Você está na página 1de 17

Tugas Makalah

Pendidikan Kewarganegaraan
Analisis Fenomena Hukum Di Indonesia

Disusun Oleh :
Adrian Rifqi Anshari

(125060300111030)

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut sesuai dengan yang telah
tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI 1945 perubahan ketiga. Maka sudah
sewajarnya semua masyarakat yang hidup di Indonesia tunduk dan patuh terhadap
peraturan hukum yang ditetapkan. Karena memang sifat dari hukum itu sendiri adalah
sebuah peraturan yang memaksa dan menyeluruh.
Idealnya, hukum di Indonesia diciptakan untuk menjamin keadilan setiap
masyarakat Indonesia itu sendiri. Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan
justru banyak terjadi ketidakadilan hukum. Sebagai contoh, dalam berbagai tayangan
televisi dapat kita lihat bahwa betapa tidak ada jaminan kepastian akan hukum dan
keadilan dalam berbagai ruang di Indonesia. Kasus-kasus kecil terkesan begitu
mudahnya diselesaikan, sementara orang-orang dengan kasus yang begitu besar tidak
terselesaikan, bahkan banyak dari mereka yang keburu meninggal sebelum kasusnya
tuntas. Indonesia membutuhkan keadilan untuk bisa menata kembali kehidupan
bernegaranya.
Negara ini membutuhkan pemimpin dan penegak hukum yang tegas dan adil tanpa
memihak kepada siapapun. Karena sekarang ini sudah banyak perkara/kejadian para
aparat hukum yang melanggar hukum itu sendiri. Karena dengan adanya pemimpin
dan penegak hukum yang tegas dan adil, akan tercipta negara yang damai dan adil.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini, yaitu bagaimana kondisi hukum
dan peradilan di Indonesia? Dan bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan guna
perbaikan hukum dan peradilan di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1. Pengertian Indonesia sebagai Negara Hukum
Istilah negara hukum secara terminologis merupakan terjemahan dari kata
rechtsstaat atau rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim
menggunakan istilahrechtsstaat, sementara tradisi AngloSaxon menggunakan
istilah rule

of

law.

Di

Indonesia,

istilah rechtsstaat dan rule

of

law biasa

diterjemahkan dengan istilah Negara Hukum (Winarno, 2007 dalam Triharso 2013).
Indonesia merupakan negara hukum yang bersumber pada Pancasila dan bukan
berdasar atas kekuasaan. Sifat negara hukum hanya dapat ditunjukan jika alat-alat
perlengkapannya bartindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang ditentukan
lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturanaturan itu.
Ciri-ciri bagi suatu negara hukum, antara lain sebagai berikut.
1) Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam
bidang politik, hukum, sosial ekonomi, dan kebudayaan.
2) Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak
memihak.
3) Legalitas dalam arti hukum dalam bentuknya. Pancasila sebagai dasar negara yang
mencerminkan jiwa bangsa Indonesia harus menjiwai semua peraturan hukum dan
pelaksanaanya.
Ketentuan ini menunjukan bahwa di negara Indonesia dijamin adanya
perlindungan hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dan
bukan kemauan seseorang yang menjadi dasar kekuasan. Adalah menjadi kewajiban
bagi setiap penyelenggara negara untuk menegakan keadilan dan kebenaran
berdasarkan Pancasila yang selanjutnya melakukan pedoman peratura-peraturan

pelaksanaan. Di samping itu, sifaat hukum berakar pada kepribadian bangsa dan bagi
Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila, hukum
mempunyai sifat pengayoman agar cita-cita luhur bangsa Indonesia tercapai dan
terpelihara.
Konsepsi negara hukum yang dulu dikesankan menganut rechtsstaat sekarang
dinetralkan menjadi negara hukum saja, tanpa label rechtsstaat diletakkan di dalam
kurung. Dengan demikian, politik hukum kita tentang konsepsi negara hukum
menganut unsur-unsur yang baik dari rechtsstaat dan the rule of law, bahkan sistem
hukum lain sekaligus. Dulu, konsep negara hukum ditegaskan di dalam Penjelasan
UUD dengan kalimat Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat)..., namun sekarang Penjelasan UUD sudah tidak berlaku dan pernyataan
prinsip negara hukum itu penuangannya di dalam konstitusi dipindahkan ke dalam
Pasal 1 ayat 3 dengan kalimat yang netral, yaitu Negara Indonesia adalah negara
hukum. (Moh. Mahfud MD, 2010:52).
Penetralan kalimat ini bukan tidak penting karena di dalamnya terkandung konsep
prismatik tentang negara hukum, yakni penggabungan unsur-unsur baik dari berbagai
konsep yang berbeda ke dalam satu konsep yang menyatu (integratif) yang
implementasinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan. Dalam konteks ini,
misalnya, disebutkan bahwa konsep negara hukum Indonesia menerima prinsip rasa
keadilan di dalam the rule of law serta nilai spiritual dari hukum agama. Hukum
tertulis dan segala ketentuan proseduralnya (rechtsstaat) diterima di dalam negara
hukum Indonesia tetapi semua itu harus diletakkan dalam rangka menegakkan
keadilan (the rule of law); ketentuan-ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan
dapat ditinggalkan. Penguatan dari kosep ini adalah penyebutan di dalam fungsi
kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan seperti tertulis pada
Pasal 24 ayat 1 serta penegasan di dalam Pasal 28D ayat 1 tentang hak memperoleh
kepastian hukum yang adil dan Pasal 28H bahwa hukum harus dibangun berdasarkan
keadilan dan kemanfaatan (Moh. Mahfud MD, 2010:52).
2. Arti Tindak Pidana Jabatan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku, yang
dimaksud dengan tindak pidana jabatan atau ambtsdelcten ialah sejumlah tindakan

pidana tertentu, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat
sebagai pegawai negeri. Agar tindak pidana yang dilakukan oleh para pegawai negeri
itu dapat disebut tindak pidana jabatan, maka tindak pidana tersebut harus dilakukan
oleh para pegawai negeri yang bersangkutan dalam menjalankan tugas jabatan mereka
masing-masing. Pelanggaran jabatan telah diatur oleh pembentuk undang-undang
dalam Buku ke-III Bab ke-VIII KUHP. (P.A.F. Lamintang, 2009:1)
Kita telah mengetahui sesuatu hal dalam hubungan fungsi negara dalam
masyarakat. Negara dalam masyarakat, menurut Herman Heller adalah sebagai
suatu Teritoriale Gezag Organisatie, yaitu suatu organisasi kewibawaan yang berada
dalam suatu wilayah tertentu. Gezag (kewibawaan) ialah kekuasaan yang telah diakui.
Max Weber, seorang sosiolog bangsa Jerman, mengatakan bahwa kewibawaan itu bisa
didasarkan atas kharismatik, tradisional, dan rasional (C. S. T. Kansil, 2011:372).
3. Kondisi Hukum dan Peradilan di Indonesia
Di era reformasi ini, kekuasaan kehakiman (lembaga yudikatif), yang sudah lebih
dimandirikan berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 1999, justru menjadi lebih korup
dibandingkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Kebebasan lebih luas yang
oleh UU kepada para hakim untuk bebas melakukan korupsi peradilan dengan
berbagai variasinya (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Pada akhir Juni 2006 yang lalu, hakim Herman Alositandi dijatuhi hukuman 4,5
tahun penjara oleh pengadilan karena terbukti ia menyuruh seorang panitera untuk
memeras seorang saksi kasus Jamsostek dengan ancaman saksi tersebut akan
dijadikan tersangka. Pada pekan yang sama, mantan Hakim Tinggi, Harini Wijoso,
juga divonis 4 tahun penjara karena terbukti berusaha menyuap majelis Hakim Agung
(Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Harini Wijoso terbukti melakukan permufakatan jahat dengan melakukan
percobaan suap terhadap hakim agung di MA untuk memengaruhi putusan kasasi
kasus Probosutedjo. Harini dikenai Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Tipikor. Selain itu, Harini
juga dijerat dengan Pasal 15 dan 13 undang-undang tersebut karena telah berusaha

memengaruhi para penyelenggara negara dengan cara memberi hadiah kepada para
pejabat atau penyelenggara negara tersebut (Ramli dalam Deni Setyawati, 2008:75)
Tak ada yang membantah tentang bobroknya dunia peradilan sekarang ini. Padahal
lembaga peradilan adalah harapan utama untuk tampil sebagai leading sector dalam
pemberantasan KKN, dengan logikanya: Indonesia hancur atau terperosok ke dalam
krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan
juga korupsi. Dengan demikian, salah satu persoalan utama terletak di korupnya dunia
peradilan. Karena korupnya lembaga kekuasaan kehakiman, maka lembaga-lembaga
penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengacara juga menjadi
semakin korup. Misalnya, banyak pengacara yang lebih mengandalkan lobi dalam
menangani kasus, bukan mengandalkan kelihaian dalam membangun argumen yuridis
untuk memenangkan perkara. Bahkan untuk kasus-kasus yang melibatkan orang
penting, tim pengacaranya dilengkapi juga dengan tim lobi yang mencari peluangpeluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih buruk lagi, ditengara
bahwa sekarang ini saksi ahli pun bisa dipesan untuk mengatakan hal tertentu dengan
tarif imbalan tertentu pula (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Beberapa contoh di atas, yang menunjukkan bahwa berbagai peraturan selalu bisa
diakali, memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia adalah
budaya. Namun, Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A
Study of Institutional Collapse, mengatakan nonsens menyebut korupsi sebagai
budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia peradilan, menurut
Pompe, judicial corruption baru muncul setelah peristiwa Malari tahun 1974 ketika
lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan mulai dimasuki oleh) kepemimpinan
militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah unuk mengokohkan
kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman. Sejak itu, kata Pompe,
terjadilah kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di kalangan hakim
(Sebastian Pompe dalam Moh. Mahfud MD, 2010).
Pendapat Pompe itu sejalan dengan hasil studi yang pernah penulis (Moh. Mahfud
MD) lakukan yang menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia,
tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui
pimpinan yang tegas dan penuh integritas dalam menegakkab hukum. Pada masa itu,

tercatat nama harum Jaksa Agung, Soeprapto, yang tegas mengajukan siapapun,
termasuk menteri, ke pengadilan karena tindak pelanggaran hukum. Selain itu, pada
saat itu muncul hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti
melakukan tindak pidana.
Dengan demikian, pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat
diterima atas dasar dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta
sejarah. Kedua, mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa apa pun yang
akan mengalami kegagalan mengingat budaya itu sangat sulit untuk diubah.
Walaupun banyak di antara warga masyarakat yang memiliki kreativitas tinggi
untuk selalu mengorupsi dan memanipulasi peraturan-peraturan yang dibuat, hal itu
bukan berarti bahwa korupsi sudah benar-benar menjadi budaya. Sejarah
membuktikan bahwa korupsi bisa diatasi manakala tampil pemimpin yang
mempunyai ketegasan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu (Moh. Mahfud
MD, 2010:170).
B. Masalah
Dari tahun 1945 sampai dengan tahun 2001 belum ada yang berani menyatakan
dengan sungguh-sugguh bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah
Negara Hukum. Baru kemudian pada tahun 2001, saat amandemen III UUD 1945
disahkan dengan menambahkan satu ayat yang berisi Indonesia adalah negara
hukum. Dengan dinyatakannya dalam UUD Negara RI 1945 bahwa negara Indonesia
adalahnegara hukum, maka dengan ini dapat kita pahami bahwa segala tingkah laku
manusia baik melakukan perbuatan hukum atau tidak melakukan perbuatan harus
menuruti peraturan yang berlaku.
Jadi dengan diundangkan dan diberlakukannya peraturan atau undang-undang,
maka dengan ini semua orang dianggap sudah mengetahui tentang undang-undang
atau peraturan tersebut. Namun sebenarnya patokan tersebut bukanlah hal yang benar,
karena pada kenyataannya masih banyak orang yang masih belum paham akan hukum
di Indonesia, terutama orang yang tinggal di daerah-daerah pedalaman.

Suatu negara hukum di manapun, memiliki tujuan pokok yang sama, yaitu
melindungi hak asasi manusia dan menciptakan kehidupan bagi warga yang
demokratis. Keberadaan suatu negara hukum menjadi prasyarat bagi terselenggaranya
hak asasi manusia dan kehidupan demokratis. Dasar filosofi perlunya perlindungan
hukum terhadap hak asasi manusia adalah bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar
kodrati setiap orang yang keberadaannya sejak berada dalam kandungan, dan ada
sebagai pemberian Tuhan, oleh sebab itu negara wajib melindunginya. Perlindungan
hak asasi manusia di Indonesia sendiri secara yuridis didasarkan pada UUD Negara
RI 1945.
1. Ketidakadilan Hukum di Indonesia
Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum
seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia seolah tak lagi
takut pada hukum yang berlaku di negara ini. Kebanyakan orang akan bicara bahwa
hukum di Indonesia itu dapat dibeli. Mereka yang mempunyai kekuasaan, mereka
yang menang. Mereka yang punya uang banyak, pasti aman dari gangguan hukum
walaupun aturan negara dilanggar. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa
karena hukum dapat dibeli, maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk
melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Praktik penyelewengan
dalam proses penegakan hukum, seperti mafia hukum dan peradilan, peradilan yang
diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang mudah ditemui
dalam penegakan hukum di negeri ini.
Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang
dideskripsikan Plato, bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu
menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. Kualitas
sebagai negara hukum di Indonesia tidak lepas dari lemahnya etika para profesional
hukum. Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode etik profesi
karena beberapa alasan yang paling mendasar, baik sebagai individu anggota
masyarakat, maupun karena hubungan kerja dalam organisasi profesi.
2. Kasus-kasus Ketidakadilan Aparat Penegak Hukum

Aparat penegak hukum sepertinya sudah benar-benar tak peduli lagi dengan
keadilan warga negara. Mereka hanya bisa garang saat berhadapan dengan orang
kecil, tetapi seketika nyali menciut saat berurusan dengan para penguasa. Segala
macam kritik masyarakat hanya masuk telinga kanan, lalu keluar dari telinga kiri.
Semakin kentara jika membandingkan penanganan kasus kecelakaan maut anak
Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Rasyid Rajasa dengan kasus loncatnya mahasiswi
Universitas Indonesia Annisa Azward dari angkot. Memang dalam kasus ini Annisa
adalah korban, dan sopir angkot, Jamal bin Samsuri yang terjadi hari Rabu tanggal 6
Februari 2013 memang harus diperiksa.
Tetapi yang mengherankan adalah soal penahanan. Sejak kejadian, Jamal langsung
ditahan di Unit Lantas Daan Mogot, Jakarta Barat. Hasil pemeriksaan belum
ditemukan adanya unsur kriminalitas, seperti percobaan perampokan, pemerkosaan,
dan penculikan. Dugaan sementara mahasiswi semester empat itu nekat loncat karena
ketakutan.
Jika memang dalam perjalanan ditemukan unsur pidana, tentu Jamal harus
dihukum dengan ketentuan yang berlaku. Kini polisi sudah menetapkan Jamal sebagai
tersangka, dengan dijerat Pasal 283 dan Pasal 310 ayat 3 UU Lalu Lintas, yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang dan diancam hukuman 5 tahun penjara. Selain
itu, Jamal juga bisa dijerat dengan UU Lalu Lintas karena membawa angkot di luar
trayek.
Jika menengok kasus Jamal tentu tak seberat dengan Rasyid. Putra bungsu Hatta
Rajasa itu pada 1 Januari 2013 silam, mengemudikan mobil BMW dengan kecepatan
tinggi lalu menabrak mobil Luxio di Tol Jagorawi. Dalam kecelakaan tersebut dua
orang meninggal. Memang Rasyid sudah menjadi tersangka, tapi diistimewakan.
Rasyid dijerat pasal 283, 287, dan 310 UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009, dengan
ancaman hukuman 6 tahun penjara.
Setelah kejadian, polisi tidak menahan Rasyid dengan alasan trauma, dan pihak
keluarga memberi jaminan Rasyid akan kooperatif. Ternyata Rasyid kembali
mendapat perlakuan khusus. Saat pelimpahan berkas tahap kedua dari Polda Metro
Jaya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, Rasyid tidak ditahan.

Kasus yang dialami sopir angkot lebih ringan jika dibandingkan dengan kasus anak
Hatta yang menelan korban jiwa. Seharusnya, jika Jamal yang belum terbukti
melakukan pidana ditahan, Rasyid juga mendapat perlakukan yang sama.
Kasus lain adalah mengenai bebasnya Gayus Tambunan, terdakwa kasus
penggelapan pajak, kasus Nazarudin, Tersangka kasus korupsi wisma atlet ASEAN
Games ini menghabiskan 6 triliun rupiah kas negara, namun belum diproses secara
formal hingga kini. Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah ironis bagaimana seorang
tersangka Tipikor yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang
merupakan mantan Bupati Kutai, Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan
atas petimbangan MA masa tahanannya dikurangi 3 tahun karena yang bersangkutan
menderita sakit parah dan berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar
yang saat itu menjabat sebagai Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari
pemberian grasi tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi
yang diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau
hanya menyatakan itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya
menjalankannya.
Kemudian kasus penabrakan pejalan kaki di trotoar oleh pengemudi mobil
Daihatsu Xenia bernama Aftriani Susanti. Setelah diselidiki, penyebab penabrakan
tersebut diketahui bahwa sang pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan sabusabu. Namun, yang menakjubkan ialah ia hanya dikenakan vonis 6 tahun penjara,
padahal kesalahannya berlipat ganda, yaitu membunuh orang, merusak trotoar,
mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol.
Sebuah fenomena menarik dapat kita simpulkan dari vonis masa tahanan yang
diberikan pada kasus-kasus diatas. Kesalahan mereka sangat berat dan merugikan
banyak orang. Namun, ketika uang disodorkan pada penegak hukum, segala perkara
dapat selesai dengan mudah, semua dapat diperingan. Bayangkan dengan kondisi
kronis yang dialami rakyat kecil.
Sebagai contoh, seorang pencuri buah kakao di perkebunan swasta, ia hanya
mengambil buah-buah yang jatuh dari pohon, kemudian hendak dijualnya untuk

mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun, pemilik kebun tidak terima dan


melaporkan kejadian itu ke polisi. Pencuri buah kakao ini pun divonis 1,5 bulan
penjara, padahal pencuri ini adalah seorang nenek berusia senja, memang apapun
namanya mencuri adalah kesalahan dan tidak dapat dibenarkan. Namun demikian
jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Apa mungkin seorang
nenek berusia lanjut dan buta huruf dihukum hanya karena ketidaktahuan dan
keawamannya tentang hukum.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang
memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Kita seharusnya merasa
malu dengan moral bangsa ini yang begitu naif. Ada pertanyaan besar yang timbul
dari serangkaian kasus di negeri ini, apakah hukum di Indonesia bisa dibeli dengan
uang? Jika bisa, konglomerat tidak perlu takut melanggar hukum karena mereka dapat
bernegoisasi di belakang pengadilan agar mendapatkan keringanan hukum. Yang
menjadi masalah adalah rakyat kecil yang semakin tidak terlindungi dan semakin
tertindas.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan mandiri
sedangkan hukumnya saja di kontrol dengan uang? Indonesia bahkan belum dapat di
bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan
pemerintahannya sendiri. Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini.
Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam
praktik peradilan. Di negeri ini, law enforcement diibaratkan bagai menegakkan
benang basah kata lain dari kata sulit dan susah untuk diharapkan.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang
lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat
diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang
berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian
hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang
sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita
hukum di negeri ini tidak akan pernah memihak kepada mereka yang lemah dan
miskin.

Supremasi hukum di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan


kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia.
Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan
harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Namun keadaan yang terjadi di Indonesia
adalah hal yang sebaliknya. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan
sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya
kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum.
Tetapi peraturan sudah diundangkan, UUD Negara RI 1945 sudah diamandemen
dan yang paling penting segala ketetapan atau ketentuan tersebut sudah diberlakukan.
Jadi marilah kita sama-sama belajar tentang hukum yang berlaku di Indonesia ini.
Hukum yang diakui oleh negara ini. Yang tujuan sebenarnya adalah tidak lain sematamata untuk kebaikan bangsa ini sendiri.
C. Analisis Masalah
1. Analisis Sistem Hukum Indonesia
Dalam pengertian umum Hukum di indonedia didefinisikan sebagai seperangkat
kaedah atau ukuran yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan manusia sebagai warga masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari
sumber lain, yang diakui berlakunya otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut.
Hukum memiliki begitu banyak dimensi dari macam, sumber, tujuan, jenis dan lain
sebagainya, untuk itu semua Hakim tidak begitu saja memutuskan kasus itu benar
atau salahnya melainkan harus memperhatikan berbagai pertimbangan yang ada, dan
melalui prosedur yang ada pula. Berikut ini saya mencoba menganalisis tentang kasus
Hukum Minah yang Mencuri Kakao berdasarkan Konsep-konsep Sistem Hukum
Indonesia.
a. Salah / Tidak Minah & Kakao
- Landasan Teori :
Menurut sifatnya hukum dapat didefinisikan menjadi dua yaitu salah satunya
adalah bersifat Non Dogmatis artinya adalah bahawa pandangan ini melihatt hukum

tidak sekedar sebagai seperangkat kaedah atau atauran belaka, ada norma-norma,
moral-moral lain yang perlu dipertimbangkan disamping aturan tertulis itu.
Hukum Pidana merupakan salah satu dari hukum publik yang mengatur tentang
pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan/siksaan. Keseluruhan UU pidana
yang isisnya menunjukan pristiwa pidana yang disertai dengan ancama hukuman atas
pelanggarannya.
-

Analisis :
Hukum Positif (Dogmatif-Normatif), dalam pengertian yang sudah kita

paparkan diatas bahwa hukum Positif ini tidak memandang aspek-aspek lain kecuali
yang sudah tertulis dalam undang-undang. Dalam pandangan obyektif bahwa yang
dilakukan Minah yaitu memetik atau mengambil buah kakao tanpa ijin dari yang
punya merupakan tindak pencurian. Atas dasar ini lah sesuai dengan Pasal 21 & Pasal
47 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang berbunyi
Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan
kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau
tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. (pasal 21)
Ayat 1. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan
yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan
perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya
usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah). Ayat 2 Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan
tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan
lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan
terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (pasal 47)
Dari undang-undang tersebutlah maka tindakan minah terjerat Hukum Pidana, Pasal
362 KUHP, yang berbubyi :
Barang siapa yang mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum
diancam karena pencurian dengan pidana penjara maksimum lima tahun.

Dari landasan undang-undang perkebunan yang berimplikasi terjeratnya


Pidana Pasal 362 KUHP berdasarkan Hukum posistif yang hanya memperhatikan
hukum tertulis yang ada di undang-undang maka Minah Benar adanya bersalah dan
harus di hukum sesuai persedur yang ada , maka minah mendapatkan hukuman 6
blulan penjara (Normatif). Namun melihat dari sifat Hukum Non Dogmatis maka, ada
pertimbangan-pertimbangan lainnya yang menyebabkan terdakwa diberi keringannan
hukuman, hukum ini tidak hanya melihat dalam hukum tertulis tapi aspek moral yang
ada diluar itu. Akan dijelaskan dalam sub bab pembahasan selanjutnya.
b. Pertimbangan-Pertimbangan
- Landasan Teori :
Menurut sifatnya hukum dapat didefinisikan menjadi dua yaitu salah satunya
lagi Hukum bersifat Dogmatif-Normatif artinya adalah Hukum Hanyalah apa yang
diproduksi oleh Negara yaitu hukum positif, maksudnya adlah hukum merupakan apa
yang tertulis dalam undang-undang, di luar itu merupakan bukan hukum.
-

Analisis :
Melihat dari kasusnya Minah bahwa apabila ditinjau hanya dari Hukum positif

yang sangat bersifat Normatif tanpa memperhatikan aspek-aspek diluar hukum tertulis
maka akan sangat tidak adil mengingat terdapat nilai-nilai moral di luar itu, untuk itu
perlu tinjauan lain guna untuk meringankan yaitu melalui Sifat Hukumnya yang
satunya yaitu Dogmatif-Normatif, disini akan ditinjau tidak hanya pandangan
normatifnya saja melainkan juga terhadap aspek-aspek moral yang ada dalam hukum
positif itu. Berikut aspek-aspek moral yang perlu diperhitungkan antaralain :
- minah telah lanjut usia
- dia adalah petani kakau lanjut Usia
- tiga butir kakao sangat berarti bagi Minah, dan tidak berarti apa-apa bagi
perusahaan.
- disamping itu minah buta huruf dan tidak tau tentang Hukum
pertimbangan-pertimbangan ini lah yang di ambil oleh pak Hakim untuk
meringangkan hukuman Minah.
c. Putusan Hakim
- Landasan Teori :

Berdasarkan Sistem Hukum Eropa Kontinental yang dijadikan dasar


perumusan hukum yang dianut Indonesia bahwa poin-poin tindakan Pak Hakim nya
adalah :
- Hakim tidak dapat leluasa menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat.
- Hakim berfungsi untuk menetapkan dan menafsirkan peraturan dalam batas
wewenang.
-

Analisis :
Dalam landasan teori diatas bahwa jelas adanya hakim tidak boleh sewenang-

wenang terhadap kasus yang dihadapi, semua penyelesaian masalah harus dilakukan
secara procedural walaupun Hakim sempat menangis tapi siding kasus minah tetap di
lanjutkan denagn juga memperhatikan nilai moral yang ada di luar hukum positif yang
ada. Dengan memperhatikan nilai moral yang ada lewat pertimangan-pertimabangan
maka minah hanya dijerat 1,6 bulan hukuman (tahanan rumah).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia adalah negara hukum yang sudah disahkan dalam UUD Negara RI 1945
dan semua warga negaranya sama di mata hukum. Tetapi pada kenyataannya hukum di
Indonesia belum sepenuhnya adil dan untuk mencari keadilan di Indonesia itu tidak
mudah. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa aparat hukum yang seharusnya
patuh dan menegakan hukum, tetapi justru aparat hukum itu melanggar hukum.
Dari kasus Minah ini menunjukan bahwa tidak hanya Hukum Positif saja yang
digunakan untuk melakukan tinjauan terhadap kasus yang dialaminya melainkan juga
hukum yang bersifat non Dogmatis juga digunakan guna mempertimbangakan unsureunsur diluar hukum tertulis. Disamping itu hakim juga tidak mempunyai kewenangan
secara mutalk untuk membuat hukum, hakim dalam menghadapi kasus-kasus yang ada
juga harus sesuai perosedural sesuai Sistem Hukum Indonesia.
Dari kasus mina ini pelajaran yang dapat dipetik adalah kegigihan seorang nenek
tuah dengan jarak pengadilan negeri dan rumahnya cukup jauh, dia berusaha tidak
menghindar dari persidangannya dan tidak mengelak untuk diminta pertanggungjwaban
atas masalah yang sekecil ini, coba refleksikan terhadap para elit-elit birokrat kita yang
justru berusaha menghindar ketika dimintai pertanggungjawaban atas kasus yang mereka
alami misalnya korupsi. Betapa memaluhkannya mereka.
B. Saran

Seluruh warga negara Indonesia harus menjunjung tinggi dan patuh terhadap hukum
agar tercipta keadilan, kedamaian, dan kemakmuran. Keadilan dalam hal apapun, akan
membuahkan kedamaian dan kesejahteraan. Inilah inti kemaslahatan bagi masyarakat
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C. S. T. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Lamintang, P.A.F. 2009. Delik-delik Khusus: Kejahatn Jabatan & Kejahatan Jabatan Tertentu
sebagai Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Mahfud MD, Moh. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Setyawati, Deni. 2008. KPK Pemburu Koruptor: Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam Memperangus Korupsi. Yogyakarta: Pustaka Timur.
Triharso, Ajar. 2013. Buku Modul Kuliah Kewarganegaraan. Surabaya: Universitas
Airlangga.

Você também pode gostar