Você está na página 1de 27

FRAKTUR TIBIA

1. Definisi Fraktur Tibia


Menurut Mansjoer (2005:356), fraktur tibia (bumper fracture/fraktur tibia plateau) adalah
fraktur yang terjadi akibat trauma langsung dari arah samping lutut dengan kaki yang masih
terfiksasi ke tanah.

Menurut pendapat lain yaitu Smeltzer (2002:2357), fraktur adalah

terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

Sedangkan

menurutN Sjamsuhidajat (1996:1138), fraktur adalah terputusnya jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Kemudian menurut Tucker (1998:198),
fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas tulang. Pendapat lain oleh
Doenges (1999:761) yang menerangkan bahwa, fraktur adalah pemisahan atau patahnya
tulang.
Fraktur tibia (Fraktur Colles) adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan
akibat jatuh yang bertumpu pada tangan dorsifleksi terbuka. Fraktur ini sering terjadi pada
anak- anak dan wanita lanjut usia dengan tulang osteoporesis dan tulang lemah yang tak
mampu menahan energi akibat jatuh, (Oswari, 1995)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang
patah dapat berupa trauma langsung, Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis
trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat
dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah
tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah
tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi, sedangkan trauma tumpul dapat
menyebabkan fraktur tertutup yaitu apabila tidak ada luka yang menghubungkan fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.
2. Klasifikasi Fraktur
Menurut Smeltzer (2001:257) jenis-jenis fraktur yaitu:
1. Fraktur complete adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser pada posisi normal). Frakturin complete, patah hanya
terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
2. Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit. Fraktur terbuka
(fraktur kompleks) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi:
a. Grade I dengan luka bersih kurang dari l cm panjangnya.
b. Grade II luka lebih besar, luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
c. Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif, merupakan yang paling kuat.

Menurut Smeltzer (2001:257) fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis


fragmen tulang, fraktur bergeser/tidak bergeser. Jenis ukuran fraktur adalah:
a) Greenstick

: fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi

membengkok.
b) Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c) Oblique
: fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah

lainnya

tulang (lebih

tidak stabil dibanding batang tulang).


d) Spiral
: fraktur memuntir seputar batang tulang.
e) Communitive : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
f) Depresi
: fraktur dengan tulang patahan terdorong ke dalam (sering terjadi
pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g) Kompresi
: fraktur di mana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang).
h) Patologik

fraktur yang terjadi pada bawah tulang berpenyakit (kista tulang,

penyakit paget, metastasis tumor tulang).


i) Avulasi
: tertariknya fragmen tulang dan ligamen atau tendon pada
perlekatannya.
j) Impaksi
: fraktur di mana fragmen tulang lainnya rusak.
k) Fraktur traumatik dapat terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
l) Fraktur stress terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat
yang tertentu.
m) Fraktur patologis pula terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang. Fraktur patologis dapat terjadi secara spontan atau akibat
trauma ringan.
3. Anatomi Fraktur Tibia
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi
menyanggah berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus femoris dan
caputfibulae, di bawah dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas
yang melebar dan ujung bawah yang lebih kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung atas
terdapat condyli lateralis dan medialis (kadang-kadang disebutplateau tibia lateral dan
medial), yang bersendi dengan condyli lateralis dan medialis femoris, dan dipisahkan
oleh menisci lateralis dan medialis. Permukaan atas facies articulares condylorum tibiae
terbagi atas area intercondylus anterior dan posterior; di antara kedua area ini terdapat
eminentia intercondylus.
Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis circularis
yang kecil, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior condylus medialis
terdapat insertio m.semimembranosus.
Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan melintangnya, dan mempunyai
tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan medial, serta facies medialis
diantaranya terletak subkutan. Margo anterior menonjol dan membentuk tulang kering.

Pada pertemuan antara margo anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang
merupakan tempat lekat ligamentum patellae. Margo anterior di bawah membulat, dan
melanjutkan diri sebagai malleolus medialis. Margo lateral atau margo interosseus
memberikan tempat perlekatan untuk membrane interossea.
Facies posterior dan corpus tibiae menunjukkan linea oblique, yang disebut linea
musculi solei, untuk tempatnya m.soleus.
Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat
permukaan sendi berbentuk pelana untuk os.talus. ujung bawah memanjang ke bawah
dan medial untuk membentuk malleolus medialis. Facies lateralis dari malleolus medialis
bersendi dengan talus. Pada facies lateral ujung bawahtibia terdapat lekukan yang lebar
dan kasar untuk bersendi dengan fibula. Musculi dan ligamenta penting yang melekat
pada tibia.

Gambar 2. Anatomi cruris.

Fisiologi tulang
Tulang adalah suatu jaringan dan organ yang terstruktur dengan baik, tulang terdiri atas
daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut dengan korteks dan bagian dalam yang
bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan dilapisi oleh periosteum pada bagian luamya
sedangkan yang membatasi tulang dari cavitas medullaris adalah endosteum.
Tibia sendiri termasuk tulang panjang , dimana daerah batas disebut diafisis dan daerah
yang berdekatan dengan garis epifisis disebut metafisis. Tulang tibia turut membentuk

rangka badan, sebagai pengumpil dan tempat melekat otot, berfungsi juga sebagai bagian
dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat dalam, dan menjadi tempat
deposit kalsium, fosfor, magnesium dan garam.

.
Gambar 3. Struktur tulang dan aktivitas osteoblast serta osteoclast pada tulang.
Osteoblast merupakan satu jenis sel hasil diferensiasi sel masenkim yang sangat
penting dalam proses osteogenesis atau osifikasi. Sebagai sel, osteoblast dapat
memproduksi substansi organik intraseluler atau matriks, dimana kalsifikasi terjadi
kemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila
kalsifikasi terjadi pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat setelah osteoblast
dikelilingi oleh substansi organik intraseluller, disebut osteosit dimana keadaan ini terjadi
dalam lakuna.
Sel yang bersifat multinukleus, tidak ditutupi oleh permukaan tulang dengan sifat dan
fungsi reabsorbsi serta mengeluarkan tulang yang disebut osteoclast. Kalsium hanya
dapat dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoclasis yang menghilangkan
matriks organik dan kalsium bersamaan dan disebut deosifikasi.
4. Etiologi Fraktur Tibia
Etiologi fraktur tibia berupa trauma akibat kecelakaan dengan berkecepatan sangat
tinggi. Di daerah di mana orang-orang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan
terlibat dalam kegiatan-kegiatan dengan potensi tinggi untuk trauma kaki (misalnya :ski,
sepak bola), jumlah fraktur tibia pada keadaan gawat darurat tergolong tinggi. Sementara
trauma langsung pada tibia merupakan penyebab paling umum, tidak ada etiologi lain yang

dijumpai untuk fraktur tibia shaft. Dua yang paling umum adalah jatuh atau melompat dari
ketinggian yang signifikan dan luka tembak pada kaki bagian bawah.
Menurut Appley (1995:212) faktor-faktor yang dapat menyebabkan fraktur adalah:
1. Fraktur akibat trauma
Terjadi akibat benturan dan cidera yang disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
2.

berlebihan.
Trauma langsung
Tulang dapat patah pada area yang terkena jaringan lunak. Pemukulan menyebabkan
fraktur melintang. Penghancuran menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan

jaringan lunak yang luas.


3. Trauma tidak langsung
Tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang tertekan
kekuatan itu. Kekuatan dapat berupa:
a. Pemuntiran, menyebabkan fraktur spinal
b. Penekukan, menyebabkan fraktur melintang
c. Penekukan dan penekanan menyebabkan fraktur yang sebagian melintang tetapi
4.

disertai fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga terpisah.


Fraktur kelelahan
Terjadi akibat tekanan berulang-ulang sering ditemukan pada tibia, fibula, metatarsal,

terutama pada atlet dan penari.


5. Fraktur patologik
Fraktur yang dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu lemah (misal: oleh
tumor atau tulang itu sangat rapuh atau osteoporosis).
5. Patofisiologi Fraktur Tibia
Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah
dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah
tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan dengan sel-sel
pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi chondroblast dan osteoblast.
Chondroblast akan mensekresi fosfat, yang merangsang deposisi kalsium.Terbentuk lapisan
tebal (callus) di sekitar lokasi fraktur.Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan
lapisan callus dari fragmen satunya, dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen
(penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula dan osteoblast yang
melekat pada tulang dan meluas menyeberangi lokasi fraktur. Penyatuan tulang provisional
ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi.
Callus tulang akan mengalami remodeling untuk mengambil bentuk tulang yang utuh seperti
bentuk osteoblast tulang baru dan osteoclast akan menyingkirkan bagian yang rusak dan
tulang sementara.
6. Manifestasi Klinis Fraktur Tibia

Menurut Smeltzer (2002:2358), manifestasi klinis fraktur adalah:


a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
b. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Deformitas (terlihat maupun teraba).
d. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
e. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
f.

krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.

7.

Diagnosis Fraktur Tibia


Fraktur tibia dapat terjadi pada bagian proksimal (kondiler), diafisis atau persendian
pergelangan kaki.
A. Fraktur Kondiler Tibia
1. Mekanisme trauma
Fraktur kondiler tibia lebih sering mengenai kondiler lateralis daripada medialis serta
fraktur kedua kondiler. Banyak fraktur kondiler tibia terjadi akibat kecelakaan antara
mobil dan pejalan kaki di mana bemper mobil menabrak kaki bagial lateral dengan
gaya kearah medial (valgus). Ini menghasilkan fraktur depresi atau fraktur split dari
kondiler lateralis tibia apabila kondiler femur didorong kearah tersebut. Kondiler medial
memiliki kekuatan yang lebih besar,jadi fraktur pada daerah ini biasanya terjadi akibat
gaya dengan tenaga yang lebih besar(varus). Jatuh dari ketinggian akan menimbulkan
kompresi aksial sehingga bisa menyebabkan

fraktur pada proksimal tibia. Pada

golongan lanjut usia, pasien dengan osteoporosis lebih mudah terkena fraktur kondiler
tibia berbanding robekan ligamen atau meniscus setelah cedera keseleo di lutut.
Eminentia intrakondiler dapat fraktur bersama robekan ligamen krusiatum sebagai
akibat hiperekstensi atau gaya memutar.

2. Klasifikasi
Klasifikasi yang sering dan meluas dipakai sekarang adalah klasifikasi Schatzker.
I : Fraktur split kondiler lateral
II : Fraktur split/depresi lateral
III: Depresi kondiler lateral
IV: Fraktur split kondiler medial
V : Fraktur bikondiler

VI: Fraktur kominutif


Tipe IV-VI biasanya terjadi akibat trauma dengan tekanan yang kuat. Fraktur tidak
bergeser apabila depresi kurang dari 4 mm, sedangkan yang bergeser apabila depresi
melebihi 4 mm.

Gambar 4. Klasifikasi Schatzker.

Gambar 5. Fraktur kondiler tibia.

Gambar 6. Gambaran radiologis CT potongan coronal menunjukkan fraktur kondiler tibia dengan
depresi terpencil dari kondiler lateral tibia (Schatzker tipe 3)i
3.

Gambaran klinis
Pada anamnesis terdapat riwayat trauma pada lutut, pembengkakan dan nyeri serta
hemartrosis.Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi lutut. Biasanya pasien tidak dapat
menahan beban. Sewaktu pemeriksaan, mereka merasakan nyeri pada proksimal tibia dan
gerakan flesi dan ekstensi yang terbatas.Dokter perlu menentukan adanya penyebab cedera
itu akibat tenaga yang kuat atau lemah karena cedera neovaskular, ligamen sindroma
kompartmen lebih sering terjadi pada cedera akibat tenaga kuat. Pulsasi distal dan fungsi
saraf peroneal perlu diperiksa. Kulit perlu diperiksa secara seksama untuk mencari tandatanda abrasi atau laserasi yang dapat menjadi tanda fraktur terbuka.
Penilaian stabilitas lutut adalah penting dalam mengevaluasi kondiler tibia. Aspirasi dari
hemartrosis pada lutut dan anestasi lokal mungkin diperlukan untuk pemeriksaan yang
akurat. Jika dibandingkan dengan bagian yang tidak cedera, pelebaran sudut sendi pada
lutut yang stabil mestilah tidak lebih dari 10 o dengan stress varus atau valgus pada manamana titik dalam aksis gerakan dari ekstensi penuh hingga fleksi 90 o. Integritas ligamen
crusiatum anterior perlu dinilai melalui tes Lachman.
Fraktur kondiler sering disertai cedera jaringan lunak disekeliling lutut. Robekan ligamen
kollateral medial dan meniscus medial sering menyertai fraktur kondiler lateral. Fraktur
kondiler medial disertai robekan ligamen kollateral lateral dan meniscus medial.Ligamen
crusiatum anterior dapat cedera pada fraktur salah satu kondiler. Fraktur kondiler tibia,
terutama yang ekstensi frakturnya sampai ke diafisis, dapat meyebabkan kepada sindroma
kompartmen akut akibat perdarahan dan edema.

4.

Pemeriksaan radiologic
Dengan foto rontgen posisi AP dan lateral dapat diketahui jenis fraktur, tapi kadangkadang diperlukan pula foto oblik. Apabila pada foto polos tidak dapat dilihat dengan jelas,
CT atau tomografi dengan proyeksi AP dan lateral sering diperlukan. Untuk melihat tanda
Fat(marrow)-fluid(blood) interface sign (hemarthrosis) dilakukan cross table lateral view.
Gambaran fraktur:

Tipe fraktur: split, depresi


Lokasi: medial, lateral
Jumlah fragmen
Pergeseran fragmen
Derajat depresi

Gambar 7. (A) Fraktur kondiler tibia dengan split dan terpisah di lateral. (B) Fraktur kondiler tibia
direduksi dengan menggunakan buttress plate dan screw untuk mengembalikan kongruensi
sendi.
5. Pengobatan
Konservatif
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana depresi kurang dari 4 mm dapat dilakukan
beberapa pilihan pengobatan, antara lain verban elastik, traksi, atau gips sirkuler. Prinsip

pengobatan adalah mencegah bertambahnya depresi, tidak menahan beban dan segera
mobilisasi pada sendi lutut agar tidak segera terjadi kekakuan sendi.

Operatif
Depresi yang lebih dari 4 mm dilakukan operasi dengan mengangkat bagian depresi dan
ditopang dengan bone graft.Pada fraktur split dapat dilakukan pemasangan screw atau
kombinasi screw dan plate untuk menahan bagian fragmen terhadap tibia.

6. Komplikasi
a. Genu valgum; terjadi oleh karena depresi yang tidak direduksi dengan baik
b. Kekakuan lutut; terjadi karena tidak dilakukan latihan yang lebih awal
c. Osteoartritis; terjadi karena adanya kerusakan pada permukaan sendi sehingga
bersifat irrreguler yang menyebabkan inkonkruensi sendi lutut.
d. Malunion
e. Cedera ligamen dan meniskus (misal: ligamen medial kollateral)
f. Cedera saraf peroneal.

Fraktur Diafisis Tibia


1. Mekanisme trauma
Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan menimbulkan
fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan fraktur
tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3 bagian tengah dan 1/3 bagian
distal. Tungkai bawah bagian depan sangat sedikit ditutupi otot sehingga fraktur pada daerah
tibia sering bersifat terbuka. Penyebab utama terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas.

Gambar 8. Fraktur diafisis tibia.


2. Klasifikasi fraktur
Klasifikasi dari fraktur diafisis tibia bermanfaat untuk kepentingan para dokter yang
menggunakannya untuk memperkirakan kemungkinan penyembuhan dari fraktur dalam
menjalankan penatalaksanaannya.
Orthopaedic Trauma Association (OTA) membagi fraktur diafisis tibia berdasarkan
pemeriksaan radiografi, terbagi 3 grup, yaitu: simple, wedge dan kompleks. Masingmasing
grup terbagi lagi menjadi 3 yaitu:
a. Tipe simple, terbagi 3: spiral, oblik, tranversal.
b. Tipe wedge, terbagi 3: spiral, bending, dan fragmen.
c. Tipe kompleks, terbagi 3: spiral, segmen, dan iregular.

Gambar 9. Klasifikasi fraktur diafisis tibia mengikut Orthopaedic Trauma Association


(OTA).

Sistem klasifikasi yang sering digunakan pada fraktur terbuka adalah sistem Gustilo
sebagai berikut:

Tipe I: lukanya bersih dan panjangnya kurang dari 1 cm.


Tipe II: panjang luka lebih dari 1 cm dan tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas.
Tipe IIIa: luka dengan kerusakan jaringan yang luas, biasanya lebih dari 10 cm dan
mengenai periosteum. Fraktur tipe ini dapat disertai kemungkinan komplikasi, contohnya:

luka tembak.
Tipe IIIb: luka dengan tulang yang periosteumnya terangkat.
Tipe IIIc: fraktur dengan gangguan vaskular dan memerlukan penanganan terhadap
vaskularnya agar vaskularisasi tungkai dapat normal kembali.

Gambar 10. (A)Fraktur OTA tipe B.Ini adalah fraktur terbuka Gustilo tipe IIIb. (B) Fraktur ini
dipasang dengan locked intramedullary nail. Foto lateral menunjukkan OTA tipe II dengan
hilangnya tulang. Fraktur tidak menyatu, dan pertukaran nailing dilakukan 5 bulan setelah
kecederaan.(C) 4 bulan setelah pertukanran nailing, fraktur menyatu dan area yang hilang
tulang telah terisi tanpa bone grafting.

3.

Gambaran klinis
Ditemukan gejala fraktur berupa pembengkakan, nyeri dan sering ditemukan
deformitas misalnya penonjolan tulang keluar kulit. Sindroma kompartemen bisa muncul di
awal cedera maupun kemudian. Sehingga perlu pemeriksaan serial dan perhatian pada
ekstremitas yang mengalami cidera.Sindroma kompartemen terdiri dari: pain, pallor,
paralysis, paresthesia, pulselessness.

4.

Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen harus mencakup bagian distal dari femur dan ankle. Dengan
pemeriksaan radiologis, dapat ditentukan lokalisasi fraktur, jenis fraktur, sama ada
transversal, spiral oblik atau rotasi/angulasi. Dapat ditentukan apakah fraktur pada tibia dan
fibula atau tibia saja atau fibula saja. Juga dapat ditentukan apakah fraktur bersifat
segmental. Foto yang digunakan adalah foto polos AP dan lateral. CT tidak diperlukan.

Gambar 11. Fraktur diafisis tibia dan fibula dengan pergeseran lateral 100%.

Gambar 12. (A) Fraktur stress pada seorang atlit muda.(B) Perhatikan sklerosis and
pelebaran cortical berikut penyembuhan tulang.
5. Pengobatan
a. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi fraktur dengan
manipulasi tertutup dengan pembiusan umum. Pemasangan gips sirkuler untuk
immobilisasi, dipasang sampai diatas lutut.
Prinsip reposisi adalah fraktur tertutup, ada kontak 70% atau lebih, tidak ada
angulasi dan tidak ada rotasi. Apabila ada angulasi, dapat dilakukan koreksi setelah 3
minggu (union secara fibrosa). Pada fraktur oblik atau spiral, imobilisasi dengan gips
biasanya sulit dipertahankan, sehingga mungkin diperlukan tindakan operasi.
Cast bracing adalah teknik pemasangan gips sirkuler dengan tumpuan pada
tendo patella (gips Sarmiento) yang biasanya dipergunakan setelah pembengkakan
mereda atau terjadi union secara fibrosa.
b. Operatif
Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka, kegagalan dalam terapi
konservatif, fraktur tidak stabil dan adanya nonunion.Metode pengobatan operatif adalah
sama ada pemasangan plate dan screw, atau nail intrameduler, atau pemasangan screw
semata-mata atau pemasangan fiksasi eksterna. Indikasi pemasangan fiksasi eksterna
pada fraktur tibia:
Fraktur tibia terbuka grade II dan III terutama apabila terdapat kerusakan jaringan
yang hebat atau hilangnya fragmen tulang
Pseudoartrosis yang mengalami infeksi (infected pseudoarthrosis)

Gambar 13. (A) Fraktur OTA tipe A. Ini adalah fraktur bifokal, di mana terdapat fraktur
bimaleolus pergelangan kaki selain fraktur diafisis; 5% dari fraktur tibia adalah bifokal, dan
kombinasi dari pergelangan kaki dan fraktur diafisis yang paling biasa terjadi. (B) Fraktur diafisis
ditangani dengan pemasangan locked intramedullary nail, dan fraktur pergelangan kaki
ditangani dengan teknik AO konvensional.
6.

Komplikasi
Di antara komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur diafisis tibia adalah infeksi, delayed
union atau nonunion, malunion, kerusakan pembuluh darah (sindroma kompartmen
anterior), trauma saraf terutama pada vervus peroneal komunis dan gangguan pergerakan
sendi pergelangan kaki. Gangguan pergerakan sendi ini biasanya disebabkan adanya
adhesi pada otot-otot tungkai bawah.

Fraktur Distal Tibia


Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan penopang badan dimana talus
duduk

dan

dilindungi

oleh

maleolus

lateralis

dan

medialis

yang

diikat

dengan

ligamen.Dahulu,fraktur disekitar pergelangan kaki disebut fraktur Pott.


1. Mekanisme trauma
Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi dalam beberapa
macam trauma.
a. Trauma abduksi
Trauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang bersifat oblik,
fraktur pada maleolus medialis bersifat avulsi atau robekan pada ligamen bagian medial.
b. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat oblik atau
avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya menyebabkan
strain atau robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
c. Trauma rotasi eksterna
Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi fraktur pada
fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial atau fraktur
avulsi pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai dengan
dislokasi talus.

d. Trauma kompresi vertical


Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai dengan
dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur kominutif disertai dengan robekan diastesis.
2. Klasifikasi
Lauge-Hansen(1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya pergeseran dari
fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan pengobatan atau manipulasi yang
dilakukan. Klasifikasi lain yang lebih sederhana, menurut Danis & Weber (1991), dimana
fibula merupakan tulang yang penting dalam stabilitas dari kedudukan sendi berdasarkan
atas lokalisasi fraktur terhadap sindesmosis tibiofibular.

Klasifikasi terdiri atas (gambar 14.121):


Tipe A; fraktur maleolus di bawah sindesmosis
Tipe B; fraktur maleolus lateralis yang bersifat oblik disertai avulsi maleolus medialis
dimana sering disertai dengan robekan dari ligamen tibiofibular bagian depan
Tipe C; fraktur fibula di atas sindesmosis dan atau disertai avulsi dari tibia disertai fraktur
atau robekan pada maleolus medialis. Pada tipe C terjadi robekan pada sindesmosis.
Jenis tipe C ini juga dikenal sebagai fraktur Duyuptren.
Klasifikasi ini penting artinya dalam tindakan pengobatan oleh karena selain fraktur juga
perlu dilakukan tindakan pada ligamen.

3. Gambaran klinis

Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruaan atau deformitas. Yang
penting diperhatikan adalah lokalisasi dari nyeri tekan apakah pada daerah tulang atau pada
ligamen.

4. Pemeriksaan radiologis
Dengan pemeriksaan radiologis dapat ditentukan jenis-jenis fraktur dan mekanisme
terjadinya trauma(gambar 14.122).Foto rontgen perlu dibuat sekurang-kurangnya tiga
proyeksi, yaitu antero-posterior, lateral dan setengah oblik dari gambaran posisi pergelangan
kaki. Sering fraktur terjadi pada fibula proksimal, sehingga secara klinis harus diperhatikan.

5. Pengobatan
Fraktur dislokasi pada sendi pergelangan kaki merupakan fraktur intra-artikuler sehingga
diperlukan reduksi secara anatomis dan akurat serta mobilisasi sendi yang sesegera
mungkin.
Tindakan pengobatan terdiri atas:
1. Konservatif
Dilakukan pada fraktur yang tidak bergeser, berupa pemasangan gips sirkuler di bawah
lutut.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan berdasarkan kelainan-kelainan yang ditemukan apakah hanya
fraktur semata-mata, apakah ada robekan pada ligamen atau diastasis pada tibiofibula
serta adanya dislokasi talus( gambar 14.123).
Beberapa hal yang penting diperhatikan pada reduksi, yaitu:
Panjang fibula harus direstorasi sesuai panjang anatomis

Talus harus duduk sesuai sendi dimana talus dan permukaan tibia duduk parallel
Ruang sendi bagian medial harus terkoreksi sampai normal(4 mm)
Pada foto oblik tidak nampak adanya diastasis tibiofibula
Tindakan operasi terdiri atas:
Pemasangan screw( maleolar)
Pemasangan tension band wiring
Pemasangan plate dan screw

6. Komplikasi
1. Vaskuler
Apabila terjadi fraktur subluksasi yang hebat maka dapat terjadi gangguan pembuluh
darah yang segera, sehingga harus dilakukan reposisi secepatnya.
2. Malunion
Reduksi yang tidak komplit akan menyebabkan posisi persendian yang tidak akurat
yang akan menimbulkan osteoartritis.
3. Osteoartritis
4. Algodistrofi
Algodistrofi adalah komplikasi dimana

penderita

mengeluh

nyeri,

terdapat

pembengkakan dan nyeri tekan di sekitar pergelangan kaki. Dapat terjadi perubahan
trofik dan osteoporosis yang hebat.
5. Kekakuan yang hebat pada sendi.
8 Prognosis Fraktur Tibia
Prognosis dari fraktur tibia untuk kehidupan adalah bonam. Pada sisi fungsi dari kaki
yang cedera, kebanyakan pasien kembali ke perfoma semula,namun hal ini sangat
tergantung dari gambaran frakturnya, macam terapi yang dipilih, dan bagaimana respon
tubuh terhadap pengobatan.

Fraktur tulang panjang yang paling sering terjadi adalah fraktur pada tibia. Pada fraktur
tibia, dapat terjadi fraktur pada bagian kondiler, diafisis dan pergelangan kaki. Fraktur pada
tibia

termasuk

luka

kompleks,

sehingga

tentunya

penanganannya

juga

tidak

sederhana.Sebagai dokter umum, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan
jika terjadi fraktur. Selain itu, pemeriksaan radiologis juga penting. Penatalaksanaan dari
fraktur tergantung dari kondisi frakturnya, bisa dengan operatif maupun non operatif.

9. Askep Fraktur Tibia


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan suatu pendekatan yang sistematika untuk mengumpulkan data
atau informasi dan menganalisanya sehingga dapat diketahui kebutuhan pasien.
a. Identitas Pasien
Identitas bertujuan untuk mengenal pasien yang perlu ditanyakan adalah nama, umur
(batas usia akan mempengaruhi dalam proses tindakan pembedahan), pendidikan
(pendidikan masyarakat yang rendah cenderung memilih pemeliharaan kesehatan
secara tradisional, dan belum siap menerima pelaksanaan kesehatan secara
modern), pekerjaan dan alamat.
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Merupakan

suatu faktor

yang

penting

bagi

petugas

kesehatan

dalam

menegakkan diagnosis atau menentukan kebutuhan pasien. Nyeri pada daerah


Fraktur, Kondisi fisik yang lemah, tidak bisa melakukan banyak aktivitas, mual,
muntah, dan nafsu makan menurun,(Brunner & suddarth, 2002)
c. Riwayat Penyakit dahulu
Ada tidaknya riwayat DM pada masa lalu yang akan mempengaruhi proses perawatan
post operasi, (Sjamsuhidayat & Wim Dejong, 1998)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Fraktur bukan merupakan suatu penyakit keturunan akan tetapi adanya riwayat
keluarga dengan DM perlu di perhatikan karena dapat mempengaruhi perawatan post
operasi, (Sjamsuhidayat & Wim Dejong, 1998)
e. Pola Kebiasan
Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada beberapa
kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti nyeri yang hebat, dampak
hospitalisasi terutama bagi pasien yang merupakn pengalaman pertama masuk
rumah sakit, (Doenges, 2000).
Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti konstipasi
dan gangguan eliminasi urine akibat adanya program eliminasi dilakukan ditempat
tidur, (Doenges, 2000)

Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami perubahan yang
berarti, namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu
atau

berubah

seperti

timbulnya

rasa

nyeri

yang

hebat

dan

dampak

hospitali, (Doenges, 2000)


Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas) sebagaimana
biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan ditempat tidur. Hal ini dilakukan
karena ada perubahan fungsi anggota gerak serta program immobilisasi, untuk
melakukan aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas
yang sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri, (Doenges, 2000)
Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada bantuan
dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat tidur. (Doenges, 2000)
Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu dapat juga
terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi atropi otot kulit pucat, kering
dan besisik. Dampak psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam

perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya program immobilisasi
serta proses penyembuhan yang cukup lama, (Doenges, 2000)
Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur tibia riwayat spiritualnya tidak mengalami
gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi terhadap agama yang
dianut, masih bisa mengartikan makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap
penyakitnya, (Doenges, 2000)
Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan sebaliknya
pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena merasa dirinya tidak
berguna (terutama kalau ada program amputasi), (Doenges, 2000)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan dikumpulkan,
pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara berurutan dari kepala
sampai kejari kaki.
a. Inspeksi
Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit pucat, Laserasi,
kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya faktur adanya spasme otot
dan keadaan kulit.
b. Palpasi
Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakan otot oleh sentuhan
kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit
biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan di daerah luka insisi.
c. Perkusi
Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.
d. Auskultasi
Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur
berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada pasien
fraktur pemeriksaan ini pada areal yang sakit jarang dilakukan, (Brunner &
Suddarth, 2002).
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan leukosit urine
Bisa cenderung dapat terjadi formasi batu kemih yang menetap akibat Program
Immobilisasi.
- Darah
Hitung darah lengkap: memotokrit mungkin meningkat, atau menurun karena
pendarahan bermakna pada sisi fraktur.
b. Rontgent

Untuk mengetahui secara pasti lokasi fraktur, luas fraktur, dan menunjukkan
jenis kerusakan sehingga dapat ditegakkan diagnosa pasti,(Doenges, 2000)

Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan


a. Data Subjektif
- Keluhan rasa nyeri yang hebat pada daerah Fraktur
- Kebas/ kesemutan
- Tangan sakit bila digerakkan
-

Takut cacat

- Takut melakukan pergerakan


- Cemas yang berlebihan
b. Data Objektif
- Keadaan umum lemah
- Nyeri tekan pada daerah fraktur
- Ekpresi wajah meringis
- Menolak untuk melakukan pergerakan
- Penurunan kekuatan otot
- Pembengkakan jaringan pada sisi cedera
- Perdarahan pada daerah fraktur
- Adanya luka
- Cemas/ gelisah

Daftar Pustaka
Appley, Ag Dan Scloman, L, 1999, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Applay Edisi 7, Widya
Medika, Jakarta.
Brunner and Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah Volume 3 Edisi 8, EGC, Jakarta.
Carpunito, L. J, 2000, Diagnosa Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
Keperawatan dan Masalah Kolaboratif (terjemahan), Edisi 2, EGC, Jakarta.
Carpenito, L. J, 2000, Hand Book of Nursing Diagnosis, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Depkes, RI, 1996, Asuhan Keperawatan pada Sistem Muskuloskeletal, Depkes RI, Jakarta.
Doenges, E, Marilyn, 1996, Rencana Asuhan Keperawatan dan Pedoman untuk
Mendokumentasikan Perawatan Pasien (terjemahan), Edisi 3, EGC, Jakarta.
Handei, Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
(terjemahan), volume 3, EGC, Jakarta.
Handerson, M. A, 1997, Ilmu Bedah Untuk Perawat, Yayasan Enssential Medika, Yogyakarta.
Mansjoer, Areif, 2005, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, FKUI, Jakarta.
Nanda, 2007, Panduan Diagnosa Keperawatan, Prima Medika, Jakarta.
Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang
Imumpasue.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC

Você também pode gostar