Você está na página 1de 20

BAB I

STATUS PASIEN
I.

II.

Identitas Pasien
a. Nama
b. Jenis Kelamin
c. Umur
d. Pekerjaan
e. Pendidikan
f. Alamat

: Tn. KA
: Laki-Laki
: 36 Tahun
: Swasta
: SMA
: RT. 03 Olak Kemang

Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga


a. Status Perkawinan
: Menikah
b. Jumlah Anak
: 2 (dua)
c. Status ekonomi keluarga
: Cukup
Kondisi Rumah
: Rumah pasien merupakan rumah semi
permanen, dengan ukuran 6x8 meter rumah panggung berdinding dan
berlantai kayu dan semen mempunyai 4 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1
dapur dan 1 kamar mandi yang bergabung dengan rumah, dengan sumber
air bersih dan minum berasal dari PDAM, ventilasi dan pencahayaan
kurang memadai, BAB di jamban leher angsa yang letaknya di dalam
kamar mandi, limbah WC ditampung di septitank, penataan rumah
kurang rapi. sampah rumah tangga dibuang di belakang rumah.
Pembuangan air limbah tidak ada.
d. Kondisi Lingkungan Keluarga : Pasien tinggal bersama istri dan dua
orang anaknya. Keharmonisan keluarga pasien biasa-biasa saja. Tidak ada
masalah dalam hubungan satu sama lain.

III. Aspek Psikologis di Keluarga

: Baik

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


:
- Riwayat dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
- Riwayat malaria disangkal
V.

Keluhan Utama
:
Demam terus menerus sejak 6 hari sebelum masuk Puskesmas

VI. Keluhan Tambahan


:
Mual, muntah, sakit kepala, dan badan lemas
VII. Riwayat Penyakit Sekarang

:
1

Pasien datang ke IGD Puskesmas Olak Kemang dengan keluhan demam


sejak 6 hari sebelum masuk puskesmas. Demamnya perlahan-lahan semakin lama
semakin meninggi terutama dirasakan pada waktu malam hari. Demam tidak
disertai dengan mengigil dan nyeri sendi.
Pasien juga mengeluh sakit kepala, nyeri di ulu hati, mual dan muntah. 2
hari sebelum masuk puskesmas pasien muntah (+) setiap kali makan, muntah
berwarna kekuningan (-), muntah bercampur makanan (+). BAB dan BAK tidak
ada keluhan, Nafsu makan pasien semakin berkurang. Lidah pasien terasa pahit
dan terlihat putih kotor. Pasien juga semakin merasa lemas. Kemudian pasien
datang ke IGD Puskesmas dan disarankan untuk dirawat di ruang perawatan
Puskesmas Olak Kemang.
VIII. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
1. Keadaan sakit
2. Suhu
3. Nadi
4. Tekanan Darah
5. Pernafasan
- Frekuensi
- Irama
- Tipe
6. Tinggi badan
7. Berat badan
8. IMT
9. Kulit
- Turgor
- Lembab / kering
- Lapisan lemak

:
: tampak sakit sedang
: 38,1C
: 78x/menit
: 100/70 mmHg
: 20x/menit
: reguler
: thorakoabdominal
: 175 cm
: 55 Kg
: 55/1,752 = 17,97
: baik
: lembab
: ada

Pemeriksaan Organ
1. Kepala
Bentuk
Ekspresi
Simetri
2. Mata

: normocephal
: biasa
: simetris

Exopthalmus/enophtal
Kelopak
Conjungtiva
Sklera
Kornea
Pupil
Lensa

: (-)
: normal
: anemis (-)
: ikterik (-)
: normal
: bulat, isokor,
reflex cahaya +/+
: normal, keruh (+)
2

3. Hidung
4. Telinga
5. Mulut

6. Leher
7. Thorax

: tak ada kelainan


: tak ada kelainan
Bibir
Bau pernafasan
Gigi geligi
Palatum
Gusi

: lembab
: normal
: lengkap
: deviasi (-)
: warna merah muda,
perdarahan (-)
Selaput Lendir
: normal
Lidah
: putih kotor (+), hiperemis
pada pinggirnya (+)
KGB
: tak ada pembengkakan
Kel.tiroid
: tak ada pembesaran
Bentuk
: simetris
Pergerakan dinding dada
: tidak ada yang
tertinggal

Pulmo
Pemeriksaan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

Kanan

Kiri
Simetris
Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Sonor
Sonor
Batas paru-hepar :ICS
VI kanan
Wheezing (-), rhonki

Wheezing (-), rhonki

(-)

(-)

Jantung
Inspeksi

Ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula


kiri

Palpasi

Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula


kiri

Perkusi

Auskultasi

Batas-batas jantung :
Atas : ICS II kiri
Kanan : linea sternalis kanan
Kiri : ICS VI linea midclavicula kiri
BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

8. Abdomen
Inspeksi

Datar, skar (-), venektasi (-), spidernevi (-)

Palpasi

NT (+) epigastrium, Hepar dan lien tak teraba

Perkusi

Timpani

Auskultasi

Bising usus (+) N

9. Ekstremitas Atas
- Akral dingin
- Uji torniquet : negatif
10. Ekstremitas bawah
Akral dingin
Edem

: (-) / (-)

IX. Diagnosis Banding


1. Demam dengue
2. Malaria
X.

Diagnosis Kerja
Demam Tifoid

XI. Pemeriksaan anjuran


- Darah rutin
- DDR
- Pemeriksaan serologis : tes Widal (tidak dilakukan)
Hasil Laboratorium :
Pemeriksaan DR
WBC

: 24.1 x 103/L

RBC

: 4.96 x 106/L

HGB

: 14.8 g/dL

HCT

: 41.7 %

MCV

: 84.1 fL

MCH

: 29.8 pg

MCHC

: 35.5 g/dL

PLT

: 395 x 103/L

Pemeriksaan DDR hasil negatif (-)


XII. Manajemen
a. Preventif :
- Menjaga kebersihan diri
- Konsumsi makan dan minum lebih diperhatikan kebersihannya
- Konsumsi air minum yang terjamin kebersihannya atau yang telah
-

dimasak
Menggunakan alat makan yang bersih
Biasakan mencuci tangan setelah beraktivitas
Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
Mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar

b. Promotif :
- Penyuluhan tentang kebersihan diri dan lingkungan
- Penyuluhan tentang CTPS (Cuci Tangan Pakai Sabun)
c. Kuratif :
- Non Medikamentosa :
Tirah baring
Diet lunak
Banyak minum air putih

- Medikamentosa :
IVFD RL 20 tts/m
Paracetamol 3 x 1 tab
Inj Ceftriaxone 1 x 2 gr dalam Dekstrose 5% 100 cc
Ranitidine 2 x 1 tab/hr
Vit Bcomp 1 x 1 tab
Ctm 3 x 1 tab
d. Rehabilitatif
Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengatur pola makan yang
bergizi untuk pemulihan kesehatan tubuh pasien dan meningkatkan
hygienitas.

DINAS KESEHATAN JAMBI


PUSKESMAS OLAK KEMANG
DOKTER
: Nella Rossiyah
SIP
: G1A214076
STR
:100767598929247

DINAS KESEHATAN JAMBI


PUSKESMAS OLAK KEMANG
DOKTER
: Nella Rossiyah
SIP
: G1A214076
STR
:100767598929247

Tanggal : Desember 2015

Pro :
Umur :

Tanggal : Desember 2015

Pro :
Umur :
6

DINAS KESEHATAN JAMBI


PUSKESMAS OLAK KEMANG
DOKTER
: Nella Rossiyah
SIP
: G1A214076
STR
:100767598929247

DINAS KESEHATAN JAMBI


PUSKESMAS OLAK KEMANG
DOKTER
: Nella Rossiyah
SIP
: G1A214076
STR
:100767598929247

Tanggal : Desember 2015

Pro :
Umur :

Tanggal : Desember 2015

Pro :
Umur :

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang ditandai dengan
demam dan nyeri abdomen yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi
atau Salmonella paratyphi. 1
2.2.Epidemiologi
Di Asia tenggara, ada lebih dari 100 kasus per 100.000 penduduk tiap
tahunnya. Daerah yang lebih sering terdapat kasus ini atau yang merupakan

daerah endemik adalah daerah yang sanitasinya kurang dan air bersih sulit
didapat. Penyakit ini lebih sering diderita oleh anak-anak (balita atau bayi)
dan remaja, dengan predisposisi kepada pria. Negara-negara dimana penyakit
ini menjadi penyakit endemik adalah Negara-negara di afrika, asia selatan,
dan asia tenggara, terutama India.1
Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang
ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu
daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens
tertinggi pada daerah endemik terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber
penularan S.thypi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering
karier. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhi,
sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan
tersering di daerah non endemik.1,2
Demam tifoid merupakan penyakit endermik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6
tahun 1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekwensi
kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada
tahun 1994 terjadi peningkatan frekwensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk.
Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan
1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari
19.596 menjadi 26.606 kasus. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah
dan terkait dengan sanitasi lingkungan; di rural (Jawa Barat) 157 kasus per
100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per
100.000 penduduk. Kemudian Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada
tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Tetapi dari
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT
DEPKES RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit
dengan mortalitas tertinggi.1-3
2.3.Etiologi typhoid4,5
Salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber
penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien

dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan
masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama
lebih dari 1 tahun.
2.4.Faktor Resiko
Faktor-faktor yang dapat mempermudah seseorang tertular penyakit ini
adalah
o

Kerja atau bepergian di/ke daerah endemik atau pekerjaannya


berhubungan langsung dengan bakteri tersebut, seperti dokter, pekerja
lab yang menangani langsung Salmonella typhi, atau turis yang

o
o
o
o

bepergian kenegara-negara endemik.


Kontak langsung dengan penderita atau orang yang baru sembuh
Tidak tersedianya sanitasi dan air bersih yang layak
Banjir
Pernah terkena infeksi Helicobacter pylori. Infeksi bakteri ini dan
pengobatannya akan meningkatkan pH asam lambung, sehingga tidak
adekuat untuk membunuh bakteri yang masuk kedalam lambung.

Cara Penularan
o
Fecal-oral Melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi langsung
o

atau oleh carrier asimptomatik kronik.


Hand-to-mouth Jika tidak mencuci tangan sebelum makan dengan tangan
yang terkontaminasi oleh bakteri ini.
Oral Jika memakan buah atau sayuran mentah yang dipupuki dengan pupuk
yang terkontaminasi oleh bakteri ini.
Seksual Jika berhubungan seksual dengan orang yang merupakan carrier
atau dengan yang berpenyakit aktif atau yang tidak mencuci tangan sebelum
berhubungan setelah kontak dengan orang yang menderita penyakit ini.

2.5.Gejala dan Manifestasi Klinis


Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari

asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga


kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam,
nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik
hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif
(bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an
ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

2.6.Patogenesis
Masuknya kuman salmonella typhi dan salmonella paratyphi kedalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dilambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M)
dan selanjutnya kelamina propria. Dilamina propria kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.

10

Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak,


bersama cairan empedu diekskresikan secara internitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi

setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,

berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktifasi mediator inflamasi


yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mailgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,
gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plaque payeri makrofag hiperaktif menimbulkan rekasi
hyperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plaque payeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses
patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernafasan, dan gangguan organ lainnya.
2.7.Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sample darah untuk
melihat adanya bakteri salmonella spp dalam darah penderita, dengan
membiakkan darah pada 14 hari pertama. Selain itu tes widal (titter O dan H)
mulai positif pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai
berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan
peningkatan progresif dari titter agglutinin (diatas 1/200) menunjukkan
diagnosis pasti dari infeksi aktif demam tifoid.
Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin
pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan
ditemukannya

salmonella.

Gambaran

darah

juga

dapat

membantu

menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan


limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam

11

tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear,


maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri didalam lesi usus. Peningkatan
yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada
akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah
mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu
khas seperti diatas. Bisa ditemukan gejala-gejala yang tidak khas.
2.8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin
Leukopeni (47% dari kasus) 2000 - 3000 sampai dengan 5000/mm3.
Bila ada leukositosis (4% dari kasus) hati-hati ada penyulit, perforasi atau
infeksi sekunder. Limfositosis relatif (pasien tetap leukopeni tetapi persentasi
limfosit lebih banyak dari normal). Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit
dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam
thyfoid dapat meningkat.
Pemeriksaan Serologic
Test aglutinasi mikroskopik cepat, nilai positif bila terjadi penggumpalan,
pemeriksaan ini berguna untuk identifiksai pendahuluan pada biakan kuman.
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. Typhii. Pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Antigen digunakan pada uji Widal adalah
suspensi Salmonella

yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.

Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu : a) aglutinin O (dari tubuh kuman), b)
aglutinin H (flagela kuman), dan c) aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari tiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.

12

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,


kemudian meningkat secara cepat dan mencapai pncak pada minggu ke empat
dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Interpretasi hasil pemeriksaan:

Positif bila titer O meningkat lebih dari 1/160 atau peningkatan >
4x pada pengambilan serum yang berangkaian.

Nilai O 1/80 menunjukkan suggestif tifoid. sedangkan untuk titer H


nilai positif adalah > 1/800 semua hasil tersebut dengan syarat
tidak menerima vaksinasi typhoid dalam 6 bulan terakhir.

Peninggian titer H > 1/160 menunjukkan bahwa penderita pernah


divaksinasi atau terinfeksi Salmonella typhi.

Titer Vi (antigen kapsul) meninggi pada pembawa kuman atau


karier

Pemeriksaan Bakteriologic
Biakan Gall, untuk diagnosa pasti. Biakan dapat diambil dari :

Sumsum tulang (90% ketelitian) pada minggu ke I dan minggu ke II.

Darah pada minggu ke I dan minggu ke II (70% - 90%) minggu ke II


sampai minggu ke III (30% - 40%).

Biakan pada agar SS bahan diambil dari :


o Tinja pada minggu ke II sampai minggu ke III.

13

o Urine pada minggu ke III sampai minggu ke IV.


o Jangan menggunakan Gall culture, Rose spot boleh di Gall kultur.
Bila Gall positif diagnosa pasti dari tiphoid abdominalis, tetapi bila negatif
belum tentu bebas tiphoid abdominalis tergantung dari teknik pengambilan
bahan, waktu perjalanan penyakit, post vaksinasi
2.9.Komplikasi

Komplikasi Intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Komplikasi Ekstraintestinal
Komplikasi Kardiovaskuler : miokarditis
Komplikasi hematologi : trombositopenia,

Disseminated

Intravaskular

Coagulation.
Komplikasi Hepar : Hepatitis
Komplikasi Neurospikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polyneuritis
perifer, SGB, psikosis .
2.10. Pengobatan
o

Istirahat dan perawatan


Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik
serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)


Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan

14

keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama.
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan khirnya diberikan nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada
pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti meunujukkan
bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
o

Pemberian antimikroba
Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfebikol masih merupakan obat pilihan utama untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per
hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai
dengan 7 hari bebas panas.
Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya

anemia

aplastik

lebih

rendah

dibandingkan

dengan

kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata


menurun pada hari ke 5 sampai ke 6.
Kotrimoksazol
Efektifitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
untuk dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengantdung sulfametoksazol
400 mg dan 80 mg trimetropin) diberikan selama 2 minggu.
Amphisilin dan amoksisilin

15

Kemungkinan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah


dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar
antara 50-150 mg/KgBB dan digunakan selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi ketiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke3 yang terbukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah
antara 1-2 gram sekali sehari selama 3-5 hari.
o

Kortikosteroid 5
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam
tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3 x 5 mg.

BAB III
ANALISA KASUS

Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar

Pada kasus ini tidak ada hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan
lingkungan sekitar

Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan keluarga

16

Pada kasus ini tidak ada hubungan diagnosis penyakit dengan keadaan
keluarga dan hubungan antar keluarga karena penyakit ini bukan merupakan
penyakit psikologis dan penyakit yang menular.
Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan
lingkungan sekitar

Perilaku kesehatan dalam keluarga pasien tergolong kurang baik,


tergambar dari kebiasaan pola makan yang tidak teratur, istirahat yang
kurang, dan sering makan di warung-warung.

Ada hubungannya dengan diagnosis penyakit karena hal tersebut


menyebabkan terjadinya penyakit yang disebabkan oleh kurangnya
kebersihan makanan dan pola makan yang tidak teratur sehingga
mempermudah terjangkitnya penyakit seperti pada pasien ini.

Analisis kemungkinan faktor resiko atau etiologi penyakit pada pasien


-

Kebiasaan pasien yang sering makan makanan di warung kemungkinan


pasien terinfeksi S.Typhi yang menyebabkan pasien mengalami demam
tifoid,

kemudian

perilaku

kesehatan

pasien

yang

kurang

baik

mengakibatkan memperburuk terjadinya demam tifoid.

Analisis untuk mengurangi paparan


-

Proteksi pada orang beresiko terinfeksi


Kebersihan lingkungan dijaga.
Konsumsi makan dan minum lebih diperhatikan kebersihannya
Biasakan mencuci tangan setelah beraktivitas
Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan (CTPS)
Minum obat teratur sesuai terapi yang telah diberikan

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Juwono R. Penyakit tropik dan menular: Demam tifoid. Noer MS, Waspadji S,
Rachman AM, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I. Edisi ke5. Jakarta:
Balai penerbit FKUI 2006. 435-442.
2. Aru W. Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penyakit Tropik Infeksi.
Demam Tifoid. Jilid III. Edisi ke IV. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006. 1725-1728.
3. Corales R. Typoid Fever. Departement of Infectious disease and tropical
medicine,

Birmingham

heartlands

hospital;

2004.

Diunduh

dari

http://www.emedicine.com/med/tropic2331.htm

18

4. Mandjoer, A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Penyakit Tropik Infeksi. Edisi


Ke3. Jilid I. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1999.
5. Prof. Tjokronegoro, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penyakit Tropik
Infeksi. Jilid I Edisi Ke3. Jakarta. FKUI. 1996.

Lampiran

19

20

Você também pode gostar