Você está na página 1de 7

Agama dan moralitas bangsa

Akhir-akhir ini, hampir setiap hari kita disuguhi beragam tayangan televisi yang
alih-alih memberi nilai positif-edukatif, tetapi justru lebih banyak berdampak negatifdestruktif. Betapa tidak, pelbagai tindak kekerasan yang menjurus pada prilaku
kriminal, unjuk sensualitas, kontes pamer aurat, pornografi dan pornoaksi serta
beragam tayangan lainnya yang sama sekali tidak mendidik menjadi menu seharihari di sejumlah stasiun televisi di negeri ini.
Krisis identitas tengah melanda bangsa ini. Bangsa yang dulu dikenal dengan
sopan santunnya, adat ketimurannya, serta nilai-nilai agamanya, kini seakan-akan
tidak peduli lagi dengan seperangkat nilai-nilai normatif, baik yang terdapat dalam
sebuah masyarakat, lebih-lebih yang diajarkan oleh agama. Hal ini bisa dilihat,
misalnya, maraknya pornografi dan pornoaksi dengan dalih seni dianggap suatu hal
yang biasa. Beredarnya koran, tabloid, serta majalah yang memuat gambar
perempuan berpakaian minim, bahkan belakangan telah terbit majalah playboy edisi
Indonesia sudah tidak dianggap sebagai suatu hal yang mengkhawatirkan masa
depan bangsa. Merebaknya tayangan film, sinetron, musik, bahkan iklan yang
mengumbar sensualitas, pamer aurat serta eksploitasi tubuh kaum hawa, bahkan
belakangan juga kaum adam, sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat
negeri ini.
Ekses Negatif
Ekses negatif dari tayangan-tayangan tersebut begitu jelas hadir di depan mata
kita. Setiap hari kita membaca dan menyaksikan berita lewat media cetak dan
elektronik berkaitan dengan masalah moralitas; pembunuhan, penganiayaan,
pemerkosaan, serta sederet tindak kejahatan lainnya yang bermula dari tayangantayangan tersebut.
Kenyataan ini seharusnya menyadarkan para entartainer, para artis dan
selebritis, para pelaku seni, serta para pengelola stasiun televisi, bahwa tayangantayangan tersebut justru akan melahirkan persoalan-persoalan sosial baru. Dan ini
akan menambah problem moralitas bangsa yang sudah sedemikian parah ini.
Degradasi serta dekadensi moral yang terjadi saat ini memunculkan beberapa
pertanyaan mendasar dalam benak kita, apakah nilai-nilai moral, ajaran-ajaran
agama sudah lama sekali ditinggalkan oleh masyarakat kita? Ataukah ada standar
baru dalam menilai moralitas?
Adalah Roderic C. Meredith yang menggambarkan kondisi masyarakat modern
dewasa ini sebagai masyarakat serba boleh (permissive society). Menurut dia,
permissive society tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth). Dengan
demikian, seseorang bebas berbuat apa saja sesuka hatinya. Karena persoalan baik
buruk, salah benar, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya adalah urusan
manusia sendiri, tidak ada kaitan sama sekali dengan Tuhan. Manusialah yang
berhak menafsirkan sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah. Sehingga kriteria
kebaikan dan keburukan, serta kebenaran dan kesalahan itu bersifat relatif. Inilah
pandangan seorang ilmuwan barat yang jauh dari nilai agama berkaitan dengan
konsep baik dan buruk.

Konsep Islam
Islam mempunyai kriteria tersendiri tentang konsep kebaikan dan keburukan.
Adalah Wabishah bin Mabah, seorang sahabat nabi pernah pernah bertanya perihal
bentuk-bentuk kebaikan dan keburukan beserta batasan-batasannya. Nabi Saw
bersdabda: Engkau datang menanyakan kebaikan? Benar wahai Rasulullah jawab
Wabishah. Tanyailah hatimu! Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat hati
tenang dan jiwa tenteram, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan
membimbangkan jiwa.
Dari hadis ini jelas bahwa setiap kebaikan senantiasa akan menenangkan hati
serta menenteramkan jiwa. Sedangkan dosa, keburukan selalu membuat cemas hati
serta memberikan rasa tidak nyaman dalam jiwa kita. Dengan argumen ini maka
terbantahkanlah pandangan ilmuwan barat tadi yang menyebutkan baik dan buruk
bersifat relatif.
Maraknya pelbagai problematika sosial yang berkaitan dengan masalah
moralitas ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan pada setiap individu.
Agama hanya dijadikan sebagai simbol tanpa makna. Orang hanya sekedar bangga
kalau dirinya disebut beragama, meskipun ia tidak pernah menjalankan ajaranajaran agama. Status beragama seringkali hanya dijadikan pelengkap dalam kartu
tanda penduduk, tanpa pernah dipikirkan tanggungjawab serta konsekuensi yang
harus ditanggungnya. Sehingga pantas, jika berbagai persoalan seputar moralitas ini
kemudian terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, karena ajaran-ajaran agama
telah diabaikan dan diselewengkan.
Padahal, kalau kita sadari bersama, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin
yang selalu up to date (shalih likulli zaman wa makan), di mana ia dapat mengubah
suatu kehidupan lalim, amoral dan asusila menjadi kehidupan yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia, bermartabat dan bermoral, mengajarkan umatnya untuk
hidup bermoral, berakhlak dan berperadaban. Atau, dalam bahasa al-Quran, Q.S.
Ibrahim: 1 menegaskan, Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang
benderang.
Pada hakekatnya, kalau kita mencermati secara seksama runtutan sejarah
peradaban agama-agama di dunia, agama hadir ke tengah-tengah umat manusia
dengan seperangkat niali Ilahi untuk menjawab berbagai persoalan zaman. Kitab suci
yang dibawa para rasul merupakan pedoman serta tuntunan dalam menjalani
kehidupan dunia, serta petunjuk untuk mempersiapkan kehidupan di akhirat kelak.
Berkenaan dengan kehidupan modern dewasa ini, di mana sebagian manusia
terlelap dalam pelukan nafsu duniawi yang mengedepankan pemenuhan materi dan
mengabaikan nilai-nilai spiritual, al-Quran, sebagai salah satu kitab suci, yang
diturunkan kepada rasul akhir zaman, jauh-jauh hari sebelumnya mengingatkan
bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah
sebuah sarana untuk menuju kehidupan yang lebih kekal, yakni akhirat. Alangkah
naif dan meruginya kita, apabila kehidupan yang kekal dan abadi di akhirat kelak,
digadaikan hanya untuk mereguk kesenangan duniawi yang bersifat sementara. (*)

Bab 2
** ppi-india **
Media Indonesia
Jum'at, 05 Maret 2004
Agama, antara Moralitas dan Politik Kekuasaan
Abd Malik Utsman, Pemerhati sosial-keagamaan
SEMENJAK arus besar modernisasi yang dilengkapi dengan paham sekularisme
mengguncang kehidupan masyarakat, dengan sendirinya agama mulai
teralienasi
dari ruang publik. Paham kebebasan yang dikawal anak zaman pencerahan
(enlighten) tidak hanya meminggirkan peran agama tetapi juga menjadikan
agama sebagai objek utama gugatan rasio manusia. Di tengah masyarakat,
otoritas penuh agama dalam mendakwakan moral, norma, dan aturan mulai
terpinggirkan.
Dalam arena politik agama yang sering kali menawarkan nilai-nilai kudus
dan
idealis dipandang tidak compatible dengan hukum politik riil yang
berorientasi kekuasaan. Nilai kejujuran, pemaaf, dan penuh kasih sayang
yang
menjadi pesan agama dianggap cermin keluguan sikap politik. Sehingga
pemisahan agama dan politik ini pun berakibat pada pemisahan antara
moral
dan politik.
Perdebatan moral dan politik sudah menjadi wacana klasik yang masih
menarik
untuk diperbincangkan. Haruskah moralitas mengontrol politik atau justru
moral harus tunduk kepada kepentingan politik? Kalau ditelusuri lebih
jauh,
secara teoretis simbol kemenangan politik riil atas moral sering kali
merujuk pada seorang tokoh, patriotis Italia, Nicolo Machievelli.
Seorang politikus, seperti yang difatwakan oleh Machievelli akan
menapaki
puncak kariernya ketika mengabaikan moral. Dalam buku, Il Principe
(1513),
buku yang menjadi pegangan utama bagi politikus machievillian dirumuskan
bahwa seorang politiks harus memberikan kesan di depan rakyat bahwa ia
seorang yang lembut, pemurah, bahkan agamais. Namun ia pun dapat berbuat
jahat dan mengabaikan rasa sayang dan moralitas jika diperlukan. Barubaru
ini kita dikejutkan dengan fenomena politik Tanah Air yang
kontroversial.
Bebasnya Akbar Tandjung dari jeratan hukum menjadi simbol pertaruhan
antara
keputusan politik dan kehormatan moral. Apakah kemenangan Akbar bisa
dikatakan sebagai ikon kemenangan 'politik riil' di atas kehormatan
moral?Tampaknya rumusan politik versi Machievelli masih menjadi rujukan
politik bangsa ini. Korupsi, kolusi, menjadi obrolan ringan yang selalu
diperbincangkan di tingkat elite, seolah-olah mereka (para elite) tetap
memihak kepada rakyat. Penipuan dan bahkan penggadaian hukum menjadi
warna
kental perpolitikan bangsa Indonesia.
Tidak dapat disangsikan lagi bahwa politik amoral akan menjadi momok

menakutkan dan ancaman buruk bagi masa depan bangsa. Menyadari hal itu
maka
dibutuhkan suatu tatanan moral yang dapat membentengi politik bangsa.
Moral society dan ethical state yang pernah didambakan dapat
menggantikan
agama terlihat nihil dan utopis ketika menyikapi persoalan 'cacat moral'
kaum negarawan dan para politikus. Gagalnya moralitas formal seperti itu
disebabkan ia tidak mempunyai daya imperatif yang kuat dan bisa
membentuk
consistent personal dan committed society seperti layaknya kekuatan
agama.
Beda halnya dengan agama. Nilai-nilai agama oleh pengikutnya dianggap
sebagai wujud dari hal yang transenden dan bersifat universal mempunyai
daya
ikat yang kuat dan mampu menundukkan ketaatan masyarakat. Tanpa maksud
bernostalgia dengan zaman keemasan agama, tampaknya kita harus kembali
mengajak agama untuk berperan lagi dalam menyikapi moralitas politik
bangsa.
Mempertegas harapan ini dalam buku Douglas Johnston dan Cythia Sympson,
Religion: The Missing Dimension of Statecraft dijelaskan bahwa mengapa
sering kali setiap tindakan politik negara harus dibayar dengan ongkos
mahal
dari ribuan korban jiwa manusia, karena nilai moral agama telah
dikesampingkan dan tidak lagi menjadi ruh dalam pengambilan kebijakan
negara.
Namun pertanyaan, agama seperti apa yang bisa diajak kerja sama dalam
menyelesaikan problem moral itu, bukankah lembar kelam sejarah agama
terjadi
karena perselingkuhannya dengan politik?Agama etik vs agama politik
Setidaknya ada dua paradigma yang muncul ketika mengusulkan kembali
peran
agama dalam kancah politik. Pertama, paradigma agama politik. Setelah
sekian
lama agama berada di pinggir kehidupan manusia maka muncullah
'kebangkitan
agama' yang dirumuskan dengan bangkitnya simbol, isu, dan jargon agama
dalam
ranah politik. Kegagalan dunia modern yang disanjung akan menyelesaikan
problem kemanusiaan menjadi modal untuk mengusung kembali politik agama.
Fenomena politisasi agama ini bisa berbentuk dua hal, (1) agama
politik-instrumentalis yakni menjadikan agama hanya sebagai instrumen
dalam
rangka mencapai kekuasaan. Dalam paradigma ini agama dijadikan tameng
bagi
kendaraan politik atau partai dalam rangka meraih target kekuasaan.
Simbol-simbol agama dihidupkan kembali untuk menarik simpati massa yang
mulai rindu dengan nuansa religius. (2) Dari agama politik adalah agama
yang
bercorak simbolik-ideologis. Yakni gagasan untuk menyemarakkan kembali
simbol-simbol agama pada puncak piramida kehidupan manusia. Agama dengan
segala kelebihannya diusung kembali untuk disandingkan dengan negara.
Partai
dalam hal ini hanya dijadikan kendaraan untuk mengukuhkan agama sebagai
ideologi.
Targetnya tidak hanya mencapai kekuasaan tetapi bagaimana agama
dijadikan
landasan simbolik negara. Dua model ini akan kembali menjerumuskan agama

pada bui birokratisasi politik yang terbukti telah menenggelamkan peran


profetik agama. Tentu model ini tidak bisa diharapkan untuk berperan
sebagai
benteng moral.
Kedua, paradigma etik-transformatif. Agama etik-transformatif mungkin
senada
dengan apa yang didambakan oleh AJ Tyonbee. Ia pernah meramalkan
munculnya
agama baru yang dapat menjawab persoalan kontemporer yang sedang
dihadapi
manusia modern. Agama baru ini tidak mesti berupa agama baru. Bisa jadi
agama lama yang mampu mentransformasikan ajarannya secara radikal untuk
menyesuaikan diri dengan problem kontemporer. Agama transformatif ini
pula
yang menjadi harapan Hans Kung ketika menggagas global ethic-nya sebagai
pedoman moral ekonomi-politik global. Sudah dimaklumi bersama bahwa
tidak
ada satu pun agama yang mengajarkan bentuk kekerasan. Menyakiti orang
lain
dan peperangan adalah tindakan yang paling terkutuk dalam setiap agama.
Agama selalu menebar cinta kasih. Maka, setiap agama harus mampu
mentransformasikan nilai etik-moral yang dimilikinya ke dalam bilik
sikap
umatnya.
Agama etik-transformatif ini akan menjadi jawaban dari kegersangan dunia
politik kita yang tanpa nurani. Dus, merupakan suatu keniscayaan bahwa
agama
harus kembali dimainkan sebagai sumber nilai etik-moral kehidupan
masyarakat. Dalam konteks politik, agama tidak harus dikukuhkan secara
simbolik sebagai jargon dan ideologi politik. Akan tetapi bagaimana
nilai-nilai etika agama dapat ditransformasikan sebagai benteng
moralitas
politik bangsa. Sehingga kebijakan dan tindakan politikus kita dapat
dipertanggungjwabkan.***

BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang santun karena dalam islam sangat menjunjung tinggi
pentingnya
etika, moral dan akhlak. Akhlak adalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia
karena
akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabiat, perangai, karakter manusia
yang baik
maupun yang buruk dalam hubungannya dengan Khaliq atau dengan sesama
makhluk.
Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling baik
akhlaknya.
Pada makalah ini kami akan memaparkan pengertian secara umum etika, moral dan
akhlak.
Namun sebelum kami memaparkan secara lebih detail mengenai etika, moral dan akhlak
kami
akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai latar belakang dan tujuan pembuatan
makalah ini
1 Latar Belakang
a Latar Belakang Pemilihan Judul
Kami menyadari bahwa etika, moral dan akhlak bangsa saat ini terutama
remajanya sangat memprihatinkan sehingga kami memfokuskan untuk membahas
secara mendalam tentang realistis akhlak yang menjadi fenomena dikalangan
remaja bangsa kita pada umumnya sesuai dengan norma agama islam pada
khususnya. Makalah ini kami beri judul Penerapan Etika, Moral dan Akhlak dalam
Kehidupan karena judul ini kami rasa cukup untuk menggambarkan fenomena
tersebut diatas sesuai dengan isi makalah ini.
b Latar Belakang Pembuatan makalah
Makalah ini kami buat untuk melengkapi uji kompetensi kami dalam mata kuliah
agama islam, jurusan Komputerisasi Akuntansi Bina Sarana Informatika tahun
2009.
2 Tujuan
a Tujuan Umum
Diharapkan baik penyusun maupun pembaca dapat lebih memahami dan
menerapkan perihal Etika, Moral dan Akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
baik penyusun maupun pembaca dapat menjadi contoh yang baik bagi
lingkungannya.
b Tujuan Khusus
Melengkapi uji kompentensi mata kuliah Agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika
1. Pengertian
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos
yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum
Bahasa
Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Etika
menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan
mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
diketahui oleh akal pikiran.

Você também pode gostar