Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Rizky Amalia
1195030
Pembimbing: drg. Henry Mandalas Sp. Perio
BAGIAN PERIODONTIK
PROGRAM PROFESI DOKTER GIGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
2015
Periodontic Journal Reading
Tanggal
: 18 Desember 2015
Seminaris
: Rizky Amalia (1195030)
Pembimbing : drg. Henry Mandalas, Sp.Perio
Judul asli
: DoPatientsWithOsteoporosisHaveAnIncreasedPrevalenceOf
PeriodontalDisease?ACrossSectionalStudy
Penulis
: Marjanovic, E. J, et al
Sumber
pasien, yang merupakan faktor yang saling berhubungan antara satu sama lain.
Hasil, terdapat 380 subjek penelitinan yang memiliki data DXA, 98 darinya
mengalami
osteoporosis.
Ketika
dibandingkan
dengan
subjek
yang
mengalami
osteoporosis, beberapa subjek yang memiliki densitas mineral tulang yang normal adalah
pasien yang berusia muda (p 0,01) memiliki body masss index yang lebih tinggi (p 0.03)
dan jumlah gigi yang lebih banyak (p 0,01). Prevalensi sampel penelitian yang mengalami
penyakit periodontal yang parah sebanyak 39%. Selisih perbandingan antara tingkat
keparahan osteoporosis dengan penyakit periodontal adalah 1,21 (0,76-1,93). Selisih
perbandingan variable bebas (usia, merokok, hormone replacement therapy, mengkonsumsi
alkohol) sebanyak 0,99 (0,61 1,61).
Kesimpulan, tidak terdapat hubungan antara tingkat keparahan penyakit periodontal
dengan osteoporosis.
Pendahuluan
Periodontitis kronis merupakan penyakit mulut yang sering ditemui. Apabila tidak
mendapat penanganan yang tepat maka gigi dapat mengalami kegoyangan, rasa sakit,
bahkan kehilangan gigi. Prevalensi penyakit periodontal pada orang dewasa adalah 5-55%
tergantung pada pengukuran yang digunakan dan tingkat keparahan. Kehilangan gigi pada
pasien dapat menyebabkan berkurangnya rasa percaya diri dan dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari seperti makan, bersosialisasi di lingkungan umum, dan tertawa.
Penyakit periodontal dan osteoporosis memiliki beberapa kemiripan. Masingmasing dari penyakit tersebut merupakan penyakit kronis yang dapat menyebabkan
kehilangan tulang, dan lebih sering terjadi pada individu yang berusia lanjut; pasien dengan
riwayat keluarga memiliki risiko lebih tinggi, hal serupa ditemukan pada individu yang
merokok. Pada pasien yang mengalami defisiensi estrogen berisiko lebih tinggi untuk
mengalami osteoporosis baik pada rongga mulut maupun sistemik. Mekanisme potensial
antara penyakit periodontal dan osteoporosis tidak diketahui dengan jelas. Pada kedua
Disain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, dilakukan secara sukarela oleh
subjek penelitian yang berasal dari Manchester dan daerah sekitarnya. Durasi penelitian ini
adalah 2-3 tahun, terhitung sejak Maret 2008 hingga Juni 2010. Pemeriksaan pada pasien
dilakukan selama 2 bulan, dan seluruh data terkumpul pada Agustus 2010.
Partisipan
Pasien wanita berusia 45-65 tahun yang telah dirujuk untuk melakukan pemeriksaan
dual-energy X-ray absorptiometry (DXA) di departemen radiologi klinis, University of
Manchester atau The Nightingale Centre, Wythenshawe Hospital. Subjek penelitian yang
diperiksa untuk central DXA diketahui memiliki penyakit osteoroposis, riwayat keluarga
dengan osteoporosis, premature menopause, asma, penggunaan obat steroid, dan
hipotiroidsme. Hanya pasien wanita dengan hasil pemeriksaan pada tulang femur bagian
proksimal dan lumbar spinalis selama 3 bulan terakhir yang diikutsertakan dalam penelitian
ini. Pertama-tama pasien akan diidentifikasi melalui sistem database rumah sakit. Kriteria
eksklusi meliputi: pasien dengan kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk menyikat
giginya sendiri (seperti stroke, paralysis, dll), leukemia, diabetes mellitus, dan beberapa
penyakit lain yang menggunakan bifosfonat secara intravena. Apabila pasien memenuhi
kriteria inklusi maka pasien akan diberitahukan untuk mengikuti penelitian ini. Penelitian
ini memiliki surat persetujuan etik (no 07/ Q1402/58) dan subjek penelitian telah menanda
tangani inform consent.
Variabel
Pengukuran status periodontal meliputi skor Basic Periodontal Examination (BPE),
skor perdarahan gingiva, kedalaman poket periodontal, resesi, kalkulus, resorpsi, dan
mobility. Faktor risiko eksposur adalah status osteoporosis seperti yang didefinisikan oleh
WHO, diagnosis osteoporosis memerlukan T-score sebesar 2,5 dari standar deviasi atau
nilai BMD yang lebih rendah dari nilai rata-rata pada populasi individu berusia muda
dengan jenis kelamin yang homogen di kedua femur proksimal atau tulang lumar spinalis.
Merokok, usia, hormone replacement therapy (HRT) dan konsumsi alkohol
merupakan variabel bebas dalam penelitian ini. Pasien akan tercatat sebagai pengguna
alkohol apabila pasien mengkonsumsi minuman beralkohol sebanyak 3 botol atau lebih
perhari (hal tersebut merupakan ambang batas yang digunakan untuk mengetahui konsumsi
alkohol oleh WHO). Kebiasaan merokok pada pasien dan hormone replacement therapy
juga dicatat dalam penelitian ini. Tinggi dan berat badan pasien dicatat pada saat pasien
melakukan pemeriksaan DXA. Faktor yang berpotensi sebagai bias penelitian telah
dikontrol oleh status osteoporosis pasien tidak dijeaslkan secara langsung terhadap peneliti.
Pengumpulan Data
Pemeriksaan pada subjek penelitian dilakukan selama 6 bulan, pemeriksaan DXA
dan penilaian status periodontal dilakukan secara terpisah. Subjek yang memenuhi kriteria
inklusi akan diundang ke Universitas Manchester untuk dilakukan pemeriksaan rongga
mulut. Riwayat medis pasien telah dicatat dalam rekam medis dari Central Manchester
University NHS Foundation Trust.
Pemeriksaan klinis dilakukan pada pasien wanita yang masih meiliki gigi. Pemeriksaan
dilakukan oleh dokter gigi menggunakan probe Florida (Florida Probe Corporation,
Gainesville, USA). Dengan sistem komputer probe Florida yang terintegrasi probing pada
jaringan periodontal dilakukan dengan tekanan yang konstan. Pemeriksaaan poket
periodontal setiap gigi dilakukan dari ketiga sisi baik pada bukal maupun lingual.
periodontal
dikategorikan
melalui
kriteria
British
Society
of
tersebut, skor BPE dapat bernilai 4 apabila gigi yang diperiksa memiliki kedalaman poket
periodontal 5,5 7,5 mm hampir seluruh regio. Sebagai informasi tambahan, skor BPE
bernilai 0 apabila tidak terdapat poket > 3,5mm, tidak terdapat kalkulus/overhang dan tidak
ada bleeding on probing. Skor BPE bernilai 1 apabila tidak terdapat poket >3.5 mm, tidak
terdapat kalkulus/overhang, tetapi mengalami bleeding on probing; Skor BPE bernilai 2
jika tidak terdapat poket > 3,5mm tetapi terdapat kalkulus supra/subgingiva dan overhang;
skor BPE bernilai 3 apabila terdapat kedalaman poket 3,5-5,5 mm. Tingkat keparahan
penyakit periodontal di analisis menggunakan 2 pengukuran, dimana skor BPE 4 atau lebih
terjadi pada 1 regio (SPD1) atau 2 regio (SPD2).
Perdarahan
Bleeding score dicatat dalam status apabila terjadi perdarahan spontan pada saat
probing walaupun dengan tekanan yang ringan. Peneliti melakukan pengukuran jumlah dan
persentasi daerah yang mengalami perdaraan pada saat dilakukan probing.
Kedalaman Poket Periodontal dan Resesi
Dalam penelitian ini dlakukan pengukuran resesi dan poket periodontal. Masingmasing subjek penelitian yang memiliki poket periodontal > 3,4mm dicatat dalam
penelitian ini.
Kalkulus
Gigi pasien diperiksa menggunakan Oral Hygiene Index. Gigi pasien dikelompokan
ke dalam 6 permukaan, masing-masing permukaan akan dilakukan pemeriksaan dan
hasilnya akan dicatat, dan skor kalkulus dicatat dari masing-masing permukaan gigi yang
paling banyak ditutupi oleh kalkulus. Adapun skor kalkulus sebagai berikut:
0: Tidak terdapat kalkulus
1: Kalkulus supragingiva yang menutupi kurang dari 1/3 permukaan gigi.
2: Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari 1/3 tetapi kurang dari 2/3
permukaan gigi, atau terdapat bercak kalkulus subgingiva pada daerah servikal gigi
atau dapat keduanya.
3: Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi atau terdapat
kalkulus subgingiva yang berlanjut hingga daerah servikal gigi dengan jumlah yang
banyak atau dapat keduanya.
Skor kalkulus akan dijumlahkan dan dibagi berdasarkan jumlah skor/segmen pada
masing-masing individu,. Apa bila tidak terdapat gigi pada seluruh regio, maka
pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan.
Resorpsi dan Mobility
Gigi yang mobility-nya melebihi batas fisiologis dan terdapat resesi yang lebih dari
3 mm, dicatat dalam penelitian ini.
DualenergyXrayabsorptiometry
Pusatpemeriksaan DXA padalumbarspinalisdanfemurproksimaldilakukandi
Hologic Discovery (Central Manchester and Withington) dan the GE Lunar Prodigy
(CentralManchester). PengukuranBMD,skorTdanZL1L4,tulangfemur,danpinggul
dicatatdalampenelitianini,Pemeriksaanpadapasiendilakukandengan3metodeyang
berbeda,haltersebutperludilakukanuntukmenghasilkandatapasienyangakurat.Untuk
melakukan kalibrasi, European Spine Phantom (ESP) melakukan pemeriksaan pada
masingmasing scanner baikdiawalmaupundiakhirpenelitian.Ukuranyangdiberikan
oleh ESP digunakansebagaistandarisasi,dalamhalini ESP menggunakanmetodayang
dijelaskanolehPearsondkk.SkorTdanZpadalumbarspinalisdijumlahkanmenggunakan
datayangbersumberdariHologic,sedangkanpadafemurproksimalmenggunakandata
yangbersumberdariNHANES.
PerhitunganJumlahSampel
Prevalensi penyakit periodontal pada usia 40-70 tahun dalam masyarakat adalah
sebanyak 10-20%. Sebanyak 540 pasien dihitung untuk mendeteksi perbedaan dari 10%
pada prevalensi penyakit periodontal antara osteoporosis dan kelompok kontrol dengan
80% power dan 5% tingkat signifikansi. 10% tersebut mewakili perbedaan prevalensi
tingkat keparahan penyakit periodontal 15% dalam kelompok non-osteoporotic dan 25%
dalam kelompok osteoporotic. Hipotesis dari penelitian ini diuji menggunakan regresi
logistik penyakit periodontal yang parah (ada atau tidak ada) sebagai hasil, status
periodontal sebagai eksposur dan medikasi (HRT), kebiasaan konsumsi alkohol, merokok
dan usia sebagai kovariasi.
Metoda Statistik
Dalam penelitian ini dilakukan 2 analisis. Pada analisis pertama, peneliti melakukan
pengelompokan pasien yang memiliki penyakit periodontal yang berat jika pasien memiliki
skor BPE 4 atau total attachment loss >7mm paling tidak dalam satu regio (SPD1). Pada
analisis kedua, peneiliti mengklasifikasi pasien yang memiliki penyakit periodontal yang
berat jika pasien memiliki skor BPE 4 atau total attachment loss >7mm pada 2 regio
(SPD2).
Dari penelitian-penelitian sebelumnya, beberapa pengukuran yang berpengaruh
pada hasil variabel dianggap layak dimasukkan dalam analisis yang telah disesuaikan.
Beberapa diantaranya adalah yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan rongga mulut
(Oral Hygiene Index, konsumsi alkohol, hormone replacement therapy, usia dan kebiasaan
merokok). Perkiraan yang sudah sesuai dan belum sesuai turut diperhitungkan dalam
penelitian ini. Regresi ogistik telah ditentukan untuk hasil pengukuran penyakit periodontal
(SPD1 atau SPD2; ada atau tidak ada) yang disertai dengan status osteoporosis, konsumsi
alkohol, hormone replacement therapy, usia dan kebiasaan merokok.
Hasil
10
Hasil analisis pada subjek dengan kovariasi dan tanpa kovariasi dapat dilihat pada
tabel 2. Prevalensi penyakit periodontal yang parah (SPD1) pada sampel sebanyak 39%
(sebagai referensi 150/380). Pada pasien tanpa kovariasi, perbandingan antara osteoporosis
dan penyakit periodontal yang parah (SPD1) adalah 1.21 (95% SD 0.76-1.93). Subjek
dengan kovariasi (usia, kebiasaan merokok, hormone replacement therapy, dan konsumsi
alkohol) adalah 0,99 (95% SD0.61-1.61). Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan. (Log 0-190.73, pseudo R2 00.02). Dalam penelitian ini
hubungan antara osteoporosis dengan tingkat keparahan penyakit periodontal tidak terbukti
(SPD1) walaupun telah ditambahkan dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi.
Terdapat perbedaan yang signifikan pada indeks plak dan kalkulus antara pasien yang
memiliki penyakit periodontal dengan pasien yang tidak memiliki penyakit periodontal
(p<0.001) (Tabel 3).
Diskusi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah wanita yang memiliki
penyakit osteoporosis memiliki risko yang tinggi untuk mengalami penyakit periodontal.
Dari hasil analisis data pada populasi penelitian ini tidak membuktikan adanya hubungan
antara osteoporosis dengan penyakit periodontal yang parah. Walalupun pada penelitian ini
menyatakan demikian, pada dasar biologis menyatakan bahwa kedua penyakit tersebut
dapat berhubungan satu sama lain. Osteoporosis dapat terjadi di seluruh skeletal tubuh,
termasuk mandibula dan maksila. Hal tersebut dapat menyebabkan kehilangan tulang,
dimulai dari terbentuknya porositas pada tulang, hingga membentuk pola seperti trabecular
dalam tulang alveolar. Di sisi lain, infeksi periodontal dapat menyebabkan tubuh melepas
mediator inflamasi yang dapat mempercepat proses resorpsi tulang alveolar, hal tersebut
merupakan tanda khas dari penyakit periodontal. Untuk mendukung penelitian ini,
ditemukan oods ratio (OR) pada sejumlah literatur antara 2.58 (1.106.82) [22], 2.58 (1.08
6.19) [23], 3.0 (1 9.6) [14] dan 1.75 (1.092.82) pada wanita menopause. Penelitianpenelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan yang siginifikan antara
11
12
dikatakan mengalam penyakit periodontal yang berat jika memiliki gigi dalam satu region
yang memiliki skor BPE lebih dari 4. Dengan menggunakan definsi penyakit periodontal
yang jelas, peneliti berharap hasil yang didapat akan lebih akurat.
Kelemahan lain pada peneltian ini adalah jumlah sampel penelitian. Dalam
penelitian ini dibutuhkan sebanyak 380 wanita, meskipun jumlah tersebut tidak terpenuhi,
tetapi jumlah sampel pada penelitian ini lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah
sampel pada penelitian sebelumnya yang berkisar antara 70-190 pasien. Dalam suatu
penelitian dimana jumlah sampel lebih banyak dari penelitian ini, tercatat hanya 37 wanita
yang mengalami osteoporosis, dan 25 diantaranya masih memiliki gigi. Penelitian ini
menyempurnakan dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya yang tidak
menetapkan definfisi osteoporosis maupun jumlah sampel yang kurang.
13
14
antara pasien dengan nilai BMD yang tinggi dan rendah bahkan berkurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Brennan- Calanan dkk melakukan pemeriksaan
periodontal pada wanita menopause yang memiliki hasil DXA. Penelitian tersebut
menggunakan analisis yang bervariasi, dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara osteoporosis dan penyakit periodontal ketika
periodontitis didefinisikan sebagai penyakit yang menyebabkam hilangnya ketinggian
tulang puncak tulang alveolar lebih dari 2mm, pada satu sisi dimana hilangnya ketinggian
tulang alveolar lebih dari 4mm atau kehilangan gigi karena penyakit dental. Tetapi,
kehilangan tulang alveolar secara signifikan berkaitan dengan BMD lengan bawah, tetapi
tidak signifikan berkaitan dengan BMD pada tulang femur (p00.714) ,pinggul (p00.993),
atau lumbar spinalis (p00.375).
Meskipun banyak penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara penyakit
periodontal dan osteoporosis, namun beberapa penelitian pun menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara penyakit periodontal dengan
dilakukan oleh Sultan dan Rao melakukan pemeriksaan pada indeks gingiva, kehilangan
tulang alveolar dan CAL. Hasil dari penelitian tersebut adalah tidak terdapat perbedaan
yang tidak signifikan pada kelompok wanita post menopause. Penelitian yang dilakukan
oleh Famili dkk, dimana pemyakit periodontal didefinisikan sebagai penyakit yang
menyebabkan CAL lebih dari 3mm menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara nilai BMD dengan atau tanpa penyakit periodontal. Meskipun penelitian
dilakukan dalam jumlah sampel yang lebih besar, tetapi hanya 37 wanita yang mengalami
osteoporosis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pilgram dkk melakukan pemeriksaan
pada 155 wanita post-postmenopause dengan hasil penelitian yang menyataka bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara nilai BMD dengan CAL. Pada penelitian tersebut
pengukuran dilakukan pada tulang metacarpal dan hasilnya tidak dapat merefleksikan hasil
pemeriksaan BMD yang dilakukan pada tulang femur, pinggul, atau tulang lumbar spinalis.
15