Você está na página 1de 5

Adhe Nuansa Wibisono, S.

IP1
ASEAN Researcher, The Habibie Center

ASEAN, Rohingnya dan Krisis Kemanusiaan di Myanmar


Opini Individu The Habibie Center
Krisis Kemanusiaan Rohingya
Krisis kemanusiaan yaitu kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia
terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya di Myanmar telah menyita perhatian publik
internasional. Eskalasi konflik yang meningkat antara Buddha Arakan dengan muslim
Rohingya memberikan gambaran yang buruk mengenai keseriusan pemerintah Myanmar
dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Krisis Rohingya ini dipicu oleh insiden
pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Ma Thida Htwe (27 tahun), seorang gadis Buddhis
Arakan, yang dilakukan oleh beberapa oknum muslim Rohingya pada Mei 2012. Insiden
tersebut kemudian memicu gejala kebencian terhadap muslim Rohingya di seluruh daerah
Arakan. Beberapa hari setelah insiden itu, masyarakat Buddhis Arakan membalas dengan
memukuli dan membunuh 10 orang etnis Rohingya, dalam satu insiden pencegatan dan
pembunuhan penumpang bus antar-kota, hingga tewas di Taunggup. 2
Insiden pembunuhan tersebut menjadi awal bagi meningkatnya gejala kekerasan
yang dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh muslim Rohingya. Kelompok
Buddhis Arakan, didukung oleh pendeta Buddha lokal dan aparat keamanan Myanmar,
melakukan berbagai tindakan kekerasan secara sistematis terhadap muslim Rohingya
meliputi pemukulan, pemenggalan, pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran tempat
tinggal, pengusiran dan isolasi bantuan ekonomi. Berbagai tindakan kekerasan ini digunakan
sebagai cara untuk mengusir etnis Rohingya keluar dari Myanmar. Aksi anarkisme yang
dilakukan oleh masyarakat Arakan ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah
Myanmar, khususnya perlindungan terhadap keberlangsungan hidup etnis Rohingya dan
penegakan hukum terhadap pelaku aksi-aksi kekerasan. Pemerintah Myanmar dinilai sengaja
mengambil kebijakan yang diskriminatif terhadap muslim Rohingnya dan adanya dugaan
upaya pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar
kepada etnis Rohingya.
Kehidupan etnis Rohingnya ini juga diawasi dan dikendalikan pasukan penjaga
perbatasan yang dikenal sebagai Nasaka, inisial nama kesatuan tersebut dalam bahasa
Burma. Unit Nasaka terdiri dari perwira berbagai kesatuan seperti polisi, militer, bea cukai
dan imigrasi. Nasaka mengendalikan hampir setiap aspek dari kehidupan etnis Rohingya.
Dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia melaporkan bahwa Nasaka bertanggungjawab
dalam kasus pemerkosaan, pemerasan dan kerja paksa. Etnis Rohingya tidak dapat
melakukan perjalanan antar kota atau mengurus pernikahan tanpa adanya perizinan dari
Nasaka, yang semuanya baru akan diurus setelah membayar uang suap. 3

Adhe Nuansa Wibisono, S.IP (Cand) M.Si adalah seorang Junior Researcher pada ASEAN Studies di The Habibie Center, Jakarta,
Indonesia. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis yang tidak mewakili sikap dan kebijakan resmi dari lembaga asalnya.
2

Aungsan, Killing of Traveling Bengali Muslims in Taung-goke, http://www.salem-news.com/articles/august112012/blood-trailsmyanmar-tk.php, diakses pada 19 Agustus 2013
3

Andrew
R.C.
Marshall,
The
War
of
the
Rohingnyas,
Reuters
Special
http://graphics.thomsonreuters.com/12/06/MyanmarRohingya.pdf, diakses pada 15 Agustus 2013

Report,

15

June

2012,

Menurut laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs,
sekitar 180,000 orang mendapatkan dampak dari dua gelombang kekerasan sektarian
antara masyarakat Buddhis Arakan dengan Muslim Rohingya di distrik Arakan Barat pada
tahun 2012. Dari jumlah tersebut 140,000 orang masih mengungsi, sebagian besar dari
mereka adalah orang Rohingya yang tinggal di 80 kamp dan shelter pengungsian.
Sementara itu sekitar 36,000 orang sisanya tinggal di 113 desa terpencil yang mengalami
kesulitan akses untuk pelayanan dasar. Sejumlah 167 orang tewas dalam insiden kekerasan
(78 orang pada Juni dan 89 orang pada Oktober), 223 orang mengalami luka-luka (87 orang
pada Juni dan 136 orang pada Oktober) dan lebih dari 10,000 rumah dan bangunan hancur
akibat insiden tersebut.4
Sejak Oktober 2012 diperkirakan terdapat 785 orang pengungsi Rohingya tewas
tenggelam di laut dalam pelariannya untuk mencapai perairan Thailand, Indonesia, Malaysia
dan Australia, berbanding dengan 140 orang tewas pada tahun 2011. Sementara di
Bangladesh diperkirakan terdapat 300,000 orang pengungsi Rohingya, ungkap Medecins
Sans Frontieres (MSF), organisasi medis non-pemerintah asal Perancis. Beberapa pengungsi
lainnya mencoba mengungsi ke India, Nepal dan Timor Leste. Pada saat yang bersamaan
sekitar 2,000 orang Rohingya baik pria, wanita dan anak-anak berada di shelter-shelter
pengungsian di wilayah perbatasan Thailand. 5 Pemerintah Bangladesh melansir bahwa
mereka telah menerima sekitar 25,000 orang Rohingya dengan status pengungsi, yang
mendapatkan bantuan dari PBB, ditempatkan di dua kamp di sebelah tenggara Bangladesh.
Diperkirakan masih terdapat antara 200,000 hingga 300,000 orang pengungsi Rohingya
yang tidak terdaftar, tidak memiliki status dan hak-hak legal sebagai pengungsi. Orangorang ini menetap di luar kamp pengungsian dan bergantung kepada masyarakat lokal
Bangladesh untuk bertahan hidup.6
Berdasarkan laporan media, terdapat sekitar 90 orang tewas dan hampir 30,000
orang Rohingya terusir akibat gelombang baru kekerasan setelah sekelompok ekstremis
menyerang dan membakar rumah dan perahu di daerah pemukiman muslim di Kyaukpyu
pada Oktober 2012. Sejumlah orang Rohingnya juga dibawa ke tengah laut melalui perahu,
tongkang dan kapal nelayan, dilaporkan lebih dari seratus orang tewas tenggelam setelah
kapal mereka diserang dan ditenggelamkan. Gambar satelit yang dipublikasikan oleh Human
Rights Watch mengindikasikan bahwa pembakaran terhadap pemukiman Rohingya di
Kyaukpyu telah direncanakan dan melibatkan unsur dari militer. Serangan ini menyebabkan
kerusakan di delapan distrik yang menghancurkan 4,000 rumah beserta tempat
peribadatan.7
Dilema ASEAN : Prinsip Non-Intervensi
ASEAN sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia
melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) pada
tahun 2009. Selain itu juga tercantum dalam Piagam ASEAN mengenai proses pembangunan
komunitas ASEAN yang melindungi hukum, hak asasi manusia dan terwujudnya stabilitas
dan perdamaian di Asia Tenggara. Institusionalisasi isu hak asasi manusia merupakan upaya
yang dilakukan ASEAN untuk melakukan penanganan yang lebih serius mengenai krisis
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Asia Tenggara. AICHR dihadapkan dengan
kecendrungan organisasi pada norma konservatif akan kedaulatan negara dan prioritas
4

Burma : In Search Of A Regional Rohingya Solution Analysis, 1 August 2013, http://www.eurasiareview.com/01082013-burma-insearch-of-a-regional-rohingya-solution-analysis/, diakses pada 15 Agustus 2013
5

Burma: In Search Of A Regional Rohingya Solution Analysis, 1 August 2013, http://www.eurasiareview.com/01082013-burma-insearch-of-a-regional-rohingya-solution-analysis/, diakses pada 15 Agustus 2013
6

Andrew
R.C.
Marshall,
The
War
of
the
Rohingnyas,
Reuters
Special
http://graphics.thomsonreuters.com/12/06/MyanmarRohingya.pdf, diakses pada 15 Agustus 2013
7

Report,

15

June

2012,

R2P Ideas In Brief, ASEAN The Rohingnyas and Myanmars Responsibility to Protect, Asia Pacific Center for the Responsibility to
Protect, AP R2P Brief, Vol. 2 No. 9 (2012),
http://www.r2pasiapacific.org/docs/r2p-ideas-in-brief/r2piIdeas-in-brief-asean-therohingyas-and-myanmars-r2p.pdf, diakses pada 15 Agustus 2013

negara anggota akan investasi asing yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi
daripada perlindungan hak asasi manusia. Salah satu fungsi pembentukan AICHR adalah
untuk memberikan informasi dari negara anggota untuk mendorong promosi dan
perlindungan akan hak asasi manusia.
Dilema penegakan hak asasi manusia dalam skala kawasan muncul dikarenakan
Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum bagi prinsip non-intervensi yang menjadikan
ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah
konflik dan pelanggaran hak asasi manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip nonintervensi terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN 8 : (e) non-interference in the internal
affairs of ASEAN Member States, (f) respect for the right of every Member State to leads its
national existence free from external interference, subversion and coersion. Doktrin ini
kemudian menghambat penerapan hukum hak asasi manusia dalam lingkup regional dan
memungkinkan negara untuk melakukan penyalahgunaan terhadap perlindungan hak asasi
manusia tanpa adanya pengawasan dan hukuman oleh ASEAN. 9
Terkait permasalahan Rohingya jajaran kementerian luar negeri negara anggota
ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap pada Agustus 2012, yaitu : (1) mendorong
pemerintahan Myanmar untuk terus bekerja dengan PBB dalam menangani krisis
kemanusiaan di Arakan, (2) menyatakan keseriusan organisasi regional ASEAN untuk
menyediakan bantuan kemanusiaan, (3) menggarisbawahi bahwa upaya mendorong
harmoni nasional di Myanmar merupakan bagian integral dari proses demokratisasi di
negara tersebut.10 Sekretaris Jenderal ASEAN, Dr. Surin Pitsuwan, mengingatkan bahwa isu
Rohingya dapat mengganggu stabilitas kawasan jika komunitas internasional, termasuk
ASEAN, gagal untuk merespon krisisi tersebut secara tepat dan efektif. Surin Pitsuwan juga
mengakui bahwa ASEAN tidak dapat menekan pemerintah Myanmar untuk memberikan
kewarganegaraan kepada etnis Rohingya.
Selain itu juga ASEAN sebagai organisasi regional memiliki tanggung jawab untuk
menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar sesuai dengan
doktrin Responbility to Protect (R2P) yang telah diadopsi negara-negara anggota PBB pada
United Nations World Summit 2005. Doktrin R2P ini muncul sebagai respon atas kasus
genosida dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di
Rwanda. Tiga prinsip
mendasar dalam doktrin R2P tersebut adalah11 :
1. Negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi penduduk dari genosida,
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis,
2. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk membantu negara-negara
dalam memenuhi tanggung jawabnya,
3. Komunitas internasional harus menggunakan cara-cara diplomatik, kemanusiaan dan
cara damai lainnya untuk melindungi penduduk dari kejahatan perang. Jika suatu
negara gagal dalam melindungi penduduk atau menjadi pelaku kejahatan perang,
maka komunitas internasional harus siap untuk mengambil tindakan yang lebih
tegas termasuk penggunaan kekuatan kolektif melalui Dewan Keamanan PBB
Meskipun doktrin R2P telah diadopsi oleh negara-negara anggota ASEAN, doktrin ini
belum diterima secara penuh di Asia dan penerapannya juga belum dilakukan secara serius.
8

The ASEAN Charter, http://www.asean.org/archive/publications/ASEAN-Charter.pdf, diakses pada 18 Agustus 2013

Daniel Aguirre, Human Rights the ASEAN Way, JURIST - Forum, Jan. 10, 2012, http://jurist.org/forum/2013/01/human-rights-theasean-way.php, diakses pada 15 Agustus 2013
10

Statement of ASEAN Foreign Ministers on the Recent Developments in the Rakhine State , http://www.asean.org/news/aseansecretariat-news/item/statement-of-asean-foreign-ministers-on-the-recent-developments-in-the-rakhine-state-myanmar-phnompenh-cambodia-17-august-2012, diakses pada 15 Agustus 2013
11

Ian G. Robinson and Iffat S. Rahman, The Unknown Fate of the Stateless Rohingya, Oxford Monitor of Forced Migration Volume 2,
Number 2, pp. 16-20, http://oxmofm.com/wp-content/uploads/2012/11/Robinson-and-Rahman-FINAL.pdf, diakses pada 16 Agustus
2013

Khususnya dalam kasus yang terjadi di Myanmar, prinsip non-intervensi dalam urusan
internal negara anggota ASEAN yang tercantum dalam piagam ASEAN membatasi ruang
ASEAN untuk bertindak melakukan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia dalam
skala regional. ASEAN tidak mampu untuk melakukan penegakan hukum terhadap
pemerintah Myanmar karena tidak memiliki legitimasi hukum dalam skala regional yang
memiliki kewenangan di atas hukum nasional negara anggotanya. Meskipun memiliki
hambatan ini, ASEAN memiliki mekanisme yang disebut sebagai ASEAN Regional Forum
(ARF) dan ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR), yang berkaitan
dan dapat digunakan sebagai mekanisme dalam penerapan prinsip R2P. Negara-negara
mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia seharusnya dapat mengambil peran
penting melalui ASEAN dalam melakukan advokasi atas kasus Rohingya. 12
Rekomendasi
Sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya dapat
memainkan peranan sentral dalam melakukan tekanan politik kepada pemerintahan
Myanmar dalam mencegah eskalasi konflik antar etnis di Arakan. ASEAN dalam
kemitraannya dengan PBB seharusnya menjadi saluran utama dalam memperluas bantuan
kemanusiaan kepada seluruh penduduk yang terkena dampak dan menjadi korban dari
konflik di area tersebut. ASEAN juga dapat memberikan sanksi dan blokade ekonomi kepada
Myanmar untuk memberikan perlindungan HAM di kawasan.
ASEAN juga dapat menggunakan berbagai mekanisme untuk memberikan bantuan
kemanusiaan ke Myanmar dalam penanganan masalah Rohingya. ASEAN dapat berperan
aktif dalam mencari dan menemukan akar permasalahan konflik antar etnis di Arakan
melalui pembangunan kapasitas dalam perdamaian, mediasi konflik, pencegahan konflik,
manajemen keamanan perbatasan, masalah migrasi, penguatan kapabilitas pemerintahan
lokal dalam manajemen perdamaian dan ketertiban sosial.
ASEAN juga dapat membantu parlemen Myanmar dalam mengkaji dan
mengamandemen undang-undang yang ada mengenai kewarganegaraan, pengungsi, dan
orang-orang tanpa kewarganegaraan dengan perubahan yang memungkinkan pemerintah
pusat dan otoritas lokal menangani masalah ini. Pemerintah Myanmar telah terbuka dengan
gagasan pemberian status kewarganegaraan kepada orang Rohingya yang memenuhi
kualifikasi di Arakan, ini adalah sebuah kesempatan positif yang seharusnya dapat
dioptimalkan oleh ASEAN.
ASEAN seharusnya dapat membangun supremasi hukum di atas hukum nasional
negara anggota khususnya Myanmar dalam isu perlindungan hak asasi manusia. Dengan
kata lain konstitusi nasional, hukum perundangan, kebijakan dan tindakan dari negara
anggota ASEAN dapat dikoreksi dan dianulir jika bertentangan dengan tujuan, prinsip dan
kebijakan ASEAN dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Dalam konteks krisis
kemanusiaan Rohingya adanya pembentukan mahkamah konstitusi ASEAN yang memiliki
wewenang dan otoritas untuk melakukan peninjauan, pembatalan dan amandemen undangundang dan kebijakan nasional Myanmar menjadi suatu hal yang sangat penting dalam
upaya perlindungan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.
ASEAN kemudian mendorong pelaksanaan doktrin Responsibility to Protect (R2P)
dalam penanganan krisis kemanusiaan Rohingya. ASEAN bekerjasama dengan negara
anggota mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia dapat mengambil peranan
penting untuk mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa muslim
Rohingnya. Selain itu ASEAN diharapkan dapat pro-aktif untuk berdialog dengan negara12

Ian G. Robinson and Iffat S. Rahman, The Unknown Fate of the Stateless Rohingya, Oxford Monitor of Forced Migration Volume 2,
Number 2, pp. 16-20, http://oxmofm.com/wp-content/uploads/2012/11/Robinson-and-Rahman-FINAL.pdf, diakses pada 16 Agustus
2013

negara perbatasan Myanmar seperti Bangladesh, India dan Thailand dan juga negara-negara
mayoritas muslim seperti Malaysia dan Indonesia dalam menemukan solusi bersama
mengenai nasib ratusan ribu orang pengungsi Rohingya yang sudah terusir dari Myanmar
dan tersebar di berbagai negara. Masalah penyediaan sarana kehidupan mendasar dan
kejelasan mengenai status kewarganegaraan Rohingya menjadi problem utama yang harus
segera diselesaikan.
Referensi
Aungsan, Killing of Traveling Bengali Muslims in Taung-goke, http://www.salemnews.com/articles/august112012/blood-trails-myanmar-tk.php, diakses pada 19 Agustus
2013
Andrew R.C. Marshall, The War of the Rohingnyas, Reuters - Special Report, 15 June
2012, http://graphics.thomsonreuters.com/12/06/MyanmarRohingya.pdf, diakses pada 15
Agustus 2013
Burma : In Search Of A Regional Rohingya Solution Analysis, 1 August 2013,
http://www.eurasiareview.com/01082013-burma-in-search-of-a-regional-rohingya-solutionanalysis/, diakses pada 15 Agustus 2013
R2P Ideas In Brief, ASEAN The Rohingnyas and Myanmars Responsibility to Protect,
Asia Pacific Center for the Responsibility to Protect, AP R2P Brief, Vol. 2 No. 9 (2012),
http://www.r2pasiapacific.org/docs/r2p-ideas-in-brief/r2piIdeas-in-brief-asean-the-rohingyasand-myanmars-r2p.pdf, diakses pada 15 Agustus 2013
Daniel Aguirre, Human Rights the ASEAN Way, JURIST - Forum, Jan. 10, 2012,
http://jurist.org/forum/2013/01/human-rights-the-asean-way.php, diakses pada 15 Agustus
2013
Ian G. Robinson and Iffat S. Rahman, The Unknown Fate of the Stateless Rohingya,
Oxford Monitor of Forced Migration Volume 2, Number 2, pp. 16-20, http://oxmofm.com/wpcontent/uploads/2012/11/Robinson-and-Rahman-FINAL.pdf, diakses pada 16 Agustus 2013
Statement of ASEAN Foreign Ministers on the Recent Developments in the Rakhine
State, http://www.asean.org/news/asean-secretariat-news/item/statement-of-asean-foreignministers-on-the-recent-developments-in-the-rakhine-state-myanmar-phnom-penhcambodia-17-august-2012, diakses pada 15 Agustus 2013
The ASEAN Charter, http://www.asean.org/archive/publications/ASEAN-Charter.pdf,
diakses pada 18 Agustus 2013

Você também pode gostar