Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
A. SKENARIO/ LATAR BELAKANG MASALAH (LBM)
Jual Obat Keras Perawat Ditangkap Polisi
EHS (28) hanyalah perawat di Puskesmas Paron di Kabupaten Ngawi. Ia
juga tidak punya surat izin praktik (SIP) dan surat izin praktik perawat. Akan
tetapi, EHS seringkali mengobati pasien. Bukan hanya itu, ia malah diduga kuat
menjual obat-obat yang termasuk keras.
Atas perbuatannya itu, EHS ditangkap dan saat ini ditahan di Kepolisian
Resor Ngawi. Kepada wartawan, Selasa (20/1), EHS mengatakan telah mengobati
pasien dan menjual obat-obat itu kepada pasien dalam lima tahun terakhir. Dia
membuka praktiknya di rumahnya di Desa Jeblogan, Kecamatan Paron, Ngawi.
Dia mengaku, hal itu dilakukannya karena telah mendapatkan izin lisan
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi. Selain itu, perawat-perawat lainnya yang
tidak memiliki SIP ataupun SIPP pun melkukan hal itu.
Hanya karena saya yang apes, saya ditangkap polisi, ujarnya yang
mengetahui kalau apa yang dilakukannya sebetulnya melanggar aturan.
EHS juga mengaku, dia terpaksa berperan seperti dokter di desanya karena
jumlah dokter di wilayahnya sangat terbatas. Jadi, sebetulnya niat saya baik,
mengobati mereka yang sakit, tambahnya.
Namun, alasan EHS ini tidak bisa diterima oleh polisi. Menurut Kepala
Satuan Reserse dan Kriminal Polres Ngawi Ajun Komisaris Sujarwanto,
mengobati orang sakit harus ada izinnya terlebih dahulu. Izin itu sebagai dasar
kalau seseorang memiliki keahlian mengobati orang.
Sekarang kalau ternyata ada salah satu pasiennya yang salah diberi obat
lalu meninggal, itu kan bisa menjadi masalah besar. Makanya kami menahan EHS
sebelum itu terjadi, ujarnya.
Di rumah EHS, polisi menyita ratusan obat keras berlogo K merah,
diantaranya Duradryl, Gludepatic 500, Diltiazem, dan Microtina. Obat-obat ini
dibelinya dari apotek yang pemiliknya sudah kenal kalau EHS adalah perawat di
puskesmas.
EHS dinilai polisi telah melanggar pasal 81 dan pasal 82 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dengan begitu, EHS diancam tujuh
tahun penjara.
Sujarwanto menambahkan, selama tahun 2008 sampai awal tahun 2009
ini, Polres Ngawi telah menahan sembilan orang yang melakukan kesalahan
seperti yang dilakukan EHS.
B. ANALISA KASUS
1. Klarifikasi/Identifikasi Istilah (clarify term)
1) Obat keras berlogo K merah
Obat keras adalah obat yang diberikan sesuai dengan resep dokter (tidak
dijual bebas)
Obat keras adalah obat beracun yang mempunyai khasiat mengobati,
Kesehatan? Jelaskan!
Apa isi pasal 81 dan 82 UU No. 23 Tahun 1992?
Undang-undang pasal berapakah tentang izin praktik keprawatan?
Apa yang menyebabkan perawat EHS melakukan hal tersebut?
Apakah boleh perawat menjual obat secara bebas?
Apa saja yang termasuk dalam obat keras?
Apa saja ketentuan-ketentuan obat keras?
Obat-obat apa saja yang dapat diberikan oleh perawat?
Apa hak dan kewajiban perawat?
d. Pasal 81 dan 82 UU No. 23 Tahun 1992, UU No. 1239 Tahun 2001 tentang
Registrasi dan Praktik Keperawatan, dan PERMENKES 148/1/2010
tentang izin keperawatan.
e. Yang menyebabkan perawat EHS melakukan hal tersebut adalah:
Tidak adanya dokter di daerah tersebut atau keterbatasan jumlah dokter
f.
g.
h.
i.
j.
di daerah tersebut
Faktor dari penduduknya sendiri yang lebih suka berobat kepada
perawat
Keinginan EHS mencari nafkah
Karena telah mendapatkan izin isan dari Dinas Kesehatan
Ingin mengobati orang yang sakit (seperti pada pengakuan EHS sendiri)
Tidak boleh, karena jelas melanggar hukum
Yang termasuk dalam obat keras, yaitu:
Semua antibiotika
Golongan obat hipnotika
Obat luar seperti salep
Obat yang bersifat kausatif
Semua obat suntik
Ketentuan-ketentuan obat keras, yaitu
Diberikan hanya berdasarkan dengan resep dokter
Tidak dijual bebas
Berlogo K merah
Terdapat tulisan peringatan (P1-P5)
Obat bebas dan obat bebas terbatas (sesuai dengan PERMENKES)
Hak dan kewajiban perawat?
4. Pohon Masalah
Praktik
Keperawatan
Pelanggaran
dan
Penyalahguna
an
Hak dan
Kewajiban
Perawat
Dasar Hukum
Syarat dan
Izin
SIP
SIPP
SIK
BAB II
PEMBAHASAN
Profesi perawat yang dulunya masih vokasional sekarang sudah
berkembang ke arah professional. Konsekuensi seorang perawat professional yaitu
harapan untuk mendapatkan otonomi dalam melaksanakan tugasnya dalam
pelayanan keperawatan. Otonomi tersebut berupa pengakuan, ijin serta
perlindungan dan kepastian hukum yang menjadi haknya sebagai seorang
profesional. Walaupun kenyataanya praktik perawat sudah dilakukan sejak dahulu,
dan ini secara hukum sifatnya ilegal kecuali pada lokasi tertentu yang tidak bisa
dijangkau oleh sarana/petugas kesehatan lain dan keadaan darurat. Keluarnya
UUK No 23 Tahun 1992 ternyata masih juga belum memberikan kejelasan
batasan kewenangan, perlindungan hukum yang pasti bagi tenaga perawat. Yang
lebih membingungkan yakni praktek perawat khususnya pribadi akan mendapat
tuntutan hukum yang cukup mengejutkan dan tidak rasional. Dalam pasal 59
tentang ijin untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan baik pemerintah
maupun swasta dan pasal 84 tentang tuntutan hukum bagi yang tidak izin, yaitu
kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak lima belas juta. Serta
pasal 81 dan 82 tentang tindakan di luar kewenangan dan keahliannya dapat
dipidana lima tahun atau denda maksimal seratus juta. Padahal, perawat juga tak
bisa membiarkan pasien itu tanpa perawatan karena dia bisa dijerat pasal 190 ayat
1 UU Kesehatan yang berisi tentang menolak menangani pasien.
A. Dasar Hukum Praktik Keperawatan
Hukum-hukum yang mendasari praktik keperawatan antara lain:
1. Pasal 81 dan 82 UU No. 23 Tahun 1992
Pasal 81
(1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan segaja :
a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);
b. melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1);
c. melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh jula rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja :
a. mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan
donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2);
b. memproduksi dan atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memenuhi
standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(2);
c. mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
d. menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kesehatan pada manusia tanpa memperhatikan kesehatan
7
Pasal 82
(1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :
a. melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (4);
b. melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);
c. melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);
d. melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (1);
e. melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja :
a. melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);
b. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat
tradisional
yang
tidak
memenuhi
standar
dan
atau
persyaratan
Pada kasus EHS melanggar beberapa hal yang terdapat dalam pasal 81 dan
82 UU No. 23 Tahun 1992 yaitu pada pasal 81 ayat (2) c Barang siapa yang
dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Dan pada pasal 82 ayat (2) d
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
hal
ini
dituangkan
dalam
PERMENKES
RI
No.
10
11
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan atau
keluarganya
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi
d. Menerima imbalan jasa profesi
e. Memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan
dengan tugasnya
Pasal 12: Kewajiban perawat
Dalam melaksanakan praktik , perawat mempunyai kewajiban
a.
b.
c.
d.
12
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil kegiatan BBM pada kasus Jual Obat Keras Perawat Ditangkap
Polisi dapat disimpulkan bahwa kasus tersebut melanggar peraturan dan hukum
mengenai praktik keperawatan. Seharusnya perawat mengambil tindakan
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, dan setiap perawat yang akan
melakukan praktik keperawatan harus memiliki SIP, SIPP dan SIK. Dan
melanggar ketentuan yaitu memberikan obat keras kepada klien-kliennya. Seperti
yang kita ketahui bahwa seorang perawat hanya boleh memberikan obat bebes dan
obat
bebas
terbatas
sesuai
dengan
Permenkes
RI.
No.
HK.
02.
02/MENKES/148/1/2010.
B. Saran
Dalam melaksanakan praktik keperawatan, seorang perawat harus
memenuhi syarat-syaratnya, seperti melengkapi beberapa surat izin yaitu SIP,
SIPP, SIK serta harus mematuhi segala peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Sehingga kita sebagai seorang perawat tidak melakukan tindakan yang melanggar
hukum.
13
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239 tahun
2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat. Jakarta: Depkes RI, 2001
Area praktik : Blais KK, Hayes JS, Kozier B, Erb G. Praktik keperawatan
professional. Jakarta: EGC, 2002
Hansten RI, Washburn MJ. Kecakapan pendelegasian klinis. Jakarta: EGC, 2001
Bishop A, Scudder J. Etika keperawatan. Jakarta: EGC, 2001
Majalah Ners vol IX, 2010
14
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil kegiatan BBM pada kasus Jual Obat Keras Perawat Ditangkap
Polisi dapat disimpulkan bahwa kasus tersebut termasuk perbuatan euthanasia.
15