Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
batas posterior adalah vertebra servikal dan batas inferior adalah permukaan atas
palatum molle dan berhubungan dengan orofaring. Batas nasofaring:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas
muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan
dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung
atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi
pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga
mengganggu ventilasi udara telinga tengah.
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh
lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior.
Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale,
foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting
diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial
(FKUI,2010).
molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior
pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu (Bambang, 2005).
Struktur penting yang ada di Nasopharing
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva
yang disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk
membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau
menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat
predileksi Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut
adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut
adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing
dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae
pharingei
Gambar 4. Nasofaring
Fungsi nasofaring :
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii
Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung (FKUI, 2010)
II.3 Epidemiologi
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid,
namun demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi
yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk provinsi Guang-dong (Kwantung)
atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor
dominan timbulnya kanker nasofaring sehingga kekerapan cukup tinggi pada
penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura dan Indonesia (Averdi R, 2012).
Distribusi penyakit ini paling banyak dijumpai pada ras Mongoloid, di
samping Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika di bagian Utara. Di Hongkong
tercatat sebanyak 24 pasien kanker nasofaring per tahun per 100.000 penduduk,
sedangkan angka rata-rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000
penduduk, dibandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang
mempunyai angka kejadian hanya 1 per 100.000 penduduk per tahun. Angka
kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 4,7 kasus baru per tahun per
100.000 penduduk atau diperkirakan sekitar 7000-8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesi (Melani W, 2013).
II.4 Etiologi
a. Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya
kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa
HLA (Human Leucocyte antigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori
tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari
kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan
Tionghoa (Nasir,2009).
b. Virus
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum
pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun
sekunder telah dibukt ikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid
virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A
terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga
terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif.
Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungandengan karsinoma nasofaring tidak
berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (nonkeratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak
berhubung
dengan
tumor
sel
skuamosa
atau
elemen
limfoid
dalam
karsinoma
nasofaring
yaitu
golongan
Nitrosamin,diantaranya
gambaran
histopatologi
yang
direkomendasikan
oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
Berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya
batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi
mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan
keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh
WHO, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
(Averdi R, 2012).
II.6 Gejala Klinis
dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
2. Gejala Hidung
Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang
dindingnya rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding
Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain.
Namun jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan,
maka perlu dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah
satu di antaranya adalah karsinoma nasofaring. (Averdi R, 2012).
3. Gejala Mata
Pada penderita karsinoma nasofaring seringkali ditemukan adanya diplopia
(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen
laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena
chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan. (Averdi R, 2012).
4. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf
kranialis.
Gejalanya antara lain :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX,
N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada lidah, palatum,
faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus dan M. Trapezeus.
(Roenzin, 2007)
Pada penderita karsinoma nasofaring, sering ditemukan adanya tuli
konduktif bersamaan dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta
adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada
nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan bersamaan, maka disebut
Trotters Triad. (Roenzin, 2007)
II.7 Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang
a. Anamnesis
Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala
metastasis/leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, epistaksis ringan,
tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal (saraf III,
IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher. (Averdi R, 2012).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
Pemeriksaan nasofaring:
- Rinoskopi posterior
- Nasofaringoskopi fiber/rigid
c. Pemeriksaan Penunjang
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CTScan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun
tidak akan terlalu sulit ditemukan.Pemeriksaan foto tengkorak potongan
anteroposterior, lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah
nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di
daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain
-lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis (Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EB telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam
nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih
dapat digerakkan
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau
bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
Stadium I : T1
N0
Stadium II : T2
N0
Stadium III : T3
N0
T1,T2,T3 N1
M0
M0
M0
M0
Stadium IV : T4
N0,N1
M0
Tiap T
N2,N3
M0
Tiap T
Tiap N
M1
tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior
II.9 Penatalaksanaan
Stadium I
: Radioterapi
Stadium II & III
: Kemoterapi
Stadium IV dengan N<6 cm: Kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi (Averdi R, 2012).
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring
adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat
radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan
pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau
linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari
cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OHyang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom, sehingga dapat terjadi :
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan
sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring
sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok
timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan
kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi
dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka
luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad ,
terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai
dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4,
luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan
diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad. Daerah
penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada
metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan
dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan
dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari
gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi
daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan
memakai blok timah didaerah leher tengah.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor,
makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit
80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan
angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%.
Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa
faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit (Abdul R, 2006).
a. Tujuan Radioterapi
1. Radiasi Kuratif
b.
melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan
radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada
sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari.
Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali
apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase
ke kelenjar sub maksila. Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran
adalah :
Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan
radiasi.
Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila
didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar
yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.
Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode
radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan
depan dan belakang. Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah
adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula
atau mengikuti besarnya kelenjar.Kelenjar supra klavikula serta leher bagian
bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini
berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer. (Abdul R,
2006)
Sinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom
terdiri dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak
banyak dipakai dalam radioterapi.
2. Sinar Beta
Sinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif
yang mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm.
Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial.
3. Sinar Gamma
Sinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat
menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang
menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya,
makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.
e. Radioisotop
1. Caecium137 :sinar gamma
2. Cobalt60 :sinar gamma
3. Radium226 :sinar alfa, beta, gamma.
f. Teknik Radioterapi
Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :
1. Radiasi Eksterna / Teleterapi
Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar
tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang
diserap oleh suatu tumor tergantung dari :
a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi
b. Jarak antara sumber energi dan tumor
c. Kepadatan massa tumor.
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis - Anoreksi
- Dermatitis
- Eritema
2. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Gangguan pertumbuhan (Yusuf, 2005).
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh (Adlin, 2005).
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi
leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa
tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada
kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain (Widjoseno, 2005)
3. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah
virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi (Guigay, 2006).
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Karsinoma nasofaring merupakan kanker ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel
squamosa. Kejadian karsinoma nasofaring merupakan paling banyak di indonesia,
penyebab nya adalah genetik, infeski virus EBV dan lingkungan. Penatalaksanaan
karsinoma nasofaring dapat dilakukakn dengan radioterapi, kemoterapi, operasi
dan imunoterapi.
DAFTAR PUSTAKA