Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ini, penggunaan analgesik atau steroid preoperatif, dan memiliki faktor risiko infeksi rongga
mulut. Yang juga dieksklusikan dari penelitian adalah pasien yang memerlukan lebih dari satu
kali percobaan intubasi, mereka yang menggunakan tuba nasogastrik, mereka yang memiliki
durasi intubasi trakea <60 menit atau >300 menit, dan/atau mereka yang muntah selama masa
penelitian.
Pasien secara acak dibagi menjadi dua kelompok mengikuti prosedur pengacakan
simpel menggunakan tabel angka acak yang dihasilkan komputer. Amplop buram tersegel
berisi urutan pengacakan digunakan untuk memastikan kerahasiaan pembagian. Semua ETT
dipersiapkan oleh pemeriksa saat sebelum intubasi. Pasien di kelompok chlorhexidine
diintubasi secara trakea dengan ETT yang dilubrikasi dengan gel chlorhexidine gluconate
0.1%, dan mereka di kelompok triamcinolone diintubasi secara trakea dengan ETT yang
dilubrikasi dengan 0.5 mg pasta triamcinolone acetonide 0.1%. 0.5 ml dari masing-masing
agen diaspirasi menggunakan syringe 1 ml dan diaplikasikan pada sepanjang tuba trakeal.
ETT dilubrikasi dari ujung distal hingga jarak 17 cm, dan cuff sepenuhnya digembungkan
selama persiapan untuk memastikan bahwa lubrikan diaplikasikan secara merata. Setelah
kedua agen diaplikasikan pada sepanjang tuba trakeal, tuba trakeal tidak dibedakan antara satu
dengan yang lain. Anestesiologis diberikan tuba trakeal yang telah dilubrikasi selama
laringoskopi, sehingga mereka tidak mengetahui lubrikan yang digunakan. Semua prosedur
anestesi dilakukan oleh dua anestesiologis berpengalaman yang tidak mengetahui bagaimana
prosedur pembagian kelompok. Pemeriksa yang mengumpulkan data dan hasil wawancara
pasien tidak melakukan tindakan, dan mereka tidak mengetahui bagaimana prosedur
pembagian kelompok. Seluruh pasien juga tidak mengetahui bagaimana prosedur pembagian
kelompok.
Para pasien diberikan premedikasi 0.2 mg glycopyrrolate intramuskular. Di ruang
operasi, pemantauan mencakup elektrokardiografi tiga-lead, tekanan darah arterial noninvasif,
pulse oximetry, dan CO2 akhir-tidal. Induksi anestesi dilakukan dengan 100 g fentanyl dan 2
mgkg-1 propofol, dan diikuti oleh 0.6 mgkg-1 rocuronium intravena. Sebelum intubasi trakea,
ventilasi dikontrol dengan oksigen 100% melalui sungkup muka. Laringoskopi langsung
menggunakan bilah Macintosh #3 dan intubasi trakea dilakukan tiga menit setelah injeksi
rocuronium. Trakea pasien diintubasi menggunakan tuba trakea volume tinggi/tekanan rendah
(Endotracheal tube; EM Euro Medical, Selangor, Malaysia) dengan diameter internal 8.0
untuk pasien pria atau 7.0 mm untuk pasien wanita. Segera setelah intubasi, cuff tuba trakeal
digembungkan dengan udara ruangan sampai tidak terdengar kebocoran udara pada tekanan
jalan nafas atas sebesar 20 cmH2O. Lalu, tekanan cuff diatur pada 8-15 mmHg menggunakan
alat pengukur tekanan genggam (Portex Cuff Inflator/Pressure Gauge; SIMS Portex, Hythe,
3
Kent, UK). Setelah intubasi, semua pasien mendapat 10 mg dexamethasone intravena untuk
profilaksis mual dan muntah. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan O2 50%, desflurane 7-8
vol%, dan rocuronium. CO2 akhir-tidal dipertahankan pada 35-40 mmHg. Untuk
mempertahankan tekanan dalam cuff pada 8-15 mmHg, volume dalam cuff diatur tiap 15
menit selama fase akhir-inspirasi menggunakan alat pengukur tekanan genggam.
Pada akhir pembedahan, seluruh pasien mendapat 10 mg pyridostigmine dan 0.2 mg
glycopyrrolate intravena, dan diventilasi dengan O2 100% sampai mereka sadar penuh dan
telah pulih dari relaksasi otot. Setelah dilakukan pengisapan sekresi oral, cuff sepenuhnya
dikempiskan, dan ETT dilepas. Oksigen diberikan melalui sungkup muka, dan pasien dikirim
ke unit rawat pasca anestesi. Kami mencatat kejadian batuk selama ekstubasi trakea, adanya
darah pada sekresi orofaringeal atau pada tuba trakeal setelah ekstubasi, dan durasi intubasi
trakea. Seluruh pasien mendapat fentanyl secara intravena setelah operasi apabila mereka
mengeluh nyeri luka operasi. Kami tidak membatasi penggunaan fentanyl pasca operasi,
namun tidak ada analgesik lain yang digunakan.
Kejadian dan keparahan POST ditentukan oleh pertanyaan langsung11 pada satu, enam,
dan 24 jam setelah operasi. Keparahan POST digolongkan menggunakan skala empat-angka
(0 sampai 3): 0, tidak ada nyeri tenggorok; 1, nyeri tenggorok ringan; 2, nyeri tenggorok
sedang; 3, nyeri tenggorok berat. Kami menanyakan pertanyaan berikut: Apakah anda
mengalami nyeri tenggorok? Jika iya, apakah tergolong ringan, sedang, atau berat? Sebagai
tambahan, kejadian POST selama 24 jam setelah operasi ditentukan berdasarkan data berikut.
Seorang pasien dianggap mengalami POST apabila ia melaporkan nyeri tenggorok pada salah
satu dari tiga periode waktu tersebut. Nyeri luka operasi juga dicatat pada waktu yang sama.
Nyeri diukur menggunakan skala analog visual (visual analogue scale/VAS) horizontal 10-cm
yang diawali dengan 0 pada salah satu ujung dan 10 pada yang lainnya. Keluhan batuk,
suara serak, disfagia (sulit menelan), mual, dan tenggorokan kering diketahui menggunakan
pertanyaan langsung selama 24 jam setelah operasi. Dosis total fentanyl yang diberikan
selama induksi dan selama 24 jam setelah operasi juga dicatat.
Pertimbangan statistik
Uji Student-t digunakan untuk membandingkan perbedaan antar-kelompok pada skor
VAS, dan perbedaan antar-kelompok pada dosis total fentanyl yang diberikan selama induksi
dan selama 24 jam setelah operasi. Perbedaan antar-kelompok pada kejadian batuk selama
ekstubasi trakea, adanya darah pada sekresi orofaringeal atau pada tuba trakeal setelah
ekstubasi, POST, batuk, suara serak, disfagia, mual, dan tenggorokan kering selama 24 jam
setelah operasi dianalisis menggunakan uji 2 atau uji Fisher-exact jika nilai yang diharapkan
4
pada salah satu sel pada tabel kemungkinan di bawah 5. Skor keparahan POST dibandingkan
menggunakan uji Mann-Whitney U. Hasil dinyatakan sebagai rata-rata (SD), angka absolut,
atau median dan range persentil 25th-75th. Perangkat lunak SPSS versi 14.0 K untuk
Windows (SPSS, Chicago, IL, USA) digunakan untuk analisis statistik. Semua nilai P yang
didapat adalah dua-sisi. Variabel utama pada hasil penelitian ini adalah kejadian POST selama
24 jam setelah operasi. Variabel lainnya mencakup keparahan POST dan kejadian batuk, suara
serak, disfagia, mual, dan tenggorokan kering selama 24 jam setelah operasi.
Kami menganggap penurunan relatif sebesar 50% dalam kejadian POST signifikan
secara klinis. Hasil studi pilot kami menunjukkan bahwa kejadian POST adalah sebesar 55%.
Daya analisis ( = 0.05 [2-sisi] dan = 0.10) memperlihatkan bahwa dibutuhkan 70 pasien
pada tiap kelompok untuk menemukan penurunan 50% angka kejadian. Untuk
mengkompensasi adanya kemungkinan untuk dropout, 150 pasien diikutkan dalam penelitian
ini.
Hasil
Dari 150 pasien yang sejak awal diikutkan pada penelitian, tujuh dieksklusikan dari
analisis (4 di kelompok chlorhexidine dan 3 di kelompok triamcinolone). Dua pasien
memerlukan lebih dari satu kali percobaan intubasi; tiga pasien muntah saat periode
penelitian, dan dua pasien dieksklusikan karena durasi intubasi trakea <60 menit (Gambar).
Karakteristik 143 subyek yang tersisa dirangkum pada Tabel 1.
Selama 24 jam setelah operasi, 14 dari 72 (19.4%) pasien di kelompok triamcinolone
mengalami nyeri tenggorok dibandingkan 51 dari 71 (71.8%) pasien di kelompok
chlorhexidine (perbedaan = 52.4%; interval kepercayaan 95%, 36.8% sampai 64.2%; P <
0.001) (Tabel 2). Kejadian POST berdasarkan skor keparahan tercatat pada Tabel 3. Skor
keparahan pada kelompok triamcinolone secara signifikan lebih rendah pada seluruh tiga
periode waktu dibandingkan pada kelompok chlorhexidine. Satu pasien di kelompok
triamcinolone mengalami nyeri tenggorok yang berat. Tidak ada perbedaan signifikan yang
ditemukan antara kedua kelompok dalam hal kejadian batuk, suara serak, disfagia, mual, dan
tenggorokan kering (Tabel 2).
Diskusi
Pada penelitian ini, kami menemukan bahwa aplikasi pasta triamcinolone sepanjang
tuba trakeal memberikan hasil penurunan kejadian dan keparahan POST yang penting secara
klinis dan signifikan secara statistik dibandingkan dengan aplikasi gel chlorhexidine.
5
Intubasi trakea dapat menyebabkan trauma laringeal pada posterior krikoid, sepanjang
processus vocalis aritenoid, dan sepanjang dinding anterior trakea.12,13 Aplikasi pasta
triamcinolone sepanjang 17 cm pada tuba trakeal yang berkontak dengan dinding faring
posterior, pita suara, dan trakea jelas menurunkan POST. Penurunan inflamasi dan edema
akibat dari aplikasi steroid lokal dapat menjelaskan temuan ini. Kortikosteroid menurunkan
produksi sitokin dan mediator inflamatorik lain, seperti prostaglandins dan leukotrienes,
dengan menghambat phospholipase A2 dan cyclooxygenase 2 saat inflamasi. Efek antiinflamatorik dari kortikosteroid topikal mungkin efektif mencegah lesi inflamatorik atau
ulseratif pada mukosa.14
Berbagai penelitian yang menggunakan lubrikan steroid topikal untuk mencegah POST
telah dilaporkan. Pada tahun 1990, Stride15 menyimpulkan bahwa krim larut-air
hydrocortisone 1% tidak efektif menurunkan kejadian POST; namun hydrocortisone hanya
diaplikasikan pada 5 cm di atas cuff. Pada penelitian lain6,8 dan penelitian saat ini, agen steroid
topikal yang diaplikasikan pada tuba trakea lebih panjang (15-17 cm dari ujung) dan cukup
untuk meliputi seluruh area kontak antara tuba dan mukosa, serta efek bermanfaat dari steroid
topikal diamati. Ayoub et al.8 melaporkan bahwa aplikasi luas gel betamethasone secara
signifikan menurunkan kejadian dan keparahan POST, batuk, dan suara serak. Sumathi et al.6
mendapatkan hasil yang sama pada penggunaan gel betamethasone.
Walaupun pada penelitian sebelumnya6,8 telah mendemonstrasikan efek aplikasi steroid
topikal pada tuba trakeal, penelitian saat ini dilakukan untuk meneliti efek triamcinolone
acetonide daripada betamethasone. Triamcinolone memiliki seperlima aktivitas
glukokortikoid betamethasone, dan dosis triamcinolone yang digunakan pada penelitian ini
ekivalen dengan 0.4 mg prednisone, dimana merupakan dosis yang lebih rendah daripada
yang digunakan pada dua penelitian sebelumnya (Ayoub et al.,8 betamethasone ekivalen
dengan 3 mg prednisone; dan Sumathi et al.,6 betamethasone ekivalen dengan 4 mg
prednisone). Pada penelitian ini, kami menemukan 19.4% kejadian POST, yaitu lebih rendah
dibandingkan pada penelitian sebelumnya yang menggunakan betamethasone (43% kejadian,
Ayoub et al.8 dan 40% kejadian, Sumathi et al.6). Komponen acetonide jelas meningkatkan
sifat penetrasi triamcinolone, menjadikan lebih aktif secara topikal.16 Sifat ini mungkin
menyebabkan triamcinolone acetonide menjadi lebih efektif daripada betamethasone.
Walaupun dosis betamethasone yang digunakan sebelumnya dalam kisaran aman secara
klinis, dosis triamcinolone yang lebih rendah dan kurang poten memiliki manfaat melebihi
betamethasone mengingat efek samping yang mungkin terjadi yang berhubungan dengan
penggunaan steroid, termasuk infeksi seperti kandidiasis, mati rasa, dan mulut dan
tenggorokan kering. Selain itu, triamcinolone acetonide mengandung dua bahan pengawet,
6
methylparaben dan propylparaben, yang merupakan agen antibakteri dan antifungi efektif
yang sering digunakan sebagai pengawet pada makanan, minuman, dan farmasi.17
Gel chlorhexidine gluconate sering digunakan untuk lubrikasi. Maka dari itu, kami
menggunakan gel chlorhexidine gluconate sebagai perbandingan dengan pasta triamcinolone
acetonide. Chlorhexidine dapat meningkatkan kejadian nyeri tenggorok karena dapat
mengiritasi mukosa. Perbedaan yang terjadi antara kedua kelompok mungkin akibat dari
peningkatan POST di kelompok chlorhexidine dan penurunan di kelompok triamcinolone.
Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada kejadian POST antara tuba yang tidak
dilubrikasi dengan yang dilubrikasi pada penelitian sebelumnya yang menggunakan gel
chlorhexidine gluconate sebagai lubrikan.4,5 Efek lubrikasi yang berpotensi menurunkan
POST juga terbukti pada salah satu penelitian.18 Sebagai tambahan, seluruh subjek kami
sama-sama menjalani kolesistektomi laparoskopi, analgesik yang digunakan sama pada kedua
kelompok, dan kami memastikan bahwa keparahan nyeri pasca operasi dan dosis analgesik
yang digunakan selama periode penelitian tidak berbeda antara kedua kelompok. Jadi, kami
dapat mengeksklusikan adanya kemungkinan pengaruh lain.
Kejadian POST di kelompok chlorhexidine lebih tinggi dari yang diharapkan,19 dan
lebih tinggi daripada penelitian yang dilaporkan Ayoub et al.8 meskipun menggunakan
lubrikan yang sama. Sebagai tambahan, tidak seperti penelitian sebelumnya,6,8 kejadian batuk
dan suara serak di penelitian saat ini tidak menurun secara signifikan dengan steroid topikal.
Tuba trakeal mungkin relatif besar untuk pasien kami,20 dan walaupun kami telah mengatur
tekanan dalam cuff, mungkin tetap lebih tinggi pada pasien kami2 daripada penelitian
sebelumnya karena peningkatan tekanan abdominal yang disebabkan gas CO2. Sebagai
tambahan, terdapat lebih banyak pasien wanita dibanding pria yang termasuk dalam populasi
penelitian saat ini, yang dapat meningkatkan kejadian POST.21 Kolesistektomi laparoskopi
merupakan operasi minimal invasif yang menyebabkan nyeri ringan, maka pada pasien
diberikan dosis rendah analgesik sistemik. Ini menjadi alasan lain tingginya kejadian POST.
Fakta bahwa seluruh pasien mendapat 10 mg dexamethasone secara intravena
merupakan keterbatasan lain pada penelitian ini. Beberapa penelitian telah
mendemonstrasikan bahwa pemberian dexamethasone intravena preoperatif menurunkan
kejadian POST secara signifikan.22-24 Kami menggunakan dosis dexamethasone yang sama
dengan penelitian tersebut, yang mungkin bertentangan dengan efek lubrikan. Pada penelitian
kami, walau bagaimanapun juga, kedua kelompok mendapat dosis dexamethasone yang sama
setelah intubasi. Perbedaan kejadian POST antara kedua kelompok dianggap sebagai efek dari
lubrikan.
7