Você está na página 1de 9

Aplikasi pasta triamcinolone acetonide pada tuba endotrakeal

menurunkan nyeri tenggorok pasca operasi: suatu uji acak


terkontrol
Sun Young Park, MD; Sang Hyun Kim, PhD; Se Jin Lee, MD; Won Seok Chae, PhD;
Hee Cheol Jin, PhD; Jeong Seok Lee, PhD; Soon Im Kim, PhD; Kyung Ho Hwang,
PhD
Abstrak
Tujuan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah aplikasi pasta triamcinolone
acetonide sebagai lubrikan pada tuba endotrakeal (endotracheal tube/ETT) dalam
menurunkan kejadian dan keparahan nyeri tenggorok pasca operasi (postoperative sore
throat/POST) lebih efektif daripada aplikasi gel chlorhexidine gluconate.
Metode. Ini merupakan suatu uji acak terkontrol. Pasien yang diikutkan dalam penelitian
ini berusia 20 sampai 70 tahun, klasifikasi status fisik American Society of
Anesthesiologists (ASA) I dan II, dan dijadwalkan untuk kolesistektomi laparoskopi
elektif. Pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok, yaitu kelompok chlorhexidine
dan kelompok triamcinolone. Sebelum intubasi endotrakea, ETT pada kelompok
chlorhexidine dilubrikasi dengan gel chlorhexidine gluconate 0.1%, sedangkan ETT pada
kelompok triamcinolone dilubrikasi dengan 0.5 mg pasta triamcinolone acetonide 0.1%.
Selama 24 jam setelah operasi, kami mencatat kejadian dan keparahan POST dan kejadian
batuk, suara serak, disfagia, mual, dan tenggorokan kering.
Hasil. Dari 150 pasien yang direkrut sejak awal, 143 pasien yang ikut dalam penelitian ini.
Kejadian POST secara signifikan lebih rendah pada kelompok triamcinolone dibandingkan
dengan kelompok chlorhexidine (perbedaan = 52.4%; interval kepercayaan 95%, 36.8%
sampai 64.2%; P < 0.001). Skor keparahan pada kelompok triamcinolone secara signifikan
lebih rendah daripada kelompok chlorhexidine. Frekuensi batuk, suara serak, disfagia,
mual, dan tenggorokan kering sama pada kedua kelompok dalam 24 jam pertama setelah
pembedahan.
Kesimpulan. Pasta triamcinolone acetonide yang diaplikasikan pada sepanjang ETT
memberikan hasil penurunan kejadian dan keparahan POST yang penting secara klinis dan
signifikan secara statistik dibandingkan dengan aplikasi gel chlorhexidine.

Nyeri tenggorok pasca operasi (postoperative sore throat/POST) merupakan suatu


komplikasi minor, namun dapat menyebabkan rasa ketidaknyamanan yang sangat besar pada
pasien. Lebih lagi, POST sulit untuk ditatalaksana, walaupun nyeri operasi berhasil ditangani
dengan pemberian obat-obatan analgesik sistemik. Maka dari itu, POST tetap menjadi suatu
hal yang penting, dan berbagai penelitian telah dilakukan sebagai usaha untuk menurunkan
kejadian POST. Berbagai tindakan yang direkomendasikan untuk mengurangi komplikasi ini
(contoh: penggunaan cuff berisi cairan dan pembatasan tekanan cuff) telah dilakukan untuk
mencegah trauma fisik akibat dari instrumen dan manipulasi jalan nafas.1,2 Sebagai tambahan,
beberapa peneliti telah melakukan intervensi farmakologi sebagai cara untuk menurunkan
insidensi POST. Namun, tidak ada satupun obat yang diakui secara luas di komunitas klinis
untuk indikasi ini.
Beberapa agen lubrikan untuk tuba trakea telah dinilai kemampuannya untuk
menurunkan insidensi POST; telah dilaporkan berbagai angka keberhasilan.4-6 Lubrikasi pada
tuba trakea mungkin berguna untuk meminimalisasikan perlukaan mukosa dengan
memfasilitasi jalan masuk menuju faring dan untuk mengurangi aspirasi pulmoner.7 Sebagai
tambahan, steroid topikal sebagai agen lubrikan merupakan pilihan yang baik untuk POST. Ini
merupakan langkah yang tepat untuk memberikan terapi yang sesuai target karena iritasi dan
inflamasi lokal pada mukosa trakea mungkin menjadi penyebab utama POST.6,8,9 Aplikasi gel
betamethasone pada tuba trakea dilaporkan efektif untuk menurunkan insidensi POST, batuk,
dan suara serak.6,8
Triamcinolone acetonide memiliki potensi rendah namun lebih aktif sebagai
glukokortikoid topikal. Tidak seperti betamethasone, efek triamcinolone acetonide pada POST
belum jelas.10 Kami menghipotesiskan bahwa triamcinolone acetonide mungkin lebih efektif
menurunkan kejadian dan keparahan POST dibandingkan agen lubrikan lain. Untuk
mengevaluasinya, kami membandingkan efek pasta triamcinolone acetonide yang
diaplikasikan pada sepanjang tuba endotrakeal (ETT) dengan aplikasi gel chlorhexidine,
sebuah lubrikan yang sering digunakan.
Metode
Uji acak terkontrol ini diakui oleh Institutional Review Board Universitas
Soonchunhyang Korea. Semua peserta diberikan lembar informed consent sebelum direkrut.
Target populasi adalah pasien dengan klasifikasi status fisik American Society of
Anesthesiologists I dan II yang berusia 20 hingga 70 tahun dan dijadwalkan untuk
kolesistektomi laparoskopi elektif dari bulan Juni 2008 sampai Mei 2009. Kriteria eksklusi
mencakup pasien dengan riwayat infeksi saluran pernafasan atau nyeri tenggorok belakangan
2

ini, penggunaan analgesik atau steroid preoperatif, dan memiliki faktor risiko infeksi rongga
mulut. Yang juga dieksklusikan dari penelitian adalah pasien yang memerlukan lebih dari satu
kali percobaan intubasi, mereka yang menggunakan tuba nasogastrik, mereka yang memiliki
durasi intubasi trakea <60 menit atau >300 menit, dan/atau mereka yang muntah selama masa
penelitian.
Pasien secara acak dibagi menjadi dua kelompok mengikuti prosedur pengacakan
simpel menggunakan tabel angka acak yang dihasilkan komputer. Amplop buram tersegel
berisi urutan pengacakan digunakan untuk memastikan kerahasiaan pembagian. Semua ETT
dipersiapkan oleh pemeriksa saat sebelum intubasi. Pasien di kelompok chlorhexidine
diintubasi secara trakea dengan ETT yang dilubrikasi dengan gel chlorhexidine gluconate
0.1%, dan mereka di kelompok triamcinolone diintubasi secara trakea dengan ETT yang
dilubrikasi dengan 0.5 mg pasta triamcinolone acetonide 0.1%. 0.5 ml dari masing-masing
agen diaspirasi menggunakan syringe 1 ml dan diaplikasikan pada sepanjang tuba trakeal.
ETT dilubrikasi dari ujung distal hingga jarak 17 cm, dan cuff sepenuhnya digembungkan
selama persiapan untuk memastikan bahwa lubrikan diaplikasikan secara merata. Setelah
kedua agen diaplikasikan pada sepanjang tuba trakeal, tuba trakeal tidak dibedakan antara satu
dengan yang lain. Anestesiologis diberikan tuba trakeal yang telah dilubrikasi selama
laringoskopi, sehingga mereka tidak mengetahui lubrikan yang digunakan. Semua prosedur
anestesi dilakukan oleh dua anestesiologis berpengalaman yang tidak mengetahui bagaimana
prosedur pembagian kelompok. Pemeriksa yang mengumpulkan data dan hasil wawancara
pasien tidak melakukan tindakan, dan mereka tidak mengetahui bagaimana prosedur
pembagian kelompok. Seluruh pasien juga tidak mengetahui bagaimana prosedur pembagian
kelompok.
Para pasien diberikan premedikasi 0.2 mg glycopyrrolate intramuskular. Di ruang
operasi, pemantauan mencakup elektrokardiografi tiga-lead, tekanan darah arterial noninvasif,
pulse oximetry, dan CO2 akhir-tidal. Induksi anestesi dilakukan dengan 100 g fentanyl dan 2
mgkg-1 propofol, dan diikuti oleh 0.6 mgkg-1 rocuronium intravena. Sebelum intubasi trakea,
ventilasi dikontrol dengan oksigen 100% melalui sungkup muka. Laringoskopi langsung
menggunakan bilah Macintosh #3 dan intubasi trakea dilakukan tiga menit setelah injeksi
rocuronium. Trakea pasien diintubasi menggunakan tuba trakea volume tinggi/tekanan rendah
(Endotracheal tube; EM Euro Medical, Selangor, Malaysia) dengan diameter internal 8.0
untuk pasien pria atau 7.0 mm untuk pasien wanita. Segera setelah intubasi, cuff tuba trakeal
digembungkan dengan udara ruangan sampai tidak terdengar kebocoran udara pada tekanan
jalan nafas atas sebesar 20 cmH2O. Lalu, tekanan cuff diatur pada 8-15 mmHg menggunakan
alat pengukur tekanan genggam (Portex Cuff Inflator/Pressure Gauge; SIMS Portex, Hythe,
3

Kent, UK). Setelah intubasi, semua pasien mendapat 10 mg dexamethasone intravena untuk
profilaksis mual dan muntah. Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan O2 50%, desflurane 7-8
vol%, dan rocuronium. CO2 akhir-tidal dipertahankan pada 35-40 mmHg. Untuk
mempertahankan tekanan dalam cuff pada 8-15 mmHg, volume dalam cuff diatur tiap 15
menit selama fase akhir-inspirasi menggunakan alat pengukur tekanan genggam.
Pada akhir pembedahan, seluruh pasien mendapat 10 mg pyridostigmine dan 0.2 mg
glycopyrrolate intravena, dan diventilasi dengan O2 100% sampai mereka sadar penuh dan
telah pulih dari relaksasi otot. Setelah dilakukan pengisapan sekresi oral, cuff sepenuhnya
dikempiskan, dan ETT dilepas. Oksigen diberikan melalui sungkup muka, dan pasien dikirim
ke unit rawat pasca anestesi. Kami mencatat kejadian batuk selama ekstubasi trakea, adanya
darah pada sekresi orofaringeal atau pada tuba trakeal setelah ekstubasi, dan durasi intubasi
trakea. Seluruh pasien mendapat fentanyl secara intravena setelah operasi apabila mereka
mengeluh nyeri luka operasi. Kami tidak membatasi penggunaan fentanyl pasca operasi,
namun tidak ada analgesik lain yang digunakan.
Kejadian dan keparahan POST ditentukan oleh pertanyaan langsung11 pada satu, enam,
dan 24 jam setelah operasi. Keparahan POST digolongkan menggunakan skala empat-angka
(0 sampai 3): 0, tidak ada nyeri tenggorok; 1, nyeri tenggorok ringan; 2, nyeri tenggorok
sedang; 3, nyeri tenggorok berat. Kami menanyakan pertanyaan berikut: Apakah anda
mengalami nyeri tenggorok? Jika iya, apakah tergolong ringan, sedang, atau berat? Sebagai
tambahan, kejadian POST selama 24 jam setelah operasi ditentukan berdasarkan data berikut.
Seorang pasien dianggap mengalami POST apabila ia melaporkan nyeri tenggorok pada salah
satu dari tiga periode waktu tersebut. Nyeri luka operasi juga dicatat pada waktu yang sama.
Nyeri diukur menggunakan skala analog visual (visual analogue scale/VAS) horizontal 10-cm
yang diawali dengan 0 pada salah satu ujung dan 10 pada yang lainnya. Keluhan batuk,
suara serak, disfagia (sulit menelan), mual, dan tenggorokan kering diketahui menggunakan
pertanyaan langsung selama 24 jam setelah operasi. Dosis total fentanyl yang diberikan
selama induksi dan selama 24 jam setelah operasi juga dicatat.
Pertimbangan statistik
Uji Student-t digunakan untuk membandingkan perbedaan antar-kelompok pada skor
VAS, dan perbedaan antar-kelompok pada dosis total fentanyl yang diberikan selama induksi
dan selama 24 jam setelah operasi. Perbedaan antar-kelompok pada kejadian batuk selama
ekstubasi trakea, adanya darah pada sekresi orofaringeal atau pada tuba trakeal setelah
ekstubasi, POST, batuk, suara serak, disfagia, mual, dan tenggorokan kering selama 24 jam
setelah operasi dianalisis menggunakan uji 2 atau uji Fisher-exact jika nilai yang diharapkan
4

pada salah satu sel pada tabel kemungkinan di bawah 5. Skor keparahan POST dibandingkan
menggunakan uji Mann-Whitney U. Hasil dinyatakan sebagai rata-rata (SD), angka absolut,
atau median dan range persentil 25th-75th. Perangkat lunak SPSS versi 14.0 K untuk
Windows (SPSS, Chicago, IL, USA) digunakan untuk analisis statistik. Semua nilai P yang
didapat adalah dua-sisi. Variabel utama pada hasil penelitian ini adalah kejadian POST selama
24 jam setelah operasi. Variabel lainnya mencakup keparahan POST dan kejadian batuk, suara
serak, disfagia, mual, dan tenggorokan kering selama 24 jam setelah operasi.
Kami menganggap penurunan relatif sebesar 50% dalam kejadian POST signifikan
secara klinis. Hasil studi pilot kami menunjukkan bahwa kejadian POST adalah sebesar 55%.
Daya analisis ( = 0.05 [2-sisi] dan = 0.10) memperlihatkan bahwa dibutuhkan 70 pasien
pada tiap kelompok untuk menemukan penurunan 50% angka kejadian. Untuk
mengkompensasi adanya kemungkinan untuk dropout, 150 pasien diikutkan dalam penelitian
ini.
Hasil
Dari 150 pasien yang sejak awal diikutkan pada penelitian, tujuh dieksklusikan dari
analisis (4 di kelompok chlorhexidine dan 3 di kelompok triamcinolone). Dua pasien
memerlukan lebih dari satu kali percobaan intubasi; tiga pasien muntah saat periode
penelitian, dan dua pasien dieksklusikan karena durasi intubasi trakea <60 menit (Gambar).
Karakteristik 143 subyek yang tersisa dirangkum pada Tabel 1.
Selama 24 jam setelah operasi, 14 dari 72 (19.4%) pasien di kelompok triamcinolone
mengalami nyeri tenggorok dibandingkan 51 dari 71 (71.8%) pasien di kelompok
chlorhexidine (perbedaan = 52.4%; interval kepercayaan 95%, 36.8% sampai 64.2%; P <
0.001) (Tabel 2). Kejadian POST berdasarkan skor keparahan tercatat pada Tabel 3. Skor
keparahan pada kelompok triamcinolone secara signifikan lebih rendah pada seluruh tiga
periode waktu dibandingkan pada kelompok chlorhexidine. Satu pasien di kelompok
triamcinolone mengalami nyeri tenggorok yang berat. Tidak ada perbedaan signifikan yang
ditemukan antara kedua kelompok dalam hal kejadian batuk, suara serak, disfagia, mual, dan
tenggorokan kering (Tabel 2).
Diskusi
Pada penelitian ini, kami menemukan bahwa aplikasi pasta triamcinolone sepanjang
tuba trakeal memberikan hasil penurunan kejadian dan keparahan POST yang penting secara
klinis dan signifikan secara statistik dibandingkan dengan aplikasi gel chlorhexidine.
5

Intubasi trakea dapat menyebabkan trauma laringeal pada posterior krikoid, sepanjang
processus vocalis aritenoid, dan sepanjang dinding anterior trakea.12,13 Aplikasi pasta
triamcinolone sepanjang 17 cm pada tuba trakeal yang berkontak dengan dinding faring
posterior, pita suara, dan trakea jelas menurunkan POST. Penurunan inflamasi dan edema
akibat dari aplikasi steroid lokal dapat menjelaskan temuan ini. Kortikosteroid menurunkan
produksi sitokin dan mediator inflamatorik lain, seperti prostaglandins dan leukotrienes,
dengan menghambat phospholipase A2 dan cyclooxygenase 2 saat inflamasi. Efek antiinflamatorik dari kortikosteroid topikal mungkin efektif mencegah lesi inflamatorik atau
ulseratif pada mukosa.14
Berbagai penelitian yang menggunakan lubrikan steroid topikal untuk mencegah POST
telah dilaporkan. Pada tahun 1990, Stride15 menyimpulkan bahwa krim larut-air
hydrocortisone 1% tidak efektif menurunkan kejadian POST; namun hydrocortisone hanya
diaplikasikan pada 5 cm di atas cuff. Pada penelitian lain6,8 dan penelitian saat ini, agen steroid
topikal yang diaplikasikan pada tuba trakea lebih panjang (15-17 cm dari ujung) dan cukup
untuk meliputi seluruh area kontak antara tuba dan mukosa, serta efek bermanfaat dari steroid
topikal diamati. Ayoub et al.8 melaporkan bahwa aplikasi luas gel betamethasone secara
signifikan menurunkan kejadian dan keparahan POST, batuk, dan suara serak. Sumathi et al.6
mendapatkan hasil yang sama pada penggunaan gel betamethasone.
Walaupun pada penelitian sebelumnya6,8 telah mendemonstrasikan efek aplikasi steroid
topikal pada tuba trakeal, penelitian saat ini dilakukan untuk meneliti efek triamcinolone
acetonide daripada betamethasone. Triamcinolone memiliki seperlima aktivitas
glukokortikoid betamethasone, dan dosis triamcinolone yang digunakan pada penelitian ini
ekivalen dengan 0.4 mg prednisone, dimana merupakan dosis yang lebih rendah daripada
yang digunakan pada dua penelitian sebelumnya (Ayoub et al.,8 betamethasone ekivalen
dengan 3 mg prednisone; dan Sumathi et al.,6 betamethasone ekivalen dengan 4 mg
prednisone). Pada penelitian ini, kami menemukan 19.4% kejadian POST, yaitu lebih rendah
dibandingkan pada penelitian sebelumnya yang menggunakan betamethasone (43% kejadian,
Ayoub et al.8 dan 40% kejadian, Sumathi et al.6). Komponen acetonide jelas meningkatkan
sifat penetrasi triamcinolone, menjadikan lebih aktif secara topikal.16 Sifat ini mungkin
menyebabkan triamcinolone acetonide menjadi lebih efektif daripada betamethasone.
Walaupun dosis betamethasone yang digunakan sebelumnya dalam kisaran aman secara
klinis, dosis triamcinolone yang lebih rendah dan kurang poten memiliki manfaat melebihi
betamethasone mengingat efek samping yang mungkin terjadi yang berhubungan dengan
penggunaan steroid, termasuk infeksi seperti kandidiasis, mati rasa, dan mulut dan
tenggorokan kering. Selain itu, triamcinolone acetonide mengandung dua bahan pengawet,
6

methylparaben dan propylparaben, yang merupakan agen antibakteri dan antifungi efektif
yang sering digunakan sebagai pengawet pada makanan, minuman, dan farmasi.17
Gel chlorhexidine gluconate sering digunakan untuk lubrikasi. Maka dari itu, kami
menggunakan gel chlorhexidine gluconate sebagai perbandingan dengan pasta triamcinolone
acetonide. Chlorhexidine dapat meningkatkan kejadian nyeri tenggorok karena dapat
mengiritasi mukosa. Perbedaan yang terjadi antara kedua kelompok mungkin akibat dari
peningkatan POST di kelompok chlorhexidine dan penurunan di kelompok triamcinolone.
Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada kejadian POST antara tuba yang tidak
dilubrikasi dengan yang dilubrikasi pada penelitian sebelumnya yang menggunakan gel
chlorhexidine gluconate sebagai lubrikan.4,5 Efek lubrikasi yang berpotensi menurunkan
POST juga terbukti pada salah satu penelitian.18 Sebagai tambahan, seluruh subjek kami
sama-sama menjalani kolesistektomi laparoskopi, analgesik yang digunakan sama pada kedua
kelompok, dan kami memastikan bahwa keparahan nyeri pasca operasi dan dosis analgesik
yang digunakan selama periode penelitian tidak berbeda antara kedua kelompok. Jadi, kami
dapat mengeksklusikan adanya kemungkinan pengaruh lain.
Kejadian POST di kelompok chlorhexidine lebih tinggi dari yang diharapkan,19 dan
lebih tinggi daripada penelitian yang dilaporkan Ayoub et al.8 meskipun menggunakan
lubrikan yang sama. Sebagai tambahan, tidak seperti penelitian sebelumnya,6,8 kejadian batuk
dan suara serak di penelitian saat ini tidak menurun secara signifikan dengan steroid topikal.
Tuba trakeal mungkin relatif besar untuk pasien kami,20 dan walaupun kami telah mengatur
tekanan dalam cuff, mungkin tetap lebih tinggi pada pasien kami2 daripada penelitian
sebelumnya karena peningkatan tekanan abdominal yang disebabkan gas CO2. Sebagai
tambahan, terdapat lebih banyak pasien wanita dibanding pria yang termasuk dalam populasi
penelitian saat ini, yang dapat meningkatkan kejadian POST.21 Kolesistektomi laparoskopi
merupakan operasi minimal invasif yang menyebabkan nyeri ringan, maka pada pasien
diberikan dosis rendah analgesik sistemik. Ini menjadi alasan lain tingginya kejadian POST.
Fakta bahwa seluruh pasien mendapat 10 mg dexamethasone secara intravena
merupakan keterbatasan lain pada penelitian ini. Beberapa penelitian telah
mendemonstrasikan bahwa pemberian dexamethasone intravena preoperatif menurunkan
kejadian POST secara signifikan.22-24 Kami menggunakan dosis dexamethasone yang sama
dengan penelitian tersebut, yang mungkin bertentangan dengan efek lubrikan. Pada penelitian
kami, walau bagaimanapun juga, kedua kelompok mendapat dosis dexamethasone yang sama
setelah intubasi. Perbedaan kejadian POST antara kedua kelompok dianggap sebagai efek dari
lubrikan.
7

Kesimpulannya, hasil penelitian kami mengindikasikan bahwa aplikasi pasta


triamcinolone acetonide pada sepanjang ETT dapat menurunkan kejadian dan keparahan
POST dibandingkan dengan aplikasi gel chlorhexidine gluconate.
Konflik kepentingan: tidak dinyatakan
Referensi
1. McHardy FE, Chung F. Postoperative sore throat: cause, prevention and treatment.
Anaesthesia 1999; 54: 444-53.
2. Combes X, Schauvliege F, Peyrouset O, et al. Intracuff pressure and tracheal
morbidity: influence of filling with saline during nitrous oxide anesthesia.
Anesthesiology 2001; 95: 1120-4.
3. Scuderi PE. Postoperative sore throat: more answers than questions. Anesth Analg
2010; 111: 831-2.
4. Loeser EA, Kaminsky A, Diaz A, Stanley TH, Pace NL. The influence of
endotracheal tube cuff design and cuff lubrication on postoperative sore throat.
Anesthesiology 1983; 58: 376-9.
5. Stock MC, Downs JB. Lubrication of tracheal tubes to prevent sore throat from
intubation. Anesthesiology 1982; 57: 418-20.
6. Sumathi PA, Shenoy T, Ambareesha M, Krishna HM. Controlled comparison
between betamethasone gel and lidocaine jelly applied over tracheal tube to reduce
postoperative sore throat, cough, and hoarseness of voice. Br J Anaesth 2008; 100:
215-8.
7. Blunt MO, Young PJ, Patil A, Haddock A. Gel lubrication of the tracheal tube cuff
reduces pulmonary aspiration. Anesthesiology 2001; 95: 377-81.
8. Ayoub CM, Ghobashy A, Koch ME, et al. Widespread application of topical
steroids to decrease sore throat, hoarseness, and cough after tracheal intubation.
Anesth Analg 1998; 87: 714-6.
9. El Hakim M. Beclomethasone prevents postoperative sore throat. Acta Anaesthesiol
Scand 1993; 37: 250-2.
10. Sobel AM, Sheiner B, Boyer R. Possible prevention of complications following
endotracheal anesthesia. Anesth Analg 1964; 43: 504-9.
11. Harding CJ, McVey FK. Interview method affects incidence of postoperative sore
throat. Anaesthesia 1987; 42: 1104-7.
12. Hilding AC. Laryngotracheal damage during intratracheal anesthesia.
Demonstration by staining the unfixed specimen with methylene blue. Ann Otol
Rhinol Laryngol 1971; 80: 565-81.
13. Bishop MJ. Mechanisms of laryngotracheal injury following prolonged tracheal
intubation. Chest 1989; 96: 185-6.
8

14. Derendorf H, Meltzer EO. Molecular and clinical pharmacology of intranasal


corticosteroids: clinical and therapeutic implications. Allergy 2008; 63: 1292-300.
15. Stride PC. Postoperative sore throat: topical hydrocortisone. Anaesthesia 1990; 45:
968-71.
16. Katz M, Gans EH. Topical corticosteroids, structure-activity and the glucocorticoid
receptor: discovery and developmenta process of planned serendipity. J Pharm
Sci 2008; 97: 2936-47.
17. Matysova L, Hajkova R, Sicha J, Solich P. Determination of methylparaben,
propylparaben, triamcinolone acetonide and its degradation product in a topical
cream by RP-HPLC. Anal Bioanal Chem 2003; 376: 440-3.
18. Estebe JP, Delahaye S, Le Corre P, et al. Alkalinization of intracuff lidocaine and
use of gel lubrication protect against tracheal tube-induced emergence phenomena.
Br J Anaesth 2004; 92: 361-6.
19. Christensen AM, Willemoes-Larsen H, Lundby L, Jakobsen KB. Postoperative
throat complaints after tracheal intubation. Br J Anaesth 1994; 73: 786-7.
20. Stout DM, Bishop MJ, Dwersteg JF, Cullen BF. Correlation of endotracheal tube
size with sore throat and hoarseness following general anesthesia. Anesthesiology
1987; 67: 419-21.
21. Maruyama K, Sakai H, Miyazawa H, et al. Sore throat and hoarseness after total
intravenous anaesthesia. Br J Anaesth 2004; 92: 541-3.
22. Wang JJ, Ho ST, Lee SC, Liu YC, Liu YH, Liao YC. The prophylactic effect of
dexamethasone on postoperative nausea and vomiting in women undergoing
thyroidectomy: a comparison of droperidol with saline. Anesth Analg 1999; 89:
200-3.
23. Park SY, Kim SH, Lee AR, et al. Prophylactic effect of dexamethasone in reducing
postoperative sore throat. Korean J Anesthesiol 2010; 58: 15-9.
24. Thomas S, Beevi S. Dexamethasone reduces the severity of postoperative sore
throat. Can J Anesth 2007; 54: 897-901.

Você também pode gostar