Você está na página 1de 16

APAKAH PASIEN OSTEOPOROSIS MEMILIKI

PREVALENSI PENYAKIT PERIODONTAL YANG TINGGI?


SEBUAH PENELITIAN CROSS-SECTIONAL
PERIODONTIC JOURNAL READING

Rizky Amalia
1195030
Pembimbing: drg. Henry Mandalas Sp. Perio

BAGIAN PERIODONTIK
PROGRAM PROFESI DOKTER GIGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2015
Periodontic Journal Reading
Tanggal
: 18 Desember 2015
Seminaris
: Rizky Amalia (1195030)
Pembimbing : drg. Henry Mandalas, Sp.Perio

Judul asli

: DoPatientsWithOsteoporosisHaveAnIncreasedPrevalenceOf
PeriodontalDisease?ACrossSectionalStudy

Penulis

: Marjanovic, E. J, et al

Sumber

: International Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis


Foundation 2012

Apakah Pasien Osteoporosis Memiliki Prevalensi Penyakit Periodontal Yang


Tinggi? Sebuah Penelitian Cross-Sectional
Abstrak
Ringkasan, penelitian ini melakukan pemeriksaan, apakah wanita yang mengalami
osteoporosis memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit periodontal. Sejumlah 380
pasien wanita berusia 45-65 tahun dengan hasil pemeriksaan dual energy x ray absorpstion
(DXA) terbaru pada tulang punggung dan tulang femur bagian proksimal dilakukan
pemeriksaan pada rongga mulutnya. Tidak terbukti adanya hubungan antara tingkat
keparahan penyakit periodontal dengan osteoporosis.
Pendahuluan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antara pasien yang mengalami osteoporosis dengan tingkat keparahan penyakit
periodontal, hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang berhubungan antara satu
sama lain.
Metode, pasien wanita berusia 45-65 tahun, yang memiliki hasil DXA terbaru dari
tulang punggung dan tulang femur, dilakukan pemeriksaan klinis pada jaringan periodontal
oleh operator yang tidak mengetahui status osteoporosis dari subjek penelitian.
Pemeriksaan klinis dilakukan selama 6 bulan sejak pemeriksaan DXA. Pemeriksaan
yang dilakukan meliputi basic periodontal examination, gingival bleeding score,
kedalaman poket periodontal, resesi dan kalkulus pada jaringan periodontal. Faktor
predisposisi turut dicatat. Analisis regresi logistik pun dilakukan untuk mengukur hubungan
antara tingkat keparahan penyakit periodontal (ada atau tidak) dengan status osteoporosis

pasien, yang merupakan faktor yang saling berhubungan antara satu sama lain.
Hasil, terdapat 380 subjek penelitinan yang memiliki data DXA, 98 darinya
mengalami

osteoporosis.

Ketika

dibandingkan

dengan

subjek

yang

mengalami

osteoporosis, beberapa subjek yang memiliki densitas mineral tulang yang normal adalah
pasien yang berusia muda (p 0,01) memiliki body masss index yang lebih tinggi (p 0.03)
dan jumlah gigi yang lebih banyak (p 0,01). Prevalensi sampel penelitian yang mengalami
penyakit periodontal yang parah sebanyak 39%. Selisih perbandingan antara tingkat
keparahan osteoporosis dengan penyakit periodontal adalah 1,21 (0,76-1,93). Selisih
perbandingan variable bebas (usia, merokok, hormone replacement therapy, mengkonsumsi
alkohol) sebanyak 0,99 (0,61 1,61).
Kesimpulan, tidak terdapat hubungan antara tingkat keparahan penyakit periodontal
dengan osteoporosis.
Pendahuluan
Periodontitis kronis merupakan penyakit mulut yang sering ditemui. Apabila tidak
mendapat penanganan yang tepat maka gigi dapat mengalami kegoyangan, rasa sakit,
bahkan kehilangan gigi. Prevalensi penyakit periodontal pada orang dewasa adalah 5-55%
tergantung pada pengukuran yang digunakan dan tingkat keparahan. Kehilangan gigi pada
pasien dapat menyebabkan berkurangnya rasa percaya diri dan dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari seperti makan, bersosialisasi di lingkungan umum, dan tertawa.
Penyakit periodontal dan osteoporosis memiliki beberapa kemiripan. Masingmasing dari penyakit tersebut merupakan penyakit kronis yang dapat menyebabkan
kehilangan tulang, dan lebih sering terjadi pada individu yang berusia lanjut; pasien dengan
riwayat keluarga memiliki risiko lebih tinggi, hal serupa ditemukan pada individu yang
merokok. Pada pasien yang mengalami defisiensi estrogen berisiko lebih tinggi untuk
mengalami osteoporosis baik pada rongga mulut maupun sistemik. Mekanisme potensial
antara penyakit periodontal dan osteoporosis tidak diketahui dengan jelas. Pada kedua

penyakit tersebut, terdapat peningkatan produksi sitokin yang menstimulasi aktivitas


osteoklas. Walaupun demikian, penyebab utama dari periodontitis adalah terdapatnya
infeksi dan respon inflamasi penjamu, pada wanita yang mengalami menopause,
osteoporosis disebabkan karena defisiensi estrogen. Tidak menutup kemungkinan terdapat
hubungan antara osteoporosis dengan periodontitis seperti pada pasien dengan low systemic
bone mineral density, pada umumnya pasien tersebut memiliki densitas yang rendah pada
tulang alveolar dan hal tersebut menyebabkan periodontitis berkembang lebih progresif.
Faktor genetik dapat menjadi predisposisi baik pada keadaan sistemik maupun rongga
mulutnya. Pada akhirnya, gaya hidup individu dapat menjadi faktor risiko terhadap
penyakit kehilangan tulang dan penyakit periodontal.
Penelitian ini telah melakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan antara penyakit periodontal dengan osteoporosis, meski pun hal tersebut tidak
terbukti. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara low skeletal
BMD dengan kehilangan tulang periodontal dan gigi geligi. Beberapa penelitian terdahulu
masih ditemukan banyak kelemahan dalam metodologi penelitian, salah satu contohnya
adalah tidak berhasil untuk mengontrol variabel bebas dan jumlah sampel yang digunakan
minimal. Pada penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Payne dan Teyza menunjukan
adanya peningkatan keparahan penyakit periodontal yang berhubungan dengan penurunan
BMD pada lumbar spinalis dan femur pada bagian proksimal. Pada kedua penelitian
tersebut sampel yang digunakan berjumlah minimal, jumlah pasien yang mengalami
osteoporosis tidak disebutkan. Meskipun penelitian yang lebih besar telah dilakukan,
pengukuran densitas tulang dilakukan pada bagian perifer dari tulang skeletal dimana
pengukuran tersebut tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit osteoporosis
secara definitif. Penelitian tersebut mengatakan bahwa penurunan BMD berhubungan
dengan tingkat keparahan penyakit periodontal yang dapat menyebabkan kehilangan gigi,
namun hal tersebut membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Bahan dan Metoda Penelitian

Disain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, dilakukan secara sukarela oleh
subjek penelitian yang berasal dari Manchester dan daerah sekitarnya. Durasi penelitian ini
adalah 2-3 tahun, terhitung sejak Maret 2008 hingga Juni 2010. Pemeriksaan pada pasien
dilakukan selama 2 bulan, dan seluruh data terkumpul pada Agustus 2010.
Partisipan
Pasien wanita berusia 45-65 tahun yang telah dirujuk untuk melakukan pemeriksaan
dual-energy X-ray absorptiometry (DXA) di departemen radiologi klinis, University of
Manchester atau The Nightingale Centre, Wythenshawe Hospital. Subjek penelitian yang
diperiksa untuk central DXA diketahui memiliki penyakit osteoroposis, riwayat keluarga
dengan osteoporosis, premature menopause, asma, penggunaan obat steroid, dan
hipotiroidsme. Hanya pasien wanita dengan hasil pemeriksaan pada tulang femur bagian
proksimal dan lumbar spinalis selama 3 bulan terakhir yang diikutsertakan dalam penelitian
ini. Pertama-tama pasien akan diidentifikasi melalui sistem database rumah sakit. Kriteria
eksklusi meliputi: pasien dengan kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk menyikat
giginya sendiri (seperti stroke, paralysis, dll), leukemia, diabetes mellitus, dan beberapa
penyakit lain yang menggunakan bifosfonat secara intravena. Apabila pasien memenuhi
kriteria inklusi maka pasien akan diberitahukan untuk mengikuti penelitian ini. Penelitian
ini memiliki surat persetujuan etik (no 07/ Q1402/58) dan subjek penelitian telah menanda
tangani inform consent.
Variabel
Pengukuran status periodontal meliputi skor Basic Periodontal Examination (BPE),
skor perdarahan gingiva, kedalaman poket periodontal, resesi, kalkulus, resorpsi, dan
mobility. Faktor risiko eksposur adalah status osteoporosis seperti yang didefinisikan oleh
WHO, diagnosis osteoporosis memerlukan T-score sebesar 2,5 dari standar deviasi atau
nilai BMD yang lebih rendah dari nilai rata-rata pada populasi individu berusia muda

dengan jenis kelamin yang homogen di kedua femur proksimal atau tulang lumar spinalis.
Merokok, usia, hormone replacement therapy (HRT) dan konsumsi alkohol
merupakan variabel bebas dalam penelitian ini. Pasien akan tercatat sebagai pengguna
alkohol apabila pasien mengkonsumsi minuman beralkohol sebanyak 3 botol atau lebih
perhari (hal tersebut merupakan ambang batas yang digunakan untuk mengetahui konsumsi
alkohol oleh WHO). Kebiasaan merokok pada pasien dan hormone replacement therapy
juga dicatat dalam penelitian ini. Tinggi dan berat badan pasien dicatat pada saat pasien
melakukan pemeriksaan DXA. Faktor yang berpotensi sebagai bias penelitian telah
dikontrol oleh status osteoporosis pasien tidak dijeaslkan secara langsung terhadap peneliti.
Pengumpulan Data
Pemeriksaan pada subjek penelitian dilakukan selama 6 bulan, pemeriksaan DXA
dan penilaian status periodontal dilakukan secara terpisah. Subjek yang memenuhi kriteria
inklusi akan diundang ke Universitas Manchester untuk dilakukan pemeriksaan rongga
mulut. Riwayat medis pasien telah dicatat dalam rekam medis dari Central Manchester
University NHS Foundation Trust.
Pemeriksaan klinis dilakukan pada pasien wanita yang masih meiliki gigi. Pemeriksaan
dilakukan oleh dokter gigi menggunakan probe Florida (Florida Probe Corporation,
Gainesville, USA). Dengan sistem komputer probe Florida yang terintegrasi probing pada
jaringan periodontal dilakukan dengan tekanan yang konstan. Pemeriksaaan poket
periodontal setiap gigi dilakukan dari ketiga sisi baik pada bukal maupun lingual.

Pengukuran Utama: Tingkat Keparahan Penyakit Periodontal


Penyakit

periodontal

dikategorikan

melalui

kriteria

British

Society

of

Periodontology, dimana pasien dikatakan mengalami penyakit periodontal yang berat


apabila skor BPE adalah 4 atau lebih dari setiap regio. Dalam menggunakan indeks

tersebut, skor BPE dapat bernilai 4 apabila gigi yang diperiksa memiliki kedalaman poket
periodontal 5,5 7,5 mm hampir seluruh regio. Sebagai informasi tambahan, skor BPE
bernilai 0 apabila tidak terdapat poket > 3,5mm, tidak terdapat kalkulus/overhang dan tidak
ada bleeding on probing. Skor BPE bernilai 1 apabila tidak terdapat poket >3.5 mm, tidak
terdapat kalkulus/overhang, tetapi mengalami bleeding on probing; Skor BPE bernilai 2
jika tidak terdapat poket > 3,5mm tetapi terdapat kalkulus supra/subgingiva dan overhang;
skor BPE bernilai 3 apabila terdapat kedalaman poket 3,5-5,5 mm. Tingkat keparahan
penyakit periodontal di analisis menggunakan 2 pengukuran, dimana skor BPE 4 atau lebih
terjadi pada 1 regio (SPD1) atau 2 regio (SPD2).
Perdarahan
Bleeding score dicatat dalam status apabila terjadi perdarahan spontan pada saat
probing walaupun dengan tekanan yang ringan. Peneliti melakukan pengukuran jumlah dan
persentasi daerah yang mengalami perdaraan pada saat dilakukan probing.
Kedalaman Poket Periodontal dan Resesi
Dalam penelitian ini dlakukan pengukuran resesi dan poket periodontal. Masingmasing subjek penelitian yang memiliki poket periodontal > 3,4mm dicatat dalam
penelitian ini.
Kalkulus
Gigi pasien diperiksa menggunakan Oral Hygiene Index. Gigi pasien dikelompokan
ke dalam 6 permukaan, masing-masing permukaan akan dilakukan pemeriksaan dan
hasilnya akan dicatat, dan skor kalkulus dicatat dari masing-masing permukaan gigi yang
paling banyak ditutupi oleh kalkulus. Adapun skor kalkulus sebagai berikut:
0: Tidak terdapat kalkulus
1: Kalkulus supragingiva yang menutupi kurang dari 1/3 permukaan gigi.

2: Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari 1/3 tetapi kurang dari 2/3
permukaan gigi, atau terdapat bercak kalkulus subgingiva pada daerah servikal gigi
atau dapat keduanya.
3: Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi atau terdapat
kalkulus subgingiva yang berlanjut hingga daerah servikal gigi dengan jumlah yang
banyak atau dapat keduanya.
Skor kalkulus akan dijumlahkan dan dibagi berdasarkan jumlah skor/segmen pada
masing-masing individu,. Apa bila tidak terdapat gigi pada seluruh regio, maka
pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan.
Resorpsi dan Mobility
Gigi yang mobility-nya melebihi batas fisiologis dan terdapat resesi yang lebih dari
3 mm, dicatat dalam penelitian ini.
DualenergyXrayabsorptiometry
Pusatpemeriksaan DXA padalumbarspinalisdanfemurproksimaldilakukandi
Hologic Discovery (Central Manchester and Withington) dan the GE Lunar Prodigy
(CentralManchester). PengukuranBMD,skorTdanZL1L4,tulangfemur,danpinggul
dicatatdalampenelitianini,Pemeriksaanpadapasiendilakukandengan3metodeyang
berbeda,haltersebutperludilakukanuntukmenghasilkandatapasienyangakurat.Untuk
melakukan kalibrasi, European Spine Phantom (ESP) melakukan pemeriksaan pada
masingmasing scanner baikdiawalmaupundiakhirpenelitian.Ukuranyangdiberikan
oleh ESP digunakansebagaistandarisasi,dalamhalini ESP menggunakanmetodayang
dijelaskanolehPearsondkk.SkorTdanZpadalumbarspinalisdijumlahkanmenggunakan
datayangbersumberdariHologic,sedangkanpadafemurproksimalmenggunakandata
yangbersumberdariNHANES.
PerhitunganJumlahSampel

Prevalensi penyakit periodontal pada usia 40-70 tahun dalam masyarakat adalah
sebanyak 10-20%. Sebanyak 540 pasien dihitung untuk mendeteksi perbedaan dari 10%
pada prevalensi penyakit periodontal antara osteoporosis dan kelompok kontrol dengan
80% power dan 5% tingkat signifikansi. 10% tersebut mewakili perbedaan prevalensi
tingkat keparahan penyakit periodontal 15% dalam kelompok non-osteoporotic dan 25%
dalam kelompok osteoporotic. Hipotesis dari penelitian ini diuji menggunakan regresi
logistik penyakit periodontal yang parah (ada atau tidak ada) sebagai hasil, status
periodontal sebagai eksposur dan medikasi (HRT), kebiasaan konsumsi alkohol, merokok
dan usia sebagai kovariasi.
Metoda Statistik
Dalam penelitian ini dilakukan 2 analisis. Pada analisis pertama, peneliti melakukan
pengelompokan pasien yang memiliki penyakit periodontal yang berat jika pasien memiliki
skor BPE 4 atau total attachment loss >7mm paling tidak dalam satu regio (SPD1). Pada
analisis kedua, peneiliti mengklasifikasi pasien yang memiliki penyakit periodontal yang
berat jika pasien memiliki skor BPE 4 atau total attachment loss >7mm pada 2 regio
(SPD2).
Dari penelitian-penelitian sebelumnya, beberapa pengukuran yang berpengaruh
pada hasil variabel dianggap layak dimasukkan dalam analisis yang telah disesuaikan.
Beberapa diantaranya adalah yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan rongga mulut
(Oral Hygiene Index, konsumsi alkohol, hormone replacement therapy, usia dan kebiasaan
merokok). Perkiraan yang sudah sesuai dan belum sesuai turut diperhitungkan dalam
penelitian ini. Regresi ogistik telah ditentukan untuk hasil pengukuran penyakit periodontal
(SPD1 atau SPD2; ada atau tidak ada) yang disertai dengan status osteoporosis, konsumsi
alkohol, hormone replacement therapy, usia dan kebiasaan merokok.

Hasil

Sebanyak 398 subjek penelitian dihadirkan untuk dilakukan pemeriksaan pada


rongga mulutnya, pada pemeriksaan periodontal subjek penelitian hanya berjumlah 381
pasien dikarenakan adanya pasien yang tidak bergigi sebanyak 7 orang dan sisanya karena
penyebab lain (reflek muntah yang tinggi, peralatan yang mengalami kerusakan, dan gigi
yang sensitif). Subjek penelitian ini terdiri dari 381 pasien yang masih meiliki gigi, data
BMD yang tersedia sebanyak 380 (282 tanpa osteoporosis dan 98 dengan osteoporosis).
Ringkasan karakteristik pasien dapat dilihat pada tabel 1. Wanita yang tidak
mengalami osteoporosis berusia lebih muda (p00.01) dan memiliki BMI yang lebih tinggi
(p00.03) daripada wanita yang mengalami osteoporosis. Pada kedua kelompok tersebut
terdapat perbedaan jumlah gigi (independent samples median test p00.01). Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara subjek yang merokok (x 2 00.36, p00.54), hormone
replacement therapy (2 01.21, p00.29), mengkonsumsi alkohol (2 00.04, p00.86), baik
pada kelompok osteoporosis dan non-ostoporosis.

10

Hasil analisis pada subjek dengan kovariasi dan tanpa kovariasi dapat dilihat pada
tabel 2. Prevalensi penyakit periodontal yang parah (SPD1) pada sampel sebanyak 39%
(sebagai referensi 150/380). Pada pasien tanpa kovariasi, perbandingan antara osteoporosis
dan penyakit periodontal yang parah (SPD1) adalah 1.21 (95% SD 0.76-1.93). Subjek
dengan kovariasi (usia, kebiasaan merokok, hormone replacement therapy, dan konsumsi
alkohol) adalah 0,99 (95% SD0.61-1.61). Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan. (Log 0-190.73, pseudo R2 00.02). Dalam penelitian ini
hubungan antara osteoporosis dengan tingkat keparahan penyakit periodontal tidak terbukti
(SPD1) walaupun telah ditambahkan dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi.
Terdapat perbedaan yang signifikan pada indeks plak dan kalkulus antara pasien yang
memiliki penyakit periodontal dengan pasien yang tidak memiliki penyakit periodontal
(p<0.001) (Tabel 3).
Diskusi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah wanita yang memiliki
penyakit osteoporosis memiliki risko yang tinggi untuk mengalami penyakit periodontal.
Dari hasil analisis data pada populasi penelitian ini tidak membuktikan adanya hubungan
antara osteoporosis dengan penyakit periodontal yang parah. Walalupun pada penelitian ini
menyatakan demikian, pada dasar biologis menyatakan bahwa kedua penyakit tersebut
dapat berhubungan satu sama lain. Osteoporosis dapat terjadi di seluruh skeletal tubuh,
termasuk mandibula dan maksila. Hal tersebut dapat menyebabkan kehilangan tulang,
dimulai dari terbentuknya porositas pada tulang, hingga membentuk pola seperti trabecular
dalam tulang alveolar. Di sisi lain, infeksi periodontal dapat menyebabkan tubuh melepas
mediator inflamasi yang dapat mempercepat proses resorpsi tulang alveolar, hal tersebut
merupakan tanda khas dari penyakit periodontal. Untuk mendukung penelitian ini,
ditemukan oods ratio (OR) pada sejumlah literatur antara 2.58 (1.106.82) [22], 2.58 (1.08
6.19) [23], 3.0 (1 9.6) [14] dan 1.75 (1.092.82) pada wanita menopause. Penelitianpenelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan yang siginifikan antara

11

osteopororsis dengan penyakit periodontal. Walaupun demikian, terdapat penelitian yang


menyatakan adanya hubungan antara penyakit periodontal dengan osteoporosis, dari
masing-masing penelitian tersebut masih memiliki kekurangan yang sama, hal tersebut
yang membuat peneliti sulit untuk menyimpulkannya. Sebagai contoh, dari masing-masing
penelitian tersebut terdapat perbedaan definisi dari penyaki periodontal. Pada kenyataanya,
penelitian yang dilakukan oleh Pasos dkk menyorot masalah tersebut. Dalam penelitiannya,
Pasos membandingkan sejumlah metode untuk mendefinisikan penyakit periodontal yang
sebelumnya digunakan dalam penelitian lain. Dengan menerapkan definisi penyakit
periodontal yang bervariasi pada data penelitian tersebut, maka ditemukan bahwa OR dapat
bervariasi antara yang tidak signifikan (1.87; 0.74 to 4.71) dan yang sangat signifikan
(3.90; 1.22 to 11.49).

Penelitian lainnya menyatakan bahwa perubahan pada odds ratio sangat


tergangtung dari definisi penyakit periodontal. Dalam penelitian yang dilakukan pada
individu berusia lanjut oleh Moedano dkk menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara penyakit periodontal dengan osteoporosis ketika penyakit periodontal didefinisikan
sebagai penyakit yang menyebabkan clinical attachment loss (CAL) (OR 1.36(0.80-2.31).
Tetapi, jika penyakit periodontal didefinisikan sebagai persentase gigi yang mengalami
kehilangan gigi lebih dari 4 mm, maka OR akan meningkat hingga 1.82 (1.04-3.18), dari
kedua pernyataan tersebut menjelaskan bahwa definisi status periodontal dapat
mempengaruhi hasil penelitian. Pada penelitian ini definisi penyakit periodontal yang
digunakan berasal dari The British Society of Periodontology, dimana seseorang dapat

12

dikatakan mengalam penyakit periodontal yang berat jika memiliki gigi dalam satu region
yang memiliki skor BPE lebih dari 4. Dengan menggunakan definsi penyakit periodontal
yang jelas, peneliti berharap hasil yang didapat akan lebih akurat.
Kelemahan lain pada peneltian ini adalah jumlah sampel penelitian. Dalam
penelitian ini dibutuhkan sebanyak 380 wanita, meskipun jumlah tersebut tidak terpenuhi,
tetapi jumlah sampel pada penelitian ini lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah
sampel pada penelitian sebelumnya yang berkisar antara 70-190 pasien. Dalam suatu
penelitian dimana jumlah sampel lebih banyak dari penelitian ini, tercatat hanya 37 wanita
yang mengalami osteoporosis, dan 25 diantaranya masih memiliki gigi. Penelitian ini
menyempurnakan dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya yang tidak
menetapkan definfisi osteoporosis maupun jumlah sampel yang kurang.

WHO mendefinisikan bahwa seseorang mengalami osteoporosis jika memiliki nilai


BMD pada lumbar spinalis dan femur proksimal lebih dari 2.5 standar deviasi pada
populasi gender yang sama di usia muda. Penelitian ini memiliki data dari pasien wanita
yang memiliki hasil DXA scan pada tulang femur proksimal dan lumbar spinalis. Dengan
menggunakan definisi dari WHO, yang termasuk populasi dari penelitian ini adalah 98
wanita dengan osteoporosis dan 288 wanita tanpa osteoporosis. Penelitian serupa yang
dilakukan oleh Famili dkk mengukur densitas tulang pada pinggul dan tulang calcaneus,

13

tetapi tidak menjelaskan metoda yang digunakan untuk mendefinisikan osteoporosis.


Penelitian lainnya tidak menjelaskan mengenai metoda pengukuran densitas tulang yang
digunakan pada subjek penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Gomes Filho dkk
memeriksa 39 pasien dengan nilan BMD yang normal dan 100 pasien yang memiliki
penyakit osteoporosis dan osteopenia. Rata-rata BMD dan standar deviasi dari kedua
kelompok tidak diketahui, oleh sebab itu tidak memungkinkan untuk mengetahui jumlah
wanita yang mengalami osteoporosis. Penelitian lainnya dilakukan tetapi tidak memiliki
data DXA, maka tidak memungkinkan untuk untuk mendefinisikan osteoporosis dengan
kriteria WHO. Inagaki dkk, 2001 meneliti hubungan antara BMD pada tulang metakarpal
kedua dan penyakit periodontal pada 190 wanita, dan ditemukan adanya penurunan pada
nilai BMD serta peningkatan keparahan penyakit periodontal. Walaupun demikian,
pengukuran BMD pada daerah tersebut tidak umum dilakukan pada praktik klinis.
Penelitian serupa lainnya seperti yang dilakukan oleh Famili dkk dengan jumlah sampel
yang lebih banyak (398 wanita), tetapi pada kelompok usia lanjut (73-84 tahun), dan hanya
37 pasien yang mengalami osteoporosis (9%).
Pemeriksaan yang paling komprehensif untuk mengetahui adanya hubungan antara
osteoporosis dan penyait periodontal dilakukan oleh Ronderos dkk dan Brennan-Calanan
dkk. Kedua penelitian tersebut melakukan pemeriksaan pada jumlah sampel yang bersar
dan menjelaskan adanya hubungan antara osteoporosis dan penyakit periodontal.Penelitian
yang dilakukan oleh Roderos menemukan perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata
CAL ( yang didapat dari 2 regio dalam rongga mulut secara acak) antara pasien dengan
nilai BMD yang rendah maupun nilai BMD yang tinggi, meskipun perbedaanya sangat
kecil (1.45 mm dan 1.25 mm). Meskipun secara statistik kedua kelompok tersebut memiliki
perbedaan yang signifikan, namun secara klinis perbedaan kedua kelompok tersebut tidak
terlihat secara signifikan. Sebagai informasi tambahan, seorang peneliti tidak dapat
melakukan pengukuran secara akurat pada masing-masing pasien. Pada penelitian ini hanya
dilakukan setengah bagian dari rongga mulut, dan ketika ditambahkan faktor lainnya seperti
merokok, status sosial dan ekonomi, frekuensi kunjungan dental, perbedaan pada CAL

14

antara pasien dengan nilai BMD yang tinggi dan rendah bahkan berkurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Brennan- Calanan dkk melakukan pemeriksaan
periodontal pada wanita menopause yang memiliki hasil DXA. Penelitian tersebut
menggunakan analisis yang bervariasi, dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara osteoporosis dan penyakit periodontal ketika
periodontitis didefinisikan sebagai penyakit yang menyebabkam hilangnya ketinggian
tulang puncak tulang alveolar lebih dari 2mm, pada satu sisi dimana hilangnya ketinggian
tulang alveolar lebih dari 4mm atau kehilangan gigi karena penyakit dental. Tetapi,
kehilangan tulang alveolar secara signifikan berkaitan dengan BMD lengan bawah, tetapi
tidak signifikan berkaitan dengan BMD pada tulang femur (p00.714) ,pinggul (p00.993),
atau lumbar spinalis (p00.375).
Meskipun banyak penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara penyakit
periodontal dan osteoporosis, namun beberapa penelitian pun menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara penyakit periodontal dengan

osteoporosis. Penelitian yang

dilakukan oleh Sultan dan Rao melakukan pemeriksaan pada indeks gingiva, kehilangan
tulang alveolar dan CAL. Hasil dari penelitian tersebut adalah tidak terdapat perbedaan
yang tidak signifikan pada kelompok wanita post menopause. Penelitian yang dilakukan
oleh Famili dkk, dimana pemyakit periodontal didefinisikan sebagai penyakit yang
menyebabkan CAL lebih dari 3mm menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara nilai BMD dengan atau tanpa penyakit periodontal. Meskipun penelitian
dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih besar, tetapi hanya 37 wanita yang mengalami
osteoporosis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pilgram dkk melakukan pemeriksaan
pada 155 wanita post-postmenopause dengan hasil penelitian yang menyataka bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara nilai BMD dengan CAL. Pada penelitian tersebut
pengukuran dilakukan pada tulang metacarpal dan hasilnya tidak dapat merefleksikan hasil
pemeriksaan BMD yang dilakukan pada tulang femur, pinggul, atau tulang lumbar spinalis.

15

Penelitian ini masih memiliki keterbatasan. Jumlah sampel yang diikutsertakan


kurang dari jumlah sampel yang seharusnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, pusat
pemeriksaan kedua pun menjadi bagian dalama penelitian ini tetapi jumlah pastisipan yang
dirrekomendasikan masih belum tercapai. Sebagai catatan penting, pasien yang kehilangan
seluruh gigi dapat menjadi hal yang membingungkan, karena kehilangan gigi dapat
disebabkan karena penyakit periodontal; selain itu, beberapa pasien yang edentulous atau
tidak bergigi yang disebabkan karena penyakit periodontal yang parah termasuk kriteria
eksklusi pada penelitian ini karena dapat mempengaruhi hasil. Dalam penelitian ini hanya 7
pasien yang edentulous (4 diantaranya mengalami osteoporosis) dan tidak mempengaruhi
hasil penelitian. Jika melihat kembali pada hasil survey kesehatan gigi orang dewasa
terbaru di UK pada tahun 1998, prevalensi pasien yang edentulous diobservasi secara luas
pada penelitian ini sesuai dengan prevalensi dari populasi.
Kesimpulan, beberapa penelitian yang dilaporkan saat ini masih banyak hal yang
belum terkontrol, memiliki jumlah sampel yang sedikit, dan tidak menggunakan kriteria
WHO untuk mendefinisikan osteoporosis. Penelitian ini melengkapi kekurangankekurangan dari penelitian sebelumnya dan menemukan bahwa tidak terdapat hubungan
antara penyakit periodontal yang parah dengan osteoporosis pada wanita post menopause.
Diperlukan penelitian longitudinal yang melakukan pemeriksaan pengaruh kehilangan
tulang dalam jangka yang panjang terhadap status periodontal pada wanita post-menopause.
Hal terpenting lainnya, definisi dari penyakit periodontal dapat mempengaruhi hasil
statistik penelitian secara signifikan.

Você também pode gostar