:
1. Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.
2. Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk
memperbaiki kondisi fisik.
1. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi,
ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk
bekerja.
3)
Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
Rasional:
1)
Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan.
Bantu pasien mengerti tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
2)
Rasional:
1)
Pasien harus mengetahui bahwa ada metoda dan rencana dimana ia memainkan peranan
yang besar.
2) Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan
mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.
Evaluasi:
1. Mengerti tentang penyakitnya dan apa yang mempengarukinya.
2. Berhenti merokok
DAFTAR PUSTAKA
7.
Klasifikasi
Terdapat tiga tipe dari emfisema yaitu sebagai berikut :
a.
Emfisema Centriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada
region paru atas.Inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi biasanya kantongalveolar tetap
bersisa.
b.
c.
Emfisema paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang menyebabkan isolasi dari blebs sepanjang
perifer
paru.Paraseptal
emfisema
dipercaya
sebagai
sebab
dari
pneumotorak
spontan.Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzhim alpha-
antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dipsnea dan infeksi pulmonarserta sering
kali timbul korpumonal (CHF bagia kanan)
8.
Pathogenesis
Terdapat empat perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu sebagai
berikut :
a.
b.
Hiperinflasi paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru kembali kepada posisi istirahat normal selama
ekspirasi.
c.
Terbentuknya bullae
Dinding alveolar membengkak dan sebagai kompensasinya membentuk suatu bullae (ruang
tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan sinar-X.
d.
9.
Pemeriksaan penunjang
a.
Faal Paru
1.
Spinometri
(VEP,
KVP).
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV menurun, KRF dan VR meningkat.
- VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya dan
perjalanan penyakit.
2.
Uji
bronkodilator
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP 1
b.
Darah
Rutin
Gambaran
Radiologis
emfisema
terlihat
Diafragma
letak
rendah
Ruang
dan
retrosternal
Gambaran
gambaran
tampak
datar.
melebar.
vaskuler
Jantung
berkurang.
sempit
memanjang.
Pemeriksaan
Analisis
Gas
Darah
Pemeriksaan
EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
f.
Pemeriksaan
Kadar alfa-1-antitripsin rendah.
Penatalaksanaan umum.
b.
Pemberian obat-obatan.
c.
Terapi oksigen.
d.
Latihan fisik.
e.
Rehabilitasi.
f.
Fisioterapi.
Enzimatik
a.
Penatalaksanaan umum
Yang termasuk di sini adalah :
1.
2.
merupakan
faktor
utama
yang
dapat
memperburuk
perjalanan
penyakit.Penderita harus berhenti merokok.Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat
iritasi harus dihindari.Karena zat itu menimbulkan ekserbasi / memperburuk perjalanan
penyakit).
3.
b.
Pemberian obat-obatan.
1.
Bronkodilator
a.
Derivat Xantin
Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini
menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat
dipertahankan pada kadar yang tinggi ex : teofilin, aminofilin.
b.
Gol Agonis b2
Obat ini menimbulkan bronkodilatasi.Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil
siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi.Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2
agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol.
c.
Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim
guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi terhambat
ex : Ipratropium bromida diberikan dalam bentuk inhalasi.
d.
Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada emfisema masih
diperdebatkan.Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan.Pengobatan dihentikan
bila tidak ada respon. Obat yang termasuk di dalamnya adalah : dexametason, prednison dan
prednisolon.
2.
3.
Antibiotik
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada keadaan
eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk.
Penanganan infeksi
yang
cepat
Terapi oksigen
Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg.Pemberian oksigen
konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja.
d.
Latihan fisik
Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kapasitas latihan pada
pasien yang sesak nafas berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi pengobatan jenis ini
membutuhkan staf dan waktu yang hanya cocok untuk sebagian kecil pasien.Latihan
pernapasan sendiri tidak menunjukkan manfaat.
Latihan fisik yang biasa dilakukan :
Secara perlahan memutar kepala ke kanan dan ke kiri Memutar badan ke kiri dan ke kanan
diteruskan membungkuk ke depan lalu ke belakang
e.
Rehabilitasi
Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan
mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya.Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan
untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
fisiknya.Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam melakukan
pekerjaan harus lambat tapi teratur.
f.
Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
- Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
- Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
- Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
- Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
- Mengurangi spasme otot leher.
Penerapan fisioterapi :
1.
Postural Drainase :
Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat akumulasi sekresi dengan cara penderita
diatur dalam berbagai posisi untuk mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.
Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam lobus paru, mengatasi
gangguan pernapasan dan meningkatkan efisiensi mekanisme batuk.
2.
Breathing
Exercises :
Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan mulut tertutup kemudian
menghembuskan napas melalui bibir dengan mulut mencucu.Posisi yang dapat digunakan
adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki ditinggikan, duduk di kursi
atau
di
tempat
tidur
dan
berdiri.
Latihan Batuk :
Merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea, bronkioli dari sekret
dan benda asing.
4.
Latihan Relaksasi :
Secara individual penderita sering tampak cemas, takut karena sesat napas dan kemungkinan
mati lemas.Dalam keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan usaha yang paling
penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.Metode yang biasa digunakan adalah
Yacobson.
Contohnya :Penderita di tempatkan dalam ruangan yang hangat, segar dan bersih, kemudian
penderita ditidurkan terlentang dengan kepala diberi bantal, lutut ditekuk dengan memberi
bantal sebagai penyangga.
11. Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis
waktu berobat.
Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan meninggal
Askep Emfisema
di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi
serta menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan (Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998).
Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis
kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia
(Hadiarto, 1998). Survey Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan angka
kesakitan 13,5%, emfisema paru 13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan asma 7,7% (Aji Widjaja
1993). Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat Inap di RSUP Persahabatan sebanyak
124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95% (Hadiarto, 1998). Di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444
(15%), dan rawat jalan 2368 (14%).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian PPOK tahun 2010
diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang menjadi peringkat keSemakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi
perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK.
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan konsumsi rokok tahun
1970-1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat ke-7 dunia dan menjadi ancaman bagi
para perokok remaja yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi salah satu
produsen dan konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara
dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang
rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328 miliar batang
setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun.
Kondisi ini memerlukan perhatian semua fihak khususnya yang peduli terhadap kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat.
Atas dasar itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai emfisema yang merupakan salah
satu bagian dari PPOK khususnya mengenai Asuhan Keperawatan pada Klien Emfisema.
Sehingga diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien
emfisema.
2. 2.
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus emfisema.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada
jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara
berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American Thorack
society:
1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus
menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216).
2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang
udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253).
3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas
permukaan alveoli.(Corwin.2000.435).
4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The
American Thorack society 1962).
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran
ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara
(alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu bukan termasuk emfisema.
Namun, keadaan tersebut hanya sebagai overinflation.
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada
kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang
diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis
dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume
paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan
enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini
Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang
terjadi dalam paru-paru :
1. PLE (Panlobular Emphysema/panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru bagian
bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan
bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus
terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai
gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada
sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema
akibat usia tua dan bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim
alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan
cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan
sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai
oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar
emfisema, sering kali timbul pada perokok.
2. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap
baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus,
biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya
kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus
respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya
cenderung menjadi satu ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang
menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan
episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan
gagal napas. CLE lebih banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang
tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).
3. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli)
sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak
spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula
timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen
bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa
dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali
menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
2.2 Etiologi
1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya adalah
atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE)
serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan
defisiensi protein alfa 1 anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan
elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat
menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag
alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia
epitel skuamus saluran pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya lebih
berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale,
dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu
menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah.
Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus
pneumoniae.
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian
emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara
seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi
makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya
tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena
perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang
lebih jelek.
7. Pengaruh usia
2.3 Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan
menyebebkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu akibat dari
perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan
paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada
emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan
nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebs
dan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada dead space atau area yang tidak mengalami pertukaran gas
atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai
dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan
dengan bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini
disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu
defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim
proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan
demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik.
Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan
elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang
penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah
banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator
terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan
antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan
menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara
tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan
otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas
paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru
akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien
emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya
saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan
perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan
maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak
nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus
yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau
seluruh paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi
sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam
alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi
penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
2.4 Komplikasi
1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
1. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas:
1. Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit,
hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2. Pencegahan
a. Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan usaha yang optimal
harus dilakukan
b. Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada
pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang
berbahaya terhadap saluran nafas.
c. Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan
infeksi pneumokokus.
3. Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang
masih mempunyai komponen reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:
a. Pemberian Bronkodilator,
Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan
memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 1015mg/L.
Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah
tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
b. Pemberian Kortikosteroid, pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil
mengurangi obstruksi saluran nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba
pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.
c. Mengurangi sekresi mukus
Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer sehingga urine tetap kuning
pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan
amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan
mengencerkan sputum. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
4. Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan
kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social,
emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
a. Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.
b. Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
5. Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan
toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau
waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih
baik dari pada pemberian 12 jam/hari.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat
dua bentuk kelainan, yaitu:
a. Gambaran defisiensi arter
Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.
Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
b. Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular
dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2. Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena
permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh
pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin pasien
hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II,
III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari
1.
a)
Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b)
Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
c)
TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan
emfisema.
d)
e)
f)
FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada
bronkitis dan asma.
g)
GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat
menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat
(emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
h)
JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil
(asma).
i)
Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer.
j)
Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
k)
EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema).
l)
EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN EMFISEMA
Identitas Klien
Nama : Tuan A
TTL : 17/11/1970
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 40 tahun, 5 hari
2. 2.
Tuan A tinggal bersama istri dan dua anaknya. Tuan A mengeluh sesak napas, batuk, dan
nyeri di daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas. Banyak sekret keluar ketika batuk,
berwarna kuning kental. Tuan A tampak kebiruan pada daerah bibir dan dasar kuku. Tuan A
merasakan sedikit nyeri pada dada. Tuan A cepat merasa lelah saat melakukan aktivitas.
3. Riwayat Penyakit dahulu :
Tuan A selama 3 tahun terakhir mengalami batuk produktif dan pernah menderita
pneumonia
4. Riwayat Keluarga :
Tidak Ada
2. Tanda-Tanda Vital :
S
: 37,40C
:102 x/mnt
TD
:130/80 mmHg
RR
: 30 x/mnt
Uretra : normal
5. Pencernaan B5 (bowel)
Nafsu makan : anoreksi disertai mual
BB : menurun
Porsi makan : tidak habis, 3 kali sehari
Mulut : bersih
Mukosa : lembab
6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Turgor kulit : Berkeringat
Massa otot : menurun
pO2 : 75 mmHg ()
c)
pCO2 : 50 mmHg ()
d)
SO3 : 100%
Analisa Data
No
Data
Etiologi
Masalah
1.
DS:
Infeksi / pneumonia
Gangguan
pertukaran gas
Polusi
DO:
Usia
a)
pO2 : 75 mmHg ()
Ekonomi rendah
b)
pCO2 : 50 mmHg ()
Merokok
c)
SO3 : 100%
Inflamasi
2.
Sesak
RR > 20 x/menit
CO2 hiperkapnia
O2
hipoksia
DS :
Klien mengeluh berat saat
bernapas
DO :
Penurunan perfusi O2
RR : 30 x/menit
-Sianosis
3.
Penurunan ventilasi
Pola napas
tidak efektif
Peningkatan RR
4.
Bersihan jalan
napas tidak
efektif
Produksi sekret
meningkat karena klien tidak
bisa batuk efektif.
Ditemukan suara napas
ronchi
Sesak (dyspnea)
Nyeri dyspnea
DS :
Intoleransi
aktivitas
Sekret tertahan
Ronchi
Ventilasi menurun
Upaya menangkap O2
meningkat
RR meningkat
Kelelahan
Intoleransi aktivitas
Gangguan pertukaran
gas berhubungan
dengan kerusakan
alveoli yang reversible
Tujuan
Kriteria Hasil
Intervensi
1. Pertukaran gas
pasien kembali
normal
2. Tidak terjadi
perubahan fungsi
pernapasan.
3. Pasien bisa bernapas
normal tanpa
menggunakan otot
tambahan
pernapasan.
4. Pasien tidak
mengatakan nyeri
saat bernapas.
5. PCO2 , PO2, dan SO2
normal
6. Lakukan latihan
pernapasan dalam
dan tahan sebentar
untuk membiarkan
diafragma
mengembangkan
secara optimal.
7. Posisikan pasien
dengan posisi semi
fowler agar pasien
bisa melakukan
respirasi dengan
sempurna.
1. Ajari pasien
tentang
teknik
penghemat
an energi.
2. Bantu
pasien
untuk
mengidenti
fikasi tugastugas yang
bisa
diselesaika
n.
1. Kolaborasi :
Berikan
oksigen
sesuai
indikasi
Berikan
penekan
SSP (anti
ansietas
sedatif atau
narkotik)
dengan
hati-hati
sesuai
indikasi
Ra
diberikan.
2.
1. Tidak terjadi
perubahan dalam
frekuensi pola
pernapasan.
1.
2. Tekanan nadi
(frekuensi, irama,
kwalitas) normal.
3. Pasien
memperlihatkan
frekuensi pernapasan
yang efektif dan
mengalami
perbaikan
pertukaran gas pada
paru.
1. Jelaskan
pada pasien
bahwa dia
dapat
mengatasi
hiperventila
si melalui
kontrol
pernapasan
secara
sadar.
4. Pasien menyatakan
faktor penyebab, jika
mengetahui.
5. Pastikan pasien
bahwa tindakan
tersebut dilakukan
untuk menjamin
keamanan.
2. Kolaborasi:
6. Alihkan perhatian
pasien dari
pemikiran tentang
keadaan ansietas
(cemas) dengan
meminta pasien
mempertahankan
kontak mata dengan
perawat.
3.
Mengatasi masalah
ketidakefektifan jalan napas
Latih
pasien
napas
perlahanlahan,
bernapas
lebih
efektif.
1. Berikan
posisi yang
nyaman
(fowler/
semi
fowler)
1. Anjurkan
untuk
minum air
hangat
2. Ba
nt
u
kli
en
un
tu
k
m
el
ak
uk
an
lat
ih
an
ba
tu
k
ef
ek
tif
bil
a
m
e
m
un
gk
in
ka
n
3. Lakukan
suction bila
diperlukan,
batasi
lamanya
suction
kurang dari
15 detik
dan lakukan
pemberian
oksigen
100%
sebelum
melakukan
suction
4. Pasien lebih
nyaman,
karena
dapat
membantu
kelancaran
pola
nafasnya
5. Air hangat
dapat
mengencer
kan sekret
6. Batuk
efektif akan
membantu
mengeluark
an sekret.
7. Jalan nafas
bersih.
4.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan
ketidakseimbangan
antara kebutuhan dan
suplai oksigen.
1. Pasien bernafas
dengan efektif.
2. Mengatasi masalah
intoleransi aktivitas
pada pasien
1. Pasien bisa
mengidentifika
sikan faktorfaktor yang
Menurunkan
toleransi
aktivitas.
2. Pasien
memperlihatk
an kemajuan,
khususnya
dalam hal
1. Ukur tanda
vital saat
istirahat
dan segera
setelah
aktivitas
serta
frekuensi,
irama dan
kualitas.
2. Hentikan
aktifitas bila
respon klien
: nyeri
dada,
dyspnea,
vertigo/kon
vusi,
frekuensi
mobilitas.
nadi,
pernapasan
, tekanan
darah
sistolik
menurun.
3. Meningkatk
an aktifitas
secara
bertahap.
1. Ajarkan
klien
metode
penghemat
an energi
untuk
aktifitas.
ubah posisi
setiap 2
sampai 4
jam
2. Mengakaji
periode
istirahat
3. Mendapatk
an tanda
vital pasien
normal,
baik saat
istirahat
ataupun
setelah
beraktifitas.
4. Masalah
intoleransi
aktivitas
pada pasien
dapat
teratasi
untuk
mengukur
tingkat/kual
itas nyeri
guna
intervensi
selanjutnya
3.8 Implementasi
Lakukan tindakan sesuai dengan intervensi yang akan diberikan.
3.9 Evaluasi
1. Diagnosa 1 : a. Pasien bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan
b. Pasien tidak mengatakan nyeri saat bernapas.
2. Diagnosa 2: a. Pasien memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami
perbaikan pertukaran gas pada paru.
b. Pasien menyatakan faktor penyebab, jika mengetahui.
3. Diagnosa 3: Sekret encer dan jalan napas bersih
4. Diagnosa 4: a. Pasien bisa mengidentifikasikan faktor-faktor yang menurunkan toleran
aktivitas.
b. Pasien memperlihatkan kemajuan khususnya dalam hal mobilitas.
c. Pasien memperlihatkan turunnya tanda-tanda
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai
berikut :
1. Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh
kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya.
Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena
kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami
kerusakan yang luas.
2. Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan
perubahan yang terjadi dalam paru-paru : PLE (Panlobular
Emphysema/panacinar), CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar),
Emfisema Paraseptal.
3. Asuhan keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah
membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
klien.
3.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap
penderita emfisema. Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal ini
melakukan penyuluhan mengenai pentingnya hal-hal yang dapat memperberat penyakit, halhal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Flyfreeforhelp.2010.(online).
http://lifestyle.okezone.com/read/2010/02/22/27/306051/search.html. diakses pada tanggal 15
November 2010
,2010.(online).http://www.soft-ko.co.cc/2010/10/emfisema_06.html. diakses pada
tanggal 19 November 201