Você está na página 1de 14

Apa itu Demam tifoid ?

Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di
seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh
tinja.
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan
S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan
oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng
lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa
dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan
sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara
anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau 60 C (140 F)
selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah
selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam
sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah
komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H
adalah protein labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan
tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit
ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena demam tifoid. Lingkungan yang
tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling
sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak
mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular
lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan binatang seperti lalat
dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.

Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak
umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala
klinisnya. Pada minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan,
gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain
demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan
menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa
hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu kedua, gejala bertambah
jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah kotor, bibir kering, kembung, penderita
terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.

S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus.
Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel

mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi


II. Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch
of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas
vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll. Imunulogi. Humoral
lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella
pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla
intraseluler

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah
yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan
tidak mungkin mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya.
Bakteri

bisa

bertahan

berbulan-bulan

bahkan

bertahun-tahun.

Sebagian

bakteri

penyebab tifus ada yang bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar
dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau tinja
penderita.

Manifestasi klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan
sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis
gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi
usus, dan keluhan susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin
meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada
malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai
koma.
Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :
o

demam tinggi dari 39 sampai 40 C (103 sampai 104 F) yang meningkat


secara perlahan

tubuh menggigil

denyut jantung lemah (bradycardia)

badan lemah (weakness)

sakit kepala

nyeri otot myalgia

kehilangan nafsu makan

konstipasi

sakit perut

pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (rose spots)

Penyakit yang mirip (Diagnosis Banding)


o

Influenza

Malaria

Bronchitis

Sepsis

Broncho Pneumonia

I.S.K (Infeksi Saluran kencing)

Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)

Keganasan : Leukemia

Tuberculosa Lymphoma

Diagnosis
o

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang


diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih
dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik
untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita
demam tifoid secara menyeluruh

Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang
cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita
secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin
dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan

ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan


kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui
identifikasi karier.
o

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid


dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi; pemeriksaan
bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; uji serologis; dan pemeriksaan
kuman secara molekuler.

Identifikasi

kuman

melalui

isolasi

atau

biakan

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya

di

dalam

urine

dan

feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktorfaktor

yang

mempengaruhi

hasil

biakan

meliputi

jumlah

darah

yang

diambil;

perbandingan volume darah dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.
Identifikasi kuman melalui uji serologis
o

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid


dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis
ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji
Widal; tes TUBEX; metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA),dan pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting


dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik
S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan


spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
o

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik
yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna
untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan
antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya
mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak


antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan
deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid

yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode TyphidotM yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
o

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat
menggantikan

uji

Widal

bila

digunakan

bersama

dengan

kultur

untuk

mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.


o

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas


yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan
penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan
diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi


IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d
(Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila

dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
o

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat


mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan

ini

menggunakan

komponen

yang

sudah

distabilkan,

tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai

fasilitas

laboratorium

yang

lengkap.

Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
o

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah
serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi
dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih

belum

memberikan

hasil

yang

memuaskan

sehingga

saat

ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.


Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis
o

Di

Indonesia

menegakkan

pemeriksaan
diagnosis

tifus

widal
paling

sebagai
sering

pemeriksaan
digunakan.

penunjang
Meskipun

untuk

ternyata

pemeriksaan ini sering menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan


diagnosis. Dalam penelitian penulis didapatkan infeksi virus yang sering menjadi
penyebab demam pada anak dan orang dewasa ternyata juga terjadi peningkatan
hasil widal yang tinggi pada minggu pertama.
o

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas
dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran
imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor
antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,13

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini
walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan
nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal
seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi
dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer
antibodi O dan H pada anak-anak sehat.

Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal
yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah
dilakukan follow up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut
menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada
penderita tifus nilai widal tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu
ke dua. Dalam follow up pada minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang
atau jauh menurun. Padahal seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya
malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5

tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan
59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua
penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami self limiting disease atau
penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus
tersebut adalah infeksi virus.
o

Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami


diagnosis penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar
penderita atau sekitar 89% pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering
mengalami infeksi berulang saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau
sekitar

86%

adalah

penderita

alergi.

Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah,
didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan
15 (34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut
menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika
membaik.
o

Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita
tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak
penderita alergi pada anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat
mengalami infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh.
Diduga mekanisme hipersensitif atau proses auto imun yang sering terganggu
pada penderita alergi dapat ikut meningkatkan hasil widal. Dengan adanya
penemuan awal tersebut tampaknya sangat berlawanan dengan pendapat yang
banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia
merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih
jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.

Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi overdiagnosis


tifus. Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal

infeksi yang terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah
penderita seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang
terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali.
Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang
sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat efek samping
pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak diberikan.
Penanganan

Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan


suportif melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung
penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring,

kemudian

bubur kasar dan

akhirnya nasi

sesuai

dengan tingkat

kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian


makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan
vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.
o

Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan di


rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit tifus. Waktu
penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan.

Tifus

dapat

berakibat

fatal.

Antibiotika,

seperti

ampicillin,

kloramfenikol,

trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat


demam tipoid di negara-negara barat. Obat-obat pilihan pertama adalah
kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah
sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin

dan fluorokuinolon.

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari,

terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana
terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan dosis
200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat
minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol
dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama
14 hari.
o

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7
hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah
meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.

Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai
sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat.
Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan
perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin).

Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan


manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis
awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul
pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali
pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit
perforasi usus

Komplikasi :
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal

1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi
lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan
pasien kurang sempurna.

Pencegahan
o

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan


khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene
dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan
insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan
sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut
(diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai
transmisi

juga

penting

yaitu

pengawasan

terhadap

penjual

(keliling)

minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)


o

Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi jika si kecil
terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai nenangga, atau

yang belum bisa cebok dengan benar. Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini
karena setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan
berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau kalupun terkena
maka penyakit yang menyerang tidak sampai membahayakan anak
o

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang
diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah
vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian
vaksin

tifoid

secara

rutin

tidak

direkomendasikan,

vaksin

tifoid

hanta

direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang


demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan
pekerja laboratorium.
o

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anakanak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena
itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap
dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit.

Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah
diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu
minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk
bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih
memiliki resiko terjangkit.

Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi)
adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin
sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya.
Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral)

adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya
maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem
imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya
boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah
penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang
yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi
sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita
kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obatobatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan
dengan pemberian antibiotik.
o

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem


serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan
bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua
jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi
ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada
(sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi
(sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang
dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak
enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).

Você também pode gostar