Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di
seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh
tinja.
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan
S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan
oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng
lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa
dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan
sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara
anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau 60 C (140 F)
selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah
selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam
sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah
komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H
adalah protein labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan
tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit
ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena demam tifoid. Lingkungan yang
tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling
sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak
mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular
lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan binatang seperti lalat
dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.
Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak
umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala
klinisnya. Pada minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan,
gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain
demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan
menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa
hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu kedua, gejala bertambah
jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah kotor, bibir kering, kembung, penderita
terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus.
Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel
Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah
yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan
tidak mungkin mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya.
Bakteri
bisa
bertahan
berbulan-bulan
bahkan
bertahun-tahun.
Sebagian
bakteri
penyebab tifus ada yang bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar
dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau tinja
penderita.
Manifestasi klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan
sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis
gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi
usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin
meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada
malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai
koma.
Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :
o
tubuh menggigil
sakit kepala
konstipasi
sakit perut
pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (rose spots)
Influenza
Malaria
Bronchitis
Sepsis
Broncho Pneumonia
Keganasan : Leukemia
Tuberculosa Lymphoma
Diagnosis
o
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang
cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita
secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin
dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan
Identifikasi
kuman
melalui
isolasi
atau
biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya
di
dalam
urine
dan
feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktorfaktor
yang
mempengaruhi
hasil
biakan
meliputi
jumlah
darah
yang
diambil;
perbandingan volume darah dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.
Identifikasi kuman melalui uji serologis
o
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik
yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna
untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan
antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya
mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode TyphidotM yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
o
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat
menggantikan
uji
Widal
bila
digunakan
bersama
dengan
kultur
untuk
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
o
ini
menggunakan
komponen
yang
sudah
distabilkan,
tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai
fasilitas
laboratorium
yang
lengkap.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
o
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah
serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi
dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih
belum
memberikan
hasil
yang
memuaskan
sehingga
saat
ini
Di
Indonesia
menegakkan
pemeriksaan
diagnosis
tifus
widal
paling
sebagai
sering
pemeriksaan
digunakan.
penunjang
Meskipun
untuk
ternyata
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas
dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran
imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor
antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,13
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini
walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan
nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal
seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi
dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer
antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal
yang tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah
dilakukan follow up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut
menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada
penderita tifus nilai widal tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu
ke dua. Dalam follow up pada minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang
atau jauh menurun. Padahal seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya
malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5
tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan
59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua
penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami self limiting disease atau
penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus
tersebut adalah infeksi virus.
o
86%
adalah
penderita
alergi.
Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah,
didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan
15 (34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut
menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika
membaik.
o
Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita
tertentu terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak
penderita alergi pada anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat
mengalami infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh.
Diduga mekanisme hipersensitif atau proses auto imun yang sering terganggu
pada penderita alergi dapat ikut meningkatkan hasil widal. Dengan adanya
penemuan awal tersebut tampaknya sangat berlawanan dengan pendapat yang
banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia
merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih
jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.
infeksi yang terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah
penderita seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang
terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali.
Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang
sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi akbat efek samping
pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak diberikan.
Penanganan
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring,
kemudian
akhirnya nasi
sesuai
dengan tingkat
Tifus
dapat
berakibat
fatal.
Antibiotika,
seperti
ampicillin,
kloramfenikol,
dan fluorokuinolon.
terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana
terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan dosis
200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat
minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol
dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama
14 hari.
o
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7
hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah
meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai
sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat.
Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan
perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin).
Komplikasi :
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
1. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi
lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan
pasien kurang sempurna.
Pencegahan
o
juga
penting
yaitu
pengawasan
terhadap
penjual
(keliling)
Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi jika si kecil
terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai nenangga, atau
yang belum bisa cebok dengan benar. Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini
karena setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan
berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau kalupun terkena
maka penyakit yang menyerang tidak sampai membahayakan anak
o
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang
diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah
vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian
vaksin
tifoid
secara
rutin
tidak
direkomendasikan,
vaksin
tifoid
hanta
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anakanak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena
itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap
dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit.
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah
diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu
minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk
bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih
memiliki resiko terjangkit.
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi)
adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin
sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya.
Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral)
adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya
maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem
imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya
boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah
penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang
yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi
sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita
kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obatobatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan
dengan pemberian antibiotik.
o