Você está na página 1de 25

REFERAT

KARSINOMA KOLON
Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah
di RS PKU Muhammadiyah Temanggung

Pembimbing :
dr. Ahmad Aryono, Sp.B, FINACS

Disusun oleh :
Astrid Avidita A
H2A010007

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma kolon merupakan keganasan yang mengenai sel-sel epitel di


mukosa kolon. Kebanyakan kanker kolon berada di rectal, sehingga lebih banyak
dikenal dengan karsinoma colorektal.
Insidens karsinoma kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
angka kematiannya. Pada tahun 2002 karsinoma kolorektal menduduki peringkat
kedua pada kasus karsinoma yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita
karsinoma kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus karsinoma.
Secara histopatologis, hampir semua kanker usus besar adalah
adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang
jumlahnya berbeda-beda. Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke
struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh
limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon, dan melalui aliran darah,
biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke sistem portal.
Gejala yang di timbulkan antara lain adalah nyeri di perut bagian bawah,
darah pada tinja, diare, konstipasi, atau perubahan kebiasaan buang air besar,
obstruksi usus, anemia dengan penyebab tidak di ketahui dan berat badan tanpa
alasan yang diketahui. Dari anamnesa, apabila kita temukan gejala-gejala seperti
itu, kita perkuat dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis yang dapat
dilakukan antara lain berupa ultrasonografi, CT-Scan, foto polos abdomen, barium
enema dan foto thoraks.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KOLON
1. ANATOMI

Secara
embriologi,
kolon

kanan

berasal dari usus


tengah, sedangkan kolon kiri sampai dengan rectum berasal dari usus
belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang
disebut tenia, yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon
berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus yang disebut haustra. Kolon
tranversum dan sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi
mesenterium.
Batas antara kolon dan rectum tampak jelas karena pada rectum
ketiga tenia tidak tampak lagi. Batas ini terletak dibawah ketinggian
promontorium, kira-kira 15 cm dari anus. Pertemuan ketiga tenia di daerah
sekum menunjukkan pangkal appendiks.
Sekum, kolon asendens, dan bagian kanan kolon tranversum
didarahi oleh cabang a. mesenterika superior, yaitu a. ileokolika, a.kolika
dekstra, dan a. kolika media. Kolon tranversum bagian kiri, kolon desenden,

kolon sigmoid, dan sebagian besar rectum didarahi oleh a.mesenterika


inferior melalui a. kolika sinistra, a.sigmoid, dan a.hemoroidalis superior.
Pembuluh vena kolon berjalan parallel dengan arterinya. Aliran
darah vena disalurkan melalui v.mesenterika superior untuk kolon asenden
dan kolon tranversum. Dan melalui v. mesenterika inferior untuk kolon
desenden, sigmoid, dan rectum. Keduanya bermuara ke v.porta, tetapi
v.mesenterika inferior melalui v.lienalis. Aliran vena dari kanalis analis
menuju ke v.cava inferior
Aliran limf kolon sejalan dengan aliran darahnya. Sumber aliran
limf terdapat pada muskularis mukosa.
Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari n.splanknikus dan
pleksus presakralis serta serabut parasimpatis yang berasal dari n.vagus.1

2. HISTOLOGI
Empat lapisan dinding kolon yaitu mukosa, submukosa, lapisan
otot sirkular, dan lapisan otot longitudinal. Permukaan mukosa kolon terdiri
atas epitel kolumner yang terbentuk atas kripte yang teratur dan banyak sel
goblet.

Berbeda dengan usus halus, epitel kolumner pada kolon tidak

memiliki villi. Muscularis propria dari kolon terdiri atas lapisan sirkular
pada dalam serta lapisan longitudinal di bagian luar. Otot sirkular yang tebal
membentuk lapisan di seluruh sirkumferens kolon. Sementara lapisan otot
longitudinal diluar berkelompok menjadi tiga pita yang disebut taeniae.
Taeniae bermula pada proksimal appendiks dan menghilang secara nyata
pada tingkat diatas rectum. Lapisan otot longitudinal bersatu untuk
membentuk lapisan kontinyu disekitar sirkumferens rectum. Sakulasi yang
terlihat diantara taeniae disebut haustra coli.2
3. FISIOLOGI
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit,
ekskresi mukosa, serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya
keluar. Dari 700-1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya
150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya.
Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah. Oksigen dan
CO2 di dalamnya diserap di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas
hasil pencernaan dan peragian dikeluarkan sebagai flatus.1
B. KARSINOMA COLON
1. Definisi
Karsinoma kolon merupakan keganasan yang mengenai sel-sel epitel di
mukosa kolon. Insiden kanker kolon terbanyak berada pada daerah
rektosigmoid, sehingga lebih banyak dikenal dengan karsinoma kolorektal.
2. Etiologi
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker colorectal
yaitu:
a. Factor genetic
Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan
riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan
5

keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai


kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker
kolorektal pada keluarganya.
Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari
normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh
karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi.
Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom
kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang
terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p
ditunjukkan pada dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q
ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar.2
Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini
menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom
ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki
mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).
FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang
berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor
gen dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker
kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.2 Pada FAP yang telah
berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat
dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat. Ketika hal
ini terjadi, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal
colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya
prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip
yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus
sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip

harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg
celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah
polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP
adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic
carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari FAP termasuk
gardners syndrom dan turcots syndrom.
HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynchs sindrom I dan
II. Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul
pada umur yang muda (45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada
kolon kanan. Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch
repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating
sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite
instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari
phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi
error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan
seseorang memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan
HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous, carcinoma
sebaceous,

dan

multipel

keratocanthoma,

Termasuk

kanker

dari

endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus


biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada
HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan
signet-cell, reaksi yang mirip crohns (nodul lymphoid, germinal centers,
yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran
infiltrasi lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi
muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran
kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan
proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10
tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan untuk menentukan proporsi

dari kanker kolorektal yang dikarenakan HNPCC, estimasi keakurasiannya


sekitar 1-6 %.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita
kanker kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus
dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota
keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang
berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang
didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan
dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68
tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien
dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi
berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.
b. Umur
Kanker colorectal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini
menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada
usia 60-70 tahun (lansia). Kanker colorectal ditemukan di bawah usia 40
tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat colitis ulseratif atau
polyposis familial.
c. Factor diet
serat makanan terutama yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin
sebagian besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di
dalam tractus digestivus. Serat makanan ini akan menyerap air di dalam
colon, sehingga volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang
syaraf pada rectum, sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi.
Dengan demikian tinja yang mengandung serat akan lebih mudah
dieliminir atau dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu antara
masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak
dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit yang pendek,
menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa colorectal
menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di colon
dan rectum. Di samping menyerap air, serat makanan juga menyerap asam
8

empedu sehingga hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang


mukosa colorectal, sehingga timbulnya karsinoma colorectal dapat
dicegah
d. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal.
Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap,
dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan
adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan
invasif kanker . Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan
kromosomal

deletion

memungkinkan

perkembangan

dari

formasi

adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.


Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi
pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor
Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi
dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat
pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang
terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena
berfungsi melakukan kontrol negatif pada pertumbuhan sel. Gen p53
merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan
integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan
memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor
membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan
kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh
fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika
terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak
berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan
menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal
pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme,
yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih

banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak
aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari
ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel akibatnya
sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak
diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non
neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk
polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip,
hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial
berdegenerasi maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai
tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh
puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular
adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah
5%.
e. Colitis ulserosa
Colitis ulserosa dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa colon dan
beberapa abses bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul
pseudopolip yaitu penonjolan mukosa colon yang ada diantara ulkus.
Perjalanan penyakit yang sudah lama, berulang-ulang, dan lesi luas
disertai adanya pseudopolip merupakan resiko tinggi terhadap karsinoma.
Pada kasus demikian harus dipertimbangkan tindakan kolektomi.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya karsinoma (preventif) dan
menghindari penyakit yang sering berulang-ulang. Karsinoma yang timbul
sebagai komplikasi colitis ulserosa sifatnya lebih ganas, cepat tumbuh dan
metastasis.2
3. Patofisiologi

10

Penyebab dari kanker kolorektal masih terus diselidiki. Mutasi


dapat menyebabkan aktivasi dari onkogen (k-ras) dan atau inaktivasi dari
gen supresi tumor ( APC, DCC deleted in colorectal carcinoma, p53).
Karsinoma kolorektal merupakan perkembangan dari polip adenomatosa
dengan akumulasi dari mutasi ini. Defek pada gen APC yang merupakan
pertama kali dideskripsikan pada pasien dengan FAP. Dengan meneliti dari
populasi ini, maka karakteristik mutasi dari gen APC dapat diidentifikasi.
Mereka sekarang diketahui ada dalam 80% kasus sporadik kanker
kolorektal. Gen APC merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada setiap
alel diperlukan untuk pembentukan polip. Mayoritas dari mutasi ialah
prematur stop kodon yang menghasilkan truncated APC protein. Inaktivasi
APC sendiri tidak menghasilkan karsinoma. Akan tetapi, mutasi ini
menyebabkan

akumulasi

kerusakan

genetik

yang

menghasilkan

keganasan. Tambahan mutasi pada jalur ini ialah aktivasi onkogen K-ras
dan hilangnya gen supresi tumor DCC dan p53.
K-ras adalah proto onkogen karena mutasi 1 alel siklus sel. Gen Kras menghasilkan produk G protein yang akan menyebabkan transduksi
signal intraceluler. Ketika aktif, K-ras berikatan dengan guanosine
triphosphate (GTP) yang dihidrolisis menjadi guanosis diphosphate (GDP)
kemudian menginaktivasi G protein. Mutasi K-ras menyebabkan
ketidakmampuan dalam hidrolisis GTP yang menyebabkan G protein aktif

11

secara permanen. Hal ini yang menyebabkan pemecahan sel yang tidak
terkontrol.
DCC ialah gen supresi tumor dan kehilangan semua alelnya
diperlukan untuk degenerasi keganasan, mutasi DCC terjadi pada lebih
dari 70% kasus karsinoma kolorektal dan memiliki prognosis negatif. Gen
supresi tumor p-53 sudah banyak dikarakteristikan dalam banyak
keganasan. Protein p53 penting untuk menginisiasi apoptosis dalam sel
pada kerusakan genetik yang tidak dapat diperbaiki.
Terdapat 2 jalur utama dalam inisasi dan progesi dari tumor yaitu
jalur LOH dan jalur replication error (RER). Jalur LOH dikarakteristikan
dengan delesi pada kromosom dan tumor aneuploidi. 80% dari karsinoma
kolorektal merupakan mutasi dari jalur LOH, sisanya merupakan mutasi
jalur RER yang dikarakteristikan dengan kesalahan pasangan sewaktu
replikasi DNA. Beberapa gen sudah diidentifikasi sebagai sesuatu yang
penting dalam mengenali dan memperbaiki kesalahan replikasi. Kesalahan
pencocokan gen yaitu include hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan
hMSH6/GTBP. Mutasi satu dari beberapa gen ini merupakan predisposisi
dalam mutasi sel yang dapat terjadi pada proto onkogen ataupun gen
supresi tumor.
Jalur RER berhubungan dengan instabilitasi mikrosatelit. Tumor
dengan instabilitas mikrosateliti memiliki karakteristik yang berbeda dari
jalur LOH. Tumor ini lebih banyak terdapaat pada bagian kanan dan
memiliki prognosis yang lebih baik. Tumor yang berasal dari LOH terjadi
pada kolon distal dan berprognosis lebih buruk.
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma
(muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat
menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas
ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer
dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).2
Neoplasma primer adenokarsinoma

12

Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu :
1. Tipe polipoid atau vegetatif yang tumbuh menonjol kedalam lumen
usus, berbentuk kembang kol dan ditemukan terutama di daerah
sekum dan kolon asendens.
2. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan
gejala obstruksi, terutama ditemukan di daerah kolon desendens,
sigmoid dan rektum.
3. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di
rektum. Pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami
ulserasi menjadi tukak maligna.
4. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar
dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding
distensi serta isi fecal ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon
kanan dapat tumbuh besar sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh
lemah karena anemia. Darah makroskopis sering tidak tampak pada feses
tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh
ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah
diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan kandung empedu. Jarang
sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih.
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan
konsistensi feses ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual
mengoklusi lumen yang menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu
konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB. Pendarahan dari anus sering
namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur dengan darah
merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan
darah atau feses.
Pada kanker

rektum,

gejala

utama

yang

terjadi

ialah

hematokezia. Perdarahan seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur


dengan feses atau mukus. Pada pasien dengan perdarahan rektal pada usia
pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker tetap harus dipikirkan.

13

14

Aspek klinis
Nyeri

Kolon kanan
Kolitis
Karena

Kolon kiri
Obstruksi
Obstruksi

Rektum
Proktitis
Obstruksi

Defekasi

penyusupan
Diare/diare

Konstipasi

Tenesmi terus

Obstruksi
Darah pada

berkala
Jarang
Samar

progresif
Hampir selalu
Samar/makroskopi

menerus
Hampir selalu
Makroskopik

feses
Feses

Normal/diare

k
Normal

Perubahan bentuk

Dispepsia
Anemia
Memburukny

berkala
Sering
Hampir selalu
Hampir selalu

Jarang
Lambat
Lambat

Jarang
Lambat
Lambat

a keadaan
umum
Diagnosis

karsinoma

kolorektal

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau


foto kolon dengan kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan
setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian diagnosis ditentukan
berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk
kemungkinan tekanan ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta
hati dan paru untuk metastasis.1

15

5. Diagnosis banding

Divertikulitis
Terutama divertikulitis yang terjadi di daerah sigmoid atau kolon
descendens, dimana pada kolon dan divertikulitis sama-sama ditemukan
feces yang bercampur dengan darah dan lendir.
Colitis Ulcerative
Pada colitis ulcerativa juga ditemukan feces yang berdarah dan berlendir,
tenesmus, mules dan nyeri perut. Tetapi pada colitis ulserativa terdapat
diare sedangkan pada tumor kolon biasanya feces berbentuk kecil-kecil
seperti kotoran kambing.
Appendicitis Infiltrat
Pada appendicitis infiltrat terasa nyeri dan panas yang mirip dengan
tumor sekum stadium lanjut (tumor sekum pada stadium awal bersifat
mobile).
Haemoroid
Pada haemoroid, feces juga bercampur darah namun pada haemoroid
darah keluar sesudah feces keluar baru kemudian bercampur. Sedangkan
pada tumor kolon darah keluar bersamaan dengan feces.
Tumor Ovarium
Pada tumor ovarium dan tumor kolon kiri sama-sama sering ditemukan
gangguan konstipasi. Pada tumor ovarium, juga didapati pembesaran
abdomen namun tumor ini tidak menyebabkan keluarnya darah bersama
feces. Selain itu tumor ovarium menyebabkan gangguan pada miksi
berupa peningkatan frekuensi di mana hal ini tidak dijumpai pada tumor
kolon.
6. Pemeriksaan penunjang
Pada pasien dengan gejala keberadaan kanker kolorektal dapat
dikenali dari beberapa tanda seperti : anemia mikrositik, hematozesia,
nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi oleh sebab itu perlu
segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah
samar di feses memperkuat dugaan neoplasma namun bila tidak ada darah
samar tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
Laboratorium

16

Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon


memberikan hasil normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah
urinalisis, hitung leukosit dan hemoglobin. Pemeriksaan lain yang dapat
diperiksa sesuai dengan indikasinya ialah protein serum, kalsium,
bilirubin, alkali fosfatase dan kreatinin. Pendarahan intermitten dan polip
besar dapat dideteksi melalui darah sama feses atau defesiensi Fe.
Petanda tumor yang paling banyak digunakan untuk keganasan
kolorektal

ialah

carcinoembryonic

antigen

(CEA)

yaitu

sebuah

glikoprotein yang ditemukan pada sel membran banyak jaringan tubuh


termasuk CRC. Beberapa antigen masuk ke dalam sirkulasi dan dideteksi
dengan radioimunnoassay serum. CEA dapat terdeteksi di berbagai cairan
tubuh, urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak spesifik berhubungan
dengan kanker kolorektal. Kadar CEA tinggi pada 70% pasien dengan
kanker usus besar. CEA tidak dapat digunakan sebagai prosedur screening
tetapi akurat sebagai diagnosis CEA residif.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi
50% polip kolon dengan spesifitas 85%. Bagian rektosigmoid sering untuk
divisualisasi oleh karena itu pemeriksaan rektosigmoideskopi masih
diperlukan.

Bilamana

ada

lesi

yang

mnecurigakan

pemeriksaan

kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaaan lumen barium teknik


kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun
pemeriksaan ini sering tak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema
barium cukup efektif untuk memeriksa memeriksa bagian kolon di balik
striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi
Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang
sangat akurat dan dapat sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang
mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat mencapai >95%
pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul dapat dikurangi dengan pemberian
obat penenang intravena meskipun ada risiko perforasi dan perdarahan.

17

Kolonoskopi dengan enema barium terutama untuk mendeteksi lesi kecil


seperti adenoma. Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada pasien
yang diperkirakan menderita polip kolon. Kolonskopi mempunyai
sensitivitas 95% dan spesitivitas 99% paling tinggi untuk mendeteksi polip
adenomatous, di samping itu dapat melakukan biopsi untuk menegakkan
diagnosis secara histologis dan tindakan polipektomi penting untuk
mengangkat polip.
Evaluasi histologis
Adenoma diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histologi yang
dominan, yang paling sering adalah adenoma tubular 85%, adenoma
tubulovisum 10% dan adenoma serrata 1%. Temuan sel atipik pada
adenoma dikelompokkan menjadi ringan, sedang dan berat. Gambaran
atipik berat menunjukkan adanya fokus karsinomatosus namun belum
menyentuh membran basalis. Bilamana sel ganas menembus membran
basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma
intramukosa. Secara umum displasi bearat atau adenokarsinoma
berhubungan dengan dengan ukuran polip dan dominasi jenis vilosum.
Diagnosis kanker kolon melalui sigmoidoskopi, barium enema atau
kolonoskopi dengan biopsi harus diikuti dengan prosedur penentuan
stadium untuk menentukan luasnya tumor. Pemeriksaan CT scan abdomen
dan radiografi dada harus dilakukan, adanya tumor yang terloksalisir
biasanya mengharuskan pembedahan radikal untuk mengeksisi tumor
secara total dengan tepi minimal 6 cm dan dengan reseksi en bloc pada
semua kelenjar getah bening di akar mesenterium
Deteksi dini pada pasien tanpa gejala
Deteksi dini pada masyarakat luas dilakukan dengan beberapa cara,
seperti : tes darah samar dari feses, dan sigmoidoskopi. Pilihan lain
berdasarkan waktu antara lain: FOBT (Fecal Occult Blood test) setahun
sekali, sigmoidokopi fleksibel setiap 5 tahun, enema barium kontras ganda
setiap 5 tahun dan kolonoskopi setiap 10 tahun.3
7. Staging dan prognosis
18

Prognosis dari pasien dari pasien kanker kolorektal berhubungan


dengan dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar
getah bening regional atau metastasis jauh. Semua variabel ini digabung
sehingga dapat ditentukan sistem staging yang awalnya diperhatikan oleh
Dukes. Dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNM dalam hal ini, T
menunjukkan kedalaman penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan
kelenjar getah bening dan M ada tidaknya metastase jauh.
Lesi superfisial yang tidak mencapai lapisan muskularis atau
kelenjar getah bening (KGB) dianggap sebagai stadium A (T 1N0M0). Bila
tumor yang masuk lebih dalam namun tidak menyebar ke KGB
dikelompokkan sebagai stadium B1 (T2N0M0). Bila tumor terbatas sampai
lapisan muskularis disebut stadium B2 (T3N0M0). Bila tumor menginfiltrasi
serosa dan KGB disebut stadium C (TXN1M0), bila terdapat status anak sebar
di hati, paru, atau tulang mempertegas stadium D (T XNXM1). Bila status
metastasis belum dapat dipastikan maka sulit menentukan stadium. Oleh
karena itu, pemeriksaan mikroskopik terhadap spesimen bedah sangat
penting dalam menentukan stadium. Umumnya rekurensi kanker kolorektal
terjadi dalam 4 tahun setelah pembedahan sehingga harapan hidup rata-rata 5
tahun dapat menjadi indikator kesembuhan. Indikator buruknya prognosis
prognosis kanker kolorektal setelah menjalani operasi.
Kanker kolorektal umumnya menyebar ke kelenjar getah bening
regional atau ke hati melalui sirkulasi vena portal. Hati merupakan organ
yang paling sering mendapat anak sebar kelenjar getah bening. Sepertiga
kasus kanker kolorektal yang rekuren disertai metastase ke hati dan
duapertiga pasien kanker kolorektal ditemukan metastase ke hati pada waktu
meninggal. Kanker kolorektal jarang bermetastasis ke paru. KGB
superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan anak sebar di hati terlebih
dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat terletak di distal rektum,
sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebra kemudian dapat
mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melalui sistem vena porta.
Rata-rata harapan hidup setelah ditemukan metastase berkisar 6 9 bulan

19

(hepatomegali dan gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati
yang ditandai oleh peningkatan CEA dan gambaran CT-scan).

T Tumor primer

Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai

T0: Tidak ada tumor primer

Tis: Karsinoma insitu, invasi lamina propia atau intraepitelial

T1: Invasi tumor di lapisan sub-mukosa

T2: Invasi tumor di lapisan otot propria

T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke


perikolik yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal

T4: Invasi tumor terhadap organ/struktur sekitarnya dan/atau


peritoneum viseral.

N Kelenjar limfe regional

Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai

N0: Tidak didapatkan kelenjar limfe regional

N1: Metastase di 1 3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal

N2: Metastase di 4 atau lebih kelenjar limfe perikolik atau


perirektal

N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah


dan atau pada kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli bedah).

M Metastase jauh

20

Mx: Metastase jauh tidak dapat dinilai

M0: Tidak ada metastase jauh

M1: Terdapat metastase jauh2

Stadium
TNM
Derajat

Deskripsi histopatologis

Dukes
A

T1N0M0

Kanker terbatas pada

(%)
>90

B1

T2N0M0

mukosa/submukosa
Kanker mencapai

85

II

muskularis
Kanker cenderung masuk

70-80

B1
C
D

T3N0M0

Bertahan
5 tahun

atau melewati lapisan serosa


TxN1M0
III
Metastasis
35-65
TxNxM1
IV
5
Penyebaran tumor dapat terjadi melalui:
Penyebaran langsung
Karsinoma tumbuh secara melingkari usus sebelum terdiagnosa,
khususnya bagi kolon kiri yang memiliki kaliber lebih kecil dibanding
dengan kanan. Membutuhkan waktu 1 tahun bagi tumor untuk melingkari
bagian usus. Lesi menyebar secara radial dan berpenetrasi ke lapisan
luar dinding usus dan dapat mengenai struktur di dekatnya seperti hati,
kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halis, pankreas, limpa,
kandung kemih, vagina, ginjal, ureter dan dinding abdomen. Kanker
rektum dapat menginvasi dinding vagina, kandung kemih, prostat atau
sakrum.
Metastasis hematogen
Invasi melalui pembuluh darah dapat menyebabkan tumor terbawa
melalui sistem vena porta yang menyebabkan metastasi ke hepar.
Embolisasi dapat terjadi melalui vena lumbal atau vertebral ke paru.
Kanker rektum menyebar melalui vena hipogastrik. Penyebaran ke
ovarium terutama melalui hematogen yaitu terlihat pada 10.3% pasien

21

wanita dengankanker kolorektal. Untuk mencegah metastase melalui


hematogen sewaktu operasi dilakukan manipulasi minimal dengan ligasi
pembuluh darah.
Metastasis kelenjar getah bening regional
Ini merupakan tipe penyebaran yang paling umum. Kanker rektum
bermetastase proksimal melalui kelenjar getah bening mesorectalm iliac
dan mesenterika inferior. Serta bermetastase secara radial sepanjang
dinding pelvis. Kelenjar getah bening harus diangkat sewaktu operasi.
Metastasis transperitoneal
Terjadi sewaktu tumor berektensi melalui lapisan serosa dan memasuki
kavitas peritoenal, memproduksi lokal implant carcinomatosis.
Metastasis intraluminal
Sel ganas dari lapisan tumor dapat tersapu sepanjang usus melalui isi
feses.

22

8. Tatalaksana
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan bedah. Tujuan
utama tindakan bedah adalah memperlancar saluran cerna baik bersifat
kuratif maupun non kuratif dengan mengangkat karsinoma dan kemudian
memulihkan kesinambungan usus. Kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif
dan tidak memberikan manfaat kuratif. Tindakan bedah terdiri dari reseksi
luas karsinoma primer dan kelenjar limfe regional. Bila sudah terjadi
metastase jauh, tumor primer akan direseksi juga dengan maksud mencegah
obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel dan nyeri.
a. Terapi primer
Terapi utama untuk tumor kolon adalah operatif. Tindakan operatif
yang dilakukan tergantung dari letak tumor kolon tersebut. Tehnik
pembersihan mesenterium dan keadaan patologi (benigna atau maligna)
menentukan berapa panjang kolon yang harus direseksi.
Tindakan yang paling sering dilakukan adalah hemikolektomi
kanan, kolektomi transversal, hemikolektomi kiri atau reseksi anterior, dan
reseksi abdominoperineal. Pembedahan sangat berhasil bila dilakukan
pada pasien yang tidak mengalami metastasis. Pemeriksaan tindak lanjut
dengan antigen embrionik adalah penanda yang sensitif untuk rekurensi
tumor yang tidak terdeteksi. Daya tahan hidup 5 tahun adalah sekitar 50%.
Indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di caecum, kolon
ascenden, kolon transversum, tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon
descenden di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan
rectum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior
Resection). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi
dikerjakan secara emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi.
Reseksi terhadap metastasis di hati dapat memberikan hasil 25-35% ratarata masa bebas tumor (disease free survival rate).

23

b. Terapi paliatif
Reseksi tumor secara paliatif dilakukan untuk mencegah atau
mengatasi obstruksi atau menghentikan pendarahan supaya kualitas hidup
penderita lebih baik. Jika tumor tidak dapat diangkat, dapat dilakukan
bedah pintas atau anus preternaturalis.
Pada metastasis di hepar yang tidak lebih dari 2 atau 3 nodul dapat
dipertimbangkan eksisi metastasis. Pemberian sitostatik melalui arteri
hepatika, yaitu perfusi secara selektif, kadang lagi disertai terapi
embolisasi, dapat berhasil menghambat pertumbuhan sel ganas.
c. Kemoterapi
Kemoterapi diberikan apabila ada metastasis ke kelenjar regional (Dukes
C), tumor telah menembus muskularis propria (Dukes B), atau tumor setelah
dioperasi kemudian residif kembali.

Kemoterapi yang biasa diberikan pada penderita kanker colorectal


adalah kemoterapi ajuvan. Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif
akan mengalami rekurensi. Kemoterapi ajuvan dimaksudkan untuk
menurunkan tingkat rekurensi kanker colorectal setelah operasi. Pasien
Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi ajuvan.
Pasien kanker colorectal Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU
secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas
tumor (disease free interval). Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada
kanker colorectal Dukes B.4

24

DAFTAR PUSTAKA
1

De Jong, Wim dan Sjamsyuhidayat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC


Mulholland, M. W, Lillemoe, K.D, Doherty, G.M, et al. 2006 Greenfields Surgery
scientific principle & practice, 4th ed. Lippincott Williams & wilkins

Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378


Jones & Schofield. 1996. Neoplasia Kolorektal dalam Petunjuk Penting
Penyakit Kolorektal. EGC : Jakarta hal :58-65

25

Você também pode gostar